Touch Me Slowly, Mr. Billionaire (Chapter 27)

1
0
Deskripsi

Selamat malam, Lovelies. Vian dan Jiana kembali lagi, cus langsung baca ^^ 

SPOILER : 

“Tolong bujuk Vian untuk berobat ke psikiater,” ucap Silvia selanjutnya. “Tante takut kejadian itu membuat Vian memiliki penyimpangan seksual. Seperti….”

“Seperti apa, Tante?” Spontan Jiana bertanya ingin tahu. Terlihat dari gestur tubuhnya yang mendadak condong mendekat pada Silvia.

“Seperti tidak tertarik dengan lawan jenis atau penyimpangan yang lainnya.” Silvia melanjutkan, tangannya kembali menarik tangan Jiana. “Vian terlalu menjaga jarak dari Tante, sehingga sangat sulit untuk memahaminya.”

Silvia menganggukkan kepala seraya menyeka buliran bening dari sudut mata. “Iya.” Rasanya kalimat Silvia tercekat setiap mengingat kejadian yang memilukan itu. “Dulu karena terlalu sibuk bekerja, saya lalai menjaga Vian dari predator itu.” 

Jiana masih terbelalak mendengarkan pengakuan dari Silvia. Ia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya Vian di masa itu. Ternyata benar jika pria itu pernah mengalami masa lalu yang tidak menyenangkan. 

“Jiana, apa boleh Tante minta tolong?” tanya Jiana sambil menarik tangan Jiana dan mengusapnya pelan. Wajah wanita itu tampak penuh harap, tertuju penuh pada Jiana. 

“Bantuan apa, Tante?” respon Jiana yang dalam hatinya masih iba pada kisah lama Vian. 

“Tolong bujuk Vian untuk berobat ke psikiater,” ucap Silvia selanjutnya. “Tante takut kejadian itu membuat Vian memiliki penyimpangan seksual. Seperti….”

“Seperti apa, Tante?” Spontan Jiana bertanya ingin tahu. Terlihat dari gestur tubuhnya yang mendadak condong mendekat pada Silvia.

“Seperti tidak tertarik dengan lawan jenis atau penyimpangan yang lainnya.” Silvia melanjutkan, tangannya kembali menarik tangan Jiana. “Vian terlalu menjaga jarak dari Tante, sehingga sangat sulit untuk memahaminya.”

Jiana menatap Silvia lurus-lurus. Ekspresi kekhawatiran mampu ditangkap oleh Jiana. Sebab ia sering mendapati raut seperti itu dari wajah sang ibu. Jiana tidak membuka mulut, sampai Silvia kembali mengelus punggung tangannya dengan lembut. 

“Tante minta tolong sama kamu, Jiana. Tante ingin Vian bisa memiliki keluarga seperti orang pada umumnya. Tante ingin Vian sembuh jikalau memang butuh pengobatan,” tukas Silvia. 

Jiana tidak langsung menjawab. Bayang-bayang mengenai bagaimana Vian memperlakukannya berkumpul dalam benak. Bisa dikatakan jika Vian sedikit berbeda, dengan cara bercinta yang mendominasi dan tidak ingin dibantah. Namun, alih-alih merasa tersakiti, justru ia sangat menikmati hal tersebut. Bahkan lara hati yang diberikan oleh Raditya bisa terlupakan dalam sekejap. 

“Apa itu termasuk penyimpangan seksual?” batin Jiana menerka sambil memutar matanya ke arah Silvia. Wanita paruh baya itu masih menatap Jiana penuh harap. 

“Setidaknya Vian mau dibawa periksa ke ahlinya. Supaya tahu apakah dia butuh pengobatan atau tidak,” lanjut Silvia. “Kamu mau ‘kan bantuin Tante? Hm?” 

“Tapi kenapa harus saya, Tante? Bukankah Tante bisa membujuknya?” tanya Jiana. 

“Nggak bisa Jiana.” Spontan kepala Silvia menggeleng. “Tante nggak berani menyarankan Vian untuk berobat. Karena secara tidak langsung.” Ucapan Silvia tertahan sejenak. “Tante yang menyebabkan Vian mengalami semua hal buruk itu.” 

Jiana menarik beberapa lembar tisu kemudian diberikan kepada Silvia untuk mengusap air matanya. Ingin sekali bertanya lebih lanjut, tetapi Jiana takut melampaui batas. 

“Terima kasih,” ucap Silvia setelah menerima uluran tisu dari Jiana. Kemudian mata Silvia berputar ke arah Jiana diikuti seulas senyuman tipis di wajah. “Tante terkejut saat tahu sekarang Vian sudah bisa tidur dengan nyenyak. Karena sebelumnya dia tidak bisa tidur tanpa minum obat.” Kedua sudut bibir Silvia semakin tertarik ke atas. “Semua itu berkat kamu, Jiana. Maka dari itu, Tante butuh bantuanmu.” 

Jiana tidak memiliki alasan untuk menolak memberi bantuan kepada Vian. Well, meskipun terkadang menyebalkan, tetapi Vian cukup baik kepada Jiana. Bisa dikatakan semua perlakuan pria itu jauh lebih baik dibandingkan Raditya yang pernah menjadi kekasihnya.

“Akan saya coba, Tante,” jawab Jiana yang serta-merta menciptakan lengkungan senyuman di wajah Silvia. 

“Sungguh? Kamu sungguh mau bantu Tante, Jiana?” Silvia memastikan kembali. 

“Iya, Tante. Saya akan coba bujuk Vian untuk periksa,” jawab Jiana. 

Tanpa pikir panjang, Silvia langsung bangkit dari duduknya dan memeluk Jiana erat-erat. “Terima kasih banyak, Jiana. Terima kasih banyak. Tante nggak akan pernah lupa sama bantuan kamu kali ini.” 

Jiana hanya tersenyum dan membiarkan Silvia memeluknya hingga puas. Ternyata benar jika semua sikap itu ada latar belakang yang mendasari. Vian tidak langsung memiliki sikap dominan tanpa alasan. Ternyata sewaktu kecil sempat mengalami pelecehan yang dilakukan oleh pengasuhnya sendiri. 

*** 

Berjarak 100 meter, Jiana mematikan mesin motor dan menuntunnya ke dalam rumah. Sesekali ia melirik waktu pada arloji yang melilit tangan, kemudian merutuki diri sendiri. Karena terlalu asyik megobrol dengan Silvia, Jiana sampai lupa dengan peringatan sang ibu untuk tidak pulang terlalu larut. 

Mata Jiana menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan jika sang ibu sudah tertidur. Melihat lampu kafe dan ruang tamu rumah sudah mati, Jiana mengembuskann napas lega. Lalu ia mendorong sepeda motor ke dalam garasi dengana susah payah. 

“Aaaaa! Hantu!” Spontan Jiana berteriak sambil mendorong motornya hingga terjatuh saat melihat wajah melayang dengan lampu yang menerangi. Jiana langsung meringkuk di balik motor sambil sesekali mengintip dari celah lengan. 

“Mana ada hantu setampan ini?” Suara bariton yang sangat dikenali oleh Jiana terdengar sangat jelas. 

Sambil memberanikan diri, Jiana mendongakkan wajah dan membuka kedua matanya perlahan. “Pak Vian, ngapain malam-malam kesini?” Kontan Jiana celingukan mencari mobil Vian. Sebab ia sangat yakin tidak melihat mobil Vian terparkir di dekat rumah maupun kafe sang ibu. “Mobil Pak Vian mana?”

“Ada di depan minimarket depan gang,” jawab Vian sambil mengangkat motor Jiana yang terjatuh. “Ada yang terluka?” tanyanya lebih lanjut seraya menyoroti kaki Jiana dengan lampu senter ponsel. 

“Nggak apa-apa,” jawab Jiana singkat. “Pak Vian belum jawab, ngapain ke sini malam-malam?” 

“Nyariin kamu. Kemana aja sampai jam segini baru pulang?” Vian melirik tajam. Ia sangat penasaran apa saja yang dilakukan Jiana dengan teman lelakinya hingga selarut ini. 

“Bukan urusan kamu,” jawab Jiana sambil membersihkan tanah yang menempel di bajunya. 

Tanpa menjawab, Vian hanya menatap Jiana dengan tajam sembari melipat tangan di depan dada. Ia menatap wajah Jiana penuh iba. Well, meskipun dugaan Vian belum terbukti jika Jiana adalah putri Nawasena, tapi rasa kasihan sudah muncul. 

“Kenapa? Mau kasih aku hukuman?” Jiana melirik. 

“Hm… sepertinya kamu menyukai hukuman yang aku berikan. Lalu sengaja membuatku kesal,” cicit Vian yang sukses membuat wajah Jiana merona. 

“Enak aja! Jangan asal ngomong ya!” pekik Jiana tidak terima. Rasa panas seketika merangkak menguasai seluruh wajah Jiana. “Udah pulang sana, sana ibu kebangun lagi.” 

“Ibu kamu keluar, katanya nganter pesanan tumpeng terus ada acara di rumah temannya dan menginap,” terang Vian. “Aku bilang kamu lagi nyelesain tugas kantor.”

“Nginap? Kok ibu nggak bilang sama aku?” gumam Jiana. 

“Jadi… sekarang kamu harus membayar kebaikanku.” Vian lantas menarik tangan Jiana untuk mengajaknya pergi. 

“Ish! Nggak mau! Membayar kebaikan kamu apa coba? Kayak habis menyelamatkan dunia aja?” Jiana menghentakkan tangannya hingga membuat pegangan Vian terlepas. 

“Oh, seharusnya aku tadi bilang saja kalau kamu pergi sama cowok dan mabuk-mabukan di klub.” Vian mencibir.

Melihat tingkah Vian yang menyebalkan, Jiana sedikit menyesal sudah mengiyakan permintaan bantuan dari Silvia. 

“Ish dasar ada maunya. Berarti tadi kamu bantu aku nggak ikhlas.” 

“Tentu aja nggak. Nggak ada yang gratis di dunia ini,” ucap Vian yang kemudiana membopong tubuh Jiana dan membawanya ke dalam mobil.

“Eh! Vian lepasin nggak! Aku teriak nih!” 

“Teriak aja kalau mau aku nikahin kamu,” cicit Vian spontan. 

Mendengar ucapan Vian yang asal, Jiana langsung membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Menikah dengan Vian bukan hal yang buruk, tetapi apakah mungkin? 

Astaga! Jiana mulai berpikir mustahil! 

Setelah berkeliling selama kurang lebih 15 menit, porsche Vian berhenti di sebuah tebing dengan pemandangan laut lepas yang memantulkan cahaya terang bulan. Suasananya kelewat tenang dengan dihiasi deburan ombak yang menerjang bebatuan karang yang menjulang. 

“Hah, aku nggak nyangka bakal makan mie instan di dalam mobil mewah ini,” ujar Vian sambil melirik ke arah Jiana. 

Wanita itu tengah membuka tutup plastik mie instan dengan hati-hati. “Cobain dulu, baru protes.” 

“Kamu harus baunya kalau sampai nggak bisa ilang.” Hidung Vian kembang kempis akibata aroma yang tidak familiar itu. Well, sejak tingga di luar negeri ia hanya mengkonsumsi mie dengan pasta. TIdak dengan aroma abumbu kari yang sangat menyengat ini. 

“Iya, tenang aja. Baunya nggak bakal bertahan lama, apalagi atap mobilnya udah kamu buka. Nih cobain, aaaa!” Jiana menyuapkan sesendok mie ke arah Vian. 

Meskipun semula tampak ragu, Vian membuka mulut dan menyantap mie suapan dari Jiana. Sambil menguyah, Vian mencoba menikmati perpaduan rempah dalam kari tersebut. 

“Gimana? Enak ‘kan?” tanya Jiana sambil sedikit menundukkan kepala untuk bisa menangkap ekspresi Vian. 

“Hm, not bad,” sahut Vian seraya merebut mie tersebut dari Jiana. 

“Not bad? Bilang aja enak.” Jiana tersenyum tipis sambil terus mengamati Vian yang tampak lahap menyantap makanan tersebut. 

Mengamati wajah Vian secara seksama, mengingatkan Jiana dengan cerita Silvia beberapa jam yang lalu. Pengasuh yang seharusnya melindungi Vian, justru melecehkannya. Bahkan tidak akan segan menyundut paha Vian dengan rokok jika berani mengadu kepada Jival atau sang ibu. 

“Pasti menyakitkan,” ucap Jiana tiba-tiba seraya mengelus pipi Vian. 

Jakun Vian bergerak naik turun setelah meneguk kuah terakhir mie-nya. Lalu ia menoleh kepada Jiana yang sedang memberikan tatapan berkaca-kaca. 

“Kamu kenapa?” tanya Vian bingung. “Kenapa tiba-tiba menangis?” Spontan Vian menghapus air mata yang baru saja terjatuh dari pelupuk mata Jiana. “Apa aku menyakitimu?” 

“Tidak, kamu tidak pernah menyakitiku,” jawab Jiana masih menatap sendu kepada Vian. 

“Benarkah?” tanya Vian memastikan. Pasalnya ia sering menyakiti Jiana dengan permainan bercinta yang sedikit gila. Bahkan tidak segan untuk menampar dan mencambuk bokong Jiana. 

Kepala Jiana mengangguk, memberikan jawaban. “Ya, kamu tidak pernah menyakitiku.”

Hening seketika menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara ombak yang tanpa malu-malu terus menabrakkan diri ke batu karang. Pun hewan malam ikut mengunci mulutnya tanpa mengeluarkan suara. 

“Ah, es krimku!” Jiana tersentak ketika dinginnya es krim meleleh di tangannya. Segera ia menarik tisu untuk membersihkan tangan sambil menggerutu. “Astaga, es ku mencair!” 

Pandangan Vian tidak teralihkan dari Jiana barang satu detik saja. Kalimat yang baru saja diucapkan oleh Jiana, seolah mengembalikan kehangatan dalam hatinya. Detak jantung yang memburu perlahan menguasai jantung. Hingga ia tidak sadar sedang menatap paras Jiana tanpa berkedip. 

“Ah, es krimku yang lezat. Sayang sekali meleleh.” Jiana menjilati es krim tersebut tanpa membiarkannya menetes. Kemudian jantung Jiana mendadak bergemuruh, ketika lembut bibir Vian menyentuhnya di balik lapisan es krim. 

Kedua mata mereka saling beradu pandang. Jiana meneguk saliva kuat-kuat saat Vian mengambil es krim itu dan dilemparkan keluar mobil begitu saja. 

“You’re mine, Jiana,” ucap Vian sebelum memberikan ciuman brutal yang membuat Jiana tidak berkutik. 

TO BE CONTINUED…. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Touch Me Slowly, Mr. Billionaire (Chapter 28)
2
0
Selamat pagi, Lovelies. Kisah Jiana dan Vian kembali lagi, selamat membaca ^^SPOILER : “Jiana, kamu kenapa Nak?” Suara Kenanga membuat Jiana menoleh. “Nggak apa-apa, Bu. Tadi nggak sengaja Om ini nabrak aku,” jelas Jiana sambil melemparkan tatapan kepada Nawasena. Kontan mata Kenanga membulat saat melihat rupa Nawasena. Begitu pula dengan Nawasena yang memberikan reaksi serupa. Melihat reaksi sang ibu dan pria asing itu, Jiana berceletuk, “Ibu kenal Om ini?” “Nggak!” “Iya, kami kenal.” 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan