“Vincena”

Terlihat tubuh Vincena terlonjak ketika namanya dipanggil, dan akhirnya dia berbalik. Gadis itu terkejut ketika melihat keberadaan Darren. Selang beberapa saat kemudian setelah tersadar dari keterkejutannya, Vincena menoleh kekiri dan kekanan, dan menatap sekitar seolah sedang memastikan sesuatu. “Darren...?” Matanya mengerjap beberapa kali dan mengamati pria itu dari atas hingga kebawah

Melihat keanehan pada diri Vincena, pria itu langsung berjalan mendekat dan kemudian meraih pinggang gadis itu untuk merapat padanya. Darren mengamati Vincena dengan seksama, terutama mata gadis itu. Dia berusaha menyelami dikedalaman mata gadis itu.

“Ada apa Vincena?”

.

Vincena tak langsung menjawab, namun dia hanya menggeleng lemah.

“Kau kenapa?”

“Tidak apa. Ayo kita pulang” Vincena mengusap pelan wajah Darren. Gadis itu terlihat menatap lekat pria yang wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya.

Tidak ada ketakutan, dan tidak ada pengkhianatan di mata gadis itu. Meskipun tanpa ucapan, Darren yakin bahwa Vincena masih mencintai dirinya.

“Ayo, kita pulang” Hanya itu yang bisa diucapkan Darren. Dia seolah tak ingin merusak keintiman yang baru saja terjadi. Bibirnya kelu, tak kuasa meluapkan pikiran buruk yang sedari tadi memenuhi kepalanya.

Yang Darren lakukan hanya menggandeng tangan gadis itu, dan mereka berdua berjalan keluar menuju gerbang sekolah.

.

.

.

Meskipun sama sekali tak pernah menanyakan apapun soal kejadian di belakang sekolah Vincena, namun Darren tetap awas. Apapun gerak-gerik Vincena selalu dia perhatikan dengan seksama. Ponsel Vincena juga setiap hari selalu dia cek. Darren selalu ambil kesempatan ketika gadis itu sedang tidur atau kekamar mandi, dia selalu mengecek ponsel Vincena.

Dan bahkan ketika dia sedang bersama Vincena pun, terkadang Darren tetap mengecek ponsel Vincena. Tentu dengan meminjam ponsel gadisnya itu sekaligus dia ingin tahu bagaimana reaksi Vincena jika ponselnya dipinjam Darren secara tiba-tiba.

Dan ternyata, Vincena sama sekali tak keberatan dan tak ada raut ketakutan atau khawatir ketika ponselnya dipinjam Darren. Malahan Vincena sendiri yang menawarkan apakah Darren akan meminjam ponselnya atau tidak. Bahkan sepertinya Vincena juga tidak peduli apa tujuan Darren meminjam ponsel Vincena. Apakah untuk menyeledikinya atau hanya sekedar meminjam saja.

Bukannya Vincena tidak peduli tentang itu, tapi Darren yakin itu karena di ponsel Vincena memang tak ada hal buruk atau sesuatu yang mencurigakan. Jadi, Vincena santai saja jika ponselnya ada pada Darren.

Pernah suatu ketika Darren menggeledah tas sekolah Vincena, dan pernah juga dia menggeledah kamar Vincena karena khawatir Vincena memiliki ponsel lain. Namun nyatanya, tak ada apapun. Vincena hanya memiliki satu buah ponsel, dan itu adalah ponsel pemberian Darren.

Semua hasil adalah nihil. Tak ada jejak apapun yang bisa diselidiki dari gadisnya itu. Satu-satunya jalan adalah menanyakan langsung pada Vincena untuk bersuara. Namun nyatanya, Darren tak pernah sanggup berbuat seperti itu, dengan memaksa gadisnya untuk bercerita. Melihat mata bening Vincena dan bibir manisnya, Darren benar-benar tak berdaya. Ini memang salah Darren, yang terlalu lemah jika berhadapan dengan Vincena.

Sekarang Darren sudah mulai mencatat semua jadwal sekolah Vincena dengan seluruh kegiatannya. Tentu saja Darren memintanya langsung pada Vincena dan juga menanyakan lagi ke wali kelasnya untuk memastikan. Dan itu memang jadwal yang benar, sesuai dengan informasi yang diberikan oleh Vincena. Terkadang Darren merasa berdosa karena mulai tak mempercayai Vincena, karena apapun yang dikatakan gadisnya itu, dia selalu mengecek kebenarannya. Dan selalu saja benar. Vincena sama sekali tak pernah berbohong padanya. Membuat Darren ingin memaki diri sendiri yang selalu saja mencurigai Vincena.

.

.

.

Hari ini, ketika Darren menerima kabar dari Vincena bahwa gadis itu akan pulang terlambat, Darren segera menyusul Vincena ke sekolah. Dikarenakan hari ini sama sekali tak ada jadwal apapun, dan tak ada alasan bagi Vincena untuk pulang terlambat.

Memangnya gadis itu ada urusan apa?

Dengan tergesa pria itu berlari menerobos gerbang sekolah yang dibuka lebar karena memang sudah jam pulang. Beberapa kali juga dia berpapasan dengan murid sekolah, yang tentunya mata jeli para siswi selalu menatap kagum kearahnya.

Ponsel Darren berbunyi.

“Darren, hari ini aku ke toko buku dulu. Ada yang harus aku beli. Nanti kau jemput aku di toko buku yang biasa ya”

“Aku akan mengantarmu” Ucap Darren sambil terengah-engah. Dia kini berdiri tepat di depan kelas Vincena yang sudah sepi. “Kau dimana?”

“Ah, aku sudah berangkat, Darren. Memangnya kau sudah datang?”

“Oke”

“Darren-“

Darren langsung menutup panggilan itu tanpa menunggu jawaban dari Vincena. Beberapa kali dia hampir saja menabrak murid-murid yang berjalan bergerombol, namun dia mengabaikannya.

Satpam sekolah sampai bersiaga untuk mengamankan pria yang dilihatnya berlari kencang seperti pencuri yang terpergok warga, namun dia mengurungkannya. Mana mungkin ada pencuri setampan itu dengan pakaian yang terlihat bagus dan mahal. Lagipula satpam sekolah itu memang mengenalnya. Dia adalah Darren, wali Vincena di sekolah ini. Sepengetahuannya, Darren itu memang kerabat jauh Vincena. Mungkin saja dia kakaknya. Begitulah kira-kira rata-rata orang yang tahu soal Vincena, termasuk satpam dan murid-murid di sekolah itu.

Darren segera melajukan mobilnya dengan pikiran berkecamuk. Mengapa Vincena terlihat buru-buru untuk pergi ke toko buku? Kenapa dia tidak menunggu Darren untuk mengantarnya kesana? Jantungnya berdegup dengan kencang, dia benar-benar takut. Takut jika yang dilihatnya adalah suatu hal yang tak diharapkannya.

Karena kekalutan pikirannya, Darren melewatkan toko buku itu. Membuatnya harus putar balik untuk kembali ke toko buku.

Astaga, ini sudah berapa lama dia melewatkan waktu. Karena kecerobohannya sendiri dia sampai melewatkan tempat yang ditujunya.

Begitu sampai di toko buku, dia langsung memarkirkan mobilnya dan terus berlari memasuki toko buku. Toko buku itu sangat luas, dan tidak hanya menjual buku saja namun menjual peralatan lain, seperti alat musik hingga ke peralatan sekolah.

Begitu masuk, Darren memandang sekitar dengan matanya yang awas. Dia masih mencari-cari sosok Vincena. Dia begitu hafal dengan bentuk tubuh Vincena, tinggi badannya dan juga pakaiannya. Dia tak mungkin salah mengenali Vincena.

Darren berjalan cepat dengan mata tajamnya yang mengedar kesana kemari, mencari sosok Vincena. Tentu dia tak akan memberitahu Vincena bahwa dirinya sudah datang. Darren ingin tahu, apa yang sebenarnya dilakukan Vincena di toko buku ini sendirian.

Dia melewati rak-rak buku fiksi, buku komik, hingga buku pelajaran. Mengamati setiap orang yang dia temui. Namun Darren sama sekali tak menemukan Vincena dimanapun. Apakah gadisnya itu membohonginya? Darren menggelengkan kepalanya dengan keras. Lagi-lagi dia berpikir buruk tentang Vincena. Lagi-lagi dia menganggap Vincena berbohong.

Astaga… Maaf Vincena…

Kini Darren berjalan menyusuri area lain, yaitu alat-alat tulis dan berbagai macam pernak-pernik yang ada di sana. Kemudian tempat alat-alat musik. Hingga sampai dua kali dia kembali di tempat buku dan mengitari seluruh ruangan, namun tetap tak ditemukan sosok Vincena.

Darren semakin was-was. Dia akhirnya turun ke lantai bawah tempat stand makanan dijual. Darren pun mulai menelusuri stand makanan itu, dan mengamati satu per satu para pembeli yang ada di sana.

Matanya langsung tertuju pada sosok yang sangat dicarinya. Di stand es krim. Dia melihat Vincena dengan wajah ceria membawa cup eskrim berwarna cokelat. Tentunya itu adalah es krim cokelat, salah satu favorit Vincena. Darren menghentikan langkahnya, dan dengan perasaan campur aduknya dia melihat Vincena berbicara pada seseorang, dan mereka berdua keluar dari kerumunan pembeli es krim itu.

Jantung Darren hampir melompat keluar dari tempatnya, dia melihat Vincena menggandeng tangan sosok laki-laki entah siapa karena dia tak terlalu jelas melihatnya diantara kerumunan itu. Dengan degup kencang dan nafas yang semakin tak beraturan, dengan setengah berlari Darren mengejar Vincena yang berjalan semakin cepat membelah kerumunan dengan bercengkerama dan memakan es krim berdua. Terlihat sangat mesra sekali, membuat mata Darren semakin panas dan darahnya mendidih.

Vincena, gadis miliknya dan satu-satunya harapan hidupnya ternyata berselingkuh dibelakang…

Seolah dunia runtuh seketika, begitu Darren mendekat dia langsung menarik kasar bahu laki-laki yang kini sedang bersama dengan Vincena. Membuatnya hampir jatuh terjungkal kebelakang.

Vincena dan laki-laki yang bersamanya itu seketika menatap sosok yang ada di hadapan mereka berdua.

“Darren…?”

Seketika Darren ternganga melihat siapa laki-laki yang kini sedang bersama dengan Vincena.

Mata bulatnya dan wajahnya yang baby face, menatap Darren tanpa dosa. Cengirannya yang khas mengembang menyambut Darren.

“Ah! Rupanya kau sudah datang? Kau menyusul kami di sini???” Ucapnya ceria.

Sorot mengerikan itu kini sirna sudah. Lambat laun tatapannya redup, dan kini menghangat.

“Kupikir… kau siapa…” Darren berucap dengan suara serak.

“Ini es krim buatmu” Henry menyodorkan es krim yang dibawanya. Satu untuk dirinya, dan satu lagi untuk Darren. “Aku membelikannya untukmu.”

Darren menerimanya dengan kaku. Dia masih berdiri terpaku di hadapan mereka berdua.

Bagaimana bisa, Darren tak menyadari bahwa itu adalah Henry, teman dekat Vincena satu-satunya. Hatinya sudah terlalu panas dan berpikir sangat buruk terhadap Vincena, sampai-sampai dia mencurigai gadisnya seperti ini.

Tentu saja Vincena pergi ke toko buku bersama Henry. Tidak mungkin dia pergi sendirian. Biasanya gadisnya itu memang bepergian bersama Henry menggunakan mobil Henry, jika Darren sedang tak bersamanya. Darren sudah terlalu panas hati dan memutus telepon secara sepihak, dan dia yakin Vincena bermaksud mengatakan padanya di telepon bahwa dia pergi bersama Henry.

Dan diantara semua teman Vincena, Darren hanya percaya pada Henry. Tidak ada satupun teman, apalagi berjenis kelamin laki-laki yang bisa dekat dengan Vincena kecuali Henry. Apalagi wajah Henry memang mirip sekali dengan Vincena. Mata beningnya lucu dan wajahnya sangat kekanakan. Darren juga tak pernah tega memarahi Henry, karena dia selalu ingat dengan wajah Vincena ketika menatap Henry.

Lihat saja, bahkan sekarang Henry sangat senang melihat kedatangan Darren dan dia sudah membelikan es krim untuk Darren. Sudah pasti dia tahu bahwa Darren akan datang menyusul Vincena.

“Darren, kau tak apa-apa?”

Darren tersentak dan berkedip sampai beberapa kali. Dihadapannya tiba-tiba saja muncul wajah Henry yang sangat dekat dengan wajahnya. Jika yang muncul adalah wajah Kevin, sudah pasti Darren akan meninju wajahnya hingga terpental.

“Ah, tidak apa.” Darren menjilat es krimnya supaya tak terlihat gugup. Dia melirik Vincena yang masih menatap kearahnya dengan wajah heran. Mendadak hati Darren begitu lega melihat Vincena, kepanikannya mencair seketika. “Kau masih mencari buku?” Ucapnya lembut pada Vincena.

“Aku sudah selesai” Vincena tersenyum lebar dan menunjukkan kantong plastik berisi beberapa buku yang sudah dibelinya. Gadis itu menggandeng lengan Darren, dan juga menggandeng lengan Henry. Vincena berada ditengah-tengah mereka berdua. “Kita pulang, sekarang?”

Darren dan Henry mengangguk bersamaan.

Akhirnya mereka berjalan keluar dari toko buku, diiringi senandung kecil dari Vincena. Dia terlihat senang sekali. Sepertinya Vincena juga membeli novel romance remaja yang akan dibacanya.

“Jadi, aku akan langsung pulang saja” Henry menuju mobilnya yang berada di parkiran, tak jauh dari mobil Darren.

Darren hanya menghela nafas. Bahkan mobil Henry yang berwarna kuning itu sangat mencolok sekali, Darren sangat hafal dengan mobil itu dan juga nomor platnya.

Dengan jarak sedekat ini dengan mobilnya sendiri, Darren sama sekali tak menyadari keberadaan mobil Henry. Ya, itu akibat dirinya yang terlalu kalut memikirkan Vincena. Andai Darren bersantai sedikit saja, sudah pasti dia akan melihat mobil Henry di parkiran.

“Ya, kau hati-hatilah. Terimakasih sudah mengantar Vincena, dan juga untuk es krimnya” Darren menunjuk es krim dari Henry yang dibawanya.

Henry mengangguk ceria. “Bye Darren, bye Vincena!” Ucapnya seraya memasuki mobilnya.

Begitupun Darren dan Vincena, mereka juga langsung memasuki mobil.

Sedikit senyum tersungging di bibir Darren, membuatnya semakin tampan jika dilihat sedekat ini. “Aku senang, rupanya kau pergi bersama Henry”

“Bukankah itu memang sudah biasa?” Vincena menatap Darren dengan aneh.

“Ya… ya…” Darren dengan segera menghabiskan es krimnya dengan memasukkan semua kedalam mulutnya.

Membuat Vincena ternganga dengan mulut membulat. “Kau beringas sekali”

Darren hanya tersenyum dan mulai melajukan mobilnya.

.

.

.

Darren kembali dikejutkan dengan telepon dari Vincena. Gadis itu berpamitan bahwa dia akan pulang terlambat karena pergi ke toko buku.

Lagi?

Bukankah kemarin Vincena baru saja dari toko buku? Lalu, urusan apa lagi dia harus ke toko buku?

Darren menggeleng keras.

Astaga…

Baru saja dia sudah berpikir buruk lagi tentang Vincena. Seharusnya Darren tak seperti ini. Dia harus mempercayai Vincena.

Meskipun Darren berusaha santai, namun tetap saja pikirannya was-was. Dia melajukan mobilnya lebih kencang dan langsung menuju ke tempat toko buku. Dia menghirup nafas dalam-dalam, dan mencoba menelepon seseorang.

“Henry?” Semoga saja Vincena sedang bersama dengan Henry.

“Ya, Darren. Ada apa?” Terdengar suara dari seberang, Henry seperti sedang mengunyah sesuatu. “Maaf aku sedang makan siang”

“Apa kau sedang bersama Vincena?”

“Tidak. Aku sudah pulang kerumah”

Bibir Darren terkatup rapat. Dia meneguk ludahnya, dan berusaha bicara dengan nada santai. “Memangnya, Vincena tak mengajakmu ke toko buku?”

“Bukankah kemarin sudah ke toko buku?” Henry balik bertanya.

“Ya, aku hanya memastikan. Terimakasih Henry” Darren langsung menutup teleponnya.

Kali ini dia sudah tak bisa berpikir positif lagi. Meskipun dia bisa menelepon Vincena, namun dia tak melakukannya. Darren ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri, sedang apa dan bersama siapa Vincena di toko buku.

Darren langsung berlari memasuki toko buku, namun dia tak menaiki lantai atas. Dia melewati stand makanan dan mengawasi semua orang yang ada di sana. Dan hingga beberapa kali Darren memutari tempat itu, namun dia tetap tak menemukan Vincena. Berarti gadisnya itu memang sedang tak ada di tempat tersebut, dan kemungkinan berada di toko buku.

Darren pun menaiki lantai atas dan mengitari toko buku. Satu persatu dia mengamati orang-orang yang ada di sana, sama seperti yang dilakukannya kemarin. Dengan teliti dia mengamati semua orang yang dilihatnya, baik itu yang berpapasan dengannya maupun orang yang sedang memilih-milih buku.

Dia berjalan perlahan dengan jantungnya yang berdegup dengan kencang, masih tak bisa terima jika akhirnya nanti dia melihat kejadian yang selama ini ditakutkannya.

Darren mulai melewati lorong yang berisi rak-rak buku dan alkitab, dan tiba-tiba saja muncul Vincena dari arah belokan menuju toilet. Sangat bertepatan dengan langkah Darren, dan mereka berdua bertemu.

Vincena menghentikan langkahnya.

Mematung menatap Darren yang sudah berada di hadapannya.

Sepersekian detik mereka berdua saling menatap dan tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka.

Vincena terlihat meneguk ludahnya dan matanya mengedar menatap sekitar, kemudian kembali menatap Darren.

“Kau… datang menjemputku?”

.

.

.

See you next chapter

DE JAVU ( Trap Universe ) Chapter 3