Rara The Trouble Maker (Gratis bab 1-5)

0
0
Deskripsi

Novel ini sudah pernah diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House. Saya terbitkan di sini untuk para pembaca yang kangen mau baca ulang atau yang belum pernah baca. Edisi gratis bab 1-5. 

Rara, gadis SMA yang suka tawuran dan hobi main basket.  

BAB 1 RARA, THE TROUBLE MAKER

Siang yang panas. Jalan-jalan di sepanjang pertigaan Bogor, Serpong, dan Ciputat, ramai oleh mobil-mobil angkot yang berjajar serta anak-anak SMA kelas dua dan tiga yang baru saja keluar dari SMA 11. Rara meniup poni yang menutupi matanya. Phiuh! Sementara anak-anak kelas dua dan tiga pulang sekolah dan tidur siang, ia malah baru masuk. Belajar siang-siang bolong begini, sengsara! Itu sebabnya ia sering bolos. Selain karena malas, ia memang hobi bolos untuk menguatkan salah satu gelarnya selama ini: Si Ratu Bolos.

“Woi! Liat dong!” teriakan Donni yang menggelegar ditambah cekikik anak-anak perempuan menyambut kedatangan Rara di kelas setelah tiga hari absen.

“Ke belakang! Ke belakang!” seru Tobi.

Kening Rara berkerut. Tumben anak-anak cowok rukun. Mereka berkumpul di pojok kelas. Pasti ada apa-apa, nih!

“Rara! Tumben lu sekolah!” teriak Wina dari tempat duduk kesayangan mereka berdua.

 “Kenapa sih mereka heboh gitu?” tanya Rara setelah sampai di tempat duduknya yang kedua dari belakang.

“Itu, si Tobi bawa kartu porno,”

“Hah? Kartu porno? Apaan, tuh?”

“Itu, tuh. Kartu Remi, tapi gambarnya cewek bugil.”

“Gile! Seru, nih!” Rara  ngacir menyusul Tobi dan kawan-kawan. “Woi! Woi! Liat dong!” ia menerobos kumpulan cowok-cowok.

“Wah! Rara! Cewek nggak boleh liat!” seru Jimmy. Tapi siapa yang berdaya menghalangi Rara?

Tobi yang sedang serius melihat kartu-kartu terlarang itu tak sadar ketika kartunya direbut Rara dengan sekejap mata. “Rara!”  

Rara melotot melihat kartu-kartu tersebut. “Wah! Gila, luh! Berani bener lu bawa barang beginian! Ini namanya pelecehan! Woi! Liat, nih! Tobi bawa kartu bugil!”  teriaknya, tak sadar Bu Niken, Guru Akuntansi, telah datang. Itu berarti… masalah besar.

***

Ruang kepala sekolah yang cukup besar ini, hening. Rara menunggu beberapa patah kata keluar dari mulut Pak Darma, kepala sekolah SMA 11. ini. Sejak masuk ke ruangan ini, Pak Darma hanya menatapnya. Ada amarah di sana. Rara memainkan ujung sepatunya. Keki juga diperlakukan begini. Ia lebih memilih dibentak-bentak daripada didiamkan. Kalau dibentak kan dia bisa membalas. Helaan napas terdengar dari mulut Pak Darma. Sepertinya beliau akan berbicara.

“Rara… sampai kapan kamu mau begini?” tanyanya.

Rara diam.

“Ini sudah pertengahan cawu dua. Saya banyak mendapat laporan tentang kelakuan jelek kamu,”  lanjut BeliauPak Darma.

Rara garuk-garuk kepala.

“Dan sekarang… kamu membuat ribut di kelas.”  

“Tapi Pak, bukan saya pelopornya!” Rara berteriak kencang, lupa kalau dia sedang berbicara dengan kepala sekolah.

“Jelas-jelas kamu yang berteriak-teriak di kelas! Apalagi kamu bawa barang haram itu! Kamu masih bau kencur, Rara!”

“Saya nggak makan kencur, Pak!”

Pak Darma tertunduk. Sebenarnya ia ingin tertawa. Anak yang satu ini memang paling susah dikasih tahu. “Kenapa kamu bawa barang haram itu, Rara? Kamu masih kecil. Umur kamu paling belum lima belas tahun,” tanyanya, pelan.

“Ah, Bapak. Nenek saya aja nikah umur tiga belas, Pak. Berarti saya sudah dewasa, kan? Lagian, bukan saya yang bawa kartu bugil itu, tapi Tobi, Pak!”

“Mana yang harus Bapak percayai? Tobi bilang kamu!”

Rara melotot. Giginya bergemerutuk. Awas ya, Tobi!

“Terserah Bapak, deh. Pokoknya bukan saya. Saya justru ingin melaporkan perbuatan Tobi itu, tapi Bu Niken keburu datang.”  

“Sekali berbuat, selamanya kamu akan menjadi tertuduh. Camkan itu, Rara! Satu lagi, saya ingatkan, jika kamu kedapatan bolos satu hari saja, maka saya tidak akan menaikkan kamu. Saya akan menyuruh guru-guru untuk memperhatikan kamu, jadi laporan presensi sekretaris kelas tidak ada gunanya. Meskipun kamu meminta sekretaris kelas untuk menghitamkan absen kamu, itu tidak ada artinya, karena semua guru akan menjadi intel kamu.”  

Rara melotot. A… …pa ?!!

“Terserah kamu mau mengikuti kata-kata saya atau tidak. Dua tahun lagi kamu keluar dari sekolah ini, itu jika kamu lulus. Tapi jika banyak kejadian buruk yang kamu lakukan, mungkin kamu tidak lulus-lulus bahkan tidak akan mendapat ijazah. Mau apa kamu tanpa itu? Mau kuliah? Mau bekerja? Jadi tukang parkir? Heh!  Ya sudah. Kamu boleh pergi.” Pak Darma mengakhiri pertemuan mereka hari ini.

Rara berdiri. “Makasih, Pak. Tapi bukan saya yang bawa kartu itu…!”  teriaknya sebelum pergi.

Pak Darma geleng-geleng kepala.

***

BUG! PAK! DUG!

Seisi kelas hanya diam menyaksikan Rara memukuli Tobi.

“Ampun, Ra! Ampun!” Tobi meringis kesakitan.

“Ternyata lu lebih milih nggak bangun sebulan daripada skor seminggu dari Pak Darma, ya?!”

Tobi tak mampu menjawab karena tangan Rara terus bergerak. Wina, sahabat dekat Rara, hanya garuk-garuk kepala. Kenapa juga dia punya teman seperti Rara ?!

“Pokoknya lu musti jelasin ke Pak Darma kalo elu biang keroknya atau lu bener-bener nggak bisa bangun sebulan!” Rara mengakhiri intimidasinya. Ditinggalkannya Tobi dalam keadaan meringkuk di pojok kelas. Rara tersenyum senang.

***

Fitri menghela napas lega. Akhirnya selesai juga ulangan Sejarahnya. Semalam ia belajar sampai larut. Biasa, Sistem Kebut Semalam. Padahal belum jadi mahasiswa. Habis, bagaimana lagi? Sebagai aktivis Rohis (cie…), kesibukannya banyak sekali. Ia harus pintar-pintar membagi waktu antara belajar dan organisasi.

“Fit! Aakh  Taufik udah nanyain proposalnya tuh!” seru Norma, tiba-tiba.

Fitri tersenyum. “Yah, gampang, deh.”

“Aku pusing kalo ketemu dia. Pasti yang ditanyain itu… melulu. Mending kalo kamu yang ditanyain.”

“Salahnya kenapa kamu yang selalu ketemu dia? Ya, deh. Nanti aku kerjain. Habis, kamu tau kan kondisiku?” Fitri meminta pengertian.

Norma mengerti. Kesehatan Fitri memang tidak begitu baik. Fitri punya penyakit hepatitis A yang bisa kambuh sewaktu-waktu.  

“Ya udah, gini aja deh. Kamu yang dikte, aku yang ketik. Kapan mau ke rumahku?”  

“Bener nih? Berarti bisa gratis dong? Kan pake komputermu?” Fitri surprised.

Norma mengangguk. Fitri memeluknya. “Jazakillah, Ukhti !”

***

Akhirnya proposal “Pesona Ramadan” yang berisi banyak kegiatan untuk menyambut Ramadan kali ini, bisa diselesaikan. Fitri dan Norma tersenyum bahagia. Tinggal bagaimana menembuskannya ke Pak Darma. Dua gadis berjilbab itu berharap Pak Darma bisa lebih demokratis. Maklum, sebelumnya tak pernah ada kegiatan seperti ini pada tahun-tahun lalu. Ramadan sepi. Kepala Sekolah yang dulu seperti juga Orde Bbaru, melarang kegiatan-kegiatan keagamaan berkembang.

TING NONG!

Bel berbunyi. Fitri tersentak. “Wah… kakakku udah jemput, nih! Aku pulang ya!” ia mencangklong tasnya.

Norma mengangguk. Ia menemani Fitri ke luar. Di luar, kakak tercinta Fitri, Doddy, telah menunggu dengan senyum manisnya. Senyum Doddy memang manis, semanis orangnya. Jadi, pantas kan kalau cewek-cewek di SMA 11 klepek-klepek melihatnya?

 “Udah jadi proposalnya?” tanya Doddy sambil menghidupkan motornya.

“Alhamdulillah. Yuk, cabut!” Fitri membonceng di belakang Doddy. “Aku pulang dulu ya, Ma! Makasih banyak, lho! Assalamualaikum!” pamitnya pada Norma.

“Mau ada kegiatan apa sih?” tanya Doddy, dalam perjalanan.

“Yah… biasa. Bazaar… kajian….”

“Pantesan pesertanya minim. Monoton. Sekali-kali bikin hiburan dong!”

“Apa? Band?”  Fitri melotot.

Doddy nyengir. Nyinggung, nih!

***

BAB 2 BUTTERFLY

Baru saja sampai di depan kelas satu dua, keramaian kelas satu tiga sudah terdengar. Sebenarnya hari ini Rara malas berangkat ke sekolah. Banyak PR. Tapi mau bagaimana lagi? Kata-kata Pak Darma selalu terngiang.

“Eh! Rara! Lu sekolah lagi! Hebat! Kemarin elu diomongin apa sama Pak Darma?” Wina heboh.

Rara cuek. “Liat PR, dong!”

“Nih!” Wina menyerahkan buku PR-nya. PR Matematika dan PR Bahasa Inggris. Enaknya punya teman Wina yang selalu memberinya contekan PR. “Bu Linda udah ngasih peringatan lagi buat yang belum ulangan Ekonomi. Elu kan nggak ikut ulangan dua kali!”  

“Ya… habis gimana? Orang itu waktunya gue bolos!”

“Mendingan lu sekarang ngadep, deh. Minta ulangan susulan.”

 “Eh, tadi gue ketemu dia lho!” Suara cempreng Runi memecah obrolan Wina dan Rara.

“Ganteng banget, ya?”  timpal Mia.

“Aduh…gue  pengen jadi pacarnya.”  Citra mulai berangan-angan.

“Hu…!”  

Rara dan Wina saling bertatapan.

“Cowok mana lagi tuh yang mereka omongin?” tanya Rara.

Wina tersenyum. “Mungkin… anak kelas dua itu. Elu sih bolos mulu. Kemarin waktu olah raga, kami ngeliat anak kelas dua itu di depan kelas dua dua. Orangnya ganteng banget. Hidungnya mancung… pokoknya kayak Marcellino, deh.” Wina berkhayal sambil menyebut nama salah satu artis Indonesia yang bermain di Misteri Gunung Merapi.

Rara geleng-geleng kepala.

“Gue denger sih katanya dia dapet julukan Butterfly!” Suara Runi terdengar lagi.

“Karena dia vokalis Bband Butterfly?” tanya Citra.

Bukan itu aja, tapi juga karena dia seperti kupu-kupu yang indah yang selalu dinanti para bunga,” jawab Runi, melankolis.

“Hu…!”

“Heh! Heh! Udah! Udah! Kalian ngomongin siapa sih?” Rara ikut nimbrung.

“Ah, elu ketinggalan berita, Ra. Namanya, Butterfly! Eh, Doddy, ding!” jawab Runi.

“Oh… Doddy….”

“Lu kenal, Ra?!” tanya semuanya, serempak.

“Iya, gue kenal. Dia temen SMP gue dulu!”

“Bener, Ra?!”  Runi tak percaya.

Rara senyum-senyum. Wina mengerutkan kening. Memangnya benar Rara kenal Doddy?

Semua langsung berebut minta dicomblangi oleh Rara.

“Iya, iya. Entar, ya. Kalian daftar aja dulu. Jangan lupa, doanya diperkuat, ”  kata Rara sambil meninggalkan gerombolan cewek-cewek itu.

“Rara!” Wina memanggil.

“Kenapa?” Rara menoleh.

“Beneran elu kenal Doddy?”

Rara ngakak. “Elu kan kenal gue, Win! Biarin aja mereka terus bermimpi!” jawabnya sambil pergi. Ia tak tahu kalau sahabatnya, Wina, masih kepikiran tentang Doddy.

Butterfly… pertemuan tak disengaja itu selalu membuatnya terbayang. Ia bagai kupu-kupu yang indah yang selalu dinanti para bunga. Andai Rara benar-benar kenal dengan Doddy….

***

Fitri menuju ke ruang guru sambil membawa segelas teh yang masih hangat pesanan Pak Ridwan. Beliau meminta tolong dibuatkan teh di dapur sekolah karena tukang suruh-suruh yang sebenarnya sedang tidak ada. Beliau memang selalu begitu. Kalau bertemu siswa, pasti minta tolong. Kadang minta dibelikan gado-gado di kantin sekolah atau mie ayam atau minta dibuatkan teh seperti sekarang. Mending kalau ditraktir juga.

Sementara itu, dari arah berlawanan Rara berjalan santai sambil menggulung lengan kemejanya yang sudah pendek itu. Biar kelihatan lebih macho. Mumpung hari ini nggak ada razia. Gayanya yang macho itulah yang membuatnya ditakuti bukan hanya oleh cewek-cewek, tapi  juga cowok. Nggak heran kalau jagoan karate ini dipaksa berhenti jadi karateka karena lawannya selalu pingsan dengan sukses. Kalau mengingat masa jayanya, ia kadang suka senyum-senyum sendiri. Nggak tahu ya kenapa ia diciptakan menjadi cewek setengah cowok. Untung saja dia masih suka cowok dan nggak suka cewek. Coba kalau dunia terbalik 180 seratus delapan puluh derajat. Gawat, lah!

BRUK…!

“Jalan liat-liat, dong…!”

Fitri terkejut. Seharusnya dia yang marah. Ia sudah berusaha menghindari Rara, tapi gadis itu malah menabraknya. Ia langsung mengambil tisu dan menghapus noda teh yang mengenai seragam Rara.

“Nggak usah! Nggak usah!” Rara menepisnya.

“Maaf, ya. Nggak sengaja.”

Rara menatap Fitri, sinis. Diraihnya gelas yang masih tersisa sedikit teh dari tangan Fitri dan ditumpahkannya ke baju gadis itu. Fitri terkejut sambil istigfar. “Kejahatan harus dibalas dengan kejahatan.” Rara pergi dengan cueknya.

Fitri geleng-geleng kepala. Ia tak menyangka ada orang yang sejahat itu. “Berikan dia hidayah ya Allah…,.” desisnya, pelan.

“Rara…!” teriakan Wina menyambut kedatangan Rara di kelas.  Rara senyum-senyum. “Buruan! Kita harus ikut daftar! Eh, kenapa baju lu coklat gini?” Ia heran melihat baju Rara terkena noda.

“Disiram cewek itu sama teh. Gimana nggak kesel? Untung nggak gue tonjok dia!” Rara komplain.

“Lu sadis banget sih, Ra? Sekali-kali yang lembut gitu, ngapa? Elu kan cewek. Makanya, biar lu jadi cewek beneran, kita ikutan PMR, yuk!”

“Apaan, tuh?”

“Palang Merah Remaja.”

“Tapi kenapa harus masuk organisasi itu?”

“Karena elu nanti diajarin kasih sayang. Anak-anak PMR kan kerjaannya nolongin orang yang sakit.” Wina menjelaskan. Rara melirik gadis itu penuh selidik. Wina tertunduk. Rara memang tidak bisa dibohongi. Ia tahu kalau Wina tuh paling susah diajakin ikut organisasi kalau bukan karena ada apa-apa. “Sebenarnya… karena ada Doddy di sana.” Wina tersipu malu.

“Hah?! Jadi cowok itu juga ikut PMR?!”

“Yah… kan PMR juga butuh yang nandu-nandu. Nah, ntar kalo lu masuk, lu yang gantiin Doddy….”

“Ogah, ah. Gue nggak mau ikutan. Lu tau kan kalau gue paling males ikut oraganisasi. Jangankan ikut organisasi, sekolah aja gue terpaksa!”  

“Ayolah, Ra…. Lu nggak bakalan rugi deh.”

“Gue apa elu?”

“Yah, pokoknya sekarang lu ikut aja deh. Terserah ntar ke sananya lu mau sering bolos atau enggak.”

Rara terpaksa mengikuti ajakan gadis itu. “Wina… ternyata elu serius ya naksir Doddy?”

“Lu belum liat orangnya, sih. Ntar kalo udah liat, dilarang naksir!”  

Rara mencibir. Naksir?

Fitri terkejut ketika langkahnya terjegal oleh sosok tinggi manis itu. Doddy! Aduh…kenapa harus bertemu?

“Kamu nggak pa-pa kan, Fit?” Doddy cemas melihat jilbab Fitri yang basah.

“Kok Kakak  belum pulang?”

“Ada latihan band tadi. Bener kamu nggak pa-pa?”

“Enggak, kok. Cuma ketumpahan teh. Udah dulu ya. Kayaknya Pak Guru udah masuk.” Fitri bergegas meninggalkan Doddy. Ia tak mau ada orang yang melihatnya berbicara dengan pangeran pujaan para gadis di SMA ini.

Doddy kecewa. Padahal ia ingin bisa menampakkan kasih sayangnya pada adik semata wayangnya itu di mana pun berada. Di rumah, juga di sekolah. Tapi kata Fitri…. Pokoknya aku nggak mau ada orang yang tahu bahwa kita berdua kakak beradik. Aku nggak mau cewek-cewek ngedeketin aku cuma karena ingin deket sama Kak Doddy. Jadi, kita harus pura-pura nggak kenal di sekolah.

Phiuh… kecuali teman-teman dekatnya di grup band dan teman-teman dekat Fitri di Rohis, tak ada yang tahu bahwa mereka kakak beradik.

***

 “Jadi Rara ikut PMR juga? Berita baru, nih!”   Tina langsung koar-koar mendengar Rara mendaftar jadi anggota PMR. Betty ikut tertawa.

Rara melengos. Benar kan dia diejek?

“Yang boneng, Ra?” Citra, si gembul, ikut-ikutan.

“Sebenarnya gue pinginnya ikut karateka, tapi ditolak,” kata Rara membuat semuanya bergidik. Udah ganas gitu ikut karateka….

“Eh, di PMR kan ada Doddy!” seru Tina.

Semua terkejut.

“Iya, ya? Kalo gitu gue juga mau ikutan ah!”  Citra antusias.

“Sebenarnya gue juga mau ikutan PMR, tapi ntar kesannya gue ngejar-ngejar dia banget. Jadi, gue serahin ke Rara aja,”  kata Mia.

 “Sebenarnya motivasi gue masuk PMR ya karena Doddy ngajakin gue,”  kata Rara. Wina yang sudah tahu kebohongan Rara, mencibir.

“Jadi elu ketemu dia, Ra? Salam gue udah disampein belum?”  tanya Runi. Yang lain ikutan heboh.

“Udah, udah. Tapi gue nggak tau dia inget apa enggak. Soalnya yang ngirim salam kan banyak.”  Rara tersenyum.

“Ra… elu mau berapa?” Citra mengedipkan mata.

“Citra! Elu naksir Doddy juga ya?”  tanya Wina, emosi.

“Kenapa? Elu takut saingan ama gue?” tantang Citra.

“Bukan gitu. Abisnya elu ngikutin gue mulu. Dulu waktu gue naksir Tio, elu juga. Sekarang, elu juga naksir Doddy!”  

“Ye… suka-suka gue, dong. Lagian lu punya hak apa sama mereka?”  

Citra dan Wina mulai bertengkar. Selalu begitu. Rara geleng-geleng kepala. “Udah! Udah!”  

“Tau, nih. Gendut-gendut juga berebutan Doddy. Doddy tuh nggak bakalan naksir sama kalian. Kan masih ada kita yang langsing-langsing ini,” kata Runi. Selanjutnya ia dikejar-kejar oleh Citra dan Wina. Seenaknya saja ngomong!

Rara garuk-garuk kepala. “Gue jadi penasaran sama yang namanya Doddy itu. Kayak apa sih dia? Kok banyak yang naksir?” tanyanya pada diri sendiri.

***

BAB 3 FALL IN LOVE

Ahad pagi, SMA 11 ramai oleh para siswa yang aktif di kegiatan ekstrakurikuler. Salah satunya adalah Rohani Islam. Masjid sekolah yang menjadi tempat bernaung aktivis Rohis kali ini juga dipenuhi oleh anak-anak Rohis yang sedang mengadakan syuro . Terdengar dari balik tirai, Taufik, ketua Rohis periode tahun ini, mengutarakan uraiannya.

 “Syuro kita hari ini insya Allah untuk membicarakan bagaimana kegiatan Rohis ke depan. Yah, kita maklumi anggota kita sampai hari ini masih segini-segini saja, tapi bukan berarti jumlah yang minim menjegal langkah kita membuat pembaharuan. Hidayah memang milik Allah, tapi kita juga harus berusaha menjadi tangan Allah dalam memberikan hidayah kepada teman-teman kita itu. Oleh karena itu, jangan sampai kita berputus asa, karena yang dinilai Allah adalah proses bukan hasil. Sekarang, mari kita pikirkan kira-kira kegiatan apa yang bisa menarik teman-teman kita agar mau menerima kebaikan?”

“Ane  punya usul. Gimana kalau lewat hiburan?”  Imron mengajukan usul.

“Maksudnya?”

“Remaja kayak kita kan suka hiburan. Kajian-kajian keislaman bagi mereka pasti membosankan, makanya jarang yang datang. Gimana kalau kita mengadakan pentas seni?”

“Ane setuju! Nasyid atau teater pasti bagus! ” seru Norma.

“Ya… ya…itu usul yang bagus.” Taufik manggut-manggut.

Fitri teringat kata-kata kakaknya kemarin. Sekali-sekali bikin hiburan, dong. Ia tersenyum. Kak Doddy benar. Remaja tak suka jika disuruh berpikir yang berat-berat. Mereka lebih suka hiburan.

 “Kayaknya bagus juga kalau kita memasukkan acara itu ke dalam salah satu kegiatan Ramadan,” katanya.  

“Em… ya, insya Allah memang bagus. Tapi untuk Ramadan agaknya tidak bisa. Sudah terlalu  banyak kegiatan,” kata Taufik.

“Yang penting kita punya lobi dulu. Dan yang pasti, kita punya SDM-nya, nggak?” tanya Imron.

“Selagi kita memikirkan itu, bagaimana kalau sekarang kita memulai dakwah fardiyah ?” tanya Taufik.  “Mulailah untuk mencoba bergaul dengan orang-orang di luar kita. Berbaur tapi tidak lebur. Terutama yang akhwat. Saat ini kesannya akhwat itu ekslusif. Yang jilbaban gaulnya hanya dengan yang jilbaban. Asal kita tetap membentengi diri dengan iman, insya Allah kita bisa bergaul dengan mereka tanpa ikut terbawa. Justru kita yang membawa mereka ke kebaikan.”

Fitri tertunduk. Kejadian kemarin terlintas di benaknya.

BRUKK…!  Jalan liat-liat, dong!

Fitri meringis. Bergaul dengan orang-orang seperti Rara? Bisakah?

***

DUG!

Rara memukul bola volinya yang kemudian ditangkis oleh Tina. Setiap hari Minggu, ia dan gengnya memang rajin menyambangi lapangan voli dan bermain di sana. Betty dan Wina juga datang, tapi tidak rutin. Mereka lebih senang melihat film kartun di rumah. Tapi hari ini, keduanya datang menemani Rara dan Tina.

“Wah! Nanti kalau udah mulai latihan PMR, nggak bisa ikut voli lagi ya?” tanya Wina.

“Latihannya sesudah PMR.” Tina menjawab.

“Lagian siapa yang mau ikut latihan  PMR?” Rara bersungut-sungut.

“Ya… Rara. Serius, dong!”

“Iya! Iya! Bolanya, tuh!”

Betty berlari mengambil bola yang melambung jauh. Bola itu mendarat tepat di kaki siswa kelas dua, Tio.

Tio tersenyum sambil mengambil bola itu. “Wah! Asyik, nih! Dapet bola!” katanya. Betty ikut tersenyum. Tio meringis. “Ngapain lu ikut senyum?. Udah, sana! Sekarang gantian senior yang main!”

Betty melongo. “Tapi… Kak?”

“Nggak ada tapi-tapian!”

“Ada apa, Bet?” Rara datang menghampiri. Hati Wina kebat-kebit melihat Tio, salah satu senior yang ditaksirnya.

“Udah, ya, adik-adik. Kalian kan sudah terlalu lama bermain voli. Sekarang gantian kakak-kakak,” kata Tio yang juga dikerubuti teman-temannya.

Rara mencibir. Kakak? “Sejak kapan gue punya kakak?” tanyanya, sinis. Tio terkejut mendengarnya.

“Gila! Nih cewek berani banget, Yo!” kata salah satu temannya.

“Yang sopan ya, Dek. Saya ini kakak kelas kamu!” Tio melotot. Rara mencibir lagi. Raut wajah itu terlihat jelas di mata Tio. Gadis ini meremehkannya.

“Sorry ya. Gue sih ogah nganggap elu kakak. Meski cuma kakak kelas.”

“Yes, Rara! Berjuanglah terus! Mereka tak boleh seenaknya!” dukung Tina, tentu dengan berbisik.

“Rara… baiknya kita pergi aja deh. Mereka kan cowok semua.” Betty ketakutan.

“Ra… itu kecengen gue, Ra….” Wina ikutan bisik-bisik.

“Kita tidak boleh takut, Ra!” Tina keukeuh mendukung.

“Sudahlah. Mau tidak mau kalian tetap yunior yang harus mengalah,” kata Tio sambil berlalu. Tapi…. TAP! Rara merebut bola voli itu. Tio dan teman-temannya terkejut.

“Wah! Berani banget nih, anak!” seru mereka.

Rara nyengir. Tio melotot. “Dek!” Amarahnya memuncak. Tapi sebelum perkelahian itu terjadi, seseorang di belakangnya, muncul.

“Sudahlah, Yo. Menghadapi cewek itu harus lembut. Bukan dengan kekerasan,” kata cowok itu.

Rara terpesona melihat cowok yang berdiri di samping Tio. Ya, ampun! Cowok itu ganteng banget! Lembut lagi! Cowok itu… tersenyum padanya!

“Dek… boleh kan kita pinjam bolanya sebentar?” tanya cowok itu.

Deg! Jantung Rara berdebar kencang. Seperti inilah seharusnya sikap seorang cowok! Rara ingin tersenyum. Tapi… gengsi juga sih kalau tiba-tiba hatinya melunak. Makanya, ia tetap pasang wajah judes.

“Kebetulan. Berdebat sama kalian lama. Kita juga mau makan dulu. Nih!” Ia Rara menyerahkan bolanya pada cowok itu, kemudian pergi. Semua bengong melihatnya. Sementara para senior berteriak-teriak senang, Tina, Betty, dan Wina menyusul langkah Rara yang cepat.  Rara berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang merah.

“Ra! Gimana, sih? Masak lu kasihin bola itu sama  mereka?!” Tina tak terima.

“Udahlah, biar aja. Percuma melawan Tio!” Wina membela.

“Iya! Gue aja takut liat sorotan matanya. Sadis banget!” cetus Betty.

Rara menghentikan langkahnya. “Gue bukan takut sama mereka. Gue cuma udah capek!” katanya, memberi jawaban.

Tina, Wina, dan Betty saling bertatapan. Mereka tak tahu kalau sebenarnya alasan Rara memberikan bola itu adalah karena ia telah jatuh cinta pada cowok misterius itu!

***

Terik matahari memerahkan wajah Fitri. Jilbab putihnya agak kotor terkena debu kemarau. Tadi di ujung gang, Doddy tidak menjemputnya. Padahal perjalanan dari pintu gang menuju rumahnya lumayan jauh. Doddy tidak bisa menjemputnya karena ada urusan. Kalau hepatitisnya kambuh, Doddy yang harus disalahkan. Begitu sampai di rumah, ia agak terkejut melihat motor butut kakaknya itu terparkir di depan rumah. Katanya ada urusan?

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam! Eh, Fit….” Doddy yang sedang duduk di ruang tamu bersama teman perempuannya, terlihat gugup.  

Fitri melirik gadis cantik yang sedari tadi tersenyum itu. “Katanya ada urusan?”

Wajah Doddy merah. “Iya. Itu... tadi... baru jemput Wita dari tempat les.”

“Jadi... dia lebih penting ya daripada Fitri?” Fitri berbisik.

“Ini Fitri, ya? Kenalkan, saya Wita.” Gadis itu memotong percakapan Fitri dengan Doddy.

Fitri memasang wajah manisnya. “Iya. Pacar baru Kak Doddy?”

Doddy menyikut Fitri. “Hus!”

Wita tersipu.

“Saya masuk ke dalam dulu, ya?” Tanpa menunggu jawaban, Fitri bergegas masuk ke dalam kamar. Doddy dan Wita terlongo-longo. Fitri mengempaskan tubuhnya di kasur dengan kasar. Air matanya jatuh.

“Kak Doddy gimana, sih? Udah bagus putus sama Lina, eh, sekarang sama Wita. Kapan insafnya...?” gerutunya, sebal. Fitri berdiri dan menatap cermin. Ia menatap kembarannya itu. Tulang persegi yang dibalut dengan kulit putih kemerahan. Hidung mancung dan sepasang mata indah. Begitu pun Kak Doddy. Fitri cantik, Doddy ganteng. Jelas, cewek mana yang nggak takluk di kaki cowok playboy itu. Dan si playboy itu... kakaknya.... Ya Allah... tolong beri hidayah-Mu pada Kak Doddy....

***

Rara sedang asyik menyontek PR milik Gilang ketika Wina berlari menghampirinya.

“Rara! Buruan ngumpul!” teriak Wina.

“Ngumpul apa?”

“Kumpul PMR! Ada penjelasan dari senior! Buruan kalo mau ketemu Doddy!”

“Yang mau ketemu tuh gue apa elu?”

“Ayo dong, Ra... kita kan udah daftar, jadi kita harus dateng!”

“Gue belum ngerjain PR!”

“Kita kan dapet dispensasi!”

Seketika Rara menghentikan kegiatannya. “Maksudnya?”

“Kalo kita ikut rapat organisasi, kita boleh nggak ikut pelajaran.”

“Apa? Yang bener, nih?! Asyik! Yuk!” Rara langsung semangat.

Wina mencibir. “Huh! Giliran tau dapet dispensasi aja....”

Rara menarik tangan Wina. “Ayo, buruan!” suruhnya.

“Sekarang kok jadi elo sih yang nggak sabaran?”

“Yah, daripada dengerin omongan Bu Rani yang sadis, mendingan ikut PMR.”

***

Wajah Wina berlipat-lipat usai mengikuti pertemuan PMR. Ia berharap dapat bertemu Doddy di sana, eh ternyata yang ditunggu tidak datang.  

“Sebel! Dia tuh males banget sih ikut rapat PMR!”

“Kasihaaan deh yang nggak ketemu...!” ejek Citra. Rara melotot. Citra tak berani berkomentar lagi.

“Sst... Wina! Doddy tuh!” seru Tina, tiba-tiba.

Wina langsung semangat. Tak berkedip matanya melihat Doddy yang tiba-tiba saja lewat di depannya bersama seorang temannya. Rara ikut terpesona. Bukan karena melihat Doddy, tapi melihat cowok yang berjalan di samping Doddy.

“Wih! Ganteng banget, ya!” pujinya.

“Bener kan, Ra?” Wina merasa bangga.

“Butterfly itu yang mana?”

“Itu, yang pake topi biru.”

Rara lega. Berarti cowok yang di samping Doddy itu bukan Butterfly. Aman…. Jelas saja, soalnya yang di sebelah Doddy adalah cowok yang tempo hari ditaksirnya itu!

***

“Hah! Elo malah naksir temennya?!” Wina tak percaya setelah pada jam istirahat Rara membuka rahasianya. Rara mengangguk.   “Ih! Kirain lu naksir Butterfly juga! Padahal kan gantengan dia!”

“Yee! Terserah gue, dong! Selera orang kan beda-beda.”

“Iya.  Tapi si Aditya itu kan orangnya sombong banget.”

“Jadi, namanya Aditya?” tanya Rara. Wina mengangguk. “Kok elu bisa tau sih namanya Aditya?”

“Cuma orang yang rajin bolos aja yang nggak tau Aditya. Dia tuh orang penting di OSIS!”

“Berarti gue nggak salah jatuh cinta!” Rara senang banget. Wina mencibir. “Heh! Mestinya elu seneng dong gue nggak naksir Doddy. Jadi kan kita nggak saingan!”

***

BAB 4 FIGHTING ON THE WAY

Angin sore memainkan anak-anak rambut Rara yang dibiarkan tergerai. Angkot yang dinaiki gadis berusia lima belas tahun ini berjalan perlahan karena membawa beban yang berat. Sore hari, angkot memang penuh. Bukan saja oleh anak-anak sekolah yang baru pulang, tapi juga oleh pekerja kantoran dan mahasiswa sebuah PTS yang terletak tak jauh dari sekolah Rara. Rara yang duduk di depan pintu menikmati saja suasana sore hari yang harus dijalaninya setiap hari. Seorang penumpang turun di sebuah gang yang dijejali oleh rumah-rumah kumuh. Pandangan mata Rara tertumbuk oleh sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia mengenal betul gadis yang sedang dimintai uang oleh preman jalanan itu. Ia segera turun dari angkot.

DUK! PAK! BUG!

“Ampun, Mbak!” Lelaki kucel itu meringkuk, menutupi tubuhnya dari serangan Rara.

Rara tersenyum puas. “Kalo elu minta duit sama temen gue lagi, awas lu!” ancamnya. Preman itu mengangguk-angguk ketakutan. Rara membiarkan lelaki bertubuh ceking itu pergi. “Kebanyakan ngobat tuh orang!” gerutunya.

Tina menghampirinya dengan senyum sumringah. “Rara! Makasih ya! Untung ada elo!”

“Ah... kebetulan aja gue liat elu lagi dipalak sama tuh begundal.”

“Aduh... Rara. Gue emang sering banget dipalakin.”

“Wah, tempat lu emang rawan banget, ya?” Rara melihat ke sekelilingnya. Daerah kumuh yang signifikan sebagai sarang maksiat. Rumah-rumah kumuh berjejalan. Sebagian besar rumah-rumah tersebut belum jadi. Temboknya masih berbentuk semen yang kasar. Lantainya pun masih tanah. Rumah-rumah itu berhimpitan satu sama lain. Lalat-lalat dari tempat pembuangan sampah yang seadanya menambah pemandangan di tempat itu tak enak dilihat. Layakkah tempat seperti itu menjadi tempat hidup? Sementara... tak jauh dari gang kumuh itu terdapat rumah-rumah besar yang berdiri angkuh. Kontras.

“Iya, emang. Lu hebat banget, Ra!”

Rara nyengir. “Yah, soalnya lawan gue cuma satu orang. Udah gitu badannya ceking lagi. Coba kalau lebih dari satu dan besar-besar!”

“Mampir ke rumah gue dulu, yuk!”

Rara melirik jam tangannya. “Udah sore banget, nih. Maaf, ya!”

Beberapa gadis dengan dandanan seronok melewati mereka. Bau parfumnya membuat Rara serasa ingin muntah.

“Itu para pelacur yang tinggal di belakang rumah gue.” Tina menjawab pertanyaan di kepala Rara.

Rara melotot. “Wah! Gila, lu! Nih, lingkungan nggak kondusif banget sih buat lu. Tapi di ujung sana, rumah-rumah mewah.”

“Iya. Orang-orang kaya di sana sombong-sombong. Padahal ada yang satu sekolah sama gue, lho. Kalo pas kebetulan ketemu, nggak nyapa. Sedih deh gue. Cuma kalo pas lebaran mereka suka bagi-bagi duit.”

“Hem... lebaran doang!”

Sebuah sedan hitam melewati mereka. Rara terkejut melihat pengendaranya.

“Eh! Itu dia kakak kelas yang sombong itu!” teriak Tina.

Rara mengikuti ke mana sedan itu berhenti. Sedan itu berhenti di depan sebuah rumah besar. Penghuninya keluar. Kakak kelas itu... Rara terkejut, lalu tersenyum. Aditya.

***

Wina tak percaya dengan kata-kata Rara barusan. “Jadi bener... elo udah tau di mana Aditya tinggal?” tanyanya. Rara mengangguk. “Ih! Sebel! Lu kan baru naksir dia kemarin, tapi udah dapet info!”

“Ye... kebetulan aja. Jodoh kali. Sekarang gue sering main ke rumah tetangganya.”

“Siapa?”

Rara menunjuk ke arah Tina yang baru datang. Tina tersenyum. “Hai, Ra! Tadi gue ketemu Kak Adit di gerbang, lho!” katanya sambil menaruh tas.

Rara langsung berdiri. “Eh, dia masih ada nggak, ya?!”

“Deu... yang pertama kali jatuh cinta...!” canda Wina. Wajah Rara memerah.

“Udah ngacir lagi, Ra. Dia kan naik sedan,” jawab Tina.

“Wah, Aditya itu anak orang kaya, ya?” tanya Wina.

“Iya. Asyik, kan? Cari cowok yang kayak gitu, dong.” Rara merasa bangga.

Wina mencibir. “Malah susah. Orang dia sombong gitu!”

“Eh, kalo Doddy gimana? Dia anak orang kaya juga, nggak?” tanya Rara.

Alis Wina naik sebelah. “Kayaknya sih enggak. Habis, bawaannya Honda butut!” jawabnya. Rara ngakak. “Tapi gue malah seneng tuh. Kalo kaya, gue justru takut nggak dapet!” Wina menambahkanh.

Rara cuek saja mendengarnya.

“Apa sih yang nggak bisa didapat oleh Rara? Liat aja nanti.”

***

Hari Ahad pagi. Rara memasuki ruang kelas satu satu yang digunakan sebagai tempat latihan PMR. Wina, Tina, dan Betty yang sudah datang lebih dulu, melambai-lambaikan tangan mereka.

“Ra! Duduk sini!” teriak Wina.

Rara menghampiri gerombolan si Berat yang duduk di pojok itu. “Hari ini teori, ya?”

“Iya. Minggu depan baru praktek,” jawab Tina.

Rara kecewa. Padahal lebih enak praktek. Beberapa saat kemudian, tiga orang senior PMR memasuki kelas. Materi minggu ini mengenai Sejarah PMR. Lumayan betein. Rara enggan memperhatikan. Ia malah memperhatikan ke seisi kelas. Ia melihat wajah Wina yang berubah merah. Ada ada ini? Oh... ternyata Doddy, si Pangeran pujaan, memasuki kelas.

“Baiklah adik-adik. Itulah tadi sejarah PMR. Selanjutnya, kita akan belajar menyanyikan mars PMR. Ini harus dihafpal lho. Kita suruh Kak Eva dan Kak Doddy untuk mengajarkannya,.” kKata Ranti. Wina jelas saja surprised! Wah... asyik, nih!

“Doddy, Win!” goda Rara. Wina tersipu malu. Deu....

“Adik-adik, kenalkan, ini Kak Doddy. Dia selain pengurus PMR juga gitaris Bband Butterfly. Kalau kemarin sewaktu acara perkenalan dia nggak datang, itu karena dia sibuk latihan untuk pementasan di Citraland. Tepuk tangan dong buat kakak kita yang keren dan beken ini!” seru Eva. Lalu tepuk tangan untuk Doddy menggema. Doddy memasang senyum mautnya yang membuat hati para gadis menggelepar. Rara malah muak melihatnya.

“Oke, adik-adik. Kita mulai menyanyi, ya. Kak Doddy yang akan memetik gitar,” kata Eva. Lalu, mars PMR diiringi suara gitar Doddy pun terdengar.

“Rara! Suer, deh! Baru kali ini gue jatuh cinta! Dia cowok terganteng yang gue jatuhin cinta!” seru Wina setelah latihan PMR selesai.

“Iya, gue udah denger itu berkali-kali. Bosen tau!” omel Rara. Segera setelah mencangklong tasnya, ia keluar kelas.

 “Rara! Habis ini elu mau ke mana?” tanya Wina.

Rara tak menjawab. Ia terpaku melihat Aditya yang sedang ngobrol dengan Doddy di depan kelas.

“Sekarang, tau kan gimana rasanya jatuh cinta?”  sindir Wina.

Rara nyengir. “Iya. Aduh... gue jadi malas pulang.”  

Wina mencibir. Dasar!

***

Rara menendang kaleng kosong di depannya. Sambil jalan  menuju sekolahnya, ia teringat Aditya. Rasanya... kangen... banget. Sudah dua hari ini nggak ketemu. Padahal ia selalu datang lebih pagi biar bisa ketemu Aditya yang masuk pagi, tapi tetap saja nggak ketemu. Rara menghentikan langkahnya. Ya, Tuhan! Begitu cepat Kaukabulkan doaku! Jeritnya dalam hati. Jelas saja, di pintu gerbang, ia melihat Aditya sedang ngobrol dengan temannya. Tiba-tiba saja kakinya sulit melangkah. Jantungnya berdebar-debar tak karuan. Keringat dingin bercucuran. Duh, kok jadi begini ya? Mana Rara si pemberani itu? Ternyata Rara takluk oleh seorang Aditya. Bodoh! Makinya pada diri sendiri. Ia baru bisa berjalan kembali setelah Aditya berlalu dengan sedan hitamnya.

“Nah! Itu dia!” seru cowok-cowok, ketika Rara memasuki kelas.

Rara bingung. Tidak biasanya dia disambut sedemikian rupa. Malah biasanya mereka langsung lari begitu melihatnya. “Ada apa, nih?”

“Ra, kita dapet surat tantangan dari SMK Biduri!” jawab Widi sambil menyerahkan sepucuk surat pada Rara.

Rara membacanya. “Hah! Ini kan khusus buat gue?”

“Iya. Tapi kita bakal bantuin elo, kok!” sahut Tobi.

Rara garuk-garuk kepala. Di surat itu tertulis bahwa mereka tak terima dengan pukulan Rara terhadap salah satu teman mereka.

“Katanya elo mukul salah satu temen mereka ya?” tanya Widi.

“Ya... gue emang sering mukul orang, tapi gue lupa tuh yang mana anak itu.”

“Udah, Ra. Lu jangan takut. Kita masih setia sama elu, kok!” dukung Feri.

“Siapa yang takut!”

“Iya, Ra! Kita hadapi mereka!” seru Tobi.

“Serbu…!” Seruan Widi menambah semangat. Rara sih senyum-senyum saja. Anak-anak putri yang lain malah bergidik ketakutan.

“Rara! Nggak ada sejarahnya sekolah kita tawuran!” tukas Runi, tiba-tiba.

“Eh, Runi! Lu jangan ikut campur!” omel Widi.

“Iya. Lu takut, kan?” tanya Feri.

“Bukan gitu. Masalahnya, elo bakal bawa nama sekolah kita kalau elu bawa teman-teman. Nama sekolah kita bakalan ancur!” tegas Runi.

Rara melotot. “Mereka kok yang mau ikut!” katanya, nggak mau kalah.

“Oke, deh! Kita nggak usah pake seragam biar nggak ketauan.” Tobi menengahi.

“Setuju…!” seru yang lain.

Rara melirik Runi. Yang dilirik geleng-geleng kepala. Heran, kok ada sih cewek kayak gitu?

***

Pukul empat sore di pertigaan Cisauk. Rara dan teman-teman terlihat menunggu rombongan SMK Biduri di dekat halte bus. Berkelahi bagi Rara bukan masalah. Sejak kecil ia berteman dengan cowok, dan sejak kecil pula ia selalu memenangkan perkelahian melawan cowok. Bahkan kalau lomba lari, ia selalu dipasangkan dengan cowok, dan menang. SMP ikut karate dan sudah memperoleh sabuk hitam. Mungkin hormon laki-lakinya lebih banyak daripada hormon perempuannya.

“Rara! Itu mereka!” seru Widi sambil memasang kuda-kuda. Dengan semangat menyala seperti warna bajunya yang juga merah menyala, Rara berdiri paling depan menghadapi pasukan SMK Biduri.

“Ini dia, Rara! Lara Croft kita!” Tobi menyebut salah satu pemain Tomb Raider.

Rara meringis. Padahal di hatinya ada rasa takut juga. Rombongan SMK Biduri mulai mendekat. Mereka terlihat sadis. Siapa yang tak kenal sekolah yang siswanya hobi tawuran itu? Wajah-wajah mereka garang, tidak mencerminkan kaum intelektual.

“Serbu…!” teriak Rara. Pertempuran pun dimulai. Menegangkan.

***

Senyum yang tidak manis itu terkembang. Jelas saja, di balik senyumnya, Rara juga menahan sakit. Tubuhnya penuh luka, untung nyawanya tak melayang dalam pertempuran singkat itu. Wina dan teman-temannya yang menjenguk di rumah sakit, hanya geleng-geleng kepala. Rara melarang mereka berkomentar karena telinganya sudah panas mendengar omelan orang tuanya barusan.

 “Ah, Rara. Elo bikin nama sekolah kita jatuh aja!” kata Runi yang ikut menjenguk.

“Meskipun elo nggak pake baju sekolah, tetep aja orang mencari tau SMK Biduri lawan sekolah mana!” sambung Wina.

“Iya, iya. Ini pelajaran buat gue, gue nggak akan mengulanginya lagi.”

“Tapi lu jadi terkenal lho, Ra. Berita tentang seorang cewek yang memimpin tawuran jadi hot news di sekolah kita!” sahut Tina.

“Kabar baik buat lu. Lu bisa istirahat di rumah selama dua minggu,” kata Betty.

Rara terkejut. “Baek banget ya Pak Darma?” tanyanya nggak percaya.

“Lu diskors,” jawab Tina.

Rara melotot. Wajah Pak Darma melewati memorinya. “Aduh... kira-kira... ada yang lebih berbahaya dari skors nggak ya?” tanyanya. Semua saling bertatapan.

“Gue rasa, kalau lu memohon sama Pak Darma lu nggak bakal dikeluarin, Ra,” jawab Runi.

Wajah Rara semakin pucat. Ia lupa. Bahwa ia punya perjanjian dengan Pak Darma. Ia dilarang berbuat onar lagi. Tapi... akalnya yang pendek dan nafsunya yang menggebu-gebu membuatnya lupa. Payah!

Ekspresi wajah Rara dan teman-temannya berubah seketika melihat kedatangan dua gadis berjilbab ke dalam kamar rumah sakit ini. Rara tak percaya. Ia dijenguk oleh dua orang cewek yang tak dikenalnya sama sekali kecuali hanya sepintas saja?

“Assalamualaikum.” Fitri dan Norma memberi salam.

“Waalaikumsalam. Fitri... Norma.” Tina bergegas menyambut.

“Apa kabar, Rara? Sudah baikan?” Fitri menatap Rara.

Rara jadi canggung. “Iya,” jawabnya, singkat.

“Em... kami datang mewakili Rohis. Semoga kamu cepat sembuh, ya dan bisa menjadikan kejadian ini sebagai hikmah.”

“Makasih.”

 Fitri meletakkan plastik berisi buah itu di mejanya. “Ini sedikit dari Rohis.”

“Kenapa sih kalian baik banget? Kita kan nggak kenal?” Rara tak mengerti.

 “Karena kita bersaudara. Sesama muslim kan bersaudara. Em... begitu saja dari kami. Mungkin Rara masih ingin istirahat. Kejadian ini jangan sampai terulang lagi, ya?  Bukan hanya kamu saja yang rugi, orang lain juga. Kami pamit dulu ya. Maaf kalau ada kesalahan. Assalamualaikum,” ucap Fitri sebelum meninggalkan kamar Rara.

Semua menatap kepergian Fitri dan Norma dengan masih terheran-heran.

“Wah! Pantes aja deh banyak cowok yang naksir dia.” Runi mulai bersuara.

“Iya. Baek banget dia.” Tina ikut-ikutan memuji.

Rara tertegun. Tiba-tiba ada perasaan malu yang menyusup di hatinya. Ia teringat saat memaki Fitri dulu. Sekarang Fitri malah sebaik ini padanya.

***

Rara kesal. Dua minggu di rumah ternyata membuatnya  be-te. Padahal dulu ia rajin bolos. Tapi meskipun bolos, ia tetap berada di luar rumah entah itu ke malmain bola, billiard,l atau ke tempat lain. Sekarang? Setelah kejadian kemarin, orang tuanya menjadi over protecktive. Rara tidak boleh ke mana-mana. Aduh... gimana coba rasanya untuk orang seaktif Rara? Jelas saja suntuk. Di rumah, ia disuruh introspeksi diri, merenungi kesalahannya sambil buka-buka buku pelajaran untuk mengejar ketertinggalannya. Duh! Tidak mungkin itu semua dilakukannya! Akhirnya ia cuma menonton TV seharian.  Malamnya, ia telepon semua teman-temannya untuk menanyakan kabar apa yang terjadi di sekolah. Tapi semua temannya malah menertawakannya. Ugh! Be-te. Beginilah rasanya bolos dua minggu.

***

Dua minggu telah berakhir. Rara gembira sekali menikmati kebebasannya. Baru kali ini ia senang  kembali ke sekolah. Di kelas, anak-anak langsung menyambutnya. Ternyata selama dua minggu ini, ia diskors tidak sendirian. Semua anak yang membantunya tawuran juga diskors. Praktis, di kelas hanya tersisa enam orang putra yang digelarinya “penakut” dan semua anak putri kecuali Rara. Sehabis menemui teman-temannya sebentar, Rara langsung ke ruang Pak Darma dengan jantung berdebar.  Rara tahu, ia pasti dinasihati macam-macam. Berkat bujukan orang tuanya, Pak Darma masih mau memberinya kesempatan. Tapi tentunya, Rara tetap harus menyediakan telinganya untuk menampung semua kemarahan Pak Darma. Dan ternyata benar. Pak Darma menasiehatinya. Lumayan panjang. Kali ini Rara rela mendengarkan, meskipun mulutnya  gatal ingin membantah.

 “Ra! Gimana, Ra? Udah selesai disidangnya?” tanya Wina dengan senyum tersungging, saat Rara kembali ke kelas.

Rara cemberut. “Kok kayaknya elu malah bahagia sih ngeliat penderitaan gue?”

“Bukan gitu. Gue pengen tau aja. Lu tadi diomongin apa sama Pak Darma?”

“Banyak. Intinya, gue diancam nggak naik kelas kalau masih melakukan tindakan kejahatan.”

“Wah, serem banget ancamannya!”

“Tenang-tenang. Gue nggak pa-pa kok!”

“Hebat bener. Diancam nggak naik kelas masih tenang-tenang!” tukas Runi yang ikut mengerubungi Rara.

Rara garuk-garuk kepala. Habis, mau gimana lagi? Mau panik? Emang udah nasib!

 “Heran! Padahal apa yang gue lakukan itu masih mending. Gue nggak nge-drug, nggak nge-sex.…”

“Masih mending? Nge-drug dan nge-sex cuma ngerugiin elu, tapi kalau tawuran, itu merugikan kita juga!” omel Runi.  Rara jadi ingin melahap anak ini.

“Ternyata hidup gue nggak bebas!” keluhnya.

“Bebas itu boleh, tapi tetep ada aturannya. Elu hidup di dunia ini kan bukan buat diri lu aja!”

“Iya, nona sok pintar!”  

“Rara! Elu kan udah dua kali nggak ikut latihan PMR!” seru Tina, tiba-tiba.

“Ya, ampun! Kayak gitu aja dipikirin!”

“Tapi Aditya sering dateng lho, liat latihan kita...!” canda Wina.

Rara melotot. Itu kan masih jadi rahasia!

“Oh... jadi Rara naksir Aditya?” tanya Runi.

Rara cemberut. Nih anak telinganya tajam banget sih! “Emangnya lu kenal?”

Runi tertawa. “Kenal banget!”

“Eh, ceritain gue dong tentang dia....”

“Deu... yang lagi jatuh cinta...!” goda semuanya.

Rara jadi malu. Wajahnya bersemu merah. “Ya... kalian kayak nggak pernah tau rasanya jatuh cinta aja.”

“Tapi kok bisa naksir Aditya sih?” Runi heran.

“Emang kenapa? Nggak boleh?”

“Dia tuh anaknya senga  banget. Sombong.”  Runi berkata ketus.

“Gue tau! Udah keliatan dari mukanya, kok! Justru gue suka menaklukkan orang yang kayak gitu!”

“Oke, deh. Demi temen, gue mau ngasih lu informasi tentang dia ke elu!”

Kedua bola mata Rara membesar. “Wah! Serius, nih?! Makasih banget!”

Yang lain mengerutkan kening. Melihat si Tomboi Rara jatuh cinta kok rasanya aneh banget, ya?

Dari Runi, Rara tahu kalau Aditya suka dengan cewek yang punya senyum menawan, sederhana, kalem, lembut, dan tidak matre. Runi bisa tahu selera Aditya dari melihat mantan pacar Aditya yang ciri-cirinya memang seperti itu.

“Tadinya cewek itu masuk ke sekolah ini untuk ngikutin Aditya, tapi ternyata tuh cewek malah ketemu cinta yang lain dan akhirnya meninggalkannya Aditya,” papar Runi.

Rara dan yang lain saling bertatapan.

“Tragis banget, ya?” Tina geleng-geleng kepala.

“Kasihan, Aditya,” bisik Wina.

“Cinta seperti apa ya yang bisa membalikkan hati tuh cewek? Padahal Aditya susah dicari tandingannya?” Rara tak mengerti.

“Ye! Itu kan menurut elo…!” sahut yang lain, kompak.

Rara tersenyum. “Bagaimanapun, gue harus berterima kasih sama tuh cewek. Berkat dia, gue bisa ngedeketin Aditya. Berarti…tuh cewek satu sekolah sama kita?”

Runi mengangguk.  “Tenang aja. Di antara mereka udah nggak ada apa-apa lagi, kok.”

“Kalo gitu, gue siap berubah demi Aditya,” kata Rara, mantap.

“Elu serius, Ra? Apa nggak lebih baik kalau lu jadi diri lu sendiri?” tanya Wina.

“Eh, Wina! Meskipun Rara berubah demi Aditya, tapi kan perubahannya nanti juga demi kebaikan. Bayangkan, Rara jadi lebih lembut, nggak kasar lagi, baik hati, kalem....!” sahut Runi.

Wina diam.

“Iya! Kan elu juga jadi aman, Win! Udahlah! Pokoknya gue akan coba!” sahut Rara.  

***

Musala ramai oleh para siswa yang akan dan sedang salat Ashar. Usai salat, Fitri membuka mushaf Al-Qurannya. Masih ada waktu istirahat yang tersisa.

“Fit, bisa ganggu sebentar?” tanya Norma.

“Apa?”

“Em... proposal kita ditolak.”

“Proposal yang mana?”

“Rencana memasukkan nasyid sebagai salah satu hiburan dalam acara ulang tahun sekolah nanti. Padahal aku udah capek-capek bikin.” Norma menatap tajam mata Fitri.

Fitri menghela napas. Bulan Oktober nanti sekolah akan merayakan hari ulang tahunnya. Rohis hanya mengajukan nasyid sebagai salah satu hiburan karena perhatian lebih dipusatkan untuk Ramadan.

“Alasannya apa?”

“Kita terlambat ngajuin proposal. Acara hiburannya udah penuh. Acara musik sudah diisi oleh Bband Butterfly. Tau sendiri, kan. Orang-orang pasti lebih milih mereka.”

 Fitri tertegun. Band Butterfly. Band-nya Doddy, kakaknya.

“Terus?”

“Kamu pasti ngerti kenapa aku nanyain ini ke kamu.”

Fitri menerawang. Ah, kenapa jalannya harus selalu berseberangan dengan kakak tercintanya itu?

***

BAB 5 A NEW RARA!

Bibir Rara yang tipis sejak tadi menyunggingkan senyum. Semoga hari ini ia bisa bertemu Adit, setidaknya di gerbang sekolah. Ia ingin bilang: Rara sudah berubah! Ups! Rara nyengir. Tukang kebun keheranan melihatnya senyum-senyum sendirian. Ia kan memang sedang latihan senyum! Selanjutnya Rara merengut. Capek-capek latihan senyum, nggak ketemu Aditya. Tapi ia tetap harus latihan.

“Hai, Widi!” sapanya pada Widi yang sedang piket.

Widi keheranan melihat wajah Rara yang cerah. Tidak  biasanya Rara begitu. “Rara, lu belum ngerjain PR, ya?” tanyanya. Pikirnya, mungkin saja Rara tersenyum begitu biar bisa menycontek PR.

“Oh... enggak. Gue udah ngerjain kok!”

Widi melongo. Rara mengerjakan PR?!

“Rara! Tobi bawa kartu porno lagi, tuh!” seru Wina. Tobi buru-buru menyembunyikan mainannya.

Rara tersenyum. “Tobi... kan udah dibilangin. Itu tuh dosa,” ujarnya, lembut. Jelas saja seisi kelas melongo.

“Ra? Elu bener-bener udah berubah?” Wina nggak percaya.

“Mudah-mudahan.”

“Wah, Rara hebat!” puji Runi.

“Padahal ini hari pertama kan?” tanya Citra.

“Ujiannya belum dimulai aja…!” Rara merendah. “Ternyata capek juga tersenyum itu,” keluhnya. Yang lain tertawa. Sementara di belakang, anak-anak mempertanyakan perubahan Rara.

“Tenang, tenang. Ini belum seberapa,” kata Jimmy. Yang lain manggut-manggut.

“Teman-teman! Ada rapat PMR lagi! Buruan!” seru Tina, tiba-tiba.

“Asyik, Ra! Bisa ketemu Butterfly! Semoga aja lu ketemu Aditya!” Wina senang banget.

“Asyik!” sahut Rara, riang. Tumben-tumbenan ia bahagia ikut rapat PMR. Semua yang merasa anak PMR, berlarian keluar kelas.

“Anak-anak! Pak Tito datang!” teriak Dio, dan….

BRUKK!

Wajah Dio merah padam.

“Ra... ra....” Gemetaran ia mengeja nama itu. Wah, apa yang akan terjadi ya? Ia telah menabrak Rara, gadis yang paling ditakuti di kelas ini. Eit... Rara tersenyum! Tidak dapat dipercaya!

“Sakit, sih. Tapi gue tau lu juga sakit. Lain kali hati-hati. Nggak usah panik gitu,” ucap Rara.

Dio bengong. Benarkah itu Rara yang mengucapkannya? Belum habis keheranannya, Rara telah berlalu. “Hei! Itu Rara bukan, sih?” tanyanya sambil menaikkan kacamatanya yang jatuh ke hidung.

“Iya. Benar. Rara udah berubah.” Jimmy tersenyum.

“Mungkin karena tawuran itu.” Tobi menerka-nerka.

“Yang penting, kita udah aman sekarang,” sahut  Widi.

“Wah, kalo Rara begitu, gue jadi naksir nih!” tukas Jimmy.

“Huu…!”

***

Di ruangan yang biasa dijadikan tempat rapat PMR, Ranti, senior PMR, menjelaskan  tentang rencana pelantikan anggota baru PMR yang akan diselenggarakan hari Sabtu dan Minggu. Para calon anggota PMR akan mendapatkan dispensasi pada hari Sabtunya.

“Berarti kita nginep, ya?” tanya Betty.

“Seru lagi!” tukas Wina.

Rara merengut. “Kalo nggak ikut gimana?”

“Rugi, Ra!” seru Wina.

“Gue apa elu?”  Rara mencibir. Wina nyengir. Usai pertemuan PMR, mereka kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran Bu Sinta.

“Baiklah, anak-anak. Itu semua materi yang telah Iibu jelaskan. Sekarang kalian kerjakan nomer dua belas, ya.” Bu Sinta, Guru Ekonomi, menutup uraiannya.

“Assalamualaikum, Bu!” kata Rara dan kawan-kawan.

Bu Sinta menatap mereka, tajam. “Dari mana saja kalian?”

“Rapat PMR, Bu,” jawab Tina.

“Ya sudah. Kerjakan soal nomer 12dua belas. Kalau belum jelas, tanya sama temannya.”

Rombongan calon anggota PMR itu pun duduk di bangku mereka masing-masing.

“Eh, elu ikut nggak, Ra?”  bisik Wina.

“Ntar deh, gue pikir-pikir lagi. Kalo gue be-te, gue pasti dateng.”

“Sst! Jangan berisik! Nanti Bu Sinta marah, lho!” bisik Tina.

Rara dan Wina mengabaikan bisikannya.

“Abis gue males sih ikut acara gitu-gituan.” Rara masih asyik ngobrol.

“Ya... ikut, dong. Biar gue ada temennya.” Wina merajuk.

“Temen kan banyak!”

“Rara!” tegur Bu Sinta.

Rara dan Wina melotot. Kapan Bu Sinta ada di samping mereka?!

“Sudah mengerjakan soalnya?” tanya  Bu Sinta sambil melihat ke buku Rara. “Masih kosong, tapi sempat ngobrol!” omel Beliau. Rara nyengir. “Ketawa lagi. Kerjakan di depan!”

Rara langsung menuruti perintah Bu Sinta, meski sedikit menggerutu. Wina geleng-geleng kepala. Tumben-tumbenan Rara tak memberontak. Bu Sinta juga agak terkejut. Padahal ia sudah bersiap diri kalau Rara memberontak.

“Rasa-rasanya... Rara emang udah berubah.” Jimmy berbisik.

“Kita manfaatin, yuk!” ajak Toby. Keduanya tersenyum licik.

“Mana gue bisa?!” Rara menggerutu. Ia bengong saja di depan kelas karena tak bisa mengerjakan soalnya.

“Nggak bisa kan?” Bu Sinta menyindir.

Rara tertunduk. “Maafkan saya, Bu!”

Seisi kelas terperangah. Seakan teringat kembali ketika Rara berseteru dengan Pak Tito, Guru Bahasa Inggris yang galak itu. Rara dan Pak Tito sama-sama mempertahankan ego mereka. Karena tak bisa mengerjakan soal, Rara dimaki-maki Pak Tito. Rara balas memaki. Tak seharusnya Pak Tito yang berlabel “guru” mengucapkan kata-kata makian. Mereka bermusuhan dan sejak itu Rara mendapatkan nilai merah untuk Bahasa Inggrisnya. Sekarang, ia meminta maaf pada Bu Sinta? Aneh. Bu Sinta saja ikut heran.

“Tapi... saya kan tidak bisa, wajar, Bu. Saya kan belum mendapat materinya karena rapat PMR.” Rara beralasan. Mau tidak mau, Bu Sinta goyah juga.

“Ya, sudah. Duduk di tempatmu. Jimmy! Tolong kamu gantikan tugas Rara!”

Jimmy menggerutu.

Rara tersenyum senang. Tidak semuanya harus diselesaikan dengan kekerasan, kan?

“Kapurnya habis, Bu!” kata Jimmy.

“Rara, mumpung kamu masih berdiri, sekalian deh ambil kapur di ruang  guru!” suruh Bu Sinta.

Rara gondok juga, tapi ia berusaha menahan diri. “Iya, Bu,” ucapnya. Aneh. Padahal tadi kapurnya masih ada. Jimmy tertawa-tawa sendiri. Kena deh Rara dikerjain. Sementara itu, Wina masih tak percaya melihat perubahan Rara. Cinta telah menunjukkan kekuatannya.

***

Fitri termenung di atas meja belajarnya. Nasyid gagal mangung karena kalah bersaing dengan band kakaknya? Phiuh! Apa yang harus ia lakukan? Membujuk Doddy agar mau mengalah? Tidak mungkin. Doddy pasti tak mau mengalah. Lagipula, penggemarnya akan kecewa begitu tahu Bband Butterfly tak jadi tampil.

“Fitri? Kamu ada di dalam?” tanya Doddy, tiba-tiba.

“Ada apa, Kak?”

“Ini  ada puding dari Ibu. Dari tadi kamu nggak keluar-keluar, sih? Kakak disuruh nganterin puding ini.”

“Masuk!”

Doddy  membuka pintu. “Kamu nggak pa-pa?” ia heran melihat wajah Fitri yang kusut.

Fitri menggeleng.

“Kecapekan lagi, ya?” Doddy bertanyanya lagi.

Fitri menggeleng lagi.

“Terus kenapa?”

 “Seperti saran Kakak dulu. Rohis mencoba berdakwah melalui  hiburan,” Fitri langsung curhat.

“Terus?” Doddy menatap sepasang mata indah milik Fitri.

“Di ulang tahun sekolah nanti, kami telah mengajukan tim nasyid terbaik Rohis untuk tampil,”

“Wah, bagus tuh!”

“Sayangnya, proposal kami ditolak.”

Doddy bengong. “Di... tolak?”

“Acara hiburan terlalu banyak. Waktunya nggak cukup. Kecuali kalau ada salah satu yang batal tampil. Band Kakak kan sudah sering tampil. Maukah untuk kali ini mengalah?” tanya Fitri, pelan.

“Jadi itu masalahnya ?”

“Iya.”

“Kakak mungkin bisa mengalah demi Fitri. Masalahnya, Kakak bukan satu-satunya personil dalam band itu.”

“Makasih, Kak!” Fitri memeluk Doddy, erat.

“Eh, Fit! Masalahnya kan belum selesai?” Doddy kebingungan.

“Mendengar Kakak mau mengalah untuk nasyid saja Fitri udah senang!”

“Kakak akan bicarakan ini sama teman-teman.”

“Bener, Kak?!”  tanya Fitri tak percaya.

Doddy mengangguk.

“Makasih! Kakak baik banget!”

“Kakak senang sekali Fitri mau memeluk Kakak seperti ini. Biasanya kan judes aja.”

“Kalo nasyid gol, Fitri mau meluk Kakak terus.”

***

 “Wina, lu udah pikir mateng-mateng?” tanya Betty tak percaya. Tina si provokator, senyum-senyum saja.

“Sudah saatnya cewek maju duluan!” kata Wina, semangat.

“Gue  nggak yakin akan berhasil.” Betty meragukan.

“Yee! Betty!” seru semuanya.

“Walaupun tidak berhasil, yang penting berusaha!” tekad Wina makin bulat.

“Ada apa, sih?” tanya Rara yang baru datang.

“Wina mau ngasih surat cinta ke Doddy,” jawab  Betty.

“Heh! Biar gue aja yang ngasih tahu!” teriak Wina.

“Wina! Lu serius?!” Rara terkejut.

Wina tersipu malu. “Habis, gimana, ya? Kalo menunggu pangeran datang menjemput, rasanya lama sekali,” jawabnya, lucu. Semua tertawa ngakak.

“Hargai dong semangat Wina! Ini namanya emansipasi!” kata Tina yang tidak ikut tertawa.

“Iya, gue hargai. Cepetan lu kasih. Gue pengen tau reaksinya,” dukung Rara.

“Buat apa?”

“Buat pelajaran gue. Kalo lu berhasil, gue ikutin. Kalo gagal, yah, gue nggak ikutin.”

Wina mencibir.

Akhirnya, surat cinta Wina diletakkan di pos sekolah. Biasanya tertuju sendiri yang mengambil. Surat itu, surat merah jambu dengan kata-kata indah di dalamnya.

Beribu-ribu kumbang di taman.

Hanya satu yang  bunga tunggu.

Beribu-ribu pangeran tampan.

Hanya satu yang Wina tuju.

Maukah Kakak menjadi teman dekat Wina?

Ttd,

Wina.

Kelas 1.3.

***

“Mekanismenya begini ya, adik-adik. Besok hari Sabtu jam tujuh pagi kalian sudah harus kumpul di lapangan sekolah. Kita akan berangkat sama-sama ke lokasi. Berikut ini barang-barang yang harus kalian bawa. Dicatat, ya.” Ranti, seperti biasa menjelaskan pada saat rapat PMR.

“Kak Ranti itu udah cantik, lembut, baik lagi,” puji Tina sambil mencatat.

“Nggak kelebihan tuh, pujiannya!” cetus Rara, sinis.

“Deu... Rara...!” goda Betty.

“Eh, katanya Kak Ranti itu pernah pacaran sama Doddy,” bisik Tina.

Wina terkejut. “Yang bener yang mana sih? Katanya Kak Eva?”

“Semua cewek yang cantik-cantik bekasnya Doddy kali! Cowok kayak gitu ditaksir!” tukas Rara.

Wina cemberut. “Gue malah berpikir Kak Ranti itu mungkin mantan pacar Aditya,” katanya, membalas. Rara, Tina, dan Betty langsung menatapnya, tajam. “Ini cuma tebakan gue aja, lho!” sahut Wina, cepat.

Rara menatap Ranti. Cantik… lembut… baik, lagi! Ya, mungkin saja!

“Kita tanya Runi!”

“Dia tuh nggak tau apa-apa! Dia kan cuma denger dari orang-orang!” sahut Tina.

“Udah, deh. Ngapain sih lu mikirin mantan pacarnya Aditya. Yang penting kan sekarang udah putus,” kata Betty.

“Yah… siapa tau mereka masih berhubungan.”

“Enggak, ah! Kata Runi, kan cewek itu udah ngedapetin cinta yang lain dan katanya cinta yang lain itu bener-bener kuat.”  Tina menyahut. Semua menatapnya.

“Gue jadi penasaran. Cinta seperti apa yang bisa membuat cewek itu berpaling dari Aditya?” tanya Rara, pelan.

“Cinta yang kuat, Ra. Cinta memang mempunyai kekuatan untuk mengubah seseorang. Seperti yang sekarang terjadi sama elu. Demi Aditya, lu mau berubah, kan?” tanya Wina.

 Rara menatap Wina, dalam.  “Iya. Elu juga. Elu kan cewek pendiam yang selalu ragu mengambil keputusan. Tapi karena Doddy, elu jadi cewek pemberani bahkan lebih berani dari gue.”

 Wina mengangguk. Cinta….

Penjelasan panjang-lebar Ranti ditutup dengan pembagian kelompok. Ternyata Rara satu kelompok dengan Wina, Tina, Citra, Dian, Lia, dan Dini. Kelompok satu itu langsung menunjuk Dian sebagai ketua. Sebenarnya Rara mendapat banyak suara, tapi ia nggak mau.

Akhirnya, rapat selesai juga. Semua kembali ke kelasnya masing-masing. Wina dan Tina tumben-tumbenan berjalan berdua meninggalkan Rara dan Betty di belakang. Soalnya, Wina memang sedang ingin curhat sama Tina.

“Dod! Lu dapet surat!” Suara di depan mereka, menghentikan langkah keduanya.

Di depan pos sekolah, Doddy dan Bimo sedang mengambil sepucuk surat merah jambu. Wina melotot.

“Dari penggemar. Bacain, dong!” Bimo ingin tahu. Doddy senyum-senyum. Wina dan Tina masih terpaku sambil lirik-lirikan.

“Woi! Ngapain kalian diam di sini?” tanya Rara dengan suaranya yang kencang.

“Ssst!” Tina menunjuk ke depan mereka.

Rara terkejut. “Suratnya dibaca,” gumamnya. Sayang, mereka tak tahu apa reaksi Doddy setelah membaca surat itu karena kedua cowok itu telah berlalu.

“Ya...!” Pembaca kecewa.

“Aduh... gimana ya tanggapannya?” Wina heboh.

“Win, kalo misalnya dia nggak nerima lu, gimana?” tanya Rara.

“Rara! Jangan bikin Wina patah hati dong!” omel Tina.

Rara cemberut. “Maaf, deh. Tapi Win, melihat kejadian tadi, gue jadi bersemangat mengikuti jejak lu.”

Wina dan kawan-kawan, bengong. “Maksud lu?” tanya Wina.

“Ya... seperti elu. Tapi bukan dalam bentuk surat cinta, melainkan gue pengen ngomong langsung sama Aditya supaya gue bisa langsung tau jawabannya.”

Semua saling berpandangan. “Elu serius, Ra?” mereka nggak percaya.

Rara mengangguk yakin. “Kekuatan cinta udah merasuk dalam diri gue!” sahutnya, pe-de.

Wina menggigit bibir. “Rara, sebenarnya udah lama gue pengen ngomongin ini ama elu.”

“Apa?”

“Udah beberapa hari ini gue ngeliat Aditya jalan bareng seorang cewek.”

Rara bengong, lalu tersenyum. “Ah... mungkin cuma temen....” Ia berusaha menghibur diri.

“Tapi kejadian ini sering, Ra. Gue takutnya mereka pacaran. Jadi, gue pikir, sebelum elu mengucapkan itu, lu cari tau dulu.”  

“Sebenarnya gue juga pernah melihat mereka berdua. Cewek itu namanya Wita, anak Paskibra!” kata Tina, tiba-tiba.

Rara tertunduk. Dengan berlari, ditinggalkannya Tina, Wina, dan Betty begitu saja.

***

BUK! BUK! BUK!

Rara memukul guling tinju yang biasa digunakannya untuk latihan. Berat. Seberat beban yang menggelayutinya. Susah payah ia berubah demi Aditya, cowok itu malah berlalu dengan cewek lain. Keringat deras mengaliri tubuhnya. Inikah sedih? Entah. Tapi yang pasti, Rara kecewa. Lalu, untuk apa ia berubah?

***

*Bersambung di bab berbayar. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Novel
Sebelumnya Surga yang Terlarang (bab gratis dan random)
0
0
Nazma Safira mengenal Ahmad Faisal di kegiatan kerohanian Islam yang diikutinya, saat kuliah di sebuah Universitas di Bogor. Di matanya, Faisal adalah sosok yang cerdas. Ia jatuh simpati kepada lelaki itu. Perasaan simpati itu menjadi cinta saat hubungan keduanya semakin dekat. Awalnya, pembicaraan mereka hanya berkisar pada kegiatan yang mereka ikuti, lama-lama menjadi curhat pribadi. Kedekatan keduanya membuat teman-teman mereka di kerohanian Islam, gerah. Nazma dan Faisal disidang! Mereka ditantang untuk meresmikan hubungan itu dalam pernikahan. Nazma merasa belum siap karena masih duduk di semester lima, Faisal pun demikian. Akhirnya, mereka diharuskan untuk menjaga jarak.  Berat. Itulah yang dirasakan Nazma dan Faisal. Secara fisik memang jauh, tapi hati mereka masih saling bertaut. Nazma memantapkan diri untuk menjadi muslimah seutuhnya,  yang hanya menujukan cintanya kepada Allah semata. Ia berusaha mengenyahkan Faisal dari pikirannya. Bahkan selulus kuliah, ia mantap menerima pinangan seorang lelaki lain.  Siapa sangka pernikahan itu adalah ujian lain bagi Nazma? Suaminya adalah kakak Faisal. Nazma terkejut, juga Faisal yang baru saja menamatkan S2-nya di Australia. Perasaan yang tidak diinginkan itu pun datang. Faisal merasa Nazma telah mengkhianatinya. Sikapnya terhadap Nazma berubah seratus delapan puluh derajat. Ia tak bisa akur kepada Nazma yang saat itu masih tinggal di rumahnya, di sisi lain, ia masih mencintai Nazma. Bagi Faisal, Nazma adalah surga yang terlarang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan