Mantan Lima Langkah - 4

11
0
Deskripsi

Tidak ada aktivitas terbaru dari Instagram Ravindra. Postingan terakhir sudah satu bulan yang lalu. Evelyn juga tidak menemukan foto selfie terbaru yang ditujukan untuk sekadar pamer ketampanan, yang ada hanya foto lukisan.

Tidak ada aktivitas terbaru dari Instagram Ravindra. Postingan terakhir sudah satu bulan yang lalu. Evelyn juga tidak menemukan foto selfie terbaru yang ditujukan untuk sekadar pamer ketampanan, yang ada hanya foto lukisan.

Jam istirahat, makanan di dalam kotak bekal sudah habis tak bersisa, tapi Evelyn masih enggan beranjak dari tempatnya. Sejak semalam hatinya masih diliputi gelisah.

Apa iya, Ravindra telah menemukan tambatan hati baru? Lalu bagaimana dengan Ivy? Apa gadis kecilnya itu harus beradaptasi dengan mama baru?

Ah tidak-tidak! Evelyn kembali menghela napas sembari menggeleng pelan, berusaha mengusir pikirannya yang terlalu jauh. Namun, Evelyn sungguh sadar lambat laun hal itu pasti akan terjadi. Bukankah mereka sudah resmi bercerai?

Selama satu setengah tahun pasca bercerai, Ravindra tidak pernah menunjukkan perubahan sedikit pun. Masih perhatian dan masih bersikap menyayanginya seperti sebelum mereka bercerai. Mantan suaminya itu masih tampak sendiri, bahkan masih sering menggodanya. Ravindra juga masih mencuri kecupan dari bibirnya yang kering.

Ah! Evelyn menjilati bibirnya sendiri. Ravindra tampan, tidak sulit bagi laki-laki itu untuk menemukan pengganti dirinya. Mungkin, memang ada perempuan yang mau merawat laki-laki seperti Ravindra. Tapi rasanya ia belum siap melihat Ivy harus berbagi dengan wanita lain. Sekadar membayangkan saja rasanya tak rela.

"Eve, masih lama?" Naya, rekan sebelah mejanya muncul di ambang pintu pantry yang terbuka lebar. "Sori, tapi nasabahnya mendadak rame Eve... "

"Oke wait! Gue sikat gigi bentar, terus balik." Evelyn segera menyahut pouch make up di atas meja dan mengambil sikat gigi mini.

"Oke, makasih ya Eve." Naya tersenyum tipis.

"Lo udah makan Nay?"

"Gue gampang ntar aja kalau udah agak sepi," jawab Naya sembari berlalu dari hadapannya.

Evelyn sudah tidak heran. Beginilah kehidupan mereka yang melelahkan. Berangkat ke kantor pagi-pagi sekali dan pulang selalu di atas jam enam sore. Lupakan beristirahat penuh satu jam, karena jika antrean nasabah menumpuk, ia harus kembali ke depan secepat mungkin.

Mengambil cuti pun tak semudah bayangan. Jika Ivy tiba-tiba demam, ia tidak bisa leluasa izin seharian untuk mendampingi putri kecilnya itu. Selain tidak ada petugas pengganti, ia juga merasa tidak enak pada rekan kerjanya. Untung ada Ravindra.

Evelyn merasa perkataan Ravindra ada benarnya juga. Lelaki itu tidak pernah mengeluh saat mengasuh Ivy. Saat Ivy sakit pun, Ravindra sudah bisa mengurus anak mereka sendirian. Ia yang terlalu panik sehingga izin meninggalkan kantor sebentar demi mengecek keadaan Ivy.

Curhatan Naya masih lekat di ingatan. Gaji bulanan temannya itu nyaris habis hanya untuk membayar pengasuh anak. Evelyn sadar betul gajinya sebagai customer service bank swasta bisa dibilang tidak kecil, tetapi juga tidak besar. Lebih tepatnya pas-pasan. Evelyn jadi teringat ucapan Ravindra semalam.

"Kamu bisa fokus kerja di kantor, pikiran kamu nggak kepecah, kamu nggak perlu keluarin biaya tambahan buat bayar pengasuh, itu karena aku mau merawat dan mengasuh Ivy selama kamu di kantor. Kalo kamu capek pulang kerja, aku juga nggak keberatan sama sekali pegang Ivy. Aku nggak diem aja Eve."

Apa sikapnya semalam keterlaluan? Apa selama ini Ravindra terlalu sering merasa diremehkan? Itu kah alasan lelaki itu ingin berpacaran lagi? Evelyn menghentikan sejenak kegiatannya menggosok gigi sembari menatap wajahnya di cermin.

Malam itu Evelyn memutuskan memasak sedikit lebih enak dari biasanya. Bukan menu mewah layaknya hidangan prasmanan di hotel bintang lima, melainkan hanya steak ayam rumahan. Namun, Evelyn biasanya tidak memilih steak sebagai menu makan malam sepulang kerja.

"Vin, hari ini aku masak steak. Nanti kamu makan di rumah kan?" tanya Evelyn tadi sewaktu menjemput Ivy di rumah Ravindra.

"Biasanya kan aku memang makan di rumah kamu," jawab Ravindra dengan ekspresi datar.

Evelyn tersenyum sendiri sembari membolak-balik steak yang sebentar lagi matang. Tak berapa lama kemudian pintu rumahnya di ketuk pelan, kemudian Ravindra muncul dari balik pintu.

"Papa!" Ivy yang sedang menyantap snack di depan TV terlihat gembira menyambut Ravindra.

Evelyn segera menyiapkan segala sesuatunya di atas meja. Sepiring nasi panas-panas, french fries, tak ketinggalan buncis dan wortel rebus.

"Tumben masak steak-nya nggak pas weekend?" Ravindra membantunya menyiapkan peralatan makan dan menuangkan minuman ke dalam gelas.

Evelyn hanya tersenyum kecil. Ia menghentikan sejenak kegiatannya menata makanan di atas piring saat menyadari tatapan Ravindra yang begitu kentara menyusuri tubuhnya. "Kenapa ngeliatin kayak gitu?" tanyanya kemudian.

Ravindra tersenyum tipis. "Tumben daster kamu agak bagus...." Ravindra segera duduk sembari mengelap sendok.

Ini bukan daster, tapi lingerie bego. Jawab Evelyn dalam hati sembari menyembunyikan senyuman yang menggurat samar di wajah. Rasanya ia tidak salah pilih, saat membeli lingerie berbahan satin yang sedang diskon di toko online langganan-nya.

Evelyn tahu ia sudah bercerai dari Ravindra. Namun entah mengapa ia masih suka mengoleksi lingerie, meskipun pilihannya selalu jatuh pada model yang terlihat lebih elegan. Jika dulu ia gemar mengoleksi lingerie berenda tembus pandang atau yang berupa jaring-jaring, kini ia lebih menyukai lingerie berbahan satin. Model yang lebih tertutup dan berbahan jatuh, tapi tetap mampu memamerkan lekuk tubuh, menjadi pilihan favoritnya akhir-akhir ini.

"Cantik," puji Ravindra sebelum mengarahkan tatapannya pada steak yang menggugah selera di atas meja.

"Dari dulu," sahut Evelyn kemudian memasukkan potongan steak ke dalam mulutnya.

Ravindra hanya tersenyum kecil sebelum lahap menikmati hidangan di atas meja. "Tadi Ivy udah aku suapin sup cream sama nasi. Ini kentangnya buat dia aja. Kan dia suka." Ravindra menyisihkan french fries di atas meja.

Evelyn menyadari sepenuhnya jika Ravindra sebenarnya tidak terlalu buruk, bahkan tidak jelek sama sekali. Lelaki itu masih berlaku baik layaknya seorang suami. "Vin, aku minta maaf ya soal yang kemarin. Bukan maksud aku nggak hargain kamu," ucap Evelyn dengan tatapan penuh sesal.

Ravindra tersenyum tipis sebelum menjawab kalem, "Iya. Kamu tenang aja. Nominal yang kamu minta kemarin udah ada semua kok."

"Uangnya udah ada?" Kedua mata Evelyn membelalak, tak menyangka akan secepat ini.

"Udah." Ravindra mengangguk sambil mengunyah makanannya.

"Jadi pinjem Papa Mama?"

Ravindra terdiam sejenak sebelum menjawab, menatap lurus dua bola mata bening Evelyn. "Aku nggak pinjem. Aku minta..."

"Vin...." Evelyn menatap kecewa.

"Udahlah Eve, yang penting uang itu ada."

"Vin, mau sampai kapan kamu minta terus sama Papa Mama?" Evelyn membuang napas berat.

"Udahlah. Itu urusan aku. Nggak akan ngaruh apa-apa ke hidup kamu. Toh aku bukan suami kamu lagi." Ravindra tersenyum singkat.

"Kamu memang bukan suami aku lagi, tapi kamu tetep papanya Ivy."

"Jangan menuntut aku lebih dari ini Eve." Ravindra menajamkan tatapannya. "Aku sudah berusaha semampu yang aku bisa. Kita sama-sama tahu sekolah Ivy itu sekolah mahal. Aku udah pernah bilang sama kamu cari sekolah yang sesuai kemampuan..."

"Buat aku pendidikan anak nomor satu dan aku harus usahakan untuk itu!" potong Evelyn cepat. "Aku nggak mau asal milih sekolah!"

"Eve, aku nggak bermaksud nyuruh kamu asal milih sekolah. Ivy anakku juga. Aku juga pasti pingin banget pendidikan yang terbaik buat anak kita. Tapi kan kamu tahu keadaan sekarang kayak gimana? Masih banyak sekolah bagus lainnya yang nggak semahal sekolah Ivy sekarang. Tapi kamu ngotot masukin Ivy ke situ karena kemakan omongan temen-temen kamu kalau sekolah Ivy yang sekarang, itu sekolahan bergengsi."

"Buat pendidikan Ivy, berapapun harus aku usahain...."

"Pendidikan atau gengsi kamu di depan temen-temen kamu?"

"Nggak gitu Vin!" Nada suara Evelyn meninggi. "Kamu tahu.... aku capek kita selalu nggak sepaham kayak gini."

"Sama aku juga!"

"Tadinya aku mau minta maaf karena aku pikir aku yang keterlaluan.... "

"Silahkan kamu tarik lagi permintaan maaf kamu..."

"Ternyata emang kamu yang terlalu santai. Kamu bener-bener nggak serius memandang masa depan. Vin, hidup itu nggak bisa asal ngalir aja, terus ada apa-apa kita lari ke orang tua. Kamu harus bertanggung jawab sama hidup kamu sendiri!"

Ravindra tersenyum kecut. "Cuma karena penghasilanku nggak pasti, terus kamu anggep aku santai dan nggak bertanggung jawab?"

Rasanya Evelyn saat itu juga ingin membungkam mulut Ravindra dan mengatakan betapa laki-laki itu dengan seenaknya memakai sampo mahalnya, mengambil hand body miliknya, dan masih menumpang makan di rumahnya. Namun untuk perkara yang terakhir, Evelyn memang menginginkannya agar Ivy masih memiliki saat-saat kebersamaan dengan ayah dan ibunya seperti sebelum mereka bercerai. Jadi, ia tidak akan komplain mengenai yang satu itu.

"Kenyataannya memang gitu. Kamu terlalu santai Vin," jawab Evelyn pada akhirnya.

"Eve, aku seniman. Aku kasih tahu kamu fakta yang selama ini aku sembuyiin dari kamu." Ravindra menenggak minumannya sejenak sebelum jemarinya melingkari pinggiran gelas seolah ragu, haruskah ia mengungkap perasaan yang sebenarnya?

"Iya, apa?" Evelyn menantang Ravindra dengan kedua matanya, seolah tak takut mendengar apapun.

"Aku sebenernya belum siap nikah." Ravindra menatap kedua mata Evelyn. "Masih banyak impian aku. Aku pingin hidup di Bali dan jadi pelukis yang berhasil, karena itu hal yang paling aku suka dan bikin aku sangat tenang sekaligus bergairah jalanin hidup ini. Aku cuma mau jadi pelukis seperti impian aku dan aku pingin jalanin hidup seperti yang aku mau. Tapi tiba-tiba kamu hamil... "

Evelyn rasanya kehilangan kata-kata. Jadi Ravindra merasa terpaksa saat menikahinya?

"Saat itu secara finansial juga mental, aku belum siap. But, I love you.... "

Evelyn hanya bisa mematung, tanpa bereaksi apapun. Ia tenggelam dalam tatapan lekat Ravindra.

"I love you Eve. I do really love you, with all my heart, my soul, my life! Kamu lebih dari semua impian aku. Tapi kenapa kamu nggak bisa sabar dan percaya sama aku? Aku mencintai kamu dan Ivy lebih dari segalanya. Tapi apa pun yang aku lakukan, nggak pernah cukup dan selalu kurang di mata kamu..."

"Kalau kamu bener-bener cinta aku, kenapa kamu nggak berubah jadi laki-laki yang lebih baik dan perjuangin aku? Kamu nggak melakukan apa-apa saat aku minta cerai! Kamu bertahan sama sikap kamu yang kayak gini!" tukas Evelyn cepat.

"Kamu nggak akan pernah bisa sabar sama kekuranganku Eve. Kamu nggak akan pernah bisa terima itu selama aku bukan laki-laki yang bisa kasih kamu uang bulanan, sesuai yang kamu harapkan. Itu kenapa aku milih ngelepas kamu dan aku terima keputusanmu. Aku ngerasa gagal di mata kamu. Aku nggak akan pernah layak buat kamu. Aku nggak akan bisa bahagiain kamu."

"Kamu tuh gampang nyerah Vin. Kenapa kamu nggak pernah mau dengerin aku?"

"Udahlah Eve. Kita udah cerai. Nggak usah dibahas. Pusing... yang penting aku tetep tanggung jawab sebagai ayah Ivy. Key?" Ravindra terlihat lelah.

"Sebenernya aku mau nanya satu hal lagi." Evelyn berusaha menepis rasa kesal demi menjawab penasaran di hatinya.

"Apa lagi?" Ravindra sudah terlihat malas meladeninya.

"Tempo hari kamu sempet nanya kan, apa boleh pacaran lagi? Aku cuma mau tahu aja. Siapa perempuan itu?"

"Bukan urusan kamu."

"Itu urusan aku! Karena perempuan itu bakal jadi mama tirinya Ivy!"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Mantan Lima Langkah - 5
10
3
Ravindra tidak pernah membayangkan jatuh hati sedalam ini.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan