Dipuja Setan bab 3

0
0
Deskripsi

Seluruh mahkluk hidup dianugerahi dengan cinta. Tapi bagaimana kalau ada yang menyalahi aturan? Bukan mahkluk hidup, tapi ngeyel ingin dicintai?

Kisah dimulai dari seorang duda yang pindah rumah. Rumah yang baru dibelinya adalah rumah lama yang berhantu. Hantunya menampakkan diri tiap hari bukan untuk menakuti, tapi untuk mencintai.

Dia yang Mengetahui Segalanya

Dean merasakan dingin ketika memasuki rumah Bobby. Ada hawa-hawa yang menurutnya beda dengan suhu udara dingin yang biasanya. Kalaupun sekarang memang musim dingin tak masalah, tapi kali ini adalah musim panas. Dalaman rumah pun seharusnya hangat. Selain itu, bau harum vanila terus menguar sejak pintu rumah dibuka sampai sekarang ketika dia duduk di sofa ruang tamu.

Saat Bobby meninggalkannya untuk mengambil berkas pekerjaan di kamar, Dean terpaksa sendirian di ruang tamu. Dia beranjak dari duduknya sekadar melihat ke sekeliling. Berjalan dari satu benda ke benda lain dan mengamatinya dengan saksama. Semuanya terlihat biasa saja kecuali satu lukisan besar yang dipajang di dinding ruangan sebelah. Lukisan itu asing. Menggambarkan bentuk hitam seperti siluet memakai mahkota. Entah lelaki atau perempuan, bentuk tubuh itu duduk di singgasana perak dengan ukiran emas, kontras dengan sosok hitam yang mendudukinya.

Tiba-tiba hawa dingin menerpa wajah Dean dan aroma vanila itu kembali menusuk hitungnya. Dean terkejut ketika mendapati bayangan hitam sama dengan yang ada di lukisan itu tertangkap oleh matanya. Bayangan hitam bergerak, melewati dinding-dingin kemudian masuk ke suatu ruang nun jauh dari tempatnya berdiri. Kemudian menghilang begitu saja. Bulu kuduk Dean langsung berdiri karena waspada.

"Dean," Bobby heran melihat Dean menjengit saat dipanggilnya. "Ada apa?" Kemudian dia celingak-celinguk, melihat keadaan sekeliling untuk memastikan apa yang dilihat Dean.

"Tidak ada apa-apa. Aku tertarik dengan lukisan ini, makanya aku berjalan kemari."

Bobby mengangguk-angguk paham, kemudian mengajak Dean kembali duduk di sofa ruang tamu untuk membahas bisnis lagi.

Bisnis sudah dibicarakan, berkas pekerjaan sudah dipindahtangankan pada Dean, tapi dia seperti tak puas. Bukan tentang pekerjaan, tapi tentang rumah Bobby.

"Bob, sejak kapan kau punya lukisan itu?" tanya Dean masih mengamati lukisan tapi tak berani menunjuknya.

"Itu sudah ada sebelum aku membeli rumah ini."

"Sepertinya lukisan kuno."

Bobby membenarkan. "Lukisan itu tak bagus. Nilai seninya kurang tinggi dan sedikit menyeramkan. Sebenarnya aku berniat menjualnya dan menggantinya dengan lukisan yang lebih bagus. Tapi kalau kau tertarik, kau bisa mengambilnya. Gratis."

"Tidak perlu. Aku tidak begitu suka lukisan," tolak Dean cepat.

Dean setuju kalau lukisan itu tidak begitu bernilai, tapi lebih setuju lagi bahwa lukisan itu menyeramkan. Lukisan biasa, tapi punya kekuatan magis. Seperti kata Bobby tadi, lukisan itu ada sebelum Bobby membeli rumah ini, sedangkan tanah dan bangunan ini berdiri jauh sebelum zaman dia ada. Memang bangunannya baru, tapi perabot dan sebagian ruangan ada yang masih mempertahankan peninggalan kala itu. Kalau ternyata lukisan itu ada penunggunya, Dean bisa dihantui terus menerus kalau sampai berani membawanya pulang.

"Eh Bobby, rumahmu ini jarang dibuka gorden-gordennya, ya? Dari yang aku lihat, cuma gorden ruang tamu ini saja yang dibuka. Belum lagi udara ruangannya yang dingin. Ini kan musim panas, seharusnya kau biarkan udara hangat masuk ruangan."

Bobby mengamati jendela-jendela rumahnya. Sebagian besar gordennya memang belum dibuka, tapi bukan berarti jarang. Setiap hari dibuka, hari ini tidak dibuka mungkin karena Arwen sedang malas.

"Selama aku masuk rumahmu tadi sampai saat ini, aku terus mencium bau harum vanila. Tadi pun aku juga melihat bayangan hitam lewat, sekelebatan cepat, masuk ruangan di sudut sana!" Dean menunjuk dengan dagunya. "Jujur ya Bob, rumahmu ini angker. Bagaimana menurutmu?" tanyanya dengan suara yang pelan, seakan tak mau penghuni tak kasat mata di rumah ini mendengar pembicaraannya.

"Kau bercanda?"

Dean menggeleng.

Sambil terkekeh, Bobby menjelaskan. "Dalaman rumahku dingin karena jendela dan gorden belum dibuka oleh istriku." Kemudian dia menunjuk mangkuk-mangkuk kaca yang diletakkan di meja-meja kecil di setiap sudut. "Itu yang seperti buncis, tapi kecil dan kering, vanila. Istriku suka hal-hal merepotkan seperti itu, tapi baunya enak, kan?"

Dean mendengus sebentar. "Tapi bayangan tadi?"

Bobby menghentikan pertanyaan Dean, kemudian menoleh ke arah yang tadi ditunjuknya. "Arwen!" teriaknya ke arah itu. "Arwen itu istriku," terangnya pada Dean.

Dari dapur, tempat yang dimasuki bayangan hitam tadi keluar sosok cantik berbaju tidur warna hitam hampir transparan. Rambut panjangnya digelung asal, kemudian diikat di belakang kepalanya.

"Apa?" tanya Arwen dengan suara dibuat kesal.

"Kau belum mandi? Kau bilang mau mengajakku keluar?"

"Tidak jadi. Kita di rumah saja, aku capek."

Bobby beralih sebentar pada Dean. "Itu istriku. Sebenarnya kita baru bangun lima belas menit sebelum kau datang tadi. Bahkan kita cuma minum cokelat panas, kemudian kembali ke kamar. Semalam kita begadang nonton film." Bobby kembali melihat Arwen. "Wen, ini temanku, Dean. Dia bergabung di perusahaan kita sejak tiga bulan lalu."

"Hai, Arwen!" sapa Dean ragu. Untungnya sudah tidak takut lagi setelah yang dilihatnya tadi tidak seperti perkiraannya.

"Aku malas buat sarapan, tapi aku mau membuat minuman. Kalian mau minum apa?"

"Kopi." Bobby beralih ke Dean. "Kau mau apa, Dean?"

"Tidak usah. Aku harus segera pulang, ada janji dengan teman."

Bobby menahan Dean agar berada di rumahnya sedikit lebih lama, tapi Dean tak mau. Sebenarnya juga tidak benar kalau ada janji dengan teman, tapi karena tadi sempat mengatakan yang tidak-tidak tentang rumah Bobby, dia jadi tak enak hati. Setelah berjanji lain kali akan datang lagi, dia pamit pulang.
.
.
.
Arwen terpaksa muncul mendadak untuk memeriksa ponsel Bobby saat ponsel pintar itu terus berdering. Bukan merasa risi dengan deringan terus menerus itu, bukan juga karena dia mau berbaik hati mengangkatkan telepon ketika Bobby masih berada di kamar mandi, tapi Arwen merasakan ketidaksukaan yang amat besar dari peneleponnya.

Sekali mendekat Arwen langsung tahu siapa peneleponnya. Puri, jelas itu nama seorang wanita.

Arwen meniupnya dari jauh, telepon tersambung dengan loudspeaker on.

"Bob, kata Marvin, kau akan hadir ke pestanya. Itu benar, kan?"

"Pesta apa?" Arwen tidak menekan pita suaranya, mengeluarkan suara dengan nada sadis.

“Eh, ini siapa? Bukankah ini nomor Bobby, kenapa suaranya jadi perempuan?"

"Tidak boleh istri mengangkat telepon suaminya?"

“Sejak kapan Bobby punya istri?"

Terakhir kali dia mendengar kabar Bobby, tidak disebutkan kalau teman Marvin itu menikah. Puri yang kala itu masih ingusan sangat menyukai Bobby. Dia patah hati setelah melihat lelaki idamannya menikah. Dia memutuskan pulang ke kampung halaman, lalu tinggal dengan kakek-neneknya.

Lalu rasa suka itu bersemi kembali ketika mendengar perceraian Bobby. Puri sampai berencana kembali ke luar negeri, tapi batal karena Bobby mengabakan akan pulang. Setelah beberapa bulan Bobby tinggal di sini, Puri masih belum bisa menemuinya. Rencananya dia akan menarik perhatian Bobby di pesta yang diadakan Marvin nanti. Tadinya sudah senang, tapi sekarang sedih lagi mendengar Bobby menikah.

Malam pesta nanti Puri akan menggunakan cara agak licik untuk menggaet Bobby. Karena selama ini Bobby hanya tertarik dengan wanita usia matang, jadi mau tak mau Puri yang usianya terpaut hampir 10 tahun harus bertindak. Tapi sekarang, rencana tinggal rencana karena Bobby sudah menikah. Bagaimanapun juga Puri tidak akan merebut suami orang, kan?

Puri menghela napas panjang. Membuang kesedihan yang bertumpuk-tumpuk di hatinya. "Marvin tidak bilang kalau Bobby sudah menikah." Lalu suaranya melemah.

"Memangnya siapa kau sampai harus tahu pernikahan Bobby?"

"Aku … Puri …,"

"Kau anak ingusan yang dulu menyukai Bobby?" Arwen memang tahu siapa Puri walau dia tidak pernah tinggal di luar negeri. "Mau berencana merebutnya dariku?" Dia hantu. Hantu yang sakti mandraguna tanpa ada tandingannya. "Aku tahu kau punya rencana busuk. Sampai kau melaksanakan rencana itu, siap-siap juga untuk menerima balasan dariku!" ancamnya.

“Aku tidak bermaksud begitu," sangkal Puri. Tadinya iya, tapi sekarang sudah tidak lagi. Dia tidak berani merusak rumah tangga orang. "Aku tidak …,"

Saat itu Bobby keluar dari kamar mandi. Mendapati istrinya tengah bicara di telepon, telepon miliknya, Bobby penasaran siapa yang diajaknya bicara. Arwen tidak suka ikut campur urusan Bobby, kecuali kalau urusan itu nantinya mengancam hubungan mereka. Dan sekarang Arwen tengah mengangkat teleponnya, berarti sesuatu atau seseorang yang diajaknya bicara memiliki kans ke arah sana.

Arwen adalah hantu pencemburu. Bobby hafal soal itu.

"Siapa yang akan merusak rumah tangga kita?" celetuknya sambil berjalan ke gantungan, tempat baju yang akan digunakannya, disiapkan oleh Arwen. "Perlu kau ingat bahwa siapa pun yang berniat merebutku darimu tidak akan pernah berhasil." Dia meraih baju itu, memakainya mulai dari celana jins-nya, kemudian kaos Hallo New York yang dibawanya dari luar negeri. "Aku tidak akan tertarik dengan siapa pun selama aku masih punya kau!"

Arwen nyengir lebar, bangga.

"Sepertinya kau dengar Bobby barusan bilang apa!" Dia bicara pada Puri di telepon. "Bobby tak akan tertarik dengan siapa pun selama masih ada aku. Dan aku bisa bertahan sampai berabad-abad lamanya!" tambahnya. Sayangnya Bobby tidak mungkin bisa bertahan walau hanya seabad. Jarang sekali ada manusia yang bisa hidup lebih dari seratus tahun.

"Kau bicara dengan siapa?"

"Mantan penggemarmu." Arwen mengambil lalu memberikan ponsel itu pada Bobby. "Tadinya dia berniat merebutmu, tapi setelah tahu kau menikah denganku, sepertinya niatnya luntur."

Arwen tertawa pelan. Sukses berperan jadi hantu jahat kali ini.

Eh, tapi dia selalu jahat kalau menyangkut Bobby.

“Bob, aku tidak bermaksud merebutmu dari istrimu. Sumpah!" Puri bicara setelah Bobby mengambil alih telepon. "Aku kan hanya ingin tahu kau datang ke pesta Marvin atau tidak."

Loudspeaker-nya sudah dimatikan oleh Bobby. Telepon itu dipegang langsung dan ditempelkan di telinga Bobby, tapi Arwen, si telinga tajam, tentu dengar kalimat apa saja yang dilontarkan Puri untuk membela diri.

"Kau berencana memabukkan suamiku, gadis ingusan. Kau pikir aku tak bisa membaca isi pikiranmu meski tak berada di dekatmu?" celetuk Arwen. Cukup keras untuk ditangkap pendengaran Puri di ujung telepon. "Kau hanya perlu tahu siapa aku sebenarnya untuk memupuskan rasa sukamu pada suamiku!"

"Arwen …!" tegur Bobby.

Bobby takut Arwen menakuti Puri seperti dia menakuti semua orang yang menurutnya mengganggu. Lagi pula tak baik juga kalau sampai ada orang tahu Bobby berhubungan dengan hantu. Apalagi kalau sampai ada pertanyaan 'apa enaknya menikah dengan hantu?'

Sebelum bertemu Arwen, hantu adalah sesuatu yang tak pernah dianggap ada oleh Bobby. Walau kata orang yang pernah melihat hantu, hantu sangat menakutkan, Bobby tidak pernah takut. Namun, entah kenapa yang awalnya tidak takut, Bobby takut pada Arwen. Takut hantu satu itu menakuti orang-orang terdekatnya. Takut Arwen mencelakai orang-orang yang tak tahu apa-apa. Takut juga kalau Arwen menyakiti orang lain hanya karena cemburu terhadapnya.

Maka dari itu, Bobby main aman. Sebelum menemukan wanita yang tepat untuk dititipi benihnya, mengandung, dan melahirkan anaknya, dia mau setia pada Arwen. Toh, Arwen tidak ada matinya. Mau apa-apa tinggal petik jari dan semuanya ada. Rumah tidak pernah kotor, makanan siap tepat waktu, dan ranjang selalu hangat. Eh, bagian ini agak ambigu. Ranjangnya selalu hangat, tapi pasangan tidurnya tetap dingin. Meski begitu, tetap saja Bobby suka makhluk seperti Arwen.

Lalu apa enaknya menikah dengan hantu?

Tidak ada enaknya, mengingat hantu itu makhluk yang menakutkan. Namun, menurut Bobby menikahi hantu itu serba enak, terutama di bagian ranjang hangat, pasangan yang bisa berubah-ubah bentuk, dan tidak pernah lelah. Agak tidak masuk akal memang, tapi itulah yang dirasakan Bobby.

"Itu sebelum aku tahu kau menikah, Bob!" dalihnya.

"Aku tahu." Bobby meluruskan. "Jangan diambil hati, istriku hanya bercanda!" Dia mengerling pada Arwen. Mengabakan akan setia meski siapa pun menggodanya. "Dia bukan benar-benar cenayang seperti yang kau bayangkan," tambahnya. "Aku berencana datang ke pesta Marvin, tapi lihat nanti kalau aku benar-benar tak ada kesibukan!"

Pembicaraan dengan Puri berakhir lebih cepat karena wanita itu berdalih punya urusan. Itu karena Arwen. Setiap Puri mengatakan sesuatu, Arwen selalu menimpalinya dengan sinis. Puri pasti merasa tidak enak, kemudian segera mengakhiri teleponnya.

***

"Marvin mengadakan pesta apa?"

Bobby menyisir rambutnya, menambahkan pomade agar rambut itu bisa ditata lebih rapi. "Perayaan untuk produknya yang Go Internasional. Aku berhasil memasarkannya sampai ke seluruh Asia." Dan Marvin mulai menikmati hasilnya baru-baru ini. Makanya dia mengadakan pesta perayaan.

"Kapan?

"Lusa."

Dia sudah menyemprotkan parfum ke tubuhnya, tapi sekali lagi dia menyemprotkan parfum ke bajunya. Bobby selesai, berpaling dari kaca rias ke arah Arwen. Istrinya itu sedang merebah di atas ranjang. Tidak benar-benar merebah karena hantu yang sedang berwujud wanita rebel berambut pendek itu tengah mengapung di udara, di atas ranjang.

"Kau tidak takut dengan salip?"

"Salip apa?"

Bobby membuat tanda plus di udara kosong. Arwen segera tahu dan mengangguk-angguk paham. "Marvin bukan orang yang taat agama, tapi dia maniak benda-benda yang berhubungan dengan agama. Dia memasang banyak salip di rumahnya." Arwen mencebik, mencemooh. "Kalau kau tidak takut, ikutlah aku ke pestanya!"

"Manusia sudah bertransformasi jadi lebih canggih, hantu pun juga." Arwen memiringkan tubuh menghadap Bobby yang sedang menunggunya. "Zaman sekarang tidak ada lagi hantu yang takut dengan benda-benda seperti itu. Bahkan doa-doa pun tidak begitu manjur lagi. Setiap hantu yang ada di dunia ini memiliki maksud dan tujuan. Kalau mereka belum kembali ke hadapan Tuhan, berarti masih punya urusan yang belum terselesaikan. Seperti aku!" tunjuknya pada diri sendiri. "Aku tidak akan hilang sebelum puas hidup bahagia denganmu."

Berarti Arwen bisa hilang, pikir Bobby. Kalau Arwen sudah puas berbahagia dengannya, dia akan menghilang. Kembali ke tangan Tuhan yang menciptakannya. Tapi kapan Arwen puas dengannya? Satu-dua tahun? Atau sepuluh-dua puluh tahun?

"Benda pengusir hantu dan doa-doa tidak ada gunanya lagi sekarang,” tambah Arwen.

"Kau bilang tadi kau akan hilang setelah puas hidup bahagia denganku. Itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat, kan?"

Bobby bahagia sekaligus was-was. Kalau dalam beberapa tahun ke depan Arwen puas lalu menghilang, Bobby bisa mendapatkan wanita betulan untuk dinikahinya. Tetapi kalau dalam beberapa bulan ke depan Arwen menghilang, Bobby yang tidak puas. Selain belum menemukan wanita yang tepat untuk dinikahi, tentu saja dia masih belum bosan dengan Arwen. Masalahnya, Arwen itu paket lengkap. Bobby tak mungkin bosan dengannya seperti dia bosan pada mantan istrinya dulu, seperti dia bosan pada mantan-mantan kekasihnya dulu.

Arwen menggeleng. "Aku tidak tahu. Prakiraan aku akan cukup puas denganmu setelah bersama sekitar satu-dua abad lagi."

Agaknya rencana Bobby buyar. Kembali ke rencana awal saja. Cari wanita yang mau mengandung dan melahirkan anak, biar Arwen yang mengasuhnya. Tidak usah menikah dengan wanita betulan, yang jejadian saja sudah cukup untuknya.

"Tetapi kau tidak bisa hidup selama itu, jadi aku akan menunggu reinkarnasimu muncul lagi dan lagi."

Kalau menunggu satu Bobby saja butuh waktu seratus tahun lebih, Arwen harus tinggal di dunia beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun untuk puas bahagia dengan Bobby. Untungnya menunggu tidak jadi masalah, Arwen cukup sabar sebagai hantu.

"Kau mau ke mana sekarang?"

"Ohhh, aku mau bertemu Dean. Ada hal yang ingin dia bicarakan denganku." Bobby mengeluhkan hal ini. Dean tak mau lagi datang ke rumah setelah kejadian tempo hari. Meski Bobby dan Arwen sudah meyakinkan kalau tak ada apa-apa, Dean masih merasa ada yang tidak beres dengan rumahnya. "Dia membuatku repot saja. Aku capek malam ini, tapi Dean tak mau datang ke rumah."

Arwen tahu Bobby capek, dia juga tahu bagaimana cara menghilangkan capeknya Bobby. Kalau Dean tak mau datang ke rumahnya, ya dia harus menunggu sampai Arwen selesai mengembalikan semangatnya Bobby.

Segera mengubah suasana. Mengubah diri jadi Arwen si cantik dengan dada besar. Sudah merebah di atas ranjang, di bawah selimut. Bobby sampai bisa menebak kalau istrinya itu sedang tak memakai apa pun di baliknya.

"Kau berencana menghalangi niatku bertemu Dean?"

Arwen menggeleng. "Hanya memundurkan waktunya. Dia bisa menunggu, kan?"

"Kukira kau benar!" Jadi tak ada gunakan berdandan setelah mandi kalau akhirnya Arwen menawarkan diri. Bobby harus memereteli bajunya lagi sekarang. "Tubuh itu sudah kau gunakan empat kali dalam sebulan ini." Ralat, tubuh yang ditunjukkan Arwen tapi Bobby yang menggunakannya. "Berubahlah seperti dirimu yang tadi. Aku rindu bentuk yang itu!" pintanya sambil menunjuk, ambigu. Entah ke mana telunjuknya itu mengarah.

Arwen menggoyangkan tubuhnya, properti wanita cantik lenyap digantikan bentuk biasa. Wanita rebel yang tubuhnya dipuja Bobby belakangan ini. Pernah sekali Bobby bilang kulit kecokelatan dan pucat milik Arwen mengganggu, tapi Bobby menutup mulutnya setelah mulai tergila-gila dengannya.

Dia tidak lagi mengeluhkan apa pun. Seperti sekarang ini, dia langsung meloncat ke atas ranjang setelah selesai menelanjangi diri. Mencium istrinya dan memulai adegan mesumnya.

***

"Kau bau!"

Bobby mencium tubuhnya sendiri. "Sedikit," belanya.

Agak hangover, sisa semalam. Dia kembali merebahkan kepalanya di sandaran kursi mobil Marvin. Karena semalam Bobby mabuk berat di pesta, dia tak bisa pulang. Entah menginap di mana, tahu-tahu pagi ini sudah ada di depan pintu rumah Marvin minta diantar pulang.

"Kau yakin tidak mau mandi dulu di rumahku? Kita masih setengah jalan kalau mau berbalik arah."

Sebagai teman baik, Marvin tidak mau Bobby punya masalah rumah tangga. Tentu saja bau yang sekarang menguar dari tubuh temannya itu, satu dari sekian banyak hal yang bisa merusak keharmonisan rumah tangga Bobby. Marvin kenal Arwen walau tidak begitu akrab. Wanita seperti Arwen tentu akan marah kalau sampai mengendus bau Bobby yang sekarang ini. Bisa terjadi perang nantinya, terjadi perceraian kalau sampai parah. Marvin tak mau itu terjadi lagi pada temannya.

"Aku yakin Arwen tak akan suka ini."

Bobby mengendus tubuhnya lagi. Kali ini lebih lama, lebih teliti. Namun, dia tak mendapati bau busuk yang dikatakan Marvin. Indra penciumannya sedikit menurun karena alkohol yang dia tenggak secara berlebihan semalam. "Cuma sedikit!" dalihnya lagi. "Semalam kecelakaan. Aku tak tahu tidur dengan siapa."

Bukan bau alkohol atau rokok, tapi bau sisa percintaan.

"Arwen akan tahu." Marvin menggeleng prihatin. Punya istri cantik, Bobby malah tidur dengan wanita lain. Meski mengaku tidak tahu tidur dengan siapa, setidaknya Bobby menyembunyikannya dari Arwen. Bobby malah berniat menunjukkannya. "Arwen pasti akan marah."

"Disembunyikan pun dia tetap akan tahu. Lebih baik begini saja."

Bobby menggelengkan kepala berkali-kali karena habis akal. Dia salah. Dia mabuk. Dan dia meniduri orang. Tapi sumpah demi apa pun, Bobby tak tahu siapa yang ditidurinya. Terakhir kali yang dia ingat, dia bicara dengan Puri, tapi tidak tahu Puri atau wanita lain yang pergi ke hotel bersamanya.

"Dia memang akan marah, tapi tidak akan meninggalkanku," katanya, sangat percaya diri.

Paling akan dapat ancaman dari Arwen. Tidak dapat perhatian Arwen lagi dalam jangka waktu tertentu, tapi akan kembali bersama karena Bobby percaya kalau Arwen sangat menyukainya. Buktinya rela menunggunya berpuluh-puluh tahun lamanya.

"Kalau kau yakin begitu, ya sudah."

Marvin angkat tangan. Mengkhawatirkan rumah tangga Bobby memang tak ada gunanya. Yang dikhawatirkan saja sudah sangat percaya diri kalau rumah tangganya akan baik-baik saja, jadi Marvin menyerah untuk ikut campur. Kalau terjadi apa-apa, Marvin akan tepuk tangan paling keras saja nanti.

"Kemarin Puri menanyakan soal istrimu." Marvin mengganti topik. Meski Bobby memejamkan mata, Marvin tahu temannya itu mendengarnya. "Dua kali dia kau buat patah hati. Kali ini dia mengaku benar-benar akan move on darimu."

"Puri?"

Bobby ingat lamat-lamat wanita itu agak kikuk saat bicara dengannya. Bahkan langsung menjauh setelah melihat Bobby mulai minum-minum. Namun, Bobby patut curiga kalau wanita itu pura-pura menjauh padahal ingin mendekatinya. Seperti kata Arwen tempo hari, Puri punya rencana untuk merebutnya dari Arwen.

"Puri ada di mana semalam?"

"Kau mengira Puri yang tidur denganmu karena dia wanita terakhir yang bicara denganmu?"

Bobby mengangguk lemah. Yakin, tapi tidak yakin.

"Dia ada di rumahku semalaman. Dia mengaku takut dekat-dekat denganmu setelah diancam Arwen." Marvin tidak tahu kapan sepupunya itu bicara dengan Arwen, tapi yakin kalau memang diancam.

"Arwen memang mengancamnya."

"Istrimu menakutkan seperti itu, kau masih berbuat yang tidak-tidak."

Bobby menggeleng. "Ini di luar kehendakku," dalihnya lagi. "Kita lihat saja nanti!"

Iya, lihat saja nanti. Marvin akan menunggu.

"Kalau terjadi apa-apa, aku tak akan menolongmu."

Sampai rumah, mereka mendapati telepon rumah Bobby berdering. Marvin menolong Bobby mengangkatnya dan suara Arwen ada di ujung telepon. Setelah mendengar Arwen bicara dengan nada marah, Marvin segera menyerahkan telepon itu pada Bobby. Dari telepon itu mereka mendapati kenyataan bahwa Arwen sudah tahu apa yang dilakukan Bobby semalaman. Arwen marah bukan main dan mengaku tak akan muncul di rumah lagi. Tidak bilang sampai kapan dia akan menghilang, tapi keputusan Arwen barusan langsung membuat Bobby dan Marvin terkejut.

Marvin tak tahu dari mana Arwen mengetahui hal itu, tapi Bobby jelas tahu.

"Arwen tahu kau tidur dengan wanita lain?" Dia bingung dari mana istri Bobby tahu? "Dia pergi ke mana? Rumah orang tuanya?"

Bobby menggeleng lemah. Kepalanya sakit dan Arwen membuatnya lebih sakit.

"Diamkan sehari, besok cari dia lalu minta maaflah!"

"Aku tak akan bisa menemukannya!" katanya dengan suara lemah sekali. "Arwen tak akan ada di mana pun. Keluarga atau teman-temannya pun tak akan tahu keberadaannya."

"Astaga!" Marvin menepuk jidatnya. "Kau masih bisa berkata sesantai ini melihat istrimu kabur dari rumah?"

"Aku tidak sedang santai. Kepalaku sakit bukan main!" pekik Bobby.

"Lalu bagaimana kau bisa membuatnya kembali ke rumah?"

"Aku tidak tahu!"

"Astaga!"

Marvin ikut pusing sekarang. Bukan masalahnya, bukan istrinya, tapi melihat kejadian seperti ini hatinya ikutan sakit. Dia ikutan sedih. Kalau dia jadi Bobby, dia akan mencari Arwen sampai dapat. Lalu minta maaf, sujud sampai gulung-gulung sekalian. Tapi Marvin tahu, dikhianati itu sakit karena dia pernah punya pengalaman menghianati, kemudian dikhianati balik. Arwen berhak untuk tidak memaafkan Bobby, bahkan membalas dengan menghajarnya habis-habisan pun dihalalkan harusnya.

***

Tiap minggu selama tiga bulan, Marvin datang ke rumah Bobby. Temannya itu kalau di luar bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa, kalau di rumah lemah lesu seperti kehilangan semangat hidup. Ya, Arwen memang semangat hidup Bobby untuk saat ini. Dan semangat hidupnya tidak muncul-muncul lagi sejak hari itu.

Setahu Marvin, Bobby tidak pernah seperti ini saat ditinggalkan wanitanya. Seminggu setelah bercerai dari istri pertamanya, Bobby malah sudah pergi berpesta dengan wanita lain. Marvin sering dengar cerita-cerita itu dari teman-temannya yang masih tinggal di sana. Kata mereka, Bobby mudah bosan dengan pasangannya. Tapi kali ini beda. Agaknya Bobby telah jatuh cinta betulan dengan Arwen.

Ini minggu ke dua bulan ke tiga Arwen menghilang. Marvin berkunjung ke rumah Bobby, takut temannya itu bunuh diri karena istrinya tak kunjung pulang ke rumah. Sebagai teman, dia tak bisa membiarkan patah hatinya Bobby merenggut jiwa dan raganya.

Biasanya Marvin masuk tanpa permisi karena terlalu sering datang ke rumah Bobby, tapi kali ini dia memencet bel rumah. Insting atau apa, tapi tiba-tiba dia memencet bel itu. Menunggu beberapa saat, lalu pintu rumah dibuka.

"Bobby, kau masih hidup?" Namun, wajah Arwen yang ada di depannya. "Eh, Arwen. Kau sudah pulang?" Marvin kikuk berhadapan dengan Arwen. Harus bicara apa selain membahas masalah yang membuat Arwen kabur dari rumah?

"Sudah!" jawabnya ketus.

"Kau …,"

"Jangan membahas itu!" potong Arwen. "Bobby ada di dalam kalau kau mau menemuinya!" Dia memberi celah untuk Marvin melewati pintu.

Marvin masuk. Tanpa bicara apa pun dia berjalan ke ruang santai tempat Bobby duduk, menonton TV. Dia langsung duduk setelah menepuk pundak temannya itu. Belum mulai bicara sampai melihat keadaan aman. Yaitu, tidak ada Arwen di sekitar mereka.

"Kupikir kau akan bunuh diri, tapi aku lega Arwen sudah kembali," bisiknya. "Apa yang kau lakukan sampai Arwen mau kembali ke sini?"

Bobby melirik Marvin. Mata temannya itu berbinar-binar, tampak akan tertawa kalau dia sampai melakukan hal konyol agar dimaafkan istrinya.

"Aku bersujud di bawah kakinya!"

Marvin nyengir lebar. Tidak berani tertawa. Terakhir kali dia tertawa, Bobby mengancam akan menonjoknya. Marvin tidak akan melakukan itu lagi, terutama kalau Bobby sedang bertengkar dengan Arwen.

"Aku minta maaf sampai mulutku berbusa."

Tidak hanya itu. Bobby memanggil-manggil Arwen tiap hari. Mengitari rumah di sore hari sambil meneriakkan nama Arwen sudah jadi rutinitasnya. Di gudang, di belakang rumah, di dalam semak-semak, dan di dekat pohon besar di sebelah kamarnya. Di dapur, di kamar mandi, di ruang tamu, dan di kamarnya juga. Tiap malam Bobby mengucapkan maaf di udara kosong. Tiap malam Bobby mengigau memanggil Arwen. Tiap malam juga dia mengeluh seperti orang sakit, bertingkah seperti orang gila. Ketika Arwen muncul untuk pertama kalinya setelah lebih dari dua bulan, Bobby hampir pingsan karena senang.

"Bobby, aku memang mencintaimu. Aku memang berencana hidup bahagia bersamamu sampai beratus-ratus tahun ke depan, tapi kalau kau berbuat seperti itu, sama dengan membuatku bosan lebih cepat. Kalau kau melakukannya lagi, aku bisa meninggalkanmu saat itu juga meski aku masih mencintaimu!"

Kalimat itu membuat Bobby bersumpah untuk tak melakukan hal seperti itu lagi. Dia hanya akan melakukan apa pun dengan izin Arwen.

Selesai dengan cengirannya, Marvin bertanya lagi, "Arwen memaafkanmu begitu saja?" tanyanya, penasaran dengan reaksi istri temannya itu ketika pertama kali muncul.

"Tentu saja dengan syarat."

"Kau tak boleh mengulang kesalahan yang sama?"

Bobby mengangguk. "Ditambah tak boleh pergi ke pesta apa pun tanpa izinnya. Tidak boleh menemui wanita mana pun tanpa sepengetahuannya. Juga tidak boleh berteman dengan siapa pun yang tak disukainya," lalu menggeleng lemah.

Bobby tengah jadi tawanan istrinya sekarang ini.

Marvin menepuk pundaknya. "Kau harus tabah!" sambil nyengir lagi.

"Kau tak tahu seramnya muka Arwen ketika dia baru kembali." Bobby tak mau ingat, tapi susah melupakannya. "Aku hampir pingsan campuran senang dan takut." Marvin hanya mampu membayangkan sebatas muka marah Arwen, tapi Bobby benar-benar telah melihat muka menyeramkan istrinya itu. Makanya dia mau pingsan ketika melihat Arwen tiba-tiba berada di hadapannya. "Ingatkan aku kalau sampai aku mendekati kejadian yang sama lagi!"

Marvin tertawa kecil sekarang.

"Lagi pula bisa-bisanya kau mabuk sampai meniduri orang. Punya istri cantik begitu kau masih tak sadar diri!" cemooh Marvin.

Marvin melihat Arwen berjalan ke arah mereka. Membawa nampan berisi minuman dari dapur. Masih Arwen yang cantik jelita, punya badan sintal yang enak dilihat dan sepertinya juga enak dipegang. Juga propertinya yang diam-diam selalu membuat Marvin tergiur. Tapi sumpah, Marvin tak akan menyerobot Arwen dari Bobby.

Tidak tampak ada kejanggalan kecuali dari muka Arwen yang masam.

"Beruntung dia mencintaimu. Kalau orang lain, kau pasti sudah digoroknya dari kemarin-kemarin." Marvin diam setelah Arwen mendekat. Arwen meletakkan dua cangkir kopi di hadapan Bobby dan Marvin, tanpa bicara apa pun dia beranjak. "Kau tidak mau bergabung bersama kami, Wen?"

Arwen melirik Marvin sejenak, kemudian pergi lagi.

"Dia belum benar-benar memaafkanku," eluh Bobby.

"Sabar. Memaafkan juga butuh proses!"
.
.
.
Tidak ada siapa pun lagi yang bisa membuat Bobby berpaling dari Arwen. Kalau ditinggalkan selama lebih dari dua bulan sudah membuatnya merana, bagaimana kalau ditinggalkan seumur hidup? Lebih baik setia, kan? Toh, setianya Bobby hanya seumur hidupnya manusia, beda dengan hantu yang bisa hidup beratus ratus tahun. Kalau dipikir-pikir, dua bulan lebih dua minggu tidak ada apa-apanya dibanding penantian Arwen yang katanya lebih dari seratus tahun. Bobby harusnya bersyukur jadi manusia yang dicintai dan dimaafkan ketika punya kesalahan.

Bobby memeluk erat istrinya. Meski tubuhnya ikutan dingin karena terlalu lama bersentuhan dengan Arwen, sepertinya hanya itu satu-satunya cara yang terlintas di otak Bobby untuk membuat Arwen tak kabur lagi darinya.

Tangannya erat melingkar di pinggang Arwen, sedangkan si hantu tak ambil pusing dengan pekerjaan suaminya. Dia tidak bicara, tidak bergerak, dan tidak melakukan apa pun.

"Kau membiarkanku seperti orang gila lebih dari dua bulan!" Bobby merajuk. "Memanggil-manggil namamu tiap hari, tapi tak pernah kau sahuti." Dia menekan kepalanya ke dada Arwen, dada yang hampir rata tanpa tonjolan besar seperti yang biasa ada di sana. Arwen tengah berubah jadi wanita yang seperti itu untuk saat ini. "Aku tak bisa tidur nyenyak tanpa kau di sampingku, tahu?"

Arwen mendorong kepala Bobby menjauh. Bermaksud menjauhkan Bobby juga dari tubuhnya. Dia tidak risi, hanya saja kasihan pada Bobby kalau suhu tubuh suaminya menurun karena terlalu lama menempel padanya.

Bobby tidak pernah seperti ini. Sekalipun mereka ada di ranjang yang sama tiap harinya, Bobby tidak pernah menempel pada Arwen terlalu lama. Kecuali di saat-saat percintaan mereka, menempel berkali-kali pun tidak masalah karena tubuh Bobby memproduksi panas secara alami selama proses itu berlangsung.

"Kau tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan!" Bobby menggeser tubuhnya ke samping. Berpisah beberapa inci dari Arwen. "Aku tidak melakukannya secara sadar. Bahkan siapa yang ada bersamaku saat itu pun aku tak tahu."

"Aku tahu," potong Arwen.

"Tahu orang yang tidur denganku?"

Arwen mengangguk. "Dia pekerja paruh waktu yang jadi pelayan di pestanya Marvin." Dia mengangkat sebelah sudut bibirnya, membuat Bobby tersenyum masam. Takut selama dua bulan ini Arwen mencari wanita itu lalu menyiksa dan membunuhnya. "Tadinya aku berniat menghantuinya, membunuhnya kalau perlu. Karena apa yang dilakukannya padamu itu secara sengaja. Dia ingin punya keturunan dari orang-orang kaya dan tampan." Di bagian ini Bobby bangga dengan dirinya sendiri, secara tak langsung Arwen setuju kalau Bobby kaya dan tampan. "Dia berniat mencari uang dari orang sepertimu."

"Apa aku kenal dengan wanita itu?"

"Tidak. Tidak ada yang kenal. Dia hanya menargetkan lelaki secara acak."

Bobby garuk-garuk kepala. Bingung sendiri dengan apa yang sebenarnya terjadi dengannya.

"Tidak terjadi apa pun dengannya. Aku hanya mengawasinya selama beberapa bulan ini. Termasuk mengawasi caranya memperlakukan calon anak kita. Baik atau buruk, itu saja."

Bobby mengerutkan kening. Arwen tahu apa arti kerut kening Bobby itu, dia segera menjelaskannya.

"Dia betulan hamil, Bobby. Sekarang kau tak perlu mencari wanita yang tepat hanya sebagai kedok selingkuh dariku!"

Bobby menghela napas lemah. Sebagai seorang suami, dia telah kalah dari istrinya.

"Kau tak perlu tahu siapa dan di mana wanita itu berada. Aku akan mengurus semuanya. Semua yang dibutuhkan wanita itu akan kusediakan. Wanita itu akan kulindungi selama ada calon anak kita di perutnya. Saat dia melahirkan nanti, kita ambil anak itu tanpa sepengetahuannya. Beri dia uang kompensasi, lalu putus hubungan. Kau tahu beres saja!"

Bobby akan punya anak karena kecelakaan. Berarti tak ada lagi harapan untuk mencari wanita lain, wanita yang tepat atau apa pun sebutannya itu. Bahkan dia tidak tahu wajah wanita yang dikatakan Arwen barusan. Bobby pasrah saja. Semua pasti diurus Arwen dengan baik, daripada Bobby buat ulah lalu Arwen membuat kacau hidupnya.

"Berapa uang kompensasi yang harus kusiapkan?"

"Aku yang urus!"

"Oh …!" Bobby pasrah lagi.

Dulu Arwen adalah hantu tengil yang suka menggoda Bobby, tapi sekarang Arwen berubah jadi hantu pemarah. Mukanya seram kalau sudah membahas masalah Bobby disangkutpautkan dengan perselingkuhan. Padahal Bobby tidak pernah selingkuh, lebih tepatnya belum sempat. Tapi demi apa pun Bobby tidak berniat selingkuh selama ada Arwen. Kalaupun kejadian, pasti ada alasan tertentu, seperti halnya kejadian mabuk lalu selingkuh secara tak sadar waktu itu.

Arwen berbeda dari sebelumnya itu karena cinta. Karena terlalu cinta pada Bobby hingga jadi posesif padanya.

"Apa tidak apa-apa aku tidak menemuinya, tapi langsung mengambil bayi itu tanpa sepengetahuannya?"

"Kalau dia melihat wajahmu, dia tidak akan berhenti sampai di situ. Pasti akan ada pertemuan-pertemuan berikutnya dengan dalih macam-macam. Aku tak bisa melihatnya menemuimu, dan aku pasti akan menghabisinya!" kata Arwen tajam, sambil melotot dan pasang muka garang. "Kalau bayinya diambil tanpa sepengetahuan, dia tak akan bisa berbuat apa-apa. Toh, kita akan memberinya uang kompensasi. Dia pasti bisa meneruskan hidup. Bisa menargetkan lelaki lain untuk dikuras hartanya." Arwen melengos. "Kau pilih mana, bertemu dengannya lalu aku membunuhnya, atau tidak bertemu sama sekali tapi dia bisa hidup nyaman?"

"Aku ikut katamu saja."

"Bagus kalau kau paham!" Arwen beringsut. Bergerak cukup keras, tapi tak membuat kusut sedikit pun pada seprai ranjang mereka. "Tapi kalau anak itu menuruni sifat ibunya, aku akan menghabisinya!" ancam Arwen membuat Bobby merinding seketika.

Arwen memang berubah jadi lebih menakutkan. Mentang-mentang dia hantu pastinya. Tidak pernah dengar kata-kata kasar seperti itu keluar dari mulut Arwen sebelumnya, tapi makin ke sini Bobby sadar bahwa hantu juga bisa membunuh manusia. Arwen pasti tidak main-main dengan ancamannya.

"Ngomong-ngomong, kau menjadi lebih pemarah akhir-akhir ini. Tidak lagi tengil dan centil seperti sebelumnya."

"Kau mau aku yang seperti itu lagi?" Bobby tidak menjawab, takut salah ucap. "Kembalilah seperti Bobby yang sebelumnya, yang tidak takut hantu, yang tidak terlalu peduli pada wanita yang bisa memberimu keturunan. Kembalilah pada Bobby yang hanya tertarik padaku, istrimu yang bisa berubah jadi apa pun kau mau!"

Ah, perubahan ternyata berawal dari Bobby sendiri. Kenapa dia tidak sadar itu?

Arwen melayang, turun dari ranjang, menjauh dari Bobby, kemudian menghilang. Tidak ada perjanjian untuk berpisah ranjang, tapi kata-kata Arwen untuk menjaga wanita itu menjadi aba-aba bahwa Arwen kemungkinan tak bisa sering-sering bertemu dengannya lagi. Bobby resmi jadi lelaki kesepian sekarang ini. Dan itu berawal dari kesalahannya sendiri.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Dipuja Setan
Selanjutnya Dipuja Setan bab 4
0
0
Seluruh mahkluk hidup dianugerahi dengan cinta. Tapi bagaimana kalau ada yang menyalahi aturan? Bukan mahkluk hidup, tapi ngeyel ingin dicintai?Kisah dimulai dari seorang duda yang pindah rumah. Rumah yang baru dibelinya adalah rumah lama yang berhantu. Hantunya menampakkan diri tiap hari bukan untuk menakuti, tapi untuk mencintai.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan