
Assalamu'alaikum..
Setelah sekian lama, saya baru update disini. Maaf ya, belakangan ini saya punya kesibukan lain.
Seperti biasa, setelah baca semoatkan beri vote dan komen sebagai dukungan kalian ya.
Part 21
Flashback
"Kata Papa, Echa gak boleh main jauh-jauh."
"Gak papa Echa, kan ada Gigi sama Sasa."
"Tapi—"
"Udah, gak papa. Katanya Echa mau lihat patung kuda, jadi kita ajak Echa kesini."
Ketiga anak sekolah dasar kelas satu itu berjalan beriringan dengan seragan dan tas yang masih melekat di tubuh mereka, sebenarnya seharusnya mereka pulang lebih awal karena guru ada rapat tapi mereka malah pergi tanpa sepengetahuan orangtua mereka.
"Ehh kalian tahu gak, katanya gedung ini itu angker tahu."
"Gigi tau dari mana?"
"Iya, aku tahu dari Bibi di rumah."
"Sasa gak takut, Sasa gak takut sama setan."
"Gigi juga, kalau Echa gimana?"
"Echa.. Enggak kok, Echa juga gak takut."
"Echa pasti bohong, kita gak percaya."
"Enggak! Echa gak bohong!"
"Echa itu penakut."
"Enggak Gigi! Echa gak takut."
"Udah-udah, ayo cepet katanya mau lihat patung kuda."
"Sasa, Gigi nya jahat."
Alesya kecil memeluk lengan Safna kecil, melihat itu Anggie kecil tak mau kalah dan ikut memeluk tangan Safna dari sisi yang lain.
"Hei kalian!"
Ketiga anak gadis itu menoleh ke belakang, melihat seorang Ibu-Ibu yang tersenyum menatapnya.
"Mau kemana?"
"Kita mau lihat patung kuda."
"Patung kuda? Kalian gak tahu ya, patung kuda kan udah di hancurin sama warga."
"Yahh.. Padahal Echa belum pernah lihat patung kuda."
"Kalian sekolah dimana? Kelas berapa?"
"Kita sekolah di SD Mentari kelas satu, Tante."
"Jauh banget itu? Kalian kesini cuma buat lihat patung kuda?"
"Iya, Tante."
"Yaudah, gimana kalau kalian mampir dulu ke rumah Tante?"
"Kita pulang aja, Tante. Makasih." tolak Safna.
"Kalian pasti capek, nanti Tante kasih kalian minum sama makanan. Oh iya, Tante juga punya cokelat sama permen lho."
"Wahh cokelat, Gigi suka cokelat. Ayo Tante, ke rumah Tante."
"Gigi, Echa harus pulang sekarang."
"Bentar aja Echa, Gigi mau makan cokelat di rumah Tantenya. Sasa juga mau kan?"
"Iya Gi, Sasa juga mau."
"Yaudah, ayo kita ke rumah Tante."
Alesya kecil ikut melangkah pergi mengikuti wanita yang seusia dengan Ibunya itu, ada perasaan tak enak yang dia rasakan karena tak pulang ke rumah.
"Ini rumah Tante?" tanya Anggie.
"Kok jelek?" celetuk Alesya dengan polosnya.
"Iya, karena Tante tinggal sendiri jadi rumahnya jelek. Tante sering kesepian, makanya Tante ajak kalian ke rumah. Ayo masuk."
Alesya menatap rumah yang terbuat dari bilik kayu itu dengan tak suka, rumah ini sangat kecil dan kotor. Alesya yang terbiasa dengan kemewahan dan kebersihan pun enggan untuk masuk, tapi Anggie dan Safna menariknya.
Setibanya di dalam, wanita tua itu menutup pintunya. Alesya mengedarkan pandangannya, merasa aneh melihat rumah yang gelap dan beralas tanah bukan keramik bahkan barang yang ada di dalamnya juga sudah rusak dan kusam.
"Echa mau pulang."
"Kok pulang? Baru juga nyampe, ayo kalian duduk dulu."
Kini tak hanya Alesya yang ketakutan, melainkan Anggie dan Safna juga. Mereka sudah merasakan tak enak melihat sekitar rumah.
"Tante ke dalem dulu ya ambil makanan buat kalian."
Setelah wanita itu pergi memasuki salah satu pintu yang hanya tertutupi sehelai kain, Safna dan Anggie berdiri.
"Kayaknya dia penculik deh." ucap Safna dengan berbisik.
"Iya Sasa, Gigi takut."
"Penculik itu apa, Sasa?"
"Kita harus cepet pergi dari sini." ucap Safna tak menjawab pertanyaan Alesya.
"Tapi pintunya di kunci sama Tante tadi."
"Nah itu, jendelanya kebuka. Kita keluar pake itu aja."
Safna berjalan dengan pelan-pelan menuju jendela yang tingginya sekepala mereka, Anggie membawa sebuah kursi pelastik yang tak lebih tinggi dari lututnya dan meletakkannya di bawah jendela.
"Biar Sasa dulu."
Safna naik ke atas kursi dan naik ke atas jendela, lalu turun dengan cara melompat.
"Awas, Cha. Gigi duluan yang keluar."
Alesya membiarkan Anggie keluar lebih dulu dan membantu Anggie yang kesulitan dengan cara mendorong bokongnya, Anggie pun berhasil keluar.
"Gigi, Sasa. Tolongin Echa."
Alesya yang memiliki postur tubuh mungil dan pendek pun kesulitan untuk naik meski sudah menginjak kursi, Safna dan Anggie pun membantu dengan cara menarik tangan Alesya.
Namun, suara tawa mengerikan dari dalam membuat pegangan Safna dan Anggie terlepas membuat Alesya yang baru saja bisa naik kembali terjatuh.
"Huaa.. Gigi takut.. Sasa ayo kita pulang.."
"Tunggu, Sasa bantuin Echa dulu." Alesya menggerakkan tangannya pada Safna agar anak itu menggapai tangannya kembali.
Tubuh Alesya menegang kala merasakan sebuah tangan menyentuh bahunya, tubuhnya gemetar saat wanita yang membawanya tadi menatapnya dengan tajam.
"Huaaa..." Alesya menangis keras.
"Kalian mau pergi? Sana! Tinggalkan teman kalian atau kalian saya tangkap juga."
Mendengar itu Safna dan Anggie pun berlari meninggalkan rumah kumuh itu, juga meninggalkan Alesya yang menangis menatap dua temannya yang berlari meninggalkannya.
"Kamu lihat sayang, pada akhirnya semua orang akan meninggalkan kamu." bisik wanita itu sembari memeluk erat tubuh mungil Alesya yang menangis.
"Cup.. Cup.. Cup.. Sayang.. Jangan nangis, masih ada Mama."
Alesya meronta agar pelukkan wanita itu terlepas, tapi usahanya gagal. Wanita itu menariknya masuk melewati pintu berlapis kain itu, tangis Alesya semakin kencang melihat ruangan itu lebih buruk dari ruangan yang sebelumnya.
"Lihat, ini kepala kucing."
Tangis Alesya terhenti, tubuhnya gemetar dengan kuat melihat benda yang di tunjuk. Itu benar-benar kepala kucing dan hanya kepalanya saja, bukan mainan karena Alesya bisa melihat darah di tembok kepala kucing itu.
"Nah kalau ini, kepala anjing."
Tak jauh dari kepala kucing tadi, ada sebuah kepala anjing sesuai dengan ucapan wanita gila itu.
"Terus, ini ada ular."
Berbeda dengan keadaan kucing dan anjing yang hanya kepalanya saja, ular itu masih tampak utuh tergantung pada paku tak bergerak sedikit pun.
"Akhirnya kamu berhenti nangis juga, sayang. Ayo sekarang kita ke kamar, waktunya kamu tidur siang."
Dengan langkah yang lemas, tangan Alesya di tarik menuju pintu yang ada di sebelah kanan mereka.
Alesya merasa mual menciun bau busuk yang menyentuh hidungnya setelah mereka tiba di kamar, bahkan ruangan ini lebih pantas di sebut tempat sampah daripada kamar.
"Sini tiduran, Mama temenin kamu."
"Gak mau! Echa mau pulang! Kamu bukan Mama Echa!"
Plak!
"Jangan buat Mama marah sayang, ayo tidur!"
Alesya memegang pipinya yang perih, pertama kalinya dia merasakan sakit karena di pukul karena tak ada yang pernah melakukan ini padanya.
Karena tak ingin di pukul kembali, akhirnya Alesya memilih untuk mengikuti semua yang wanita gila itu perintahkan. Kini dia sudah berbaring dengan kepala yang ada di atas pangkuan wanita itu, kepalanya terys di elus oleh wanita itu.
"Kamu tahu, kita itu gak boleh percaya sama siapapun karena orang lain itu jahat. Jadi, kamu jangan pernah percaya sama orang asing ya sayang, mereka itu cuma perenggut kebahagiaan kamu."
"Lihat kan tadi? Teman-teman kamu tinggalin kamu, padahal kamu masih mau main sama mereka."
"Makanya, mulai sekarang jangan pernah bermain sama siapapun. Sama Mama aja, semua orang itu jahat selain Mama."
"Kalau ada yang jahatin kamu, kamu harus lawan mereka, sakitin mereka sampai mereka kalah. Nanti kamu akan jadi orang yang kuat, kamu berhak sakitin orang yang berpotensi menyakiti kamu."
"Mama mau kamu kuat, bukan dengan orang lain tapi dengan diri kamu sendiri."
"Selalu ingat ucapan Mama, orang asing itu jahat."
...
Selama dua hari Alesya sudah tinggal di rumah gubuk ini, dengan ketakutan dan kerinduan pada keluarganya. Meski begitu Alesya tak menangis lagi, dia sadar jika dia harus kuat agar bisa keluar dari rumah ini.
Harapan jika Anggie dan Safna akan datang membantunya sekedar harapan, karena hingga akhir pun mereka tak pernah memberi tahu orangtuanya tentang keberadaannya.
Setiap hari dirinya di suguhkan oleh pemandangan yang mengerikan, bahkan Alesya tak sanggup untuk melihatnya.
Wanita yang selalu memanggil dirinya dengan Mama itu ternyata wanita gila, bahkan psikopat. Bagaimana bisa seorang manusia memiliki hobi dengan memutilasi hewan, bahkan tanpa rasa bersalah wanita itu memajang kepala hewan yang dia mutilasi pada tembok. Wanita biadab.
Parahnya lagi, wanita itu melakukan aksi itu dengan Alesya yang menyaksikan. Wanita itu memaksa Alesya untuk melihat aksinya.
Awalnya Alesya menangis melihat itu, karena bagaimana pun juga Alesya penyuka hewan terutama kucing meski dia tak memeliharanya. Tapi lama-kelamaan, Alesya mulai terbiasa. Menyaksikan aksi biadab itu dengan biasa, tanpa lagi tangis ataupun takut.
Tinggal di rumah itu, Alesya masih di beri makan dan minum meski yang dimakan hanya nasi dan garam. Setiap hari, Alesya selalu duduk diam saat wanita itu menyisir rambutnya.
Kejadian itu berlangsung selama tiga hari, di hari ketiga Alesya bisa keluar dari rumah itu saat wanita gila itu keluar rumah. Karena pintu rumah terkunci, Alesya memecahkan jendela dan pergi dari rumah itu.
Di perjalanan, Alesya hanya berjalan tanpa arah karena dia tak tahu harus kemana untuk tiba di rumah.
Di sore hari itu, Alesya berjalan dengan waswas memastikan jika wanita gila itu tak menemukannya. Namun, saat dia melewati sebuah kebun, Alesya melihat kumpulan pria dengan senjata di tangan mereka mengelilingi wanita yang tak asing bagi Alesya.
"Sayang! Ini Mama Nak! Tolongin Mama! Mereka mau bunuh Mama!"
Alesya terdiam menatap wanita gila itu yang berteriak memanggilnya, sontak keberadaannya juga di sadari oleh belasan pria berseragam polisi itu.
"Kamu bukan Mama Echa!" balas Alesya ikut berteriak, matanya menatap tajam wanita gila itu.
"Ini Mama sayang!"
Alesya berlari bersembunyi di balik tembok, dia tak mau jika wanita gila itu menangkapnya kembali.
"Echa."
Mendengar namanya terpanggil, Echa pun menoleh ke belakang dan menemukan seorang pemuda yang berdiri di belakangnya dengan senyum manis di bibirnya.
"Kakak siapa?"
"Kakak yang bawa polisi itu buat tangkap wanita itu."
"Echa mau pulang."
"Kamu tahu alamat rumah kamu?" Alesya mengangguk, dia sudah di ajarkan gurunya untuk mengingat alamat rumah.
"Ayo, Kakak antar."
Alesya menerima uluran tangan besar lelaki itu, sebelum melangkah kepalanya menoleh ke belakang. Matanya menangkap dengan jelas wanita itu yang di ringkus polisi, dengan borgol di tangannya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
