Drama Cinta Polisi 1

27
8
Deskripsi

Link trailernya 👇

https://karyakarsa.com/Lisfi/drama-cinta-polisi-857060

“Cek! 10-23 TKP,” kata seorang polisi yang melakukan penggerebekan di salah satu tempat bandar judi togel dan narkoba.

 

 

post-image-64093bd253b0d.png

 

Part 1

 

 

Kebencian telah terpupuk subur dalam benak
Tak percaya tangan Tuhan akan membalas
Dendam mengakar
Karma untuk orang yang menyakiti adalah tujuan
Obsesi cukup menjadi bahan bakar untuk memberikan pelajaran dan pesakitan
Saat seseorang memberi jerit rasa sakit hingga rapuh dan terpuruk yang tak bisa terhindarkan.

****

 

 

26 Juli 1998

“Cek! 10-23 TKP,” kata seorang polisi yang melakukan penggerebekan di salah satu tempat bandar judi togel dan narkoba.

“Randu,” sahut polisi yang lain melalui handy talky dalam genggaman.

“3-0-3 di dalam.”

“Siap tim 1, masuk!” seru Komandan penangkapan kali ini untuk bersiap maju melakukan penggerebekkan.

Seorang pria bertato yang berjaga di depan pintu masuk, mengendus ketidakberesan saat dedaunan dari jauh terlihat bergerak.

“Basi-basi! Basi-basi woy!” teriak pria bertato menghadirkan kepanikan di dalam rumah yang dijadikan tempat judi.

Semua yang berada di dalam membawa senjata mereka masing-masing, bersiap menghadapi penggerebekan tanpa takut.

‘Basi-basi’ adalah sandi yang dipakai oleh bandar judi dan pengeroyok anggota kepolisian saat penggerebekan terjadi.

Tembakan peringatan mengudara beberapa kali, anggota yang terlatih menjadi penembak jitu disebar ke beberapa sisi. Melumpuhkan beberapa penjudi hingga ambruk ke tanah.

Awal mula malam bersejarah mengawali penderitaan, amarah dan kebencian yang tak berkesudahan.

“Jangan bergerak!” seru salah satu polisi saat berhasil merangsek masuk dan menodongkan pistol ke arah pria paruh baya yang memegang senjata pisau belati.

Tak ingin menyerah begitu saja, bandar judi—Ardi melemparkan pisau belati dan disaat bersamaan peluru pun dilesatkan hingga mengenai tangan kanan pria itu.

“Arghh!” erangan memekakkan telinga, seluruh anak buah langsung mengangkat tangan melihat pemimpinnya sudah berhasil dilumpuhkan.

Kapolsek yang turut serta melakukan penggrebekan menarik rambut Ardi dengan seringai puas, “Bagaimana? Masih belum menyerah juga?!” murkanya pada Ardi yang seperti belut, sulit untuk ditangkap dan menjadi tugas besar kepolisian setempat.

Ardi hanya mengerang sakit, tetapi tetap menatap sengit Kapolsek yang kini meremas rambutnya hingga perih terasa.

 

****

 

“Ayah!” seru gadis berkulit kuning Langsat, bulu mata lentik dan bertubuh sintal berusia 18 tahun. Usia di mana ia diibaratkan bunga yang sedang merekah.

“Pergi! Jangan temui ayah di sini,” pintanya.

Gadis itu menggelengkan kepala, “Engga, Ayah harus keluar. Tapi kemana aku meminta bantuan? Teman-teman Ayah sudah menjauh, mereka menghilang saat aku datang untuk meminta pertolongan. Apa yang harus kulakukan? Polisi sudah ....”

Isakan tangis lolos dari putri Ardi saat tak bisa membendung kesedihan, ia hanya memiliki Ardi. Sedangkan ibunya sudah meninggal kala menghadirkan dirinya ke dunia dan mengalami pendarahan.

Akses kesehatan di desanya saat itu belum secanggih saat ini, hanya ada dukun beranak saat membantu proses melahirkan.

“Sudah apa?” tanya Ardi, bingung memikirkan kelanjutan kehidupannya.

“Diacak-acak polisi dan disita untuk dijadikan barang bukti, aku harus bagaimana?” sahut Kamila—putri Ardi dengan pertanyaan.

Pria itu menghela napas sebelum menjawab, tangan terulur dan usapan pun diberikan dipuncak kepala putrinya.

“Lupakan Ayah, kamu harus melanjutkan kehidupan. Tinggal bersama Tante-mu, Nak. Dia akan jaga kamu untuk ayah,” kata Ardi diakhiri senyum getir putrinya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Enggak Yah! Ayah harus bebas, temani Kamila,” ucapnya dengan tangisan yang akhirnya pecah.

Seorang pria berseragam lengkap melihat ayah dan anak berwajah sendu serta tertekan dari ambang pintu yang terbuka, beliau menyeringai.

“Boleh juga,” desisnya dengan air liur yang rasanya ingin menetes saat pikiran liar itu hadir melihat kemolekan tubuh dan paras cantik Kamila.

**

Selesai bertemu dan melepas rindu pada ayahnya yang sudah dua minggu menjadi tahanan Polsek setempat, Kamila berjalan keluar gedung kokoh tempat sebuah instansi terhormat. Pria berumur 38 tahun menghalangi langkahnya melalui perintah ke anggota bawahannya.

“Ada penawaran khusus untuk kamu dari Pak Kapolsek, berapa nomor teleponmu?” tanya seseorang yang merupakan anggota kepolisian juga menghampiri Kamila sambil menyodorkan ponsel, “masukkan nomor teleponmu,” pintanya kemudian.

Jantung Kamila bertalu, takut luar biasa. Namun, ia mengenyahkan keraguan yang tiba-tiba hadir. Kamila mengangguk, “Ini,” katanya setelah mengetik nomor di ponsel Nokia 3310 dan menyerahkan pada ajudan Kapolsek.

Malamnya ponsel Kamila berdering, sementara ditemani asisten rumah tangga di rumah dua lantai miliknya sebelum keluarga terdekat datang menjemput, “Halo,” sapanya.

“Saya Kapolsek Indra Sanjaya,” sapanya membuat tangan Kamila gemetar.

Menarik napas dan mengembuskan perlahan, Kamila akhirnya membuka mulut untuk menyapa seseorang dari seberang telepon yang memperkenalkan diri sebagai Kapolsek—Indra Sanjaya.

“I-iya, saya Kamila,” jawabnya gugup luar biasa.

“Kamu putri dari Ardi—Bandar judi dan narkoba yang sudah berhasil saya tangkap sekarang, benar?” tanya dari seberang telepon dengan suara bariton penuh ketegasan.

“I-iya, be-nar,” jawab Kamila semakin gugup.

“Kamu mau ayahmu dibebaskan tanpa syarat?” tanyanya.

Senyum Kamila kini mengembang, bebas? Siapa yang tidak mau seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya dibebaskan, Ayah ... ada harapan, kita bisa berkumpul, Kamila bersorak bahagia dalam hati. Gadis itu terlalu polos saat pria dewasa yang kini menghubunginya memiliki maksud tertentu.

“Mau Pak, mau ... saya mau. Bebaskan Ayah saya,” sahut Kamila antusias.

Dari seberang telepon, Indra tersenyum penuh arti, kena! Gadis itu terlalu polos dan mudah untuk dimanfaatkan, kemolekan tubuh Kamila sudah dalam bayangan pria dewasa itu.

“Temui saya di hotel Mawar dekat dengan taman kota,” pinta Indra kemudian, “malam ini jam 9 malam di kamar 202 lantai 2 dan jangan katakan hal ini pada siapa pun atau tawaran saya akan hangus,” ancamnya.

“Baik, apa pun itu.”

Kamila menuruti apa yang dikatakan Indra, gadis polos itu pun bersiap-siap. Ia melihat bingkai foto dirinya dengan sang Ayah yang tampak bahagia, semua kemewahan diberikan untuk Kamila meskipun dengan usaha haram. Kebahagiaan Ardi adalah putri semata wayangnya.

Kini Kamila sudah rapi dengan celana jeans dan kaos kerah serta jaket yang ia kenakan, mobil ayahnya dijadikan barang bukti. Tersisa  motor legendaris satria 2 tak yang memang bisa ia kendarai sejak masa sekolah hingga sekarang berkuliah di salah satu perguruan tinggi swasta.

“La ... mau ke mana?” sapa seorang pemuda yang tiba-tiba muncul di garasi rumah Kamila.

“Jangan katakan hal ini pada siapa pun atau tawaran saya akan hangus!”

Perkataan penuh tekanan dari Indra berdengung kencang di telinga, pemuda yang merupakan salah satu mahasiswa jurnalis semester 2 bernama Hans mengerutkan kening dan mengibaskan tangan tepat di depan wajah Kamila.

“A-aku ....”

“Ke mana?” tuntut Hans.

“Tugas kuliah, aku sudah mulai kuliah besok dan banyak ketinggalan mata kuliah. Jadi, aku mau menginap di rumah teman,” kilah Kamila akhirnya memiliki alasan lolos dari Hans.

Pemuda yang datang ke rumah dan bermaksud menyemangati Kamila pun hanya mengangguk dan ber-oh ria.

“Aku hanya disuruh Ibu mengantarkan ini padamu, Mbok kan tetanggaan jadi tahu sekarang kamu sendirian di rumah sampai nunggu Tante-mu dari Jakarta sampai, iya ‘kan?”

“Ah iya, benar,” sahut Kamila semakin tak enak, ia mengambil makanan hasil masakan Ibu Hans, “aku bakal memakannya setelah sampai rumah teman, udah dulu ya. Da!” pamit Kamila menaiki motor satria miliknya kemudian meninggalkan halaman rumah.

Hans melajukan motor mengikuti Kamila dari jarak yang cukup jauh saat perasaannya mengatakan ada sesuatu, “Aku hanya memastikan kamu baik-baik aja, La,” katanya terus memperhatikan motor yang dikendarai Kamila.

Kemudian, setelah setengah jam mengikuti gadis yang ia sukai, Hans tersentak kala motor berbelok ke halaman parkir sebuah hotel bintang 4 di daerah itu.

“Apa yang dilakukan Kamila?” tanya Hans dalam hati tetap mengikuti langkah Kamila yang sedang ia amati.

Berlari hingga napas ngos-ngosan, Hans melihat layar lift menunjukkan angka dua. Bergegas ia menaiki tangga darurat hotel itu dengan berlari cepat. Sampai akhirnya ia tiba di lantai dua dan melihat Kamila bersama seorang pria tegak berseragam serba hitam.

Lalu, pintu terbuka menampilkan sosok yang pernah datang ke acara di kampusnya sebagai pembicara.

“Pak Kapolsek,” desis Hans dengan mata melebar sempurna.

Sedangkan, Kamila gugup luar biasa. Dihadapannya ada seorang pria dewasa yang kini tersenyum nakal ke arahnya, menatap lekat dari ujung kaki hingga ujung rambut.

“Ahh! Bisa gila aku ini,” erangnya dalam hati saat melihat tubuh kecil berisi Kamila dengan bagian dada penuh yang sudah tak sabar ia rangkum dengan tangan kekarnya.

“Masuk,” titahnya dengan suara terpendam.

Sedangkan, Kamila mulai gemetar dengan saliva sulit untuk ia telan.

“Tuhan, kuatkan aku.”

 

****

 

Juli 2017


“Atas dasar Keputusan Presiden Nomor 53 dan Nomor 54 Polri tentang pengangkatan Taruna Taruni Akmil dan Akpol menjadi Perwira TNI dan Polri. Acara pelantikan 781 taruna dan taruni yang telah menyelesaikan masa pendidikannya akan dimulai.”

Suara pembawa acara bergaung kencang lewat pengeras suara di sebuah halaman Pancasila Akmil Magelang. Pengucapan sumpah pun di mulai.

“Bahwa saya akan memenuhi kewajiban perwira dengan sebaik-baiknya terhadap bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata inspektur upacara diikuti taruna dan taruni.

Proses upacara berlangsung dengan khidmat, diikuti seluruh kalangan militer sebagai penutupan akhir tahun pelajaran sekolah akademi kepolisian dan sekolah akademi militer.

“Dilara Aysila salah satu Taruni terbaik tahun ini,” terang pembawa acara diikuti nama Taruni lainnya yang juga berprestasi dengan nilai tertinggi dari seluruh daerah. Bukan hanya itu ia adalah Taruni termuda, di umur 5 tahun sudah bersekolah SD dengan kecerdasan di atas rata-rata. Belum lagi, Hans mengikutsertakan kelas akselerasi atau percepatan hingga lulus SMP diusia yang lebih muda.

Dari kejauhan sosok pria penyayang memandang bangga pada salah satu Taruni yang baru dikalungkan medali kelulusan akademi kepolisian, setelah menempuh pendidikan 4 tahun.

“Lihatlah anakmu Kamila ... Dilara Aysila bukan pembawa lara tapi dia putrimu yang akan mengangkat kehormatanmu kembali,” kata Hans dengan mata terpejam saat gelombang ingatan penuh emosi itu kembali hadir, tangannya mengepal hingga buku jari memutih.

Setelah acara selesai, kini sosok putri kebanggaan dengan pakaian dinas upacara menghampiri Hans yang sudah menunggu dengan sebuket bunga.

“Om Hans! Aku berhasil!” serunya bahagia, memeluk Hans dengan suka cita, “Ibu bakal bangga padaku, ‘kan?” katanya dengan suara bergetar menahan tangis bahagia.

“Buktikan pada Ibu kamu bukan anak pembawa lara, jadi orang sukses di kepolisian dan saat itu ibu akan mengakui sebagai putriku.”

Perkataan menyakitkan sekaligus kalimat yang selalu diingat Dilara hingga ia berada di titik saat ini, salah satu Taruni terbaik yang akan mendapatkan tempat khusus dijajaran kepolisian dengan karir cemerlang nantinya.

“Ibumu pasti bangga,” kata Hans mengeratkan pelukan dengan satu tangan mengelus punggung putri yang sudah ia anggap anak kandungnya sendiri.

“Oma juga pasti bangga, benar ‘kan?”

“Ya ... tentu,” sahut Hans dengan rasa kasihan pada gadis cantik yang kini sedang beruforia atas keberhasilannya.

**

Sekarang, seorang wanita yang terlihat dingin tengah menatap kosong ke depan. Wajah terlihat datar, tak ada pun secercah bahagia yang ia rasakan.

Mobil yang membawa putrinya kini berhenti tepat di depan rumah, gadis bertubuh tinggi semampai dengan bentuk tubuh indah melangkah lebar dan senyumnya pun mengembang.

“Ibu!” panggilnya antusias, memperlihatkan medali yang ditunjukkan, “aku berhasil,” katanya mendapatkan anggukan kaku Kamila dengan tangan yang direntangkan, mempersilakan putrinya masuk ke dalam dekapan.

Sesuatu yang jarang diterima oleh Dilara, sikap ibunya begitu abai bahkan nyaris tak pernah menganggapnya ada.

“Selamat putriku,” kata Kamila lirih untuk pertama kalinya pengakuan itu akhirnya lolos dari mulut setelah susah payah ia mengatakannya.

“Kumohon ucapkan lagi dua kata itu, Bu. Katakan juga ini bukanlah mimpi, aku putrimu ‘kan?” Suara Dilara pun terdengar bergetar.

Hans memandang Kamila dengan tatapan penuh arti dan menuntut wanita itu mengakui darah dagingnya untuk pertama kali setelah penolakan dilakukan wanita itu semenjak melahirkan Dilara.

“Dilara putriku, gadis yang akan memberikan lara pada orang-orang yang menyakitiku dan menyembuhkan lara ini,” kata Kamila penuh emosi hingga tangannya berubah sedingin es dengan ingatan 20 tahun lalu yang meruntuhkan dunianya hingga rasanya berhenti berotasi.

“Ibuku ... cintaku ... apa pun akan aku lakukan untukmu,” kata Dilara mengetatkan pelukan dengan obsesi yang kini menjadi bahan bakar mewujudkan mimpinya demi bukti cinta untuk ibunya.

Sementara, Kamila kembali mengingat untuk kesekian ribu kali malam kelam yang sudah ia lalui 20 tahun yang lalu. Inilah saatnya sang putri tahu, pikirnya. Lalu, merenggangkan pelukan.

“Duduk dan akan Ibu ceritakan semuanya, sudah saatnya.”

Kamila memundurkan langkah lebih dulu, terduduk dengan wajah pucat pasi. Hans menggelengkan kepala dengan hati berteriak, “Tidak!”

Kamila memandang Hans, ia tahu tatapan Hans menunjukkan nada protes.

Namun, ia tidak bisa menunda mengatakan semuanya karena satu keyakinan Kamila. Putrinya akan melakukan apa pun untuknya dan menguak kenyataan ini adalah cara memberikan ‘bahan bakar’ untuk putrinya mencapai satu titik di mana bisa menguak tabir kelam dan menghancurkan orang yang sudah menghancurkan hidupnya.

“Kamila ... kamu pikirkan ini baik-baik, tidak! Kumohon demi apa pun jangan lakukan ini, setidaknya sampai--,” pinta Hans yang dinilai pengecut oleh Kamila.

“Sampai kamu memiliki kuat bukti, iya?!” sela Kamila tersulut emosi, sudah cukup ia memendam semua ini sampai 20 tahun. Sekarang saatnya! Tekan Kamila dalam hati, tak akan mundur. Putrinya harus tahu lara yang selama ini ia sembunyikan.

Dilara memandang Hans dan Kamila bergantian, “Apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Dilara, “tolong katakan padaku dengan jujur, Bu. Kumohon,” tuntut Dilara membuat Kamila yakin apa yang akan ia katakan.

“Putriku harus tahu dan menegakkan keadilan jika ia ingin pengakuan menjadi putriku dan mendapatkan cinta seorang Ibu,” tolak Kamila memandang sengit ke arah Hans, “kamu terlalu pe-nge-cut, Hans,” cibirnya pada Hans.

Dilara menatap bergantian dua orang yang kini menyiratkan tatapan penuh luka, amarah dan benci. Satu hal yang diingat betul oleh Dilara saat ia kelas 3 SMA, “Kamu harus membalas semuanya, kamu harus menuruti apa pun yang Ibu katakan. Sekolah setinggi mungkin, jadilah polisi perwira. Satu hal yang harus kamu penuhi kalau mau kuanggap sebagai putriku! Jika tidak, kamu bukanlah putriku.” Kalimat  tegas yang sering diulang oleh Kamila padanya.

Hans diam membeku, ya! Ia akui begitu pengecut 20 tahun yang lalu, tetapi semua ada alasan karena bagaimana pun hukum begitu tebang pilih saat itu. Sementara, keluarganya pun bukanlah kalangan orang berada, hanya keluarga buruh tani. Bukan hanya saat itu hukum tebang pilih, bahkan sampai saat ini.

Sudah menjadi rahasia umum, hukum tumpul ke atas tajam ke bawah. Kenyataan bahwa keadilan di kita ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas bawah dari pada kelas atas.

Kuliah pun karena majikan orang tuanya yang membiayai, argh! Majikan ... satu kata yang kembali meneriaki ia adalah pria Pengecut.

“Dengarkan Ibu, kamu harus tahu semua apa yang terjadi Dilara ....”

Kamila mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai berbicara, sungguh ini adalah hal yang sangat berat untuk ia ungkapkan. Tapi, ia tidak ingin semua orang yang menyakitinya bisa hidup bahagia, ia ingin semuanya berhenti napas saat obsesi dan amarah putrinya akan membakar semua.

“20 tahun yang lalu ....”


****

Permintaan dari Kapolsek Indra Sanjaya dipenuhi oleh Kamila, harapannya begitu besar agar sang Ayah bisa lolos dari jerat hukum dan bisa kembali bersama.

Sesampainya di ambang pintu hotel, perasaan Kamila mulai tak karuan. Ragu, takut bercampur menjadi satu. Namun, lagi-lagi hanya wajah ayahnya dan dekapan hangat ayahnya yang kini dalam ingatan.

“Masuklah, jangan diam saja di situ,” kata Indra dengan suara berat menahan sesuatu dalam diri yang terus memberontak dan semakin terpantik.

Dengan ragu, Kamila melangkah masuk ke kamar hotel. Indra memutar posisi tubuhnya. Ia langsung menutup pintu kamar hotel dan menyisakan ajudannya berjaga di depan kamar.

Klek!

Suara pintu terkunci, semakin membuat Kamila sulit menelan saliva.

“Sebelumnya saya akan menawarkan penawaran yang menggiurkan untukmu gadis cantik,” kata Indra melangkah mendekati tubuh Kamila yang berdiri tegang terlebih saat Indra mulai memegang kedua pundak dengan tersenyum menyeringai.

“Tenang dan duduklah ....”

Indra menuntun tubuh Kamila ke pinggir ranjang, “Apa yang akan beliau tawarkan?” tanyanya dalam hati. Setelah itu, Indra menyentuh kepala gesper lalu melonggarkan dan melepas gesper serta membuangnya ke sembarang arah saat rasanya sudah begitu mendesak untuk pria dewasa itu.

Kamila menundukkan wajah, memandang ke arah lantai, “Hei lihat saya,” kata Indra menarik dagu Kamila hingga mereka saling memandang dan tatapan buas itu semakin berkilat.

 

~Bersambung~



 

Alur maju mundur….

Selamat membaca

 

Note : program pendidikan akselerasi atau program percepatan untuk generasi cerdas dihapuskan mulai tahun ajaran 2015-2016. Penghapusan ini terkait dengan diberlakukannya Kurikulum 2013, contoh artis yang mengikuti program akselerasi Agnes Mo, Alyssa Soebandono 
Kode 10-23 = Stand by 
TKP = TEMPAT KEJADIAN PERKARA
Randu = Dimengerti
3-0-3 = Perjudian

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Drama Cinta Polisi 2
15
13
Spoiler:   “Demi Ayah, demi Ayah, demi Ayah,” gaungnya dalam hati tanpa paham apa yang akan terjadi padanya di malam kelabu ini. Indra menatap lapar tubuh Kamila, “Santai, kita baru akan memulai,” katanya dengan napas memburu. ** Baca part 1 secara free di kategori judul….https://karyakarsa.com/Lisfi/the-crazy-obsession-1  Happy reading ❤️ **“Kamila, benar ‘kan?” tanyanya diangguki Kamila tanpa mengeluarkan suara, gugup luar biasa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan