
Selamat membaca ❤️
Bab 4
Monique turun dari Alphard hitam, melambaikan tangan begitu melihat Tara dan Pratiwi sudah menunggu di teras. Tara terlihat lebih dewasa, memakai jeans dengan kardigan putih polos berleher rendah. Keindahan bentuk tubuh yang kemarin tersembunyi di balik gaun longgar, menciptakan image berbeda. Rambut panjang berwarna cokelat gelap terurai indah, menyatu sempurna dengan kulit kuning langsat.
Kemarin sosoknya tampak berbanding jauh dari saudara-saudaranya, sekarang Moniq bisa melihat daya tarik selain lesung indah di kedua pipi. Penampilannya termasuk sederhana, tak satu pun aksesoris mahal terlihat. Pergelangan tangan hanya dihiasi oleh dua gelang tali berbeda warna dengan tas bahu yang entah merk apa.
“Kita berangkat?”
“Maaf, Bu Moniq. Tara saja yang ikut, urusan undangan belum kelar.” Menikah dadakan dengan persiapan hanya dua hari, membuat semua orang kalang-kabut.
“It’s okay, Bu Tiwi. Kalau begitu kami berangkat sekarang. Ayo, Tara.”
“Baik-baik, Nak,” Pratiwi berbisik sambil memeluk. Bukan ide bagus melepas Tara sendirian bersama keluarga besan yang baru dikenal kemarin.
“Baik, Ma.” Mencium tangan mama, sebelum masuk ke mobil.
Ternyata, si cerewet yang kemarin cukup merepotkan dengan berbagai pertanyaan, ada di dalam. Menatap tajam dengan wajah angkuh, seolah sedang menghadapi pelakor.
“Hai,” sapanya dengan tersenyum manis. Hanya anggukan malas yang diterima.
“Abbey kuliah di sekolah perfilman Le Femis, Paris. Dekat kan, ke Lausanne?”
Tara cukup surprised, berpaling ke belakang untuk melihatnya lagi meskipun tak digubris, sibuk dengan ponsel. “Lumayan dekat, Ma. Sekitar tujuh jam dengan bis.”
“Pernah ke Paris?”
“Sekali, dulu waktu liburan semester pertama.”
“Kalian bisa saling mengunjungi. Iya, kan, Abbey?”
“Hm.”
Moniq dan Tara sama-sama tersenyum.
“Bahkan, kalian bisa janjian kalau mau pulang liburan bareng. Biar gak bosan sendirian dalam perjalanan jauh.”
Moniq sangat bersemangat. Meskipun belum yakin dengan keseriusan Andras, tapi setidaknya ia bersikap sebagaimana layaknya ibu mertua alias ibu kedua untuk menantu.
“Iya, Ma,” jawab Tara untuk menyenangkan hati.
Sudah pasti tidak akan pulang kecuali bila ada force majeure. Liburan semester akan digunakan untuk bekerja, membangun koneksi. Terlebih dengan ikatan ini, melarikan diri sampai ia siap akan lebih baik.
***
Sampai di butik, Tara segera mencoba beberapa kebaya dan gaun pengantin ready to wear. Pilihan-pilihan yang sudah dipersiapkan, terlalu mewah untuk dipakai sebentar saja. Akad nikah pagi, siang sampai sore resepsi, ia tidak keberatan memakai gaun yang sama untuk keseluruhan acara. Pernikahan tidak serius, untuk apa menghamburkan banyak uang?
“Bagaimana kalau satu gaun saja, Ma?”
Moniq dan Abbey saling memandang, kemudian nyaris bersamaan menggeleng.
“Lo itu menikah dengan Andras Tikta! Salah satu cucu laki-laki dari Dzakki Shariq dan putra satu-satunya dari Malik Tikta. Ngerti, enggak sih?” Abbey menjadi sewot.
So, what gitu loh? Tara ingin berteriak keras.
“Maksud Abbey …,” Moniq sampai harus berpikir sejenak untuk mengimbangi keketusan Abbey. “Tamu yang akan datang, bukan orang dengan status biasa. Jadi rasanya agak terlalu sederhana bila pengantin memakai gaun yang sama sepanjang hari. Mengerti maksud, Mama?” Melihat Tara mengangguk tanpa ekspresi, kemungkinan besar tersinggung dengan respon Abbey.
“Ini acara sakral meskipun kita mempersiapkan dengan waktu terbatas. Pernikahan ini harus sempurna. Yang pertama, sekali seumur hidup.”
“Yang ini, dan yang ini. Bagaimana Kakak ipar?” Abbey ingin mempersingkat waktu. Menunjuk ke pilihannya dengan ekspresi tak ingin berlama-lama menatap wajah yang berlagak lugu.
“Bagaimana, Tara?” Pilihan Abbey boleh juga.
“Oke, Ma.” Tidak masalah apa yang akan dikenakan, toh hanya buku nikah yang diperlukan.
“Wah! Selera kita bertiga ternyata sama ya.”
Moniq berpikir keras bagaimana cara mencairkan suasana. Senyum mengejek tersungging di sudut bibir Abbey, seketika menghilang begitu menerima lirikan maut yang mengancam keselamatan uang jajan.
Tara hanya berbicara seperlunya, mengikuti saja kemauan keduanya saat memilih barang-barang lain sebagai pelengkap gaun. Satu hal yang disadarinya, meskipun ketus dan terkesan seperti nenek sihir, pilihan Abbey memang bagus, sesuai dengan seleranya. Setidaknya dia tidak asal memilih untuk melampiaskan kebencian yang entah karena apa. Dia tidak sepenuhnya berhati buruk.
Perjalanan berlanjut ke butik berlian, Tara menjadi pendengar budiman saat mama dan Abbey tak berhenti berdiskusi tentang beberapa model cincin yang sedang mereka lihat di situs web. Mama seperti umumnya emak-emak, menyukai model mewah dengan karat besar. Abbey seperti dirinya, lebih memilih model sederhana dengan karat sedang, nyaman digunakan sehari-hari. Sampai mobil memasuki halaman parkir butik, keputusan belum tercapai.
Mereka disambut langsung oleh pemilik butik yang mengeluarkan semua koleksi terbaik. Tara tidak familiar dengan seluk-beluk berlian, hanya Meitri dalam keluarga yang hobi mengoleksi berlian serta punya banyak aksesoris dan barang-barang branded mahal. Mama adalah sosok sederhana, lebih memilih menyimpan emas batangan daripada perhiasan.
“No, Mama! Dia akan terlihat seperti tante-tante kalau pakai segede itu.”
“Kalau ini?”
“Modelnya tua! Tidak cocok untuk remaja dalam masa transisi menuju dewasa.”
Buset! Ia disebut remaja, padahal usia mereka berbeda tipis saja. Penampilan Abbey modis dengan pakaian branded bermodel agak berat untuk acara santai. Ditunjang riasan penuh dengan tatanan rambut rapi, tas Hermes mini serta high heels yang pasti menyiksa kaki. Menjadikan sosoknya terlihat seperti wanita dewasa.
Moniq menghela napas panjang. “Tara?”
“Yang simpel aja, Ma. Bisa dipakai sehari-hari.”
“Hm, oke, baiklah! Yakin? Sebenarnya semakin besar akan semakin menguntungkanmu.”
Tara hampir tertawa. Itu juga yang diwanti-wanti oleh Meitri. “Sangat yakin, Ma.”
“Kalau begitu, yang ini saja!”
Tara langsung mengiyakan pilihan Abbey. Sekali lagi, selera Abbey memang bagus. Rasa-rasanya ia melihat senyum tersamar di wajah Abbey, tapi entahlah. Mungkin hanya perasaannya saja karena setelah itu, tetap bersikap jutek enggak jelas.
***
Andras bergabung begitu mereka sampai di restoran sebuah hotel berbintang lima untuk makan siang. Abbey memperhatikan keduanya dengan seksama, kejanggalan begitu kentara. Tidak ada minimal kecupan pipi saat bertemu, layaknya pasangan yang akan segera menikah. Hanya menatap sekilas sebelum masing-masing fokus menyantap makanan. Aneh, bukan?
“Tara, mau nambah?”
“Enggak, Ma. Ini sudah lebih dari cukup.”
“Seharusnya lo yang bertanya …!”
Andras terbatuk-batuk diserang Abbey. Menatap dengan kesal, ternyata tebakannya salah. Abbey belum puas, masih berusaha mencari celah kejanggalan pernikahan yang tiba-tiba.
“Dia bukan sepertimu yang menjadikan makanan sebagai sumber kebahagiaan.”
“Hei, aku hanya berusaha mengoreksi sikapmu. Bagaimanapun, wanita suka diperhatikan. Bukan begitu, Kakak ipar?”
Tara memilih tersenyum sambil meraih gelas. Kenapa malah ia yang diserang? “Andras tahu dari dulu aku tidak makan banyak.”
“Sudah dengar sendiri, kan? Sudah puas, Miss Paranoid?” Ingin sekali menjitak kepalanya agar pikiran tidak selalu error.
“Sudah …, sudah! No more suspicion, okay?” Moniq menengahi. Ia sendiri cukup pusing menjawab kecurigaan Abbey yang berjiwa detektif.
“Aku sangat konsen pada nasib sesama wanita. Pernikahan yang diawali dengan tidak benar, pasti akan berujung merugikan wanita. Kemewahan hanya penghibur sesaat, tidak mempan untuk menutupi penyesalan di kemudian hari.” Menatap Tara dengan tajam karena memang peringatan itu untuknya.
“Abbey, jangan bersikap kurang ajar!” Moniq hampir emosi.
“Hanya nasehat untuk sesama wanita yang sedang beranjak ke jenjang dewasa.”
Tara merasa harus bicara untuk menyudahi kecurigaan, menempatkannya pada posisi tak nyaman. “Terima kasih atas perhatianmu, tapi ini memang kemauanku.”
Membalas tatapan tanpa gentar. Untung saja mama dan Andras yang duduk mendampingi, sehingga suara dada berdegup kencang, cukup mereka saja yang mendengar.
“Oke! Kalau begitu urusan selesai.”
Kali pertama Tara melihatnya tersenyum. Sebuah senyum indah, langka, merubah wajah serius menjadi begitu rileks. Terlihat lebih membumi, menanggalkan topeng wanita dewasa yang terlalu dini dikenakan.
“Oh my God, akhirnya …! Ayo cepatan makan, kita harus lanjut belanja.”
“Mama dan Abbey saja, aku ingin bersama Tara.”
“Tara perlu ikut.” Moniq ingin Tara memilih sendiri seserahan sesuai selera.
“Abbey pasti tahu selera Tara.”
Abbey mendelik. “Sekarang lo sangat membutuhkan gue?” Tersenyum mengejek.
Setelahnya, candaan mengalir. Melihat sisi berbeda dari Andras dan Abbey, sebuah hubungan dekat yang tetap terbuka untuk saling mengkritik. Keluarga Andras lebih terbuka daripada keluarganya dengan sang calon ibu mertua yang mulai menyentuh hati. Meskipun dari segi penampilan, beliau terlihat tidak terjangkau, tapi sejauh ini menawarkan perhatian yang tampak tulus.
Semoga saja begitu, cukup ia dan Andras saja yang bersandiwara!
***
“Tara …?”
Sebuah panggilan dengan intonasi tidak sepenuhnya yakin, menghentikan langkah Tara yang berjalan di belakang Andras. Keduanya langsung berpaling.
“Kak Varel ….” Tak percaya melihat sosok yang memanggilnya. Langsung mendekat, menjabat tangan dengan wajah bahagia.
“Apa kabar, Tara? Kok bisa di Jakarta?”
Pria berjas rapi dengan tag nama bertulis Front Office Manager itu, juga terang-terangan menampakkan ekspresi bahagia. Andras menebak keduanya mungkin pernah menjalin hubungan khusus.
“Ada urusan keluarga, Jumat aku kembali. Kakak sudah lama di sini? Aku pikir masih di Atlantis Dubai.” Berbincang akrab, melupakan Andras.
“Baru sebulan.” Varel tertawa melihat ekspresi kagetnya. “Ibuku sudah tua, tidak mau diajak pindah ke Dubai. Jadi ya …, terpaksa aku balik. Sama juga, gaji besar, tapi selalu khawatir, untuk apa, kan?”
“Bener juga, Kak.”
“Kamu bersama siapa?” Sudah dari tadi sosok pria yang berjalan bersama Tara, menjadi perhatiannya. Seperti pernah melihat, tapi tidak mengingat siapa.
Andras hanya tersenyum melihat Tara kaget menatapnya. Jangan bilang kalau dia lupa bahwa mereka sedang bersama.
“Oh, iya. Kenalkan ini uncle-ku.”
Hampir Andras terbahak, akhirnya juga mendapat kehormatan dipanggil uncle meskipun tidak berkumis dan berjenggot. Meliriknya sejenak, menyambut uluran tangan.
“Andras.”
“Pak Andras Tikta?” Ingatan Varel pulih seketika.
Andras mengangguk, tersenyum menyadari lawan bicara salah tingkah.
“Maaf, Pak. Saya baru di sini, belum terlalu mengingat wajah.” Mengutuki diri sendiri yang bisa-bisanya tidak mengingat wajah salah satu putra pemegang saham terbesar hotel.
“It’s okay.”
Tara tersenyum melihat kekikukan Varel, tidak ngeh tentang kepemilikan hotel. Berpikir bahwa itu hanyalah karena Andras seorang pengusaha, juga anak dan cucu dari pengusaha terkemuka.
“Good luck, Kak. Semoga betah di sini dan menanjak cepat. Sampai jumpa!”
Varel hanya mengangguk sambil membalas lambaian. Maksud hati ingin meminta nomor ponsel, apa daya tameng tinggi sudah duluan tertancap. Yakin bahwa uncle yang dimaksud Tara, bukan dalam artian sebenarnya. Sempat menangkap senyum geli di wajah Andras saat dikenalkan.
***
“Mantan pacar?” Andras mencoba menggoda, begitu mereka masuk ke mobil.
“Apa hubungan kita, perlu juga menceritakan tentang masa lalu?” Tara bergumam sambil menutup mata. Menyenderkan punggung ke kursi kulit empuk, keletihan menyerang. Seharusnya calon pengantin sangat excited menyambut momen memilih gaun dan cincin kawin.
Andras memilih diam, sadar diri bahwa tidak berhak bertanya. Sebenarnya ingin sekali hubungan mereka bisa lebih akrab, seperti perlakuan Tara kepada temannya tadi. Memang ikatan ini dimulai dengan kondisi khusus, tapi setidaknya saat berakhir, tidak saling memusuhi. Apa itu mungkin?
“Kita akan bertemu Kakekku.”
“Lagi? I’m exhausted!” Ia memang dididik untuk mahir bersikap ramah kepada siapa pun, tapi bertemu dengan orang-orang baru kali ini, sungguh melelahkan.
“Harus, Tara! Kakekku adalah aktor utama di balik pernikahan ini.”
“Maksudmu, aku juga harus menikahi yang terhormat Dzakki Shariq?” Membuka mata, menatap dengan sorot sayu.
Andras tertawa, tidak peduli sindirannya. “Kamu tidak punya kesempatan untuk itu. Kuota istri Kakek sudah penuh.” Tertawa semakin keras menyadari kekagetan.
“Empat orang?” Anggukan semakin membuatnya penasaran. “Semua masih dipakai?” Mengangguk lagi. “Wow! Beliau, pribadi seperti apa?”
“Mirip Papamu.”
“Impossible, Papa hanya punya satu istri!”
“Pekerja keras, berani mengambil keputusan ekstrim, penyayang.”
“Penyayang sampai punya empat istri?”
“Semua tinggal seatap, akur sampai ke anak cucu.”
Sebenarnya ada banyak pertanyaan untuk memuaskan rasa penasaran, tapi Tara terlalu segan mengutarakan. Ingin tahu apakah anak-anak beliau juga mempunyai istri atau suami lebih dari satu, atau bahkan cucunya? Jawabannya yang sangat berkolerasi dengan kenyataan begitu gampangnya Andras memilih istri tanpa rasa.
Bab 5
Mobil berhenti di depan pagar sebuah rumah besar bak istana. Perpaduan warna putih dan emas, semakin menonjolkan kesan mewah. Enam pilar setinggi rumah yang terdiri dari dua lantai menyambut tamu dengan kemegahan. Arsitektur mengingatkan kepada bangunan-bangunan tua zaman kolonial dengan sentuhan modern.
Memasuki halaman, Tara semakin menciut. Garasi besar, arah ke mana mobil tertuju, dipenuhi banyak mobil, mulai dari yang antik sampai tercanggih. Belum lagi motor gede berjejer garang seolah memamerkan kehebatan. Pernah berkunjung ke rumah beberapa teman papa, belum ada yang bisa membuatnya terkaget-kaget.
Melirik Andras yang masih berbicara di telepon dengan rasa penasaran yang baru muncul. Seberapa kaya dia? Bagaimana gaya hidupnya? Semua yang tampak melekat di tubuhnya, sudah bisa dipastikan adalah barang terbaik. Meskipun begitu, penampilannya sederhana dalam artian tidak berlebihan.
Andras turun duluan, membukakan pintu untuknya. Tara baru sadar apa yang dikenakannya mungkin kurang pantas untuk bertemu beliau. Keraguan membuatnya tidak segera turun.
“Ayo!”
“Pakaianku ….”
“It’s okay. Kamu hanya perlu menjadi diri sendiri, tentunya dengan cerita yang sudah kita sepakati.” Tersenyum dengan mata memancarkan cinta karena yakin pasti sedang diawasi. “Maaf.” Meraih tangan Tara, membantunya turun.
“Kamu bilang tidak akan menyentuh.”
“Kakek seorang romantis. Akan sangat aneh baginya bila melihat sepasang kekasih yang lusa akan menikah, berjalan tanpa berpegangan tangan.”
Hm, semoga benar. Bukan mencuri kesempatan dalam kesempitan seperti yang sudah dilakukan.
“Beliau bisa saja membatalkan pernikahan kalau tidak yakin dengan hubungan kita. Bila itu terjadi, kita sama-sama gagal, tapi keluargamu yang akan menderita lebih banyak.” Sebuah ancaman berselubung kemesraan. Cara Tara menatapnya pasti akan membuat kakek tahu kebohongan mereka hanya dalam pandangan pertama.
“Iya, iya! Sebentar ….” Menutup mata sambil menghela napas panjang. Tak pernah membayangkan harus mempratekkan kepura-puraan dalam kondisi seperti ini. Ia diajarkan untuk menyembunyikan segala rasa saat sedang berhadapan dengan customer.
Raut wajah yang perlahan melembut, lebih meyakinkan Andras memasuki medan peperangan. Apalagi saat senyum tersungging, kakek pasti terpesona. Berjalan dengan tangan saling menggenggam tanpa merasakan getaran. Sukar menjelaskan dengan kata, tapi Andras merasa nyaman dan percaya bahwa Tara tidak akan berubah. Memilih memanfaatkannya, poin penting yang ia khawatirkan bila salah memilih target.
***
Kecemasan Tara teralih dengan keindahan desain interior, minimalis berbalut kemewahan, sebanding dengan hotel-hotel terbaik yang pernah dikunjunginya. Dinding ruang tamu berlapis marmer putih dengan garis-garis cantik. Seperangkat sofa kulit berwarna tortilla dengan karpet bermotif monokrom, menyatu sempurna. Jendela-jendela besar dengan gorden tersibak di ujung kiri-kanan, menghadirkan cahaya matahari penuh sebagai penerang.
Memasuki ruang keluarga dengan interior warna senada, bersambung tanpa sekat ke ruang makan dan dapur super luas. Sebuah sudut yang dihiasi piano dan beberapa alat musik lain, menyiratkan kehangatan sebuah keluarga yang pasti sering berkumpul menikmati kebersamaan. Sejauh ini tak terlihat seorang pun, sepertinya hal biasa, Andras tidak nampak sedang mencari-cari.
Sebuah lift menjadi tujuan mereka, meskipun tangga lebih dekat. Sampai di lantai dua, desain interior yang kontras dengan lantai bawah, menciptakan kesan lebih ceria dan dinamis tanpa memudarkan kemewahan.Wallpaper pink bermotif art deco minimalis berpadu dengan aneka dekorasi beraksen emas. Mulai terdengar sekelompok wanita sedang berbincang akrab, menandakan adanya kehidupan.
“Asalamualaikum.” Andras menyapa.
Empat orang wanita serentak berpaling ke pintu. Tara tersenyum kikuk, membalas senyuman tulus. Sekarang ia percaya bahwa mereka hidup rukun. Senyuman menyiratkan kebahagiaan yang bukan dibuat-buat.
“Waalaikumussalam.”
“Ini Tara.”
“Lesung pipinya persis Mahes,” celutuk Entik, diiringi tawa yang lain.
Tara refleks mencari Mahes yang dimaksud, sepertinya hanya ada seorang yang berlesung pipi sangat kentara. Terlihat paling muda dengan pakaian lebih modis. Bangkit dari duduk, berjalan menghampiri mereka.
“Selamat datang, Tara.” Mahes memeluk. Dada Tara berdegup kecang, membuatnya tersenyum lebar. “Santai saja, nenek-nenek di sini semuanya baik hati.”
Suara tawa kembali terdengar. Mahes merangkul pinggang Tara, menuntunnya mendekat kepada para senior. “Ini Yangti Entik, Oma Rina, Nanna Dewi, dan ini …,” menunjuk ke diri sendiri. “Lolly Mahes.”
Ternyata mereka mempunyai sebutan berbeda-beda. Mudah untuk diingat karena masing-masing memang mencerminkan penampilan. Yangti alias eyang putri pasti yang paling tua, berpenampilan tipikal nenek Jawa. Oma Rina berkulit putih dengan mata sedikit sipit. Nanna Dewi berwajah agak kebulean, mungkin peranakan. Sementara Lolly Mahes, yang paling cantik di antara mereka. Sangat mirip para wanita dalam keluarga Andras, mungkin memang beliau nenek kandungnya.
“Kakek ada di ruang baca.”
“Kalau begitu, aku ke sana.”
“Makan malam di sini, Andras. Yangti masak tengkleng.”
Andras langsung mengangguk, tengkleng masakan Yangti adalah makanan terlezat di masa kecil. Tara berusaha tersenyum manis, waktu yang akan dihabiskan di sini semakin panjang. Mengikuti langkah Andras menuju ke luar, ruang baca ternyata hanya bersebelahan saja.
Tara hanya mengetahui wajah Dzakki Shariq dari televisi. Rasa-rasanya memang belum pernah sekalipun melihatnya di dunia nyata. Saat ia kecil, papa sering bercerita tentang bisnis beliau yang semakin menggurita.
“Asalamualaikum.”
Rambut beliau beruban penuh, tampak masih gagah dari belakang. Kepala tertunduk menatap buku, di depannya pintu kaca terbuka lebar, menghadirkan pemandangan indah taman belakang yang dipenuhi koleksi adenium. Berpaling dengan tatapan langsung fokus kepadanya. Tara tersenyum ramah, menghempas kekikukan. Keberhasilan pertemuan dengan beliau, ia anggap adalah penentu masa depan.
“Waalaikumussalam.”
“Kek, ini Tara Diajeng, calon istriku.”
“Tinggalkan kami berdua.”
Perintah tanpa basa-basi, Andras pasrah mengangguk. Skenario meninggalkan Tara sendirian bersama kakek, tidak ada dalam perkiraan. Perlahan tubuh terasa berkeringat, situasi gawat darurat, harus memasrahkan nasib kepada Tara.
“Aku tunggu di luar, Sayang.” Tangan Andras merapikan poni untuk menciptakan kemesraan.
Hampir saja Tara terbahak, mengendalikan kegelian dengan tersenyum lebar. Melambaikan tangan bak kekasih yang akan berpisah lama. Pintu tertutup, suasana hening menciutkan nyali.
“Silahkan duduk.”
Dzakki menunjuk ke sofa di hadapannya. Tahu kekikukan sang gadis kecil yang terlalu dini berkeinginan menikah, sehingga memunculkan praduga. Terlebih kondisi finansial keluarganya yang sedang sekarat.
Tara mengangguk, melangkah pelan dengan dada berdegup kencang. Mempraktekkan sebuah jurus rahasia saat dilanda kegugupan, menatap mata sang lawan bicara. Sesi interogasi akan segera dimulai, rasa-rasanya ini lebih mengerikan daripada interviu masuk EHL.
“Kamu suka membaca?”
Pertanyaan pertama di luar tebakan. Tara mengangguk.
“Buku apa?”
“Biografi.”
Dzakki sempat tertegun, melihat modelnya, bukan tipe penyuka topik-topik berat. Lebih cocok menjadi pembaca novel fiksi bertema percintaan. “Biografi siapa yang pernah kamu baca?”
Apakah ia sudah memenangkan hati sang kakek? Tatapan beliau tak lagi terfokus ke buku. “Kebanyakan tokoh-tokoh wanita. Kartini, Anne Frank, Frida Kahlo, Ayn Rand, Sally Ride, Malala, Hellen Keller. Yang terakhir …, Maya Angelou. Belum selesai karena waktu luangku sangat terbatas.”
Hebat! Nilai plus untuknya, sedikit mengikis kecurigaan. “Kenapa suka membaca buku biografi?”
“Papa punya banyak koleksi buku biografi. Biografi pertama yang kubaca adalah kisah Shariq Abdullah. Seorang pemuda miskin, keturunan Hadramaut dari pihak ibu yang menikah dengan pria Manado. Bekerja sebagai ABK demi mendapatkan tumpangan gratis agar bisa sampai di Jakarta dengan tujuan utama untuk merubah nasib. Beliau bisa menjahit, keahlian yang pada masa itu termasuk langka. Setelah bekerja serabutan tanpa mengenal lelah, akhirnya beliau berkesempatan bekerja pada tukang jahit yang cukup kondang. Perlahan mempunyai modal sendiri untuk membeli mesin jahit. Itu menjadi cikal bakal dari PT. Shariq Textile.”
Tatapan kakek jelas menunjukkan keterpanaan. Shariq Abdullah adalah generasi pertama cikal bakal darah bisnis mengalir di keluarga beliau. Perlahan menutup buku, menfokuskan diri hanya kepadanya.
“Kenapa suka bidang perhotelan?”
“Mungkin karena sewaktu kecil, aku selalu mendapatkan pelayanan terbaik saat menginap di hotel. Aku terpesona melihat para pekerja tak berhenti tersenyum ramah kepada siapa pun, secerewet dan seribet apa pun tamu. Anak kecil akan menjadikan hal-hal yang mereka anggap amazing, sebagai cita-cita.”
“Cita-cita tidak pernah berubah …?”
“Tidak juga! Pernah goyah saat menjalani job training di masa SMK. Ternyata bisa tersenyum tulus di saat bad mood kepada orang asing yang terkadang sangat memuakkan, tidak semudah yang kupikirkan. Bekerja di bidang perhotelan menuntut kita untuk memendam rasa demi sebuah kesempurnaan pelayanan.”
“Apa rencanamu setelah selesai kuliah?”
“Bekerja pada beberapa hotel terbaik di luar negeri.” Tara tak bisa mengendalikan ekspresi bahagia. “Aku ingin berkeliling dunia sambil bekerja.”
Kali pertama melihat beliau tersenyum dengan wajah berangsur ramah. Terlihat seperti para kakek pada umumnya, bukan sosok yang jauh dari jangkauan. Sepertinya ia telah lulus dengan predikat cum laude. Keramahan berikutnya menyusul, menjamu dengan minuman teh.
***
Tak sabar menunggu makan malam selesai, Andras penasaran bagaimana hasil pertemuan. Kakek bukan sosok yang mudah percaya, terlebih bila berhubungan dengan calon anggota baru dalam keluarga. Tidak menyinggung sepatah kata pun tentang pernikahan, apa artinya beliau telah merestui? Alias tidak mencurigai apa pun? Sebegitu mudahkah Tara bisa melembutkan hati?
Pernah punya pengalaman saat Anne memperkenalkan calon suami yang tak lolos sensor. Kakek langsung memberikan wejangan panjang sebelum menyampaikan penolakan. Teguh tak bergeming memberi restu meskipun Anne sampai opname karena patah hati.
Karena itu, kedamaian yang ia hadapi sekarang, mengundang tanda tanya besar.
“Apa yang Kakek tanyakan?” serbunya tak sabar, begitu mereka sampai di garasi.
“Bacaan favorit, alasan di balik jurusan yang kupilih, dan rencana setelah tamat. Terakhir beliau menjamu minum teh.”
Aneh sekali! Menjamu minum teh adalah salah satu isyarat penerimaan. Bagaimana kakek yakin hanya dengan bertanya hal-hal yang tidak berhubungan dengan kisah asmara?
“Kamu jawab apa?”
“Apa aku harus mengulang?”
Andras mengangguk tegas. “Aku perlu tahu untuk membaca pikiran Kakek.”
Tara menghela napas berat. “Kamu sangat merepotkan!” Mengeluh dengan ekspresi tersiksa.
Andras mendengarkan dengan seksama, mencari celah di mana fokus kakek terpusat. Bacaan favorit menunjukkan bahwa Tara adalah sosok pintar, apalagi dengan menceritakan kisah Shariq Abdullah yang adalah buyut kakek. Alasan di balik jurusan yang dipilih, menurutnya cukup unik. Tetap bertahan pada cita-cita sampai bisa memutuskan sendiri, menjadikannya sebagai sosok yang konsisten, tidak mudah berubah arah.
“Berkeliling dunia sambil bekerja.”
Wajah Tara terlihat bahagia, Andras yakin dia juga memperlihatkan ekspresi seperti itu saat menjawab pertanyaan kakek. Beliau adalah penyuka jiwa-jiwa muda yang bersemangat tinggi dalam mengejar cita-cita.
Sangat menghargai orang-orang berpikiran positif yang mempunyai keinginan kuat untuk mengembangkan diri. Semua itu seharusnya sempurna untuk calon karyawan baru, tapi sebagai calon istri?
Bab 6
Sebuah deringan ponsel di pukul tiga dini hari, membangunkan Andras. Meraih ponsel dalam keadaan setengah sadar, nama yang tertera membuatnya tersentak.
“Rose …?”
Tak segera mendengar respon, meresahkannya. “Rose, are you there?”
“Aku dengar kamu akan menikah besok.”
Suara serak yang memilukan hati. Sengaja tak mengabari karena pasti akan menghadirkan tangis. Sementara sang pujaan hati, harus berkonsentrasi penuh selama tur dunia.
“Maafkan aku. Seperti yang kita diskusikan, ini hanya pernikahan untuk mendapatkan status.”
Rose tak kuasa menahan isakan, cinta dan impian seakan bertempur sengit. Pada akhirnya Andras tetap harus menikahi wanita lain meskipun dengan kondisi khusus. Apa pun ceritanya, ia akan tercatat sebagai wanita kedua. Sebuah kenyataan pahit demi menjaga mimpi. Di sisi lain juga merasa sangat jahat, telah membuat Andras menunggu lama. Di titik ini semua seakan sia-sia saja.
“Rose, aku tetap memegang janji. Menunggumu sampai selesai.”
Mata Andras berkaca-kaca, mendengar isakan berubah menjadi raungan putus asa. Nada jaringan terputus terdengar jelas. Rose sengaja melakukan itu karena belum sanggup menerima kenyataan.
Primrose Melody adalah seorang balerina yang sedang membangun karir. Mulai berlatih balet sejak berusia empat tahun, lulusan dari Vaganova Academy of Russian Ballet. Mengenalnya sejak lima tahun lalu dalam sebuah pertunjukan balet di Amerika. Telah memantapkan pilihan, mengharuskan Andras bersabar menunggunya mewujudkan mimpi.
Tidak ada larangan menikah, hanya saja long distance marriage bukan pilihan mereka. Andras tidak bisa meninggalkan bisnis di Jakarta demi bisa menetap bersama. Sementara Rose tidak siap mengorbankan karir yang dirintis dengan penuh perjuangan dan air mata.
***
Rose melepaskan kostum balet dengan isakan yang belum berhenti. Mengingat dukungan keluarga sampai memutuskan pindah ke Moskow untuk mendampinginya yang mendapatkan beasiswa, berhenti berkarir di kancah internasional, sama saja dengan mengkhianati mereka. Berasal dari keluarga sangat sederhana, di awal langkah mewujudkan mimpi, untuk membeli pointe shoes saja, orang tuanya harus berutang.
Uang untuk membiayai kursus adalah hasil dari pekerjaan paruh waktu yang dilakoni papa sebagai penjaga malam, setelah seharian menjadi buruh pabrik. Mengawali langkah dengan tertatih-tatih, tekad kuat beserta kedisiplinan berlatih membawanya memenangkan kejuaraan di tingkat internasional. Membuka kesempatan mengecap pendidikan balet di sekolah terbaik. Sejak saat itu ia tak terhentikan, melesat tinggi, menunjukkan bukti bahwa pengorbanan keluarga tidak sia-sia.
Mungkinkah seorang pria yang memang sangat ia cintai, begitu berharga sampai bisa menghentikan langkah? Satu jawaban pasti, belum siap berkorban sedalam itu. Tangisan kembali pecah membuatnya terlelap dalam linangan air mata.
***
Sosok yang berdiri di depan cermin terlihat anggun, menebarkan aura seperti pengantin sungguhan. Kebaya brokat warna pink pastel dengan rok lilit batik warna soft pink melekat sempurna di tubuh langsing dengan lekukan proporsional. Rambut tersanggul berhiaskan veil panjang yang juga berfungsi untuk menyembunyikan raut wajah sedih.
Tara tidak sedang baik-baik saja. Sejak kemarin perasaan bimbang menggempur kuat, ketakutan telah salah mengambil langkah membuatnya tidak bisa beristirahat, menikmati sehari waktu luang jelang pernikahan. Sempat mengurung diri untuk menangis, dada papa yang tiba-tiba kembali nyeri, ampuh menghempas semua kebimbangan dengan terpaksa. Semoga saja di prosesi akad nanti, tidak sampai menangis histeris.
Pintu terbuka, Rahardi dan Pratiwi datang menjemput. Melihat wajah Tara berusaha tersenyum, mereka menyembunyikan sesak di dada. Bukan hanya dia yang menangis, mereka juga. Tak pernah membayangkan melepaskan salah satu putri tercinta dengan kondisi seperti ini.
“Papa gendong, Nak.”
“Gak usah, Pa.”
“Papa ingin menggendongmu sampai ke pelaminan.” Entah bagaimana bisa berdamai dengan rasa bersalah. Tak berhenti berdoa bahwa pemaksaan ini berakhir dengan kebahagiaan.
Tara menyeka air mata papa sambil mengangguk. “Papa yakin kuat?”
Rahardi mengangguk kuat. “Bismillah.” Berjongkok sedikit, menggendong dengan perasaan haru. Menatap sang putri sesaat, sebelum melangkah tegap. Mengantarnya memasuki kehidupan baru.
Pratiwi memegang veil yang menjuntai, menunduk sepanjang langkah dengan air mata merembah pelan. Pernikahan dan resepsi dilangsungkan di kediaman besan. Ayunda, Meitri dan Puspa sudah menunggu di pintu ballroom. Decakan kagum terlontar begitu saja, tak terkecuali Meitri yang masih menyimpan cemburu.
Tidak banyak tamu yang diundang, tapi terdiri dari sosok-sosok hebat. Menjadikan prosesi akad nikah sangat ekslusif dengan kemewahan bertebaran di mana-mana. Meitri yang sebelumnya berniat memancarkan pesona melebihi pengantin, memilih mundur teratur. Mengakui keindahan Tara meskipun dengan berat hati. Memang tak seharusnya siapa pun mencuri spotlight pengantin.
***
Perhatian semua orang teralih ke pintu. Menyaksikan pengantin digendong oleh sang ayahanda, memicu keharuan mendalam. Wajah menunduk di sebalik veil terlihat begitu menawan. Andras bangkit dari duduk dengan dada berdegup kencang. Merasa gentar menyaksikan cara keluarga Pak Rahardi melepaskan Tara. Meskipun pernikahan tidak dalam artian sesungguhnya, perpindahan tanggung jawab ke pundaknya tetap berlaku setelah akad nikah dilaksanakan.
Tubuh Tara diturunkan dari gendongan, wajah menunduk perlahan terangkat, menatapnya tajam. Decak kagum terdengar jelas, tapi baginya, raut wajah sedih terlihat nyata. Sudah pernah melihat bagaimana wajahnya bersinar saat bahagia, sekarang yang tampak hanyalah kecantikan tanpa roh. Apakah dia menyesal?
Duduk di sebelah Andras tanpa berniat menyapa dengan pandangan. Sebuah senggolan mesra di kaki, mau tak mau memaksanya berpaling. Senyuman akhirnya ia balas dengan senyuman, menghadirkan senyum di wajah penghulu, para saksi, bahkan papa. Tahu bahwa Andras sedang mencoba menggoda sang calon istri untuk mengatasi kegugupan.
Kebanyakan pengantin wanita akan menunduk selama proses ijab kabul berlangsung, tapi tidak dengan dirinya! Menatap Andras dengan seksama, tak ingin kehilangan sedetik pun momen saat dia menjawab kabul. Ekspresinya terlihat bersungguh-sungguh dengan suara tegas. Hebat sekali dia! Bahkan sanggup berpura-pura di momen sakral ini. Tak ada air mata merembah saat proses itu selesai, keharuan di wajah orang-orang terdekat hanya ia balas dengan senyuman.
Pasrah saat sebuah kecupan mendarat di kening yang ia pikir hanya sampai di situ saja. Janji tak akan menyentuh, berlanjut dengan mengecup kedua pipi, hidung dan berakhir di dagu. Tara sengaja menatap tajam dengan senyum tertahan, yang orang-orang salah artikan sebagai kemesraan. Padahal sedang mengirimkan peringatan keras untuk tidak berlanjut ke bibir. Andras sudah mencuri kecupan hampir di seluruh wajah, tak rela bila sampai bibirnya juga kecolongan.
Buku nikah mereka bubuhi tanda tangan, tugas selesai. Status yang Andras inginkan terpenuhi sudah. Tara merasa sangat lega, beban berat seakan terlepas seketika. Hanya perlu bersabar menunggu waktu berputar yang ia yakin bakal sangat cepat. Pesawat akan membawanya kembali ke Swiss untuk melupakan kekonyolan ini.
Sementara di belahan bumi bagian utara, Rose hampir putus asa menelepon sejak dini hari. Hendak menegaskan betapa ia sangat mencintai dan ingin Andras memegang janji. Berharap itu bisa menjadi tameng dari godaan, tidak yakin ada wanita yang rela melewatkan kesempatan begitu saja.
***
Resepsi berlangsung seperti yang seharusnya, Tara bersikap bak pengantin yang sedang berbahagia. Menikmati ucapan selamat, lalu membalas dengan doa yang sama. Rahardi dan Pratiwi yang belum bisa menghilangkan rasa bersalah, akhirnya juga tertular virus bahagia. Melihat ekspresi Tara menjelang akad, sulit memercayai bisa berubah haluan secepat ini.
Satu hal yang Andras sadari, meskipun Tara bersikap ramah kepada semua orang, ia adalah pengecualian. Senyum yang diberikan untuknya terasa palsu dengan sorot mata geram seakan ada kemarahan. Lebih mengesalkan lagi dengan sengaja tak merespon. Pura-pura tak mendengar, hanya menfokuskan diri kepada para undangan. Begitu resepsi berakhir, langsung kabur dengan alasan klasik ke toilet. Andras sempat menunggunya yang tak kunjung kembali.
Suara tawa terdengar keras dari halaman belakang, membawa langkahnya ke sana. Tara masih dalam balutan gaun pengantin, duduk di hadapan kakek, menikmati jamuan teh sore. Mama, papa dan keluarga besar hampir semua berada di sana, tapi kakek hanya menyuguhkan teh untuk Tara.
“Giliranku, Kek. Kenapa dalang membawa keris ketika pertunjukan wayang?”
“Memang itu kelengkapan seragamnya orang Jawa! Kalau bawa golok, berarti pertujukan lenong, dong!” Dzakki berpikir Tara akan melontarkan pertanyaan serius seperti yang sebelumnya ia tanyakan untuk mengulur waktu.
Tara menggeleng. “Karena kalau bawa kompor, istrinya enggak bisa memasak, Kakek!”
Terdiam dengan wajah manyun, merasa teraniaya karena berhasil dikerjai oleh anak kecil. Suara tawa semakin membuatnya geram. Teh kembali ia tuangkan ke cangkir kecil yang sudah kosong.
“Oke, kamu menang! Sekarang giliran Kakek, pertanyaan sangat serius. Kalau bisa menjawab, Kakek akan mengabulkan apa pun permintaanmu, asal tidak meminta keluar dari keluarga besar Shariq.”
Tara tertawa keras sampai mengeluarkan air mata. Merasa sangat ringan, menerima ajakan minum teh adalah hal terbenar yang ia lakukan hari ini. “Keep your promise, Kek. Jangan bohong seperti uncle yang itu …!” Tertawa lagi.
Andras menangkap ketidakwajaran, mendekati Tara, bermaksud menjauhkannya sebelum menyinggung orang yang paling disegani di dalam keluarga. Mana ada yang berani tertawa seperti itu di hadapan kakek?
“Kamu menyingkir dulu! Biarkan kami menikmati kebersamaan sejenak.”
Andras mundur dengan ragu, tak yakin kakek dalam keadaan senang atau malah bad mood. Moniq segera menariknya, berbisik agar dia diam saja, menonton keduanya.
“Siapa presiden Amerika yang pernah mengalami kegagalan berturut-turut?
Tara tersenyum sambil meraih cangkir, menghabiskan dalam sekali teguk. Teh yang kakek sajikan terasa sangat nikmat.
“Abraham Lincoln! Mengalami kegagalan hampir setiap tahun, berturut-turut. Dimulai dari usaha bangkrut, kalah dalam pemilihan tingkat lokal. Bangkrut lagi, lalu istrinya meninggal. Tahun berikutnya, dia hampir saja menjadi penghuni rumah sakit jiwa karena menderita tekanan mental berat. Sehat, terus gagal lagi dalam suatu kontes pidato. Gagal dalam pemilihan anggota senat, anggota kongres. Kembali gagal menjadi anggota senat, gagal jadi wapres, gagal lagi di senat. Akhirnya terpilih sebagai presiden Amerika. Ingat janji, Kakek!”
Moniq tak sadar bertepuk tangan, betapa bangga kepada sang menantu. Melihat senyum di wajah kakek, diam-diam Andras merasa sangat lega.
“Sebutkan permintaanmu.”
Tara tertawa dengan tangan menunjuk ke poci. “Aku mau semua isi poci! Kakek juga harus memberiku hadiah teh yang sama untuk kubawa ke Swiss.”
Dzakki mengangguk. Luar biasa! Sudah menghabiskan empat cangkir, Tara masih bisa mengingat dengan benar.
“Andras, duduk sini! Kakek ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian.” Menatap Andras dengan pandangan tak biasa, sebelum mengambil cangkir lain.
Benar dugaannya, memang ada sesuatu di balik tawa lepas Tara. Sangat mengenal kakek yang bisa bersikap di luar kewajaran untuk menyelesaikan sesuatu. Apakah beliau tahu kebohongannya? Menatap air dengan warna cokelat gelap yang disebut teh, memenuhi cangkir di hadapannya.
“Wishing you a long and happy marriage.” Tatapan terfokus kepada Andras dengan penekatan berat pada kata long. Mengirimkan isyarat bahwa ia tahu kebohongannya.
Bagaimanapun kakek adalah sosok yang paling Andras segani sejagat raya. Tatapannya memberikan efek dahsyat, keringat dingin mulai terasa muncul di permukaan kulit. Belum lagi dada berdegup kencang menyadari konsekuensi atas kesalahan fatal telah mempermainkan pernikahan.
Dzakki meneguk habis duluan. Tara mengikuti, sementara Andras tak bergerak.
“Sejak kapan kamu tidak menyukai teh racikan kakek?”
“Bukan begitu, perutku agak berangin ….”
Moniq dan Malik saling melihat, tahu ke mana arah jamuan ini. Wajah-wajah lain juga tersenyum, menebak hal yang sama.
“Dua cangkir teh tidak akan membuatmu gagal malam ini.”
Tawa Tara kembali terdengar. Dzakki salut, dia masih bisa menangkap lelucon. Andras tak punya pilihan. Meraih cangkir, meneguk habis. Pasrah saat kakek kembali mengisi cangkir bahkan sampai tumpah. Tangannya terlihat bergetar, menandakan efek teh sudah menguasai.
“Silahkan.”
Andras meneguk lagi, perasaan melayang mulai terasa. Selagi pikiran masih waras, segera menyusun rencana-rencana untuk menghindar dari rencana besar kakek.
“Tara sudah mengantuk?” Dzakki merasa pusing, seusianya memang sudah tidak pantas menikmati racikan rahasia.
Tara mengangguk, Andras sigap menahan tubuhnya yang hampir terjatuh. Menatap Andras dengan ekspresi takjub, wajah tersempurna yang pernah ia lihat.
“Kakek antar kalian ke kamar.”
“Tidak usah, Kek. Aku bisa menuntun Tara.”
“Kamu tidak boleh menolak kebaikan Kakek! Kapan Kakek pernah sebaik dan sepeduli ini? Mengantar cucu menikmati malam pengantin!” Tertawa kesenangan, kemenangan sudah di depan mata. Bangkit dengan agak terhuyung, pengawal langsung memegang lengan.
“Cepat! Kakek juga butuh istirahat! Kamu pikir Kakek tidak capek berpikir keras, bagaimana cara membalas kelakuanmu?” Topeng terbuka, nada tinggi menandakan bahwa perintahnya adalah sebuah keharusan.
Semua terdiam. Andras bukan anggota keluarga pertama yang terciduk berusaha mengerjai, tapi malah berhasil dikerjai. Hampir semua anak dan cucu pernah berada dalam situasi seperti ini. Membuat kakek tak terkalahkan, jiwa muda mereka tak mempan memperdayainya.
Bangkit sambil menuntun Tara berdiri, tubuhnya malah oleng. Tidak ada pilihan selain menggendong, merasakan sentuhan hangat saat kulit mereka bertemu. Tatapan mata tak berkedip, menatapnya sepanjang perjalanan. Kakek dan pengawal mengikuti dari belakang, tak percaya bahwa ia akan membawa Tara ke kamar pengantin.
Dzakki tersenyum puas. Meskipun tiada cinta, setidaknya Andras memperlakukan Tara dengan lembut. Menggendong dengan langkah pelan, bahkan diam saja membiarkan tangan Tara menyentuh wajahnya.
“Perlakukan dia seperti seharusnya. After all you’re married!”
Pesan terakhir sebelum Andras menutup pintu. Tidak terdengar kemarahan, wajah melembut penuh kasih sayang.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
