
Bab 3-5 ya Gaes π
"Dia selalu begitu. Sejak kecil tidak pernah minta apa-apa. Tidak pernah mau menyusahkan orang. Kalau ada masalah selalu disimpan dan diselesaikan sendiri." Sobo seperti sengaja mengatakan informasi itu padaku. Matanya terlihat agak berkaca-kaca.
Sayangnya pernyataan Sobo justru sangat bertolak belakang dengan sikap Orion yang kukenal. Hampir di setiap kesempatan, dia selalu menyusahkanku. Memaksa untuk memberi tumpangan, nebeng makan siang, menghabiskan kopi di cangkir yang...
"Dia selalu begitu. Sejak kecil tidak pernah minta apa-apa. Tidak pernah mau menyusahkan orang. Kalau ada masalah selalu disimpan dan diselesaikan sendiri." Sobo seperti sengaja mengatakan informasi itu padaku. Matanya terlihat agak berkaca-kaca.
Sayangnya pernyataan Sobo justru sangat bertolak belakang dengan sikap Orion yang kukenal. Hampir di setiap kesempatan, dia selalu menyusahkanku. Memaksa untuk memberi tumpangan, nebeng makan siang, menghabiskan kopi di cangkir yang baru sempat kuteguk sekali, belum lagi keisengan-keisengan lain yang membuatku gondok setengah mati. Bahkan ini yang paling fatal, permintaan untuk menyamar jadi pacarnya. Seketika aku merasa kasihan pada Sobo. Bagaimana perasaannya kalau tahu dibohongi oleh sang cucu kesayangan?
Aku melirik Orion yang ternyata juga tengah melirikku. Kupingnya terlihat agak memerah, mungkin merasa malu sendiri mendengar perkataan neneknya. Lihat saja nanti, sepulang dari sini aku akan mengomelinya habis-habisan. Aku punya banyak sekali bahan olokan yang pasti membuatnya tak berkutik.
"Orion selalu bilang, kalau Harumi itu cantik. Tapi setelah bertemu, ternyata jauh lebih cantik dari yang bisa Sobo bayangkan." Perempuan itu mengalihkan pembicaraan. Mungkin menyadari kami tak merespon ucapannya tadi.
"Terima kasih. Sobo juga sangat cantik. Orion juga pernah cerita ... kalau Sobo, nenek terbaik dan paling dia sayangi di dunia."
Aku takjub sendiri mengapa bisa mengatakan hal-hal semacam itu dengan lancar pada perempuan itu. Kulihat Orion terpana, sebelum akhirnya melemparkan senyum penuh terima kasih padaku.
Perempuan itu tertawa. Bahkan cara dia tertawa terlihat anggun sekali.
"Tutur katamu sangat sopan. Pandai menghargai orang tua." Ia mengelus punggung tanganku sekilas sebelum akhirnya bangkit menuju lemari kecil tak jauh dari tempat kami duduk.
Aku dan Orion hanya berpandangan, tanpa ada sepatah kata pun yang terucap. Namun, aku yakin dia bisa menangkap kegelisahanku kalau berada di tempat ini lebih lama lagi, karena tiba-tiba saja dia berbisik, "Bentar lagi kita balik, kok!"
"Harumi ... mengingatkanku pada kecantikan bunga sakura di musim semi." Perempuan itu kembali, dan menaruh sebuah kotak kecil berisi kipas tangan lipat di meja.
"Ambillah. Ini salah satu kipas kesayanganku. Usianya sudah lebih lima puluh tahun, hadiah dari seorang teman lama." Dia mengeluarkan kipas dari kotak dan memperlihatkan padaku. Meski sudah tua, tapi kipas dengan motif bunga sakura tersebut masih bagus dan tampak terawat dengan baik.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Sungguh berat sekali rasanya menerima hadiah berharga seperti itu. Nenek Orion pasti mengira aku benar-benar pacar baik hati yang sangat dicintai cucunya.
"Ini ... bagus sekali. Tapi, maaf, Sobo aku tidak pantas menerima barang berharga seperti ini ...." ucapku tak enak hati
Ya, ampun. Sungguh aku merasa sangat bersalah sudah menyetujui persekongkolan busuk yang ditawarkan Orion. Kalau saja aku tahu Sobo setulus dan sebaik ini, pasti aku tak akan tega membohonginya dengan mengikuti permainan cucunya itu.
"Terimalah. Aku senang kalau kamu mau menjaga kipas ini untukku." Sobo setengah memaksa saat menyerahkan benda tersebut ke tanganku.
Aku menerima juga benda itu ambil diam-diam melirik Orion yang duduk di sebelahku. Wajahnya tampak sedikit tegang, tapi coba disamarkannya dengan tersenyum kecil seraya mengusap belakang kepalanya.
"Hadiah untukmu, Sobo kirim ke kost-an mu. Harusnya hari ini atau malam nanti sampainya," kata perempuan itu pada cucunya.
"Terima kasih. Seharusnya Sobo tidak perlu repot-repot seperti itu." Orion meraih jemarinya neneknya dan menggenggamnya dengan lembut.
"Tenti saja aku tidak repot." Dia tersenyum dan membakas genggaman sang cucu.
"Cepat selesaikan kuliahmu! Kalau bisa, tahun ini sudah diwisuda," lanjutnya kemudian. Meski nada suaranya lembut tapi terdengar tegas, dan membuat Orion tampak tak berkutik.
"Baik, Sobo."
"Harumi, tolong selalu ingatkan dia, untuk serius menata masa depannya. Kalian tidak mungkin selamanya pacaran, nanti akan menikah."
Perasaanku semakin tidak enak saat mendengar betapa seriusnya nada suara Sobo. Dia pasti menganggap hubungan kami ini benar-benar betulan.
"Bagaimana mungkin bisa serius berkomitmen membangun rumah tangga, kalau untuk menyelesaikan tanggung jawab di kampus saja tidak serius?"
Kalimat itu jelas tertuju untuk menyentil cucunya yang sekarang tertunduk dalam.
Aku merasa geli sekaligus iba melihat Orion. Baru kali ini aku melihatnya tak berkutik di hadapan orang lain. Biasanya ada saja alasan ngelesnya kalau sedang terpojok pada situasi tertentu. Rupanya titik kelemahan bocah ini ada pada Sobo.
Kami kemudian berpamitan. Beberapa kali perempuan tua itu menepuk-nepuk lenganku lembut dan bilang, agar aku sering-sering datang berkunjung. Tawaran yang hanya kujawab dengan anggukan dan senyuman. Meski dalam hati aku sudah berjanji pada diri sendiri tak akan pernah lagi menginjakkan kaki ke tempat ini.
"Sumpah, ya. Kamu itu bener-bener keterlaluan!" Baru saja kami masuk ke dalam mobil, aku langsung memarahi Orion.
Lelaki itu hanya memberiku tatapan pasrah. Sepertinya dia sudah mempersiapkan diri menerima semua kemarahanku.
"Kok kamu bisa, sih, setega itu membohongi nenek kamu sendiri? Yang aku lihat ya, dia tulus sayang dan care sama kamu. Masa kamu membalasnya dengan hal kayak gini?"
Aku meliriknya dengan sebal saat dia diam saja. Matanya fokus ke jalanan.
"Dan kipas ini." Aku membuang napas dengan keras, seraya mengacungkan benda tersebut ke arahnya. "Bagaimana mungkin aku menerima kipas berharga semacam ini?"
Orion hanya tersenyum samar yang tak dapat kuartikan apa maknanya.
"Kamu mikir, nggak, sih? Bagaimana perasaan Sobo kalau dia tahu kamu membohonginya? Aku nggak bisa menerima ini, kamu saja yang simpan. Aku nggak berhak menerimanya."
"Percaya atau tidak, kipas itu bernama Harumi. Sama dengan nama panggilan Sobo ... dan juga nama Mbak."
Sesaat aku melongo. Pernyataannya barusan sungguh mengejutkan.
"Lho, kok bengong?" Dia melambaikan tangannya di depan hidungku.
"Aku mengerti kalau Mbak marah," lanjutnya dengan hati-hati. Jelas tidak seperti Orion yang kukenal.
"Tapi, sejujurnya aku memang sudah lama ingin mengajak Mbak ke rumah Sobo. Hanya saja aku nggak punya cara yang lebih beradab, selain cara yang seperti tadi." Dia memberi tanda kutipan dengan jarinya saat mengucapkan kata "beradab".
"Serius kamu udah berniat sejak lama untuk membohongi nenekmu?" Aku menatapnya tak percaya.
"Aku nggak berniat membohonginya. Well, aku hanya terpaksa ...." Dia mengusap belakang kepalanya sedikit gelisah.
"Ck, udahlah. Pokoknya setelah ini, aku nggak mau lagi terlibat dengan urusanmu dan nenekmu. Kipasnya kamu simpan lagi, entah gimana caranya nanti, kamu kembalikan ke Sobo."
"Kipas itu memang untuk Mbak. Simpan saja.... Seperti yang kubilang, namanya sama dengan Mbak. Percaya, nggak, hanya Harumi yang bisa menjaga Harumi."
Lama-lama aku bisa gila memikirkan semua hal konyol ini. Bagaimana bisa neneknya yang juga bernama Harumi, menghadiahkan kipas bernama Harumi kepadaku?
Apa sebenarnya mereka sedang bersekongkol? Bukan tidak mungkin Sobo juga sama aneh dan gilanya dengan Orion. Bagaimana kalau mereka memang sengaja membuatku terjebak pada situasi membingungkan seperti tadi? Mengaku bernama Harumi dan mengadiahkan kipas bernama sama.
Bisa jadi mereka berdua merupakan anggota Yakuza yang ingin melenyapkanku.
Hentikan, Harumi!
Aku mendesah frustrasi saat pikiranmu menjadi liar tak terkendali.
Lagipula memangnya aku seberbahaya apa sehingga Yakuza ingin melenyapkanku? Tak urung aku merasa geli sendiri dengan pemikiran absurd yang sempat melintas di kepala.
'Hei, bagaimana kalau mereka ingin mencuri organ tubuhmu dan menjualnya di pasar gelap?'
Pikiran liar itu kembali mengusikku. Ya, Tuhan, sepertinya aku harus berhenti menonton film-film bergenre kriminal, sebelum aku benar-benar menjadi paranoid.
Bab 4
"Mbak kenapa?"
Aku tersentak saat suara Orion memutus lamunan gilaku.
"Kamu ... keturunan Yaku.. eh, maksudku kamu ada darah Jepang, ya?"
Lelaki itu memindai wajahku sesaat. Entah apa yang dia pikirkan, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan seolahi dia bisa menangkap kekhawatiranku.
"Ya ... ada. Tapi, sedikit. Ayah Sobo memang berdarah Jepang, sedang ibunya pribumi. Sobo itu nenekku dari pihak ayah, ibuku orang Sunda, jadi bisa dibilang aku ini orang Indonesia asli."
"Oh."
Aku mengamatinya sejenak. Berbeda dengan Sobo yang agak sipit, sekilas memang tak ada yang menonjol dari Orion yang menunjukkan kalau dia berdarah Jepang, matanya tidak sipit sama sekali.Tapi kalau dilihat-lihat dengan lebih seksama, garis ras Mongoloid khas Jepang entah di bagian mana, membayang jelas di wajahnya. Kulitnya cerah dan bersih, rambutnya lurus dan hitam pekat, alis dan garis wajahnya nyaris sempurna. Mungkin kalau di dunia komik Jepang, dia bisa jadi tokoh utama prianya.
Astaga, aku kembali melantur.
"Mbak sendiri bagaimana? Apa ada darah Jepang juga? Namanya kok bisa sama dengan nenekku?"
"Namaku ...."
Aku menghela napas panjang, saat tersadar kalau seharusnya memarahinya, bukan mengobrol santai seolah-olah kami memang akrab.
"Kok malah jadi bahas namaku? Mari kembali ke topik awal," ucapku tegas.
"Jadi gini, ya, Orion. Kamu harus ingat baik-baik. Aku nggak mau lagi terlibat dengan sandiwara konyolmu ini. Dan sekali lagi kubilang, aku juga nggak mau menerima kipas ini!" Napasku sedikit memburu menahan rasa jengkel di dada.
Lelaki itu kembali terdiam. Tak merespon sama sekali. Wajahnya terlihat agak muram saat melirik kipas yang kutaruh di dekat dashboard mobil.
Kami hanya saling diam, hingga akhirnya mobil berhenti di halaman sebuah bangunan empat lantai yang merupakan tempat kos Orion.
"Makasih banget atas bantuannya tadi. Aku pasti akan membalasnya. Seperti yang sering diajarkan Sobo. Dalam kultur Jepang mereka menyebutnya ongaeshi. Balas budi yang harus dibayar suatu saat nanti," ucapnya setelah membuka safety belt. Dalam keremangan cahaya matahari sore, kulihat matanya tampak berkilauan
"Nggak perlu. Aku nggak mau berurusan lagi denganmu. Maksudku ... berurusan hal-hal pribadi kayak tadi. Aku rekan kerjamu, Orion, dan aku mau kamu bisa bersikap profesional."
Aku sengaja berkata tegas dan memberi penekanan pada setiap kata yang terucap.
"See, you, Mbak. Thank's atas tumpangannya."
Alih-alih menanggapi ucapanku dia hanya tersenyum sambil membuka pintu mobil lalu turun. Aku ikut turun untuk beralih tempat ke kursi kemudi, dan menatapnya dengan sebal.
"Hati-hati di jalan. Jangan ngebut!" lanjutnya membantuku menutup pintu, kemudian melambaikan tangan.
"Hei, ini kipasnya gimana?" Aku membuka jendela mobil, dan mengacungkan benda itu padanya.
"Nggak boleh mengembalikan pemberian tulus dari seseorang. Dah, Mbak Rumi!" Lelaki itu nyengir sambil melambaikan tangannya menjauh dari mobilku.
Ya, Tuhan. Dasar tidak sopan!
***
"Rum, jadwal pertemuan dengan pihak catering, udah?"
Aku yang tengah fokus melihat-lihat foto yang dikirimkan salah satu vendor kami, mendongak saat Sofie tiba-tiba muncul di sampingku.
"Udah, Mbak. Besok pukul sebelas."
"Oke. Jangan lupa, usahain lagi Andrea dan bandnya bisa tampil. Kamu tahu, kan, klien kita maunya mereka."
Aku hanya mengangguk. Sofie hanya tak tahu saja, aku sudah jungkir balik menghubungi manajer Andrea tapi belum ada konfirmasi kesediaan mereka hingga sekarang.
Setidaknya masih ada waktu tiga bulan lagi. Semoga saja aku berhasil mendapatkan Andrea. Karena kalau tidak, nama WeSto taruhannya. Waktu deal dengan salah satu klien kami, Mbak Sofie entah kenapa langsung mengiyakan saat mereka minta Andrea yang tampil. Padahal fakta di lapangan, Andrea sangat pemilih dan sulit diajak kerjasama.
Meski Sofie pemilik dan founder WeSto, tapi beberapa bulan belakangan, aku yang lebih sibuk menghadapi sengitnya perjuangan kami di luar sana. Sedangkan Sofie sibuk mengurus perceraian dengan sang suami yang berlarut-larut hingga saat ini. Ironis memang, bagaimana bisa perempuan bertangan dingin yang berhasil mewujudkan pernikahan impian orang-orang, justru tidak bisa mempertahankan pernikahannya sendiri.
"Mbak, bagi kopinya, ya!"
Fiuh! Orion akhirnya muncul lagi setelah empat hari hidupku tentram karena dia sedang bertugas keluar kota.
Tanpa menunggu jawabanku, Berandal Kecil itu langsung menyambar gelas kopi yang bahkan belum habis separuhnya.
"Kebiasaan! Beli sendiri apa susahnya, sih?" ketusku.
Dia hanya bersiul-siul sambil membawa gelas kopiku ke mejanya yang berada di sudut ruangan. Tampak tak peduli dengan keberatanku sama sekali.
"Tu bocah kayaknya emang sengaja banget bikin lo kesal, Rum." Astri yang mejanya bersebelahan denganku tergelak.
"Heran gue. Kenapa harus kopi gue? Kenapa nggak kopi lu atau kopi Mbak Sofie? Atau bikin sendiri kek di pantry. Ada tuh kopi sachetan kalau emang lagi bokek buat beli kopi di luar!"
"Ya, kopi yang dia suka itu ya kopi dari gelas lo!
"CK, nggak ngerti lagi gue sama tu anak."
Aku masih bersungut-sungut sembari memencet layar hape untuk mencoba menghubungi manajer Andrea. Aku hampir saja mengumpat saat panggilanku kembali ditolak.
"Mbak ..."
Kemunculan Orion yang tiba-tiba membuatku seperti mendapat tempat untuk memuntahkan kekesalan.
"Apa lagi? Kopiku kan udah! Kalau makan siang belum. Masih pukul sembilan. Lagi pula aku nggak bawa bekal hari ini! Mau minjam duit? Sorry, aku juga lagi bokek!"
Dalam satu tarikan napas, aku melontarkan semua kalimat itu padanya. Peduli amat, nada suaraku membuat yang lain melongok dari kubikel masing-masing, sambil mengulum senyum. Sorot geli dan iba yang terpancar dari mata mereka, jelas tertuju untuk si Tengil ini.
"Mbak lagi PMS ya? Marah mulu bawaannya. Udah empat hari, lho, kita nggak ketemu. Nggak kangen apa?" jawabnya santai, lalu menaruh sebuah kantung kertas di mejaku.
"Hah, kangen? Justru empat hari ini hidupku aman, damai dan tentram. Nggak ada yang rusuh. Coba gitu kamu sebulan kek perginya atau selamanya," tukasku sewot.
"Nanti nangis." Dia terbahak dan menghindar saat aku melemparnya dengan pulpen.
"Ini apaan? Menuh-menuhin mejaku aja." Aku mengambil kantong itu dan mengulurkan padanya.
"Oleh-oleh dari Jogja. Gini-gini aku selalu ingat, lho, sama Mbak Rumi."
"Cieee ... " Astri tertawa dari mejanya "Mbak Rumi doang yang diingat, kita semua di sini dilupain."
"Parah lu, Bro. Padahal yang ngantar ke bandara waktu itu gue," timpal Danny rekan Orion sesama fotografer dan langsung diiyakan oleh Chandra.
"Iya, nih. Padahal gue juga yang selalu ngehibur elu tiap kali digalakin sama Mbak Rumi." Maya yang pura-pura memasang wajah sedih, ikut menimpali, lalu menepuk-nepuk bahu Orion saat melewati mejaku.
Aku memijit pelipisku yang berdenyut-denyut nyeri. Bukan soal ledekan anak-anak WeSto tentangku dan Orion yang hampir tiap hari kuterima. Akan tetapi aku masih pusing memikirkan telepon yang ditolak oleh manajer Andrea, dan ditambah lagi harus menghadapi kehebohan tak berguna seperti ini.
"Sudah ... sudah! Bisa diam nggak, sih, kalian?"
Mendadak ruangan senyap. "Daripada memancing keributan, mending oleh-oleh ini kamu bagi-bagi aja ke semua. Oke?" Aku menyodorkan kantong itu pada Orion.
"Siapa bilang yang lain nggak kebagian? Aku udah masukin di laci kalian masing-masing semalam. Khusus buat Mbak Rumi ... aku mau ngasih langsung," katanya tersenyum jemawa.
Seketika ruangan mendadak heboh saat mereka menbuka laci meja masing-masing.
"Mana ... kok nggak ada?" tanya Chandra.
"Di laci paling bawah," kata Orion, sementara pandangannya tak lepas dariku.
Aku langsung melengos dengan muka masam. Gondok sendiri, betapa mudahnya anak-anak WeSto disogok oleh makhluk ini.
"Tengkiu kaosnya, Bro." Lelaki itu bersorak sambil mengibas-ngibaskan kaos berwarna hitam dengan gambar wayang ke arah kami
"Duh, Cah Bagus ini tahu banget selera gue." Astri juga sama bahagianya saat memamerkan tas kain berbentuk unik ke arahku.
Maya yang hobi makan, tak mau kalah saat memamerkan sekantung makanan khas Jogja dengan mulut penuh.
"Eh, bagi-bagi dong!"
Gadis bertubuh subur itu langsung dikerubuti oleh anak-anak WeSto. Seperti biasa ruangan langsung heboh oleh gelak tawa, menyisakan aku yang hanya bisa manyun.
"Mbak nggak pengen tahu oleh-oleh yang kupilihkan untuk Mbak?" Orion masih belum beranjak dari sisiku.
"Nggak." Aku mengetuk-ngetukkan pulpen ke meja dengan tak sabar. Hampir frustrasi memikirkan bagaimana cara menghubungi manajer Andrea.
"Buka, dong. Itu bisa banget buat ilangin stress. Bukan apa-apa, ya, Mbak Rumi mukanya kusuuut terus, kayak tertekan gitu."
"Ya, apalagi liat kamu. Yang ada tambah stress! Udah, sana! Aku lagi mumet ini." Aku mengibaskan tangan mengusirnya.
"Jalan lo buat ngajak Mbak Rumi nikah makin jauh, Bro." Danny nyeletuk dari meja kerjanya, lalu terbahak.
Astri tertawa geli mendengarnya, dan langsung memberi tanda "peace" dengan jari, saat aku mendelik padanya.
"Nikah, nikah!" Aku menggerutu. Kulihat Orion tertawa, tampak tak terpengaruh sama sekali.
"Mbak Rumi mah luarnya aja keliatan galak ... aslinya, lebih parah!" ucapnya sengaja meledekku.
"Nah, itu kamu tahu."
"Kebayang, nggak, kayak apa kalau kalian benar-benar jodoh?" timpal Astri sambil menatapku dan Orion bergantian.
"Never!" Aku langsung bergidik.
"Ya, pasti kebayang lah. Wong, tiap hari aku selalu berdoa, semoga berjodoh sama Mbak Rumi."
Anak-anak WeSto langsung heboh mendengar tanggapan Orion. Mereka tampak puas sekali menggodaku yang langsung cemberut dengan muka ditekuk.
"Udah, ngelawaknya? Sekarang aku mau fokus kerja!" ucapku dingin. Kalau dibiarkan lebih lama lagi, ocehan mereka akan bergulir semakin liar.
Lelaki itu langsung mundur dengan teratur sambil bersenandung seperti menirukan jingle sebuah iklan entah apa.
"Harumi ... Harum mewangi sepanjang hari...."
"Gila tu anak, kayaknya demen banget bikin kamu sebel, Rum." Astri terkekeh-kekeh geli di mejanya.
"Makanya, kamu tuh harusnya bawa santai aja, jangan dilawan. Yang ada, dia malah makin seneng godain kamu," lanjutnya kemudian masih tak bisa menahan tawa.
Aku hanya mendengus gusar. Percuma juga menjelaskan pada Astri, betapa sebalnya aku tiap kali harus menghadapi tingkah norak bocah menyebalkan itu. Sama seperti anak-anak lainnya, Astri juga cenderung berpihak pada Orion.
"Maaf, Mbak Rumi. Ada tamu depan."
Baru saja berhasil menenangkan diri dan fokus kembali bekerja, panggilan dari Pak Asep, security WeSto membuyarkan konsentrasiku.
"Siapa ya, Pak? Perasaan aku nggak ada janji deh." Aku mencoba mengingat-ingat sambil membuka note book untuk melihat agendaku hari ini.
"Ayahnya Mbak Rumi."
"Ayah?" Suaraku sedikit melengking karena terkejut.
"Beliau mengaku begitu," ucap Pak Asep dengan nada sedikit ragu.
Aku menelan ludah dengan susah payah.
Dengan tubuh sedikit gemetar, aku bangkit dari kursi menuju lobi, sambil terus merapalkan doa dalam hati.
Ya, Tuhan, tolong jangan beri ujian bertubi-tubi seperti ini. Urusan Andrea sudah membuat pusing kepala, jangan tambah lagi dengan ayah.
Bab 5
Aku pikir setelah menghilang selama lebih dari tiga tahun ke kota ini, orang-orang dari masa lalu akan melupakanku dan kehidupanku akan kembali normal. Namun, aku keliru. Entah dari mana Ayah menemukan alamat ini.
Lidahku kelu saat menjumpai sosok lelaki menjelang enam puluh tahun yang menyebabkanku terlahir ke dunia itu. Penampilannya membuat dadaku sesak oleh perasaan yang tak tahu harus kuberi nama apa. Ayah lebih kurus dari terakhir kali kuingat. Kemeja kedodoran yang dipakainya tidak keruan lagi warnanya. Rambutnya yang memutih, berantakan seperti sudah lama tidak tersentuh sisir atau pun gunting.
Celana yang dikenakannya juga tak kalah menyedihkan. Warna hitamnya sudah memudar. Sepasang sneakers yang ujungnya sedikit menganga menyempurnakan penampilan lusuhnya. Aroma matahari bercampur keringat yang cukup menyengat dari tubuhnya membuatku sedikit pening. Sekilas Ayah mirip dengan pedagang asongan yang sering kulihat di bawah pohon tak jauh dari kantor WeSto.
"Rumi... Ah, tenyata benar anak ayah di sini." Ayah mendekat dan sedikit merentangkan tangannya, mungkin ingin memeluk. Namun, aku cepat-cepat mengantisipasi dengan mengulurkan tangan menyalaminya.
"Ayah ... apa kabar?" Aku mencoba tersenyum saat mengajaknya duduk di sofa.
"Ya, beginilah. Rumi sehat?"
"Alhamdulillah, sehat. Oh ya tahu dari mana kalau Rumi kerja di sini?" tanyaku langsung.
Ayah tertawa kecil, menampilkan deretan gigi yang penuh noda nikotin. "Udah seminggu ayah di sini. Dua hari lalu ayah tak sengaja melihat Rumi masuk ke kantor ini."
"Oh. Terus ayah menginap di mana?"
"Di tempat teman di Tangerang."
Aku hanya mengangguk, meski rasanya agak janggal, mengingat Tangerang ke sini cukup jauh. Namun, kalau diingat-ingat segala sesuatu tentang Ayah memang janggal. Apa yang dilakukannya selama ini, ke mana dia pergi dan di mana dia tinggal masih menjadi misteri. Aku hanya menduga-duga, kalau Ayah hidup menumpang dari satu teman ke temannya yang lain. Sejak berpisah dengan Ibu, dia tak punya tempat untuk pulang.
Selama beberapa saat aku hanya diam karena tidak punya topik apa-apa untuk melanjutkan obrolan. Melewati masa kanak-kanak dan remaja, tanpa kehadiran seorang ayah, lalu tiba-tiba saja dia muncul setelah aku dewasa, bukanlah perkara mudah. Apalagi untuk menjalin ikatan emosi yang kuat. Hingga detik ini, Ayah masih seperti orang asing bagiku, meski hati kecilku juga tak bisa menolak kalau seburuk apa pun perlakuannya, dia tetaplah ayahku.
Ibu pernah bilang kalau Ayah bekerja di kapal, menyinggahi dermaga-dermaga di berbagai belahan dunia, makanya tidak bisa hadir di tengah-tengah kami. Dulu aku percaya dan terus memupuk harapan, suatu saat Ayah pasti pulang. Namun, sekian tahun menunggu tanpa kabar berita, aku mulai meragukan perkataan Ibu. Bahkan setelah Ayah tiba-tiba muncul di hadapan kami saat aku baru lulus kuliah, aku nyaris tak mengenalinya. Ketika Ibu menemuinya dengan muka masam, saat itulah baru kusadari kalau mereka sudah berpisah.
"Maaf, kalau ayah mengganggu... tapi, kalau Rumi ada sedikit uang. Ayah boleh pinjam? Ayah lagi butuh, sekalian untuk ongkos ke Tangerang," ucapnya memecah keheningan yang tercipta.
Sudah kuduga, tujuannya ke sini tak jauh-jauh dari persoalan uang.
"Ayah butuh berapa?"
"Lima juta, ada?"
Aku meneguk ludah dengan susah payah. Bagiku uang dengan jumlah segitu cukup besar. Apalagi hidup di Jakarta dengan biaya hidup serba mahal, sedangkan gaji pas-pasan. Mendadak begitu saja mengeluarkan uang lima juta, bukanlah perkara gampang.
"Nomor rekening Ayah masih yang lama?"
Aku menyentuh layar ponsel, dan membuka layanan M-banking. Sesulit apa pun hidupku, dan seabsurd apa pun alasan Ayah saat meminta uang, entah mengapa aku tak kuasa menolaknya.
"Ya, masih yang lama."
Dalam hitungan detik, uang sejumlah yang diminta sudah berpindah ke rekening Ayah.
Air mataku hampir menitik saat melihat saldo yang tersisa benar-benar sudah sekarat, sedangkan gajian masih dua minggu lagi. Apesnya hari ini juga ada beberapa tagihan yang harus dibayar.
"Sudah, ya, Yah." Aku memperlihatkan resi tanda pengiriman berhasil kepadanya.
"Terima kasih. Nanti kalau ada uang, ayah ganti."
Aku hanya tersenyum pahit. Sama seperti yang sudah-sudah, semua janjinya hanya omong kosong. Ayah hanya datang untuk meminta uang, lalu menghilang dalam waktu yang cukup lama, kemudian muncul lagi melakukan hal serupa.
Terakhir kali berurusan soal uang dengan Ayah, saat aku masih menjadi istri Mahesa dan Ayah sempat tinggal bersama kami. Entah apa yang ada di pikirannya saat menjaminkan nama dan nomor ponsel menantunya itu pada aplikasi pinjaman online. Aku hampir pingsan saat tiba-tiba saja utang seratus lima puluh juta ditagihkan pada Mahesa, padahal dia tak tahu apa-apa. Itu bukan kali pertama, karena sebelum-sebelumnya Ayah juga sering meminta uang.
Setelah kami membereskan semua kekacauan yang dibuatnya, Ayah menghilang bagai ditelan bumi. Tiga tahun berlalu, sekarang dia muncul di kantorku dengan wajah tanpa dosa. Tanpa ada permintaan maaf, atau menanyakan bagaimana kehidupan rumah tanggaku setelah kejadian itu.
"Kantornya bagus," katanya saat bangkit dan mengamati ruangan sekitar. "Gaji di sini pasti besar, ya ... Ayah lihat Rumi juga sudah punya mobil. CRV putih itu, cocok sekali untukmu." Dia tertawa dengan cara yang ganjil dan membuatku entah mengapa sedikit merinding.
"Itu hanya mobil kantor yang dipinjamkan pada Rumi," ucapku sedih.
Menyadari Ayah tahu soal mobil tersebut membuatku bertanya-tanya sendiri. Apa Ayah menguntitku beberapa hari ini? Namun, aku terlalu letih untuk mengorek lebih dalam, karena itu membuatnya lebih lama berada di sini dan itu justru tidak baik bagiku.
Mungkin terdengar kejam dan tak berperasaan, tapi ayahku seperti lintah. Kalau dibiarkan lebih lama di dekat kita, dia akan menghisap semuanya tanpa menyisakan sedikit pun.
"Oh, ya. Rumi tinggal di mana? Kapan-kapan Ayah berkunjung." Dia mengeluarkan ponselnya, dan menyerahkan padaku. "Nomor Rumi juga hilang, bisa ayah minta lagi?"
Aku meraih ponsel butut itu dengan enggan dan mengetikkan nomorku di sana. Dalam hati berharap semoga Ayah tidak pernah menghubungiku.
Suara Orion dan Chandra yang muncul di lobi, menyita perhatian kami. Mereka menyapa sekadar basa-basi, tapi Ayah membalas sapaan mereka terlalu ramah, sehingga membuatku jengah sendiri.
"Wah, ini teman sekerja Rumi, ya? Perkenalkan, saya ayah Rumi." Ayah mengulurkan tangan pada kedua lelaki itu.
"Salam kenal, Om." Mereka menjabat tangan Ayah bergantian sambil menyebutkan nama masing-masing.
"Kalian gagah-gagah sekali. Persis seperti Om waktu muda." Mungkin Ayah bermaksud untuk bercanda, tapi terdengar sangat menggelikan di telingaku.
"Om masih muda, kok." Orion menanggapi sambil tertawa sopan.
"Ah, bisa saja kamu." Ayah menepuk-nepuk bahu Orion sok akrab. "Kalau boleh tahu kalian mau ke mana? Boleh Om numpang sampai ke depan?"
Oh, tidak! Please, cukup aku saja yang direpotkan oleh kelakuan Ayah yang ajaib, jangan teman-temanku juga!
"Oh, boleh boleh, Om. Kebetulan kami juga mau keluar."
"Ayah, biar Rumi saja yang antar atau Rumi pesanin taksi. Rion dan Chandra ada keperluan mendesak," selaku.
"Nggak apa-apa, kok, Mbak," timpal Chandra. "Mbak Rumi kan lagi banyak kerjaan, toh kami kebetulan ada urusan di Tebet, sekalian makan siang juga."
"Wah, Om tahu ada tempat makan enak di Tebet!" Wajah ayah tampak semringah.
Ya, Tuhan. Rasanya aku ingin menangis saat ini juga. Bagaimana cara mencegah agar Ayah tidak ikut bersama mereka, tanpa membuatku mempermalukan diri sendiri?
"Yah, biar Rumi aja yang ngantar." Nada suaraku terdengar putus asa.
"Ayah nggak mau Rumi repot. Apalagi kan Rumi banyak kerjaan. Biar Ayah sama cowok-cowok ini saja. Ayo kita berangkat!"
Tanpa sungkan Ayah langsung memeluk bahu kedua lelaki itu. Orion dan Chandra hanya tertawa rikuh, lalu saling berpandangan dengan ekspresi sama-sama tak nyaman, tapi sungkan mengelak.
Bisa kupahami arti di balik ekspresi itu. Apalagi kalau bukan aroma tak sedap yang menguar dari tubuh ayahku?
-tbc-
Duh, punya ayah kayak gini pasti bikin makan ati. π
.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
