Part 9. Why Is It So Different?

1
0
Deskripsi

Perbedaan usia 7 tahun tidak membuat Ralind merasa harus menjadi kakak perempuan Jaya. Apalagi pemuda itu adalah anak mantan selingkuhan Daddynya. Tidak sudi!

Bagaimana mungkin Ralind membiarkan Jaya menarik hatinya, sementara Malika, sang adik kesayangan juga menyimpan rasa yang sama, dan dirinya pun sudah bertunangan dengan Adam bahkan pernikahan mereka tinggal menghitung hari?

--------------

Dibenci setengah mati tidak membuat Jaya menyerah untuk jatuh hati pada sosok Ralind.

Dibalik semua sifat...

"Oh ... ini yang namanya lompong?" Ralind mengangkat batang hijau yang kedua ujungnya sudah dipotong. Jari telunjuknya menyentuh ujung yang sedikit bergetah.

Jaya mengangguk. "Kakak baru tahu ini? Atau udah pernah lihat sebelumnya?" Dia meletakkan bumbu-bumbu yang sudah dikupas di meja dapur di hadapan Ralind.

"Udah pernah lihat, sih. Tapi baru sekali ini mengamati dari dekat. Ternyata teksturnya mirip banget sama pelepah pisang, ya." Mata cokelat Ralind masih sibuk mengamati ujung batang lompong.

Jaya tersenyum. "Ya, benar. Kakak tahu nggak kalau pisang itu sebenarnya nggak punya pohon?"

Ralind mengangguk menanggapi pertanyaan itu. "Iya, tahu. Pisang termasuk tanaman umbi yang paling besar, karena pelepahnya punya susunan tekstur sama seperti batang umbi. Tapi pisang buahnya di atas, bukan di akar." Dia kemudian meletakkan kembali batang lompong ke atas meja, lalu menatap Jaya sambil tersenyum. "Seharusnya disebut umbi pisang, ya, bukan pohon pisang."

Jaya balas tersenyum. "Bener. Tapi masyarakat kita udah terlanjur salah kaprah nyebutnya, pohon pisang."

Ralind mendengkus. "Iya juga."

Jaya masih menyunggingkan senyuman. Mata hitamnya menatap lekat pada manik kecokelatan Ralind. "Aku ... suka," ucapnya pelan.

"Hah?" Ralind tidak mendengar ucapan Jaya yang serupa desauan angin.

Jaya menggeleng, lalu mengalihkan tatapannya pada batang lompong. "Aku dulu suka bikin mainan dari pelepah pisang." Ia meneruskan kalimatnya yang tadi sempat terhenti. Atau dialihkan?

"Oya?" Ralind menanggapi antusias. "Wah, seru, dong. Mainan apa aja? Mobil-mobilan?"

"Banyak." Jaya tersenyum lagi. Tatapannya menerawang jauh. "Dulu, Ibu nggak punya uang buat beliin aku mainan di toko. Setiap kali aku merengek minta dibelikan mainan seperti punya temen-temen, Ibu membujuk agar aku mau dibuatkan mainan dari pelepah pisang. Beliau bisa membuat pistol, mobil, atau perahu dari pelepah pisang. Dan aku akan menerima hasil karya itu dengan sangat senang. Walaupun akhirnya tetap di-bully juga sama temen-temen, karena mainanku jelek sendiri, nggak sebagus punya mereka."

Jaya pikir Ralind akan memberinya tatapan prihatin. Tapi ternyata gadis itu malah sedang menatapnya kagum.

"Eh, keren loh mainan dari pelepah pisang. Nggak semua orang bisa bikin." Begitu reaksinya.

Jaya terpana. Reaksi Ralind tidak seperti kebanyakan orang yang selalu mengasihaninya. Reaksi itu sungguh menyenangkan hati.

"Tante Maya kreatif juga ya bisa bikin mainan dari pelepah pisang." Ralind menunduk pada batang-batang lompong yang sudah dicuci bersih oleh Jaya.

"Ibu dulu juga pernah buka pesanan kerajinan tangan dari pelepah pisang, sempat dijual di galeri cafenya om Tony. Banyak pengunjung yang suka dan beli kerajinan tangan itu sebagai oleh-oleh. Tapi karena ada masalah dengan Om Tony, Ibu berhenti." Jaya bercerita.

Ralind mendengarkan dengan seksama, kemudian dahinya berkerut. "Ada masalah apa?"

Jaya mengedikkan bahu. "Aku kurang tahu. Tapi sepertinya ada hubungannya dengan Ibunya Lesty."

Dahi Ralind berkerut semakin dalam. "Lesty yang nyuruh kita ke desamu, yang ketemuan sama kita di sungai itu?"

Jaya mengangguk, lalu tersenyum miring. "Ya, Lesty yang itu. Ibunya Lesty, isteri keduanya Om Tony."

Ralind manggut-manggut dengan mulut membulat sempurna. "Oh." Raut wajahnya berubah paham, bibirnya ikut tersenyum miring. "Rumit, ya?"

Jaya tertawa. "Ya, begitulah. Hubungan manusia nggak pernah mudah."

Ralind ikut tertawa. Dia merasa sedang berbicara dengan orang seusianya. Mengajak ngobrol Jaya tidak pernah membosankan. Masa kecil pemuda ini sangat menarik untuk disimak. Ralind membayangkan, pasti sulit sekali rasanya menghadapi cemoohan para tetangga terkait status janda Ibunya. Apalagi santer gosip tersebar bahwa Maya punya skandal dengan Daddy-nya.

Ralind menduga, orang yang berbicara dengan Jaya pasti punya dua reaksi sama, kasihan atau memandang rendah. Ralind tidak memilih keduanya. Dia lebih suka memberi support agar Jaya merasa dihargai sebagai pemuda yang bermental kuat.

"Oya, Kak." Jaya membuyarkan lamunan Ralind. "Aku tadi beli ini." Pemuda itu mengeluarkan bungkusan dari dalam tas kresek.

"Marshmallow?" Ralind menatap Jaya tak mengerti.

Pemuda itu mengangguk. "Beberapa waktu lalu aku nonton film yang tokohnya lagi makan marshmallow. Aku jadi pengen, tapi nggak ngerti cara makannya. Kalau dimakan gini aja rasanya aneh, kayak karet. Aku lihat di film harus dibakar dulu. Tapi setelah kubakar malah rasanya pahit, nggak enak. Gimana sih cara bakarnya? Aku nggak paham."

Ralind tertawa menanggapi pemberitahuan Jaya yang jujur, polos, dan apa adanya. "Masa sih kamu belum pernah makan marshmallow yang dibakar dulu?"

Jaya menggeleng. "Belum."

"Punya tusuk sate atau lidi, nggak?" Ralind bertanya sambil membuka bungkus marshmallow.

"Punya. Sebentar." Jaya membuka laci meja dapur, lalu mengambil satu bungkus tusuk sate untuk diserahkan pada Ralind. "Ini, kan?"

Ralind mengangguk, menusuk marshmallow memakai tusuk sate lalu menyalakan kompor. "Gini caranya. cuma dideketin di atas api, nggak usah dibakar."

"Oh ... cuma dipanggang." Jaya manggut-manggut antusias. "Pantesan punyaku pahit, ternyata dibakar sampai gosong."

Ralind tertawa. "Iyalah. Marshmallow itu kan mengandung banyak gula, jadi gampang gosong kalau kena api." Dia kemudian menyodorkan marshmellow yang ujung-ujungnya sudah berubah cokelat. "Nih. Cobain, deh."

Jaya langsung melahap marshmallow dari tangan Ralind kemudian berseru, "Hah! Panas!"

Ralind panik, mengambil gelas dari lemari untuk diisi air galon di sebelah meja dapur lalu memberikannya pada Jaya. "Minum dulu."

Selesai meneguk air pemberian Ralind, Jaya mengibas-kibaskan tangan di depan mulut untuk mendinginkan lidahnya yang terbakar.

Ralind mendorong bahu pemuda polos itu dengan kesal. "Kamu gimana, sih? Jangan langsung dimakan gitu, dong. Tiupin dulu."

Jaya meringis menyadari kebodohannya. Tapi kemudian sorot matanya berubah senang. "Tapi marshmallownya beneran enak, lumer di mulut, nggak kayak karet lagi."

"Ya, kan?" Wajah kesal Ralind berubah senang. "Mau lagi?"

Jaya mengangguk antusias. "Mau."

Ralind memanggang marshmallow lagi sambil bercerita. Dulu dia dan kedua adiknya sering dibuatkan minuman cokelat panas oleh Oma Maria waktu berlibur di rumah Permata Jingga, dan minuman itu selalu ditaburi banyak marshmallow. Dia paling suka saat permen lembut itu meleleh dan berubah jadi seperti krim. "Enak banget kalau udah kecampur sama minuman cokelatnya."

Jaya mendengarkan cerita itu dengan seksama sambil menusuk marshmallow memakai tusuk sate, lalu mereka memakannya bersama. Jaya tertawa ketika pipi Ralind terkena lelehan marshmallow.

"Cemong, nih." Jaya menunjuk pipi Ralind lalu mencabut tisu dari meja dapur untuk dibasahi air keran.

"Eh? Mana?" Ralind mengusap-usap pipi, tapi lelehan marshmallow malah justru melebar kemana-mana.

"Jangan diusap pakai jari. Gini, biar nggak lengket." Jaya mengusap pipi Ralind secara perlahan memakai tisu basah.

Ralind membeku ketika wajah Jaya terlalu dekat. Apalagi jari-jari panjang itu juga menyentuh kulit pipinya. Jantung Ralind berdebar.

"Nah, selesai." Jaya tersenyum sambil menatap Ralind. Tapi kemudian senyumannya memudar ketika menyadari bahwa jarak mereka hanya sebatas tiga jari.

Aroma napas manis dari marshmallow membelai lembut indra penciuman keduanya. Tatapan mata yang beradu seakan saling menyelami isi hati masing-masing. Bibir kemerahan keduanya begitu menggoda untuk disatukan. Dan ...

Ting!

Ponsel Ralind berdenting. Gadis itu memutus kontak mata lebih dulu untuk merogoh ponsel dari saku blazer, dan membaca isi pesan yang baru diterima.

Sedangkan Jaya mengalihkan perhatian dengan membuang tisu ke tempat sampah, lalu memegangi dadanya yang sudah bergemuruh rusuh. Gawat sekali. Dia baru saja melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Dia hampir saja mendorong Ralind dan dirinya sendiri jatuh ke jurang perzinaan.

"Jay, aku harus balik ke kantor sekarang. Daddy udah balik dari survey lokasi." Ralind memberitahu.

Jaya membalikkan badan kemudian mengangguk. "Iya, Kak. Maaf sudah merepotkan Kakak."

Ralind menggeleng sambil mengibaskan tangan. "Nggak ngerepotin sama sekali. Aku malah belum sempat bantu kamu masak sayur lompong. Gimana, dong?" Raut wajahnya berubah bersalah.

Giliran Jaya yang menggeleng sembari menyunggingkan senyuman. "Nggak apa-apa. Kakak bersedia datang, aku udah seneng."

Hati Ralind kembali berdesir mendengar ucapan dan melihat senyuman pemuda bermata teduh itu. "A-- aku, balik dulu. Assalamu'alaikum."

Untuk menutupi gugup, Ralind segera berjalan menuju pintu.

"Wa'alaikumsalam." Jaya mengikuti di belakang, lalu tergesa membukakan pintu untuk Ralind.

Setelah keluar dari kamar apartemen, Ralind melangkah memasuki lift. Ia menyandarkan punggung pada dinding besi, dan menghela napas panjang.

Setiap kali berinteraksi dengan Jaya, rasanya selalu berbeda. Jantungnya juga berdebar sekencang ini.

Ralind meraba dada dengan dahi berkenyit. Ia sedang mencari jawaban.

Mengapa debaran jantung yang seperti ini tidak pernah ia rasakan saat bersama Adam?

*****

"Assalamu'alaikum." Jaya mengucap salam ketika Humaira membuka pintu penthouse.

"Wa'alaikumsalam. Jaya." Wanita cantik bermata biru itu menyambutnya ramah.

"Mau mengantar sayur lompong, Tante, oleh-oleh dari desa waktu aku mudik kemarin." Jaya menyodorkan pinggan kaca berisi sayur lompong bersantan.

Mata biru Humaira berbinar senang. "Wah, sayur lompong kesukaan Tante. Udah lama banget Tante nggak makan ini." Dia menerima pinggan kaca dari tangan pemuda sholeh asuhannya.

Jaya tersenyum senang melihat reaksi Humaira. Dia berharap, semoga Tante bermata biru ini juga suka hasil masakannya, sebab sejak tinggal di Surabaya, dia tidak pernah masak sayur lompong lagi. Tapi dia belum melupakan racikan bumbunya.

"Kalau begitu aku permisi dulu, Tante," pamit Jaya.

"Lho, eh, kok langsung balik? Makan malam bareng kami dulu, yuk." Humaira membuka pintu lebih lebar.

Jaya melihat keramaian di ruang santai. Selain keluarga om Liand, ada Adam juga di sana. Sepertinya mereka sedang melakukan sesuatu hal yang seru. "Tapi aku nggak mengganggu kan, Tante?"

"Nggak sama sekali. Yuk, masuk." Humaira tersenyum.

"Jay!" Malika berseru dari ruang santai. Gadis berkerudung pink itu berlari menghampiri lalu menarik tangannya untuk bergabung dengan semua orang.

Jaya hanya bisa pasrah diseret Malika. Dia baru tahu bahwa mereka sedang karaoke bersama. Saat ini Liand sedang duet dengan Ralind menyanyikan lagu Fly Me To Moon. Jaya juga baru tahu bahwa Ralind punya suara yang sangat merdu.

"Hei." Adam menyapanya dengan endikan dagu.

Jaya mengangguk hormat sambil tersenyum sungkan.

"Habis ini kamu yang nyanyi, ya?" Malika meminta dengan wajah antusias.

Jaya menunjuk wajahnya sendiri. "Aku?" Lalu kepalanya menggeleng kuat. "Jangan. Aku nggak bisa nyanyi."

Adam menyahut. "Bohong, tuh. Anak pondok biasanya jago nyanyi. Apalagi lagu dangdut, pasti cengkoknya dapet."

Meskipun masih berduet dengan Daddy-nya, Ralind memasang telinga untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Sedangkan Humaira yang memangku Andra tersipu malu dikecup punggung tangannya oleh Liand.

Selesai berduet, Ralind mengulurkan mic pada Adam. "Mau nyanyi?"

Sebelum Adam sempat menjawab, Malika sudah menyela. "Jaya dulu aja."

Liand memberikan mic pada Jaya. “Nih, Jay. Ganti kamu yang nyanyi. Kami belum pernah denger kamu nyanyi, lho.”

Yang ditodong kelabakan. "A-- aku nggak bisa nyanyi, Om."

"Malu tuh, malu ..." Ralind meledek.

Malika memaksa. "Iya, ih. Bener kata Daddy. Kami belum pernah denger kamu nyanyi, lho. Ayo, dong, nyayi. Kenapa mesti malu, sih?"

Jaya tidak tahu harus menolak bagaimana lagi. Dia akhirnya terpaksa menerima mic dari tangan Liand.

"Duet sama aku, mau nggak?" Malika menawarkan, duduk di sebelah Jaya.

Adam memanasi sambil memberikan mic pada Malika. "Cieee ... romantis banget, sih."

Andra menimpali, "Cieee ..."

Humaira menegur. "Eh, eh. Apa, sih? Nggak boleh gitu. Kak Adam nih, jangan bikin adiknya ikut-ikutan, dong."

Adam meringis. "Maaf, Mommy." Lalu tangannya terulur untuk mengusap puncak kepala Andra.

Liand tertawa melihat interaksi mereka.

Ralind hanya diam saja melirik Jaya yang juga sedang meliriknya. Semua orang dalam ruangan ini tidak tahu bahwa mereka sekarang sedang saling melirik.

"Kita nyanyi ini aja, ya, lagunya Yura sama Glenn yang cinta rahasia. Bisa dibuat duet. Kamu bisa, kan?" Malika memutuskan.

Jaya mengangguk. "InsyaaAllah bisa."

Kemudian mereka mulai bernyanyi, dimulai dari Malika, disusul dengan Jaya. Semua orang terkejut bahkan bereaksi heboh ketika Jaya menyanyi.

"Gila! Suaramu bagus banget, Jay!" Malika berseru dengan wajah takjub.

"Iya, bagus banget." Ralind setuju.

"Hidden gems ini si Jaya." Liand ikut memuji.

Jaya tersenyum malu-malu sambil menggaruk belakang kepalanya. "Biasa aja kok, Om."

"Beneran bagus lho, Jay." Bahkan Humaira juga ikut memuji.

Sedangkan Adam hanya diam saja melihat semua orang memuji suara pemuda kampret itu. Bahkan ketika duet itu berakhir, semua orang bertepuk tangan mengapresiasi suara Jaya. Menyebalkan!

Dia kemudian meminta mic dari Malika. "Kita duet bareng, Jay. Aku yang pilih lagunya, boleh?"

Jaya mengangguk dengan wajah sungkan. "Boleh, Kak."

Adam menyeringai lebar ketika lagu Hanya Rindu dari Andmesh Kamaleng mulai mengalun. Sedangkan wajah Jaya yang semula riang kini berubah muram. Sorot matanya yang semula berbinar kini meredup. Lagu ini mengingatkannya pada almarhumah Ibu dan almarhum Bapak.

Tanpa menyadari perubahan wajah itu, Adam mulai menunjukkan suara merdunya pada semua orang. Lalu, ketika tiba giliran Jaya menyanyi, suara yang keluar tidak semerdu tadi. Suara itu berubah parau dan penuh getaran. Mata yang tadi selalu menyorot senang kini berkabut membaca lirik demi lirik.

Jaya tidak kuat. Dia meletakkan mic di atas meja. "A-- aku ke toilet dulu." Kemudian dia bergegas meninggalkan ruang santai.

Ralind yang menyadari hancurnya hati Jaya segera menarik tangan Adam untuk dibawa keluar dari penthouse.

"Kamu apa-aapan, sih?!" tanyanya sambil mendorong kesal bahu Adam.

Adam tidak mengerti. "Apa-apaan kenapa?"

"You asked him to sing that song." Ralind memberitahu kesalahan tunangannya.

"Yes. So? What's the problem?" Tapi Adam tetap tidak mengerti kesalahannya.

"Lagu itu mengingatkan dia sama Tante Maya dan Om Jaka. Don't you know that?" Ralind menunjuk pintu penthouse.

"But that's only a song. Lagipula dia seorang laki-laki. He should be stronger." Adam tetap tidak merasa bersalah.

"Really, Adam?" Ralind menatap calon suaminya tak percaya. "Seriously, are you this cold hearted guy?" Jari telunjuknya mengetuk dada bidang Adam.

Adam merentangkan kedua tangan dengan wajah tetap tidak paham. "What? Aku cuma mengajaknya duet. Aku tidak melakukan sesuatu yang kejam padanya."

"Ini yang aku nggak suka darimu!" Ralind meninggikan suara. Dia sudah tidak tahan dengan tingkah laku Adam yang di luar batas. "Kamu sulit berempati dengan orang lain. Apa kamu harus kehilangan Mamamu dulu baru bisa merasakan perasaan Jaya?!"

Adam terkejut melihat Ralind semarah ini padanya. "Lind, ada apa ini? Kenapa kamu over reacting seperti ini?"

"Over reacting?" Ralind mengulang statement Adam. "Kamu bilang aku over reacting?" Dia kemudian mendengkus sinis. "Unbelivable." Kemudian ia meninggalkan Adam memasuki penthouse.

Adam masih terpaku di depan pintu.

Seumur hidup mengenal Ralind, baru kali ini gadis itu membela Jaya mati-matian.

Apa yang terjadi pada kekasihnya?

TBC.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Part 10. Rebel
3
2
Perbedaan usia 7 tahun tidak membuat Ralind merasa harus menjadi kakak perempuan Jaya. Apalagi pemuda itu adalah anak mantan selingkuhan Daddynya. Tidak sudi!Bagaimana mungkin Ralind membiarkan Jaya menarik hatinya, sementara Malika, sang adik kesayangan juga menyimpan rasa yang sama, dan dirinya pun sudah bertunangan dengan Adam bahkan pernikahan mereka tinggal menghitung hari?--------------Dibenci setengah mati tidak membuat Jaya menyerah untuk jatuh hati pada sosok Ralind.Dibalik semua sifat baja gadis itu, Jaya tahu, Ralind menyimpan kerapuhan dalam hati. Hanya dia yang mampu melihat sisi rapuh itu.Meski begitu, sekeras apapun Jaya mengejar, Ralind semakin menjauh, dan tak tersentuh.Akankah Jaya gigih meraih cinta Ralind, atau kalah dan menyerah?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan