Morning Glory

4
0
Deskripsi

Spin-off kisah Sakti dan Kiesa.

Lagi-lagi, setiap kali aku mengobrol cukup intens dengan Kiesa, pasti besok harinya aku bangun dengan menangis. Mimpi yang datang bersamaan dengan air mata yang turun itu hanya bisa bertahan 5 detik saja diingatan. Untungnya, aku biasa bangun sebelum subuh. Sebelum semua teman-teman KKN yang satu kontrakan denganku bangun. Paling-paling kalau ketahuan bangun sambil menangis, aku bisa berkelit dengan bilang habis mimpi dikejar hantu. Toh, semua orang sekarang sudah tau ketakutanku pada hantu atau hal-hal menyeramkan lainnya. Diolok mengenai itu lebih baik daripada diinterogasi tentang kenapa bisa aku menangis karena mimpi absurd.

Aku duduk sebentar mengumpulkan nyawa setelah bangun dari tidur. Berusaha keras mengingat mimpi apa yang aku lihat sampai bisa membuatku menangis. Tapi jujur saja, karena mimpi itu aku jadi mulai memperhatikan semua gerak-geriknya Kiesa. Bertanya-tanya, apa yang mau disampaikan mimpi itu kepadaku soal Kiesa? Sepertinya kami pernah bertemu sebelumnya. Dengan posisiku sebagai bendahara dan Kiesa sebagai sekretaris kelompok, aku jadi lebih mudah untuk mendapat kesempatan mengobrol dengannya.

Setengah 5 adzan subuh berkumandang. Aku pergi ke kamar mandi duluan dan kemudian membangunkan teman-temanku yang sangat sulit dibangunkan dan pasti jawabannya, “Bentar, 5 menit lagi…” Kemudian balik ngorok lagi.

Jam 7 aku hendak mandi, tapi ternyata air di kamar mandi kontrakan tidak menyala. Terpaksalah aku harus mandi di kamar mandi darurat yang ada di dekat kolam ikan lele(tapi aku udah gosok gigi kok sehabis bangun tadi). Menuju ke sana, aku melihat ada Kiesa yang duduk di gazebo(untung udah gosok gigi), sudah sibuk dengan laptopnya. Wajahnya cukup menekuk bingung, hal yang sangat jarang terjadi padanya karena dia selalu membuat imej-nya keren dan dapat diandalkan. Aku benar-benar salut padanya.

“Ada apa?” Tanyaku sambil berjalan mendekatinya, berusaha membantu. Dia menengok. Rambutnya yang dikuncir asal dan wajahnya yang tanpa make-up tetap terlihat menawan. Sebentar, bukan gitu! Maksudnya… Maksudnya aku harus membantunya karena setelah menengok dia bilang, “Oh, Sakti. Ini hotspot hapeku nggak nyambung ke laptop. Padahal aku yakin kuotanya masih banyak.”

To the point seperti biasa.

“Coba sini aku bantu cek…” Aku menawarkan bantuan padanya dan dia segera memberikan laptopnya kepadaku. Aku coba mengoprek bagian pengaturan dan troubleshoot-nya, kemudian hotspotnya berhasil berjalan lagi. Sebenarnya, aku tidak percaya kalau Kiesa setidak tau ini soal laptop karena aku yakin dia bisa segalanya. Tapi mungkin… Dia sedang ada masalah…? Atau kecapekan?

“Kamu dari jam berapa duduk di sini? Udah sarapan belum?”

“Baru tadi jam setengah 7. Sarapan? Belum.” Dia benar-benar fokus dengan apa yang sedang dia kerjakan, sampai tidak sempat menengok ke arahku saat menjawab tadi.

“Sarapan dulu yuk? Aku juga belom sarapan. Mau bareng?”

Sekarang dia akhirnya menjawab, “ayok” sambil menengok ke arahku. “Bawa juga laptopnya. Ntar takut ada yang nyolong.” Aku berniat sedikit bercanda, tapi dia tidak ada merespon sama sekali :(

Akhirnya, kami berangkat ke tukang bubur terdekat. Aku tidak punya rekomendasi bubur yang enak di sini, karena menurutku semuanya enak dan asal mengenyangkan. Kamu mau tau apa Kiesa tim bubur diaduk atau tidak? Jawabannya, dia tim tidak diaduk. Sama sepertiku yang juga tidak suka diaduk buburnya. Sumpah, aku tidak sedang mengada-ngada soal sama-samaan kebiasaan ini biar kelihatan berjodoh…

Kami makan tidak lebih dari 20 menit sudah selesai. Tanpa menonton youtube, tanpa mengobrol. Hanya fokus makan.

Kami kembali lagi ke tempat semula, di gazebo dekat kolam lele. Sebenarnya kamar mandi tinggal jalan beberapa langkah dari gazebo. Tapi entahlah, aku malah lebih memilih duduk menemani Kiesa mengerjakan tugas—yang aku juga belum tau dia mengerjakan tugas apa. Semoga aku tidak bau badan.

"Kamu lagi ngerjain apa, sih?" Aku mencoba berbasa-basi.

"Laporan proker KKN kelompok kita. Dicicil, biar pas tugasnya udah beres semua bisa tinggal dikasih ke Bu Sari." Kiesa mendadak menengok ke arahku. "Kita kan tinggal 3 hari lagi di sini."

3 hari lagi... Benar juga.

Dan hubunganku masih begini-begini saja dengan Kiesa?

Dasar payah.

Selama… mungkin sekitar 2 menit aku melamun. Tenggelam dalam pikiranku sendiri, sampai aku tidak sadar sudah bergumam, “Berarti sebentar lagi aku berpisah sama kamu, dong…”

“Iya. Bener.”

Dia mendengar gumamanku?!

“Kamu nggak ada yang mau disampein ke aku kah? Soalnya aku ada.”

Aku memalingkan pandangan, lumayan cepat. Sedikit demi sedikit berusaha menatap Kiesa lagi. Aku yakin telingaku sudah merah sekarang. Soalnya rasanya panas sekali dibagian situ. “M-maksudnya…?”

Kiesa mengembuskan napas sambil sedikit tertawa. “Aku kira aku bisa kayak cewek pada umumnya yang nunggu dapet confess dari seorang cowok… Hmm, ternyata aku gak bisa kalau cuma nunggu doang.” Kiesa menutup laptopnya. “Cukup yah basa-basinya… Jadi, kayaknya aku ada rasa sama kamu. Aku gak tau kalau kamu gimana sebaliknya, aku cuma pengen kamu tau aja.”

Aku membelalakkan mataku. Aku ditembak sama cewek yang aku suka?! “Hah???? Beneran?!” Semoga aku tidak terlalu kelihatan terlalu excited. Tapi nyatanya aku pasti kelihatan excited parah.

“Berarti kamu juga sama ya kalo gitu.” Aku mengangguk pelan dengan mata yang tidak fokus ke mata Kiesa karena malu. “Kamu tau kan… Aku gak suka sama ketidakpastian. Dan aku juga gak pengen orang lain dapet ketidakpastian itu dari aku. Boleh aku ngomong jujur?”

“Jujur soal apa?”

“Soal kenyataan kalau kita gak bakal bisa bersama.”

Di sana, Kiesa tetap memberiku senyumnya. Walau agak luntur. Sedikit. “Kenapa… Gitu?” Aku baru ingat soal satu hal, “Oh… Itu, ya…”

“Jujur aja ya, Sak. Kamu itu kepribadiannya bener-bener bertolak belakang sama aku. Tapi kita sama-sama dipandang gak normal sama masyarakat kita. Dan itu yang bikin aku ngerasa… Kita bakal saling mengerti.”

Saling mengerti.

Emang bener. Aku juga merasa gitu. Dipandang gak normal juga, aku merasa gitu. Tapi, setiap aku bareng Kiesa seperti sekarang, aku merasa bisa jadi diri sendiri.

Jujur, aku lelah harus pura-pura kuat hanya karena aku laki-laki. Sebaliknya Kiesa adalah perempuan yang keren dan kuat. Sangat optimis dan aktif, tapi dia disuruh untuk selalu pasif dan main aman hanya karena dia perempuan. Tanpa sengaja, kami berdua menemukan kenyamanan dari masing-masing.

“Kenapa kita gak coba aja dulu… Jadian? Kali aja… Bisa…”

“Kamu mau? Berani dipandang lebih aneh lagi?” Kiesa menatapku intens. “Pacaran beda agama. Apa kamu berani? Berani ngelawan orang-orang, berani ngelawan Tuhanmu?”

Sedikit lagi aku hampir berpikir, Iya, gak apa-apa. Ayo kita lawan semuanya sama-sama tapi itu bodoh. Itu sangatlah tolol.

Berani melawan Tuhan? Sok jago.

Selama ini saja aku selalu minta tolong Tuhan agar bisa mendapatkan yang aku mau. Sekarang mau melawan?

“Paham… Tapi… Ketemu orang yang kayak kamu bakal susah…”

“Ya. Sama. Aku juga mikir gitu…” Kiesa yang sambil menunduk, berbicara dengan suara yang makin lama makin pelan. Selama ini, dia selalu menjadi orang yang percaya diri dan keras. “Rasanya aku bisa ngeluarin semua unek-unek aku kalau ngobrol sama kamu. Selama beberapa minggu ke belakang juga, kayaknya aku kadang gak sengaja ngeluarin perasaanku, yang padahal biasanya gak bisa aku percaya buat diomongin ke siapapun. Kamu selalu pengertian, hangat, sabar dan bisa milih kata yang tepat buat diucapin… Beda sama aku yang…”

Di sini, aku bisa melihat Kiesa menyeka matanya yang terhalang rambutnya itu. “…maaf. Aku izin ngancurin imejku dulu, ya… Kali ini aja, kok…”

“Iya, gakpapa… Ayo kita nangis bareng-bareng dulu buat sekarang... Hahaha…” Hiburku, yang sebenarnya juga sama-sama butuh dihibur.

“Sebenernya capek banget jaga imej yang kayak gitu, ya... Tapi kalo aku gak gitu, bisa-bisa aku diremehin orang lain.” Kiesa tertawa getir. “Seru juga nangis bareng-bareng gini. Apalagi sama kamu, kamu gak nge-judge dan malah ngajak nangis bareng-bareng.”

Aku menyeka air mataku dengan handuk yang sedari tadi nangkring dibahuku seperti supir angkot. “Nangis kan normal buat manusia. Aku juga sering nangis sendirian di kamar hehehe.” Malu sebenarnya bilang begini, tapi ini memang benar. Toh, nangis kan emang normal.

“Tapi jangan bilang-bilang yang lain aku nangis, ya… Ntar wibawaku ilang.” Kiesa kali ini terlihat tersenyum dengan lega. Mungkin karena dia habis nangis? Atau lega habis confess yang padahal berakhir jadi sekadar info saja?

Ntahlah. Yang penting dia senang.

“Iya. Aku gak bakal kasih tau siapa-siapa, biar aku bisa merasa spesial karena punya rahasia berdua doang sama kamu.” Iya, begini saja juga gak apa-apa. “Kalau gitu, status kita apa dong sekarang?” Tanyaku iseng.

“Temen curhat? Yang pasti sih temen satu kelompok KKN.”

“Kalau aku maunya sahabatan, boleh gak?”

“Boleh. Tapi sahabatannya backstreet aja, ya.”

“Kok gitu sih…”

“Nggak. Bercanda.”

Aku masih belum paham apa maksudnya mimpi yang datang tiap aku mengobrol intens dengan Kiesa itu. Tapi mungkin untuk sekarang, mimpi itu mau memberitau kalau Kiesa hanya bisa jadi mimpi saja. Begitu saja sepertinya yang bisa aku tafsirkan.

Apa bisa aku bertahan dekat-dekat dengan Kiesa dengan status yang hanya jadi sahabatnya saja? Aku tidak tau. Mungkin lama-lama, aku juga akan bosan dan bisa menemukan yang baru? Aku juga masih belum tau.

Tapi yang lebih penting untuk sekarang, pagi ini aku bisa melihat senyum Kiesa yang merekah seperti bunga kesukaannya yang juga mekar di pagi hari. Masa depan, nanti saja dipikirkannya.

— Fin

by: Shabrinakatyaa

GINKGO spin-off, Sakti x Kiesa

[1.463 words]

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan