BAGAIMANA RASANYA TIDUR DENGAN SUAMIKU? (BAB 1 - BAB 5) - GRATIS

11
3
Deskripsi

BLURB : 

Namaku Tazkia Andriani.

Aku adalah seorang wanita berusia 27 Tahun yang sudah menikah selama lima tahun dengan seorang lelaki bernama Regi Haidarzaim, dan belum dikaruniai seorang anak.

Kehidupanku sempurna.

Sesempurna sikap suamiku di hadapan orang lain.

Hingga pada suatu hari, aku mendapati suamiku berselingkuh dengan sekretarisnya sendiri yang bernama Sandra.

"Bagaimana rasanya tidur dengan suamiku?" Tanyaku pada Sandra ketika kami tak sengaja bertemu di sebuah kafe.

Wanita berpakaian seksi...

BAB 1 - PROLOG 

"Bagaimana rasanya tidur dengan suamiku?" Tanya seorang wanita berhijab yang duduk berhadapan dengan seorang wanita berpakaian seksi di sebuah kafe.

Wanita berpakaian seksi itu tersenyum menyeringai. Memainkan untaian rambut panjangnya dengan jari telunjuk lalu berkata setengah mendesah, "nikmat..."

"Sudah berapa lama kamu menjalin hubungan dengan Mas Regi?" Tanya wanita berhijab itu lagi. Bahasa tubuhnya yang tenang menunjukkan ekspresi datar. Tatapannya lurus ke dalam manik mata wanita bernama Sandra yang kini menjadi selingkuhan suaminya.

Sandra memajukan tubuh, menumpukkan kedua sikunya ke atas meja. "Baru dua minggu," jawabnya acuh tak acuh.

Wanita berhijab bernama Tazkia itu mengangguk sambil memulas senyum penuh arti. "Pantas kalau begitu," katanya masih dengan gaya santai.

"Pantas apanya?" Tanya Sandra dengan kerutan di keningnya yang menjelas.

"Pantas kalau kamu merasakan kenikmatan itu," bisik Tazkia masih dengan senyuman penuh maknanya itu.

Tatapan Sandra berubah sinis. Seperti tak suka dengan senyuman misterius Tazkia yang seolah mencemoohnya.

"Jadi, apa rencanamu selanjutnya?" Tanya Tazkia lagi.

"Sudah jelaskan, aku ingin merebut Mas Regi darimu! Aku ingin kalian bercerai agar Mas Regi bisa lekas menikahiku!" Tegas Sandra terang-terangan.

Tazkia tersenyum masih dengan pembawaannya yang tenang, namun menghanyutkan.

Wanita berusia 27 Tahun itu mengeluarkan sebuah amplop coklat tebal dari dalam tasnya dan mendorongnya di atas meja ke arah Sandra.

"Apa ini?" Tanya Sandra yang sudah bisa menebak apa isi di dalam amplop coklat itu.

Pastinya, itu uang.

Uang yang sangat banyak.

Tazkia menatap lekat sosok Sandra.

Hingga Sandra pun mengerti apa maksud Tazkia.

Wanita berambut pirang itu tertawa geli. "Jadi kamu bermaksud menyogokku dengan uang agar aku meninggalkan Mas Regi?" Terkanya dengan penuh keyakinan. "Sampai mati pun aku tidak akan melakukannya!"

Kali ini, Tazkia yang tertawa sambil menggelengkan kepala. "Bukan, bukan itu maksudku, Sandra,"

"Lalu?"

"Aku beri waktu tiga bulan, jika kamu berhasil membuat Regi menggugat cerai aku, maka aku akan menambah uang yang aku berikan lebih banyak lagi. Semakin cepat kamu berhasil meyakinkan Mas Regi untuk menceraikan aku, maka jumlah uang yang akan kamu dapatkan akan semakin banyak. Bagaimana?"

Sandra jelas terkejut, hingga membelalakkan kedua matanya.

Apa Tazkia sudah gila?

Pikir wanita itu membatin.

*****

BAB 2 - KEGUGURAN 

Masa sebelum PROLOG...

Aku sempat tak sadar saat tubuhku dibawa ke rumah sakit oleh Mas Regi.

Satu hal yang aku ingat adalah, Mas Regi yang panik terus mencoba membangunkan aku dengan menepuk-nepuk pipiku. Lalu kudengar dia berteriak memanggil asisten rumah tangga dan satpam yang bekerja di rumah kami, hingga setelahnya aku hanya bisa merasakan tubuhku yang sudah remuk redam, nyeri dari ujung kaki hingga ubun-ubun kepala itu dibawa ke rumah sakit.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, darah terus mengalir dari area selangkanganku yang kurasa semakin deras. Membasahi kain yang menutupi tubuhku.

Bi Inah yang memangku kepalaku di belakang terlihat menangis dan meminta Mas Regi untuk lebih cepat melajukan kendaraannya.

Kesadaranku memang tak sepenuhnya hilang namun rasa sakit yang terasa di sekujur tubuhku jelas membuatku tersiksa.

Ya Allah, apakah ini akan menjadi akhir dari hidupku?

Jika memang benar, setidaknya, izinkan aku bertemu dengan keluargaku dulu...

Gumamku membatin, dengan lelehan air mata yang semakin deras.

Begitu sampai di rumah sakit, tim medis langsung cepat menanganiku di ruang IGD, saat itu aku masih mendengar suara Mas Regi yang berkata pada suster.

"Ini kenapa ibunya, Pak?"

"Dia terjatuh di kamar mandi, Sus, dia sedang hamil. Tolong istri saya, Sus..."

Dari nada bicaranya, aku tau dia sangat khawatir.

Sama khawatirnya denganku.

Hingga setelah suster memeriksaku dan menyuntikkan aku obat bius, barulah kesadaranku menghilang sempurna secara perlahan.

Dan dalam keadaan itu, satu kejadian yang aku alami malam itu, kembali terlintas dalam benakku.

Sebuah alasan yang membuatku pada akhirnya harus berbaring di rumah sakit ini dalam keadaan yang sangat mengenaskan.

*****

Sorot cahaya silau menerpa mataku, membuatku mengernyitkan dahi.

Saat pertama kali aku membuka mata, kupikir aku sudah benar-benar tiada, tapi ternyata tidak.

Aku masih hidup.

Dan untuk ke sekian kalinya aku selamat dari tragedi yang entah sudah keberapa kali terjadi sejak lima tahun belakangan aku menikah dengan Mas Regi.

"Kia? Syukurlah kamu sudah sadar, aku benar-benar mengkhawatirkanmu. Semalaman aku tidak bisa tidur," ucap Mas Regi menyambut siumanku.

Tangannya yang lembut mengelus perlahan kepalaku yang diperban sebagian.

"Mau minum?" Tanya Mas Regi lagi.

Aku menggeleng pelan.

"Maafin aku, Kia. Maaf kalau aku keterlaluan," Mas Regi meraih kursi di sisi brankar yang aku tempati. Aku yang kini sudah berada di ruang rawat. Lelaki itu duduk di sisiku seraya menggenggam erat jemariku.

Aku masih diam dan hanya bisa menangis. Mengingat pertengkaran yang sempat terjadi di antara aku dan Mas Regi tadi malam, hingga setelahnya hal naas ini terjadi menimpaku.

"Aku janji nggak akan pulang terlalu malam lagi. Aku janji akan lebih memprioritaskan waktuku untuk kamu di rumah. Maaf..."

Lagi-lagi aku hanya diam.

Ya hanya diam lah senjata terakhirku jika Mas Regi mulai mengucap kata maaf, bahkan setelah dia membuatku hancur berkali-kali.

Kedatangan keluargaku membuat percakapan intens ku dengan Mas Regi berakhir.

Mas Regi dengan senyuman ramah nan mempesonanya langsung menyambut kedatangan mereka, menyalaminya dengan takzim.

"Ini Tazkia kenapa lagi, Regi?" Tanya Ibuku pada Mas Regi.

"Jatuh dari kamar mandi, Bu. Jadi, Kia keguguran lagi," Mas Regi terlihat ragu mengucapkan kalimat terakhir yang sudah sejak tadi aku terka-terka sendiri.

Ya, entah sudah berapa belas kali aku mengalami hal ini?

Hamil, lalu keguguran.

Hamil lagi, keguguran lagi.

Dan semua itu disebabkan oleh hal yang sama...

"Loh, tadi kata Mba Inah di depan, Tazkia jatuh dari tangga, ini mana yang bener?" Potong Bapak dengan wajah khawatir.

"Aduh, Inah jangan di dengar, Pak. Semalam, kami bertengkar, lalu, Tazkia pergi ke kamar mandi dan terpeleset,"

"Bertengkar?"

"Iya, Bu. Maaf, ini semua memang salah Regi yang selalu pulang telat ke rumah akhir-akhir ini. Pekerjaan di kantor sedang menumpuk,"

Saat aku mendengar Mas Regi mengatakan hal itu, jujur aku ingin sekali muntah saking mualnya.

Dasar bajingan!

Bisa-bisanya dia menjadikan pekerjaan sebagai alasan untuk menutupi kebusukannya selama ini.

"Taz, kamu nggak boleh begitu sama Regi. Diakan kepala rumah tangga, sudah sewajarnya pulang telat kalau memang pekerjaan sedang banyak. Regi itu bekerja kan untuk kamu. Untuk membantu perekonomian keluarga kita. Membayar biaya pengobatan Radith, adikmu. Kuliah, Mira, Kakakmu. Semuanya Regi yang menanggung. Apa kamu lupa? Jangan egois,"

Saat Ibu berbicara, aku sempat menangkap senyum penuh kemenangan dari wajah Mas Regi meski hanya sesaat.

Sementara aku, tetap pada kebiasaanku semula, untuk memilih diam, diam dan diam.

Sebab, jika pun aku berbicara, percuma.

Ibu dan Bapak tidak mungkin mempercayainya karena di mata mereka, Mas Regi adalah sosok suami yang sangat sempurna.

Sebenarnya, kedua orang tuaku tidak seperti ini awalnya. Hanya saja, kelicikan Mas Regilah yang akhirnya berhasil menarik simpatik mereka hingga kini mereka tunduk pada Mas Regi atas dasar uang dan segala kemewahan yang Mas Regi berikan pada mereka.

Itulah sebabnya, alasan yang membuatku akhirnya memutuskan untuk diam dan tidak mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi menimpaku dalam rumah tanggaku yang tidak sehat dengan Mas Regi.

Pernah sekali aku mengatakannya, pada Ibuku, saking aku tak kuat menahan beban derita yang kurasakan akibat perbuatan Mas Regi, tapi gilanya, Ibuku hanya menjawab, "Kamu itu nggak usah terlalu lebay, Taz, mungkin Regi memang lagi jenuh aja. Kamu nggak usah cari masalah sama Regi, turutin aja semua kemauannya, toh dia sebagai suami kan sudah memenuhi kewajibannya menafkahimu dengan baik. Udah ya, Ibu mau istirahat,"

Dan sejak saat itulah, aku tak pernah sekali pun bercerita tentang masalah yang kini kuhadapi dengan Mas Regi pada Ibu, atau siapapun.

Aku memilih untuk memendamnya sendirian dan menyerahkan semuanya pada sang Maha Pencipta.

Hidup dan matiku ada di tangan-Nya.

Aku sudah ridho.

Ikhlas menerima semua suratan takdir yang sudah digariskan Tuhan untukku.

Berharap, suatu hari nanti, kelak akan ada keajaiban yang bisa merubah sikap Mas Regi.

Hingga dia benar-benar bisa mencintaiku dengan tulus.

*****

BAB 3 - ASISTEN RUMAH TANGGA BARU 

"Sus, pasien atas nama Nyonya Tazkia ini pasien lamanya Dokter Ilhamkan?" Tanya dokter Fadli yang hari ini mendapat tugas dari rumah sakit untuk menggantikan pekerjaan Dokter Ilham yang mendadak cuti karena ada salah satu anggota keluarga dekatnya yang meninggal.

"Iya benar, Dok, cumakan Dokter Ilham hari ini berhalangan hadir, makanya sebagian wewenang atas Pasien Dokter Ilham dialihkan pada Dokter Fadli dan Dokter Arinka. Hanya untuk tiga hari ke depan, Dok, sampai Dokter Ilham bisa kembali masuk," jelas Suster bernama Fani itu.

Dokter bernama Fadli itu hanya mengangguk tanda paham, lalu kembali meneliti berkas medis milik beberapa pasien Dokter Ilham yang baru saja diberikan Suster Fani. Di mana salah satunya adalah milik Tazkia.

"Nyonya Tazkia jatuh dari kamar mandi?" Tanya Dokter Fadli lagi.

Suster Fani mengangguk cepat.

Kening sang Dokter tampak berkerut saat dia melihat lebih jauh riwayat medis milik pasien bernama Nyonya Tazkia tersebut.

"Oke baiklah, ikut saya ke ruangan rawat Nyonya Tazkia, saya akan memeriksanya lebih dulu,"

Sang Dokter pun beranjak dari ruangannya menuju ruangan di mana Tazkia kini dirawat.

Setibanya di sana, kedatangan Fadli disambut oleh tatapan kaget Regi yang sekonyong-konyong bertanya ada kepentingan apa Fadli memasuki ruang rawat istrinya, hingga setelahnya Suster Fani pun menjelaskan.

"Kalau memang Dokter Ilham berhalangan hadir, kenapa dia tidak memberi kabar terlebih dahulu pada saya?" Ungkap Regi yang kelihatan kesal.

"Maaf Pak, Dokter Ilham sedang berduka, mungkin beliau tidak ada waktu untuk memberitahukan pasiennya secara pribadi hari ini. Harap dimaklumi. Lagi pula, saya dan Dokter Ilham sama saja, kami sama-sama menangani pasien dengan penyakit umum. Berhubung pekerjaan saya masih banyak, saya akan memulainya dari Nyonya Tazkia. Bisa saya memeriksanya sebentar?" Jelas Fadli panjang lebar. Tak bedanya dengan Regi, Dokter Fadli pun terlihat sedikit kesal atas sikap Regi yang dianggapnya sedikit arogan.

"Saya hanya akan memperbolehkan istri saya diperiksa oleh Dokter Ilham."

Dan ucapan Regi setelahnya, cukup membuat sang dokter paham, bahwa kecurigaan atas adanya hal yang tidak beres sepertinya benar adanya.

"Tapi Pak, Dokter Ilham baru masuk tiga hari lagi, sementara keadaan Bu Tazkia masih harus tetap dikontrol," balas Fani takut-takut.

"Kalau begitu, saya akan bawa istri saya pulang hari ini juga," jelas Regi lagi yang sukses memancing keterkejutan Fadli dan Fani.

"Tapi keadaan Bu Tazkia masih belum stabil, Pak. Dia masih membutuhkan perawatan medis secara intensif di rumah sakit," Fani kembali menjawab, hingga setelahnya, Dokter Fadli pun mengambil tindakan untuk menyudahi percekcokan ini.

"Baiklah, kalau memang Pak Regi mau membawa istri anda pulang, itu hak Bapak, tapi prosedur rumah sakit pun tetap harus dilakukan dengan memeriksa keadaan pasien lebih jauh sebelum keluarga membawanya pulang. Jadi, permisi Pak Regi, saya akan memeriksa keadaan Nyonya Tazkia sebentar,"

Tak punya pilihan, akhirnya Regi pun terpaksa menyingkir dan mempersilahkan Fadli memeriksa keadaan istrinya.

Regi yang terlihat kesal tampak keluar dari ruangan tersebut dan langsung menghubungi Dokter Ilham secara pribadi, meski panggilannya tersebut tak kunjung dijawab oleh Dokter kepercayaannya itu.

"Brengsek!" Maki Regi kesal. Mencengkram kuat ponselnya seraya melangkah kembali ke dalam ruangan rawat Tazkia.

Kebetulan, Fadli sudah selesai memeriksa Tazkia dan hendak keluar dari ruangan ketika dirinya berpapasan dengan Regi di ambang pintu ruang rawat.

"Maaf Dok, sepertinya kita harus bicara sebentar," ucap Regi dengan nada sinis. Tatapan lelaki itu lurus menusuk manik mata Fadli.

Fadli tersenyum lalu mengangguk.

Kedua lelaki itu pun berjalan menuju ruangan Fadli sementara Fani diperintah Fadli untuk berjaga di depan ruangannya.

Dengan terang-terangan Regi mengeluarkan sebuah cek yang sudah dia tulis dengan sejumlah nominal angka yang cukup besar dari dalam dompetnya, lalu memberikannya pada Dokter Fadli.

"Apapun hasil pemeriksaan terhadap istri saya yang sudah anda ketahui, tolong dirahasiakan! Mengerti, Dok?"

*****

Hari itu, selepas pemeriksaan yang dilakukan Dokter Fadli di pagi hari, siang harinya Tazkia sudah diperbolehkan untuk pulang meski kondisinya memang belum stabil.

Hanya saja, jika Regi sudah berkehendak, tak ada yang bisa melawan apa yang telah diperintahkan sang suami.

Uang dan kekuasaan yang dimiliki Regi sudah cukup membuktikan bahwa keadilan di negeri ini memang tak ada harganya.

Semua mampu dimanipulasi dan ditutupi hanya dengan uang.

Dan itulah yang Tazkia yakini telah dilakukan oleh Regi hingga akhirnya Dokter Fadli memberi izin padanya untuk membawa Tazkia pulang hari ini.

Di sepanjang perjalanan pulang, Tazkia hanya diam seribu bahasa. Kesehatannya yang belum pulih, membuatnya tak memiliki cukup tenaga meski hanya sekedar untuk berbicara.

Setibanya di rumah, kedatangan Tazkia disambut oleh dua orang wanita muda yang jelas asing di mata Tazkia.

"Loh, kalian siapa?" Tanya Tazkia saat tubuhnya baru saja dipapah ke atas kursi roda.

"Saya Isah dan saya Lilis, Bu. Kami ART baru di sini," jawab kedua gadis yang masih bisa dikatakan belia tersebut.

"Memangnya Bi Inah kemana?" Tanya Tazkia lagi dengan suaranya yang terdengar pelan.

Regi yang saat itu kebetulan masih di sana pun menjawab dengan suaranya yang terdengar tegas, "Inah sudah kupecat!"

Kedua bahu Tazkia mencelos. Benar-benar tak menyangka, sebab Bi Inah sudah bekerja dengan mereka bahkan sebelum Tazkia menjadi istri Regi.

"Tapi kenapa Mas? Apa salah Bi Inah?" Tanya Tazkia tak habis pikir.

Kursi roda sudah di dorong melewati ruang tamu luas di rumah mewah itu oleh Isah, langkah kaki Regi yang sudah menaiki tangga pun terhenti dan berbalik.

"Beritahu apa kesalahan Inah pada Nyonyamu ini, Isah, Lilis," ucap Regi yang langsung berlalu menuju kamarnya di lantai dua.

Lilis tampak menunduk takut saat tatapan Tazkia kini tertuju padanya.

"Setahu saya, Bi Inah sudah salah menyebutkan kalau Ibu kemarin jatuh dari tangga pada kedua orang tua Ibu. Harusnyakan, Bi Inah bilang, kalau Ibu jatuh dari Kamar mandi. Makanya, Pak Regi marah besar pada Bi Inah,"

Dan penjelasan Lilis tersebut, akhirnya membuat Tazkia paham.

Hingga wanita berusia 27 Tahun itu pun kembali bungkam.

*****

BAB 4 - SEKRETARIS BARU 

Pekerjaan di kantor akhir-akhir ini kacau semenjak Ranti, sekretaris Regi mengundurkan diri pasca menikah.

Beberapa proses wawancara kerja sudah berjalan dengan beberapa calon pelamar baru, namun sampai detik ini belum ada yang memenuhi kriteria Regi untuk bisa menggantikan posisi Ranti yang memang sangat bagus dan kompeten dalam bekerja.

Ranti itu tidak hanya cantik, tapi dia wanita sholehah, baik dan memang sangat cerdas. Bekerja sama dengan Ranti membuat pekerjaan Regi beres tepat waktu.

Itulah sebabnya, Regi sangat menyayangkan saat Ranti memutuskan untuk resign dari kantor setelah dia menikah dengan alasan, suaminya yang melarangnya bekerja.

Meski dalam hal itu, Regi tak menyalahkan suami Ranti, sebab dirinya sebagai suami pun memang lebih suka melihat istrinya yang cantik berdiam diri di rumah tanpa harus lelah bekerja di luar. Cukup dirinya saja yang bersusah payah mengumpulkan rupiah untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami terhadap Tazkia.

Tok! Tok! Tok!

Lamunan Regi seketika buyar saat mendengar suara pintu ruangan kantornya di ketuk dari luar.

"Masuk," perintah Regi setengah berteriak.

Wanda, salah satu karyawan HRD masuk diikuti dengan seorang perempuan berambut pirang dengan penampilannya yang sangat seksi, didukung dengan bentuk tubuh yang memang aduhai.

Penampilan yang sukses membuat setiap mata lelaki tak ingin berpaling.

Hanya saja, hal itu tak berlaku bagi Regi.

Tatapan lelaki itu tetap sama, baik terhadap Wanda mau pun wanita berpakaian seksi itu.

"Selamat siang, Pak. Maaf mengganggu. Ini pelamar terakhir hari ini, namanya Sandra. Ini CV milik Sandra, silahkan Bapak cek dulu. Semua staff HRD diruangan saya sudah meloloskan Sandra dalam tahap interview terakhir kami. Tapi bagaimana pun, kami tetap memberikan keputusan akhir pada Bapak," jelas Wanda panjang lebar. Wanda mempersilahkan Sandra duduk.

Regi tampak meneliti CV milik Sandra setelah sebelumnya dia meminta Wanda untuk meninggalkan ruangannya.

Jadilah kini tinggal dirinya dan Sandra berdua di dalam ruangan itu.

"Ehm, kenapa di sini agak gerah ya Pak?" Ucap Sandra tiba-tiba. Kedua telapak tangannya dikibas-kibaskan di depan wajah. "Boleh saya buka sweater saya, Pak?" Ucap wanita berambut pirang itu lagi.

Regi tetap bergeming.

Tetap pada posisinya memeriksa dengan teliti berkas CV milik Sandra.

Hal itu jelas membuat Sandra menjadi keki.

Meski wanita itu tak ingin menyerah sampai di situ, setelah wajah tampan dan kharisma Regi sukses mengalihkan dunia Sandra, tepat satu detik ketika dirinya dipersilahkan masuk ke dalam ruangan lelaki itu tadi.

Brewok tipis di wajah Regi dengan bibir lelaki itu yang tebal dan seksi, membuat hati Sandra meronta-ronta. Terlebih dengan lekukan otot-otot kekar yang menyembul dari balik kemeja putih yang kini dikenakan Regi membuat lelaki itu semakin terlihat sempurna di mata Sandra.

Dan bukan Sandra namanya, jika dia tidak sanggup mendapatkan apa yang dia inginkan.

Bahkan pejabat penting sekelas Deni Hendrawan saja, bisa dia goda, apalagi hanya seorang CEO biasa macam Regi.

"Kamu pernah bekerja di Company grup?" Tanya Regi saat itu yang kini tatapannya beralih pada Sandra yang sudah berhasil menanggalkan sweater putihnya. Meninggalkan sebuah kemeja ketat yang juga berwarna putih dengan tiga kancing teratas yang sengaja Sandra buka agar memperlihatkan sesuatu yang dia sembunyikan di balik dadanya yang indah.

"Iya Pak. Saya bekerja di sana satu tahun," jawab Sandra dengan jujur.

"Lalu kenapa berhenti, Company grup itukan perusahaan terbesar di Indonesia?" Ucap Regi lagi.

"Saya inikan, anak yatim, Pak. Hanya tinggal berdua dengan Ibu saya saja. Tidak memiliki keluarga lain lagi di Jakarta. Waktu itu, kebetulan Ibu saya sakit, dan tidak ada yang bisa menjaga di rumah sakit. Itulah sebabnya saya terpaksa resign, Pak. Karena harus menjaga Ibu saya yang sakit," jawab Sandra lagi, masih dengan kejujuran yang dia miliki.

"Bukankah orang sakit itu justru membutuhkan biaya banyak untuk pengobatan? Kenapa kamu malah memutuskan resign? Lalu, darimana kamu bisa membayar biaya pengobatan ibumu?"

"Dari uang hasil tabungan saya bekerja, Pak. Alhamdulillah saya masih memiliki uang tabungan di rekening saya,"

"Jadi, sekarang Ibumu sudah sembuh, makanya kamu melamar kerja lagi?"

Sandra terdiam sebentar, wajahnya tampak sendu. "I-ibu saya, meninggal, Pak..." Jawabnya pelan.

Regi mengulum bibir, tampak prihatin meski setelahnya lelaki itu tak mengatakan apa-apa dan kembali meneliti berkas milik Sandra selanjutnya.

Sebuah cincin yang melingkar di jari manis Regi sempat menarik perhatian Sandra saat itu, membuat harapannya seketika pupus.

"Nilai-nilai kamu tinggi ya, sewaktu kuliah. IPK mu juga cukup tinggi. Dan kamu menguasai tiga bahasa asing sekaligus? Benar begitu?" Lagi-lagi Regi bicara dengan menunjukkan raut wajahnya yang berbinar, penuh kekaguman.

Sandra tersenyum lebar dan mengiyakan semua kata-kata Regi. Tak hanya di situ, Sandra juga membuktikan prestasinya dengan berbicara menggunakan tiga bahasa asing secara bergantian di hadapan Regi.

English, Jerman dan bahasa Jepang yang fasih meluncur begitu saja dari bibir seksi Sandra, yang jelas menambah nilai plus atas kepribadian wanita itu di mata Regi.

Regi memang sangat menyukai wanita-wanita cerdas dan mandiri.

Seperti Sandra.

Terlebih lagi, wajah Sandra yang cantik dengan body bak gitar spanyolnya itu. Membuat tubuh Regi menegang tanpa rangsangan.

Dan hebatnya, ini kali pertama Regi merasakan apa yang dia rasakan terhadap seorang wanita selain dengan istrinya.

Sejauh ini, hanya Tazkialah satu-satunya wanita yang berhasil membuat Regi terangsang, bahkan sebelum Regi sempat menyentuh istrinya itu.

Masih dengan rasa penasaran terhadap apa yang dia rasakan, tatapan Regi masih tertuju lurus ke wajah Sandra saat Sandra masih menunjukkan kelihaiannya dalam berbahasa asing.

Hingga saatnya Sandra pun selesai dan menjadi salah tingkah karena Regi yang terus saja menatap lekat ke arahnya.

"Pak, jadi, bagaimana? Apa saya diterima?" Tanya Sandra membuyarkan fantasi Regi.

Regi menelan salivanya satu kali, tersenyum sambil menautkan jemarinya, merasakan kedua telapak tangannya yang tiba-tiba berkeringat, lalu dia mengangguk.

"Kamu diterima. Besok sudah mulai bisa bekerja," ucap sang CEO tampan itu.

Sandra tersenyum lebar, meraih tangan Regi untuk bersalaman dan mengucapkan terima kasih.

Tubuh Regi kembali menegang saat sentuhan tangan Sandra yang halus menggenggam tangannya.

Apa yang terjadi padaku?

Bisik lelaki itu membatin.

Dia benar-benar bingung.

*****

BAB 5 - RUANGAN RAHASIA 

Hari ini adalah jadwal Tazkia check up kesehatan ke rumah sakit setelah kurang lebih dua minggu dia beristirahat total di rumah.

Dua hari yang lalu, Regi berangkat ke Singapura untuk keperluan bisnis dan dia mengatakan akan kembali hari ini untuk mengantar sang istri check up.

Berhubung hari sudah sore dan Regi belum juga menunjukkan batang hidungnya di rumah, Tazkia pun berinisiatif untuk pergi check up sendiri.

Sebenarnya tidak check up pun, dia merasa kondisi kesehatannya sudah lebih baik dari hari ke hari, hanya saja dia perlu memeriksakan kondisi kesehatan rahimnya pasca mengalami keguguran untuk yang kesekian kali. Meski jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, Tazkia tak mengharapkan kehadiran seorang anak dalam rumah tangganya dengan Regi sejauh ini.

Tidak selama sikap Regi belum berubah terhadapnya.

"Aduh, saya lupa bawa surat check upnya lagi. Sebentar ya Pak," ucap Tazkia saat dirinya baru saja memasuki mobil.

"Biar saya saja yang ambilkan, Bu," kata Lilis yang saat itu menghantar kepergian sang majikan di teras.

"Kamu tau tempatnya?"

"Di kamar ibukan?"

"Iya, di laci kamar sebelah kiri tempat tidur. Paling atas ya, Lis," beritahu Tazkia pada salah satu asisten rumah tangga barunya itu.

Dengan sigap Lilis pun berbalik dan berjalan tergesa menuju kamar Tazkia di lantai atas. Sementara Tazkia menunggu di mobil bersama supir pribadinya, Pak Aan.

Tak lama, Lilis kembali dengan wajah pucat, dia memberikan surat check up yang dimaksud sang majikan, masih dengan napasnya yang terengah-engah. Seperti orang habis melihat hantu.

"Kamu kenapa, Lis?" Tanya Tazkia bingung.

Lilis menggeleng. "Nggak Bu, nggak kenapa-napa," jawab remaja itu.

"Yaudah, saya berangkat dulu. Nanti kalau suami saya pulang beritahu saja saya udah ke rumah sakit sama Pak Aan, gitu ya?"

"Ibu nggak takut Pak Regi marah kalau berangkat duluan?" Tanya Isah yang juga ada di teras.

Tazkia terdiam sesaat, sebelum akhirnya dia meyakinkan kedua pembantunya itu untuk tidak mengkhawatirkan hal itu, karena Tazkia sudah lebih dulu menghubungi Regi bahwa dia akan berangkat ke rumah sakit sendiri jika sampai sore Regi belum juga pulang.

Isah dan Lilis menatap kepergian majikannya itu dengan tatapan prihatin. Hingga setelah mobil yang dikendarai Pak Aan menghilang dari pandangan mereka, Lilis tiba-tiba berkata, "Sah, tadi aku lihat, ruangan rahasia yang waktu itu pernah diceritakan Bi Inah ke kita, sebelum dia pergi dari rumah ini,"

"Hah? Yang bener kamu, Lis? Bukannya ruangan itu selalu dikunci sama Bu Tazkia,"

"Tadi pas aku masuk ke kamarnya, aku iseng, penasaran, apa benar ada ruangan seperti yang dibilang Bi Inah itu di dalam kamarnya Bu Tazkia sama Pak Regi, dan ternyata benar ada,"

"Astaghfirullah, jadi semua yang diceritakan Bi Inah tentang Pak Regi itu benar?"

Lilis terdiam.

Tubuh remaja berusia sembilas belas tahun itu tiba-tiba bergidik.

*****

Sesampainya di rumah sakit, karena Tazkia adalah salah satu pasien VIP di sana, jadi dia tak perlu lagi mengikuti prosedur pendaftaran di rumah sakit seperti orang pada umumnya.

Dia langsung menuju ruang kerja Dokter Ilham dan memberikan lembaran check upnya pada suster yang berjaga di ruang kerja sang dokter.

Setelah menunggu kurang lebih lima belas menit, Tazkia mendapat telepon dari Regi yang menyuruhnya untuk segera pulang karena Regi baru saja mendapat telepon dari Dokter Ilham yang berhalangan hadir ke rumah sakit sore itu.

Jadilah, check up terpaksa diundur.

"Loh, Dokter Ilham gimana sih? Kalau memang dia nggak bisa hadir hari ini, harusnya jangan kasih tanggal hari ini dong untuk check up," keluh Tazkia di telepon saat itu.

"Dokter Ilham udah nungguin kamu dari tadi pagi, tapi kamu nggak dateng juga makanya dia pulang. Yaudah besok aja check up nya sama aku. Ini aku baru sampai di Bandara. Jemput ya sayang, aku kangen..." Bisik Regi manja.

Tazkia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Dua hari belakangan, Tazkia merasa hidupnya tenang tanpa keberadaan Regi di rumah dan hari ini, suaminya itu pulang, sayangnya Tazkia justru kembali di dera perasaan was-was.

Meski tak dipungkiri, ada sejumput rindu yang tak terbantahkan dalam sudut hati kecilnya yang terdalam.

Sejumput rindu untuk suaminya.

Rindu akan sikap Regi yang dahulu.

"Yaudah kalau gitu, aku jemput kamu ke Bandara sama Pak Aan sekarang. Kamu sama siapa aja emang?"

"Sama Sandra dan Pak Djamal, tapi Pak Djamal dijemput sama anaknya, jadi paling Sandra aja nanti yang nebeng mobil kita,"

"Sandra? Siapa Sandra?" Tanya Tazkia merasa asing dengan nama itu. Sebab yang dia tahu, nama sekretaris Regi itu Ranti, bukan Sandra.

"Sandra sekretaris baruku, kan waktu itu aku udah pernah cerita ke kamu, kalau Ranti resign setelah menikah. Kamu sih kebiasaan, kalau suami lagi cerita nggak pernah fokus di dengar,"

"Ya maaf, mungkin aku lupa,"

"Makanya, jangan terlalu banyak pikiran sayang. Gimana kita bisa punya anak kalau kamu stress melulu? Apa-apa dijadiin beban, jadi pikiran, makanya kamu jadi sering sakit-sakittan sekarang,"

Tazkia mencengkram kuat ponsel di tangannya, menahan ledakan emosi yang tertahan di dada. Ucapan Regi benar-benar membuat Tazkia ingin berkata kasar.

"Aku juga sakit kan gara-gara kamu, Mas!" Tekan Tazkia yang akhirnya tak bisa menahan nyeri di ulu hatinya atas ucapan Regi yang seenak udelnya. Menjatuhkan semua kesalahan pada Tazkia yang seolah-olah tak bisa menjaga kesehatannya.

Hening.

Tazkia tak mendengar suara Regi membalas kata-katanya.

Sampai akhirnya, sambungan telepon itu pun terputus.

Lalu tak lama, Regi mengirim sebuah pesan pada Tazkia yang meminta Tazkia untuk langsung pulang saja karena dia akan pulang menaiki taksi online yang sudah terlanjur di pesan Sandra.

Tazkia menyeka sudut matanya yang berair.

Menatap sekilas pergelangan tangannya yang terdapat bekas luka, lalu menutupinya kembali dengan pakaiannya.

Saat itu, Tazkia sudah berada di lobby, meminta sang supir untuk membawa mobil ke Lobby rumah sakit ketika seseorang memanggil Tazkia dari arah lift.

Tazkia menoleh, dan mendapati sesosok tubuh tinggi seorang lelaki berjalan ke arahnya.

"Nyonya Tazkia ya? Pasiennya Dokter Ilham?" Tanya lelaki itu pada Tazkia.

Tazkia mengangguk, mencoba mengingat-ingat, siapa sebenarnya lelaki ini.

"Saya Fadli, rekan dokter Ilham di rumah sakit ini, yang pernah memeriksa anda waktu itu," Fadli mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.

"Oh ya, saya ingat," kata Tazkia seraya menjabat tangan Fadli.

"Mau check up?" Terka Fadli saat itu.

Tazkia kembali mengangguk.

Fadli menatap Tazkia dengan sorot mata yang sulit diartikan, hingga setelahnya, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang tersampir di bahunya.

"Ini cek milik suami anda, tolong kembalikan. Saya tidak membutuhkannya. Waktu itu saya sudah beberapa kali mencoba mengembalikannya tapi lagi-lagi cek ini kembali ke saya. Bilang pada suami anda, bahwa saya tidak akan membuka mulut sedikit pun tentang apa yang sebenarnya terjadi pada anda, asalkan, hal itu tidak kembali terulang lagi terhadap diri anda. Dokter Ilham sudah menceritakan semuanya pada saya tentang siapa suami anda dan juga tentang siapa anda, jadi, saya cukup memahami kesulitan anda dalam rumah tangga yang anda jalani sekarang. Hanya saja, saran saya, jangan terlalu memaksakan diri untuk bertahan jika sesuatu yang kita pertahankan justru akan merugikan diri kita sendiri, permisi."

Saat itu, tatapan Tazkia terus tertuju ke arah punggung Fadli tanpa berkedip dengan selembar cek yang berada di tangannya.

Satu titik air mata wanita itu terjatuh meski dengan cepat dia menyekanya.

Nurani Tazkia tersentuh atas ucapan Dokter bernama Fadli itu, sebab sejauh ini, tak ada satu pun orang yang perduli padanya, bahkan keluarganya sendiri pun seolah menutup mata.

Terkadang, adakalanya orang asing terasa seperti keluarga sendiri.

*****

To be Continue…

Jangan lupa FOLLOW AKUN KARYAKARSA HEROFAH SUPAYA DAPET NOTIF UPDATENYA YA… 🙏😘

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya BAGAIMANA RASANYA TIDUR DENGAN SUAMIKU? (BAB 6 - BAB 7)
3
0
Perlahan, sebuah tangan kekar Regi membelai rambut Tazkia, tubuh lelaki itu memeluk Tazkia dari belakang dan berbisik di telinga sang istri dengan suaranya yang terdengar lembut.Aku tau kamu belum tidur, sayang... Aku kangen...Jantung Tazkia seolah berhenti berdetak saat itu, terlebih ketika tangan Regi mulai meraba masuk ke dalam piyama yang dia kenakan. Melepas kaitan bra milik Tazkia lalu merayap ke bagian depan. Menggenggam sesuatu yang begitu dia sukai dari bagian tubuh Tazkia di mana inci demi incinya tak pernah Regi lewatkan untuk dijamah.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan