Dear Boss, I Quit! [Bab 1 - Bab 5]

22
0
Deskripsi

Jangan bingung ya, ini bab gratis yang udah ada di wattpad, sengaja aku unggah ulang di sini. Soalnya pembaca baru byk yang bingung bab 1-15 mana? Jadi aku unggah di sini juga.

 

Prolog 

“Ya, menikah dengan saya, saja.”

Dunia sepertinya berhenti berputar. Atau aku tadi salah masuk pintu dan sekarang aku berada di alam lain? 

Tapi jika memang begitu mengapa tetap Koko sableng ini yang ada dihadapanku?

Aku benar-benar tak habis pikir. Dia mengatakan sebuah kalimat yang membuatku berhenti mengembuskan napas nyaris sesak napas. Sedangkan dia santai saja, tetap mengecek arus kas dan berbagai bon pembayaran hari ini yang kusodorkan tadi.

Sial banget memang aku, harus terjebak di situasi seperti ini. Nggak ada yang bisa kulakukan selain tetap tenang, meski hatiku rasanya gedek minta ampun.

Biar begini, aku juga pernah memikirkan skenario akan bertemu jodohku secara tidak sengaja di KRL, di mal, di pesawat, atau yang keren di kafe sambil lirik-lirikkan. Dan, ya, aku sadar betul itu mungkin hanya terjadi di drama.

Tapi seenggaknya bukan dilamar pria seperti deal-dealan ke klien kayak begini dong! 

“Kenapa diam?” Dia bertanya.

Kenapa diam katanya? Oh, sudah bagus sekali aku diam. Nggak melemparnya dengan botol minum di depannya, asbak, tumpukan kertas, kotak pensil, ponsel, Macbook—Ups, yang dua terakhir perlu diralat, bisa-bisa aku disuruh ganti rugi.

Tapi, ya, kenapa aku diam? Karena aku nggak tahu harus tertawa terbahak-bahak, atau tambah waspada karena takutnya ini jebakan. Karena dia paling seneng tuh, kasih pertanyaan jebakan ala-ala chef Juna.

Aku mengerjap, sekali. Oke, mungkin ini kesempatanku untuk berkata dengan keren, jika dia bukan tipeku, jika dia adalah satu dari pria yang akan kubiarkan mati jika hanya tersisa aku dan dia di muka bumi ini. 

Lagipula. Kapan lagi, kan? Bisa nolak cowok? Bukankah ini impianku setelah dicampakkan si mantan setelah tujuh tahun pacaran.

Sip! Selesaikan ini dengan keren lalu kabur dengan cepat.

Mulutku udah terbuka sedikit, meski nggak tahu mau ngomong apa, dan nggak bisa merangkai kalimat elegan, setidaknya aku harus berkata sejelas-jelasnya jika aku nggak menyukai dia--

“Pasti syok ya dilamar pria tampan dan mapan seperti saya?” imbuhnya dengan sudut bibir terangkat membentuk seringai.

Shit! Aku gagal keren.

Wajahku menyengat panas, atau sekarang udah terlihat merona? Ini lebih karena batinku nggak berhenti mengumpat. Jangan-jangan dia akan salah paham lagi?

Aku yakin tampang kalemku udah kelihatan gelisah di matanya, buktinya, senyumnya makin lebar. Bentar lagi dia pasti tertawa. 

Kalau dengan dia, comfort zone-ku udah pasti berubah jadi kampret zone! Dasar kampret!!

 

==================================================

 

Bab 1

 

Satu bulan sebelumnya...

.

.

Ada dua jenis misuh-misuh. Yang pertama, misuh-misuh dalam hati yang menggerogoti organ-organ tubuh hingga menyebabkan komplikasi mulai dari tekanan darah tinggi, kepala pusing, pandangan berkunang-kunang. Yang kedua misuh-misuh yang diomongin kuat-kuat hingga orang lain anggap kita gila.

Aku? Of course-lah yang pertama. Makanya nih, tubuhku tambah ceking, misuh-misuh mulu. 

Aku kembali menaruh lem perlahan ke bulu mata dan memasangnya ke mataku dengan hati-hati. No, aku bukan menghabiskan waktu memasang bulu mata di kamar, melainkan di kantor dengan tumpukan kerjaan yang bikin kepala bagian belakangku panas dan berdenyut-denyut. 

Tepat lima menit yang lalu aku tagih pembayaran yang udah diwanti-wanti Koko dari kemarin sebelum dia berangkat ke Singapura. 

Dan hasilnya? Tentu aja nihil! Kalau nggak kan, aku nggak akan misuh-misuh kayak gini. Alasan mereka belum ditandatangani manajer keuangan yang lagi cuti karena ada kemalangan.

Untuk itu sekarang aku malah sibuk mencoba bulu mata yang kupesan kemarin dan baru saja datang. Mengabaikan rekapan orderan yang menumpuk. Aku bukan wanita yang girlie, dan tubuhku juga nggak cocok memakai sesuatu yang girlie. Tapi memang sudah sebulan belakangan aku menyukai hobi baruku, yaitu make-up, aku sedang mempelajari make-up karakter. Mempelajari struktur wajahku, juga padu padan make-up yang cocok untuk kulit tan-ku. 

Jika aku berhasil mendandani diri sendiri menjadi orang yang berbeda, bukan nggak mungkin setelah ini aku nekat bikin konten di Youtube. Apa pun yang ada di pikiranku adalah prepare buat kesibukan setelah keluar dari sini. 

Dan, sialnya, aku kembali ingat Koko bakalan telepon. 

Good job, Aya! Sampai-sampai bulu matamu miring. Aku mencabutnya dengan kesal, dan mencoba memasangnya lagi.

Padahal niatnya hari ini aku bisa sedikit leha-leha. Perasaanku hari ini harusnya seperti murid yang merdeka sebab guru killer tidak datang karena ada urusan. Aku semakin kesal karena ada saja yang aku pikirkan.

Shit-lah! Mood-ku kian campur aduk kayak nasi padang yang dibawa pulang.

Padahal seharusnya aku tak perlu merasa seperti ini, aku sudah sampai di titik, dipecat pun nggak masalah. Aku merasa sumbangsih yang kulakukan sebagai karyawan di sini too much. Yang ujungnya membuatku merasa dimanfaatkan karena suka disuruh ini itu.

Mataku menyipit kesal kala melirik ke sisi kananku. Ke si empunya ruangan yang sekarang sedang ada urusan di Singapura—entah apa itu, dan males pake banget buat aku kepoin meski buibu di luar ruanganku kepo setengah mati.

Nama lengkapnya Daniel Fernando Chandra Admaja. 

Awal tahu nama lengkapnya aku bahkan nggak tahu harus panggil Ko Daniel, Ko Fernando, Ko Chandra atau Ko Admaja. 

Kayak habis absen empat nama terus dijadikan satu. Sungguh, entah siapa yang menamainya, beneran nggak kreatif. 

Pernah sekali aku nggak sengaja panggil dia Ko Daniel, dia nggak noleh dong...

Dia cuma jalan melewati meja kerjaku dengan satu tangan lain sibuk mengetik di ponselnya. Aku sih menduga dia nggak mendengar karena terlalu fokus. Tapi pas sebelah tangan dia yang lain pegang handle pintu ruangannya, gerakannya berhenti, dan memutar ke arahku.

“Did you call, Me?” tanyanya waktu itu.

Aku sedikit menaikkan alis lalu mengangguk kaku.

“When I was in high school there were two Daniels, so, to make it easier, my classroom used to call me Chandra,” cerocosnya yang membuatku diam memperhatikan dengan bingung. “You know what I mean?”

Aku mengangguk.

“Maksud saya, kamu mengerti yang saya ucapkan?” tanyanya lagi dengan logat yang kental. Mungkin dia kira aku nggak mengerti bahasa inggris, padahal aku hanya nggak mengerti mengapa dia harus jelaskan panjang lebar.

Wajahku mulai aneh, bukannya aku tadi udah ngangguk ya? “Ngerti Ko,” sahutku cepat-cepat. Dan aku langsung memotong, “Jadi saya panggil Ko Chandra aja?”

“Um. No. Better Daniel. So I know the one I’m dealing with is an office person,” cerocosnya lagi.

Aku cuma manggut-manggut. Lama kelamaan dia lebih sering pakai bahasa indo. Tapi begitu pun aku tetap salah. Katanya, “Saya sudah biasakan ngomong indo tapi kenapa jawaban kamu tetap kalau tidak angguk ya geleng.”

Ya mana mungkin kan aku balik nyerocos kayak dia? Entar aku salah lagi.

Dan sampai sekarang aku belum tahu perihal mengapa panggilannya lompat ke Chandra bukan Fernando? 

Duh kan, pikiranku jadi tambah absurb. Harusnya aku nggak pasang bulu mata tadi, mending nonton serial aja sekalian, biar nggak keinget mulu sama Koko.

Urusan bulu mata nggak selesai juga, dan aku tahu aku harus segera menghentikan kegilaanku itu, karena sudah masuk waktu makan siang.

Aku mencopot kembali bulu mataku dan membuangnya ke tong sampah, lalu mengambil dompet menuju ke lantai bawah untuk membagikan uang jatah makan siang ke karyawan operator.

Begitu balik di tanganku sudah ada sebungkus makan siang yang kubeli di warteg ujung jalan. Untuk urusan makan siang aku fleksibel, kalau Mama masak, aku bawa bekal, atau paling bawa nasi putih doang, atau kalau telat dan buru-buru ke tempat kerja ya udah aku beli makan siang di luar. 

“Yang lain pada ke mana Mbak?” tanyaku ke Mbak Nita sebagai satu-satunya orang yang tersisa di lantai tiga. 

“Nova makan di luar kayaknya. Nggak ketemu tadi?”

Aku menggeleng.

“Cheryl mendadak ada panggilan meeting gitu.”

“Oh... yuk lah, makan bareng.”

Kami makan di pantri. Mbak Nita lagi hamil lima bulan, calon anak ketiga, dan sering mengeluhkan tubuhnya yang tambah membengkak saja. 

“Gue mau resign, Mbak,” ucapku sambil rebahan kepala di atas meja, sebelum bangkit saat Mbak Nita meletakkan minum di meja dan mulai makan.

“Seinget gue lo udah bilang gitu ke gue lebih dari tiga kali.”

“Eh, iya ya?”

Tatapan Mbak Nita langsung mode senggol bacok. “Sampai gue beranak kayaknya gue bakal dengar curhatan yang sama, tapi lo nggak cabut-cabut juga dari sini.”

Aku menyengir. 

“Nggak niat, lo.”

“Niat kok! Gue juga udah apply beberapa, cuma belum dipanggil aja.” 

“Khusus area Sudirman?” ejek Mbak Nita. “Di mana-mana tekanan kerjaan sama aja kalik, Ya.”

“Karena tekanan kerjanya bakal sama yang mending gue di sana Mbak, dari pada di sini. Seenggaknya pasti banyak cowok cakep pake kemeja rapi. Lumayan, bisa cuci mata. Bisa ada alasan buat ngekost juga.” 

“Niat lo jelek. Makanya terhalang mulu.”

Ya ya, aku makan sambil tak berselera. 

“Belum nikah sih. Makanya masih bisa kepikiran loncat sana sini. Kalau udah anak mau tiga kayak gue, yang penting nggak dipecat aja syukur, Ya. Makanya lo banyak-banyak bersyukur.”

“Hampir enam tahun gue di sini Mbak. Udah bosen banget. Justru semakin lama gue di sini, makin kayak katak dalam tempurung, nggak pernah tahu dunia luar. Beban kerjaan gue juga makin berat aja tiap harinya sejak ada Koko. Gila ya, masa kemarin sebelum dia pergi, dia protes soal bensin, dia yakin sopir kita ada main. Terus dia suruh gue catat kilometernya tiap hari!”

Mbak Nita tertawa. “Lo iyain?”

“Ya nggak lah. Gue kasih ide aja kenapa nggak Koko yang isiin bensin mobil kantor tiap hari.”

“Terus dia lakuin?”

“Belum sih. Entah nanti kalau dia pulang dari Singapur.”

Mbak Nita berdecap. “Tuh buktinya lo bisa lawan. Lo itu cuma nggak relaks. Kalau kerjaan nggak selesai, ya selesaiin besok. Kalau pembayaran belum cair, ya tagih lagi besok. Koko palingan cuma ngomel-ngomel. Memang dia pernah maki lo?”

“Justru gue berharap dimaki, biar ada alasan langsung cabut.”

Jika Bu Susan memang cerewet maka anaknya seperti Dementor yang siap menyerap habis tenaga dan kebahagiaanku secara perlahan-lahan. 

Padahal wajahku kalem tapi sejak ada dia aku jadi sering ngedumel—dalam hati pastinya—dan yang pasti aku nggak pernah marah-marah nggak jelas di depannya. 

Harusnya aku nggak takut sama dia. Ya, memang, nggak takut sih. Tapi apa, ya? Dia itu punya kharisma yang bikin orang lain nebak-nebak apa selanjutnya yang jadi sasaran dia, dan seringnya aku salah tebak. Ada saja permintaannya yang terkadang nggak masuk akal. Tapi mendengar kata ‘tolong’ itu membuatku nggak bisa berkutik sama sekali. 

“Udah ah. Lo ini masalah kecil aja dibesar-besarin.”

“Masalah gue besar Mbak. Sebesar paha lo!”

“Asem!” seru Mbak Nita yang sudah mengangkat sendoknya, tapi malah lanjut makan. Aku tertawa. 

“Tapi kok yang gue liat dia lebih sayang sama lo ya daripada karyawan lain?”

Wajahku langsung horor. “Apaan ih!” seruku nggak terima.

“Dia biasa aja lho sama kami. Malahan menurut gue, nice. Rajin senyum, rajin negur—“

“Ya justru itu,” potongku menggebu-gebu. “Omelannya ditumpuk ke gue, Mbak. Segala kesalahan kalian, gue yang kena omel. Fix deh, gue cabut bulan ini juga.”

“Maksud guee... dia itu lebih perhatian ke elo. Tiap lo nggak ada di ruangan, dia buru-buru nanya, padahal bisa aja kan dia nelpon tanya lo di mana? Kayak gue misalnya, otomatis gue lebih sering omelin anak sendiri karena gue sayang, kalau anak orang lain mah, gue bodo amat.”

Perumpamaan yang jauh sekali, batinku misuh-misuh. “Lo salah Mbak. Dia itu jaim. Jaga image. Dia cuma mau gue yang tahu jelek-jeleknya dia, yang lain nggak boleh, berhubung gue yang beda ruangan sama kalian.”

Mbak Nita memasang tampang berpikir. “Iya juga, ya.”

“Tuh kan?” sahutku cepat.

“Kalau dia punya dua wajah... Dia bukan psikopat kan?”

“Mbak, lo jangan nakut-nakutin gue dong!”

Mbak Nita langsung tergelak-gelak. Puas sekali dia panas-panasi aku.

Aku hanya sanggup menghabiskan setengah makan siangku sambil menepuk-nepuk bagian belakang kepalaku. 

Setelah selesai makan siang aku kembali ke ruanganku. Belum juga bokong ini menyentuh kursi dengan nyaman, dering ponselku sudah membahana. 

Dengan sedikit menahan napas, aku mengangkat panggilannya.

“Halo, Ko,” sahutku cepat, dan semoga dia menyelesaikan panggilan cepat-cepat.

“Ada masalah apa? Harga kertas naik lagi?”

Aku serta-merta mengernyit. “Enggak kok Ko.”

“Jadi kenapa tidur-tiduran, pegang-pegang kepala, di pantri?”

Detik itu aku langsung mematung. Sejak kapan CCTV di pantri di benerin? Kenapa aku nggak tahu?? Aku kira selama ini itu adalah tempat paling aman, karena pasti lepas dari pantauan dia. 

Dan lagi, lihatlah, sejak tadi ponselku bersamaku, dan jika dia memantau, dia sengaja menungguku ke ruangan biar bisa mengomeliku tanpa diketahui orang lain. Sial!

“Lagi pusing aja, Ko,” sahutku ngasal. Eh, nggak ngasal juga sih, aku memang selalu pusing jika berhadapan dengan ini orang.

“Harga kertas benar tidak naik kan?”

“Enggak.”

“Coba ke ruangan saya.”

Mampus, belum juga laporan soal PT.Aditama udah di suruh ini itu. Aku beranjak dari kursiku menuju ruangannya. Jika ruanganku terpisah dari yang lain, maka ruangannya berada di dalamnya lagi ruanganku. 

Dengan berdebar aku berkata, “Sudah, Ko.”

“Iya, saya tahu.”

Aku melengos. Ya pastilah dia ngintip dari CCTV.

“Di laci rak buku. Coba buka.”

Aku menuruti perkataannya dengan cepat, biar cepat selesai, dan aku cepat tenang. Tapi begitu kubuka laci, dahiku berkerut, karena dihadapanku tersedia segala jenis obat-obatan. 

“Itu ada obat sakit kepala, kan?”

“Y-ya. Terus?”

“Ya katanya kamu pusing...” nadanya naik satu oktaf.

Astaga... gara-gara dia aku jadi pikun. “Ya kalau pusing kan nggak mesti minum obat, Ko.”

“Yakin kamu tidak perlu minum obat?”

“Enggak,” sahutku lagi cepat-cepat.

“Jangan besok malah minta klaim biaya pengobatan, ya.”

Mataku langsung menyipit. Dasar pelit. Jadi ini alasan dia ngotot suruh aku ambil kotak obatnya?? Tuh kan, lagi-lagi aku nggak bisa tebak isi pikirannya. 

“Pembayaran dari PT. Aditama sudah masuk belum?”

Mendengar pertanyaan itu spontan aku mengumpat lirih. “Belum, Ko,” sahutku.

“Harusnya kamu lapor sejak tadi. Ngapain diam?”

Terus kalau aku laporan sejak awal, kena semprotnya di awal juga dong? “Tadi kan Koko sibuk tanya yang lain—“

“Apa kata mereka?”

“Belum approval atasan. Lagi ada kemalangan.”

“Kemalangan apa?”

“Kemalangan itu maksudnya jika ada sanak keluarga yang meninggal—“

“Iya, saya tahu arti kemalangan... maksudnya siapa yang kemalangan?”

Oh... kirain. “Siapa dia yang meninggal?”

Aku langsung memutar bola mata. “Ya mana saya tahu, Ko.”

“Ya harusnya kamu tanya dong. Jangan-jangan itu cuma alasan. Ngumpulin tandatangan saja butuh dua bulan? What the f—“

Dia nyaris kelepasan memaki.

“Terus kamu bilang apa?”

“Ya begitu manajer balik kerja harus sudah clear pembayaran.”

“Sudah begitu saja?”

Ya terus aku harus gimana? Masa aku ancam-ancam??

“Itu Nova bikin perjanjian awalnya gimana sih? Sudah dua kali order selalu telat pembayaran. Emang disengaja atau gimana?”

Aku menebalkan kupingku. 

“Let’s talk to her.”

Dahiku langsung berkerut dalam. “Siapa?”

“Ya kamu.”

Napasku terembus keras. “Apa nggak sebaiknya Koko aja yang sampaikan sendiri kalau udah balik?”

“Saya balik dua hari lagi.”

“Takutnya menyalahi wewenang kalau saya yang tegur rekan kerja lain...”

“Yang akan kamu bilang ke dia, omongan saya juga, kecuali kamu tambah-tambahin.”

Ih! Aku sebal banget kalau dia udah mulai tuding yang enggak-enggak.

“Sampaikan saja, apa yang sampaikan. Katakan ke dia, next order, pembayaran harus tepat waktu, kalau tidak ada denda keterlambatan.”

Aku spontan mendelik. Memangnya PLN pake denda?

“Nggak bisa dong, Ko. Mereka approval aja susah, pasti pembayaran sesuai invoice.”

“Ya bikin keterangan di invoice, telat bayar, tambah bayar sekian.”

Seenak udelnya!

“Sudah. Pergi keluar, dan bicara ke Nova sekarang.”

Ya situ enak aja tinggal nyuruh! Gue? Ujungnya jadi nggak enakan dengan rekan kerja. 

“Tapi, kan Ko—“

“Tolong.”

See? dia keluarkan jurus andalan. Aku nggak bisa ngapa-ngapain. Kapan gitu aku bisa meledak di depan dia? Dan duar! Aku langsung angkat kaki dari sini. 

“Nova lagi keluar, Ko.”

“Dia sudah di mejanya.”

Oh.. Shit... dia pasti pantau dari CCTV-lah.

Aku menarik napas dan mengembuskannya dengan keras. Aku nggak takut dengan Nova, aku cuma tahu akan sulit menang perdebatan dengan mulut marketingnya itu. Dan di antara tiga marketing di sini, dialah yang paling ambisi dapat insentif paling tinggi. Koko tentu suka-suka aja. Tapi dia seperti jadi seenaknya, barangkali juga dia jadi beranggapan kami-kami ini bisa gajian berkat jasanya. 

Oh! Memangnya gaji dia bisa jalan sendiri ke rekening?

“Nov,” panggilku sebelum benar-benar mendekat ke kubikelnya. “Koko barusan telepon, soal pembayaran PT. Aditama.”

Alis Nova langsung terangkat. “Urusan tagihan bukan urusan gue lagi,” sahutnya acuh tak acuh.

“Ya gue tahu. Tapi untuk next, Koko minta, kalau ada orderan lagi pembayaran harus sesuai tenggat perjanjian awal. Kalau nggak, bakal ada denda.”

“Telat berapa lama sih? Belum ada dua bulan kan?”

“Sudah lewat dua bulan,” balasku.

Nova melengos. “Orderan Aditama selalu banyak lho, kalau kita di blacklist gue nggak tanggung jawab ya. Banyak percetakan lain yang tawarin pricelist lebih murah soalnya. Itu aja gue udah usaha banget nggak putus orderan. Ntar gue bilang langsung ke Koko deh. By the way, itu bukan ide lo kan?”

“Maksudnya?” tanyaku langsung dengan tampang tak terima.

“Soal denda-denda. Dari dulu nggak pernah ada.”

“Itu omongan Koko sendiri.”

“Ya syukur deh kalau memang bukan ide lo. Kita sesama kacung harusnya nggak perlu saling menjegal kan?”

“Oke.” Cetusku dengan wajah spechless. “Oke,” ulangku lagi, dan yang kali kedua ini aku memasang tampang bodo amat. Mungkin begini rasanya digencet dua truk. Begitu aku balik, dari mejanya Mbak Nita terlihat menaik-naikkan alis, dan mencibir tanpa suara ke Nova.

Begitu sampai ke ruangan, aku segera mengempaskan tubuh ke kursi. Kepalaku nyaris meledak. 

Ponselku kembali berdering, dan saat ini aku merasa menyesal mengapa nggak punya sikap impulsif dengan membanting hp-ku misalnya.

Dan yang ada, aku malah kembali menjawab panggilan dari Koko.

“Sudah?”

“Um,” gumamku, yang menahan dongkol luar biasa.

“Masih pusing?”

Pertanyaan macam apa itu?? Kayaknya pura-pura pusing enak juga nih, mana tahu bisa pulang cepat. “Sedikit.”

“Minum saja aspirin itu.”

“Enggak Ko. Mau istirahat bentar.”

“Ya istirahatnya setelah minum itu obat, minum air hangat.”

“Enggak deh Ko.”

Up to you, lah,” sahutnya sewot.

Ya memang terserahku, balasku yang tentu saja dalam hati.

Yang kuperhatikan selama enam bulan dia di sini, Kodanil paling suka mempersuasi orang lain dengan gagasan-gagasannya, dan jika ada yang iya-iya saja bahkan terkesan tak peduli, sewotnya itu bakal terang-terangan, dan yang selalu kena dampak siapa lagi, kalau bukan aku??

Karyawan lain yang nggak semangat kerja aku yang diceramahi, dinasehati, kan asu! Ups, sorry, aku memang asal Jawa Timur. Almarhum Papa sih yang sebenarnya asli Jawa Timur, Mama campuran Jawa-Batak. Dan sejak lahir aku justru tinggal di Jakarta. Oke, skip, pembahasanku ngelantur.

Ya intinya sih, yang aku tangkap, dia nggak mau kehilangan entah itu wibawa atau tampang cool-nya di depan karyawan lain. Tapi berhubung aku berbeda ruangan dengan yang lain, jadi dia lebih gampang untuk menekanku. Aku terus yang jadi bulan-bulanan, padahal aku coba main aman sehaluuuuss mungkin. 

Nggak enakan sama bego itu beda tipis sih, tenang aja, aku nggak lagi ngomongin orang lain. Aku lagi ngomongin diri sendiri.  

“Oh. Saya tahu kenapa kamu pusing dan ngotot tidak mau minum obat,” katanya mendadak.

Dahiku sontak berkerut. “Kenapa?” 

“Kamu pusing karena pasang bulu mata miring kan?”

Astaga...! Jadi, ini tadi dia diam karena reply ulang CCTV?

“Mau kondangan, kamu? Go to salon lah. Daripada spend time pasang bulu mata,” ucapnya dilengkapi tawa.

Duh ya, ini obrolan nggak penting amat. Jalan paling aman adalah diam aja sampai dia matikan panggilan. 

“Kenapa tidak jawab?” tanyanya setelah jeda yang kukira dia sudah mematikan panggilan.

“Ya saya harus jawab apa?” balasku berusaha bersabar—meski kesabaranku sudah setipis tisu.

“Ya kayak biasalah. Kalau tidak jawab ‘iya’ ya ‘enggak’.”

Entahlah! Entahlah!

 

==============================================

 

Bab 2

 

Seperti kata Mbak Nita, aku harusnya relaks. Ya, itu memang sangat mudah untuk dikatakan. Tapi pada prakteknya aku tetap terbebani setiap kali Lexus silver sudah terparkir di depan ruko.

He’s back! Bagaimana aku tahu? Karena dari sekali menyibak tirai saja sudah bisa melihat mobilnya. Oh ya, aku bukan bekerja di gedung perkantoran yang bertingkat-tingkat. Kantorku adalah tiga ruko tiga lantai dijadikan satu.

Aku berhenti mengintip, dan kembali ke pekerjaanku. Apa yang terjadi hari ini que sera sera lah.. whatever will be will be. Alias bodo amat, meski dalam waktu nggak sampai lima menit aku bakal ketemu dengan tampang sengaknya lagi. 

Dan seperti kata Mbak Nita juga, he’s nice, itu benar. Bahkan kasir dan admin di bawah  menggilainya. Secara fisik dia juga oke—dan aku sering kena toyoran Mbak Nita karena yang lain selalu bilang dia ganteng, sementara aku jawab B aja. 

Tubuhnya proporsional, dia juga tinggi banget, aku yang nggak pendek-pendek amat tetap sepundaknya. Hidungnya mancung, tulang pipi tinggi, mata sipit, alis hitam tebal, rambut gaya Andy Lau yang sering dia sugar ke belakang kalau lagi kesal, biasanya aku tandain dia pasti menyugar rambutnya sebanyak tiga kali kalau lagi marah, yang terkadang buat aku bertanya-tanya kenapa nggak dicepak aja kalau dia memang terganggu dengan rambutnya, atau sini deh, aku kucir aja sekalian.Dan, of course dia putih—banget. 

Kebiasaannya, pakai celana jins dengan kaus kalau tidak hitam ya putih. Aku bahkan hapal gaya jalannya yang lambat tapi langkahnya panjang, dengan tas selempang dan satu tas kanvas lain yang ditenteng. 

Para karyawan di sini sering mengaitkan sosoknya dengan boyband asal korea, yang tentu saja tak kugemari. Dan itu pula yang mendasariku mengatakan dia B aja, mungkin aku terdengar rasis, tapi di sini masalah selera, Koko bisa saja dianggap memesona oleh kalangannya, tapi aku penggemar pria dengan kulit agak gelap dan eksotis. 

Awal bertemu dengan Koko aku nggak punya feeling macam-macam. Eh... nggak tahunya, cerewetnya lebih parah dari Bu Susan! Yang sebentar-sebentar akan memanggil, “Aya!” sampai-sampai aku nggak tahu lagi apa jobdesk-ku di sini. 

Aku memang sudah ingin keluar dari masa Bu Susan masih bos di sini, karena apa? Karena di usiaku yang hampir menyentuh angka 28, ini satu-satunya pengalaman kerja yang kupunya. 

Aku bekerja di perusahaan percetakan ini nyaris enam tahun, dari sejak perusahaan mulai dirintis. Bu Susan adalah teman sekolah tanteku, begitu aku tamat kuliah, namaku langsung disodorkan ke Bu Susan karena kebetulan aku memang lulusan akuntansi. Dulu, omzet belum sebanyak sekarang, karyawan nggak sampai sepuluh. Bu Susan dan dua marketingnya gencar cari klien ke RS, sekolah, hotel, bank dan sebagainya, hingga omzet kami beberapa kali tembus 500juta per bulan. Dan dengan orderan yang meningkat, tentu saja, karyawan kami bertambah.

Dan Ko Daniel itu adalah anak kandung Bu Susan, usianya 30 tahun. Serius aku baru tahu Bu Susan punya anak di tahun ketiga aku bekerja di sini, aku kirain dia perawan tua yang memutuskan untuk nggak menikah. Waktu itu Ko Daniel datang dan Bu Susan ngenalin dia sebagai anaknya ke kami. Bu Susan ternyata sudah lama divorce dengan mantan suaminya, dari Ko Daniel masih bayi gitu katanya. Dan sejak junior high school, Ko Daniel sudah ikut dengan Papanya ke Singapura.  

Itu sebabnya logatnya campur aduk. Untung aku bisa paham sedikit-sedikit. 

Koko berada di sini untuk menggantikan Bu Susan. Enam bulan lalu Bu Susan jatuh di kamar mandi karena tekanan darah tinggi dan langsung stroke, nggak bisa berjalan dan bicara, sekarang sih katanya sudah bisa bicara, tapi masih terapi, dan masih menggunakan kursi roda.

Aku masih sibuk dengan pekerjaanku ketika dia datang. Jika sudah berhubungan dengan angka-angka aku akan sulit beranjak dari kursi. 

Ada hal lain yang membuatku sadar akan kehadirannya selain pintu ruanganku yang terbuka, yaitu wangi parfumnya yang langsung memenuhi ruangan, untung wanginya enak, bukan wangi parfum bapak-bapak. Koko memang perlente abis, meski cuma mengenakan kaus, tapi kausnya tetap rapi, bersih, dan aku yakin dia juga pakai skincare rutin. Mungkin yang membedakan dia dengan bapak-bapak perlente lain cuma, dia nggak suka ganjen lirik-lirik cewek apalagi sampai main mata. Urusan merayu juga nggak mungkin kayaknya, mulutnya kayak bon cabe.

Kalau udah mau jam sebelas gini, ngapain datang sih? Mending istirahat di rumah sambil ngopi-ngopi, jadi aku nggak ditanya-tanyain ini itu, belum siap lahir batin nih! Astaga... batinku nggak berhenti ngomel. 

Dia menarik kursi di hadapanku dan duduk dengan santai. Aku tetap menekuri komputer dan buku besar di hadapanku, meski mata ini sudah lirik-lirik ke Koko. Ngapain sih dia nggak langsung ngomong aja? Jadi nggak ada momen krik krik kayak gini. 

Eh dia malah menggoyang-goyangkan tubuhnya ke sandaran kursi, menyugar rambutnya yang  sedikit basah dengan gaya yang sok asik.

Begini ini, kalau sedetik rasa seabad! Mending cabut deh, Ko!

Aku mengembuskan napas dengan nggak kentara. Aku nggak pinter basa-basi!

Aku mengalihkan perhatian sepenuhnya dari pekerjaanku. “Morning, Ko.”

“Tidak salah? Saya sudah duduk baru kamu sapa,” celetuknya. “Sudah siang juga ini.”

Tampol nih! Udah tahu aku sibuk masih nunggu disapa-sapa. Aku diam. Karena tahu aku juga yang bakal disalah-salahin.

Dia kemudian mengambil sesuatu dari dalam tas kanvasnya dan meletakkan di mejaku. Aku menarik bungkusan plastik yang isinya sebungkus cokelat kecil-kecil. Tapi ada hal yang menarik alisku ke atas. Ujung bungkusan plastik bening sudah terbuka.

“Hungry, jadi saya makan satu waktu nunggu di bandara,” jelasnya, yang sepertinya menyadari perubahan ekspresiku.

Aku berusaha memasang wajah oke-oke aja, meski dalam hati, tetap mencibir, ya masa iya kita kasih seseorang oleh-oleh yang bungkusnya udah dibuka? Kalau dia hungry makan apa kek, beli roti kek. Koko doang mah yang begini! Pelit!

“Thanks Ko.”

Matanya menyipit, jadi semakin terlihat segaris. Kenapa lagi??

Tapi kemudian dia tampak relaks lagi. Syukurlah. 

“Makannya di dalam ruangan ini saja.”

Dahiku langsung berkerut. “Kenapa Ko?” Jangan-jangan benar kata Mbak Nita, dia psikopat dan di dalam cokelat ini ada apa-apanya? Anjir! Nonsense memang, sejak kapan aku berubah jadi worry gini?

“Cuma sedikit. Jangan kasih yang lain.”

Astaga... Aku menahan diri untuk tidak memutar bola mata, lalu menyengir garing ke arah Koko, berharap dia tahu ini adalah ekspresi ejekan. 

Dan, yeah... aku kira sudah selesai. Dia mengeluarkan sesuatu yang lain dari tas kanvasnya. 

Dua botol kaca berukuran sedang berjejer di mejaku. 

“Vitamin. Banyak-banyak konsumsi buahlah kamu, biar tidak drop.”

Hei! Kamu sendiri malah perokok aktif! Cercaku dalam hati. 

“Thanks, Ko,” sahutku lagi. 

Koko bangkit, tubuhnya menjulang di hadapanku. “Call yang lain. Brief sebentar.”

Aku mengangguk. Membiarkannya masuk ke ruangannya dengan langkah santai. Begitu pintu ruangan dia tertutup. Aku mengambil satu botol dihadapanku, dan bodohnya malah memeriksa sekeliling botol dan membaca ingredients, benar bukan racun atau obat-obatan terlarang lain. Setidaknya sekarang aku yakin dia bukan psikopat, memang ada psikopat cerewet? 

Dan alasan mutlak dia memberiku vitamin adalah, ya... semakin aku sehat, semakin dia untung kan? Tahu gitu, langsung saja, aku libur kerja alasan sakit.

“Ya minumnya nanti dong...” ucapnya lagi yang mendadak udah keluar aja dari ruangannya.

Sial, spontan aku menjauhkan botol dari tanganku. Kapan sih, dia nggak buat aku mati kutu?

Sementara si Koko melangkah santai keluar dengan tabletnya, pastinya dia akan stay duluan di ruang rapat. Orangnya sih, udah keluar, tapi wanginya bahkan masih menempel di bulu hidungku!

Aku memutar bola mata dan langsung menghubungi yang lain, terutama Pak Sapta, supervisor produksi, karyawan yang paling tua sekaligus paling lama di sini. Aku sama dia sebelas dua belaslah lamanya. Dia yang paling alot kalau urusan beginian, karena bagi dia, urusan dia cuma masalah produksi cetakan, mau orderan berapa yang penting kelar dia pantau dan kerjaan beres.

Biasanya yang ikut brief atau rapat, sudah pasti ketiga marketing Mbak Nita, Nova, dan Cheryl, satu lainnya adalah desainer grafis, admin dan sekarang tambah satu lagi, admin sosialmedia spesialist. Itu adalah besutan Koko sendiri, karena dia pengin kami dapat orderan non partai besar, buat maksimalin penjualan di marketplace.

Pak Sapta menggeleng ke arahku saat masuk ke ruang rapat, aku tahu kerjaan dia pasti lagi banyak-banyaknya. Tapi kubilang, semakin cepat semua personil ngumpul, semakin cepat selesai ocehan si Koko.

“Bulan ini closing tujuh ratus juta bisa kan?” bukanya Koko langsung.

Kami? Ya tentu aja, tercekat, terpana, terdiam, untung aku bukan marketing kalau iya, udah kutambahkan—terkubur!

Mbak Nita langsung menyenggol kakiku.

Ini bukan kegilaan pertama sih, dia pernah menyebut-nyebut soal tembus omzet 1M. Dan waktu itu aku cuma cengar-cengir.

“Ini juga udah maksimal banget lho, Ko,” sahut Mbak Nita hati-hati. “Bukan musim masuk sekolah juga.”

“Tapi nikah tidak ada musim kan?”

Eh?

“Sambil-sambil tawarkan suvenir juga bisa kan? Orderan tambah, insentif tambah. Tenang saja.”

Kepalaku mulai menunduk. Maksudnya ini para marketing bukan cuma disuruh tawarin list produk ke perusahaan, tapi ke karyawannya juga gitu?

“Orderan membludak, mesin pun keok,” balas Pak Sapta.

Semua pasang mata menatap Pak Sapta seperti Hero penyelamat. 

“Itu juga sudah saya pikirkan. Good news. Kita akan beli mesin baru,” sambung Koko enteng.

“Tambah mesin. Tambah operator,” balas Pak Sapta.

“It’s okay. Kita tambah,” sahut Koko.

Dengkulku langsung bergoyang aktif. Ya iyalah! Kerjaanku juga bakal tambah pasti.

“Bisa kan?” ulang Koko.

“Kami coba ya, Ko,” sahut Nova dengan nada ramah.

Oke guys... dia main aman!

“Jess,” sebut Koko.

Kami melirik ke Jessica—admin medsos yang menjadi karyawan baru pertama sejak ada Koko di sini plus diwawancara langsung oleh Koko. Masih muda, cantik, dan paling stylist di antara kami. 

“Ya Ko?”

“Minggu ini kamu ada kegiatan?”

Oh... yes! Aku dan Mbak Nita saling lirik, Mbak Nita bahkan terang-terangan penasaran. Akankah ada affair office kali ini?? 

“Enggak Ko. Kenapa?”

Uhuuy! Ini kok kayak cowok cewek ngajak ngedate ya. Aduh... aku mending melipir deh, ngerjain hal lain yang lebih berguna gitu.

“Kita foto ulang produk. Konsep instagram kita harus lebih jelas.”

Dan.. bla bla bla...

“Bisa, Ko.” Jessica memamerkan senyum menawannya. 

Udahlah. Kalian cocok. Bungkus! Kalau Koko ada affair kan minimal jadi sibuk sama yang lain.

Suasana hatiku sedikit terbangkitkan.

“Kamu ikut, Ya.”

Aku membatu. ‘Ya ‘ apa nih? ‘Iya’ atau ‘Aya’?

Tapi kemudian, Koko malah nolehnya ke aku. Oh...Shit! Dia seriusan nyuruh aku ikutan??

Kok nggak adil banget? Tadi Jessica ditanya dulu ada kegiatan atau nggak. Terus aku kok main deal gitu aja?!

“Eng—ngapain saya ikut Ko?”

“Ya kamu urusan hitung budget.”

Aku menahan ekspresi kusutku sebisa mungkin. Budget apaan sih kalau cuma fota foto?? Dia mau masukkin biaya charge kameranya ke operasional kantor?? 

“Ya, tapikan Ko—“

“Pulang ibadah kamu tidak ada kegiatan kan?”

Itu harusnya ditanyakan di awal! Bukan di akhir begini, plus dengan nada memelas...!

“Sudah kan?” potong Pak Sapta.

Koko mengangguk. 

Pak Sapta tunggu dong, urusanku belum selesai nih! Ini Koko sableng pasti bakal ikutan cabut... amukku dalam hati.

Beberapa sudah keluar dari ruangan. Tersisa, aku, Mbak Nita, Nova dan Cheryl. 

Mulutku sudah kembali terbuka, tapi keduluan sama Nova.

“Ko, soal PT. Aditama.”

Iya, pembayarannya sudah masuk. Dan apalagi yang mau elo bahas Maemunah!

“Oh ya, gimana-gimana?” tanya Koko dengan mata langsung berpendar aktif. 

“Saya udah telepon PT. Aditama, Ko. Dan next mereka bilang nggak akan telat bayar lagi. Maklum lah ko, perusahaan gede, kan pasti ada aja berkas yang keselip.”

“Good!” seru Koko semringah. “Yang lain juga gitu ya. Kita simbiosis mutualisme-lah. Jangan mau ditekan-tekan banget.”

Mbak Nita menendang kakiku. Aku tetap memandang lurus, malas kalau ketahuan saling lirik, bisa-bisa Nova semakin besar kepala. 

“By the way, Ko. Pulang dari Singapur nggak bawa oleh-oleh apa gitu...” tanya Mbak Nita dengan nada genit. 

I know tujuan Mbak Nita pasti buat ngalihin pembicaraan. Tapi aku yang sudah tahu menahu soal ‘oleh-oleh’ itu jadi menaikkan alis. 

“Hm?” gumamnya sok asik, sambil—entah ngapain sama tabletnya itu, baru kemudian dia angkat tampang sengaknya. Aku penasaran juga, apa yang akan diucapkannya, ya palingan dia juga jawab lupa. “Ada tadi, saya kasih sama Aya.”

Dasar Malin Kundang! Tadi elo sendiri ya yang bilang nggak boleh makan di luar! Jangan kasih yang lain!

Dan sialnya aku malah kedapatan memelototinya dan segera saja aku melengos. Harusnya aku rekam tuh omongannya, biar seru!

Begitu dia keluar, aku menunggu hingga Koko masuk kembali ke ruangannya, dan dengan gesit aku mengambil plastik cokelat, lalu menuju ke meja Mbak Nita. “Bagiin ke yang lain Mbak,” seruku sambil membagikan uang makan siang, kemudian berlalu cepat-cepat ke lantai satu. 

Aku langsung keluar dari ruko untuk menghirup oksigen yang lain, meski yang ada malah debu sana-sini. Tapi biarlah, yang penting aku menjauh sejenak.

Ponselku berdering. Bola mataku langsung berotasi, melihat nama Kodanil di layar. Harusnya, ponselku ikut kutinggalkan tadi.

Aku mencibir tanpa suara sesaat, sebelum mengangkat.

“Halo, Ko?”

“Di mana?”

“Lagi mau ke warteg Ko.” Ngomong sama Koko tuh harus pasti-pasti, jangan ada kalimat bercabang apalagi tawarin nitip, biasanya titipannya malah akan banyaaak. Pernah sekali aku nyambungin ucapan dengan, “Koko mau nitip?” yang kukira dia bakalan dengan cool bilang ‘enggak’ nyatanya dia malah nyuruh aku sekalian ke minimarket, belikan dia air mineral, rokok, permen! Bikin aku beda tipis sama jongos.

“Jangan ke warteg,” sahutnya. “Saya sudah pesan bakmi.”

Lagi-lagi aku mengeryit curiga. God! Aku nggak bisa lebih lama lagi dalam keadaan seperti ini. “Ya, terus?”

“Ya tidak ada ‘terus’. Balik. Makan bakmi.”

Wajahku semakin mengetat. “Ya tapi—“ napasnya mengembus panjang, aku paling malas jika disuruh berdebat, apalagi dengan orang nggak jelas seperti dia.

“Kamu kan ngambek tuh, cokelatnya dibagi-bagi. Jadi saya pesan bakmi. Kamu kan suka bakmi.”

Aku memaki dalam hati. Itu fitnah terbesar dalam hidupku. Sejak kapan aku suka bakmi?? Dia! Dia yang suka bakmi! Dan tiap kali Koko pesan bakmi, dia pasti pesan dua porsi. Karena dia kasih aku, mana mungkin nggak kumakan. Aku memang nggak suka mubajir. Pasta gigi saja bisa kubelah jadi dua biar nggak ada sisa yang kebuang. Ini pasti akal-akalan dia saja, dia yang mau makan bakmi, tapi aku dijadikan dalih!

Sial! Omelanku panjang banget. 

“Saya nggak ngambek kok, Ko. Biasa aja.”

“Kamu tadi pelototi saya.”

Umpatanku dalam hati semakin keras. Aku menjauhkan ponsel, sambil menggigit bibir bawahku kuat-kuat saking geramnya. Mengontrol ulang napasku. 

Okee... tenang Aya. Waktumu di sini nggak lama lagi, baik-baikin aja dia dulu, sebelum ajukan surat resign. 

Dan saat aku melihat layar ponsel ternyata panggilan belum terputus. Dengan sangat terpaksa aku kembali meletakkan ponsel ke telinga... “Aya!” 

Pekikkan Koko memekakkan telingaku. “Ya Ko...” sahutku panjang.

“Ngapain kamu? Melamun?”

“Enggak Ko. Enggak dengar Koko ngomong apa.” Bohongku.

Dan sedikit banyak suara bising kendaraan pasti disadarinya.

“SAYA TITIP LIGHTER. LIGHTER SAYA KETINGGALAN.”

Astaga!! Nggak jerit juga kalik! Kupingku budeg beneran nih. Lama-lama kerja bareng Koko organ tubuhku bisa bermasalah semua kayaknya. 

Tadinya aku mau langsung matikan panggilan, tapi mulut ini benar-benar nggak bisa diajak kerja sama. “Itu aja kan, Ko?” tanyaku malas-malasan.

“Silverqueen juga.” Heh? “Memang di mana-mana ada jual. Tapi menurut saya rasanya lebih enak dari chocolate yang saya kasih tadi. Tidak apa lah. Next time saya ke Singapura, saya beli lagi chocolate untuk kamu. Sudah kan? Jangan ngambek lagilah.” 

Dia masih ngira aku ngambek? Aku enggak ngambeek! Di sini kan nggak ada CCTV. Mana mungkin dia bisa lihat ekspresiku. 

Dan sekarang aku tambah bingung, kalau aku nggak beli itu cokelat, dikira aku masih ngambek. Kalau aku beli, entar dia pasti kesenengan ngira dirinya udah berbaik budi banget ngasih-ngasih aku, jadi bebas lagi suruh ini itu. 

Arghhh!

 

=================================================

 

Bab 3

 

Ibadah telah selesai, tapi aku masih menunggu Mama bercengkerama dengan temannya. Aku membawa motor, jadi aku memutuskan menunggu di bawah pohon dekat dengan parkiran. 

Mataku menangkap orang-orang yang kukenali dari kejauhan pandanganku segera merunduk, dan berpura fokus menekuri ponselku.

Mereka di sana berjalan menuju parkir mobil. Mereka yang kumaksud adalah, keluarga mantan pacarku dan istrinya yang tengah hamil besar. Kami satu gereja. 

Dalam keadaan apa pun orang-orang akan menganggapku menyedihkan. Mau aku sedang cantik, sedang tidak dandan, sedang pakai baju olahraga ataupun sedang pakai kebaya. Pokoknya, sejak putus dan tidak melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan dengan Johanes aku tetap jadi perhatian. 

Statusku yang masih sendiri selalu dikaitkan dengan Johanes. Aku putus dengannya, dengan cara yang baik-baik, setidaknya, tak ada drama yang terjadi pada waktu itu. Tetapi orang-orang terdekat kami selalu beranggapan lain, maklum, kami berpacaran lebih dari tujuh tahun.

Aku dan Johanes sudah saling kenal sejak kecil, kami teman satu gereja, sering terlibat kegiatan keagamaan bersama, dan juga teman satu sekolah saat SMA, meski nggak satu jurusan. Dia juga sering main ke rumahku. Di tahun kedua SMA, dia mengajakku berpacaran, aku tahu tujuan kami saat itu hanya untuk asik-asik saja, supaya sama-sama nggak terlihat jomlo.

Secara fisik Jo biasa-biasa saja, nggak bisa dibilang tampan tapi juga nggak jelek, dia serasi denganku yang juga biasa-biasa saja. Hubungan pacaran kami layaknya teman, dan Mama juga sudah menganggapnya seperti anak sendiri. 

Begitu lulus kuliah, aku bekerja di percetakan, sedangkan Jo menjadi honorer di BNN. Dia rajin mengikuti seleksi CPNS karena orang tuanya menuntutnya seperti itu. Berbeda dengan Mama yang santai-santai saja, anaknya mau jadi apa pun, asal aku nyaman. Karena Jo sering ikut seleksi, aku juga melakukan hal yang sama. Dan selama tes-tes itu dia sering menghabiskan waktu di rumahku untuk belajar. Dia tekun, sementara aku malas-malasan.

Jo lulus PNS kementerian. Dan waktu itu bodohnya aku, malah memupuk harapan kian tinggi. Aku malah berpikir muluk-muluk tentang kehidupan yang setidaknya terjamin jika Jo mempunyai pekerjaan tetap.

Kami nggak pernah berciuman di bibir, dia hanya sesekali mengecup dahiku. Kala itu aku sedikit kagum dengan kencan sehat kami. Setidaknya, dulu aku berpikir seperti itu, tapi setelah kupikirkan lagi saat ini, hubungan kami sama sekali nggak sehat. Jo selalu mengungkapkan impian-impian dan kemauannya, sementara nggak ada ruang tersisa untukku, untuk mengatakan apa pun yang kurasakan dan yang kuinginkan. Terlebih, Jo nggak pernah bertanya apa yang kumau. 

Jo selalu berhasil menempatkan dirinya sebagai sentral dalam hubungan kami. Ke mana pun tempat yang akan kami datangi adalah segala hal yang berkenaan dengan urusannya. Tetapi, waktu itu aku justru mendapati diriku semakin bertanggung jawab untuk mendukungnya. Aku selalu nggak enak hati jika mendapati Jo badmood, dan berkewajiban menghiburnya. 

Ketika Jo semakin sibuk dengan pekerjaannya, dan intensitas pertemuan kami jadi berkurang, sedikit banyak, aku sudah punya firasat buruk.  Tapi aku masih berusaha menjalin komunikasi dengan menanyakan kegiatan hariannya, meski dijawab lebih singkat-singkat dari biasanya. 

Puncaknya, ketika Jo mendadak mengajakku makan malam. Dia memilih restoran, alih-alih tempat makan lesehan yang sering kami datangi. Waktu itu aku dijemput pulang kerja, dan sedikit menyesal kenapa tidak pulang ke rumah dulu untuk mandi dan berganti baju. 

Tapi setidaknya, apa yang Jo katakan selesai kami makan, membuatku nggak terlalu menyesali penampilanku waktu itu. Nggak terlalu mengenaskan mendapati diri bukan dalam pakaian dan penampilan terbaik saat ternyata aku diputuskan.

Dia bilang kami nggak cocok. Dan berharap aku bertemu dengan cowok yang lebih dari dia. Sebenarnya banyak lagi yang dia katakan, tapi otakku sengaja melupakannya. Yang jelas, kata-katanya waktu itu seperti sudah diatur sedemikian rupa. 

Aku nggak menangis, meski aku menerima keputusannya dengan hati yang berat. Berat karena pasti banyak tekanan dari luar yang akan kuterima dan itu menjadi kenyataan. Aku berusaha mengatur hatiku, aku tahu nggak ada yang bisa kuperbuat jika seorang pria sudah tak memiliki rasa lagi denganku. Aku juga sedikit menghargai Johanes yang berani berterus terang, dan tak melanjutkan hubungan kami atas dasar kasihan.

Aku tak tahu, dari mana sisi malaikatku datang, tapi yang jelas, pembicaraan itu sudah tidak membuatku terlalu terkejut.

Namun, yang membuatku gelisah adalah membicarakan putusnya hubunganku dengan Mama. Mama sudah menganggap Johanes seperti anaknya. Ketakutanku membuat Mama kecewa dan sedih lebih besar daripada kesedihanku sendiri. Dan hal itu justru membuatku menyalahkan diri sendiri. 

Mama hanya menepuk pundakku sambil berkata.  “Ya udah, Kak. Memang nggak jodoh. Lain kali pacaran jangan lama-lama,” ucap Mama waktu itu yang justru dengan nada seloro, meski aku tahu tatapannya sedikit lain. 

Hanya semudah itu. Namun, tanggapan Mama tersebut justru membuatku menangis. 

Kenapa Mamaku begitu baik? Aku tahu Mamaku pasti akan memaafkan jika aku melakukan kesalahan. Namun, untuk itu pula aku nggak pernah berani membuat kesalahan. 

Tak sampai sebulan dari kami berpisah, Jo sudah terlihat dekat dengan Donna. Donna juga teman satu gereja, lebih muda dari kami, dan baru selesai Koas. 

Banyak selentingan yang masuk ke telingaku. Dan aku yakin itu juga sampai ke telinga Mama. Bahkan ada yang sampai ke telingaku bahwa Jo memang sengaja didekatkan dengan Donna, ibu mereka bergaul dengan akrab.

Aku mengabaikannya. Aku hanya peduli dengan tanggapan Mama, tetapi hingga detik ini, tak pernah ada pembahasan soal itu. Jadi, harusnya aku sudah bisa mengembuskan napas lega dan melanjutkan hidupku.

Pada satu titik, saat aku melihat secara keseluruhan. Mungkin jika aku jadi Jo, aku juga akan lebih melirik wanita itu dan segera menjadikannya pendamping hidup. Karena Donna jelas jauh lebih cantik dariku, dia juga calon dokter. 

Aku nggak dendam, dan nggak pernah berniat membalas. Aku hanya mendapati setitik kekecewaan, terutama kepada diriku sendiri. Seharusnya aku memang nggak perlu berharap banyak atas sebuah hubungan. Semuanya akan fana pada waktunya, entah apa pun penyebabnya. 

Seperti Papa yang meninggal sewaktu aku masih usia tiga tahun karena serangan jantung mendadak, Mama juga pasti nggak bisa memilih saat itu, tapi takdir berkata lain. Dan hingga saat ini Mama nggak pernah berniat menikah lagi, meski aku nggak pernah menghalanginya, itu pilihan Mama dan aku sangat menghargainya. 

I just get my self more defensive and insecure, aku nggak menghalangi diriku untuk berkencan jika memang ada, tapi mungkin aku tak akan lagi memasukkan ke dalam hatiku. Meski urusan jatuh cinta tetap di luar kuasaku, namun tiap berdekatan dengan lawan jenis, aku tak lagi berusaha menjadi yang lain dari diriku. Aku tidak lagi peduli apakah akan disukai atau tidak. Aku nggak mau lagi berada di dalam hubungan yang berlangsung satu arah.  

Aku menghentikan segala lamunanku saat akhirnya Mama datang, berjalan beriringan dengan teman-temannya dengan wajah riang dan ramah. 

Senyumnya menular padaku. Aku segera menuju motorku dan memakai helm. 

Sepuluh menit kemudian, kami sudah berada di rumah. Aku langsung ke dapur untuk minum, karena sejak tadi sudah haus berat. Ponselku di saku jaket, terus saja bergetar. Sudah pasti si Koko, dan aku mengabaikannya. Nggak sabaran banget, ini juga aku sudah mau gerak!

Aku juga sudah bilang ke Mama hari ini mau ke kantor ada kerjaan. Namun, saat Mama muncul di dapur untuk minum juga, aku jadi teringat lamunanku tadi.

Mungkin sudah saatnya aku membicarakan niatanku untuk keluar dari kerjaanku yang sekarang.

“Ma, aku pengin punya petualangan baru.”

“Apa itu?” tanya Mama dengan wajah berseri. Lihatlah, Mama memang selalu terdepan untuk mendengarkan curhatanku, meski aku tetap saja tak bisa segamblang itu menyuarakan apa yang ada dipikiranku, dan sepertinya Mama sangat mengerti itu, itu sebabnya Mama selalu semangat saat aku mulai bicara hal-hal seperti ini. 

Aku terdiam sejenak. “Aku pengin resign.”

“Bu Susan sudah tahu?” tanya Mama langsung, tanpa ada jeda ekspresi aneh di wajahnya.

Aku menggeleng.

“Kamu diterima bekerja baik-baik. Selesaikan juga dengan baik.”

“Mama nggak masalah?”

Mama meminum air putihnya. “Kamu memang dianugerahkan Tuhan kepada Mama. Tapi ini hidupmu, tentu kamu yang berhak menggerakkan tuas, bukan Mama.”

Mama benar. Mama benar-benar terlahir sebagai pendidik. Mungkin ucapan yang sama akan diucapkan kepada murid-muridnya yang sedang kebingungan menentukan arah hidup. 

Moto Mama hanya, hidup dengan bahagia, karena kehidupan ini adalah anugerah. Namun, masalahnya aku belum bahagia, dan sedang mencari apa yang membuatku bahagia.

Meski aku anak satu-satunya, Mama nggak pernah menuntut apa pun yang justru selalu membuatku sangat takut merusak kepercayaannya. 

Apa Mama akan bereaksi yang sama, jika aku mengatakan aku ingin menato tubuhku? Ah, aku belum berani mengatakannya, meski itu cuma imajinasi atau sebatas impian liar.

“Ya udah deh, Ma. Aku pergi dulu,” ucapku menyalim tangan Mama.

“Hati-hati, Kak!”

“Hmmm...”

Jika jalanan sedang lengang, jarak dari rumahku ke ruko kerjaan cuma lima belasan menit. Dan berhubung sudah siang, panas-panasan, jadi jalanan sedikit lancar.

Begitu aku sampai mobil Koko sudah langsung memenuhi penglihatanku. Aku memarkir di sebelahnya. Pintu besi ruko hanya terbuka sedikit.

Aku mematikan mesin dan melepas helm. Saat mendekat terdengar suara-suara, sudah pasti itu Koko dan Jessica, wah... kira-kira udah berapa lama ya mereka berduaan begitu, batinku meledek. Jika ada Mbak Nita pasti seru nih.

Aku mendorong pintu kaca, penjelasan Koko kepada Jess terlihat berhenti.

“Wah. Cepat sekali sampainya,” celetuk Koko.

Aku tahu itu sindiran, tapi dia nggak bisa ngomel, karena jelas-jelas tahu aku baru pulang ibadah. Meski tadi rada leha-leha sedikit. Haha... biarin sih!

Lagian, apa sih tugasku di sini? Mantau kalian PDKT?

“Sudah, let’s go,” ucap Koko lagi, mengambil satu kardus ukuran lumayan besar. Apa tuh isinya?

Dan pertanyaan lain yang lebih heboh di kepalaku adalah. Ini pada mau ke mana?? Kok main let’s go aja??

Aku belum sempat tanya, langkah besar Koko sudah melewatiku.

“Kamu bawa motorcycle?” tanyanya heboh.

Aku kontan menatap aneh. “Y-ya memangnya kenapa, Ko?” kadang-kadang juga aku naik motor, dan nggak pernah bermasalah tuh. 

“Kamu ini bikin susah saja. Kamu baca pesan saya, tidak? Ketika saya bilang kita berkumpul di kantor, artinya kita akan ke suatu tempat.”

Enggak tuh, aku nggak ngerti kalau maksudnya itu. 

“Jadi, gimana, Ko? Atau saya nggak usah ikut saja?”

Tawaranku justru membuat otot rahangnya bergerak-gerak.

“Uruslah, motor kamu itu,” katanya sewot. “Masukkan ke sini.”

Ya memang iya! Mana mungkin aku taruh di luar. Bisa digondol maling entar! Padahal sih aku berharap dia berkata. ‘Ya sudah, pulanglah sana kamu!’

Aku diam dengan ekspresi datar, saat kembali keluar dan mengurus motorku. Jess dan Koko pun ikut keluar. Aku nggak perhatiin banget apa yang mereka lakukan, karena fokusku cuma masukkin motor dan simpan helmku baik-baik.

Tapi begitu keluar dan hendak kunci pintu—berhubung aku juga pegang kunci lengkap kantor. Gerakanku sedikit terhenti. 

Aduh! Jess kok duduk di belakang duluan sih? Kalau aku buka pintu belakang juga, si Koko ngomelnya pasti sepanjang jalan kenangan, karena nggak terima dijadikan sopir. 

Mana gayanya udah sengak banget, kaca dibuka lebar-lebar dan lengannya nyender di kaca gitu. Dia pasti nunggu-nunggu banget buat negur aku. 

Selesai mengunci seluruh pintu, aku berjalan dengan langkah hati-hati. Melewati sisi kiri mobil, padahal ini langkah udah pengen banget maju lagi, terus buka pintu belakang. 

Tapi karena matahari seperti berada tepat di atas kepalaku, dan nggak mau buat tambah penat karena omelan Koko, jadi aku tetap buka pintu depan. Bodo amat lah kalau dia buat ulah lain lagi.

Aku naik ke jok di sebelahnya dengan kaku. 

“Good!” meski sangat pelan aku masih bisa dengar gumamannya. 

Good, karena nggak perlu adu urat lagi kan?? batinku. 

 

===============================================

 

Bab 4

 

Ke mana kami? Ternyata Koko membawa kami ke apartemennya. 

Ini seperti acara dibalik pintu-nya Boy William. Dan tadaa... masuklah kami ke apartemen Koko Daniel Fernando Chandra Admaja, si pemuda angkuh nan songong, eh?

Serius, mataku nggak henti-hentinya jelalatan.

Apartemennya bersih, rapi—entah karena memang jarang ditempati—cenderung lengang tanpa banyak barang. Dilihat dari pintu yang ada, sepertinya cuma ada satu kamar, dan satu lagi pasti kamar mandi. Dalam sekali lihat aku bisa menebak Koko suka sesuatu hal yang unik tapi memiliki fungsi, beberapa furniture yang ada memiliki bentuk atau corak yang tidak umum. Seperti asbak, lampu, meja makan. 

Dan aku semakin nggak nyangka, dia sudah prepare untuk kedatangan kami—maksudnya, fungsi kami di sini, fungsi Jess sih lebih tepatnya bukan aku, sebab di sudut ruangan sudah ada meja, lengkap dengan background, lighting, tripod. Whoaa... sudut itu sudah ada di dalam pikiranku ketika mulai belajar make-up.

Andai saja ini bukan apartemen Koko pasti aku sudah excited. 

Koko meletakkan kardus yang dibawanya, lalu mengeluarkan isinya yang merupakan produk sablon kami, ada kaos, totebag, blocknote, pouch, pin, stiker dan sebagainya. 

“Kita harus punya booth seperti ini di kantor.”

“Ruang arsip di lantai dua kayaknya cocok.” Kataku yang fokus ke pernak pernik Youtuber itu. Astaga... aku keceplosan. Ketika mendongak, Koko sudah menatapku. 

“Sound good.”

“Jess, sini,” ucapnya.

“Ya, Ko,” sahut Jess yang hari ini girly abis pakai rok dan kaus pink itu mendekat, menyibakkan sedikit rambutnya yang lurus dan berwarna kecokelatan. 

“Mineral di kulkas, ambil sendiri bisa kan?” ucapnya kemudian yang pastinya ditujukan ke aku, yang kontan pengin kugetok kepalanya karena mana mungkin aku ambil-ambil sembarangan. Harusnya dia dong yang layanin tamu.

Aku melipir hati-hati tanpa menarik perhatian, duduk di sofanya yang empuk banget. Nyaman banget nih sofa. Kalau ini bukan apartemen Koko aku pasti udah curi-curi kesempatan buat goleran. Tapi berhubung ini apartemen Koko, punggungku bawaannya tegang aja, biasanya nggak mungkin nih, dia biarin aku diem-diem aja kayak sapi nunggu jatah rumput.

Waktu bergulir, aku udah nggak bisa tegakin punggung lama-lama, sementara suara Koko masih kayak kaset rusak jelasin ke Jess ini itu, termasuk tentang rencananya yang bikin video-video pendek. Apa aku fotoin mereka aja dari belakang ya? Terus kukirim ke Mbak Nita, hihi. Tapi nggak deh, jejak digital bisa bahaya. Aku kan udah mau cabut, nggak mau cari gara-gara.

Tapi ya, makin lama di sini, dan nggak ngapa-ngapain, udah pasti aku boring lah. Aku juga nggak mungkin turun gitu aja tanpa kartu akses dia. Aku beneran kayak kambing congek perhatiin dia yang ngajarin Jess ambil angle-angle yang pas pakai kameranya yang mahal itu. Mana nih hape sepi amat, random chat ke Jani aja kali ya? 

Sambil menimang ponsel, mataku memicing karena akhirnya ada beberapa chat yang masuk mendadak. Grup geng SMA mendadak menempati posisi teratas. Ini grup memang ilang timbul, ramenya kalau lagi ada pembahasan seru aja, atau pas si Awan sebar foto-foto jadul.

Di dalam grup itu ada enam orang. Awan, Darius, Mada, Agustinus, Jani, dan aku tentunya. Kami semua satu kelas saat SMA. Berbeda dengan Jo yang jurusan IPA, aku masuk jurusan IPS, dan di mana-mana vibes dari kedua jurusan itu memang beda jauh. Teman-temanku spesies yang nyantai abis. 

Biasa aku cuma saling private message dengan Jani.

Tapi yang kali ini rame karena...

 

Awan : Oii... Darius mau balik ke habitat. Bosan di tengah laut main sama Spongebob mulu. @soraya atur tempat terus.

Awan : Yang kali ini tempatnya harus yang elit, yang soundsystemnya bagus. Biar suara gue tersalurkan dengan baik. Darius yang traktir, kita kuras isi dompetnya. 

Agus : Lo itu kalau nyanyi kayak Giant, baru tes doang kita udah otw bubar.

Jani : wkwkwkkwk.

Awan : Halah, Gus.. Gus.. biasa juga lo rekues lagu galau ke gue. Belum setahun nikah masa galau terus.

Agus : Kampreet!

 

Aku tertawa tanpa suara. Status grup masih mengetik. Seperti biasanya, aku tunggu perdebatan kelar baru nimbrung.

 

Awan : Aya! Mana lo. Weekend nih. Jangan sok sibuk.

Jani : Sssstt... jangan berisik. Anak gue lagi bobok!

Awan : Anak lo, ninabobok pake hape?

Jani : Anak gue ninabobok pake rekaman suara bapaknya. 

Awan : Sarap!

Mada : send pictures. (Foto piring porsi lengkap nasi dengan lauk)

Mada : Makan guys...

Awan : Makan apa lo jam segini? 

Mada : Lo kan gitu, ditawarin salah, nggak ditawarin ngamuk.

Jani : Perasaan lo yang paling tua dari kita-kita. Tapi lo yang paling berapi-api. Awas tenggorokan kering, teriak-teriak mulu.

Awan : Umur boleh tua, jiwa tetap muda.

Jani : Preeeett!!!

Agus : emotikon ngupil.

Awan : Kalau nggak ada gue lo semua pada ndekem di rumah aja, nggak punya pergaulan. Terutama Aya tuh! 

 

Kali ini aku beraksi.

 

Aya : Permintaan lo byk bgt. Ujungnya gue pesenin warung lesehan nih!

Awan : Jangan gitu dong Ayang Beb. Mumpung ada yang traktir nih. Biasa kan kita patungan, biasa si Agus sampe nyari recehan di kaus kaki. 

Agus : Anjrit! Gue terus ya, awas kalo ketemu, gue kurusin lo.

Jani : Dariusnya aja kagak nongol. Memang nih, Awan, mulut marketing, nyerocos... terus.  

Awan : dia lagi dayung sampan berjibaku supaya cepat sampai ke darat.

Darius : Baru selesai manjat. Oh... gitu ya lo Wan. Di belakang kau hina dina diriku. 

 

Aduh, perutku sampai sakit, dan semakin sakit karena nggak bisa meledakkan tawaku. Kalau tadi ini di dalam kamar, sudah pasti aku guling-guling ketawa heboh. 

“Ngapain kamu senyum-senyum?”

Wajahku seketika berubah datar, dan menangkupkan ponsel di atas paha. Aku mendongak dan mendapati Koko sudah berdiri di dekatku.

“Balas chat teman,” sahutku singkat. 

“Punya teman juga kamu?”

Aku menatapnya dengan pandangan, ‘apaan sih?’ tapi itu hanya bertahan sedetik sebelum aku kembali menatap layar ponsel. Berhubung ini di luar kantor, kayaknya aku lebih berani mengabaikan dia. 

Dan jika dilihat dari wajahku, mungkin pertanyaan Koko bisa saja menjadi pertanyaan orang lain. Menurut test kepribadian aku memang tipe introver, jadi bisa dipastikan aku nggak pernah berbasa-basi duluan dengan orang lain. 

Awal mula aku bisa kecemplung di grup itu, sudah tentu Jani yang punya andil. Jani teman sebangkuku, anaknya gesrek abis, asik membawa suasana, dipilih jadi ketua kelas, dan sebagai yang paling berani dengan cowok-cowok bandel di kelas kami. Jani menarikku ke mana-mana, hingga kami dekat dengan Awan dkk. Aku suka salut karena Jani bisa menyuarakan pikirannya secara blak-blakan, berbanding seratus delapan puluh derajat denganku. Aku cuma nggak nyangka Jani yang paling cepat menikah di antara kami. Sekarang dia ibu dari dua orang anak, dan suaminya—menurut Awan—jadi golongan suami-suami takut istri. Seriously, aku juga salut dengan keahliannya menakhlukkan pria. By the way, di antara kami berenam hanya aku dan Darius yang belum menikah.

“Okay, coffee break. Ya, buatin kopi.”

Kan. Kan... aku menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Aku sudah duga sejak awal ada yang salah dengan keberadaanku di sini.  

“Gimana kalau saya beli di bawah aja, Ko?” sambarku cepat. Sekalian hirup udara segar, plus bisa ketawa-ketawa sambil balesin chat teman-temanku. 

“Saya ada kopi, ada coffee machine juga. Buat kopi di sini saja.” 

Biar nggak keluar biaya, gitu kan? Tapi masalahnya aku nggak ngerti cara pakai mesin gituan. 

Koko menatapku kian dalam. Sialan. Mau nggak mau aku bangkit perlahan. “Tapi—saya nggak bisa pakai mesin gitu—Ko.”

Bibir Koko menipis. “Ya sudah buat kopi biasa saja. Ada bubuk kopi juga,” dia sudah maju selangkah, saat Jess menimpali.

“Saya bisa, Ko. Buatin kopinya.”

Kami berdua langsung menoleh. Duh Jess... ini Koko jangan dibaik-baikin? Lama-lama sih ngelunjak.

Koko menuju pantri dengan Jess yang mengikutinya. Aku? Diam ajalah, biar nggak disuruh-suruh. Kulihat Koko mengeluarkan toples dan tiga cangkir. Sebelum kembali beralih ke arahku. 

Sialnya, semakin Koko mendekat, aku malah nelan ludah.

“Sini,” panggilnya seperti memanggil kucing.

Aku sontak menatapnya ragu-ragu? Apalagi nih? Astaga... perasaanku kok kayak diuji nyali begini ya? Aku benar-benar harus mengajukan surat resign secepatnya. Berdekatan dengan Koko memang nggak baik untuk jantungku. 

Aku melangkah mendekati. Mataku memicing, jangan-jangan aku mau diajari foto-foto juga seperti Jess tadi. Kali ini wajib aku asal-asalan. Kalau kebisaan aku banyak entar Koko makin sesukanya nyuruh-nyuruh.

“Coba foto.” Koko mengarahkan kameranya kepadaku. 

Wajahku terlihat ogah-ogahan pasti. 

Keren sih ini, kameranya, dan daritadi lirik mereka fota-foto kayaknya yang pro banget gitu. Hati kecil pengin belajar. Tapi, bukan dengan Koko, ya...  ntar urusanku dengannya jadi panjang. 

“Saya nggak pinter Ko. Nggak ada bakat,” tolakku halus. Berpura cuek-cuek bebek.

“Saya tahu,” sengitnya. “Saya cuma suruh foto.”

Ini orang maksud dan tujuannya apa sih?? Nggak ketebak banget! Aku mengambil kamera ragu-ragu dari tangan Koko. 

Aku melirik Koko sekilas. Lalu memfoto dengan asal.

“Again.”

What...? Aku kan udah bilang nggak jago beginian!

Dengan pasrah. Aku memfoto ulang.

“Coba ambil dari angle yang lain. Dari atas.”

Astagaa....

Aku melakukan instruksinya dengan wajah tertekuk masam.

“Masih oke banget kan, kameranya?”

Eh? Hm... aku mengangguk.

“Bahkan diambil oleh orang yang tidak jago foto seperti kamu, tetap bagus hasilnya.”

Aku memang mendengarkan, dan sedikit menipiskan bibir sebab dia menyindir. Tapi tampangku masih oke-oke saja, sebelum dia menambahkan.

“Ini akan jadi inventaris kantor. Saya beli ini tiga tahun lalu. Tapi jarang dipakai, karena saya sudah sibuk dengan pekerjaan. Saya lihat second di internet masih tujuh jutaan. Okay, untuk kantor saya beri harga enam juta. Bagaimana?”

Eh? Maksudnya?? Tatapanku semakin menyipit, jadi ini tujuan hitung budget yang dikatakannya kemarin?

“Um... jadi kita masukkan ke pengeluaran kantor, Ko?”

“Ya iyalah...” sahutnya panjang.

“Ya—sudah,” sahutku mengiyakan.

“Saya tanya pendapatmu...” balasnya dengan nada gemas.

Aku mengembuskan napas perlahan-lahan. Dugaanku, aku akan kecemplung ke dalam situasi, jawab salah, nggak dijawab lebih salah. 

“Kalau menurut pendapat Bu Susan, pasti dia nggak mau keluar uang sebanyak itu hanya untuk kamera, Ko.” Oke, main aman sih, akunya. 

“Itu dia.” Wajah Koko berubah jutek. “Saya sedang tidak bicara dengan, Mom.”

Sudut alisku sedikit terangkat, lumayan penasaran dengan pernyataannya, tapi malas tanya-tanya, jika nggak mau reweuh sendiri. 

“Oh, coba kamu yang telepon Mom, dan katakan penawaran saya,” imbuhnya. 

Eh? Kini giliran wajahku yang jutek. “Ya pasti seperti yang saya bilang tadi Ko. Bu Susan bakal susah approve.”

“Kalau dia tolak, bilang saya yang paksa, saya yang approve,” sambar Koko keras kepala.

Ya, kalau gitu harusnya dari tadi nggak ada masalah dong Fernando? Kenapa libatin gue???

“Kalau begitu mending Koko bicara langsung,” saranku coba bersabar.

“Kamu tidak dengar? Saya bilang sedang tidak bicara dengan Mom.” 

“Ya terus saya bakal dioper sana sini, diomelin sana sini dong,” celetukku dengan emosi yang kelepasan kemudian mendadak diam melihat Koko menaikkan alisnya. Apa nada suaraku terlalu tinggi ya?

But... Ya ampun...good job, Aya! Kamu bisa keluarin sedikit keluhanmu!

Kulihat Koko berkacak pinggang, dan memasang tampang berpikir. “Tidak usah laporan. Saya yang tanggung jawab.”

Nah, dari tadi kek! Atau dari minggu lalu sekalian, biar aku nggak diseret-seret ke sini!

Fiuh... hanya pembicaraan kecil begini saja tenggorokanku udah terasa kering. Ini Jess kenapa lama banget sih bikin kopinya? Jangan-jangan pake acara diukir kayak barista? 

“Jess. Lebih dekat ke kantor atau ke rumah kamu sih, kalau dari sini?” tanyaku saat keluar dari lift menuju parkir mobil, saat akhirnya Koko mengizinkan acara—yang sebenarnya nggak penting untukku—hari ini disudahi.

“Ya—sebenarnya lebih jauh ke rumah saya daripada ke kantor. Atau sampai di kantor saya naik ojol saja.” Tapi wajah Jess justru seperti berharap akan diantar. Duh, apa aku salah langkah ya? Sorry ya Jess.

“Oh, ya udah. Kalau gitu ke kantor, baru setelah itu Koko antar Jess?” tawarku memperbaiki keadaan.

“Kita antar Jess dulu,” ulang Koko. “Ada yang mau saya ambil di kantor,” imbuhnya.

Keningku berkerut heran. Bukannya bisa ambil dulu baru antar Jess ya? Mulutku sudah terbuka tapi Koko sudah lebih dulu melangkah memasuki kemudi.

Kalau begini, aku mana bisa menawari Jess duduk di depan. Gimana nih?!

Dengan mengembuskan napas berat, akhirnya aku kembali duduk di sebelah si sopir!

Lokasi apartemen Koko lumayan jauh, dan berhubung kami mengantar Jess lebih dulu, alhasil kami menghabiskan waktu sejam-an lebih untuk menuju rumah Jess.

Belum lagi balik ke kantor, terus balik ke rumahku! Aku udah ngedumel aja dalam hati. 

“Kamu bisa tidak, jangan kasih usul yang tidak-tidak?” ucap Koko, ketika mobil berputar ke jalan raya setelah mengantar Jess.

Dahiku langsung berkerut. “Maksudnya—Ko?”

“Soal antar Jess!” balasnya sewot.

Lha, kenapa? “Memangnya kenapa, Ko?” Sengitku.

“Jess suka saya.”

Hah??

“Jess bilang ke Koko?” tanyaku dengan wajah terkejut.

“Tidak.” Ya terus?? Kernyitan di dahiku semakin dalam saja. “Dari tatapannya saja saya sudah tahu.”

Bola mataku langsung berputar. Dih! Kepedean nih orang. Dan, oh... I See... aku cuma dijadiin tameng ya, biar situ nggak berduaan aja sama Jess?

Tapi tunggu dulu, kalau dia bisa baca pikiran orang, dan main simpulin sendiri. Harusnya dia sadar dong, aku ogah-ogahan deket dia? Tapi kok malah aku yang jadi bulan-bulanan ya?

Duh udah deh. Nggak usah kepo Aya. Nanti malahan berabe. 

Kami kembali saling diam, dan aku menatap semakin suntuk pada jalanan sore yang padat. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menatap ke depan atau ke luar jendela. Ogah sih, menatap ke Koko.

“Saya tidak menyangka akan stay di Jakarta lagi. Dan ternyata prospeknya secerah ini,” ungkap Koko di tengah-tengah padatnya jalanan.

Aku hanya melirik sekilas. Kayaknya bakal panjang nih. Ya ampun. Aku nggak mau dengarin curhatannya. Apa aku pura-pura tidur aja ya? 

Hanya saja, aku tetap diam, nggak tega juga kalau pura-pura tidur, atau pura-pura sibuk dengan ponsel. Namun, jangan harap aku bakal semangat menanggapi ceritanya. 

Tapi tunggu dulu, apa katanya tadi? Prospek cerah? Bukannya situ lulusan IT dan dari cerita Bu Susan kamu sudah pernah dapat posisi bagus? IT Support perusahaan skala internasional.

“Kamu tahu wattpad?” 

Keningku berkerut. Kayaknya aku pernah dengar.

“Platform baca-tulis. Masa tidak tahu?”

Aku tetap diam.

“Wattpad lagi happening beberapa tahun belakangan. Jarang baca kamu, ya?” tudingnya.

Ya masalahnya aku nggak punya waktu buat baca buku! Pulang dari kantor langsung bam, tidur!

“Saya tahunya webtoon,” sahutku dan malah membuat Koko makin sewot.

Telunjuknya langsung bergoyang-goyang ke arahku. “Biar cepat, kamu pasti hanya lihat gambar saja.”

Terserah...

“When I was in Singapore, my friends are also creating a similar aplication. Teman saya itu bercerita, banyak dari penulis baru yang menerbitkan secara selfpublish. Ini kans kita untuk ikut nimbrung dalam roda bisnis itu. Mesin kita bisa cetak Offset, POD. Untuk suvenir pre order, juga semua bisa kita tampung. Mau sedikit, mau banyak, semua bisa kita bikin.”

“Tapi bukannya biasanya mereka sudah punya tempat cetak langganan, Ko?”

“Apa guna kita punya marketing? Kita sasar penulis baru yang mau cetak, dong... gimana sih kamu?”

Hmmm...

“Itu sudah saya beli. Pakai uang pribadi saya.” Tunjuk Koko. 

Aku serta-merta menoleh, menatap horor ke deretan ruko yang baru dibangun. Yang letaknya hanya satu kilo dari ruko kantor kami. Lalu??

“Itu akan menjadi usaha pribadi saya. Target saya dalam tahun ini sudah jalan. First of all, kita susun budgeting untuk interior design.” 

Kita? Aku nggak salah dengar kan? Kenapa aku dibawa-bawa? 

Dan sebelum rencananya terealisasikan aku harus sudah mengajukan surat resign! Harus!

“Nanti—“

“Kegiatan hari ini itungannya gimana, Ko?” sambarku langsung.

Koko kontan memelototiku. “Perasaan kamu daritadi juga duduk saja. Minta dibayar juga, kamu?” sindirnya.

Ya ampun. Tuh kan. Kena sembur lagi.

“Bukan saya. Tapi Jessica,” jawabku sejelas-jelasnya. “Hitung lembur atau kasih uang jajan saja?”

“Kasih uang jajan saja. Untuk kamu—“

“Saya nggak usah Ko,” balasku cepat-cepat.

Dia langsung mencebik. “Gitu saja ngambek.”

Mataku memejam kesal sesaat. Aku nggak ngambeeeek! Aku cuma mau cepat sampai rumah. Dan lagi, dia dapat kosakata ‘ngambek’ darimana sih?

Mobil Koko memutar ke pelataran ruko kantor kami. 

“Saya ada pesan hoodie. Nanti satu untuk kamu. Print dengan desain sesukamu.”

Yep. Aku suka hoodie. Mayan juga sih. Eh, tapi, kalau aku terima barang dari Koko, nanti malah dia semakin bisa nyuruh aku macam-macam?

Kami turun. Koko membuka gembok, dan mendorong pintu besi. 

“Tuh kan, bikin repot. Kalau tidak naik motorcycle saya bisa antar sampai rumah,” gerutu Koko sambil mendorong lebar pintu kaca. 

Justru aku semakin merasa sangaaaaat bersyukur karena tadi membawa motor.

 

=============================================

 

Bab 5

“Pssstt...”

Aku mengangkat wajah dari layar komputer, kepala Mbak Nita menyembul dari balik pintu. Alisku langsung berkerut, pasti ada sesuatu nih. Mbaak... jangan bikin gue deg-degan!

Mbak Nita masuk dengan hati-hati lalu menarik kursi dan memajukkan wajahnya saat berkata. “Gue baru dapet orderan lumayan,” ucap Mbak Nita memulai.

Meski dengan wajah ragu-ragu aku tetap menyahut. “Bagus dong...”

“Seratus pcs kaos untuk CFD harus siap sebelum jam lima besok.”

“Ya udah, buru diselesaiin Mbak, ntar nggak keburu,” selaku.

“Iya... Gue juga udah bilang ke Pak Sapta, anggotanya siap lembur. Masalahnya...”

Nah, gini ini yang aku nggak suka. Perasaanku semakin nggak enak.

“Mereka minta warna hijau tua gitu. Gue udah hubungin gudang Gildan, dan cuma ada stok 60pcs. Gue udah hubungin gudang lain, warnanya nggak cocok. Gue juga mau laporan ke Koko, nggak mungkin kita lepas orderan banyak gini.”

“Ya udah gih, laporan.”

“Ya masalahnya...”

“Mbak, lo jangan nakutin gue dong. Dari tadi bilang masalah mulu!”

“Lo nggak lihat perut gue!” balasnya. “Tadi pagi gue muntah-muntah, mana mungkin gue keluar nyari kaos 40pcs lagi, ngubek-ngubek ke pasar. Rencananya, gue mau minta tolong ke Koko yang cari tuh sisa kaos.”

“Ya udah, gih. Bilang aja. Kalau urusan orderan, tu orang pasti cepat tanggap.”

“Lo lagi lola ya, Ya? Di yang lain cuma kita yang dari awal ngikutin Bu Susan ke mana-mana. Dan cuma lo yang tahu pastinya di mana tempat-tempat cari kaos harga miring.”

Tatapanku langsung seram. 

“Kalau Koko tanya siapa yang bisa temenin, gue langsung sebut nama lo ya?” imbuh Mbak Nita berdiri dengan cepat.

“Mbaak...” sanggahku berdesis.

“Soriii...” balasnya yang kemudian sudah mengetuk pintu ruangan Koko.

“Mbak, lo jangan ngadi-ngadiii,” bisikku lagi.

Tapi yang terjadi kemudian, Mbak Nita malah sudah dipersilakan masuk.

Sialan! Aku nggak mau ah, ngubek-ngubek pasar sama Koko!

Baru saja aku meneriakkan lantang dalam hati, pintu ruangan kembali terbuka. Mbak Nita, kembali menyembulkan kepalanya.

“Ya, dipanggil.”

Aku langsung menunjukkan cakar dengan kedua tanganku. Sementara dibalas Mbak Nita dengan tangan berbentuk permohonan maaf.

“Kak Nita bilang kamu tahu tempatnya?” tanya Koko langsung ketika aku nongol.

Aku mengangguk. “Saya kasih alamat lengkapnya—“

“Ada-ada saja kamu, kamu mau saya kesasar?”

“Kan, bisa pakai map—“

“Butuh cepat, ngapain saya cari-cari jalan lagi?”

“Tapi kerjaan saya—“

“Itu rekapan bisa saya tunggu. Ini pesanan besok jam 5 harus ada, Aya...” seru Koko lengkap dengan geraman.

Bibirku hanya semakin menipis, enggan menyahuti. 

Koko berdiri dan terlihat membereskan sesuatu. “Ya sudah, ayo. Kenapa jadi pada diam di situ??”

Aku kontan membalik badan.

Mbak Nita melirikku, dengan ekspresi, ‘tabah yaa...’ tapi ujungnya dia tetap tersenyum lega. Sial, hari ini aku jadi tumbal.

“Ajak Koko ke toko langganan Bu Susan, kamu ingat kan? Dapat barang langsung cabut, nggak usah lama-lama.”

“Nggak perlu diajarin!” gerutuku.

Mbak Nita tertawa, dan langsung keluar dari ruangan.

Dan... aku belum apa-apa, itu si Koko udah keluar dengan gesit aja. Tanpa menoleh ke belakang, dia melangkah lebar kayak biasanya.

Sialan! Aku kan jadi buru-buru menutup semua pekerjaanku dan mengambil tas serta ponsel.

Aku ketinggalan beberapa langkah dari Koko. Dia udah dorong kaca aku masih di tangga. Alamat kena omel, sebelum kulihat langkahnya berhenti, di depannya ada dua remaja berseragam SMA yang terlihat saling lirik.

“Halo, bisa dibantu?”

Sapanya ramah ketika aku berhasil menyamakan langkah. Hih... dasar muka dua!

“Um. Itu, Ko... mau bikin spanduk, untuk kelulusan gitu...”

“Oh, bisa. Masuk saja. Kalian baru lulus?” tanya Koko menambahkan dengan nada kepo.

Aku sedikit mengernyit ngapain ditanya-tanya? Lagian apa ini udah waktunya anak sekolah lulus ya?

“Bukan, Koh,” sahut yang satunya lagi lalu menyenggol temannya. “Untuk pacarnya dia, baru lulus sidang skripsi. Bisa selesai hari ini juga nggak, Koh?”

Aku serta-merta meringis. Meski nggak ingin, ingatanku tetap terlempar ke saat aku dan Jo saling ngasih sesuatu pas kami lulus sidang skripsi. Kami bahkan foto bersama dengan gembiranya. Aku mengelus tengkukku yang tak gatal. Sejujurnya... mengingat kembali bukan membuatku sedih, malahan jadi malu sendiri. Kusaranin ya dedek gemes, jangan korbanin banyak hal kalau akhirnya putus juga. Duh ya, ucapanku dari hati banget.

“Coba, langsung tanya ke dalam saja ya,” sahut Koko. 

“Oke deh. Koko ganteng deh,” ucap anak itu lagi sebelum masuk dengan wajah mesam-mesem. 

Aku serta-merta berjengit, dengan ekspresi enggak banget, untungnya aku di belakang Koko jadi dia nggak bisa melihat ekspresiku. 

Adek belum tahu aja kalau nih Koko udah ngomel. Emak lu kalah ngereff.

“Anak sekolah zaman sekarang ada-ada saja,” gumamnya, tersenyum tipis, ketika kami sudah berada di dalam mobil.

Itu senyum karena lucu pesan spanduk untuk pacar, atau karena bangga dibilang ganteng? Ngeri aku nebak-nebak pikirannya. Bodo ah, aku melengos saja seperti biasanya.

 

 

***

 

 

“Ambil ajalah, Ko... yang tadi. Udah jam berapa ini,” bisikku di belakangnya. Dia? Noleh pun enggak. Kakiku sudah pegal, sementara ini orang masih berjalan dengan wajah mencari-cari. Kalau di tempat ketiga ini justru nggak ada stok, sudahlah, mampus aja. Mau balik ke kios lama juga pasti tengsin banget!

Koko berhenti, dan masuk ke sebuah kios. Aku memang sudah lupa-lupa ingat, hanya satu yang sebelumnya itu tempat yang kudatangi dulu dengan Bu Susan. Entahlah, kalau begini ceritanya mending aku nunggu di parkiran!

Koko memulai interaksinya dengan penjual. Dan langsung menyebutkan jumlah yang ingin dibeli. Melihat-lihat barang, sekaligus mencocokkan dengan kode warna yang dipesankan Mbak Nita. Sedikit berbeda, tapi nggak terlalu kelihatan. 

“Ini masih bisa, Ko,” ucapku.

Koko mengangguki ucapanku.

Kami tanya stok. Oke, stok ada, aku sedikit mendesah lega. 

Giliran menawar harga ini... aku mending menghilang saja kali, ya?

Mereka memberikan harga yang hanya berbeda tipis dengan harga dari gudang kaos yang biasa kami pesan. Mendengar itu aku serasa ingin sujud syukur. Tapi kebahagiaanku nggak lama ketika mendengar...

“Bisa kurang lagi, Ci?”

Aku mendesah sangat kesal. Mending ambil saja, terus langsung pulang! Kami tetap masih dapat untung kok dengan harga segitu. “Ko—“

“Pssttt...” desisnya yang malah lebih galak.

Cici di depanku mengerutkan wajah lebih keras. Tak lama dia tetap menggeleng. “Nggak bisa.”

“Cari tempat lain?” 

Hah? Koko sengaja bertanya begitu padaku biar dipanggil lagi. Sialan! Kalau nggak dipanggil ya kami harus ubek-ubek lagi dong??

“Ambil 50 sekalian, bisa,” ucap wanita itu lagi.

Mampus dah! Siapa yang mau nyetok? Aku melirik Koko tajam. “Kami cuma butuh 40, Ci.”

“Sudah deh, memang segitu harga termurah. Lu mau cari-cari lagi di tempat lain nggak dapat harga segitu.”

Tuh kan, kena ceramah.

“Ini bonus aku kasih aja dompet koin untuk Mbaknya.”

Aku sedikit berjengit. Malas melihat ke arah Koko, kalau kali ini tetap ditolaknya, aku akan me-chat Mbak Nita untuk menghubungi Koko supaya barang segera ada.

“Ya sudah. Kami ambil.”

Eh? Aku serta-merta menoleh. Wajah Koko nggak kelihatan begitu senang, tapi dia nggak menambahi apa pun lagi. Fiuhhh... syukurlah.

“Duduk dulu, tunggu ambil barang di gudang,” sebut Cici itu lagi memberikan kami dua kursi plastik. 

“Saya bilang juga apa. Pasti bisa dapat harga lebih murah,” gerutu Koko membisik.

Aku diam saja, tidak mengangguk apalagiii... menggeleng.

“Lumayan kan tuh, dapat dompet koin.”

Aku nyaris memutar bola mata. Kalau cuma dompet koin di rumahku juga banyaaak.

Menunggu adalah hal yang paling membosankan, ditambah sebelahku adalah Koko. Aku langsung mengambil ponselku dan berpura sibuk memainkannya. Kusadari Koko bolak-balik menegapkan tubuh, karena pasti stool plastik ini nggak nyaman.

Nggak lama, Koko bangkit, tanpa berkata apa pun dia keluar dari kios. Ah bodo ah, ngapain aku tanya-tanya, udah besar begitu mana mungkin nyasar. Paling dia cuma lihat-lihat, terus berpikir prospek cerah apalagi yang bisa dilakukannya di sini.

Tapi nggak begitu lama dia kembali, dengan dua botol minum, yang satu botol kopi, yang satu air mineral.

Aku meliriknya. Sialan. Kenapa nggak bilang mau beli minum? Aku juga haus kalik! 

Dia meletakkan botol kopi di kursi, dan membuka air mineral. Kan... udah pasti dua-duanya untuk dia, mana mungkin dia menawariku botol kopinya—

Suara hatiku terhenti saat botol air mineral tersebut disodorkan padaku. Wajahku kian kaku.

“Tidak mau?” tanyanya dengan wajah super jutek. 

Ya maulah! Aku mengambil ragu-ragu. “Thanks, Ko.”

Lalu dia duduk kembali dan membuka botol kopinya. 

“Harusnya mereka sediakan minuman untuk menghormati pelanggan. Masa kita dibiarkan kehausan begini!” dumalnya dengan suara rendah, setelah meminum kopinya. 

Aku hanya meringis, enggan menyahuti.

Satu pesan muncul di ponselku, untung aku nggak tersedak. Pesan dari Awan yang menanyakan aku udah booking tempat atau belum untuk besok. 

Bikin tambah kerjaan aja emang! 

Aku langsung membuka instagram, mencari tempat viral yang sedang happening. Meski ada beberapa pilihan aku tetap nggak yakin makanannya enak, biasanya kafe-kafe baru buka begitu hanya rame di awal. Dan kebiasaanku memang makan di tempat itu lagi, itu lagi.

Apa aku bilang aja sibuk, terus pesan tempat di restoran keluarga yang biasa kami datangi? 

“Kenapa?” 

“Hah?” tanyaku menoleh heran, dan sontak menjauhkan ponselku. Nggak kusangka ini orang kepo!

“Eng—enggak Ko. Lagi cari tempat makan—“ ucapanku sontak berhenti dih... dasar lidah kenapa nggak diam aja coba. 

“Tempat makan?”

“Iya, bukan urusan kantor kok,” elakku.

“Ya, kalau urusan kantor saya pasti lebih tahu,” balasnya mendumal.

Ya, kalau bukan urusan kantor ngapain gue ngomongin ke situ!

“Ke restaurant Reinold saja. Ingat kamu kan? Yang pesan banner di kita. Cocok itu untuk family gathering.”

Sebelah alisku langsung terangkat. Ah... ternyata dia lagi nyari celah promoin kafe temannya. Tapi iya juga sih, tempatnya asik banget suasananya nyantai, outdoor-nya luas, ada live music-nya juga, makanannya pun enak, memang untuk kalangan menengah ke atas tapi kan kata Awan harus cari tempat makan yang agak mahalan kali ini. Nilai plus yang lain itu, para pramusajinya ramah pake banget, jadi kayak nggak berasa ada gap antara si dompet tebal atau enggak, karena semua diperlakukan layaknya tamu spesial.

Dan lagi, yang paling kuingat dari tempat itu, justru tatonya Ko Rei! Yang melintang di sepanjang lengan bagian dalamnya. Aduh... keren banget, cocok gitu di tangannya yang rada kekar. Oke deh ke situ aja.

Aku masih sibuk dengan pemikiranku sendiri saat kulihat Koko masih memperhatikanku. Sial! Yang begini ini biasanya harus kujawab. Jawab apa ya?

“Ah... iya. Ko Reinold!” sahutku sedikit agak keras.

“Kenapa? Naksir, kamu?”

Dahiku langsung mengernyit. Apaan sih?

“Jadi kok histeris gitu?”

Aku nyaris merotasi bola mata. Sialan! Disahutin salah, nggak disahutin gue kena lagi. 

“Y-ya... Mana tahu dapat gratisan cheesecake lagi.”

“Satu kali mungkin gratis, kedua kali jangan harap,” omel Koko. “Berapa teman kamu?”

“Hah?”

“Biar saya booking.”

Nah, kan. Benar-benar ada udang dibalik bakwan nih. Ya, aku memang nggak punya nomor kontaknya karena Ko Rei urusan Koko. Kayaknya sih, Koko juga ada saham di restoran itu makanya, urusan pembayaran langsung dia suruh potong karena sudah masuk ke dia, katanyaa...

“Nggak usah Ko. Saya minta nomor kontaknya aja.” 

“Nanti saya kirim kontak WA-nya. Jangan chat yang tidak-tidak kamu ya. Jangan bikin malu saya.”

Eh? Aku kontan menatapnya heran. Padahal kan, aku cuma mau minta kontak resmi restoran-nya. Memangnya dia mau kirimin kontak Ko Reinold? Entahlah, malas juga berdebat. Lagian, palingan juga nanti aku cari sendiri kontak di IG atau website itu restoran pasti ada.

 

Menit berlalu, dan aku sudah semakin nggak tahan karena ruangan penuh barang ini begitu panas.

Aku sedikit melirik ke arah Koko karena dengkulnya terus bergoyang, dan ketika kuangkat wajah sedikit, kuperhatikan wajahnya memerah serta titik-titik keringat yang muncul besar-besar menuruni sisi pelipisnya.

Kenapa nih orang? Kebelet pipis? Ya, cabut aja kali, ngapain ditahan coba?

Aku berusaha mengabaikan, tapi dasar akunya yang nggak tegaan, malah menoleh lebih jelas. Tanya, nggak? Tanya, nggak?

Duh, gimana sih ini? Ko bangkit aja mending deh! Tanya gitu toilet di mana, meski ya... aku nggak jamin toilet di pasar ini bersih.

Koko mengibas-ngibaskan tangannya, kelihatan sekali dia kepanasan dan semakin gelisah.

“Lama sekali,” gumamnya.

Oh... pasti dia cuma kepanasan.

Tapi lama-lama, dia berdecak sangat keras. Membuat mataku menyipit semakin curiga. “Ko—kenapa?” tanyaku begitu pelan nyaris tak terdengar.

Dia seperti tersentak dan menoleh.

Aku tahu dia menarik napas serta mengembuskannya panjang, tapi lulutnya tak jua berhenti bergoyang.

“Coba garuk punggung saya,” gumamnya dengan wajah semakin memerah.

Hah?? Aku memandang dengan wajah terkaget-kaget.

“Punggung saya gatal,” bisiknya.

Ekspresiku semakin kecut saja. Namun, aku tetap mengarahkan sebelah tanganku ke punggungnya. 

“Turun lagi.”

“Sini?”

“Lagi.”

“Di sini?”

“Hm. Ya, ya... eh... turun lagi.”

Aku spontan menepuk punggungnya keras.

“Ngapain dipukul?” tanyanya terkejut.

“Ya—Biasanya itu bikin gatel cepat hilang,” sahutku cepat.

“Masa?” tanyanya dengan wajah aneh.

Aku mengangguk yakin, meski hati deg-degan parah.

Aku menggaruk dengan wajah begitu sungkan. “Sudah?” tanyaku bingung.

Tapi punggungnya semakin menegap, dan menggaruk-garuk dengan tangannya sendiri. Kulihat tengkuknya berbercak merah-merah.

Ini orang kenapa sih? Batinku kalut.

Napasku mengembus berat. “Tadi Koko ada makan apa?”

“Ya tidak ada. Kamu lihat sendiri kan saya tidak makan apa-apa?” balasnya semakin sewot.

“Ada sentuh apa?”

“Ya cuma kaus. Jangan-jangan banyak bakterinya?” Wajahnya semakin terlihat gusar.

Ini gimana sih? Tanyaku ikut panik meski tak kutunjukkan secara jelas. Berpikir Aya! 

“Ini Koko gatal-gatal, mending Koko pulang duluan, biar saya yang tungguin kaosnya.” 

“Terus mobil saya??”

Dahiku mengerut begitu dalam, dengan rasa tak rela, aku menyahut. “Biar—saya yang bawa.”

Lagi, dia menoleh heran. “Bisa bawa mobil, kamu?”

Aku mengangguk ragu.

“Yakin kamu bisa bawa mobil?” tanyanya lagi dengan tampang sengit. 

Takut mobil situ lecet?? “B-bisa.” jawabku yang justru terpatah-patah, padahal aku memang mahir nyetir mobil. Di rumah, aku yang jadi sopir untuk Mama, Tante, dan tetangga dekat yang terkadang butuh bantuan. 

“Kok jawabanmu tidak meyakinkan begitu?”

Astaga... “Iyaa, saya bisa,” ulangku.

“Mobil apa yang biasa kamu kendarai?”

Astaga... penting ya interogasi di saat begini? Di saat wajahnya semakin merah saja.

Napasku tertahan sejenak menahan geraman. “Kijang. Saya biasa nyetir Kijang Innova punya Mama saya,” sahutku lengkap, biar nggak ada pertanyaan.

“Tidak usah,” tolaknya.

Sialan.

“Jadi gimana, Ko...?” sahutku kesal dan panik. Ya aku nggak maulah, kalau dia pingsan di sini, kan berabe.

Tak lama pesanan kami tiba, orang toko menumpuknya di dekat kami. Aku mengucap syukur dalam hati. 

Koko meminta pegawai toko langsung mengantar ke mobil. Kami dengan cepat jalan menuju parkiran yang lumayan jauh. 

“Kamu yakin bisa bawa mobil, kan?”

Astaga... masa perlu kuulang-ulang lagi sih? Eh, tapi ngapain dia tanya sekarang?? Kan udah mau pulang—

Dia menyerahkan kunci mobilnya kepadaku. 

“Saya mau beli obat gatal sebentar.”

Eh, eh... aku benar-benar merutuki manusia satu itu. 

Aku menunggu di samping mobilnya, panas-panasan, gila! Aku malas langsung masuk kalau nggak mau dituding ambil macam-macam.

Napasku langsung mendesah saat melihat Koko dari kejauhan. 

“Kenapa tidak masuk?” tanyanya yang kembali sewot. Oke, aku anggap ini efek dia lagi gatal-gatal.

Lalu dia segera memutar ke kursi penumpang. Jadi, ini aku nyetirin dia?? Bukannya tadi dia nggak percaya dan nggak bolehin aku nyetir mobilnya??

“Loh, Ko?” tanyaku.

“Ya kamu yang nyetir, tubuh saya gatal semua ini.”

Aku pengin ngatain sukurin! Tapi aku juga kena imbas sialnya, ini.

Aku baru buka pintu mobil, dan sudah dibuat membeliak saja karena Koko melepas kausnya, mencampakkannya ke kursi belakang. Tertampillah, dihadapanku tubuhnya yang putih kemerahan, dan perutnya yang rata, tapi nggak kotak-kotak. 

“Tutup. Kamu mau kita dilihatin orang??”

Aku tergagap, dan langsung naik ke kemudi, segera menutup pintu.

Si Koko malah fokus buka kaleng bedak gatal yang dia beli. Aku sama sekali nggak menoleh ke arahnya, sebelum dia memerintah, “Ya, coba taburkan di punggung saya.”

Aku mimpi buruk apa sih semalam, hingga bisa terjebak dengan dia hari ini??

“Ya!” ulangnya.

Sambil menatap masam, aku menarik bedak yang disodorkan Koko. Alisku terangkat melihat punggungnya penuh bentol dan bercak merah.

Aku menabur pelan-pelan plus ogah-ogahan. 

“Diusapkan, dong...”

Ya ampun, banyak mau ya!

Aku mengusap tipis-tipis, punggung ini bidang juga, padahal setiap hari dia pakai kaus tapi yang kulihat dia tergolong kurus, nggak nyangka juga sih badannya besar begini, tapi mungkin juga efek Koko terlalu tinggi jadi kelihatan kurus. 

“Udah, Ko,” sahutku.

Dia memutar tubuh, dan justru menyetel kursi hingga rebahan. Kontan saja aku membeliak.

“Koko nggak pakai baju lagi??”

“Itu sudah penuh kuman. Mana mungkin saya pakai lagi,” sahutnya dengan wajah suntuk.

“Jadi kenapa tadi nggak beli kaus ganti sekalian—“

“Barang sudah ditunggu, kamu masih mau bahas saya pakai baju atau tidak? Kenapa? Bermasalah? Saya tidak ngapa-ngapain kok. Nih, pegang ponsel saya sebagai jaminan.”

Eh? Apa hubungannya??

Aku nggak menjawab. Hanya melengos dan memakai seatbelt. Astaga...! Kapan sih aku nggak diomelin??

“Terima kasih, Aya,” gumamnya.

Aku nggak melirik sama sekali. 

“Sama-sama,” kataku kaku, menghidupkan mesin mobil. Meski hati masih dongkol. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dear Boss, I Quit! [Bab 6 - Bab 7]
20
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan