2. Tante Tia

2
0
Deskripsi

"Nah ini Ghian sudah pulang," sambut Mama. Aku langsung memberikan tangan untuk salim kepada dua wanita dihadapanku.

"Apa kabar Ghian?" Tanya Tante Tia dengan ramah.

"Aku baik Tante. Tante gimana?"

"Tante juga baik kok," jawab Tante Tia dengan manisnya.

"Kok bisa sampai disini Tante?" Aku yang sangat penasaran langsung mempertanyakannya ke Tante Tia. Tidak ada satu orang pun yang tahu perihal kebangkrutan kami kecuali keluarga.

"Iya tadi di Rumah Sakit, Tante ketemu sama Mama kamu, jadi Tante antar sekalian kami ngobrol dulu deh. Sudah lama nggak ketemu juga kan," jawab Tante Tia.

"Tante sakit?"

"Iya, Tante kan sempat ngedrop Ghian. Tante kan sempat syaraf kejepit. Jadi ya kalau sudah ngerasa nggak enak ya Tante ke Rumah Sakit aja."

"Oh gitu...Maaf ya Tante, Ghian nggak tahu."

"Loh iya nggak apa, wajar kamu nggak tahu. Kita sudah lama nggak ketemu."

"Terus Tante ke Rumah Sakit sendirian?" tanyaku lagi yang masih penasaran.

"Iya sendirian. Sama nih kayak Mama kamu. Jandra dan Papanya sibuk kerja."

Aku melirik Mama. Padahal aku sudah meminta Mama ditemani Safa hari ini untuk kontrol ke rumah sakit. Minggu lalu Mama baru keluar dari Rumah Sakit karena hipertensinya kambuh.

"Tadi Kaif rewel Ghi, Mama nggak tega dong ajak Safa dan Kaif ke rumah sakit. Kasihan Kaif," jawab Mama atas lirikanku.

Baiklah, untuk alasan ini aku bisa terima. Kasihan keponakanku jika harua ikut antar Mama. Tapi kenapa Mama tidak menelponku saja, setidaknya aku bisa izin setengah hari.

"Ya sudah, Tante pulang ya Ghian. Sekarang Mama kamu kan sudah ada temannya, jadi nggak sendirian deh "

"Makasih ya Tante, sudah antar Mama pulang."

"Iya sama-sama ya. Kamu jangan terlalu capek. Jaga kesehatan ya," ucap Tante Tia sambil mengusap kepalaku seperti yang beliau sering lakukan dulu.

"Iya, Tante juga ya."

"Mau disalamin ke Jandra nggak?" goda Tante Tia.

Aku hanya terkekeh memberikan respon, karena kupikir tidak perlu. Aku dan Mama mengantarkan Tante Tia sampai ke depan gang. Ternyata sedan mewah itu miliknya. Kami kembali lagi memasuki gang beriringan setelah mobil Tante Tia pergi tak terlihat.

"Kamu belum makan kan? Ayo kita makan dulu."

"Tadi sebelum ke rumah sakit Mama sempatin masak buat kamu," ucap Mama saat kami memasuki rumah kontrakan tiga petak yang kami sewa. Rumah ini berisi ruang tamu, kamar dan dapur yang dibagi menjadi dua ruangan dengan kamar mandi.

"Apa Mama ceritakan semuanya ke Tante Tia?" tanyaku drngan mengabaikan pertanyaan Mama sebelumnya.

"Ghian..."

"Ma, tolong jawab aku."

"Mau tidak mau, ya Mama ceritakan."

"Untuk apa Ma? Untuk dipandang menyedihkan kayak tadi?" tanyaku emosi.

"Ghian, Mama rasa Mbak Tia nggak bermaksud kayak itu."

"Aku malu Ma. Mama paham nggak sih?" Ucapku dengan emosi yang meledak.

"Aku malu sama keadaan kita. Aku malu karena aku cuma bisa bawa Mama kesini."

"Kenapa Mama nggak nolak aja pas ditawarin antar pulang?"

"Kalau begitu kan, dia nggak tahu kalau kita tinggal disini," kataku kesal.

"Aku juga malu Ma. Karena Mama harus ke rumah sakit sendiri tanpa ada yang dampingi."

"Mbak Tia juga sendiri kok ke rumah sakit, nggak masalah tuh."

"Ya nggak masalah karena dia diantar driver sedangkan Mama harus naik taksi online. Gimana kalau Mama pingsan lagi dan Mama sendirian."

"Mama paham nggak sih Ma?" tanyaku dengan lemah.

Dadaku sesak. Aku emosi. Aku hanya bisa memasuki kamar dan menaiki kasur busa yang biasa kami tiduri. Aku menangis terisak. Ini sangat menguras emosi ditambah aku juga lelah sehabis pulang bekerja. Lebih menyebalkan lagi rumah ini hanya ada satu kamar tidur. Tangisanku pasti terdengar oleh Mama. Mau ngambek juga tidak bisa karena aku tidak bisa menghindari Mama. Tidak terasa aku menangis sampai lelah. Uang memang sangat mempengaruhi apapun.

***

"Ghian, bangun Ghian. Ini sudah pagi."

"Ghian, hari ini kamu harus ngantor kan?"

Wajah Mama yang aku lihat ketika membuka kelopak mata. Apa katanya tadi? Sudah pagi?

"Jam berapa Ma?"

"Sudah jam 6. Ayo mandi. Kamu susah banget dibangunin dari tadi."

Aku langsung bergegas mandi dan bersiap berangkat ke kantor. Semalam aku tidur tanpa membersihkan diri saking lelahnya. Lelah fisik ditambah juga lelah hati. Perutku sudah beberapa kali berbunyi. Terakhir aku makan ya saat jam makan siang kemarin.

"Ini sarapannya, ini juga bekal kamu," ucap Mama sambil menyodorkan kotak bekal yang biasa aku bawa.

Aku pun menyendok nasi goreng dihadapanku. Kami berdua makan dalam diam. Di ruang tamu yang menjadi tempat serbaguna kami.

"Maaf ya Ma, semalam Ghian marah-marah begitu," ucapku dengan nada sesal.

"Mama yang harusnya minta Maaf ya Kak. Maaf kalau tindakan Mama buat kamu sedih dan malu."

"Ya udahlah jangan kita bahas lagi. Mama sehat aja sekarang udah cukup buat Ghian."

"Makasih ya Kak, Mama nggak malu kamu bawa tinggal disini."

Aku makan dalam keadaan kelopak mata penuh dengan air. Aku bukan orang yang cengeng biasanya. Bukan juga orang yang manja. Gengsi tapi sayang itulah aku. Jarang sekali aku seperti ini dengan Mama. Keadaan benar-benar merubah segalanya.

"Nanti sesampainya aku di kantor, aku check out sayuran ya Ma."

"Nanti Mama tinggal ambil aja kayak biasa di depan gang."

"Kalau Mama capek, ya nggak usah masak. Tapi kabarin aku biar bisa beli makan di luar sebelum sampai rumah."

"Mama harus tetap makan buahnya. Vitamin, obat semuanya," kataku panjang.

"Iya Kak, tenang aja."

Awalnya aku sempat berdebat dengan Mama karena masalah belanja sayuran ini. Mama pikir beli di pasar saja lebih murah. Tetapi menurutku sama saja. Di toko online sering ada promo, kualitas Supermarket dan Mama tidak perlu capek ke Pasar. Mungkin Mama sudah malas mendebatkan masalah belanjaan denganku. Makanya sekarang beliau terima-terima saja.

Aku mengambil kotak makan yang sudah Mama siapkan. Setelah keuanganku porak poranda aku meminta Mama untuk membawakan bekal makan siang agar lebih irit tentunya.

Aku pun pamit untuk pergi bekerja. Sudah tidak adalagi Honda Jazz yang biasa kutunggangi. Mobilku sudah aku jual untuk menutupi lagi-lagi hutang yang papa pinjam atas nama Mama. Sekarang aku harus berjalan ke rumah Kafka, untuk pergi berangkat kerja bersama. Kafka yang berkantor di Sudirman harus mengantarku ke Kuningan.

Sebenarnya Kafka juga kasihan. Kafka ini adikku satu-satunya. Kami hanya selisih satu tahun. Kafka sudah berkeluarga tiga tahun lalu. Dia punya satu anak laki-laki namanya Kaif. Juga punya satu istri namanya Safa. Safa seorang ibu rumah tangga.

Keadaan ini juga berdampak ke Kafka. Tabungan Kafka untuk sekolah Kaif juga terpakai untuk masalah ini. Untungnya dulu orang tua ku sempat membelikan Kafka rumah setelah menikah. Untuk aset yang ini aman, karena sudah bukan nama Papa dan tidak bisa diganggu gugat karena sudah jatahnya Kafka. Tidak terbayang jika Kafka dan keluarganya harus merasakan tinggal di rumah kontrakan sepertiku. Kasihan Kaif.

Selain tabungan, mobil Kafka juga ikut terjual. Sekarang dia hanya mengendarai motor. Aku sempat tidak enak, bagaimana pun Kafka sudah berkeluarga. Dia sudah punya tanggungan sendiri dan aku membagi bebanku ke dia. Cuma mau bagaimana lagi. Kalau tidak dibantu Kafka yang ada kami makin sengsara.

Aku mampir sebentar kerumah Kafka melihat Kaif. Dia sedang demam ternyata, makanya jadi rewel.

"Fa, aku nitip Mama ya," ucapku ke Safa.

"Iya kak, beres. Tenang aja."

"Kaif nanti ditemani Uti ya,"ucapku sambil mengelus kepala Kaif.

Biasanya Mama yang datang ke rumah Kafka. Aku yang menyuruh karena rumah Kafka tentu saja lebih nyaman. Dan kasihan Kaif kalau main di rumah kontrakan kami. Alasan aku tidak mau tinggal bersama mereka karena tentu saja aku tidak enak hati masuk dalam keluarga Kafka.

"Daaaah, Ghiang sama Papa jalan dulu ya." Aku dan Kafka berpamitan meninggalkan Kaif yang lemas dalam gendongan Safa.

___***___

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya 3. Kanebo Kering
4
0
Part awal aku bawa kalian kenalan sama tokoh-tokoh yang akan ada disini dulu yaaaa..Happy reading, thank you yang udah mau ikut pindah lapak disini :D
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan