LET'S GET MARRIED! Bab 3-5

0
0
Deskripsi

Bab 3-5 ya Gaes 😘

"Dia selalu begitu. Sejak kecil tidak pernah minta apa-apa. Tidak pernah mau menyusahkan orang. Kalau ada masalah selalu disimpan dan diselesaikan sendiri."  Sobo seperti sengaja mengatakan informasi itu padaku. Matanya terlihat agak berkaca-kaca.

Sayangnya pernyataan Sobo justru sangat bertolak belakang dengan sikap Orion yang kukenal. Hampir di setiap kesempatan, dia selalu menyusahkanku. Memaksa untuk memberi tumpangan, nebeng makan siang, menghabiskan kopi di cangkir yang...

"Dia selalu begitu. Sejak kecil tidak pernah minta apa-apa. Tidak pernah mau menyusahkan orang. Kalau ada masalah selalu disimpan dan diselesaikan sendiri."  Sobo seperti sengaja mengatakan informasi itu padaku. Matanya terlihat agak berkaca-kaca.

Sayangnya pernyataan Sobo justru sangat bertolak belakang dengan sikap Orion yang kukenal. Hampir di setiap kesempatan, dia selalu menyusahkanku. Memaksa untuk memberi tumpangan, nebeng makan siang, menghabiskan kopi di cangkir yang baru sempat kuteguk sekali, belum lagi keisengan-keisengan lain yang membuatku gondok setengah mati.  Bahkan ini yang paling fatal, permintaan untuk menyamar jadi pacarnya. Seketika aku merasa kasihan pada Sobo. Bagaimana perasaannya kalau tahu dibohongi oleh sang cucu kesayangan?

Aku melirik Orion yang ternyata juga tengah melirikku. Kupingnya terlihat agak memerah, mungkin merasa malu sendiri mendengar perkataan neneknya. Lihat saja nanti, sepulang dari sini aku akan mengomelinya habis-habisan. Aku punya banyak sekali bahan olokan yang pasti membuatnya tak berkutik.

"Orion selalu bilang, kalau Harumi itu cantik. Tapi setelah bertemu, ternyata jauh lebih cantik dari yang bisa Sobo bayangkan." Perempuan itu mengalihkan pembicaraan. Mungkin menyadari kami tak merespon ucapannya tadi.

"Terima kasih. Sobo juga sangat cantik. Orion juga pernah cerita ... kalau Sobo, nenek terbaik dan paling dia sayangi di dunia."

Aku takjub sendiri mengapa bisa mengatakan hal-hal semacam itu dengan lancar pada perempuan itu. Kulihat Orion terpana, sebelum akhirnya melemparkan senyum penuh terima kasih padaku.

Perempuan itu tertawa. Bahkan cara dia tertawa terlihat anggun sekali.

"Tutur katamu sangat sopan. Pandai menghargai orang tua." Ia mengelus punggung tanganku sekilas sebelum akhirnya bangkit menuju lemari kecil tak jauh dari tempat kami duduk.

Aku dan Orion hanya berpandangan, tanpa ada sepatah kata pun yang terucap. Namun, aku yakin dia bisa menangkap kegelisahanku kalau berada di tempat ini lebih lama lagi, karena tiba-tiba saja dia berbisik, "Bentar lagi kita balik, kok!"

"Harumi ... mengingatkanku pada kecantikan bunga sakura di musim semi." Perempuan itu kembali, dan menaruh sebuah kotak kecil berisi kipas tangan lipat di meja.

"Ambillah. Ini salah satu kipas kesayanganku. Usianya sudah lebih lima puluh tahun, hadiah dari seorang teman lama." Dia mengeluarkan kipas dari kotak dan memperlihatkan padaku. Meski sudah tua, tapi kipas dengan motif bunga sakura tersebut masih bagus dan tampak terawat dengan baik.

Aku menelan ludah dengan susah payah. Sungguh berat sekali rasanya menerima hadiah berharga seperti itu. Nenek Orion pasti mengira aku benar-benar pacar baik hati yang sangat dicintai cucunya.

"Ini ... bagus sekali. Tapi, maaf, Sobo aku tidak pantas menerima barang berharga seperti ini ...." ucapku tak enak hati

Ya, ampun. Sungguh aku merasa sangat bersalah sudah menyetujui persekongkolan busuk yang ditawarkan Orion. Kalau saja aku tahu Sobo setulus dan sebaik ini, pasti aku tak akan tega membohonginya dengan mengikuti permainan cucunya itu.

"Terimalah. Aku senang kalau kamu mau menjaga kipas ini untukku." Sobo setengah memaksa saat menyerahkan benda tersebut ke tanganku.

Aku menerima juga benda itu ambil diam-diam melirik Orion yang duduk di sebelahku. Wajahnya tampak sedikit tegang, tapi coba disamarkannya dengan tersenyum kecil seraya mengusap belakang kepalanya.

"Hadiah untukmu, Sobo kirim ke kost-an mu. Harusnya hari ini atau malam nanti sampainya," kata perempuan itu pada cucunya.

"Terima kasih. Seharusnya Sobo tidak perlu repot-repot seperti itu." Orion meraih jemarinya neneknya dan menggenggamnya dengan lembut.

"Tenti saja aku tidak repot." Dia tersenyum dan membakas genggaman sang cucu.

"Cepat selesaikan kuliahmu! Kalau bisa, tahun ini sudah diwisuda," lanjutnya kemudian. Meski nada suaranya lembut tapi terdengar tegas, dan membuat Orion tampak tak berkutik.

"Baik, Sobo."

"Harumi, tolong selalu ingatkan dia, untuk serius menata masa depannya. Kalian tidak mungkin selamanya pacaran, nanti akan menikah."

Perasaanku semakin tidak enak saat mendengar betapa seriusnya nada suara Sobo. Dia pasti menganggap hubungan kami ini benar-benar betulan.

"Bagaimana mungkin bisa serius berkomitmen membangun rumah tangga, kalau untuk menyelesaikan tanggung jawab di kampus saja tidak serius?"

Kalimat itu jelas tertuju untuk menyentil cucunya yang sekarang tertunduk dalam.

Aku merasa geli sekaligus iba melihat Orion. Baru kali ini aku melihatnya tak berkutik di hadapan orang lain. Biasanya ada saja alasan ngelesnya kalau sedang terpojok pada situasi tertentu. Rupanya titik kelemahan bocah ini ada pada Sobo.

Kami kemudian berpamitan. Beberapa kali perempuan tua itu menepuk-nepuk lenganku lembut dan bilang, agar aku sering-sering datang berkunjung. Tawaran yang hanya kujawab  dengan anggukan dan senyuman. Meski dalam hati aku sudah berjanji pada diri sendiri tak akan pernah lagi menginjakkan kaki ke tempat ini.

"Sumpah, ya. Kamu itu bener-bener keterlaluan!" Baru saja kami masuk ke dalam mobil, aku langsung memarahi Orion.

Lelaki itu hanya memberiku tatapan pasrah. Sepertinya dia sudah mempersiapkan diri menerima semua kemarahanku.

"Kok kamu bisa, sih, setega itu membohongi nenek kamu sendiri? Yang aku lihat ya, dia tulus sayang dan care sama kamu. Masa kamu membalasnya dengan hal kayak gini?"

Aku meliriknya dengan sebal saat dia diam saja. Matanya fokus ke jalanan.  

"Dan kipas ini." Aku membuang napas dengan keras, seraya mengacungkan benda tersebut ke arahnya. "Bagaimana mungkin aku menerima kipas berharga semacam ini?"

Orion hanya tersenyum samar yang tak dapat kuartikan apa maknanya.

"Kamu mikir, nggak, sih? Bagaimana perasaan Sobo kalau dia tahu kamu membohonginya? Aku nggak bisa menerima ini, kamu saja yang simpan. Aku nggak berhak menerimanya."

"Percaya atau tidak, kipas itu bernama Harumi. Sama dengan nama panggilan Sobo ... dan juga nama Mbak."

Sesaat aku melongo. Pernyataannya barusan sungguh mengejutkan.

"Lho, kok bengong?" Dia melambaikan tangannya di depan hidungku.

"Aku mengerti kalau Mbak marah," lanjutnya dengan hati-hati. Jelas tidak seperti Orion yang kukenal.

"Tapi, sejujurnya aku memang sudah lama ingin mengajak Mbak ke rumah Sobo. Hanya saja aku nggak punya cara yang lebih beradab, selain cara yang seperti tadi." Dia memberi tanda kutipan dengan jarinya saat mengucapkan kata "beradab".

"Serius kamu udah berniat sejak lama untuk membohongi nenekmu?" Aku menatapnya tak percaya.

"Aku nggak berniat membohonginya. Well, aku hanya terpaksa ...." Dia mengusap belakang kepalanya sedikit gelisah.

"Ck, udahlah. Pokoknya setelah ini, aku nggak mau lagi terlibat dengan urusanmu dan nenekmu. Kipasnya kamu simpan lagi, entah gimana caranya nanti, kamu kembalikan ke Sobo."

"Kipas itu memang untuk Mbak. Simpan saja.... Seperti yang kubilang, namanya sama dengan Mbak. Percaya, nggak, hanya Harumi yang bisa menjaga Harumi."

Lama-lama aku bisa gila memikirkan semua hal konyol ini. Bagaimana bisa neneknya yang juga bernama Harumi, menghadiahkan kipas bernama Harumi kepadaku?

Apa sebenarnya mereka sedang bersekongkol? Bukan tidak mungkin Sobo juga sama aneh dan gilanya dengan Orion. Bagaimana kalau mereka memang sengaja membuatku terjebak pada situasi membingungkan seperti tadi? Mengaku bernama Harumi dan mengadiahkan kipas bernama sama.

Bisa jadi mereka berdua merupakan anggota Yakuza yang ingin melenyapkanku.

Hentikan, Harumi!

Aku mendesah frustrasi saat pikiranmu menjadi liar tak terkendali.

Lagipula memangnya aku seberbahaya apa sehingga Yakuza ingin melenyapkanku? Tak urung aku merasa geli sendiri dengan pemikiran absurd yang sempat melintas di kepala.

'Hei, bagaimana kalau mereka ingin mencuri organ tubuhmu dan menjualnya di pasar gelap?'

Pikiran liar itu kembali mengusikku. Ya, Tuhan, sepertinya aku harus berhenti menonton film-film bergenre kriminal, sebelum aku benar-benar menjadi paranoid.

Bab 4

"Mbak kenapa?"

Aku tersentak saat suara Orion memutus lamunan gilaku.

"Kamu ... keturunan Yaku..  eh, maksudku kamu ada darah Jepang, ya?"

Lelaki itu memindai wajahku sesaat. Entah apa yang dia pikirkan, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan seolahi dia bisa menangkap kekhawatiranku.

"Ya ... ada. Tapi, sedikit. Ayah Sobo memang berdarah Jepang, sedang ibunya pribumi. Sobo itu nenekku dari pihak ayah, ibuku orang Sunda, jadi bisa dibilang aku ini orang Indonesia asli."

"Oh."

Aku mengamatinya sejenak. Berbeda dengan Sobo yang agak sipit, sekilas memang tak ada yang menonjol dari Orion yang menunjukkan kalau dia berdarah Jepang, matanya tidak sipit sama sekali.Tapi kalau dilihat-lihat dengan lebih seksama,  garis ras Mongoloid khas Jepang entah di bagian mana, membayang jelas di wajahnya. Kulitnya cerah dan bersih, rambutnya lurus dan hitam pekat, alis dan garis wajahnya nyaris sempurna. Mungkin kalau di dunia komik Jepang, dia bisa jadi tokoh utama prianya.

Astaga, aku kembali melantur.

"Mbak sendiri bagaimana? Apa ada darah Jepang juga? Namanya kok bisa sama dengan nenekku?"

"Namaku ...."

Aku menghela napas panjang, saat tersadar kalau seharusnya memarahinya, bukan mengobrol santai seolah-olah kami memang akrab.

"Kok malah jadi bahas namaku? Mari kembali ke topik awal," ucapku tegas.

"Jadi gini, ya, Orion. Kamu harus ingat baik-baik. Aku nggak mau lagi terlibat dengan sandiwara konyolmu ini. Dan sekali lagi kubilang, aku juga nggak mau menerima kipas ini!" Napasku sedikit memburu menahan rasa jengkel di dada.

Lelaki itu kembali terdiam. Tak merespon sama sekali. Wajahnya terlihat agak muram saat melirik kipas yang kutaruh di dekat dashboard mobil.

Kami hanya saling diam, hingga akhirnya mobil berhenti di halaman sebuah bangunan empat lantai yang merupakan tempat kos Orion.

"Makasih banget atas bantuannya tadi. Aku pasti akan membalasnya. Seperti yang sering diajarkan Sobo. Dalam kultur Jepang mereka menyebutnya ongaeshi. Balas budi yang harus dibayar suatu saat nanti," ucapnya setelah membuka safety belt. Dalam keremangan cahaya matahari sore, kulihat matanya tampak berkilauan

"Nggak perlu. Aku nggak mau berurusan lagi denganmu. Maksudku ... berurusan hal-hal pribadi kayak tadi. Aku rekan kerjamu, Orion, dan aku mau kamu bisa bersikap profesional."

Aku sengaja berkata tegas dan memberi penekanan pada setiap kata yang terucap.

"See, you, Mbak. Thank's atas tumpangannya."

Alih-alih menanggapi ucapanku dia hanya tersenyum sambil membuka pintu mobil lalu turun. Aku ikut turun untuk beralih tempat ke kursi kemudi, dan menatapnya dengan sebal.  

"Hati-hati di jalan. Jangan ngebut!" lanjutnya   membantuku menutup pintu, kemudian melambaikan tangan.

"Hei, ini kipasnya gimana?" Aku membuka jendela mobil, dan mengacungkan benda itu padanya.

"Nggak boleh mengembalikan pemberian tulus dari seseorang. Dah, Mbak Rumi!" Lelaki itu nyengir sambil melambaikan tangannya menjauh dari mobilku.

Ya, Tuhan. Dasar tidak sopan!

***

"Rum, jadwal pertemuan dengan pihak catering, udah?"

Aku yang tengah fokus melihat-lihat foto yang dikirimkan salah satu vendor kami, mendongak saat Sofie tiba-tiba muncul di sampingku.

"Udah, Mbak. Besok pukul sebelas."

"Oke. Jangan lupa, usahain lagi Andrea dan bandnya bisa tampil. Kamu tahu, kan, klien kita maunya mereka."

Aku hanya mengangguk. Sofie hanya tak tahu saja, aku sudah jungkir balik menghubungi manajer Andrea tapi belum ada konfirmasi kesediaan mereka hingga sekarang.

Setidaknya masih ada waktu tiga bulan lagi. Semoga saja aku berhasil mendapatkan Andrea. Karena kalau tidak, nama WeSto taruhannya. Waktu deal dengan salah satu klien kami, Mbak Sofie entah kenapa langsung mengiyakan saat mereka minta Andrea yang tampil. Padahal fakta di lapangan, Andrea sangat pemilih dan sulit diajak kerjasama.

Meski Sofie pemilik dan founder WeSto, tapi beberapa bulan belakangan, aku yang lebih sibuk menghadapi sengitnya perjuangan kami di luar sana. Sedangkan Sofie sibuk mengurus perceraian dengan sang suami yang berlarut-larut hingga saat ini. Ironis memang, bagaimana bisa perempuan bertangan dingin yang berhasil mewujudkan pernikahan impian orang-orang, justru tidak bisa mempertahankan pernikahannya sendiri.

"Mbak, bagi kopinya, ya!"

Fiuh! Orion akhirnya muncul lagi setelah empat hari hidupku tentram karena dia sedang bertugas keluar kota.

Tanpa menunggu jawabanku, Berandal Kecil itu langsung menyambar gelas kopi yang bahkan belum habis separuhnya.

"Kebiasaan! Beli sendiri apa susahnya, sih?" ketusku.

Dia hanya bersiul-siul sambil membawa gelas kopiku ke mejanya yang berada di sudut ruangan. Tampak tak peduli dengan keberatanku sama sekali.

"Tu bocah kayaknya emang sengaja banget bikin lo kesal, Rum." Astri yang mejanya bersebelahan denganku tergelak.

"Heran gue. Kenapa harus kopi gue? Kenapa nggak kopi lu atau kopi Mbak Sofie? Atau bikin sendiri kek di pantry. Ada tuh kopi sachetan kalau emang lagi bokek buat beli kopi di luar!"

"Ya, kopi yang dia suka itu ya kopi dari gelas lo!

"CK, nggak ngerti lagi gue sama tu anak."

Aku masih bersungut-sungut sembari memencet layar hape untuk mencoba menghubungi manajer Andrea. Aku hampir saja mengumpat saat panggilanku kembali ditolak.

"Mbak ..."

Kemunculan Orion yang tiba-tiba membuatku seperti mendapat tempat untuk memuntahkan kekesalan.

"Apa lagi? Kopiku kan udah! Kalau makan siang belum. Masih pukul sembilan. Lagi pula aku nggak bawa bekal hari ini! Mau minjam duit? Sorry, aku juga lagi bokek!"

Dalam satu tarikan napas, aku melontarkan semua kalimat itu padanya. Peduli amat, nada suaraku membuat yang lain melongok dari kubikel masing-masing, sambil mengulum senyum. Sorot geli dan iba yang terpancar dari mata mereka, jelas tertuju untuk si Tengil ini.

"Mbak lagi PMS ya? Marah mulu bawaannya. Udah empat hari, lho, kita nggak ketemu. Nggak kangen apa?" jawabnya santai, lalu menaruh sebuah kantung kertas di mejaku.

"Hah, kangen? Justru empat hari ini hidupku aman, damai dan tentram. Nggak ada yang rusuh. Coba gitu kamu sebulan kek perginya atau selamanya," tukasku sewot.

"Nanti nangis." Dia terbahak dan menghindar saat aku melemparnya dengan pulpen.

"Ini apaan? Menuh-menuhin mejaku aja." Aku mengambil kantong itu dan mengulurkan padanya.

"Oleh-oleh dari Jogja. Gini-gini aku selalu ingat, lho, sama Mbak Rumi."

"Cieee ... " Astri tertawa dari mejanya "Mbak Rumi doang yang diingat, kita semua di sini dilupain."

"Parah lu, Bro. Padahal yang ngantar ke bandara waktu itu gue," timpal Danny rekan Orion sesama fotografer dan langsung diiyakan oleh Chandra.

"Iya, nih. Padahal gue juga yang selalu ngehibur elu tiap kali digalakin sama Mbak Rumi." Maya yang pura-pura memasang wajah sedih, ikut menimpali, lalu menepuk-nepuk bahu Orion saat melewati mejaku.

Aku memijit pelipisku yang berdenyut-denyut nyeri. Bukan soal ledekan anak-anak WeSto tentangku dan Orion yang hampir tiap hari kuterima. Akan tetapi aku masih pusing memikirkan telepon yang ditolak oleh manajer Andrea, dan ditambah lagi harus menghadapi kehebohan tak berguna seperti ini.

"Sudah ... sudah! Bisa diam nggak, sih, kalian?"  

Mendadak ruangan senyap. "Daripada memancing keributan, mending oleh-oleh ini kamu bagi-bagi aja ke semua. Oke?" Aku menyodorkan kantong itu pada Orion.

"Siapa bilang yang lain nggak kebagian? Aku udah masukin di laci kalian masing-masing semalam. Khusus buat Mbak Rumi ... aku mau ngasih langsung," katanya tersenyum jemawa.

Seketika ruangan mendadak heboh saat mereka menbuka laci meja masing-masing.

"Mana ... kok nggak ada?" tanya Chandra.

"Di laci paling bawah," kata Orion, sementara  pandangannya tak lepas dariku.

Aku langsung melengos dengan muka masam. Gondok sendiri, betapa mudahnya anak-anak WeSto disogok oleh makhluk ini.

"Tengkiu kaosnya,  Bro." Lelaki itu bersorak sambil mengibas-ngibaskan kaos berwarna hitam dengan gambar wayang ke arah kami

"Duh, Cah Bagus ini tahu banget selera gue." Astri juga sama bahagianya saat memamerkan tas kain berbentuk unik ke arahku.

Maya yang hobi makan, tak mau kalah saat memamerkan sekantung makanan khas Jogja dengan mulut penuh.

"Eh, bagi-bagi dong!"

Gadis bertubuh subur itu langsung dikerubuti oleh anak-anak WeSto. Seperti biasa ruangan langsung heboh oleh gelak tawa, menyisakan aku yang hanya bisa manyun.

"Mbak nggak pengen tahu oleh-oleh yang kupilihkan untuk Mbak?" Orion masih belum beranjak dari sisiku.

"Nggak." Aku mengetuk-ngetukkan pulpen ke meja dengan tak sabar. Hampir frustrasi memikirkan bagaimana cara menghubungi manajer Andrea.

"Buka, dong. Itu bisa banget buat ilangin stress. Bukan apa-apa, ya, Mbak Rumi mukanya kusuuut terus, kayak tertekan gitu."

"Ya, apalagi liat kamu. Yang ada tambah stress! Udah, sana! Aku lagi mumet ini." Aku mengibaskan tangan mengusirnya.

"Jalan lo buat ngajak Mbak Rumi nikah makin jauh, Bro." Danny nyeletuk dari meja kerjanya, lalu terbahak.

Astri tertawa geli mendengarnya, dan langsung memberi tanda "peace" dengan jari, saat aku mendelik padanya.

"Nikah, nikah!" Aku menggerutu. Kulihat Orion tertawa, tampak tak terpengaruh sama sekali.

"Mbak Rumi mah luarnya aja keliatan galak ... aslinya, lebih parah!" ucapnya sengaja meledekku.

"Nah, itu kamu tahu."

"Kebayang, nggak, kayak apa kalau kalian benar-benar jodoh?" timpal Astri sambil menatapku dan Orion bergantian.

"Never!" Aku langsung bergidik.

"Ya, pasti kebayang lah. Wong, tiap hari aku selalu berdoa, semoga berjodoh sama Mbak Rumi."

Anak-anak WeSto langsung heboh mendengar tanggapan Orion. Mereka tampak puas sekali menggodaku yang langsung cemberut dengan muka ditekuk.

"Udah, ngelawaknya? Sekarang aku mau fokus kerja!" ucapku dingin. Kalau dibiarkan lebih lama lagi, ocehan mereka akan bergulir semakin liar.

Lelaki itu langsung mundur dengan teratur sambil bersenandung seperti menirukan jingle sebuah iklan entah apa.

"Harumi ... Harum mewangi sepanjang hari...."

"Gila tu anak, kayaknya demen banget bikin kamu sebel, Rum." Astri terkekeh-kekeh geli di mejanya.

"Makanya, kamu tuh harusnya bawa santai aja, jangan dilawan. Yang ada, dia malah makin seneng godain kamu," lanjutnya kemudian masih tak bisa menahan tawa.

Aku hanya mendengus gusar. Percuma juga menjelaskan pada Astri, betapa sebalnya aku tiap kali harus menghadapi tingkah norak bocah menyebalkan itu. Sama seperti anak-anak lainnya, Astri juga cenderung berpihak pada Orion.

"Maaf, Mbak Rumi. Ada tamu depan."

Baru saja berhasil menenangkan diri dan fokus kembali bekerja, panggilan dari Pak Asep, security WeSto membuyarkan konsentrasiku.

"Siapa ya, Pak? Perasaan aku nggak ada janji deh." Aku mencoba mengingat-ingat sambil membuka note book untuk melihat agendaku hari ini.

"Ayahnya Mbak Rumi."

"Ayah?" Suaraku sedikit melengking karena terkejut.

"Beliau mengaku begitu," ucap Pak Asep dengan nada sedikit ragu.

Aku menelan ludah dengan susah payah. 
Dengan tubuh sedikit gemetar, aku bangkit dari kursi menuju lobi, sambil terus merapalkan doa dalam hati.  

Ya, Tuhan, tolong jangan beri ujian bertubi-tubi seperti ini. Urusan Andrea sudah membuat pusing kepala, jangan tambah lagi dengan ayah.

Bab 5

Aku pikir setelah menghilang selama lebih dari tiga tahun ke kota ini, orang-orang dari masa lalu akan melupakanku dan kehidupanku akan kembali normal. Namun, aku keliru. Entah dari mana Ayah menemukan alamat ini.

Lidahku kelu saat menjumpai sosok lelaki menjelang enam puluh tahun yang menyebabkanku terlahir ke dunia itu. Penampilannya membuat dadaku sesak oleh perasaan yang tak tahu harus kuberi nama apa. Ayah lebih kurus dari terakhir kali kuingat. Kemeja kedodoran yang dipakainya tidak keruan lagi warnanya.  Rambutnya yang memutih, berantakan seperti sudah lama tidak tersentuh sisir atau pun gunting.

Celana yang dikenakannya juga tak kalah menyedihkan. Warna hitamnya sudah memudar. Sepasang sneakers yang ujungnya sedikit menganga menyempurnakan penampilan lusuhnya. Aroma matahari bercampur keringat yang cukup menyengat dari tubuhnya membuatku sedikit pening. Sekilas Ayah mirip dengan pedagang asongan yang sering kulihat di bawah pohon tak jauh dari kantor WeSto.

"Rumi... Ah, tenyata benar anak ayah di sini." Ayah mendekat dan sedikit merentangkan tangannya, mungkin ingin memeluk. Namun, aku cepat-cepat mengantisipasi dengan mengulurkan tangan menyalaminya.

"Ayah ... apa kabar?" Aku mencoba tersenyum saat mengajaknya duduk di sofa.

"Ya, beginilah. Rumi sehat?"

"Alhamdulillah, sehat. Oh ya tahu dari mana kalau Rumi kerja di sini?" tanyaku langsung.

Ayah tertawa kecil, menampilkan deretan gigi yang penuh noda nikotin. "Udah seminggu ayah di sini. Dua hari lalu ayah tak sengaja melihat Rumi masuk ke kantor ini."

"Oh. Terus ayah menginap di mana?"

"Di tempat teman di Tangerang."

Aku hanya mengangguk, meski rasanya agak janggal, mengingat Tangerang ke sini cukup jauh. Namun, kalau diingat-ingat segala sesuatu tentang Ayah memang janggal. Apa yang dilakukannya selama ini, ke mana dia pergi dan di mana dia tinggal masih menjadi misteri. Aku hanya menduga-duga, kalau Ayah hidup menumpang dari satu teman ke temannya yang lain. Sejak berpisah dengan Ibu, dia tak punya tempat  untuk pulang.

Selama beberapa saat aku hanya diam karena tidak punya topik apa-apa untuk melanjutkan obrolan. Melewati masa kanak-kanak dan remaja, tanpa kehadiran seorang ayah, lalu tiba-tiba saja dia muncul setelah aku dewasa, bukanlah perkara mudah. Apalagi untuk menjalin ikatan emosi yang kuat. Hingga detik ini, Ayah masih seperti orang asing bagiku, meski hati kecilku juga tak bisa menolak kalau seburuk apa pun perlakuannya, dia tetaplah ayahku.

Ibu pernah bilang kalau Ayah bekerja di kapal, menyinggahi dermaga-dermaga di berbagai belahan dunia, makanya tidak bisa hadir di tengah-tengah kami. Dulu aku percaya dan terus memupuk harapan, suatu saat Ayah pasti pulang. Namun, sekian tahun menunggu tanpa kabar berita, aku mulai meragukan perkataan Ibu. Bahkan setelah Ayah tiba-tiba muncul di hadapan kami saat aku baru lulus kuliah, aku nyaris tak mengenalinya. Ketika Ibu menemuinya dengan muka masam, saat itulah baru kusadari kalau mereka sudah berpisah.

"Maaf, kalau ayah mengganggu... tapi, kalau Rumi ada sedikit uang. Ayah boleh pinjam? Ayah lagi butuh, sekalian untuk ongkos ke Tangerang," ucapnya memecah keheningan yang tercipta.

Sudah kuduga, tujuannya ke sini tak jauh-jauh dari persoalan uang.

"Ayah butuh berapa?"

"Lima juta, ada?"

Aku meneguk ludah dengan susah payah. Bagiku uang dengan jumlah segitu cukup besar. Apalagi hidup di Jakarta dengan biaya hidup serba mahal, sedangkan gaji pas-pasan. Mendadak begitu saja mengeluarkan uang lima juta, bukanlah perkara gampang.

"Nomor rekening Ayah masih yang lama?"

Aku menyentuh layar ponsel, dan membuka layanan M-banking. Sesulit apa pun hidupku, dan seabsurd apa pun alasan Ayah saat meminta uang,  entah mengapa aku tak kuasa menolaknya.

"Ya, masih yang lama."

Dalam hitungan detik, uang sejumlah yang diminta sudah berpindah ke rekening Ayah.

Air mataku hampir menitik saat melihat saldo yang tersisa benar-benar sudah sekarat, sedangkan gajian masih dua minggu lagi. Apesnya hari ini juga ada beberapa tagihan yang harus dibayar.

"Sudah, ya, Yah." Aku memperlihatkan resi tanda pengiriman berhasil kepadanya.

"Terima kasih. Nanti kalau ada uang, ayah ganti."

Aku hanya tersenyum pahit. Sama seperti yang sudah-sudah, semua janjinya hanya omong kosong. Ayah hanya datang untuk meminta uang, lalu menghilang dalam waktu yang cukup lama, kemudian muncul lagi melakukan hal serupa.

Terakhir kali berurusan soal uang dengan Ayah, saat aku masih menjadi istri Mahesa dan Ayah sempat tinggal bersama kami. Entah apa yang ada di pikirannya saat menjaminkan nama dan nomor ponsel menantunya itu pada aplikasi pinjaman online. Aku hampir pingsan saat tiba-tiba saja utang seratus lima puluh juta ditagihkan pada Mahesa, padahal dia tak tahu apa-apa. Itu bukan kali pertama, karena sebelum-sebelumnya Ayah juga sering meminta uang.

Setelah kami membereskan semua kekacauan yang dibuatnya, Ayah menghilang bagai ditelan bumi. Tiga tahun berlalu, sekarang dia muncul di kantorku dengan wajah tanpa dosa. Tanpa ada permintaan maaf, atau menanyakan bagaimana kehidupan rumah tanggaku setelah kejadian itu.

"Kantornya bagus," katanya saat bangkit dan mengamati ruangan sekitar. "Gaji di sini pasti besar, ya ... Ayah lihat Rumi juga sudah punya mobil. CRV putih itu, cocok sekali untukmu." Dia tertawa dengan cara yang ganjil dan membuatku entah mengapa sedikit merinding.

"Itu hanya mobil kantor yang dipinjamkan pada Rumi," ucapku sedih.

Menyadari Ayah tahu soal mobil tersebut membuatku bertanya-tanya sendiri. Apa Ayah menguntitku beberapa hari ini? Namun, aku terlalu letih untuk mengorek lebih dalam, karena itu membuatnya lebih lama berada di sini dan itu justru tidak baik bagiku.

Mungkin terdengar kejam dan tak berperasaan, tapi ayahku seperti lintah. Kalau dibiarkan lebih lama di dekat kita, dia akan menghisap semuanya tanpa menyisakan sedikit pun.

"Oh, ya. Rumi tinggal di mana? Kapan-kapan Ayah berkunjung." Dia mengeluarkan ponselnya, dan menyerahkan padaku. "Nomor Rumi juga hilang, bisa ayah minta lagi?"

Aku meraih ponsel butut itu dengan enggan dan mengetikkan nomorku di sana. Dalam hati berharap semoga Ayah tidak pernah menghubungiku.

Suara Orion dan Chandra yang muncul di lobi, menyita perhatian kami. Mereka menyapa sekadar basa-basi, tapi Ayah membalas sapaan mereka terlalu ramah, sehingga membuatku jengah sendiri.

"Wah, ini teman sekerja Rumi, ya? Perkenalkan, saya ayah Rumi." Ayah mengulurkan tangan pada kedua lelaki itu.

"Salam kenal, Om." Mereka menjabat tangan Ayah bergantian sambil menyebutkan nama masing-masing.

"Kalian gagah-gagah sekali. Persis seperti Om waktu muda." Mungkin Ayah bermaksud untuk bercanda, tapi terdengar sangat menggelikan di telingaku.

"Om masih muda, kok." Orion menanggapi sambil tertawa sopan.

"Ah, bisa saja kamu." Ayah menepuk-nepuk bahu Orion sok akrab. "Kalau boleh tahu kalian mau ke mana? Boleh Om numpang sampai ke depan?"

Oh, tidak! Please, cukup aku saja yang direpotkan oleh kelakuan Ayah yang ajaib, jangan teman-temanku juga!

"Oh, boleh boleh, Om. Kebetulan kami juga mau keluar."

"Ayah, biar Rumi saja yang antar atau Rumi pesanin taksi. Rion dan Chandra ada keperluan mendesak," selaku.

"Nggak apa-apa, kok, Mbak," timpal Chandra. "Mbak Rumi kan lagi banyak kerjaan, toh kami  kebetulan ada urusan di Tebet, sekalian makan siang juga."

"Wah, Om tahu ada tempat makan enak di Tebet!" Wajah ayah tampak semringah.

Ya, Tuhan. Rasanya aku ingin menangis saat ini juga. Bagaimana cara mencegah agar Ayah tidak ikut bersama mereka, tanpa membuatku mempermalukan diri sendiri?

"Yah, biar Rumi aja yang ngantar." Nada suaraku terdengar putus asa.

"Ayah nggak mau Rumi repot. Apalagi kan Rumi banyak kerjaan. Biar Ayah sama cowok-cowok ini saja. Ayo kita berangkat!"

Tanpa sungkan Ayah langsung memeluk bahu kedua lelaki itu. Orion dan Chandra hanya tertawa rikuh, lalu saling berpandangan dengan ekspresi sama-sama tak nyaman, tapi sungkan mengelak.

Bisa kupahami arti di balik ekspresi itu. Apalagi kalau bukan aroma tak sedap yang menguar dari tubuh ayahku?

-tbc-

Duh, punya ayah kayak gini pasti bikin makan ati. πŸ˜…


 

.


 


 


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Selanjutnya LET'S GET MARRIED! Bab 6-8
2
0
Bab 6-8Yuk dukung cerita ini ya Gaes 😘Bab 6Aku percaya dengan pendapat yang mengatakan, kalau kehadiran seorang ayah, berperan sangat penting dalam perkembangan psikologis dan sosial anaknya, terutama anak perempuan. Bahkan pola ikatan yang terbentuk antara mereka, juga mempengaruhi bagaimana cara sang anak menjalin hubungan kelak dengan orang lain.Aku tak tahu pola ikatan apa yang terbentuk antara aku dan Ayah. Mungkin pengabaian dan perasaan tak pernah dianggap. Aku nyaris lupa, apakah ada momen bahagia yang pernah kualami saat bersamanya.Bahkan dalam ingatan yang samar-samar sekali pun di masa lalu, tak ada memori tentang Ayah di sana. Hanya saja tak bisa dipungkiri, jauh di lubuk hati terdalam, tetap saja aku mengharapkan dia hadir di hidupku seperti ayah-ayah orang lain. Sayangnya, saat aku sudah lelah merindu dan mulai belajar melupakannya, dia tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami, mengharapkan pemakluman.Meski tak punya kenangan manis di masa kecil, aku juga tak punya kenangan buruk tentang Ayah. Semua seperti kertas putih yang kosong. Tanpa warna. Itulah sebabnya aku tak bisa membencinya walau juga tak bisa mencintainya. Aku juga tak kuasa menolak apa pun permintaannya, karena menyadari hanya tinggal dia satu-satunya keluargaku di dunia ini setelah Ibu tiada. Bahkan setelah berkali-kali dikhianati dan dipermalukan, tetap saja tak bisa disangkal darahnya mengalir deras di tubuhku.Dia kesalahan terbesar dalam hidup Ibu. Air mata Ibu langsung berlinang saat kutanyakan mengapa Ibu tak mau menerima Ayah kembali.    Tapi seburuk-buruknya ayahmu, dia sudah menitipkan permata yang sangat berharga di rahim Ibu, ucapnya seraya mengelus-elus pipiku.Maafkan Ibu, ya, Rumi. Maafkan Ibu yang naif memilih lelaki seperti dia menjadi ayahmu.Aku tak tahu mengapa Ibu harus minta maaf. Bukankah kalau Ibu memilih lelaki lain sebagai suami, aku tak akan pernah ada di dunia ini?Dulu aku masih sulit memahami apa yang membuat Ibu menyerah dengan Ayah, padahal saat dia bercerita tentang masa lalu saat mereka memutuskan menikah, Ibu bilang sangat mencintai Ayah. Namun setelah menyaksikan sendiri betapa ajaibnya ayahku, aku bisa mengerti.Cinta saja tidak cukup, Rumi. Tak pernah cukup.Kata-kata yang sempat dilontarkan Ibu itu, selalu terngiang dan menjadi mantra bagiku agar tak gampang menyerahkan cinta pada lelaki mana pun. Sebelum akhirnya Mahesa datang ... dan membuktikan semua perkataan Ibu benar adanya.Aku memang belum bisa setangguh Ibu yang bisa melupakan cintanya pada Ayah, karena Mahesa tidak seperti Ayah. Mengingat itu hatiku kembali digigit rasa nyeri. Nyeri dan rindu saling berkelindan dan tak bisa kuurai meski sudah tiga tahun berlalu.Kok, bengong?Aku yang masih termangu di lobi melihat mobil yang dikemudikan Orion membawa Ayah pergi, terkejut saat Astri menepuk bahuku.Oh, nggak, kok. Nggak apa-apa.Siapa itu? Bener ayahmu? Wajah Astri tampak sulit mempercayai kalau lelaki yang sempat dilihatnya sekilas  tadi adalah ayahku.Aku hanya mengangguk malu, dan tak ingin membahasnya lebih jauh dengan Astri. Bukan soal penampilan lusuh dan kumal Ayah yang membuatku malu mengakui kalau dia ayahku, tapi kelakuannya. Sungguh aku sangat khawatir Ayah akan merepotkan Chandra dan Orion. Tak hanya merepotkan, tapi juga membuat malu.Ikut sama anak-anak? Astri masih terlihat penasaran.Numpang sampai ke depan katanya, jawabku lesuOh. Perempuan itu memindai wajahku sesaat. Mungkin dia menyadari ada yang berbeda dengan ekspresiku, saat bertanya kemudian, Are you OK?Bagaimana mungkin aku baik-baik saja di saat aku tak bisa memprediksi apa yang dilakukan Ayah saat ini?Aku nggak apa-apa, kok. Yuk, ah. Aku mau ke dalam dulu. Aku buru-buru masuk, sebelum Astri bertanya dan mengorek lebih dalam lagi.Meski kami sudah dekat sebagai rekan kerja sejak awal-awal WeSto berdiri, tapi aku tak pernah membagi kehidupan pribadiku padanya, dan pada siapa pun.  Bahkan statusku yang janda, hanya Mbak Sofie yang tahu, walau aku juga tak bisa menjamin dia tidak membicarakannya pada anak-anak yang lain. Hanya saja, sejauh yang kuamati, tak pernah ada yang menyinggung-nyinggung soal itu. Sepertinya mereka mengira aku masih gadis single, jadi kuanggap saja mereka tak tahu kebenarannya.Aku berusaha fokus bekerja, dengan menyibukkan diri menelpon dan mengecek lagi beberapa vendor  yang mengisi acara pernikahan minggu depan. Aku juga berusaha menghubungi kembali manajer Andrea ... tapi lagi-lagi telponku di reject. Arrggh!Meski sudah mati-matian mengalihkan pikiran,  tapi bayangan Ayah sedang bersama Orion dan Chandra tak kunjung lepas dari benakku.Aku kembali membaca pesan-pesan yang kukirim pada Orion tiga jam lalu.Rion, ayahku nggak nyusahin kalian, kan?Kalau misalnya beliau nyusahin, bilang saja padaku.Maaf udah bikin kalian repot.Pesan tersebut masih belum dibuka sama sekali. Aneh. Biasanya respon Orion sangat cepat, tiap kali aku menghubunginya untuk urusan pekerjaan.Hingga hari sudah sore dan aku bersiap pulang, hanya jawaban pendek yang dikirim Orion saat akhirnya membalas pesanku.Nggak apa-apa, kok Mbak. Nggak usah khawatir.Aku menatap layar ponsel dengan putus asa. Meski tak puas dengan jawaban yang diberi Orion, tapi aku juga sudah kehabisan energi untuk bertanya lebih jauh.***Pagi ini kuawali dengan perasaan yang masih tidak enak gara-gara kejadian kemarin. Bawaannya uring-uringan dan ingin marah saja, tapi tak tahu harus dilampiaskan pada siapa. Entah mengapa aku merasa semua orang seolah-olah berbisik-bisik di belakang membicarakan kelakuan ayahku yang ajaib. Pemikiran yang konyol sebenarnya, karena kenyataannya orang-orang justru sibuk dengan urusan mereka masing-masing.Orion dan Chandra belum datang, padahal sudah hampir pukul sepuluh pagi. Aku melirik cangkir kopiku yang masih utuh. Pada hari-hari biasa, jam segini gelas itu sudah berpindah ke meja Orion.  Kamu kenapa? Pagi-pagi udah kusut aja mukanya? Astri melongok dari kubikelnya dan menyodorkan setangkup sandwich padaku. Udah sarapan belum?Aku nggak lapar, tolakku halus. But, thank's.Setengah jam kemudian, sosok yang kutunggu-tunggu muncul juga. Seperti biasa bunyi siulan dan suara baritonnya saat menyapa kami, memenuhi ruangan WeSto tak terlalu besar ini.Sesaat pandangan kami bertemu ketika aku mendongak dari mejaku. Jujur, ini pertama kalinya aku gentar saat melihat Orion. Bayangan kejadian dia bersama ayahku kemarin, membuatku gugup dan gelisah.Lelaki itu hanya melempar senyum tipis dan berlalu begitu saja.Ini benar-benar aneh. Tumben sekali dia tidak meminta kopiku? Padahal aku sengaja tak meminumnya, karena kopi itu memang sengaja kubeli untuknya. Yah, anggap saja sebagai permintaan maaf atas apa pun kelakuan ayahku kemarin.Perasaanku semakin tak enak. Diam-diam aku menoleh ke belakang, mengawasinya yang tengah menyalakan komputer. Daripada mati penasaran, akhirnya aku bangkit dan membawa kopi itu ke mejanyaDia menatap keheranan saat aku menaruh minuman tersebut di meja.Ini ... untukmu. Belum kuminum sama sekali, ucapku lirih. Sungkan kalau anak-anak yang lain mendengarnya.Lho, tumben?Anggap saja permintaan maaf, karena sikap ayahku kemarin yang merepotkan kalian.Wajahku memanas tiba-tiba. Sungguh bayangan tentang Ayah yang bertingkah norak pada mereka, tak kunjung hilang dari ingatan, meski aku sudah berupaya keras mengusirnya. Bab 7 Nggak perlu minta maaf, Mbak. Dia mendorong gelas kopi itu kembali padaku.Ini bawa kembali kopinya, aku sudah minum tadi di luar. Kayaknya Mbak Rumi yang lebih butuh kopi saat ini. Dia tersenyum sambil menunjuk wajahku. Matanya merah, tuh, kayak kurang tidur.Apa kemarin ayahku ....Lidahku kelu. Susah sekali rasanya meneruskan pembicaraan ini.Orion menunggu dengan sabar. Namun, saat tak kunjung ada kata yang terucap dari bibirku, dia akhirnya berkata. Nggak merepotkan, kok. Beneran. Beliau hanya minta diantar ke depan, dekat halte.Se .. rius? Seketika aku mendesah lega. Tapi, kenapa kamu lama banget nggak balas-balas pesanku?Kemarin lagi sibuk, ada kerjaan.  Jadi nggak kedengaran.Oh, ya udah. Itu kopinya buat kamu aja.Nggak. Buat Mbak aja.Tumben, biasanya kamu main ambil aja, sekarang aku kasih, kok, nggak mau?Kalau pada nggak mau, ya, udah, buat gue aja kopinya, celetuk Maya yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku.Eits, daripada buat Mbak Maya, biar buatku aja. Orion langsung menyambar gelas itu sambil tertawa.Ini hari bersejarah, lho, Mbak Rumi datang sendiri ke mejaku nawarin kopi.Wah, selangkah lebih, dekat, dong! Maya menggodanya. Nggak sia-sia, lu mepetin Rumi terus, Yon. Luluh juga akhirnya dia.Aku hanya mendengus sebal saat Maya menepuk-nepuk bahuku.Ya, kuncinya emang mesti sabar, balas Orion sok cool, lalu menghirup kopinya dengan nikmat.Jadi bisa dong di gas, biar nikah tahun ini? Maya semakin menjadi-jadi. Puas sekali tampaknya saat melihatku mendecak sebal.Gimana, Mbak Rumi? Siap nikah tahun ini? tanya Orion tanpa basa-basi, lalu ikut tertawa bersama Maya yang mengulurkan tangan memberi toast padanya.Ck. Nikaaah terus yang dibahas! Kuliah aja nggak kelar-kelar. Skripsi, tuh di seriusin!Nah udah ada lampu ijo tuh, Yon. Lo kudu kelarin skripsi, baru Rumi mau nikah sama lo.Aku memutar mata. Susah memang kalau punya  lawan tak seimbang. Sendirian menghadapi mulut usil anak-anak WeSto yang semuanya berada di pihak Orion hanya buang-buang energi.Eh, Mbak Maya jangan salah, balasnya dengan ketenangan luar biasa.Mbak Rumi itu hampir sama dengan skripsiku, meski sulit ditaklukkan, tapi bakal selalu aku perjuangin demi masa depan.Aseeek! Tawa Maya seketika tersembur dan memancing perhatian anak-anak yang lain.Eh, kalian dengar, nggak? Ni bocah makin hari makin jago aja gombalin Rumi.Suit ... suit! Danny dan Chandra yang baru saja datang langsung heboh.Malas menanggapi guyonan mereka aku memilih cepat-cepat berlalu dari sana. Setidaknya bebanku sedikit berkurang, setelah mendengar penjelasan Orion kalau Ayah tidak macam-macam.***Rum, udah deal belum sama si Andrea? Tanpa basa-basi, Mbak Sofie langsung menodongku dengan pertanyaan saat aku menjawab panggilan teleponnya.Belum, Mbak.Duh, gimana, dong!Aku usahain lagi. Atau kita pilih penyanyi alternatif lain gimana, Mbak?Tapi dia maunya Andrea.Aku memijit keningku yang mendadak berdenyut-denyut nyeri. Klien yang satu ini memang ajaib. Kenalan Mbak Sofie yang hanya kudengar namanya itu, hanya mau berkomunikasi dengan Mbak Sofie. Aku belum pernah bertemu sama sekali.Kalau deal, ini nggak main-main. Dia mau bayar mahal. Pokoknya nanti kalian semua dapat bonus, deh.WeSto memang tak hanya sekadar wedding organizer biasa. Meski masih termasuk pemain baru dengan personil yang juga sedikit, tapi Mbak Sofie memberi service lengkap tergantung paket yang dipilih oleh pasangan pengantin. Termasuk menyediakan jasa perencanaan konsep pernikahan seperti apa yang ingin diwujudkan.Memang belum ada pembagian tim khusus di WeSto, sehingga terkadang kami kerepotan sendiri kalau Mbak Sofie semau-maunya menyetujui permintaan klien tanpa sempat mempertimbangkan dan meminta pendapat kami terlebih dahulu. Mungkin prinsipnya, yang penting ada klien dulu, urusan bagaimana repotnya nanti, ditanggung sama-sama. Huh!Kalau cara kerja Mbak Sofie gini terus, bisa mati muda aku! gerutuku setelah sambungan telepon terputus.Kenapa? tanya Astri.Semua permintaan klien menyebalkan itu di iyain. Ngomongnya via telpon doang sama Mbak Sofie. Dan Mbak Sofie main iya-iya aja, tanpa ngelibatin kita. Dia tahunya semua beres dan ada!Oh, klien yang minta Andrea itu, ya? Kudengar dia juga minta Andrea kudu tampil sama Bian. Mereka kan pernah duet di salah saru lagunya Andrea.Masa? Mati! Satu aja belum deal, malah minta dua, tapi kayaknya Mbak Sofie nggak bilang, deh, kalau pake Bian segala.Kayak belum kenal Mbak Sofie aja. Bisa jadi dia lupa, tapi dia pikir udah bilang sama kamu. Ini di email-ku barusan disebutin.Allah! Aku mengusap wajah frustrasi.Keep calm. Urusan lain-lain kan udah, tinggal pengisi acara doang... Eh, satu lagi, konsepnya kan ala-ala Princess gitu, klien-nya masih belum fix soal pilihan bunga-bunga apa yang mau dipakai.  Kemarin aku udah kirim ke Mbak Sofie list-nya.Kayaknya baru kali ini kita dapat klien yang agak ribet, ya? Mana ngobrolnya kudu lewat Mbak Sofie semua lagi.Dia ini Influencer kabarnya. Entah influencer apaaan. Yang jelas dia tajir kata Mbak Sofie, Bapaknya pejabat apa gitu.Lah kalo emang tajir dan anak pejabat, kok milih WO yang masih baru kayak kita?Hush! Itu namanya rejeki WeSto. Makanya Mbak Sofie bela-belain banget.Iya, sih. Aku tertawa muram. Bagaimana pun riweuh dan semrawutnya di dalam, kami tetap harus profesional dan memberi citra baik kepada publik.Tapi mau nggak mau, kita harus ketemu sama calon pengantinnya, As. Tukar pikiran, ngobrol, biar jelas mau dia tuh sebenarnya kayak gimana, ya ... kayak klien-klien yang lain. Masa semuanya kudu lewat Mbak Sofie, sih? Ribet banget tau! Mana Mbak Sofie jarang ke kantor lagi. Ngasih instruksi hanya via email dan telpon.Namanya juga boss. Sekate-kate dia aja. Tapi biar gitu, dia kan royal banget, Rum. Nggak itungan-itungan, suka kasih bonus berlebih, mana kalau minjem duit, juga gampang lagi. Astri tertawa kecil.Aku hanya menghela napas panjang, tak menyangkal semua ucapan Astri. Bahkan mobil yang sebenarnya fasilitas kantor, dipercayakan padaku, bukan ke anak-anak yang lain. Namun masalahnya, mengurus pernikahan orang lain itu bukan pekerjaan main-main. Seharusnya Mbak Sofie paham, kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal, karena ini berhubungan dengan banyak pihak.Dor!Aku hampir terlonjak dari kursi, saat Orion tiba-tiba saja muncul mengagetkanku dengan bertepuk tangan di kupingku.Riooon! Aku memukulnya dengan buku agenda yang ada di meja.Aduh, sakit! Dia meringis sambil mengusap-usap bagian lengannya yang barusan dipukul.Kamu, sih, ngagetin nggak kira-kira!Soalnya Mbak serius banget ngelamunnya.Wong lagi kerja, masa dibilang melamun?Udah, ntar aja lanjut kerjanya. Udah jam makan siang.Ya, udah. Kamu makan aja sana!Emang Mbak nggak makan? Bawa bekal, ya?Aku hanya mengangguk.Wah, kalau gitu aku makan di sini saja, deh, nggak jadi makan di luar. Dia langsung mengambil kursi plastik dan menaruhnya tak jauh dariku. Menungguku membuka kotak bekal, seperti yang sering dilakukannya selama ini.Dengan muka masam, aku mengeluarkan kotak bekal dari laci dan menaruhnya di meja. Nih!Matanya langsung berbinar, dan tanpa malu-malu membuka kotak tersebut.Hm, kelihatannya enak, ucapnya seraya mencomot potongan kecil daging ayam.Sampai detik ini aku masih tak habis pikir, apa motif di balik semua sikap menyebalkan Orion padaku. Aku emang tidak terlalu keberatan dia sering numpang makan siang. Toh, bekalku cukup banyak. Lagi pula dia tidak benar-benar memakannya. Lebih pas disebut menemaniku makan sambil sesekali mencicipi makanan yang kubawa.Rion, Rion. Dimana-mana tuh, cowok yang traktir makan siang, bukan malah nebeng makan sama cewek.Dia tak ambil pusing saat diledek Maya yang sedang lewat dekat kami.Gitu katanya ngajak nikah, yang ada ntar Rumi yang jadi tulang punggung, lo jadi tulang rusuk.Kalau udah nikah mah lain cerita, Mbak May. Mbak Rumi bakal kubikin jadi ratu.Makan aja udah! Nggak usah banyak omong! Aku menyumpulkan selada ke mulutnya agar dia tak terus bicara.Eh, kemajuan, nih! Udah pakai suap-suapan segala. Astri menimpali dari balik kubikelnya sambil cekikikan.Orion yang rupanya tak menyangka akan mendapat serangan mendadak dariku, terbatuk-batuk saat selada itu masuk ke mulutnya.Ya, Allah, Mbak Rumi! Bar-bar banget, sih. Pakai perasaan dikit, dong nyuapinnya.Ya, itu tadi kan pake perasaan. Perasaan jengkel!Aku menarik kotak bekalku menjauh darinya, dan mulai menyendokkan nasi ke piring kecil. Baiknya aku cepat-cepat makan, sebelum kehilangan selera mendengar guyonan tak bermutu dari mereka.Halalin aja, udah, Bro! Toh, kan juga sudah akrab banget sama calon ayah mertua. Chandra bersorak dari meja belakang. Kulihat Orion menoleh dengan wajah tegang dan serius ke arah Chandra. Aku tak bisa menebak jelas arti di balik sorot matanya yang tajam, tapi seperti ada yang ingin di sampaikannya pada Chandra. Terbukti lelaki yang awalnya terkekeh-kekeh geli itu, mendadak bungkam.Aku menghentikan suapanku. Ocehan Chandra tadi membuat mood-ku langsung terjun bebas. Apa ada yang mereka sembunyikan soal kejadian beberapa waktu lalu, saat Ayah bersama mereka?Bab 8Ada apa, sih? Kok kamu kayak gitu banget ngeliatin Chandra? Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan soal ayahku?Mirip balon yang tiba-tiba kempes, seperti itulah perasaanku saat ini. Segala sesuatu mengenai Ayah, selalu membuatku tak berdaya. Gundah dan was-was pada saat bersamaan. Aku takut Ayah melakukan kekacauan lagi, yang berdampak besar pada kehidupanku.Nggak, kok. Emang mau nyembunyiin apa coba? Orion menjawab tanpa menatapku. Dia sibuk mengobrak-abrik kotak bekal berisi salad, dan memilih semua potongan wortel di sana.Kamu jujur, ya. Kalau ayahku melakukan tindakan yang ... aneh atau ada hal yang bikin kalian nggak nyaman kemarin itu, tolong bilang padaku!Aku tak menyangka nada suaraku bisa bergetar saat berkata. Luapan beragam emosi yang tumpang tindih di dada membuatku rasanya ingin menangis.Nggak ada yang aneh, kok.Entah mengapa jawaban Orion terasa sangat  meragukan.Tanpa bisa dicegah, kenangan masa lalu yang pahit kembali melintas di kepala. Kenangan yang tak hanya membuat harga diriku berada di titik terbawah, tapi juga membuatku kehilangan muka di hadapan Mahesa dan keluarganya.Kami masih dalam masa-masa mereguk manisnya hidup sebagai pengantin baru saat itu. Baru beberapa bulan menikah, tapi percikan-percikan api mulai tersulut karena kelakuan Ayah, ditambah lagi keluarga Mahesa, terutama ibunya tidak terlalu menyukaiku.Itu kenapa dari dulu Mama tekankan ke kamu,  pentingnya mempertimbangkan bibit, bebet, bobot calon istri sebelum ngajak dia nikah ... sekarang, baru kerasa kan, kamu? Kelakuan mertuamu aja memalukan kayak gitu, apa kamu bisa jamin kelakuannya nggak nurun ke anaknya?Masih kuingat dengan jelas tiap patah kata yang terlontar dari mulut mantan ibu mertuaku itu. Menyakitkan, tapi setelah bertahun-tahun kemudian, aku bisa sedikit memahami mengapa dia marah. Ayah memang keterlaluan, tak memikirkan dampak dari setiap apa pun tindakannya.Dicerca langsung di depan hidung sendiri itu sangat memalukan. Mentalku langsung down, tapi tak ada setetes air mata pun yang jatuh. Mungkin saking terpukulnya, hingga air mata pun seperti langsung mengering.Mahesa hanya diam saja. Aku tahu, meski dia mencintaiku dan bisa menerima semua kekuranganku, tapi dia tak akan mau berbantahan dengan mamanya.Atas nama Mama, aku minta maaf padamu. Sifat Mama emang kayak gitu, tapi kamu tahu, kan, kalau aku sangat mencintaimu? Setelah mamanya pulang, dia baru berani bersuara.Ya, aku mengerti, ucapku lirih, dan berupaya melukis senyum.Padahal yang kubutuhkan saat itu, sedikit pembelaannya di hadapan sang mama, bukan kalimat pemakluman, setelah aku dicerca habis-habisan.Kok Mbak Rumi malang bengong? Nggak diabisin makannya?Terlambat! Seleraku sudah menguap sejak tadi. Aku mendorong kotak bekal itu padanya. Aku nggak lapar. Kamu habisin aja.Lho, kok, jadi aku yang habisin? Ini kan bekal Mbak Rumi?Ya, tapi kan kamu selalu minta.Tapi, bukan berarti aku mau ngabisin semua. Hanya pengen nyicipin doang, kok, sambil nemenin Mbak makan. Anggap saja latihan sebelum nanti kita udah nikah dan makan bareng di rumah.Terdengar tawa tertahan Astri di sebelah.Aku udah nggak selera.Kenapa?Karena kamu. Aku jadi nggak selera makan karena kamu! Segala tentang kamu bikin mood-ku buruk!Sebenarnya aku tak ingin melampiaskan emosiku yang kacau balau pada Orion. Akan tetapi karena dia terus saja mengoceh, membuatku kesal sendiri.Entah kapan lelaki ini bisa paham kalau aku tidak suka dia selalu menempel padaku. Aku juga muak dengan semua keisengan dan sikap sok perhatiannya itu. Maksudku bisa nggak, sih, dia bersikap biasa saja, sama kayak dia memperlakukan anak-anak WeSto lainnya? Well, boleh saja bercanda tapi bukan dengan candaan seperti yang selalu dia lontarkan padaku selama ini.Kata Astri, mungkin karena aku tipe manusia kaku, dan menanggapi candaan Orio  terlalu serius, sehingga dia makin senang menggoda. Seharusnya santai saja, kalau bisa balas candaannya balik, tapi hei, aku sama sekali tidak berminat menanggapi candaan semacam itu.Mungkin memang hidupku terlalu serius, kaku, tidak punya sense of humor yang bagus. You name it! Tapi bagaimana bisa tertawa saat diajak bercanda soal menikah sedang aku sangat alergi dengan hal itu? Bagiku itu bukan seperti candaan, tapi ejekan. Apa jangan-jangan dia tahu kalau aku janda? Lantas mengapa memangnya? Apa karena aku janda, lalu dianggap hopeless dan bisa dicandain soal menikah seenaknya?Tanpa sadar aku mengembuskan napas dengan keras, dan menatap sengit pada lelaki itu.Sorry. Dia langsung menyudahi makan siangnya dan menutup semua kotak bekalku.Sorry banget. Aku baru tahu kalau ternyata Mbak Rumi sangat terganggu denganku. Wajahnya tampak sangat bersalah.Kok baru tahu? Kan udah sejak dulu aku bilang. Kamu aja yang nggak paham-paham, ucapku dingin, sambil melipat tangan di dada.Sesaat kami berpandangan seperti saling mengukur kekuatan masing-masing. Tak kutemukan lagi cengiran iseng atau raut menyebalkan yang selalu dia pamerkan itu. Mudah-mudahan kali ini dia benar-benar paham dan tidak lagi berani membuat lelucon apa pun denganku.Baiklah. Aku pergi, silakan dilanjut makan siangnya.Tanpa menunggu jawaban dariku, lelaki itu bangkit dan menuju pintu keluar dengan langkah gontai.Yaelah, Rum. Kok kamu segitu amat, sih, sama Rion? Nggak liat apa tadi mukanya langsung kayak kena mental?Astri yang sedari tadi rupanya menyimak dari meja sebelah, menatapku dengan raut simpati.Coba, deh, sesekali kamu berada di posisiku. Dicandai sedemikian rupa dengan topik yang kamu nggak suka. Aku nggak yakin kamu bakal berkomentar seperti itu, balasku dongkol.Sorry, aku nggak bermaksud apa-apa, ya. Cuma, kan Rion memang kayak gitu anaknya semua orang diajak bercanda sama dia.Tapi bukan berarti semua orang harus setuju dengan gaya candaan dia, kan? Bagi kalian mungkin nggak masalah, tapi bagiku masalah!Oke. Fine! Astri mangangkat kedua tangannya tanda menyerah seraya tersenyum tipis.Eh, ngomong-ngomong barusan Mbak Sofie balas pesanku. Katanya calon pengantin super riweuh yang pengen ada Andrea di acaranya itu, mau meeting sama kita.Heh? Serius? Aku langsung bersemangat. Nah, gitu, dong! Kapan, As?"Sore ini jam tigaan dia mau ke kantor.Ya, udah kamu siap-siap, aku juga. Jangan lupa kasih tau Maya.Seperti yang dijanjikan, klien istimewa bernama Gita Swastika itu datang tepat waktu. Aroma parfum mahalnya langsung memenuhi ruangan meeting WeSto.Halo, selamat siang. Maaf, saya baru bisa berkunjung sekarang ke kantor WeSto. Suaranya jernih dan tutur katanya sangat tertata.Dia langsung menyalami kami sambil tersenyum. Sejenis senyum anggun ala perempuan ningrat. Mengenakan rok batik selutut dan atasan putih model kebaya, dia persis perempuan-perempuan kelas atas yang hidup di keraton. Rambutnya hitam legam, dan disanggul sederhana. Riasannya tampak natural, dan menonjolkan kecantikan khas perempuan Jawa. Selama beberapa waktu, aku sibuk mengagumi perempuan itu, sampai lupa kalau kami akan rapat membahas tentang persiapan pernikahannya.Astri langsung tanggap, dan mempersilakan perempuan itu duduk. Setelah berbasa-basi sejenak, dia menjelaskan kembali gambaran besar yang sudah kami rancang untuk pernikahan Gita.Saya juga sudah berbicara dengan Mbak Sofie, soal bunga saya akhirnya memutuskan bunga Lily dan Mawar saja. Saya juga sudah mempelajari konsep rancangan yang Mbak Astri kirimkan waktu itu. Secara umum saya setuju, hanya saja ada beberapa catatan dari saya, yang harus diubah. Saya sudah mencatatnya di sini.Gita mengeluarkan sesuatu mirip dokumen dari tas dan membukanya. Ada banyak tanda dengan stabillo di sana, disertai catatan kecil di bawahnya. Sekilas mirip saran revisi skripsi yang dilakukan dosen pembimbingku saat kuliah dulu. Dia bilang hanya beberapa catatan, tapi setelah dilihat hampir semua bagian ditandai stabillo warna kuning.Astaga, perempuan ini teliti dan sangat detail sekali. Diam-diam aku jadi penasaran lelaki seperti apa yang akan menjadi pasangan seorang Gita Swastika?Rasa penasaranku akhirnya terjawab, setelah kami selesai berdiskusi selama hampir dua jam. Aku dan Astri mengantar Gita sampai ke lobi. Di sana ternyata sudah menunggu lelaki yang dikenalkannya sebagai calon suami.Tubuhku langsung membeku di tempat saat lelaki itu menyebutkan namanya ketika menyalami Astri.Mahesa.Suara itu! Suara yang masih sangat familiar di telingaku, bahkan setelah sekian tahun berlalu.-tbc-                                                                                        
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan