
Chapter 1
"Bersiaplah, Vincena." Laura menaikkan dagunya, berucap sinis pada seorang gadis yang duduk dengan gelisah di kursi belajarnya.
Juan juga terlihat sangat setuju dengan ucapan istrinya. "Kita sudah menghabiskan banyak uang untuk membiayai kehidupanmu selama ini. Anggap saja sebagai balas budimu"
Vincena hanya menunduk dengan kemarahan yang ditahannya selama ini.
Mereka berdua baru saja mengatakan bahwa Vincena bukanlah anak kandung mereka.
Dulu, mobil yang dikendarai orang tua Vincena mengalami kecelakaan ketika sedang menuju rumah sakit bersalin. Ayah Vincena meninggal di tempat, dan Ibunya yang luka parah tetap berjuang untuk melahirkannya di dunia ini, namun kemudian meninggal dunia menyusul sang suami.
Sebelum meninggal, ibunya sempat memberitahukan nama bayi cantik itu.
Vincena Lee.
Lee berasal dari ayahnya yang bernama Jordan Lee, sedangkan ibunya bernama Angela.
Bayi yatim piatu itu akhirnya dirawat oleh pasangan suami istri, bernama Juan dan Laura.
Awalnya mereka merawat Vincena dengan kasih sayang, namun karena keadaan ekonomi makin memburuk, mereka jadi sering bertengkar dan selalu menyalahkan Vincena. Memperlakukan Vincena dengan sangat buruk dan tidak manusiawi.
Dan bahkan di umurnya yang baru menginjak 15 tahun, Vincena akan diserahkan -lebih tepatnya dijual, kerumah bordil.
.
.
.
Vincena membuka laci nakas milik Juan. Di sana terdapat pistol yang langsung dimasukkan begitu saja kedalam tas ranselnya.
Pagi ini tak ada seorangpun di rumah. Juan yang jarang pulang dan ketika pulang seringkali mabuk atau membawa wanita jalang kerumahnya, yang berakhir dengan pertengkaran dengan Laura.
Di sini bukan hanya Juan saja yang membuatnya muak, Laura juga. Sering pergi ke klub malam dan menghabiskan waktu dengan sejumlah pria.
Dan kini memang saatnya untuk pergi.
Apalagi ketika kedua orang tuanya mengatakan bahwa Vincena bukanlah anak kandung mereka.
Semakin yakin ketika mengetahui bahwa dirinya akan dijual kerumah bordil, dan pasti terdengar sangat mengerikan bagi gadis itu.
Dia tidak bisa membayangkan bagaimana harus menjalani hidup di rumah bordil. Meskipun Vincena tidak paham betul bagaimana keadaan di tempat itu, namun dia tahu bahwa di sana adalah seburuk-buruknya tempat.
Membuat Vincena semakin benci dan ingin pergi sejauh mungkin.
.
.
.
Vincena ingin pergi kekota, ingin hidup bebas dan mencari kebahagiaan.
Selama ini dia hanya tinggal di sebuah desa terpencil, yang jauh dari keramaian kota.
Dia memiliki kartu ATM ayahnya yang dia curi, juga mengantongi sejumlah uang dan tentu saja pistol milik ayahnya, untuk berjaga-jaga kalau saja ada orang jahat yang ingin mencelakainya.
Setelah semua persiapan dirasa cukup, gadis itupun pergi.
Vincena mulai berjalan menyusuri rumah-rumah yang masih lengang. Pagi ini sedikit berkabut, untung saja dia memakai jaket tebal karena udaranya dingin.
.
.
.
Setelah perjalanan menyusuri desa yang cukup melelahkan, tibalah dia di jalan raya besar.
Vincena berdiri di pinggir jalan, menoleh kekanan dan kekiri namun sama sekali tak menjumpai taksi. Hanya truk dan mobil-mobil pribadi saja.
Dia memutuskan untuk berjalan kaki saja sembari menunggu barangkali ada taksi yang lewat.
Belum lama berjalan, tiba-tiba terdengar suara klakson dari mobil sport warna hitam mengkilat yang berjalan pelan. Vincena menghentikan langkahnya dan mobil sport itupun berhenti.
Seseorang di dalamnya menurunkan kaca mobilnya.
Kemudian orang itu mengamati Vincena, gadis kecil bermata foxy dengan rambut lurus sebahunya yang tergerai dan sedikit acak-acakan. Mungkin saja karena terpaan angin di perjalanannya tadi.
"Hei..." Pria dewasa dengan suara maskulin itu memanggilnya.
Dia mengenakan kaca mata hitam yang bertengger di hidung bangirnya yang terpahat menawan, dahinya indah dengan garis rahang yang sempurna. "Mau kemana?"
"Kau siapa?" Bukannya menjawab, Vincena malah balik bertanya. Dia memang harus berhati-hati dengan orang asing.
"Perkenalkan, namaku Darren Marcus. Panggil saja Darren." Pria tampan itu membuka kacamata hitamnya. Kini terlihatlah manik hitamnya yang setajam elang, dengan lengkungan alis tebal dan indah yang menghiasinya. "Aku kasihan melihatmu sedari tadi berjalan sendirian. Aku bersedia memberikan tumpangan"
Vincena pun bernafas lega.
Tak perlu berpikir panjang untuk mengiyakan ajakan pria itu. Tak ada salahnya dia menumpang seseorang, toh pria bernama Darren Marcus itu sepertinya orang kaya dan... wajahnya juga lumayan, tidak terlihat seperti berandalan.
Tidak mungkin pria itu merampok Vincena.
"Aku Vincena Lee. Biasa dipanggil Vincena" Ucapnya memperkenalkan diri setelah masuk kemobil.
Darren menyuruhnya mengenakan seatbelt dan mulai mengemudikan mobilnya.
"Kau sepertinya masih kecil. Berapa umurmu?" Tanya Darren memulai pembicaraan.
"15 tahun" Vincena menjawab singkat.
"15 tahun? Kau masih terlalu kecil untuk pergi sendirian kekota besar" Darren menoleh sekilas, sedikit terkejut.
"Daripada aku harus tinggal dengan mereka yang bukan orang tua kandungku." Jelasnya.
"Bukan orang tua kandung?"
"Ceritanya panjang..." Vincena menghela nafas.
"Gadis kecil yang malang..."
"Hei, aku bisa pergi sendiri tanpa bantuanmu." Vincena terlihat tersinggung. "Berhenti mengataiku gadis kecil yang malang!" Vincena sepertinya benar-benar kesal dengan ucapan Darren.
Darren hanya tersenyum tampan mendengarnya. "Bagaimana kalau ada orang jahat?"
"Siapa yang jahat? Kau?" Tantangnya.
"Iya. Bagaimana kalau aku orang jahat" Darren menaikkan sebelah alisnya, melirik Vincena.
"Memangnya apa yang akan kau lakukan? Aku tidak punya apapun. Bahkan kalaupun aku punya uang, pasti tak sebanyak uangmu. Percuma kalau kau merampokku" Vincena mencibir.
Darren terkekeh pelan. "Kau ini polos sekali..." Sekilas seperti terlihat seringai dalam senyumnya. "Ya...ya... sudahlah." Darren membelokkan stirnya, kemudian melaju kencang menyalip mobil sedan hitam yang jalannya melambat. "Oh ya, apa kau lapar?"
Mendadak Vincena ingat kalau dia belum sempat sarapan.
"Ayo, kutraktir kau makan" Ucap Darren kemudian.
Yah, selagi Darren tak berbuat jahat, apa salahnya mengikuti pria itu.
Lumayan menghemat uang, karena dia tidak tahu berapa jumlah uang di kartu ayahnya yang dia curi.
.
.
.
Beberapa jam Darren menyetir, membuat Vincena mengantuk dan dia tertidur begitu saja.
Kemudian terbangun ketika hari menjelang sore dan sepertinya mereka sudah memasuki kota. Terlihat gedung-gedung tinggi dan banyak bangunan mewah berdiri di sepanjang jalan.
Vincena sejenak kagum karena selama ini dia hanya tinggal di pemukiman desa, yang jauh dari keramaian dan megahnya kota.
"Aku berhenti disini saja, Darren" Ucap Vincena tiba-tiba.
Darren menoleh. "Kau yakin?"
"Iya... " Sebenarnya Vincena sedikit ragu, namun dia ingin sekali keluar berjalan-jalan melihat-lihat bangunan mewah.
"Ya sudah" Darren menepikan mobilnya dan membiarkan Vincena keluar dengan membawa ranselnya.
"Terimakasih banyak Darren Marcus. Aku tidak ingin merepotkanmu. Jadi mungkin sampai di sini saja" Vincena melambaikan tangannya dan dibalas anggukan Darren.
Mobil Darren berjalan menjauh dan Vincena mulai berjalan melihat-lihat sekeliling dengan takjubnya.
.
.
.
Hari mulai gelap dan sedari tadi Vincena hanya menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan. Setelah makan di sebuah café dan membayar dengan kartunya, kini dia mulai kebingungan.
Malam ini dia akan tidur dimana?
Setelah dilihat saldo kartu milik ayahnya akhirnya dia tahu bahwa mungkin saja uang itu hanya cukup untuk bertahan selama satu bulan.
Karena ternyata harga makanan di sebuah café yang tak terlalu besarpun bisa semahal itu. Belum nanti jika menginap di hotel yang harganya pasti selangit.
Vincena sedikit menyesali kenapa dia tidak ikut dengan Darren saja tadi.
Vincena terduduk di sebuah halte, dan mulai berpikir keras. Berpikir untuk mencari-cari hotel yang murah.
Namun dia tidak tahu di mana dan bahkan dia sama sekali tidak mengenali semua tempat di kota ini.
Bagus sekali, Vincena!
Ditengah kemelut pikirannya, tiba-tiba sebuah mobil sport hitam menepi di hadapannya.
Darren?
Dan benar saja, kaca mobil diturunkan dan terlihat wajah tampan Darren tersenyum tengah menatapnya.
"Butuh tumpangan?"
.
.
.
"Kenapa kita bisa bertemu lagi?" Kini Vincena sudah berada di mobil Darren, dan terlihat seperti tengah berpikir.
"Entahlah" Darren hanya menyahut singkat.
"Di kota sebesar ini apakah terlalu kebetulan kalau kita bertemu lagi?" Vincena mulai bertanya-tanya.
"Apa kau tidak suka bertemu denganku? Mau turun di sini saja?" Darren seolah akan menepikan mobilnya.
"Tidak! Jangan Darren... Ini sudah malam dan aku tidak tahu harus bermalam di mana" Ucap Vincena panik.
Darren menormalkan kembali laju mobilnya, kemudian menghela nafas. "Mau ke apartemenku?"
"Terserah kau saja. Aku sudah tidak tahu harus kemana lagi" Vincena mulai pasrah.
"Hmm. Baiklah" Ucap Darren pada akhirnya.
Lalu mereka terdiam beberapa saat.
"Umurmu berapa Darren?" Tanya Vincena tiba-tiba.
"27"
"27..? Tua sekali..." Kini Vincena yang terkejut.
"Kalau bagimu pasti terlalu tua" Darren tersenyum geli.
"Jadi kenapa kau mengajakku ke apartemenmu? Apa tidak ada seseorang yang tinggal bersamamu?"
"Tidak. Aku tinggal sendirian di apartemen"
"Oh..."
"Kenapa?"
"Tidak. Tidak apa. Oh ya, apa kau bekerja?"
"Aku punya sebuah bar. Di sana ada karyawan-karyawanku yang bekerja"
"Bar??" Mata Vincena berbinar-binar. Dia membayangkan sebuah bar keren seperti yang biasa dia lihat di film-film.
"Kau mau melihat kesana?"
"Bolehkah?"
"Tentu saja. Setelah ke bar, baru nanti ke apartemenku. Kau bisa istirahat."
Vincena tersenyum senang. Sebentar lagi dia akan melihat bar sungguhan, bukan hanya di film.
"Sebenarnya kau belum boleh memasuki bar. Minimal yang masuk kesana harus sudah berumur 18 tahun. Tapi karena bar itu milikku, jadi kau boleh masuk. Hanya saja, kau harus terus bersamaku, jangan sampai terpisah sendirian. Bisa-bisa kau diusir dari sana"
.
.
.
Akhirnya mereka berdua memasuki bar.
Terllihat beberapa orang mengangguk sopan kearah Darren, sebagian yang lain merasa aneh melihat Vincena.
"Duduk di sini" Setelah menyuruh Vincena duduk, terlihat Darren melempar-lempar botol dengan lihainya seperti bartender meracik minuman.
"Kau boleh minum yang ini. Alkohol rendah, tidak akan membuatmu mabuk" Darren menyerahkan segelas minuman pada Vincena.
Ketika Vincena meminumnya, yang dirasa agak sedikit pahit dan tenggorokannya seperti terbakar. Vincena mengernyit dan meletakkan kembali minumannya di meja.
Darren duduk di sebelahnya dan minum minuman yang berbeda, terlihat sedikit pekat dari warna minuman Vincena.
.
.
.
Setelah beberapa saat mereka mengobrol, Vincena mendadak ingin buang air kecil.
Dia menolak ketika Darren hendak mengantarnya, karena tak terlalu jauh. Hanya berjalan lurus kemudian berbelok, dan jelas sekali ada tandanya. Sangat mudah dicari.
.
.
.
Dan di sinilah dia sekarang di sebuah toilet wanita.
Vincena mencuci tangannya di wastafel, sambil berkaca. Melihat wajahnya sedikit kusam, dia mengambil sabun cair yang terletak di atas wastafel. Entah sabun apa, dia tidak tahu. Yang jelas baunya wangi, dan Vincena memakainya untuk mencuci wajah.
Kemudian dia menuju bilik toilet.
Ketika hendak membuka salah satu bilik, tiba-tiba seseorang datang entah dari mana, mendorong Vincena masuk dan langsung menutup pintu bilik dengan cepat.
Orang itu membekap mulut Vincena yang membuatnya susah berteriak.
Sekilas Vincena bisa melihat wajah orang itu.
Rupanya dia adalah seorang pria!
Bagaimana mungkin ada seorang pria di toilet wanita??
Vincena meronta-ronta dengan sekuat tenaga, namun usahanya sia-sia. Pria itu terlalu kuat dengan tubuhnya yang sangat besar.
Vincena ingin sekali menangis ketika tangan pria itu mulai menarik-narik baju Vincena dengan kasar, bermaksud hendak membukanya.
Saat ini Vincena merasa hidupnya sebentar lagi akan berakhir...
Vincena terus saja berusaha meronta ketika tiba-tiba seseorang mendobrak bilik kamar mandi.
BRAAAKKKKK..!
Rupanya itu Darren.
Begitu pintu terbuka, dengan sigap Darren langsung memukul kepala pria yang rupanya terkejut melihat kedatangan Darren.
Darren menarik Vincena keluar dari bilik, dan selanjutnya terdengar suara debuman dan benturan.
Kamar mandi ini sangat sepi, sejak tadi tak ada seorangpun yang datang.
Tak lama kemudian, suara-suara perkelahian itu terhenti.
Darren menyeret pria itu keluar dari bilik, bersimbah darah. Membuat Vincena membelalakkan matanya karena terkejut sekaligus ngeri.
"Darren... kita harus pergi!" Vincena berusaha mendekat kearah Darren namun dia terlonjak melihat Darren yang menatapnya dengan dingin.
Vincena hanya berdiri kaku tak melakukan apapun, melihat pria itu tergeletak tak sadarkan diri.
"DAMN...!" Seperti tersulut emosi, Darren kembali memukul kepala pria itu bertubi-tubi hingga wajahnya tak berbentuk lagi.
Dan entah bagaimana tiba-tiba saja Darren mengeluarkan pisau lipat dari sakunya kemudian menancapkannya di kepala pria itu berkali-kali hingga darah menggenang dan mengucur semakin deras mengotori baju Darren.
Bau anyir darah memenuhi ruangan ini.
Pria itu sepertinya sudah tak bernyawa.
Melihat semua itu, Vincena mulai kesulitan bernafas, pandangannya mulai kabur dan matanya berkunang-kunang.
Dan Vincena ambruk seketika.
.
.
.
Vincena terbangun dengan nafas tersengal dan keringat dingin, dia mulai menormalkan detak jantungnya dan melihat sekitar.
Ini dimana?
Jelas ini bukan kamarnya.
Vincena melihat sekeliling dan masih merasa bingung.
Kamar yang cukup rapi dan wanginya maskulin, dengan nuansa coklat gelap, terdapat jendela kecil di dekat ranjang.
Lemari kayu yang tak terlalu besar, namun tinggi memanjang. Lalu sofa berbahan kulit dengan meja kecil, di atasnya ada beberapa buku tebal.
Hanya ada sedikit barang di kamar ini.
CEKLEK
Pintu kamar terbuka dan terlihat Darren memakai bathrobe berwarna putih dengan rambut setengah basah. Sepertinya dia baru selesai mandi.
"Sudah baikan?" Darren mendekat dan duduk di tepi ranjang.
"Ini dimana???" Vincena sedikit mundur menjauh dari Darren.
"Tentu saja di apartemenku. Kau bilang akan menginap di sini kan?" Darren berucap tenang.
"Kejadian tadi... di bar kau-"
"Kenapa?" Darren bertanya seolah tak ada hal serius yang terjadi.
Namun Vincena diam saja tak melanjutkan ucapannya.
"Kau berada dalam situasi berbahaya, dan pria itu harus diberi pelajaran. Itu hal yang wajar, Vincena. Apa kau ingin pria itu selamat dan kembali menyerangmu?"
Vincena menggeleng cepat.
"Jadi, kau tak perlu khawatir lagi. Ada aku di sini yang akan menjagamu. Kau jangan pergi jauh-jauh dariku lagi, mengerti?"
Vincena mengangguk namun hatinya masih merasa ragu.
Yang jelas, Vincena mulai takut terhadap Darren.
Apakah Darren orang baik? Memang benar Darren menyelamatkannya, tapi kenapa Darren membunuh orang dengan cara seperti itu?
"Sebaiknya kau lekas mandi. Bereskan pakaianmu dan letakkan di lemari." Darren menunjuk lemari kayunya. "Mulai sekarang ini akan menjadi kamarmu"
"Lalu kau tidur dimana??" Tanya Vincena khawatir.
"Tentu saja di kamar ini. Ini kan kamarku"
"Aku tidak mau!"
"Lalu aku harus tidur di mana?" Darren pura-pura bodoh.
Vincena hanya diam saja tak menjawab.
"Aku tidur di kamar ini, tapi di sofa." Terang Darren.
Melihat Vincena masih dengan raut khawatirnya, akhirnya Darren berusaha mengalah.
"Baiklah, aku tidur di sofa ruang tengah. Kalau ingin sesuatu kau bisa memanggilku" Ucapnya seraya meninggalkan kamar.
.
.
.
Vincena tak sepenuhnya mengindahkan perkataan Darren.
Dia membiarkan pakaiannya tetap berada di dalam ransel dan tak berniat memindahkannya ke lemari.
Malam hari setelah mereka makan dengan memesan delivery, Vincena berpamitan pada Darren untuk tidur terlebih dahulu, dan Darren langsung mengiyakan saja.
Namun ketika jarum jam menunjukkan pukul 3 pagi, Vincena bersiap kali ini.
Dia membawa tas ranselnya dan mengendap-endap keluar dari kamar tidurnya.
Terlihat Darren tertidur di sofa dengan lampu temaram, dan Vincena bergegas menuju pintu keluar apartemen.
Keberuntungan berpihak padanya, karena kunci apartemen masih tergantung di pintu dan Vincena bisa membukanya.
Dia membuka pintu dengan sangat pelan.
Sekali lagi dia menoleh dan memastikan bahwa Darren masih tertidur di sofa, namun ternyata dilihatnya sofa telah kosong.
Darren tak lagi berada disana.
"Kau mau kemana?" Suara baritone yang terdengar begitu dekat, dan memang benar bahwa pria tinggi itu sudah berada di hadapannya.
Berdiri di kegelapan, dengan raut tak terbaca.
Vincena terlonjak kaget, dan tanpa berpikir panjang dia langsung berlari keluar sekuat tenaga tanpa berani menoleh sedikitpun.
Jantungnya terpacu dengan cepat, keringatnya menetes di dahi. Meskipun hawa dingin, namun dia merasakan panas karena kepanikan yang amat sangat.
Semakin jauh Vincena berlari, membuat tenaganya semakin berkurang. Nafasnya mulai tersengal hinga terbatuk-batuk karena kelelahan.
Dia terus berlari tak tentu arah dan terhenti ketika tiba di jalan raya.
Jalanan tak terlalu ramai, sesekali mobil lewat dan terkadang beberapa orang berjalan melewatinya.
Nafas Vincena tersengal dan dia melihat sekitar dengan raut cemas.
Takut kalau-kalau Darren berhasil menemukannya.
Namun dia tak melihat Darren di manapun. Bahkan Vincena juga tidak tahu apakah Darren tadi mengejarnya atau tidak, karena sedari tadi dia hanya terus berlari dan berlari, tak pernah menoleh kebelakang barang sedikitpun.
.
.
.
Merasa bahwa Darren tak berada di sekitarnya, membuat Vincena sedikit lega dan mulai berjalan dengan cepat menyusuri jalan raya. Dia harus menemukan tempat persembunyian untuk sementara, karena sedari tadi dia lelah berlari.
Tak sengaja dia bertubrukan dengan seorang wanita yang baru saja keluar dari sebuah klub malam.
Wanita berdandanan menor dengan pakaian yang sangat terbuka. Rambutnya panjang dan lebat. Melihat wanita itu dia jadi teringat akan Laura, ibunya.
"Gadis kecil, sedang apa di sini? Kau tau ini jam berapa?" Wanita itu memandang Vincena dari kaki hingga ujung rambut.
"Aku sedang mencari hotel yang murah. Apa kau tahu di mana tempatnya?"
"Di sini tidak ada hotel yang murah. Kenapa kau sendirian di jalan? Rumahmu dimana?"
"Aku... kabur dari rumah..." Ucap Vincena sambil melihat sekitar, masih merasa takut kalau-kalau ada yang mengawasi.
"Kasihan sekali..." Wanita itu menatap Vincena dengan dahi berkerut. "Ikut saja denganku kalau kau mau. Aku baru mau pulang"
Vincena berpikir sejenak. Sepertinya ikut dengan seorang wanita jauh lebih baik daripada ikut dengan pria macam Darren.
"Baiklah, aku menerima tawaranmu."
.
.
.
Wanita cantik itu bernama Patricia.
Rupanya dia juga tinggal sendirian. Apartemennya tidak terlalu besar seperti milik Darren, tapi Vincena merasa lebih tenang tinggal di sini.
Vincena memang sudah menceritakan semuanya, semua yang menimpanya kecuali soal Darren. Dia hanya menceritakan bahwa dia pernah menginap sebentar di tempat Darren dan tak ada hal lain yang diceritakan selain itu.
Vincena masih belum berani menceritakan lebih detail lagi.
"Kau masih terlalu kecil dan seharusnya tetap bersekolah" Ucap Patricia sambil menyiapkan masakan untuk sarapan pagi mereka berdua.
"Aku memang masih bersekolah, dan tidak tahu bagaimana selanjutnya. Aku seperti depresi jika berada dirumah"
"Kau bisa tinggal di sini kapanpun kau mau. Aku sebatang kara, kelargaku sudah tak mau berurusan denganku. Pasanganku juga pergi."
"Apa... kau punya anak?"
"Tidak. Aku pernah melakukan aborsi karena pacarku waktu itu pergi begitu saja dan tak mau mengakui anak yang aku kandung. Untuk apa aku mempertahankan?"
Vincena merasa kasihan juga dengan Patricia.
Selanjutnya mereka makan dengan diam. Setidaknya Vincena kini punya tempat berlindung dan sepertinya tinggal bersama Patricia adalah pilihan yang tepat.
.
.
.
Siang itu Vincena berjalan-jalan di sekitar apartemen Patricia dan menemukan seekor kucing kecil liar.
Kucing itu berbulu halus namun sedikit kotor. Dia membawanya pulang dan langsung memandikannya.
"Apakah aku boleh memelihara kucing?" Tanya Vincena ketika dilihatnya Patricia sudah pulang membawa barang belanjaan.
"Boleh saja, asal kau merawatnya dengan benar. Dan jangan sampai mengotori apartemenku" Patricia mulai memasukkan beberapa makanan kedalam kulkas.
"Baiklah. Aku akan menamainya Candy" Vincena tersenyum senang.
Setelah memberinya makan, Vincena mulai bermain-main dengan kucing kecilnya itu. Berlarian kesana kemari dan mengeong lucu.
Candy mulai berlarian keluar apartemen dan Vincena terus mengikutinya.
Vincena hendak menangkap Candy karena kucing itu sudah berlari terlalu jauh, namun tangan seseorang mendahuluinya.
Orang itu menangkap Candy.
Vincena mendongak dan terkejut melihat siapa orang itu.
"D-Darren??" Mata Vincena terbelalak.
.
.
.
Pria rupawan itu tersenyum miring sambil mengelus Candy. "Kucing yang lucu"
"Berikan padaku" Vincena berucap dengan panik.
Darren menatap Vincena dengan alis tebalnya yang bertaut. Kemudian dia membungkuk, berusaha mendekatkan wajahnya pada Vincena. "Kenapa kau pergi?"
"Aku... aku..." Vincena merasa bingung menjawabnya.
Wajah Darren cukup dekat, membuatnya kesulitan bernafas karena begitu panik. Manik hitam pria itu terlihat begitu jelas, dengan sorot tajam dan penuh intimidasi.
"Aku akan membawa kucingmu. Datanglah ke apartemenku kalau kau ingin mengambilnya kembali" Darren menegakkan tubuhnya, kemudian pergi begitu saja sambil membawa kucing malang itu.
Vincena tertunduk lemas melihat Darren pergi membawa Candy. Bukan hanya sedih kucingnya telah diambil, dia juga khawatir karena Darren sudah tahu keberadaan dirinya.
Bagaimana Darren bisa tahu kalau dia ada di sini?
Apakah Vincena harus pergi lebih jauh lagi?
Tapi harus pergi kemana? Patricia dengan baik hati sudah mau menerimanya, dan tidak ada jaminan jika pergi lagi dia akan bisa menemukan orang sebaik Patricia.
.
.
.
"Ketika melihatmu, aku semakin kasihan..." Darren berjalan pelan membawa seekor kucing kearah dapur. "Kau masih sangat kecil dan lemah. Dunia luar sangat kejam dan tak cocok untukmu. Aku berjanji ini akan berjalan cepat dan tidak akan sakit" Darren tersenyum manis dan memasukkan kucing malang itu kedalam microwave dan menutupnya.
Kemudian memencet tombol untuk menyalakannya.
.
.
.
Malam ini Vincena tidur sendirian di apartemen Patricia.
Tadi Patricia sudah berpamitan dan menitipkan kunci padanya. Patricia bilang dia akan pergi bekerja dan akan pulang pagi.
Vincena tak mengerti apa sebenarnya pekerjaan Patricia dan dia juga sungkan untuk bertanya karena Patricia sepertinya tak mau membahasnya lebih jauh.
Sudahlah, yang penting Vincena masih tetap bisa tinggal disini dengan... tenang?
Tunggu.
Dia jadi teringat Darren. Mungkin besok pagi saja dia pergi ketempat Darren untuk mengambil kucingnya kembali.
Vincena teringat bahwa dia membawa ponsel. Karena sedari kemarin dia sama sekali tak membongkar isi ranselnya, hanya mengambil baju seperlunya saja.
Diambilnya ponsel yang di simpan di ransel. Ternyata mati karena baterainya habis. Begitu dia charge dan menghidupkan ponselnya, ternyata sudah ada berpuluh-puluh pesan dan panggilan tak terjawab.
Ternyata itu dari orang tuanya, Juan dan Laura.
Pasti mereka sudah tahu bahwa Vincena telah kabur dari rumah.
Dan Vincena membiarkannya, tak membalas satupun pesan dari mereka.
.
.
.
Pagi itu Vincena sudah bersiap untuk pergi.
Patricia baru saja pulang dan terlihat matanya sedikit memerah. Mungkin karena kurang tidur, pikir Vincena.
"Patricia, hari ini aku akan mencari kucingku. Kemarin sepertinya dia terlalu jauh bermain dan... hilang. Jadi aku akan mencarinya" Vincena berusaha berbicara senormal mungkin.
"Jangan terlalu jauh. Kalau memang tidak ketemu biarkan saja" Patricia berucap sambil duduk di meja rias dan membuka ikatan rambutnya.
"Oh ya, kita belum bertukar nomor. Aku minta nomor ponselmu" Ucap Vincena.
"Baiklah. Kemarikan ponselmu"
Vincena pun memberikan ponselnya.
Patricia mengetikkan nomornya di ponsel Vincena dan kemudian menekan tombol dial. Terdengar ringtone ponsel Patricia berbunyi.
"Nanti telfon aku kalau ada apa-apa" Ucapnya sambil mengembalikan ponsel Vincena.
.
.
.
*
Vincena sudah berada di dalam taksi dan mencoba mengingat-ingat letak apartemen Darren.
Seharusnya dia sudah sampai, tapi kenapa apartemen Darren sama sekali tak terlihat?
Vincena memutuskan untuk turun dari taksi dan mencoba berjalan kaki saja.
Seharusnya apartemen Darren ada di sekitar sini. Vincena terus berjalan dan melihat-lihat sekitar, kiri dan kanan.
"Vincena"
Vincena menghentikan langkahnya. Itu seperti suara Darren.
Seketika Vincena membalikkan badannya dan ternyata benar, Darren sudah berdiri di belakangnya.
"Ah, kebetulan sekali. Aku bermaksud datang ketempatmu." Vincena mendesah lega.
Darren melengkungkan bibirnya, membuatnya semakin tampan. "Kau berjalan ke arah yang benar. Sebentar lagi sampai ke apartemenku. Ayo."
Vincena pun kembali berjalan mengikuti Pria itu.
Namun tiba-tiba Vincena menghentikan langkahnya. Membuat Darren ikut berhenti dan menoleh kearah Vincena.
"Kau... Maksudku, kita. Kenapa kita bisa bertemu di sini? Apakah ini kebetulan juga?" Tanya Vincena. Wajahnya mengerut seperti memikirkan sesuatu.
"Ini kan jalan sekitar apartemenku. Wajar saja kau bisa bertemu denganku." Darren menatap Vincena seolah-olah merasa heran.
"Ummm... baiklah. Kau benar juga."Vincena mengangguk angguk dan mereka berdua kembali berjalan.
Tak berapa lama kemudian, sampailah mereka di apartemen Darren yang berada di lantai paling bawah, jadi mereka tidak perlu menaiki tangga ataupun lift.
"Tujuanku kemari untuk mengambil kucingku. Kau tau kan?" Ucap Vincena.
Darren menghentikan gerakannya yang tengah memutar kunci. Dia mengurungkan niatnya untuk segera membuka pintu.
"Sayang sekali, Vincena." Darren menunjukkan wajah sedihnya. "Padahal aku sudah berhati-hati mengawasinya di apartemenku. Tapi dia kucing liar, begitu aku lengah dia langsung pergi menghilang begitu saja. Maafkan aku..." Ucap Darren dengan ekspresi menyesalnya.
"Kenapa bisa begitu??" Vincena sedikit mundur karena terkejut.
"Tapi tenang saja, aku punya penggantinya. Kau pasti suka" Darren tersenyum manis dan langsung membuka pintunya.
Begitu pintu terbuka, seekor anjing husky berwarna putih abu-abu menyalak menyambut kedatangan mereka.
"Waah...!" Mata Vincena berbinar dan langsung berjongkok mengelus anjing itu. Dia begitu cepat melupakan kucingnya.
Darren tersenyum menyeringai, Ini sudah sangat tepat.
Dan kalau disuruh memilih hewan peliharaan, setidaknya anjing lebih berguna daripada kucing, begitulah yang ada di pikiran Darren.
Darren masuk dan menutup pintunya. "Duduklah" Darren duduk disofa ruang tengah.
Vincena membopong anjing itu dan mendudukkan bersama dirinya disofa.
"Aku akan membawanya pulang" Ucap Vincena masih dengan wajah senangnya.
"Pulang kemana?"
"Kerumah... Patricia" Raut Vincena berubah.
"Itu kan anjingku, dan tidak boleh dibawa kemanapun"
"Tapi kau menghilangkan kucingku!" Vincena mulai meninggikan suaranya.
"Kau boleh memilikinya jika kau tinggal disini." Ucap Darren dengan tenang.
"Tapi-"
"Kau juga boleh memberinya nama. Siapa nama anjing ini?"
Wajah Vincena kembali cerah. Begitu cepat ekspresinya berubah. "Jadi, aku boleh memberinya nama?"
"Tentu saja boleh." Darren tersenyum tampan.
Vincena memutar bola matanya. "Bagaimana kalau namanya... Berno? Bagus kan??" Ucapnya bersemangat.
"Bagus sekali. Cocok untuknya. Hai Berno!" Darren menyapa Berno dan mengelus kepala anjing itu. "Jadi, apa kau akan tinggal disini?" Darren kembali menatap Vincena.
Belum sempat Vincena menjawab, ponselnya berbunyi. Dia merogoh sakunya dan memencet tombol answer kemudian menempelkan ponsel itu ketelinganya.
"Halo? Iya.... iya... tidak apa-apa.... Iya, nanti aku pulang... aku baik-baik saja Patricia.... Iya, pasti.....Ya... ya... Sampai jumpa" Vincena mematikan ponselnya, memasukkan kedalam saku. Dia menghela nafas.
"Bagaimana ya, Darren. Patricia pasti mengkhawatirkan aku. Mungkin aku belum bisa tinggal di sini. Nanti aku bicarakan dulu dengan Patricia."
"Sayang sekali. Kalau begitu, Berno untukku saja"
Vincena menyahut cepat "Aku akan sering berkunjung di sini menemui Berno, bagaimana?"
"Hmmm..." Darren terlihat berpikir sebentar. "Ya, boleh saja" Ucapnya pada akhirnya.
"Kalau begitu, aku pulang dulu" Vincena beranjak dari duduknya.
"Cepat sekali. Aku bahkan belum memberimu minuman"
"Tidak perlu Darren. Aku harus pulang dan berbicara dengan Patricia"
"Baiklah kalau begitu. Hati-hati."
Darren pun mengantar Vincena sampai depan pintu.
.
.
.
Sore itu, Vincena menemani Patricia duduk-duduk diruang TV sambil meminum teh hangat. Patricia sejak tadi tidur seharian karena malamnya akan bekerja lagi.
Vincena telah menceritakan pertemuannya dengan Darren.
Dia mengatakan ketika sedang mencari kucingnya, secara tidak sengaja dia bertemu dengan Darren.
Dan Patricia percaya dengan ceritanya.
"Jadi, apa kau ingin tinggal di tempat Darren?"
"Aku tidak tahu. Tapi dia terlihat sedih ketika aku menolak tinggal disana"
"Aku bukannya melarangmu. Tapi pikirkan baik-baik, Vincena. Apakah menurutmu Darren orang yang baik?"
"Dia..." Vincena menarik nafas dalam-dalam. Mata jernihnya terlihat menerawang. "Sejauh ini memang baik padaku dan tidak pernah melakukan hal buruk padaku" Matanya mengerjap. "Bahkan karena kucingku hilang, dia memberikanku anjing sebagai gantinya"
Patricia mengangguk paham. "Mungkin saja dia memang orang baik. Yah, aku sendirian lagi kalau kau nanti tinggal di sana..." Patricia tersenyum. Sebenarnya dia lebih suka jika Vincena menemaninya tinggal di sini, namun dia tidak akan memaksa. Semua keputusan ada di tangan Vincena.
Vincena merasa tidak enak pada Patricia. "Sepertinya tidak. Aku akan tetap tinggal di sini dan mungkin sesekali aku main ketempat Darren" Terangnya.
"Baguslah kalau begitu" Patricia mendesah lega.
.
.
.
Keesokan harinya Vincena datang ke apartemen Darren.
Lagipula percuma saja kalau dia menghindar dari Darren. Toh Darren sudah tahu kalau Vincena tinggal bersama Patricia.
Mencoba berteman dengan Darren sepertinya ide yang bagus juga, Darren selama ini memang tidak pernah berbuat buruk padanya.
Vincena merasa, mungkin itu hanya pikiran paranoidnya terhadap Darren.
"Darren, apakah kau tidak merasa bosan?" Tanya Vincena sambil menyikat bulu Berno.
"Kalau denganmu aku tidak akan pernah bosan" Manik hitamnya sedari tadi tak pernah lepas dari Vincena. Dia hanya terus mengamati tingkah Vincena.
"Tapi aku bosan. Darren, kau tidak ingin main denganku?" Vincena menghentikan kegiatan menyikatnya, dan menatap Darren.
"Main apa?" Darren menaikkan alisnya.
"Main keluar" Jawabnya dengan polos.
"Oh..." Darren terdiam sejenak. "Kau ingin main kemana?"
"Ke taman bermain, kau mau tidak??" Ucap Vincena berbinar-binar.
Darren memicingkan matanya. "Yang benar saja, kau menyuruhku ketaman bermain?"
"Jadi...kau tidak mau?" Vincena merengut kecewa.
"Ya... ya... aku mau" Darren menyahut dengan cepat ketika melihat perubahan raut Vincena. "Ayo, berangkat sekarang. Berno di rumah saja, repot kalau mengajak dia juga"
Vincena berjingkrak senang. Dia berlari-lari riang ketika Darren beranjak keluar dan mengunci apartemennya. "Sejak dulu aku memimpikan pergi ketaman bermain, karena orang tuaku dari dulu tidak pernah mengajakku kesana"
"Ya, aku tahu" Darren memasukkan kedua tangan ke sakunya, dan mulai berjalan.
"Eh? Kau tahu darimana?"
Darren terdiam sejenak. "Ya... melihatmu terlalu senang, memang sepertinya kau tidak pernah pergi ketempat seperti itu." Pria itu menoleh kearah Vincena. "Aku benar, kan?"
"Iya, kau benar" Vincena mengangguk dengan wajah berbinarnya.
.
.
.
Darren mengajak Vincena ke Fantastic World.
Di sana banyak sekali wahana permainan. Dan Vincena benar-benar antusias, ingin mencoba semua wahana yang ada di sana.
Tempatnya ramai sekali dan terlihat kebanyakan orang datang bersama keluarga mereka. Mulai usia anak-anak sampai remaja tanggung.
Darren hanya menurut saja ketika Vincena mengajaknya naik kuda-kudaan, cangkir berputar, dan entah permainan bodoh apalagi yang akan dicoba Vincena.
Orang-orang merasa biasa saja ketika melihat Vincena, namun melirik aneh pada Darren. Darren tahu itu, namun dia membiarkannya.
Kemudian mereka naik roller coaster, meskipun Vincena berteriak-teriak kegirangan ketika menaikinya, begitu turun dia langsung muntah-muntah dan bahkan mengenai baju Darren.
Namun Darren tidak marah apalagi jijik, dia justru menenangkannya.
Setelah mereka membersihkan diri di kamar mandi umum, Darren mengajak Vincena duduk berteduh di bangku panjang yang disediakan di sana.
"Darren, itu ada ice cream. Aku beli dulu ya. Dari tiket masuk semuanya kau yang membayar. Sekarang giliran aku yang akan mentraktirmu" Belum sempat Darren menjawab, Vincena sudah berlari pergi mengantri dengan anak-anak lain untuk membeli ice cream.
Namun antriannya terlalu panjang, dan Vincena merasa gerah kepanasan.
"Darren...!" Vincena melambai-lambaikan tangannya kearah Darren.
Dan Darren beranjak dari tempat duduknya mendekati Vincena.
"Ada apa?"
"Kau gantian antri di sini ya. Panas sekali" Vincena langsung menyeret Darren untuk berdiri menggantikan tempatnya mengantri. "Ini uangnya" Diberikannya lembaran uang receh pada Darren. "Fighting Darren!" Ucapnya memberi semangat yang sama sekali tak berguna.
Vincena langsung berlari dan duduk berteduh di bangku yang tadi mereka duduki.
Dan lihat saja sekarang. Darren terlihat mencolok sekali berdiri mengantri bersama anak-anak yang lain.
Jika bukan karena Vincena, dia tidak akan pernah mau melakukan hal bodoh seperti ini.
Dia mengumpat pelan, ingin sekali rasanya merobek mulut anak-anak yang berisik di sekitarnya.
Setelah lama mengantri, akhirnya Darren berhasil membawa 2 cup ice cream. Rasa mint untuknya, dan rasa strawberry untuk Vincena.
"Ah..! Bagaimana kau tahu aku sangat menyukai strawberry??" Ucap Vincena takjub.
"Aku hanya menebak saja. Dan kebetulan tebakannya benar...?" Darren melirik Vincena.
Vincena mengangguk dengan senang.
.
.
.
Saat hari menjelang sore, mereka akhirnya pulang ke apartemen Darren. Berno rupanya sedang tertidur di atas sofa.
Darren masuk kekamar, melepas kaosnya dan melemparnya ke keranjang cucian, berganti dengan kaos yang baru.
Kemudian dia menemui Vincena yang sedang duduk beristirahat di ruang tengah, di samping Berno.
"Darren, terimakasih..." Ucap Vincena ketika Darren mendudukkan dirinya.
"Untuk...?"
"Semuanya... aku tidak pernah segembira ini sebelumnya..."
Darren tersenyum kecil. "Jadi, apa kau mau tinggal di sini?"
Vincena seketika terdiam. "Kalau soal itu... aku tidak bisa Darren. Aku tidak enak pada Patricia. Dia sangat baik padaku"
"Memangnya aku tidak baik padamu?" Senyum Darren memudar.
"Kau baik juga Darren" Sahut Vincena cepat.
"Lalu...?"
"Lalu... Oh ya, sekarang... sekarang sudah sore Darren. Aku harus pulang" Vincena tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Dia sudah berjanji untuk tetap tinggal dengan Patricia.
"Bye Darren..." Vincena bangkit menuju pintu keluar apartemen dan melambaikan tangannya dengan kaku.
"Vincena..." Darren bangkit mengikuti langkah Vincena.
Vincena berbalik kearah Darren, membelakangi pintu apartemen yang belum dibukanya.
Darren semakin mendekatinya, menipiskan jarak antara mereka. Kemudian Darren menunduk dan mencium bibir Vincena.
Vincena terlonjak kaget, terkejut dengan apa yang barusan Darren lakukan.
Wajahnya memerah dan jantungnya berdetak dengan cepat.
Dengan terburu-buru dibukanya pintu apartemen dan Vincena langsung berlari tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Apakah ini hal yang wajar?
Kenapa Vincena merasa dirinya seperti aneh?
Bahkan Vincena masih terlalu kecil untuk berpacaran dengan Darren.
Eh?
Apakah barusan dia mengatakan 'berpacaran dengan Darren?'
Kau bodoh Vincena! Bahkan Darren tak mengatakan apapun.
Apakah Darren menyukai dirinya?
Atau dirinya saja yang menyukai Darren?
Vincena berkali-kali menggelengkan kepalanya dengan keras. Dirinya telah berpikir terlalu jauh.
Sementara itu di balik pintu apartemennya, Pria dengan sorot tajam terus menatap kepergian Vincena sambil tersenyum menyeringai.
.
.
.
Vincena terbangun dari tidurnya karena mendengar suara ponselnya yang sejak tadi terus berbunyi.
Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul 8 pagi. Biasanya Patricia pulang dini hari jam 3 atau jam 4 pagi, tapi kenapa sampai sekarang belum pulang juga ya?
Dilihatnya nomor tidak dikenal menghubunginya. Sebenarnya Vincena merasa heran, namun panggilan itu tetap diterimanya.
"Halo?" Sapa Vincena masih dengan suara sedikit serak.
"Hai Vincena" Sepertinya suara seseorang yang tidak asing.
"Darren??"
"Iya. Ini aku." Ternyata benar. Itu suara Darren.
"Hah? Kau..? Ada apa Darren?" Mata Vincena langsung terbuka lebar. Dia terduduk begitu saja di ranjangnya.
"Kau akan datang ketempatku lagi kan...?"
Vincena terdiam. Dia jadi ingat kejadian kemarin yang dilakukan Darren.
Mendadak dia merasa gugup dan tangannya sedikit gemetar memegang ponselnya.
"Vincena, kau masih di sana..?"
"Eh... iya, iya aku mendengarkanmu. Ummm... bagaimana ya Darren. Sepertinya aku sedang tidak enak badan." Vincena berusaha membuat alasan.
"Tapi kemarin kau terlihat baik-baik saja"
"Iya. Tapi pagi ini tiba-tiba saja badanku terasa tidak enak, jadi aku tidak...-"
"Baiklah, aku yang akan datang kesana"
"Apa??? Darren, jangan-....."
Belum sempat Vincena menyelesaikan kalimatnya, Darren sudah mematikan ponsel secara sepihak.
Kini Vincena berjalan mondar-mandir dan kebingungan harus melakukan apa.
Dia keluar kamar dan mencari-cari keberadan Patricia, tapi nihil. Sampai saat ini Patricia belum juga pulang.
Dia mengambil ponselnya dan berusaha menelfon Patricia, tapi sayangnya nomor Patricia tidak dapat dihubungi.
Kenapa ponsel Patricia harus mati disaat seperti ini?
Tiba-tiba saja Vincena jadi teringat bahwa dia sama sekali belum pernah memberikan nomor ponselnya pada Darren, tapi kenapa Darren bisa tahu??
Vincena langsung menyambar handuknya dan buru-buru melangkah kekamar mandi.
Ya, setelah selesai mandi dia akan keluar dari apartemen dan bersembunyi sampai melihat seseorang datang.
Jika yang datang Patricia, Vincena akan menemuinya. Tapi jika yang datang Darren, Vincena akan tetap bersembunyi.
Sepertinya itu ide yang bagus, Vincena!
Selesai mandi, Vincena langsung berganti pakaian. Dia mengenakan celana jeans pendek dan kaos bergambar koala kecil.
Kemudian dia memakan roti dan selai yang ada di kulkas untuk mengisi perutnya, lalu buru-buru masuk kekamar untuk mengambil dompet dan ponsel.
Baru saja Vincena hendak membuka pintu kamar untuk keluar, terdengar suara Patricia membuka pintu apartemen, dan seperti sedang bercakap-cakap dengan seseorang.
Tak perlu berpikir lama, Vincena bergegas membuka pintu kamar untuk menemui Patricia.
Dan yang dilihatnya sekarang adalah, Patricia sedang menggandeng lengan seorang pria tampan yang memakai setelan jas rapi berwarna hitam.
Wangi maskulin yang terasa familiar langsung memenuhi indera penciumannya.
Setelah dicermati, ternyata pria itu adalah...
Darren.
"Pagi, Vincena..!" Patricia menyapanya dengan senyum mengembang di bibirnya.
Patricia masih memakai gaunnya seperti tadi malam, namun make up yang dipakainya terlihat masih baru.
Tidak seperti sebelumnya, dia biasanya pulang dengan make up yang mulai luntur.
Vincena hanya berdiri mematung tidak menjawab.
Patricia melanjutkan ucapannya. "Rupanya ini yang bernama Darren. Kenapa kau tidak bilang kalau dia sangat tampan dan masih muda? Tadi malam dia menemuiku dan mengajakku kencan. Ah, Darren memang orang yang baik dan perhatian" Puji Patricia.
Wanita itu terlihat sangat tergila-gila pada Darren. Dia mengelus dada bidang Darren dengan penuh perasaan dan kekagumam.
Berbeda dengan Darren, Darren terlihat dengan wajah datarnya namun dia membiarkan Patricia mengelusnya dan menggandeng lengannya.
"Darren bilang, dia akan segera menikahiku. Ah, terlalu cepat memang, tapi tidak masalah bagiku. Kita bisa tinggal bersama. Tentu saja denganmu juga, Vincena! Kau sekarang tidak perlu memilih akan tinggal dengan siapa, karena nanti kita akan serumah. Kau pasti suka kan???" Patricia berkata dengan sangat antusias.
Apa...?!
Bagaimana mungkin! Bahkan Darren sudah menciumnya kemarin dan Vincena hampir berpikir bahwa Darren menyukainya.
Tapi lihatlah sekarang!
Vincena benar-benar benci dengan Darren. Darren hanya mempermainkan dirinya.
Seketika bibirnya terkatup rapat dan tangannya mulai mengepal.
Dengan sangat marah Vincena langsung pergi tanpa mengatakan apapun pada mereka berdua. Untunglah dia sudah membawa dompet dan ponselnya. Dia akan pergi ketempat lain, jauh dari mereka berdua.
Entah kenapa rasanya Vincena ingin menangis. Darren benar-benar jahat. Vincena sama sekali belum pernah menyukai siapapun apalagi berpacaran. Dan ketika dia hampir merasakan sesuatu pada seseorang, ternyata seseorang itu hanya mempermainkannya!
Vincena sudah tidak perduli lagi dengan apa yang nanti Patricia pikirkan tentang dirinya.
Yang pasti, sekarang dia harus pergi sejauh mungkin.
.
.
.
Sementara itu di apartemen Patricia...
"Darren, apa yang terjadi pada Vincena? Kenapa dia pergi?" Patricia terlihat bingung dengan tingkah Vincena.
Tentu saja.
"Sepertinya dia belum siap jika kita serumah. Kemarin dia bilang tidak ingin tinggal denganku. Dia hanya ingin tinggal denganmu saja" Ucap Darren masih dengan wajah datarnya.
"Aku akan memastikan Vincena baik-baik saja. Tunggu aku, nanti aku akan datang lagi kesini. Oke?"
Patricia hanya bisa mengangguk dan membiarkan Darren pergi.
.
.
.
Setelah dirasa cukup jauh, Vincena turun dari taksinya. Dia tidak tahu tujuannya kali ini akan kemana.
Vincena melihat toko alat musik yang cukup besar, di depan teras toko ada beberapa bangku panjang dan dia memutuskan untuk istirahat sebentar di situ.
Seseorang yang berada di dalam toko keluar begitu melihat Vincena yang tiba-tiba duduk di bangku.
Rupanya seorang anak seumuran Vincena, wajahnya terlihat sangat ceria. Sepertinya dia anak yang periang. Jika dilihat, anak itu seperti kembarannya Vincena. Hanya saja Vincena perempuan dan dia laki-laki.
"Hai..!" Sapa anak itu.
"Oh... hai..." Vincena sedikit kaget tiba-tiba saja ada seseorang yang duduk di sebelahnya.
"Boleh berkenalan?" Ucapnya masih dengan wajah yang ceria.
"Boleh" Vincena tersenyum.
"Namaku Henry" Ucapnya sambil mengulurkan tangannya.
"Aku Vincena" Vincena menyambut uluran tangannya.
"Kau mau kemana? Kenapa Sendirian?"
"Aku masih belum tahu mau kemana. Tapi bolehkah aku duduk di sini sebentar?"
"Tentu saja boleh. Ini toko milik ayahku. Ayo masuk saja, kau boleh melihat-lihat"
"Tapi aku tidak bermaksud membeli..."
"Tidak apa-apa, ayo! Di sini hanya ada aku dan karyawan ayahku. Kebetulan aku sedang main kesini dan tidak ada teman!"
Vincena menurut saja dan ikut masuk kedalam toko, melihat-lihat isinya.
Ternyata ini adalah toko alat musik. Ada berbagai macam biola, berjajar sangat rapi disetiap sudut ruangan.
Henry banyak bercerita dan sesekali Vincena menanggapi. Sepertinya Henry memang anak yang menyenangkan.
Henry juga memberikan kartu namanya pada Vincena, yang berisikan alamat dan nomor telfonnya.
Dari cerita Henry, ternyata benar bahwa Vincena seumuran dengan Henry. Henry bersekolah seperti anak kebanyakan, tidak seperti dirinya yang sudah pergi dari rumah dan mungkin saja akan dikeluarkan dari sekolah jika dia terlalu lama membolos. Henry cukup kaget dengan apa yang diceritakan Vincena.
"Kau harus berjanji untuk tak mengatakan pada siapapun" Ucap Vincena.
"Tentu saja. Tapi sebaiknya kau pulang, Vincena. Atau kau mau ikut kerumahku saja? Aku punya seorang adik perempuan. Dia pasti menyukaimu" Ucapnya tiba-tiba.
Vincena hampir saja menerima tawaran Henry, namun dilihatnya dari kaca jendela toko, sekelebat bayangan seseorang mirip Darren, dan mungkin saja itu benar-benar Darren.
Vincena kembali merasa gugup.
"Akan kupikirkan nanti, tapi tidak sekarang Henry" Ucapnya dengan cepat. "Aku harus pergi"
"Hah? Kau mau kemana??"
Henry mengejar Vincena yang berjalan cepat keluar dari toko.
"Vincena!" Henry memanggilnya.
"Aku akan mengingat tempat ini. Mungkin saja nanti aku akan datang kembali"
Henry menghentikan langkahnya dan tersenyum. "Baiklah kalau begitu!"
Vincena melambaikan tangannya dan berjalan semakin cepat. Dia khawatir jika tadi yang dilihatnya memang benar-benar Darren.
.
.
.
Entah bagaimana karena sedari tadi Vincena hanya berjalan tak tentu arah, dan dia memutuskan untuk masuk kesebuah Café. Dia akan beristirahat dan mengisi perutnya sebentar.
Vincena memandang sekeliling, berharap menemukan seseorang yang mungkin bisa dijadikan teman.
Ketika dilihat ada seorang anak perempuan sebayanya memasuki café, Vincena melambai kearahnya. Namun anak perempuan itu hanya mengernyit tidak suka kemudian mencari tempat duduk yang lain.
Menyebalkan memang.
Selang beberapa waktu kemudian, ada seorang remaja laki-laki dengan rambut berwarna merah terang memasuki café.
Vincena mencoba melambaikan tangan kearahnya. Dan begitu melihat Vincena, dia langsung mendekatinya dan duduk bersama Vincena. Entah kenapa Vincena selalu mudah mendapatkan teman laki-laki.
Dia bernama Kevin Spencer.
Umurnya 17 tahun, lebih tua 2 tahun diatas Vincena. Tapi tidak apa, selama dia mau berteman dengan Vincena.
Kevin memakai pakaian yang sangat trendy, jeans dan kaos bermerk.
Berbeda dengan Vincena yang hanya memakai jeans pendek biasa dan kaos biasa juga.
"Apa kau sedang mencari pacar?" Tanya Kevin tanpa basa basi.
"Tidak. Aku hanya sedang mencari teman saja."
"Kau akan berubah pikiran jika tahu kehebatanku" Kevin tertawa.
Kemudian mereka terlibat pembicaraan ringan. Kevin sepertinya orang yang cukup menyenangkan walaupun sepertinya dia sangat ingin menjadikan Vincena sebagai pacarnya.
Dan akhirnya Vincena mulai membicarakan tentang Darren.
Yang tidak Vincena sangka adalah, setelah mengatakan bagaimana ciri-ciri Darren, kini dia tahu bahwa Kevin ternyata mengenal Darren.
Sejak tadi Kevin beberapa kali tersenyum dengan pembawaan yang sangat santai, namun begitu membicarakan Darren, ekspresinya berubah.
Rautnya menegang dan sepertinya dia terlihat gelisah dan.... ketakutan?
Kevin menoleh kekiri dan kekanan, takut jika ada seseorang yang mendengarnya. "Kau harus tahu, Darren bukan orang yang baik" Bisik Kevin.
Vincena tahu mungkin saja Darren bukan orang baik, Vincena juga sedang marah dengan Darren. Vincena juga pernah takut dengan Darren tapi tidak separah Kevin. Bahkan Kevin sampai berwajah pucat seperti ini.
Ketika Vincena menceritakan bahwa Darren pernah mencium dirinya, Kevin semakin terbelalak. Dia langsung berkata dengan cepat.
"Sepertinya kita memang tidak harus berpacaran. Mungkin hanya berteman saja tidak apa-apa"
"Kau ini kenapa, Kevin??" Vincena keheranan.
"Tidak apa-apa. Oh iya, aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa!" Kevin tak memberikan Vincena kesempatan untuk berbicara karena dia langsung pergi begitu saja.
"Orang yang aneh" Ucap Vincena pelan, namun dia tidak terlalu memusingkannya. Dia harus lekas pergi mencari tempat untuk menginap sementara sebelum hari gelap.
.
.
.
Kevin berjalan tergesa-gesa setelah keluar dari café.
Pikirannya berkecamuk, antara dia harus pergi saja dan melupakan Vincena, atau dia kembali menemui Vincena dan menceritakan semuanya.
Karena terlalu serius berpikir, dia tak menyadari sekitar dan kini malah menabrak seseorang.
"Maaf" Ucap Kevin cepat kemudian berjalan kembali.
Namun tangannya dicekal oleh seseorang yang tadi ditabraknya.
Langkah Kevin terhenti, dan dia mendongak melihat siapa orang itu.
Matanya menatap nanar begitu melihatnya.
Darren!
"Hai, lama tak jumpa" Ucap Darren, dengan senyumannya yang mengerikan.
.
.
.
Hari mulai gelap dan Vincena masih belum menemukan tempat untuk bermalam. Ternyata sulit sekali menemukan hotel yang murah.
Terlintas dibenaknya akan tawaran Henry tadi siang. Dia langsung mengambil kartu nama Henry dari sakunya, menyalin nomor telfon Henry kedalam ponsel kemudian menelfonnya.
Rupanya Henry masih berada di tokonya dan bersedia menunggu kedatangan Vincena. Vincena pun lantas bergegas kembali dan mencari toko alat musik yang tadi disinggahinya.
Setelah beberapa lama, akhirnya dia menemukan tokonya. Vincena langsung masuk kedalam toko bersama beberapa orang pembeli yang memasuki toko itu.
Beberapa pembeli berkeliling mencari-cari alat musik yang akan dibelinya, namun Vincena mencari-cari sosok Henry.
"Mau mencari apa, nona?" Seorang karyawan toko berbaju rapi dan memakai dasi kupu-kupu menanyai Vincena dengan ramah.
"Kalau boleh tahu, Henry di mana ya? Aku temannya Henry" Jawab Vincena.
"Oh, tuan muda ada di lantai dua. Mari saya antar" Ucapnya sopan.
Vincena mengikuti pria itu menaiki tangga menuju lantai dua.
Dan dilihatnya Henry sedang bercakap cakap dengan seorang pembeli di depan rak biola yang berjajar.
"Nona, itu dia" Ucap pria itu. "Saya permisi dulu"
"Iya, terimakasih" Vincena tersenyum dan berjalan hendak menemui Henry.
Namun sebelum mendekat, dia mengamati pria yang sedang berbicara dengan Henry, dan seketika Vincena terkejut.
Ternyata pria itu adalah...
Darren.
Vincena menghentikan langkahnya, menoleh ke kiri dan ke kanan dengan panik.
Ketika melihat ada lemari dengan ukuran sedang, dengan gerakan kilat Vincena langsung menunduk dan bersembunyi di baliknya.
Kepala Vincena menyembul sedikit, bermaksud untuk mengintip dan melihat situasi. Namun rupanya Henry melihatnya ketika sedang menoleh secara tidak sengaja.
Mata mereka bertemu, dan Vincena langsung menempelkan telunjuk di bibirnya mengisyaratkan Henry untuk diam.
Tapi bukannya diam, Henry malah memanggilnya.
"Hai Vincena!" Suara Henry sangat nyaring, membuat Darren ikut menoleh. "Sedang apa kau di situ?" Ucap Henry dengan wajah tanpa dosa.
Vincena merutuk dalam hati, berharap bisa menghilang begitu saja dari tempat ini. Karena sudah tertangkap basah, tidak mungkin Vincena bisa terus bersembunyi.
Akhirnya Vincena keluar dari tempat persembunyiannya.
"Hai semua" Ucapnya kaku.
"Akhirnya kau datang juga!" Henry berkata dengan ceria. "Kakakmu mencarimu" Ucapnya dengan polos seraya menunjuk Darren.
"Apa? Kakak?" Vincena benar-benar tidak mengerti.
"Benar" Darren tiba-tiba menyela. "Aku harus membawa pulang adikku. Dia sudah lama membolos sekolah, dan itu tidak baik" Jelasnya pada Henry.
"Itu tidak benar, Henry!" Sangkal Vincena.
"Tapi dia ini kakakmu. Dan kau harus pulang bersamanya, Vincena. Kasihan sejak tadi dia khawatir dan sudah mencarimu kemana-mana. Kau tidak boleh terus-terusan membolos sekolah"
"Tapi dia bukan-"
"Ayo pulang" Darren melangkah mendekati Vincena dan menarik tangannya
"Henry, dia bukan kakakku!" Vincena meronta-ronta.
"Kau ini, tidak boleh bicara seperti itu." Henry membulatkan matanya, terkejut dengan perkataan Vincena.
"Tolong...! Tolong...!" Vincena berteriak-teriak ketika Darren berhasil menyeretnya menuruni tangga.
Beberapa karyawan tergopoh-gopoh datang melihat apa yang terjadi.
"Biarkan saja." Ucap Henry. "Vincena kabur dari rumah karena tidak mau bersekolah. Dan itu Darren kakaknya, akan membawa dia pulang" Dengan polosnya Henry mencoba menjelaskan.
Karyawannya pun mengangguk paham dan membiarkannya.
Beberapa pengunjung menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat Vincena seperti 'tersangka utama'.
Jelas saja mereka lebih percaya Darren karena penampilannya yang sangat elegan.
Paras tampan dengan setelan jas mahal dan sepatu mengkilat, menyeret Vincena yang hanya memakai kaos dan celana jeans pendek dengan wajahnya yang kusam dan berkeringat, terlihat seperti gadis kecil urakan yang melawan 'kakak' nya.
"Terimakasih banyak, Henry."Ucap Darren pada Henry. "Tuan dan nyonya, mohon maaf atas keributan yang kami buat. Ini memang salah saya yang tidak bisa menjaga adik saya dengan baik" Darren membungkuk dengan hormat dan sopan, dengan tangannya yang masih memegangi Vincena.
"Tidak apa-apa" Salah seorang pengunjung tersenyum menatap Darren.
"Hati-hati di jalan Darren, Vincena! Kapan-kapan kalian harus mampir kesini!" Teriak Henry ketika Darren keluar dari toko dan kemudian memaksa Vincena masuk kedalam mobil sportnya.
"Tentu saja!" Jawab Darren yang telah berhasil membuat Vincena memasuki mobilnya.
Mau tak mau Vincena harus menuruti Darren, percuma saja dia melawan. Orang-orang pasti akan menganggap dirinya buruk.
Bisa-bisanya semua orang lebih mempercayai Darren ketimbang dirinya. Darren pintar sekali berakting! Dan ini sangat menyebalkan bagi Vincena.
.
.
.
"Kau puas sekarang?!" Vincena berkata berang, dengan tangan bersedekap.
Kini mereka berdua sudah berada di apartemen Darren, dan duduk di ruang tengah.
"Sebenarnya, apa masalahmu?" Darren berucap dengan tenang.
"Masih saja pura-pura tidak mengerti" Vincena memalingkah wajahnya.
"Apakah ini tentang Patricia?"
"Kalau sudah tau, untuk apa bertanya!"
"Baik, akan kujelaskan." Darren masih dengan suara tenangnya. "Aku tidak menyukai Patricia, tapi Patricia yang menyukaiku. Sebenarnya aku akan datang ketempat Patricia untuk menjemputmu. Tapi Patricia berpikir bahwa aku menyukainya"
"Lalu soal pernikahan?" Vincena kini menatap Darren.
"Itu hanya pemikiran Patricia, mana mungkin aku menikahinya. Hei, memangnya kenapa? Apa kau cemburu?" Darren tersenyum menyeringai.
"Apa? T-tentu saja tidak. Siapa yang bilang begitu" Vincena berpaling kearah lain, menghindari tatapan Darren.
"Kau menyukaiku?" Darren mulai mendekatkan wajahnya.
Namun Vincena langsung mundur secara refleks. "K-kubilang tidak." Dia tak berani menatap pria itu.
"Lalu kenapa kau marah..?"
"Aku... aku..." Vincena sama sekali tak bisa menjawab. Dia menunduk dan meremas jemarinya sendiri dengan cemas.
Seringai kecil menghiasi wajah tampan Darren. "Ranselmu sudah kubawa kesini. Ada di kamarku. Jadi mulai sekarang kau tinggal disini saja" Ucapnya telak.
Vincena menarik nafas dalam-dalam. Karena ranselnya sudah dibawa Darren kesini, mau tak mau dia harus menginap di sini.
Yah, setidaknya untuk sementara.
"Baiklah." Ucap Vincena pada akhirnya. Dia bangkit dan mendekati Berno yang duduk di samping Darren, kemudian membopongnya. "Kau tidur di mana?" Tanya Vincena.
"Aku tidur di sini saja" Jawab Darren.
"Kau tidur di kamarku. Ini Kuncinya" Darren merogoh kunci kamar dari sakunya dan menyerahkannya pada Vincena.
"Berno akan tidur bersamaku" Vincena menerima kuncinya dan berjalan membawa Berno kemudian memasuki kamar Darren.
Vincena langsung mengunci kamarnya dan meletakkan Berno di kasur.
Dia mengambil ponselnya, bermaksud untuk menelfon Patricia. Dia ingin sekali meminta penjelasan dari Patricia. Tapi diurungkannya, karena dia khawatir Darren akan mendengar percakapannya.
Akhirnya Vincena hanya mengirim pesan pada Patricia.
'Patricia, besok aku akan datang ke apartemenmu. Aku ingin membicarakan sesuatu. Tapi jangan beritahu Darren kalau aku akan kesana'
Vincena meletakkan kembali ponselnya. Karena tak kunjung ada balasan, akhirnya Vincena pun tertidur.
.
.
.
Patricia memejamkan matanya, menikmati aroma therapy yang menguar di seluruh kamar mandi.
Dia sedang berendam di dalam bath tub hangat, penuh busa dan taburan bunga mawar dalam air rendamannya.
Rasanya rileks dan tenang.
Seseorang membuka pintu kamar mandi yang tak terkunci, memakai sarung tangan dan tersenyum manis pada Patricia.
Patricia menoleh melihat kedatangan pria itu, dia tersenyum malu-malu dan membiarkan pria itu masuk dan menutup pintunya kembali.
"Darren..." Patricia menyambutnya.
Kaki panjang Darren melangkah dengan pelan, senyum tampannya benar-benar membuat Patricia makin menggila.
Pria itu mulai mendekat dan masih tersenyum pada Patricia.
"Ya, ini aku" Darren berjongkok di samping bath tub.
"Aku tak menyangka kau akan datang malam ini..." Wajahnya begitu merona menatap pria jantan itu, rahang kerasnya benar-benar membingkai wajahnya dengan sempurna.
"Tentu saja." Dia menatap Patricia lekat-lekat. "Karena ini pertemuan terakhir kita." Sudut bibirnya sedikit terangkat. "Dan... kita tidak akan pernah bertemu lagi." Terlihat senyumnya menyeringai, dengan manik hitam yang semakin menggelap.
Belum sempat Patricia mencerna semua perkataannya, Darren langsung mencengkeram leher Patricia kuat-kuat dan kemudian dia membenamkan kepala Patricia kedalam bath tub.
Mata Darren berkilat, dengan raut dingin dan gelap tanpa menunjukkan ekspresi apapun.
Patricia berusaha melepaskan cengkeraman tangan Darren pada lehernya, namun tidak bisa.
Darren sangat kuat.
Patricia terus menggelepar dengan gelembung yang keluar dari mulutnya, dia mulai kehabisan nafas dan tubuhnya kian melemah.
Darren masih terus mencengkeram leher Patricia, memastikan seluruh tubuh dan kepalanya benar-benar tenggelam dalam bath tub.
Setelah beberapa lama, tak ada lagi gerakan lemah dari Patricia.
Dan tidak ada lagi gelembung udara yang keluar dari mulutnya.
Darren melepaskan cengkeraman tangannya.
Dia melangkah keluar dari kamar mandi, membiarkan tubuh Patricia mengambang tak bernyawa di dalam bath tub penuh busa itu.
.
.
.
Lanjut ke next chapter ya!
Follow akunku IRAALF dan dukung terus karyaku!
See ya!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
