
Bab 01 dan 02
BAB 01
Brak!
Suara pintu terbuka mengejutkan Naya dan Aga. Tiga pemuda yang tadi sudah pergi malah datang kembali. Salah seorang dari mereka memegang ponsel dan mengarahkan pada Naya dan Aga.
"Wow wow wow! Malam ini kita lagi grebek pasangan m*sum nih!"
Mata Naya menyipit ketika lampu blitz mengarah padanya. Ia langsung menutup wajah dengan tangan karena tahu sedang direkam.
"Astaghfirullahaladzim! Anak muda zaman sekarang sampai seperti ini!" Dua orang pria baru muncul dan juga merekam.
Kamera dengan sengaja mendekat dan mengincar wajah Naya. Aga langsung melindungi dan menyuruh Naya menunduk.
Sebisa mungkin Naya menghindari kamera. Sedangkan Aga berusaha merebut ponsel di tangan pemuda itu sambil menutupi wajah dengan lengannya.
"Waaah, pelaku m*sum ini sengaja menghindar, Gais!"
Suara-suara itu semakin membuat gerah Aga. Melihat Naya aman, Aga mengejar pemuda yang tidak berhenti merekam tapi segera dilindungi oleh dua pemuda lainnya.
"Aku harus melakukan ini untuk melindungi diri sendiri. Aku nggak bisa percaya padamu. Video itu akan kusimpan. Jika nanti kau mengingkari kesepakatan kita sebelumnya, aku akan sebarkan video ini," ancam salah seorang yang baru selesai merekam.
“Loh! Ini buat cadangan, toh? Aku malah bikin buat live!” seru perekam yang lain.
Pengakuan pemuda itu membuat kaget semua orang di ruangan tersebut.
"G*bl*k! Siapa yang suruh!" sentak pria paling tua di sana.
Aga sudah tidak bisa menahan diri. Ia layangkan tinjuan keras pada pemuda yang berada tepat di hadapannya. Pemuda lain membalaskan pukulan, tapi dengan mudah ditangkis.
Untuk beberapa beberapa pria itu beradu kekuatan dengan Aga. Tidak butuh waktu lama untuk Aga melumpuhkan mereka. Sebagian sudah tersungkur dan sebagian lagi memilih kabur.
"Urusan kita tidak sampai di sini. Kalian tidak akan bisa melarikan diri dariku." Aga mengambil ponsel yang dibuat untuk merekam tadi kemudian mengajak Naya keluar dari bangunan kosong itu.
Karena sebelumnya mereka datang ke tempat itu untuk menolong nenek tua yang dipekerjakan paksa oleh cucu-cucunya, jadi sebelum pergi Aga membawa nenek tersebut bersamanya.
Naya yang datang dengan membawa motor, ingin pulang sendiri tetapi Aga mencegahnya.
“Kamu pulang denganku!” seru Aga sambil membuka pintu depan mobil.
“Aku pulang sendiri, Mas. Motorku—”
"Jangan buang-buang waktu! letakkan kunci motornya di sana. Nanti ada orang yang akan bawa motormu."
"Nggak—"
"Jangan salahkan aku jika tangan ini menyentuhmu!" pangkas Aga membuat Naya masuk ke mobil.
***
Sudah kesekian kali Naya menoleh ke bangku belakang untuk memastikan keadaan nenek yang bersamanya baik-baik saja. Selama perjalan tidak ada percakapan sama sekali di dalam mobil sampai mereka tiba di depan pintu lobi sebuah klinik.
Tanpa banyak kata, Aga turun mengambil sebuah kursi roda dan membawa nenek masuk ke UGD. Seorang perawat menghampiri dan menunjukkan tempat di mana Nenek akan mendapat perawatan.
"Tolong lakukan medical check up," pinta Aga pada perawat yang menangani Nenek lalu berganti menunjuk Naya. "Pinggang di bagian kanannya terluka. Tolong beri dia perawatan," imbuh pria tersebut.
Naya memegang bagian pinggangnya. Ia hampir melupakan perih di sana. "Ini hanya goresan. Tidak perlu pengobatan serius, Mas."
Aga mengabaikan celotehannya dan pergi ke sisi lain ruangan. Dia melakukan panggilan telepon pada seseorang.
"Aku cuma mau memastikan dugaanku benar, tapi sayangnya ada cewek ceroboh yang merusak rencanaku!"
Naya bersengut ketika pria itu meliriknya.
"Sebisa mungkin bantu aku membatasi penyebaran video itu. Dari riwayatnya, cukup banyak orang yang melihat. Pastikan tidak sampai meluas."
Karena penasaran dan belum mendapat giliran, Naya menghampiri Aga yang terlihat sedang memutar ulang video.
Matanya membulat karena dalam awal rekaman itu terlihat dirinya yang baru akan memasang hijab yang sebelumnya dilepas paksa oleh pria-pria tidak bertanggung jawab tadi. Ia khawatir jika video itu bisa disalah artikan dan menjadi fitnah.
“Jangan khawatir … teman-temanku akan mengatasi ini.”
Sayangnya Naya tidak bisa percaya begitu saja tetapi juga berharap jika pria tersebut punya kenalan orang hebat yang bisa mencegah penyebaran video tadi.
"Aku akan antar kamu pulang setelah dapat perawatan. Nenek tadi akan di sini. Jangan khawatirkan dia." Aga beranjak pergi.
"Kalau Mas punya jabatan, harusnya Mas bantu nenek itu lebih awal biar tidak sampai terjadi hal seperti ini. Kasihan orang-orang lemah itu, Mas. Coba bayangin kalau Mas ada di posisi mereka—"
Mulut Naya terkatup seiring dengan berhentinya langkah Aga. Ia bergidik ketika pria itu membalikkan badan dan memberi tatapan tajam.
"Berhentilah bicara. Aku lebih tahu darimu bagaimana berada di posisi dia!"
Naya menurut. Tidak berani melayangkan protes lagi. Ia kembali ke kursi dan menunggu gilirannya dipanggil.
Setelah pinggangnya mendapat perawatan, ia pulang bersama Aga. Pria itu sedari tadi sibuk berkomunikasi dengan orang di telepon. Tetapi saat perjalanan pulang pria itu diam seribu bahasa.
"Mas hafal daerah sini?" tanya Naya saat mereka tiba di komplek perumahan.
"Keponakan Papaku, istri dari cucu yang punya pesantren itu," jawab Aga sambil menatap pesantren yang ada di seberang pintu masuk komplek.
"Mas Sepupunya Mbak Sora? Istrinya Mas Almeer?" Aga menoleh ketika Naya menyebut nama sepupunya. "Mas Almeer itu salah satu murid Abiku, Mas. Kami jadi saudara karena adiknya Mas Almeer nikah sama kakakku. Mbak Sora juga sering ikut pengajian sama aku di masjid. MasyaAllah, dunia ternyata kecil banget, ya. Ternyata saudaramu orang-orang yang kukenal juga."
"Oh."
Sebuah jawaban yang sama sekali tidak Naya duga. Ia pikir akan tercipta obrolan ketika mereka memiliki kenalan yang sama, tapi nyatanya tidak.
"Di mana rumahmu?"
"Lurus, rumah cat ungu, sebelah kiri!" ujarnya kesal.
Aga menghentikan mobil di depan rumah yang sesuai dengan penjelasan Naya. Ia melepas sabuk pengaman dan hendak keluar.
"Mas mau ke mana?" sergah Naya.
"Aku harus menjelaskan situasi yang kita alami pada kedua orang tuamu."
"Jangan!"
Aga diam menunggu penjelasan.
"Jangan keluar dari mobil ini. Aku yang akan menjelaskan sendiri pada orang tuaku."
Aga masih diam.
"Kita tidak boleh terlihat bersama."
"Kamu harus jelaskan secara detail pada mereka. Jika bukti sudah terkumpul, aku akan mengirimkan padamu."
Naya meremas roknya yang basah. Jujur, ia sangat takut video tadi tersebar luas dan disalah artikan. Terlebih lagi, jika itu akan menyebar pada calon mertuanya.
Hubungannya dengan Kahfi hampir tidak mendapat restu dari kedua orang tua pria tersebut. Naya memang anak seorang ustaz, tetapi keadaan ekonominya sangat jauh di bawah keluarga Kahfi. Hal itulah yang membuat kedua calon mertuanya tidak suka.
Bahkan mereka sempat menjodohkan Kahfi dengan Haura, sahabat Naya. Beruntung Kahfi tidak mau dan tetap ingin menikahi Naya.
"Apa semua akan baik-baik saja, Mas?" tanya Naya.
-Bersambung-
BAB 02
"Astaghfirullah, Naya!" Mutia berteriak histeris dan langsung memeluk Naya usai mendengarkan cerita singkat putrinya. "Kenapa kamu senekat itu, Nduk?"
"Abi tahu maksud kamu baik, Nduk. Tapi tindakanmu ini sangat ceroboh. Untuk Allah beri kamu perlindungan," imbuh Mahmudi.
"Nggak apa, Nduk. Nggak apa. Kamu sudah aman, kamu sudah sama Abi dan Ummi. Kamu selamat, kamu sehat." Mutia semakin erat memeluk dan menciumi ujung kepala putrinya.
Mendengar itu membuat tangis Naya tumpah, sudah tidak bisa lagi berbohong jika dia baik-baik saja dan terlihat tegar.
Sangat takut, itulah perasaannya. Sebab, seorang Zehra Kanaya adalah anak dari pemuka agama di lingkungan tempat tingalnya. Jika video tadi tersebar, akan jadi fitnah dan mencelakakan kedua orang tuanya.
Kejadian itu membuat Naya tidak mau keluar rumah. Bahkan sengaja izin dari pesantren untuk tidak mengajar dengan dalih sakit. Tidak mau bertemu siapapun, tidak mau membuka ponsel, hanya terus beribadah dan berdoa agar yang ia takutkan tidak terjadi.
Bahkan ketika Haura datang ke rumah, ia tidak berani menemui. Sebab, pria yang bersamanya malam itu ada orang yang didambakan oleh sahabatnya.
***
“Nduk … Ustazah Mira udah nanyain loh kamu kok nggak masuk-masuk. Kasihan Arin, seminggu ini jam ngajarnya jadi full banget karena gantiin kelas kamu juga,” ujar Mutia membujuk Naya yang belum juga mau keluar rumah usai kejadi malam mengerikan itu.
“Sudah seminggu dan nggak ada apa-apa, ‘kan? InsyaAllah semua akan baik-baik saja,” Mahmudi ikut menambah.
Naya juga mulai berpikir, mungkin Aga sudah menyelesaikan urusan ini. Sebab, sampai saat ini hal-hal buruk yang ia takutkan tidak terjadi. Mungkin Aga sudah berhasil mencegah penyebaran video yang sudah melibatkan mereka.
"InsyaAllah lusa juga Kahfi sudah pulang. Masa kamu bakal gini terus?"
Mendengar nama Kahfi membuat Naya menatap Umminya. "Secepat ini, Ummi?"
"Dulu ditunggu-tunggu. Sekarang udah mau datang malah dipertanyakan. Apa mau diundur lagi nikahnya?" goda Mahmudi.
Belum juga Naya akan menanggapi, ia mendengar suara berisik di depan rumah.
"Assalamu'alaikum, Ustaz! Ustazah!"
"Assalamu'alaikum, Ustaz Mahmudi!"
Salam diiringi ketukan pintu yang memburu membuat Naya dan kedua orang tuanya kaget. Ini sudah terlalu larut untuk seseorang bertamu, apalagi dengan cara yang kurang sopan.
Karena tahu siapa pemilik suara itu, Naya mengikuti Abi dan Umminya keluar. Itu Ismi dan Irsyad, calon mertua Naya.
"Wa'alaikumsalam," sahut Mahmudi seraya membuka pintu ruang tamu, "Eeh ... Pak Haji Irsyad, Bu Hajah Ismi. Kok tumben—"
“Naya! Kamu kenal laki-laki ini?” sergah Ismi menunjukkan foto pria yang Naya kenali.
Dengan kaku Naya mengangguk. “Ini Mas Aga, dia satpam di salah satu perumahan, Umi. Tapi kami hanya—”
Kalimat Naya terpangkas ketika wanita setengah baya berhijab instan itu menarik kembali ponselnya. Mengutak-atik sesuatu lalu menunjukka pada Mahmudi.
"Pak Ustaz! Anda tahu ini?"
Terputarlah sebuah video yang sangat Naya takutkan beredar.
"Bisa-bisanya kamu mengkhianati Kahfi, Nay! Dengan satpam pula! Apa ini hasil belajarmu di Qatar? Sekolah di perguruan tinggi milik Amerika, titisan budaya barat! Jadi gaya hidupmu sekarang seperti mereka!"
Amukan Ismi membuat Naya melepas ketakutannya dengan uraian air mata. Ia memegang tangan calon ibu mertuanya itu tetapi ditepis kasar.
"Bikin malu kamu, Nay!" sentak Ismi. "Katanya wanita terpelajar dan berprestasi. Berprestasi apa? Jadi pezina?"
Naya menggeleng, "Nay nggak seperti itu, Ummi. Itu fitnah! Nay sama Mas Aga cuma mau bantu bebasin nenek tua yang dipaksa ngemis. Itu yang merekam cucunya. Mereka ngelakuin itu karena—"
"Apa buktinya?" Irsyad memangkas penjelasan Naya. "Semuanya ucapanmu akan percuma kalau nggak pakai bukti, Nay."
"Sudahlah, Bi. Ada bukti pun Ummi sudah nggak sudi terima dia jadi mantu. Bikin malu keluarga saja! Lagian Kahfi bodoh banget. Dijodohin sama Haura yang calon dokter, malah pilih tukang jahit nggak jelas kayak gini!"
"Ummi!" Naya menarik tangan Ismi dan berlutut pada calon mertuanya, "Nay tidak melakukan apapun yang dilarang agama. Nay hanya terjebak di ruangan yang sama," tuturnya dengan uraian air mata.
"Nduk ... sudah, Nduk!" Mahmudi menarik tubuh putrinya. "Nggak perlu sampai seperti ini."
"Nay akan cari buktinya. Nay nggak salah, Ummi! Tolong jangan—"
"Naya!" Mahmudi meninggikan suaranya. Naya lekas menatap Abinya yang terlihat marah. "Masuk ke kamarmu!"
"Abi ...."
"Ummi, tolong bawa Nay masuk ke dalam," pinta Mahmudi pada istrinya.
Ismi menepis kasar tangan Naya kemudian mengambil ponsel dari tangan Mahmudi. "Saya harus berpikir ulang untuk melanjutkan pernikahan Kahfi dan Naya! Putra saya berhak mempunyai istri yang lebih baik."
Wanita itu menatap Naya yang masih coba bertahan meski Mutia mengajak masuk.
"Gimana cara Anda didik anak sampai bisa seperti ini, Ustaz?" cetus Irsyad. “Tugasnya nyeramahin dan ndidik Jemaah pengajian, tapi nggak bisa didik anak sendiri!”
“Ini salah Nay, Pak Haji. Jangan salahkan Abi saya!” Naya yang masih mencoba ikut campur mendapat lirikan Abinya.
“Lagipula pria yang bersama Naya itu kepala security, penjaga keamanan, Pak Haji, Bu Hajjah. Rasa-rasanya nggak mungkin yang jaga keamanan malah bikin kerusuhan. Saya yakin ini hanya fitnah.” Mutia coba memberi penjelas juga.
"Kita akan bicarakan semuanya kalau Kahfi sudah datang! Assalamu'alaikum!" Ismi menutup pembicaraan dan pergi.
"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh," sahut Mahmudi.
Pria paruh baya yang belum memiliki uban di rambutnya itu menutup pintu sambil beberapa kali beristighfar.
"Nay akan buktikan fitnah ini, Abi. Nay nggak mau ini dijadikan alasan Ummi Ismi untuk menolak, Nay."
"Sekalipun tanpa bukti, Kahfi akan percaya padamu, Nduk," ujar Mutia menenangkan.
"Serahkan sama Allah, Nduk. Jangan terlalu takut kehilangan makhluknya."
Mahmudi menggenggam tangan putrinya. "Abi mau ingatkan ulang bagaimana tanda-tanda jodoh dari Allah. Pertama, dia akan menerima kekurangan kamu saat ini dan akan menutupi kekuranganmu kelak dengan kelebihan dia."
Naya menatap Abinya.
"Kedua ... orang tua mudah memberikan restu."
"Abi ...." Naya memejamkan matanya dan mencengkram tangan Abinya erat-erat.
"Ketiga ... jarak antara ta'aruf, khitbah dan akad itu hanya sebentar." Mahmudi menangkup pipi putrinya. "Abi ini nggak mau mendahului Allah, Nduk. Abi hanya mengingatkan kamu agar tidak berlebihan mencintai makhluknya."
"Kembalikan semua ke Allah, Nduk," imbuh Ustadzah Mutia. "Allah akan menyatukan hambanya yang berjodoh meski rintangannya terlihat tidak masuk akal."
Naya semakin erat memeluk Umminya. Air matanya semakin berdesakan, berbondong-bondong ingin meluapkan segala resah dan ketakutan. Ia takut jika pernikahannya dengan Kahfi akan benar-benar batal.
Malam itu juga Naya mencoba mengirim pesan pada pria bernama Mikail Tyaga. Mencoba meminta bantuan atas apa yang pernah dijanjikan pria tersebut.
Naya bersyukur mendapat angin segar dari Aga. Pria itu sudah menemukan bukti-buktinya.
-Bersambung-
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
