
"Jadi setelah nikah nanti, gue bakal full time jadi IRT. Iya, gue resign. Calon suami gue mapan, kerja di tambang gitu. Rumah, mobil, semua udah disiapin sama dia, gue tinggal nempatin. Aw! Makasih doanya.Thanks yaa... "
"Jadi setelah nikah nanti, gue bakal full time jadi IRT. Iya, gue resign. Calon suami gue mapan, kerja di tambang gitu. Rumah, mobil, semua udah disiapin sama dia, gue tinggal nempatin. Aw! Makasih doanya.Thanks yaa... "
Tanpa sengaja Evelyn mendengar perbincangan itu saat sedang menyantap makanannya di pantry. Kemudian Leticia, gadis yang statusnya baru saja diangkat jadi pegawai kontrak itu muncul dari balik pintu sambil menenteng ponselnya.
"Eh, ya ampun ada Kak Eve... Sori tadi telponan kenceng banget.... kirain nggak ada orang." Leticia menampakkan cengiran salah tingkah.
"Lo jadi resign?" Evelyn memperjelas isu yang akhir-akhir ini berhembus santer. Tapi rasanya sungguh masuk akal jika Leticia memilih resign.
"Iya Kak!" Leticia menarik kursi dan duduk di hadapannya. "Gue udah ngajuin mutasi, tapi belum ada jawaban. Nah tiga bulan lagi kan gue nikah. Calon gue bilang sih, gue nggak usah capek-capek kerja. Di rumah aja, nanti dia bukain usaha butik atau baby shop gitu... "
"Baby shop bagus tuh!" Evelyn menyuap potongan buah terakhir.
"Nah iya, gue juga mikirnya juga gitu Kak! Tapi gue pingin buka salon sih. Dulu pernah kursus, dan gue suka!" Senyuman cerah Leticia mengembang.
Beruntung amat nasib lo Neng. Evelyn membatin. Terselip sedikit iri. Padahal, kalau dilihat-lihat Leticia termasuk gadis yang biasa-biasa saja. Namun meski begitu, Leticia punya segudang bakat dan kelebihan. Leticia identik dengan image supel dan senyuman yang terasa tulus dari hati, begitu kata Pak Bos. Jika sedang menyanyi, suara Leticia menyerupai penyanyi solo ternama. Merdu dan bikin candu. Leticia juga merupakan mantan penyiar radio dan sampai sekarang masih aktif menjadi MC di berbagai acara.
Pertemuan Leticia dengan sang calon suami, bermula saat tiga bulan lalu Leticia dirotasi menjadi customer service. Secara tidak sengaja, gadis itu berkenalan dengan nasabah yang kebetulan memiliki jabatan bonafit di perusahaan batu-bara. Jackpot.
Mungkin benar kata Pak Bos, wajahnya kelewat judes.
" Eve, kamu itu cantik. Sayang kalau nggak bisa senyum. Kamu sering dikomplain nasabah lho karena dikira judes. Senyumnya lebih lebar lagi yaaa. Coba latihan lagi senyum di depan kaca. Lihat tuh staff minimarket kalau nyapa dan senyum lebih bagus daripada kamu... " Evelyn jadi teringat perkataan salah seorang atasannya dulu. Saat itu ia masih gadis dan lajang.
Apa jika ia tersenyum lebih lebar maka nasibnya akan seberuntung Leticia? Evelyn rasa tidak. Masih ada Naya yang tidak kalah apes darinya. Mantan model, tetapi menikah dengan laki-laki jamed yang setia antar jemput dengan sepeda motor oprekan. Jangan ditanya suara knalpot-nya.
"Suami gue dulu satpam di tempat dugem. Iya, temen SMA gitu. Jadi waktu itu gue ada job modeling di cafe x, nah ketemu lagi sama suami gue. Dulu dia ganteng dan sixpack kayak Channing Tatum. Nggak buncit kayak sekarang... " Suatu ketika Naya menceritakan kisah asmaranya saat mereka sedang jajan bakso selepas jam pelayanan.
Channing Tatum dari Hongkong? Ia hanya menahan senyuman saat mendengar bualan Naya. Mungkin temannya itu sedang mencoba menghibur diri dan berusaha terlihat baik-baik saja. Padahal, Evelyn sering tidak sengaja mendengar Naya menangis di kamar mandi saat cekcok di panggilan telepon dengan suaminya.
"Kok semua-semua aku? Ya gantian kamulah yang beli! Aku capek! Duit aku udah ga ada! Kamu usaha dong! Masa yang cari duit aku, urus anak juga aku! Kamu jangan pelihara burung aja!" Nada tinggi Naya yang diiringi isak tangis di suatu siang itu urung membuat Evelyn urung memasuki toilet.
Ternyata ia tidak sendirian. Evelyn merasa menemukan teman senasib. Siapa sangka di hari berikutnya, Naya mempromosikan burung Kenari dagangan suaminya melalui status WhatsApp. Ternyata suami Naya benar-benar memelihara burung dalam artian yang sesungguhnya.
Rasanya Evelyn sudah trauma terhadap laki-laki. Terutama laki-laki tampan dan tidak modal. Bagaimana tidak trauma? Baru saja menyelesaikan sarapannya yang terlambat dan berniat healing sebentar dengan mengecek media sosial, pesan Ravindra sudah menunggunya.

Evelyn menghela napas panjang. Sepuluh ribu dan dihitung? Tentu saja Evelyn sudah kelewat hafal sifat Ravindra yang bahkan menghitung uang untuk karcis parkir.

Apa masalahnya? Toh itu ia beli dengan gaji sendiri. Evelyn rasanya sudah malas meladeni Ravindra. Lagi pula, kalau sudah tahu keuangan sedang seret, semestinya Ravindra menahan diri untuk membeli rokok. Tapi nyatanya, Ravindra tetap membeli rokok dan berdalih rokok yang dibeli adalah rokok kuli yang mereknya aneh-aneh dan tidak akan ada di etalase minimarket.

Evelyn tersenyum kecut. Melayang sudah sampo mahalnya. Dasar Ravindra badjingan! Sungguh Ravindra adalah definisi laki-laki pemelihara burung yang sesungguhnya. Andai dulu ia kuat iman tidak mainan burung sebelum waktunya.
"Rokok aku sudah bukan Dunhill atau Marlboro. Nih rokok merek SAKTI." Evelyn masih ingat saat Ravindra tersenyum bangga memamerkan rokok kuli buruannya. Konon, kuli-kuli senang berburu rokok unbranded karena harganya yang murah.
Ini yang Evelyn tidak paham. Kalau memang tidak punya uang, kenapa harus memaksakan membeli rokok? Kenapa harus membakar uang? Ravindra kerap beralasan rokok dan kopi sudah menjadi kebutuhan hidup bahkan makanan jiwa lelaki itu. Mantan suaminya itu bisa menghabiskan lima batang rokok sekaligus saat sedang melukis.
Namun apa daya, semua sudah terlambat. Evelyn merasa sudah tidak ada gunanya menyesali kesalahan di masa lalu. Evelyn akui, dulu ia begitu dibutakan oleh cinta dan takluk oleh pesona Ravindra.
Evelyn masih ingat bagaimana waktu itu Ravindra pertama kali menggodanya. Siang-siang bolong saat sedang mengantar ikan pepes demi mengesankan tetangga yang tampan, Ravindra menawarinya untuk singgah duduk sejenak.
"Masuk dulu, duduk dulu Eve. Masa langsung balik... " Kala itu senyuman menawan Ravindra membuat Evelyn tak kuasa menolak tawaran basa-basi yang membuat debaran di jantungnya kian mengencang.
Saat melangkahkan kaki untuk pertama kalinya, ia dibuat terpana melihat rumah Ravindra yang minim perabotan. Ia hanya melihat satu set sofa di ruang tamu dan TV flat tergantung di dinding putih. Meski begitu, rumah Ravindra tampak penuh berkat deretan lukisan yang berjajar memenuhi dinding. Sebagian lainnya berupa kanvas-kanvas berukuran besar yang ditutupi kain. Ia sempat mengedarkan pandangan lebih jauh dan melihat kulkas, meja makan, kemudian dinding kaca yang menghadap halaman belakang.
"Maaf ya panas. AC rusak." Ravindra sengaja membiarkan pintu rumahnya terbuka.
Evelyn memperhatikan sejenak kuas dan cat yang berserakan di atas meja kayu.
"Lukisan lo, ternyata banyak ya." Ia mengucap basa-basi.
Ravindra hanya merespon dengan senyuman, kemudian melepas kaos yang membuat duduknya jadi lebih tegak. Sambil menenggak liur, ia lekat memperhatikan Ravindra yang berdiri melukis di depan kanvas.
"Setahun gue bisa jual sampai lima lukisan. Yang di atas itu, udah dipesen sama orang indo yang tinggal di Vietnam... " Ravindra tersenyum sembari menuding lukisan yang tergantung di dinding dengan kuas.
Akan tetapi, matanya saat itu hanya bisa melihat mahakarya yang paling indah. Lelaki tampan mengenakan jeans belel yang melorot sebatas pinggang. Bahkan pinggang itu terlihat kencang dan ramping. Kulit kuning langsat membungkus punggung solid dan lengan berotot. Pandangannya melemah saat bertemu dengan rambut gondrong yang tampak berantakan.
"Lukisannya bagus...." Evelyn ingat ia nyaris sesak napas menatap Ravindra.
"Lukisannya yang di atas....." Ravindra kembali menuding lukisan di atas kepala dengan kuas.
"O... Ohh....." Kedua pipinya seketika panas saat menyadari lukisan yang dimaksud Ravindra. Lukisan petani yang sedang bekerja di sawah. Wahai bapak petani dalam lukisan, kenapa engkau bertelanjang dada? Rasanya saat itu Evelyn sudah tidak bisa melihat dengan jernih.
Damn! Evelyn mengusap wajahnya ketika menyadari sedari tadi hanyut melamunkan Ravindra yang sedang bertelanjang dada. Kenapa ia malah tenggelam dalam pengalaman masa lalu yang membuatnya khilaf?
Evelyn menghembuskan napas kasar. Entah mengapa, mendadak ia jadi rindu melihat Ravindra bertelanjang dada. Apalagi Ravindra sempat menggodanya di kamar mandi. Rasanya sudah lama ia tidak bersandar manja di atas permukaan dada bidang itu sembari mendengarkan detak jantung Ravindra. Rasanya ia rindu didekap lengan berurat yang membuatnya merasa menjadi perempuan paling lemah sedunia.
Sial! Mikir apa sih! Evelyn mengutuk dirinya sendiri. Apa pelet burung Ravindra sedang bekerja padanya saat ini?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
