Play Pretend [Bab 01-02]

396
21
Deskripsi

Blurb

Serena Junia mengalami kesulitan ekonomi, dia menolak dikatakan bangkrut. Karena yang pertama, harta yang habis itu bukanlah hartanya, melainkan harta kedua orang tuanya. Yang kedua, dia masih punya pekerjaan, dan total utang bank masih mampu ditutupi oleh gaji bulanannya. 

Dengan gengsi yang masih bercokol di dada Serena, dia yakin bisa menemukan solusi untuk hidup ke depannya. Jika saja, keluarganya tidak membuat segalanya semakin buntu. Mama dan Kakaknya sama sekali tidak bisa lepas dari...

Bab 1

“Serena ngutang sama gue.”

“Serius lo mbak?” 

“Iyaa…”

Dari dalam bilik toilet tubuh Serena Junia langsung berubah kaku. Dia mengenali suara itu. Mbak Dara dan Celine, rekan kerjanya. Jantung Serena berdetak begitu cepat, memajukan telinganya ke pintu. Siapa yang dibicarakan mereka? Sepertinya 90% adalah…

“Jadi gosip keluarganya bangkrut itu beneran ya?”

“Rumahnya udah jelas-jelas disita, lewat deh sana di jalanan depan rumahnya ada plang gede.”  

Sial! Seketika wajah Serena memerah. Keyakinanya naik 100%. Dialah orang yang digosipkan itu. 

Seluruh organ tubuh Serena terasa mendidih, keadaan ini sangat familier. Tetapi bedanya, dulu bukan karena masalah ekonomi, dulu teman sekolahnya selalu mempermasalahkan apapun yang dilakukan Serena, mengomentari fisiknya, wajah, tinggi badan, warna kulit, yang selalu dibandingkan dengan yang jauh lebih cantik—padahal Serena tahu mereka hanya iri karena tidak ingin mengakui jika Serena memang cantik—jadi apa pun prestasi yang coba ditunjukkan oleh Serena tak akan ada gunanya karena semua orang hanya akan menggunjing dan membanding-bandingkannya dengan orang lain secara terang-terangan hanya untuk menjatuhkan mentalnya. 

Kata siapa orang cantik bebas bully-an?? Serena wants to say it oud loud, tapi percuma saja, beberapa—bahkan banyak teman sekolahnya tetap membencinya entah untuk alasan apa pun. Hanya karena wajahnya dinilai sombong. Dan Serena membuat ucapan mereka menjadi kenyataan, si cantik yang sok kaya dan sombong. Dan itu menjadi cara bagi Serena untuk bertahan agar tidak ditindas sampai detik ini.

Tapi sekarang dia sudah tidak punya apapun untuk disombongkan. Itulah yang membuat kepala Serena mendidih sejak tadi, dan tak bisa keluar dengan lantang sambil menatap mata rekan kerja yang menggosipkannya di belakang. Tidak ada adegan senyum dengan gaya lalu melempar uang 5 juta yang baru dua hari lalu dipinjamnya.

Selama 24 tahun hidupnya, baru kali ini Serena berhutang. Lagipula dia sudah mengatakan dengan jelas kepada Mbak Dara mengapa dia harus berutang, dan janji akan membayarnya gajian bulan ini. Serena harus melunasi cicilan mobil mewah Mamanya—yang tahun lalu baru dibeli, karena ngotot mau mengganti mobil lamanya yang sudah nggak up-to-date demi gaya di depan teman arisannya—dan Serena harus melunasi cicilan yang tinggal tiga bulan lagi agar lebih untung jika dijual, ketimbang over kredit. 

“Dia masih tas Gucci loh… kenapa nggak itu aja sih yang dia jual. Kenapa juga harus minjem lo Mbak? Atau jangan-jangan nggak niat bayar. Hati-hati mbak, sulit meninggalkan gaya hedon.” 

Masih dari dalam bilik, bola mata Serena seperti berlarian keluar. Gigi-giginya bergesekan geram. Batin Serena memaki-maki. Itu tas pemberian Brian yang sampai detik ini masih jadi kekasihnya. Mana mungkin dia jual! Kalau sudah jadi mantan boleh jual-jual.

Serena menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, takut kelepasan berteriak. Kenapa nasibnya bisa begini…

Ya, semua ini bermula dari kematian Papanya setahun yang lalu. Papa Serena meninggal karena sakit, bukan karena hal-hal yang mengenaskan, namun kabar yang dibawa oleh pengacara Papanya-lah yang membuat nasib Serena berubah mengenaskan.

Bukan pengumuman pembagian warisan, pengacara Papanya justru membeberkan fakta bahwa ada sejumlah utang—banyak, sangat banyak—yang harus dibayarkan.

Selama hidupnya Serena tahu Papanya adalah orang yang jujur dan pintar berbisnis, Papanya mempunyai bengkel besar dan bisnis jual beli mobil yang sangat lancar, belum lagi jual beli rumah yang belakangan dirambah oleh Papanya. Serena sama sekali tak percaya Papanya bisa mempunyai utang begitu besar di bank. Serena menuntut pengacara mengatakan sejujurnya, Kakaknya melarang Serena membuat onar, yang ujungnya Serena dan Kakaknya malah terlibat adu mulut.

Sambil menangis  tersedu-sedu akhirnya Mamanya mengakui jika Papa mereka mengambil langkah meminjam uang di bank untuk modal usaha, sebab, Mamanya tertipu investasi bodong hingga puluhan miliar. 

Pada detik itu kaki Serena terasa lemas, sementara tangannya terkepal ingin menghantam sesuatu. Dunia berputar, itu real. Dan Serena kesulitan untuk tetap berpijak pada porosnya agar tidak tumbang. 

“Tapi Papa janji akan cari jalan keluar,” kata Mamanya waktu itu yang langsung membuat Serena pitam. “Umur nggak ada yang tahu, sebelum Papa bisa melunasi utang, Papa udah berpulang—"

“Itu kesalahan Mama! Mama yang tertipu. Kenapa Papa yang harus bertanggung jawab??” Emosi Serena tercampur aduk. Satu kalimat lain, maka tombol dalam dirinya sudah pasti tertekan dan bom itu meledak.

“Ya tentu aja karena Papa kepala keluarga. Lagipula Mama ngelakuin itu juga pengin menambah harta kekayaan kita kok. Ya mana Mama tahu bakal kena tipu, Sayang…” Mama kembali memainkan akting memelasnya, membuat Serena sulit berkata-kata meski kepalanya terasa meledak-ledak.

“Seumur hidup Papa kalian selalu mencintai Mama, jadi Papa percaya semua yang Mama lakukan ya untuk keluarga kita. Jadi Papa janji bantu Mama bereskan semuanya.” 

Bangsat! Serena langsung angkat kaki agar tidak terjadi pertikaian tolol, melihat Mamanya masih mengungkit-ungkit romansa bodoh seperti itu. Padahal kala itu mereka harus merelakan dua rumah dan beberapa aset tanah untuk menutupi utang bank.

Belum juga pulih dari rasa sakit hati karena ulah Mama. 

Serena merasa roda hidup benar-benar mempermainkannya, karena tiga bulan yang lalu Kakak dan abang iparnya justru jatuh ke lubang yang sama. Teriming-iming dengan bunga jauh lebih tinggi dari deposito bank, ternyata perusahaan koperasi yang kabarnya juga menjaring teman-teman sosialita Regina adalah penipu. Tidak tanggung-tanggung dua belas miliar. Hal yang membuat Serena marah besar, karena Regina mempertaruhkan seluruh harta mereka, dan menjadi lebih gila lagi karena Mamanya, lagi-lagi, yang menyetujui investasi itu. 

Mama dan Kakaknya selalu menggunakan dalih yang sama, ingin melipatkan gandakan harta mereka agar kembali seperti sediakala. 

Dan sampai saat ini belum tahu hasil perkembangan selanjutnya, belum ada yang ditahan oleh pihak kepolisian, Serena skeptis uang itu akan kembali seratus persen. 

“Udah nggak ada lagi tuh yang sombongin diri, bilang kerja di sini dengan alasan ngelamar iseng-iseng doang ya?” suara di luar sana kembali terdengar. 

Batin Serena semakin terbakar, kepalanya semakin pusing karena tak menemukan cara yang tepat untuk menyalurkan emosinya. Tapi yang digosipkan itu kenyataan! Serena melamar pekerjaan untuk menyindir Kakaknya, yang sekalipun lulusan S2 tetap tidak ingin susah-susah bekerja menjadi karyawan—dengan angan-angan membangun perusahaan yang sampai sekarang tidak kesampaian.

Serena juga cukup kaget karena perjalanannya mendapatkan pekerjaan menjadi frontliner di sebuah bank terbesar di Indonesia dan ditempatkan di kantor pusat, ternyata berjalan begitu mulus. Saat itu Serena berhasil membuat Regina iri setengah mati, lalu Kakaknya itu mengoloknya sebab gaji di bank tidak akan sebanding dengan penghasilan sebagai pengusaha, bukan Serena namanya jika tak membalas cibiran kakaknya, Serena menertawakan komentar kakaknya dan membalas jika usaha yang ada saat itu adalah usaha milik Papanya, Regina cuma datang sesekali sambil ongkang-ongkang kaki!

Tetapi sekarang, pekerjaan yang didapatkan Serena secara ketidaksengajaan menjadi satu-satunya harapan Serena untuk menyambung hidup.

“Tuh makanya jangan berlagak. Diatas langit masih ada langit cuyy…”

Lutut Serena bergetar begitu nyata, dan ujung heelsnya sudah gatal ingin menendang pintu.

Lihat saja, begitu pulang kerja, Serena pastikan akan menuntut Mamanya menjual mobil dan membayar hutangnya besok pagi!

Selama 24 tahun hidup Serena rasanya baru kali ini dia benar-benar menahan diri dalam keadaan yang melemahkannya, padahal sejak tadi darahnya sudah mendidih. 

Lagipula apa yang salah dengan berhutang? Yang terpenting dia akan membayar sesuai waktu yang dijanjikan, kan?? Bahkan teman-teman sepermainannya dulu sering berhutang padanya yang kebanyakan melupakan hutang mereka begitu saja. Lalu kenapa sekalinya Serena berhutang malah begini!

Serena mencakar-cakarkan tangannya ke udara. Dia sangat ingin sekali berteriak!!

 

***

 

Serena terus saja mendumal sepanjang langkah melewati lobi hotel menuju lift, pasalnya, grup chat yang berisi teman nongkrongnya terus-menerut me-mention namanya, berharap dia muncul di obrolan. Beruntung Serena telah mengubah setelan Whatsapp-nya jadi mereka tidak akan tahu jika pesan ini sudah terbaca oleh Serena.

Dan mengapa tidak ada satupun yang menyinggung tentang kebangkrutan keluarganya. Atau jangan-jangan mereka sengaja mendesak Serena jalan untuk memastikan hal itu dari mulutnya sendiri? Untuk memastikan seberapa menyedihkan kehidupan Serena sekarang?

Hah! Serena tak mampu lagi berpikiran positif kepada orang lain. Ditambah dengan kejadian hari ini. 

Serena menekan bel kamar yang sudah ditempatinya dan sang Mama dua hari ini. Besok harus jadi hari terakhir, karena Serena sudah tidak punya uang lagi, mobil Mamanya harus sudah terjual dan Serena harus mencari kontrakan atau sewa apartemen.

Pintu terbuka, dan wajah Kakaknya yang berada tepat di depannya membuat Serena melotot.

“Ngapain lo di sini?”

“Tuh! Mama liat kan? Sejak nggak ada Papa mulutnya beneran kurang ajar. Apa salahnya kalau gue liat Mama sendiri??”

Cerocosannya bahkan lebih panjang dari Serena. Regina adalah versi dua kali lipat Mama alias monster. Manipulatif dan sangat pandai membuat orang lain menjadi di pihak bersalah. 

“Ya gue curiga aja kalau lo tiba-tiba nongol, sahut Serena bertepatan dengan pintu yang tertutup. Lo bikin masalah lagi?”

Regina berjengit membeliakkan matanya. Dahi Serena langsung berkerut dengan mata menyorot marah ke arah kantung belanjaan, yang meskipun hanya dua tapi Serena tahu itu bermerk. 

“Lo punya duit belanja-belanja?!”

“Gue beli sepatu sama kemeja buat suami gue, kenapa? Salah??”

“Duit dari mana?” potong Serena langsung, memojokkan.

Regina mengalihkan bola matanya sesaat, membuat Serena semakin curiga. 

“Ma, Mama temenin dia belanja kan? Dia dapat duit dari mana?”

Kali itu Serena menangkap sikap Mamanya juga mulai aneh. 

“Mama…”

“Jual mobil,” sambung Regina.

“Dan udah dapat mobil baru kok Sayang… tenang aja, besok segala urusan mobil baru selesai.”

Napas Serena langsung tersendat. “Mobil apa?”

“Ya second, kalau baru nggak akan cukup uangnya, Sayang—”

“Tunggu! Berapa total uang Mama beli mobil gantinya? Mobil lama Mama hampir 1M.”

“Tepatnya jadi 2 mobil.” Regina menjawab. “Mas Indra juga butuh mobil buat cari kerjaan.”

“Apa?!! Ma!” protes Serena dengan mata memanas karena terlalu marah. “Lo—” ucapan Serena menggantung di udara, tangannya menangkap lengan Regina dan menariknya. “Lo hasut Mama. Terus menerus! Suami lo bisa minta ke ortunya, ke keluarganya! Nggak usah tambah ngebebanin keluarga kita!”

“Gina! Rena! Udah dong sayang… jangan ribut mulu. Mama pusing! Harusnya di saat begini kita bersatu bikin harta kita balik lagi.”

“Mama nggak perlu belain dia terus!”

Mama berusaha menarik tangan Serena dari lengan Regina. Air mata menitik di sudut mata Serena dan segera dihapusnya, dia tidak sudi terlihat sedih di depan Regina. 

“Lo kenapa sih?!” pekik Regina gantian. “Lo kira gue nggak ada usaha buat keluarga kita? Lo aja yang berlebihan! Gue nekat investasi juga biar harta keluarga kita balik.”

“Dan kenyataannya lo bikin tempat tinggal kita satu-satunya ikut hilang!”

“Toh itu juga bukan harta lo kan?? Itu semua punya Papa! Lo nggak punya sumbangsih apa-apa ya! Nggak usah sok berlagak.”

“Tapi gue masih berhak dapat warisan. Dan sekarang mana? Bagian gue mana? Mana?!! Sanggup lo kasih bagian gue??”

“Sabar dong! Pengadilan juga masih proses. Mas Indra juga bakal dapet kerjaan secepatnya!”

Serena berdecih sembari menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak perlu cari kerja, coba cari tahu aja investasi bodong mana lagi yang tawarin bunga besar! Mungkin sampai seratus persen, terus lo jual tuh mobil.”

Wajah Regina semerah tomat. 

“Udah dong… Mama capek…”

Serena langsung membalik badan. “Kalau Mama capek liat Serena, Mama ikut tinggal bareng dia aja.”

“Gina nyewa di apartemen tipe studio Na… Mama nggak mau dong… tidur tanpa-tanpa sekat gitu…”

Mamanya yang super drama queen kembali beraksi. Di saat sulit seperti ini Mamanya tidak juga berubah, dilahirkan sebagai anak tunggal dan mendapatkan apa yang dia mau sejak kecil, Serena dipaksa menjadi lebih dewasa daripada Mamanya. Dan ini membuat Serena teramat lelah.

“Lo. Keluar,” gumam Serena dengan sisa-sisa kekuatannya. “Sebelum gue jambak-jambak rambut lo, mending lo menghilang dari pandangan gue.”

Regina memutar bola matanya, pernah merasakan dijambak adiknya sendiri membuatnya langsung mengambil barang-barangnya, dan menggerutu sambil berjalan keluar.

Serena terduduk di pinggir ranjang, mengontrol napasnya sejenak. 

“Terus mana uangnya?”

Mamanya mendongak menatap polos, “Uang apa?”

“Sisa hasil jual mobil Mama… ke mana? Nggak mungkin semua buat dibelikan mobil lagi kan? Pasti masih ada sisanya kan, Ma?”

“Sayang… oh iya, itu Mama juga beli spageti kesukaan kamu,” sahut Mamanya mengalihkan topik. 

“Ada kan, Ma… Mana? Serena butuh buat bayar uang temen.”

“Ya buat bayar makan.”

“Berapa sih bayar makan? Memang sampe habis puluhan juta? Nggak kan??”

Dahi Serena berkerut melihat wajah panik Mamanya. Serena mengendus sesuatu yang tak beres di sini. Bodoh. Jika Regina belanja, Mamanya mana mungkin tahan diam saja tanpa membeli apa pun.  

Dengan langkah lebar dengan kepala berapi-api Serena menuju lemari. Tangannya dengan kasar membentangkan lemari hotel. Napasnya menderu keras berkejar-kejaran, melihat kantong dari brand yang dia sangat kenal, lalu menarik isinya. 

“I-ini… barang sale loh Sayang… jauuuh lebih murah dari koleksi tas-tas Mama yang udah kejual—"

“Mama pikir setelah ini kita mau tinggal di mana?? Dan Mama buang-buang duit cuma beli tas?!” desis Serena penuh geraman.

Mamanya meluruh ke sofa dengan gerak memelas. “Mama harus gimana, Na. Mama harus gimana! Minggu depan Mama ada arisan, mana mungkin Mama pakai tas yang udah jelek itu.” Serena tak habis pikir dengan Mamanya yang malah balas mendrama. “K-kamu beneran nggak ada tabungan lagi, Sayang?”

Saraf Serena seperti tersengat listrik. Masih bisa-bisanya pertanyaan itu terlontar?!

Dengan napas memburu Serena memekik. “Kalau Serena ada uang, Serena nggak mungkin semarah ini Ma! Nggak ada jalan lain. Mama harus jual cincin berlian Mama.”

Entah bagaimana bisa detik itu juga Mamanya mengeluarkan air mata dan menangis meratapi nasibnya. 

“Ini satu-satunya kenangan Papa yang Mama punya, Na… Papamu bekerja keras untuk beli cincin ini biar bisa melamar Mama… Kamu tega kita kehilangan satu-satunya kebanggaan, cinta, dan pengorbanan Papa? Setelah Papa melakukan segalanya untuk kita? Mama nggak bisa Na… Mama harus gimana?? Mama nggak bisa kehilangan cincin ini.” Mamanya terisak. “Ma-Mama janji, setelah arisan tas itu bakal Mama jual lagi.”

Dan ketika dia mau arisan dia akan mencari akal untuk membelinya lagi?? Batin Serena.

Bangsat! Dia sudah sangat lelah hari ini, dan masih saja menghadapai drama keluarga yang tidak berkesudahan? 

Serena bisa memaki siapa saja meraung kepada siapa pun, tetapi dia tidak pernah mampu menghadapi drama sang Mama. Semakin hilang akal dan pusing Serena masuk ke kamar mandi dengan membanting pintu. 

Wajahnya mengeras. Apa boleh buat. Sekalipun Mamanya menangis darah Serena akan mengambil dan menjual cincin itu. 

Serena masih terduduk di toilet tanpa berniat melakukan apa pun. Otaknya buntu. Tanpa uang. Tanpa teman. Tanpa pacar? Oh ya! Serena sampai lupa. 

Serena segera merogoh ponsel di sakunya. Sejauh ini, Serena masih memegang rekor tidak meminta-minta ke pacar terkecuali dikasih, tapi di saat terdesak seperti ini tidak ada pilihan lain. 

Satu-satunya harapan adalah Brian. Meski dia benci mengakui harapan itu. Pria yang selalu mengejar-ngejarnya, dan rela melakukan apa pun untuknya. 

Serena nyaris memekik saat pesan dari Brian ternyata sudah ada di perpesanannya lima menit yang lalu.

 

Brian : Syg, udah pulang?

 

Jantung Serena berpacu ketika langsung mendial nomor kontak Brian. 

“Halo. Um ya, aku udah di rumah.”

“Oh… oke, aku pikir bisa masih di kantor. Mau jemput.”

See… nyawamu belum habis Serena… masih banyak pintu lain. Mendadak Serena ingin bersiul.

“Yang, besok kamu sibuk nggak? Aku mau ajakin makan malam.”

Akhirnyaaa… setelah tumpukan amarah bertubi-tubi, ada yang bisa membuat Serena tersenyum lebar hari ini, setidaknya bisa dipastikan pria yang bersedia melakukan apa pun untuknya. 

Jual mahal atau langsung mengiyakan? Ah, Serena tidak boleh bersikap impulsif, harus bersikap seperti biasa.

“Hm. Kayaknya bisa, ya udah.”

“Oke, besok aku jemput.”

Serena bernapas keras penuh tekad, tidak ada pilihan lain. Ini saatnya dia memainkan taktik, nikahi aku atau tinggalkan aku. 

 

 

===============================================================================

 

Bab 2

 

Brian benar-benar mem-booking tempat di sebuah restoran fine dining. 

Wajah Serena bersinar, sudut bibirnya terangkat. Sepertinya hari ini akan berjalan lancar. Hah, mungkin ini dia, pucuk dicinta ulam tiba!

Ditambah dengan shift dress selutut yang meskipun sudah pernah dia pakai, tapi setidaknya belum pernah dia kenakan di depan Brian, ditambah sapuan make-up tipis, Serena sangat percaya diri dia cantik—sudah pasti. Suasana begitu elegan dan tenang, diiringi alunan piano. Bravo! Ini yang dia tunggu-tunggu. Untung Serena tidak kelepasan menjentikkan jarinya.

Serena makan dengan anggun, senyumnya melekat seperti dibaluri lem. Oh… ini pasti akan jadi pemandangan langka bagi Brian, karena pria itu terus menatapnya. Sebab biasanya, ada saja tingkah Brian yang membuat Serena naik darah. Maklum, bagi Serena pacarnya satu ini memegang rekor menjadi pacar terlemot. Seringkali, Serena harus mengulangi kalimatnya agar si pria berkaca mata ini paham.

Serena mengunyah gigitan steak terakhir, mengelap mulutnya dengan serbet lalu minum dengan elegan. Makanan penutup datang, dan saat itu Brian bergumam.

“Sayang. Um. Eng. Ada yang mau aku bilang.”

Yes! Anak laki-laki bungsu dari pengusaha pertambangan ini akan menjadi miliknya. Serena tak akan pusing besok mau tinggal di mana.

Serena memasang ekspresi pura-pura polos.

“Ya udah ngomong aja. Dari tadi juga aku di sini kok nggak kemana-mana.”

Pria itu tampak gelisah. Serena menahan senyum, Brian pasti berkeringat dingin. Keinginannya untuk melamar Serena pasti sudah direncanakan matang, dan dia begitu gugup karena khawatir Serena akan menolaknya. Yah… meski bukan yang terbaik, tapi Brian is enough untuk membuat Serena bernapas lega dan tidak lagi sakit kepala karena memikirkan cara mendapatkan uang.

“Maaf.”

Dahi Serena sedikit berkerut. Kenapa juga Brian harus memulai dengan kata maaf? 

“Kamu mau bilang apa? Bilang aja…” bisik Serena. “Nggak perlu minta maaf.”

“A-aku—”

“Um. Aku beneran minta maaf.”

Urat leher Serena mulai tegang.

“Memangnya kamu bikin salah apa sih? Ngapain minta maaf??” 

Perasaan Serena mulai tak enak.

“Soalnya, aku—terpaksa memutuskan hubungan kita.” Brian mengatakannya dengan nada tercekik.

Serena tidak berkedip selama beberapa detik. Dan setelah beberapa saat mulai tertawa putus-putus. “Dimana kamu sembunyikan orang-orang? Oh! Atau cincin. Mana cincin! Udah deh nggak usah pake prank-prank segala.”

Mata Serena mencari ke seluruh penjuru, situasi restoran tampak tenang dan santai, berbeda jauh dengan degupan jantungnya.

“S-sayang.”

Sial, kenapa Brian tergagap!

“Iya apa?? Langsung aja, mana cincinnya. Kamu mau suruh pelayan bawa cake? Udah buruan deh.”

Jakun pria itu malah bergerak, dan bibir Serena mulai menipis, dengan mata menyipit tajam. Nadinya berdenyut semakin cepat.

“A-aku nggak ngeprank,” suara itu berupa cicitan. 

Untuk ukuran pria yang selalu memberi perhatian dan penuh kalimat cinta sampai isi kolom perpesanan mereka penuh dengan kata ‘cinta’ ‘sayang’ ‘honey’… rahang Serena menjadi sekeras karang. Pancaran matanya mulai membara. 

“Sayang—"

Don’t talk fucking bullshit,” desis Serena. 

Brian meringis kikuk, matanya mengerjap-erjap, melihat Serena menggenggam garpu dengan sangat erat.

“Sayang…”

Serena menghabiskan oksigen di paru-parunya untuk mendengus muak dengan hebat. Bisa-bisanya dia masih memanggil Sayang setelah minta putus?!! 

Serena menduga Brian sudah mendengar tentang berita kebangkrutan keluarganya, dan yang paling menyebalkan, kemungkinan keluarganya yang menyuruh Brian untuk menjauhi Serena. Lihatlah keringat di dahinya itu, bukankah sangat jelas??

“Katakan dengan sejelas-jelasnya, jangan bikin aku bingung.” 

“Aku—”

“Kenapa?” sebelah alis Serena terangkat tinggi. “Kamu ada masalah dengan keluargamu?” 

Keringat dingin Brian bertambah. “Ya—memang ada, tapi nggak secara langsung.”

“Jadi apa??”

“Ee…”

Errrrr… Serena sudah tidak sabaran, dia bisa nekat menarik kerah kemeja Brian jika pria itu terus ngeng-ngong seperti orang bodoh.

“Aku—terpaksa Na.”

Mungkin ini saatnya Serena meniru penyelesaian masalah ala Mamanya. Bersilat lidah dan seakan korban. Toh di sini dia memang korban kan?? Brian tidak akan bisa membedah isi pikiran dan hatinya, walau Serena punya niatan untuk memanfaatkannya.  

“Kamu ngaku cinta aku, tapi sepertinya kamu lebih pilih keluargamu. Kalau dari awal kamu nggak bisa yakinin keluarga kamu untuk terima kelebihan dan kekurangan aku, seharusnya kamu nggak perlu buang-buang waktuku. Jujur aja, kamu mengusik aku terus, sampai akhirnya aku buka pintu hatiku untuk terima kamu, kamu malah kayak gini?” kalimat yang menutup sengaja dilebih-lebihkan oleh Serena.

“Iya Sayang. Aku juga sangat cinta kamu. Itu nggak akan berubah sampai kapanpun.”

Bola mata Serena berotasi. “Ya terus?? Toh, kamu tetap akan pilih keluargamu kan?”

“Masalahnya di aku Na. Bukan keluargaku.”

Bibir Serena semakin menipis. Dia mengambil minum, dan meneguk tidak sabaran. Sampai kapan pria di hadapannya itu akan terus berputar-putar?? 

“Lalu kita akan di sini sampai restoran tutup, dan aku tetap nggak tahu kenapa kamu tiba-tiba mau kita putus??”

“I-itu karena aku—”

“Apa??”

“Aku hamili anak orang,” ucap Brian sangat cepat.

Serena tercengang. Mulut Serena terbuka begitu lebar hingga mampu menampung puluhan lalat sepertinya. Dia belum juga terlelap tapi sudah mimpi buruk. Ini dimensi dunia lain kan? Akan tetapi ketika Serena mengerjap, Brian masih ada di depannya.

Hamill?? What the f… mata Serena memelotot. Dasar sinting!!

“Aku sangat mencintaimu Sayang… itu tulus, benar-benar dari dalam hatiku. Y-ya, aku nggak tahu gimana bisa kejadian. Kami sama-sama mabuk. Dan… ya… itu.”

Perut Serena bergolak, mau muntah.

Ba-bagaimana Brian bisa melakukannya? Hamili anak orang?? Dan bodohnya Serena malah menuju ke reka adegan proses pembuatan—arghhh… Serena kembali mengambil gelas dan menandaskan isinya, otaknya mulai tidak waras.

Brian segera bergerak menggeser kursinya dan meraih tangan Serena, yang spontan langsung ditarik kembali oleh Serena lalu membuang muka sembari memijat-mijat pelipisnya.

“Na…” sebut Brian lagi. 

“What the—?” 

Brian merundukkan pandangannya. “Aku benar-benar minta maaf. Ini murni kesalahanku.”

Serena membuang napas keras-keras. “Kalau cuma mau minta putus, dan umumin kamu udah tidur sama wanita lain, kamu nggak perlu ajak aku makan di restoran mewah seperti ini!” Serena menggeram.

“Karena—aku takut mungkin ini pengalaman terakhir kita makan malam bersama. Aku ingin memberi kesan. Aku tahu pasti sekarang kamu benci banget sama aku.”

Tentu saja!!

Segala makian tercetus di kepala Serena. Napas kasar yang terembus dari hidungnya serta tatapannya sudah seperti banteng membidik Matador. 

“Kamu mengaku mencintaiku tapi menghamili wanita lain??” desis Serena penuh penekanan.

Nyali Brian mulai ciut. “Y-ya. Dan aku udah mengakui semua kesalahanku.”

Lalu semua selesai gitu aja?! Pekik batin Serena. Adakah momen di hidupnya yang jauh lebih kocak dari ini? 

“Kamu tahu ini bukan keinginanku, Na…” Brian masih memelas dan keras kepala. 

Bibir Serena berkerut semakin geram, sementara matanya seperti punya kekuatan mencincang tubuh Brian.

“Okay! Terus apa??” Serena memunguti isi otaknya yang berserakan. Dia menarik napas dalam dan kepalanya semakin berat. Tapi Serena harus menerapkan prinsip, mengambil keuntungan pada setiap situasi, minimal, bukan dia yang rugi. 

Serena mengulurkan tangannya. “Mana?”

Brian bengong.

“Mana foto cewek itu. Aku mau lihat.”

Brian membuka ponselnya ragu-ragu, mata Serena menyipit karena gerakan tangan Brian cepat di ponselnya. Serena berdecak dalam hati, pria itu kira dia bodoh, pasti dia tengah menghapus chat apa pun di dalamnya.

“I-ini. Sayang.”

Bola mata Serena berputar menarik ponsel dari tangan Brian dan menghunus tatapan semakin jengah. Wanita yang terpampang di layar ponsel Brian full make-up dengan bulu mata palsu anti badai, bibir filler, dagu lancip kayak perosotan, rambut warna tidak jelas. 

“Pas kamu lagi sadar, apa kamu nggak menghindar dari cewek model beginian!”

Bibir Brian terbuka lalu tertutup lagi.

Serena benar-benar ingin mencakar pria ini. Ternyata semua pria sama saja!! 

“Awalnya, aku cuma senang-senang aja, Sayang… Aku nggak mungkin selingkuh dan khianatin kamu Sayang… Tuh. Tuh kamu lihat, masih cantikkan kamu kan?”

Serena memutar bola matanya, apa gunanya lagi Brian mencoba memuji-muji dirinya?? 

“Nikahin aku lebih dulu. Urusan wanita itu kita pikirin sama-sama.”

“Ya?” ulang Brian beralih ke mode lemot.

“Kalau kamu cinta aku, aku harus jadi yang pertama Brian…” geram Serena. “Nikahin aku lebih dulu, baru kamu nikahin dia, dengan syarat, semua keuangan aku yang atur.” Itu cara terbaik. Jika ujungnya bercerai, Serena harus pastikan dia mendapatkan bagian yang lumayan. Atau jika Brian lebih memilih dengan wanita itu, biarkan saja, Serena juga bisa bebas bermain di luar. 

Wajah Brian seperti me-loading sesuatu. 

“I-itu. Gimana bisa.”

“Ya bisa aja! Kalau kamu memang serius sama aku.”

“Tapi—”

Serena spontan menggebrak meja dengan sebelah tangannya, napasnya naik-turun, bagaimana Mamanya bisa bersikap menipulatif seumur hidupnya, sementara Serena baru lima menit saja sudah sangat gerah ingin mengoyak mulut Brian dengan pisau, tinggal iyakan saja apa ide Serena kenapa sih?? Apa susahnya!!

“Seharusnya tidak ada ‘tapi’ lagi!”

“Keluargaku udah bertemu dengan keluarga Maisya. Nggak mungkin jika aku menikahi kamu duluan Na…”

“Bagian mananya yang nggak mungkin? Keluargamu tahu kita pacaran…!”

“Tapi keluargaku tahu, mereka bakal punya cucu. Itu yang diharapkan Mamaku, Na. Kan, kamu nggak mungkin punya anak lebih cepat dari Maisya. Atau…”

“Atau apa?”

“Atau kita juga punya anak dulu?” 

Wajah Serena langsung semerah tomat. Bajingan!

Seketika itu juga cairan wine membasahi wajah Brian. Tak peduli dengan pandangan orang sekitar, Serena berdiri dengan amarah berkumpul di ubun-ubun.

“Na, aku nggak maksud begini. Maksudku—k-kita bilang ke Mama. Kalau kita juga bisa kasih cucu.”

Serena merangsek maju dan menarik lengan kemeja Brian. “Dengan syarat yang kusebutkan tadi?” desis Serena.

Saat Brian mengkeret di kursinya, Serena melepaskan cengkeraman tangannya. 

“Cuma kamu yang aku cinta, Na—"

“Bangun! Jangan mimpi!” pekik Serena. “Aku bisa dapat cowok yang jauh lebih segalanya dari kamu.”

Emosi meledak-ledak dalam diri Serena. Bisa-bisanya Brian mau menjadikannya simpanan?? Cihh… memangnya laki-laki kaya hanya dia di dunia ini!

 

 

***

 

 

“Gimana apa?” balik tanya Serena dengan sorot begitu dingin. 

“Brian udah lamar kamu kan, Sayang?”

Serena melepaskan tawa sinis. Mamanya kebingungan melihat anaknya terus tertawa. Karena bagi Serena kehidupan ini begitu lucu. Kenapa tujuan jahatnya tidak dipermudah, dan kenapa dia harus menanggung kesialan demi kesialan lagi.

“Sukses??” sela Mamanya memegangi tangan Serena dengan mata berbinar.

“Sangat sukses.”

“Oh ya?? Jadi kapan tanggal pernikahannnya? Oh, atau mau pertemuan keluarga dulu? Tenang aja, Mama bakal hubungi teman Mama, dan meminjam rumahnya—”

Serena melepaskan tangan Mamanya sedikit mengentak. “Brian tentu akan menikah. Tapi bukan sama Serena.”

Mamanya melotot. “Maksudnya? Apa sih Sayang? Mama bingung loh…”

“Mama bingung?!” seru Serena. “Aku lebih bingung! Gimana bisa dia hamilin cewek lain! Tampang beneran boleh lugu tapi kelakuan—” Serena mendesis.

Mamanya masih mematung. “Kok bisa???”

Mamanya nyaris terjengkang ke kasur saat melihat anaknya mendadak mengacak-acak rambutnya seperti orang gila. “Mama bisa nggak jangan tanya-tanya dulu!”

Bola mata Mama Serena mengerjap-erjap. “Enggak. Enggak. Mama nggak terima anak kesayangan Mama dihina-hina begini.”

Dengan langkah berapi-api Mamanya mengambil ponsel. 

“Mama mau ngapain??”

“Ya telepon Brian. Gimana bisa dia perlakukan anak Mama kayak gitu!”

“Ya. Ya. Silakan aja marah-marah, tapi dia tetap akan nikah sama wanita lain, dan Mama cuma kebagian malunya aja.”

Mamanya bangkit dengan kobaran api di matanya. “Kamu kok bisa sesantai ini sih, Na!”

“Masih mending aku santai. Ketimbang aku gila?” balas Serena yang lalu mengunci diri di kamar mandi.

Miris. Toilet hotel jadi satu-satunya tempat dia menjernihkan pikiran.  

Uang cuma-cuma sudah melayang untuk membayar ongkos taksi! Pemikiran itu tambah membuat Serena dongkol setengah mati. Dan besok dia sudah harus keluar dari hotel. Tidak ada tambahan waktu karena uangnya tidak akan cukup. 

Ini malam terakhir. Ini harus jadi malam terakhir! Tapi Serena benar-benar tak sanggup bergulat lagi dengan sang Mama disaat otaknya setengah waras seperti sekarang. 

Untuk waktu yang cukup lama Serena duduk dan menyandarkan punggungnya di lantai kamar mandi yang dingin. Tatapannya kosong ke langit-langit. Apa itu benar-benar cara terakhir yang dia punya?

Serena kembali mengacak rambutnya, lalu menggigiti ujung ibu jarinya. Satu nama yang akhir-akhir ini Serena pikirkan. 

Tapi apa mungkin?

Ketika mengingat lagi, Serena menghantukkan kepalanya ke dinding sambil memejam mata. Bisa saja dia tidak mengingat Serena, tapi itu mustahil. Tapi, tidakkah Serena menjilat ludah sendiri? Meski Serena yakin Dee masih menganggapnya teman.

Saat ini Dee sedang menemani Galen—suaminya—study di Inggris. Rumahnya di sini pasti kosong. Semoga. Itu yang ada dipikiran Serena sejak rumahnya disita, tapi hingga detik ini dia belum berani mengontak kembali nomor Dee.

Hubungan pertemanannya dengan Dee menjadi berjarak karena satu dan banyak hal. Meski Serena merasa itu bukan murni kesalahannya, namun Serena juga tidak bisa melibatkan Dee yang begitu introvert dan polos ke dalam lingkup pertemanannya. Terutama karena Dee sangat dijaga ketat oleh Mas-nya.

Terakhir dia bertemu dua tahun yang lalu, saat Dee dipaksa menjadi bridesmaid di pernikahannya. 

Saat itu, sorot mata mengintimidasi dari kakak lelaki Dee masih sama. Serena membenci itu. Memang benar, awal mula Serena berteman dengan Dee dengan maksud dan tujuan tertentu.

Itu semua terjadi karena Galen. Galen yang merupakan mantan pacar Serena, yang jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Dee—teman satu kelas dan satu jurusan Serena. Serena menganggap itu bullshit belaka, namun nyatanya Galen tidak menyerah dan sungguh-sungguh. Dee yang tertutup sangat sukar didekati. Belum lagi tak jarang gadis itu ditemani oleh pengawal. 

Saat itu Serena sedikit iri dan nggak habis pikir, bagaimana bisa ada cewek cantik yang jauh lebih kaya darinya ditaksir oleh si ganteng Galen, mantan pacarnya! Serena sangat penasaran dengan sosok Dee. Saat Galen berjanji akan memberikannya tas branded jika mampu mendekati Dee dan mengorek informasi apa saja tentang wanita itu, Serena menjadi tertantang.

Tidak sulit bagi Serena untuk menjadi dekat dengan Dee. Yang jadi permasalahan, Dee yang susah berteman seperti menjadikan Serena teman terdekatnya. Nurani Serena tergerak saat dia sadar Dee begitu tulus berteman dengannya, sementara Serena masih memendam rasa iri, apalagi dengan berbagai hadiah yang coba Galen titipkan padanya.

Semakin banyak waktu berlalu, Dee mulai menceritakan tentang dirinya, tentang keluarganya, ibunya yang ternyata telah meninggal, dan ayahnya yang membuatnya sangat sakit serta kekecewaan mendalam karena berselingkuh dan menceraikan ibunya demi memilih wanita lain. Saat Dee menceritakannya, entah mengapa Serena merasakan amarah dan kekesalan yang sama. Jadi saat itu Dee hanya hidup dengan Mas-nya yang usianya jauh lebih tua darinya. Yang karena kesibukan Masnya, dia sering ditinggal keluar kota.

Serena mendapati dia senang berteman dengan Dee, Serena mengajak Dee ke tempat-tempat yang tidak pernah dikunjunginya, secara sembunyi-sembunyi dan Dee tentunya berbohong kepada Mas-nya, Galen yang ikut mencari kesempatan mengantar mereka kemanapun mereka ingin pergi. Namun ada satu kejadian dimana mereka ketahuan pulang malam saat mengantar Dee ke rumahnya. 

Di sana terlihat jelas Mas-nya Dee marah besar, meski tidak meledak-ledak di hadapan Serena dan Galen.

Sejak saat itu ada pengawal yang menemani Dee ke manapun. Serena tahu Galen masih sering menghubungi Dee, meski mereka belum jadian. Dan Dee tetap berusaha berteman dengan Serena. 

Namun, Serena tidak bisa—lebih tepatnya tidak mau berteman dengan Dee lagi. Sebab beberapa hari berikutnya, ada seorang pria yang menemuinya—Masnya Dee. Mereka berbicara empat mata, dan Masnya Dee membeberkan fakta tentang circle pertemanan Serena, termasuk tentang Serena yang sering keluar masuk kelab malam. 

Lalu, mengambil kesimpulan dengan tegas. “Kamu pasti tidak dengan niat bagus berteman dengan adik saya. Kamu hanya ingin memanfaatkan adik saya melalui Galen. Saya harap ini pertama dan terakhir kali saya menemuimu untuk urusan Dee. Jadi saya memohon, tolong jangan berteman lagi dengan Dee.”

Saat itu Serena tersulut emosi. Serena menjadi sangat marah karena dikorek-korek tentang kehidupan pribadinya, sementara Serena merasa tidak pernah dan tidak akan menjerumuskan Dee, pria itu hanya melihatnya dari kulit luar, seperti yang biasa dilakukan orang-orang yang tidak mengenal Serena. Ego menguasainya. Orang-orang selalu menudingnya tidak baik. Dan Serena justru menjadi bersikap seperti yang ditudingkan orang-orang. 

“Mas kok tahu sih? Tapi aku belum dapat tas yang dijanjikan Galen.” 

“Saya akan memberikan tas yang kamu inginkan.”

“Um. No… itu bukan tentang apa yang aku inginkan. Tapi apa yang Galen janjikan. Jadi aku akan berhenti berteman dengan Dee saat Galen sudah memberikanku kesepakatan kami.”

Saat itu Serena tidak menunggu Masnya Dee melanjutkan ucapannya, dia pergi dengan gaya congkak-nya. 

Herannya, hanya berselang dua hari kemudian, Galen memberikan tas yang dia janjikan dan mengucapkan kata maaf. Serena menerimanya dengan wajah tertekuk, semua itu pasti karena andil Mas-nya Dee. Kala itu Serena merasa dia juga tidak ingin berurusan dengan orang-orang yang menyudutkannya. Meski hati kecil Serena terasa kehilangan sesuatu.

Yang Serena tahu saat itu, Galen tak berhenti mendekati Dee, entah bagaimana ceritanya mereka bisa tetap bersama dan akhirnya menikah. Serena yakin perjuangan Galen tidaklah mudah. Namun, beberapa kali kesempatan Dee tetap mengirimi Serena pesan, menyapanya meski Serena terang-terangan menjauh, Serena bahkan terus-menerus mengelak jika diajak bertemu.

Ketika akhirnya mereka menikah, Serena memang iri dengan keberuntungan Dee yang mendapatkan pria yang mencintai dan dicintainya, namun di sudut hatinya yang paling dalam, dia ikut berbahagia itu adalah hal yang memang sepatutnya didapatkan Dee, sebagai satu-satunya teman yang tulus dan memanusiakan Serena. 

Serena masih menangkupkan telapak tangannya ke dahi. Masih berpikir keras, apa hanya ini satu-satunya jalan keluar yang dia miliki. Meskipun bukan satu-satunya, namun setiap jalan terasa terjal bagi Serena.

Tapi tidak ada salahnya mencoba, balas sisi batin Serena yang lain, dan jika Dee menolongnya, Serena jamin akan membalas budi dengan setimpal. 

Lantai kamar mandi terasa semakin dingin, dengan napas yang terasa lebih berat dari sebelumnya, Serena keluar untuk mengambil ponselnya, mengindari sang Mama dan kembali mengunci diri di kamar mandi.

Kontak Dee sudah hilang sejak Serena berganti ponsel, Serena mencatat nomornya di buku telepon, dan buku telepon itu pun sudah hilang entah kemana sejak Serena dipaksa mengepak barang dan pergi. Beruntung Dee cukup aktif di sosial media, membagikan kegiatannya di negeri orang. 

Serena menarik napas dan membuangnya entah untuk berapa kali. Dan semakin berkeringat dingin sebab ternyata Dee juga sedang online. 

Dia bahkan hanya perlu bersikap ramah mengirimkan sebaris dua baris pesan. Bukan melawak, tapi kenapa rasanya terlalu sulit. 

Serena menahan napas selama mengetikkan.

Hai, Dee.

Apa kabar?

Dia kemudian menelungkupkan ponselnya ke lutut. Bibir bawah Serena terkulum kuat-kuat. 

Tak berselang lama ponselnya bergetar, jantung Serena nyaris copot saat membalik ponsel cepat-cepat, muncul nomor yang tak dikenalinya.

Serena mengangkat ragu-ragu. 

“H-halo?”

“Oh my god! Na. Rena?”

“I-iya.” 

Hati Serena mencelus, bahkan setelah bertahun berlalu, Dee masih menyimpan nomornya? Masih sebaik ini.

Wajah Serena semakin kecut dengan mata yang mendadak memanas, dia terkesan menghubungi Dee hanya jika ada perlu—meski sebenarnya dia tidak berniat begitu—Dia sungguh sama sekali tidak punya niat buruk ke Dee.

“Apa kabar…? Aku kaget banget kamu DM, sampai langsung cari Galen malah dia bilang aku lebay.”

Serena tertawa kecil. 

“I-iya nih. Udah lama—ya”

“Lama banget… kamu sehat kan?”

Serena lagi-lagi menarik rambutnya. “Hm,” gumamnya serak.

“Ada apa nih, tiba-tiba banget. Mau kasih kabar bahagia ya?”

“Mau nikah, lo?” sambung suara dari belakang.

“Dee, please, kalau ada Galen di situ, lo menyingkir dulu. Gue—ya mau omong masalah wanita.”

Terdengar perdebatan lucu di sana dan tak lama Dee menyahut.

“Udah nih. Aku udah kunci pintu kamar. What happened?” 

“Ceritanya panjang banget. Takutnya malah biaya telepon lo bengkak,” meskipun membayar biaya telepon bukan hal yang sulit bagi pasangan itu.

“Aku bakal dengerin…”

“Um. Enggak. Maksud gue. Ceritanya beneran super panjang. Gue nggak bohong. Intinya, saat ini gue lagi butuh tempat tinggal. Sebulanan aja kok.”

“Kamu kabur dari rumah?”

“Gue berharap bisa jawab gitu sih. Tapi kenyataannya. Gue sama sekali udah nggak punya rumah.”

Selama beberapa detik tak terdengar suara. 

“It’s super long story. Sori, karena hubungin kamu karena aku butuh banget.”

“If I were there, now. Dulu kamu selalu dengerin curhatan aku.” 

Shit! Air mata Serena menitih. “Ntar gue cerita kalau lo balik ke Indo.”

“Okay,” sahut Dee dengan suara berat. “Rumah kami sedang ditempati sepupu Galen. Apartemen juga lagi full sewa. Tapi tenang aja. Kamu bisa tinggal di rumah Mama aku.”

“Itu—rumah udah berapa lama nggak ditempatin?”

“Oh, selalu dihuni banyak orang kok. Maksudnya, ada beberapa pekerja Mas Wisnu di sana.” 

Punggung Serena langsung menegang. “Mas lo tinggal di sana?”

“Nggak kok. Mas Wisnu punya beberapa hewan peliharaan gitu di sana.”

“Oh…”

Hewan? Apa Masnya Dee memulai usaha ternak ikan atau semacamnya? Serena menaikkan alis, paling juga dia pelihara kucing atau anjing. Yang penting Wisnu tidak tinggal di sana. Artinya semua aman terkendali.

“Pokoknya kamu jangan sungkan ya. Aku pasti langsung konfirmasi ke Mas Wisnu setelah ini, kalau kamu mau tinggal di sana. Kamu bebas mau tinggal sampai kapan aja.”

“Kalau gue tinggal di sana lebih dari sebulan, kayaknya gue wajib bayar sewa.”

Dee tertawa, tawa teman akrab yang sudah lama tidak didengar Dee.

“Dan aku jamin bakal balikin lagi uang kamu.”

“Makasih banyak, Dee. Anytime, kalau lo butuh bantuan gue, gue pasti bakal bantu.”

“Harusnya aku yang ngomong gitu… Aku seneng banget bisa ngobrol lagi sama kamu…” seru Dee.

Senyum Serena mengembang, dia juga ingin menyahut dengan nada riang yang sama. Meskipun berpura-pura Serena tidak bisa melakukannya. Dee pasti hidup senang bersama dengan orang yang dicintainya. Sementara dirinya… si single mengenaskan yang ditimpa masalah tak berkesudahan. 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Play Pretend [Bab 03-05]
387
20
Play Pretend Cerita age gap terbaru dari Liarasati ;)Semoga rutin update. ehheheh
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan