
Tema: Coming of Age
Sebuah Novel Romansa Modern.
Perjalanan menuju kedewasaan tidak mudah adanya. Tidak pernah bulat dan selalu bercabang.
"Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan."
RESTART
Copyright©2023byHelloHayden
(Pertama kali terbit di KaryaKarsa pada November 2023)
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.
“Kamu enggak kuliah?” tanya Aruna. “Ini kan Rabu.”
Saat ini kami sedang sarapan di warung kecil yang tidak jauh dari kost, hanya berjarak lima menit jika berjalan kaki.
“Engga. Minggu tenang,” jawabku, “emang kamu minggu ini masih kuliah?”
Sehari lagi tepat satu minggu kami berpacaran, aku bahkan mencatat tanggal jadian kami, 8 Desember 2016, pada buku bersampul cokelat itu.
“Yah, walaupun dikasih minggu tenang, tapi kami nggak ada tenang-tenangnya,” Aruna menyuap nasi uduknya, itu sudah suapan ketiga. Sedang aku masih mengaduk-aduk nasi di piring, belum ada satu suap pun aku telan. Melihat itu Aruna tidak tinggal diam, “Makan, dong. Nanti nggak enak kalau udah dingin.”
Kami duduk bersisian, Aruna di sebelah kananku. Daguku bertumpu pada satu tangan, mataku hampir terpejam. Aruna tertawa melihatku seperti itu, lalu tiba-tiba tersedak. Refleks, aku langsung membuka mata dan menyodorkan gelas yang sudah kuisi penuh sebelumnya. Aku ikut tertawa, meskipun tak benar-benar tahu apa yang lucu.
“Kamu dengerin aku nggak, sih? Bisa-bisanya nyaris tidur pas sarapan,” protes Aruna saat batuk-batuk tersedaknya sudah reda.
“Dengerin, kok.”
Baru pukul tujuh, tapi Aruna sudah terlihat siap menyongsong hari, seolah matahari pagi yang hangat telah meresap ke setiap sel tubuhnya untuk mengantarkan semangat. Sementara itu, kantuk masih bergelayut di kelopak mataku. Pagi tadi, Aruna mengetuk pintu kamarku, membangunkanku. Dia masuk dengan seluruh dirinya membawa aroma sabun segar yang memancarkan kesan bersih—sangat kontras dengan diriku yang masih sibuk mengusap wajah, menguap lebar, dan, yah, dengan bau khas orang baru bangun tidur. Jelas, kami seperti dua kutub berbeda: si ratu jam emas dan si raja kesiangan, kini menyatu dalam hubungan romansa.
Aku menyuap perlahan sambil memperhatikan wajahnya saat dia kembali bercerita. Meskipun keluhannya terdengar jelas, namun aku tahu betapa dia menyukai kampusnya. Aruna menyantap sarapannya dengan lahap, bercerita tentang ujian prakteknya dan rencana belajar bersama teman-temannya.
“Si culun juga ikutan belajar bareng?” tanyaku.
“Si culun siapa?” Aruna mengernyit, bingung.
“Siapa lagi? Yang kemarin bareng kamu pas aku jatuh.”
“Reza? Syahreza? Kok culun, sih?” Nada suara dan raut wajahnya penuh protes.
“Lah? Emang culun. Menurut kamu enggak, gitu?” balasku seadanya. Lalu, aku menambahkan, “Eh, bentar. Namanya Syahreza?”
“Iya. Kenapa?”
Seketika aku tergelak. Aruna masih terlihat bingung, tapi tanpa sadar ikut tertawa, meski jelas dia belum tahu apa yang kutertawakan. “Kenapa, sih?” desaknya.
“Itu nama Ares! Syahreza, Ares!” Aku tertawa lebih keras lagi, hingga sudut mataku mulai basah.
“Hah!” Aruna tampak terkejut sesaat sebelum akhirnya kembali tertawa. Tapi tawanya kali ini lebih lepas karena sudah tahu apa yang dia tertawakan.
“Bayangin! Syahreza yang satu culun, yang satu lagi pemain!” seruku, sambil berusaha mengatur napas di tengah tawaku.
Aruna mengangguk, menyadari kebenaran pernyataanku tentang temannya, kemudian menggelengkan kepala seolah tak percaya bahwa kami berdua memiliki teman dengan nama yang sama namun sifat yang saling bertolak belakang. “Ada-ada aja emang!” ujarnya, sambil menutup sendoknya. Kulirik, piringnya sudah tandas.
“Syahreza culun naksir kamu tuh!” Aku ikut-ikutan menutup sendok, meskipun makanan di piringku masih tersisa banyak. Aku kenyang. Bukan, lebih tepatnya tidak bisa lagi melanjutkan makan karena perutku mulai terasa tidak nyaman. Sejujurnya aku tidak terbiasa makan sepagi ini.
“Sama, dong, kayak kamu, naksir aku!” jawab Aruna cepat, dengan kepercayaan diri yang sulit ditandingi.
“Loh, kok kamu tahu?” tanyaku, menatapnya dengan pura-pura serius.
Ekspresi Aruna langsung berubah—terkejut dan terperangah. Raut wajahnya begitu menggelitik hati, sungguh menggoda. Dia bahkan menghentikan minum, memilih menatapku tajam. Bibirnya sudah bergerak, siap melontarkan keberatan atau pertanyaan yang aku tahu akan terdengar sengit. Tapi aku lebih cepat. “Iya, iya. Bercanda doang! Aku naksir. Iya, aku naksir. Kamu tanggung jawab!” seruku sambil menyentuh ujung hidungnya dengan telunjuk.
Aruna mencibir. “Kamu yang naksir kok malah aku yang repot-repot tanggung jawab. Kamu, dong, yang harusnya berurusan sama perasaan sendiri.” Bibirnya yang mungil itu tampak sangat menarik saat mengomel. Dan menarik di sini berarti lain bagiku, memberikan kegembiraan atas nama laki-laki. Aku terpaku saja melihat gerak-gerik lincah bibirnya.
Suasana mulai ramai, orang-orang berdatangan dan menunggu untuk duduk. Aku mengajak Aruna kembali. Sepanjang jalan tangan kami sama-sama lepas, berayun pelan mengikuti langkah kaki. Sesekali punggung tangan kami bersentuhan, membuatku ingin sekali menggenggamnya. Tapi sekalipun ingin, aku masih menahan diri untuk tidak melakukannya, terlebih kamu sudah masuk pelataran kost.
Pak Yahya bersiul-siul, ia sedang menyusun kursi-kursi plastik saat kami melewatinya. “Pak? Rajin banget,” sapaku.
“Eh? Mas Gamma, Mbak Aruna,” Pak Yahya sedikit terkejut saat aku menyapanya, siulannya tiba-tiba berhenti. “Abis dari mana, nih, berdua?”
“Sarapan di depan,” jawabku singkat.
“Kapan-kapan saya diajak, Mas…,” guyon Pak Yahya.
“Siap…,” jawabku santai, “Yaudah, Pak. Kami naik, ya?”
“Monggo, monggo…,” Pak Yahya mengangguk, sambil memberikan isyarat untuk mempersilahkan.
“Mari, Pak?” Aruna pamit dengan sopan dan melangkah duluan, sedang aku tiba-tiba disergap oleh Pak Yahya, ia mencengkram lenganku dan mendekat untuk berbisik, “Nah, gitu, Mas. Gerak cepat!” bisik Pak Yahya mengerlingkan mata jahil. Aku terkesiap dan segera melihat Aruna, dia masih berjalan tanpa menoleh ke belakang. Dengan cepat, aku mengacungkan jempol pada Pak Yahya sambil berbisik, “Sip, Pak!” Sebelum dia sempat menambah godaannya, aku segera berlari mengejar Aruna.
“Jadi kamu hari ini mau kemana?” tanya Aruna saat kami sudah sampai di kamarku.
“Ntar sore ada CSR dari perusahaan media kerja sama bareng PMI, donor darah,” ujarku sambil merapikan kasur yang tadi kutinggalkan begitu saja. Di sisi lain, Aruna membantu melipat selimut.
“Kayaknya aku tahu. Kemarin teman-teman di kampus sempat bicarain soal donor darah itu,” sambut Aruna.
“Oh, ya? Kalau gitu, kamu mau ikut aku, gak?”
“Pengen, sih. Pasti seru. Tapi aku dari siang udah janjian sama teman-teman buat belajar bareng di kampus,” jawabnya dengan nada sedikit kecewa, meski berusaha tersenyum.
“Ooh … oke,” balasku, mengangguk. “Kalau gitu, aku anter aja, ya? Sekalian mau mampir ke rumah teman yang nanti kerja bareng aku.”
“Ya. Oke aja.”
Aruna duduk pada tepi kasur. Pandangannya mengelilingi kamar. Ini sudah yang ketiga kalinya Aruna berada di sini sejak kami berpacaran. Yang pertama Jum’at sore minggu lalu. Saat itu Aruna sudah siap dengan ranselnya dan mengatakan akan ke Tangerang, ke panti asuhan. Sebenarnya saat itu aku sedikit sedih. Itu bahkan akhir pekan pertama kami, tapi dia merasa tidak ada yang istimewa mengenai hal itu. Aruna tetap seperti biasa; berangkat ke panti dan menghabiskan hari bersama adik-adiknya di sana. Sebelum sempat aku menahannya, Aruna sudah lebih dulu mengutarakan alasannya, “Ini minggu terakhir di tahun ini aku bisa bareng mereka, minggu-minggu kedepannya aku udah mulai magang. Jadi belum tahu lagi kapan bisa pulang ke Tangerang.”
Saat aku menawarkan akan mengantarkannya, dia menolak dengan mengatakan bahwa ibu pantinya sudah dalam perjalanan menjemput. Aku melihat Aruna pergi menaiki motor yang dikendarai oleh seorang wanita yang mengenakan jilbab panjang. Aruna bahkan mengelak saat kukatakan akan mengantarkannya ke bawah. Aku hanya bisa melihatnya pergi dari jendela kamar. Yang kedua, tadi pagi, saat membangunkanku. Yang ketiga, saat ini, sekarang.
Aku sedang berdiri bersandar membelakangi jendela, melihat Aruna yang tengah meneliti kamar dengan mata berbinar. Aku penasaran apa yang akan dia katakan tentang kamarku.
“Aku udah lama mikir kalau kamar kamu sepi, kosong,” celetuk Aruna, “Terlalu sepi sampai-sampai nggak ada hiasan atau pajangan,”sambungnya.
Memang benar, aku mungkin menerapkan prinsip minimalis untuk menata kamar, fokus pada kepraktisan, efisiensi ruang, dan penggunaan barang-barang yang benar-benar diperlukan. Aku tidak suka meja yang penuh atau benda-benda yang terpajang. Tidak ada display atau semacamnya. “Aku lebih suka begini,” kataku, menaikkan bahu dengan santai.
Matanya berhenti pada sebuah kotak hitam besar, kira-kira berukuran satu meter dengan tinggi hampir setara meja kerja di sampingnya. Dia memiringkan kepala, menatap kotak itu dengan penuh selidik. “Itu apa? Mencurigakan banget,” ujar Aruna sambil menunjuk kotak tersebut, ekspresi penasarannya begitu kentara. Aku terkikik, lalu meninggalkan dinding tempatku bersandar sejak tadi. “Yok, sini!” ajakku sambil melambaikan tangan, mengisyaratkannya untuk mendekat dan melihat isi kotak itu. Aruna mengikuti.
Aku bertumpu lutut di depan kotak itu dan membukanya membentuk sudut sembilan puluh derajat. Aku mendongak ke arah Aruna yang masih berdiri di sampingku. Awalnya dia tampak takut-takut saat kotak itu perlahan terbuka. Dia mengintip. Entah apa yang dia pikirkan tentang isi kotak ini, air mukanya tampak waspada. Tapi setelah kotak ini terbuka, matanya besar dan berseri-seri. Lalu segera duduk persis seperti yang kulakukan.
“Wah? Banyak banget!” Seru Aruna. “Ini punya kamu semua?” tanyanya lagi. Aruna masih menatap dengan takjub deretan beberapa kamera dan lensa yang tersusun rapi di dalamnya, bahkan ada alat-alat penunjang lainnya seperti tripod, alat pembersih kamera dan kabel-kabel penyambung lain.
“Beberapa punya Ares,” jawabku. Tapi Aruna seperti tidak terlalu mendengarkan sebab dia masih saja sibuk terkesima. Dia terlihat seperti balita yang masuk ke toko mainan, tampak senang, penuh semangat. Matanya itu terlihat fokus meneliti tiap benda, telunjuknya menyisir pelan deretan lensa.
“Kamu mau coba yang mana?” tanyaku.
Aruna segera menoleh. “Eh? Boleh?”
“Boleh, dong!”
“Kalau rusak, gimana?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya yang lugu. Ini bukan seperti balita lagi, tapi memang benar-benar balita yang sedang khawatir akan merusak barang milik orang dewasa.
“Nggak segampang itu juga rusaknya. Kecuali kalau jatuh atau kebanting,” jelasku.
Aruna mengangguk dengan cepat dan juga tampak sangat ingin tahu.
“Nah, yang ini coba,” kataku sambil mengambil satu kamera DSLR dan memilih lensa standar yang cocok untuk pemula. Setelah terpasang, kuserahkan kepada Aruna. Dia menerimanya dengan hati-hati, tampak gugup tapi di saat yang sama dua sudut bibirnya terangkat, dan matanya penuh kilau kegembiraan. Aku mengalungkan strap kamera di lehernya, lalu dia dengan antusias mulai meneliti dan membalik-balikkan kamera tersebut. Pipi kami nyaris bersentuhan saat sama-sama menatap ke layar kontrol kamera. Aku menjelaskan secara singkat kepada Aruna fungsi-fungsi menu yang ada. Aruna benar-benar memperhatikan dengan seksama. Sedangkan aku benar-benar gugup. Belum pernah berada sedekat ini sebelumnya. Rambutnya jatuh menutupi pipinya saat dia menunduk, dan sesekali dia selipkan rambut itu ke sebalik telinga. Meskipun aku berusaha tenang saat menjelaskan setiap tulisan di layar kontrol, degupan jantungku berdebar tidak menentu. Sesekali, mataku menyasar pada lehernya yang putih bersih, juga wangi strawberry yang manis. Dan aku repot sendiri karenanya.
“Aku coba fotoin kamu, ya?” pinta Aruna setelah dia mulai memahami penjelasan singkat dariku.
“Kok aku? Aku nggak ada bagus-bagusnya di foto,” aku diam sejenak, “tapi mungkin kalau berdua kamu, jadinya beda.”
Aruna bingung.
“Ini layar kontrolnya sebenarnya bisa di putar, jadi bisa selfie,” ujarku sambil memutar layar pada kamera vary angle yang baru kubeli pertengahan tahun lalu itu. Lagi-lagi dia tampak terkesima dengan cara yang menyenangkan hatiku. Akhirnya, kami berfoto bersama untuk pertama kalinya. Jelas sekali Aruna jarang ber-selfie; dia tampak agak kikuk. Aku memintanya untuk mengatur layar kontrol kamera, lalu kami mencoba selfie lagi beberapa kali sampai mendapatkan hasil yang memuaskan.
Siang itu, Aruna terus menerus belajar dan memotret segala sesuatu di kamarku, bahkan mengarahkan bidikannya ke luar jendela. Aku membiarkannya menikmati momen-momen baru itu sambil mempersiapkan peralatan untuk pekerjaan nanti.
-oOo-
Jumat sore, aku sedang duduk bersama Ares dan teman-teman lain pada pelataran kampus. Ares tengah sibuk dengan laptopnya, dia sedang memilih footage untuk video profil komunitas skateboard yang telah disetujui dengan cepat oleh dosen pembimbingnya. Mungkin karena Pak Sam sudah muak melihat kurangnya kemajuan pada proyek sebelumnya atau karena komunitas skateboard ini memang sedang menarik perhatian. Ternyata setelah ditelisik lebih dalam, komunitas ini sudah banyak menggapai prestasi nasional. Lagipula, Ares memang harus serius kali ini, selain karena sempat tertinggal, orang tuanya mulai tidak sabar.
Teman-teman lain juga tampak sibuk; sibuk dengan ponsel, sibuk dengan buku dan sibuk dengan obrolan-obrolan rumit, entah itu tentang rencana proyek ke depan, kritik desain, budaya populer atau etika desain. Aku mendengar sepotong obrolan mereka mengenai plagiarisme. Mereka mungkin memperdebatkan bagaimana seharusnya desainer menggunakan teknologi secara bertanggung jawab. Aku memilih diam, malas bersuara, lantas hanya melihat kiri dan kanan, mengawasi situasi sekitar. Mataku bergerak pelan menyusuri halaman kampus. Mahasiswa jurusan lain yang bersebelahan dengan jurusan kami tampak lalu-lalang. Wajah-wajah yang telah mengisi kampus selama tiga setengah tahun terakhir akan meninggalkan kampus dalam kurun waktu kurang dari enam bulan. Mataku berhenti pada Ares, anak yang dulu menabrakku, siapa sangka kini menjadi teman dekat.
Saat itu acara penutupan orientasi mahasiswa baru di auditorium kampus. Acara berlangsung sejak sore pada hari Sabtu. Aku baru bisa datang pukul tujuh malam. Dan sangat menyesali melewati orasi ilmiah dari jurusanku mengenai desain dan inovasi yang disampaikan oleh satu praktisi yang sudah banyak bekerja sama dengan perusahaan besar. Aku masuk auditorium tepat saat anak jurusan teater mementaskan drama. Semua kursi penuh, sehingga aku dan beberapa puluh orang lainnya terpaksa berdiri. Acara tersebut menyenangkan karena sudah tidak ada lagi teriakan-teriakan senioritas terdengar. Tidak seperti saat ospek, semua akrab tanpa batas tahun angkatan. Panggung sudah diambil alih oleh jurusan musik, awalnya mereka menampilkan orkestra yang memukau, setelahnya perkusi lalu terakhir band. Band tersebut membawakan empat lagu ciptaan mereka sebelum akhirnya membawakan lagu dari Bon Jovi berjudul Livin’ on A Prayer sebagai penutupan, pemilihan lagu yang tepat untuk memotivasi mahasiswa agar tetap semangat dan pantang menyerah dalam mencapai tujuan. Seisi ruangan melompat mengikuti irama. Auditorium berubah menjadi gegap gempita dan penuh riuh iringan nyanyian bersama. Saat sedang menikmati suasana, tiba-tiba kepalaku terbentur sesuatu dari belakang. Aku segera menahan tubuh agar tidak ikut menabrak seorang perempuan di depan. Saat menoleh, terlihat laki-laki yang badannya lebih tinggi dariku. Dia mengusap dahinya sambil mengernyit dan mendesis kesakitan, “Sori bro! Nggak sengaja. Gua ditubruk juga, noh!” ujarnya saat itu sambil mengarahkan jempolnya ke belakang. Aku mengangguk, lalu mengabaikannya dan kembali menikmati lagu yang sudah hampir selesai. Lalu saat di parkiran, akan kembali ke kost, aku bertemu dengan anak itu lagi, motor trail-nya tepat berada di sebelah motorku. Lalu, entah kenapa sejak itu, kami sering bertemu secara acak dan tidak disengaja.
Memasuki kelas hari pertama perkuliahan, dia datang terlambat. Saat ditanyai dosen, tiba-tiba, dan tanpa ragu-ragu, dia menunjukku sambil mengatakan, “Saya tadi jemput dia, Pak. Eh, dia malah sampai duluan.”
Ucapannya itu mengejutkan seisi ruangan, semua kepala menoleh kepadaku. Aku yang tersentak tidak mampu mengeluarkan satu kata. Dengan wajah masam, dosen akhirnya membiarkannya mengikuti kelas. Tak terduga, dia memilih duduk di sampingku, di barisan paling belakang, di sudut—padahal masih banyak kursi kosong di depan.
“Kayaknya kita pernah ketemu,” katanya lagi.
“Lu yang nubruk gua waktu itu.”
“Oh!” lalu dia tertawa dan membuatnya kembali ditegur dosen.
“Gua Ares,” ujarnya memperkenalkan diri dengan santai sambil mengeluarkan tablet dari ranselnya.
“Gamma.”
“Abis kelas mau kemana?” tanyanya, sambil menulis sesuatu pada tabletnya.
“Belum tahu, kenapa?”
“Gua ikut kemana lu pergi.”
Hah? Dia kenapa, sih? Seruku dalam hati.
Aku tidak mengerti kenapa Ares ini sok-kenal sok-dekat. Tapi nyatanya, dia benar-benar ikut kembali ke kost. Begitu seterusnya, ke manapun aku pergi, dia akan ikut. Kadang-kadang, dia malah mengajakku berkumpul dengan teman-teman dari jurusan lain. Ares adalah tipe orang yang santai dan mudah disukai—bukan hanya karena wajahnya yang rupawan di mata perempuan, tapi juga karena kepribadiannya yang menyenangkan. Walaupun candaannya terdengar kasar, tapi kenyataannya dia orang yang perhatian. Juga dia tidak pernah membedakan orang. Perlahan, dia mulai bercerita bahwa orang tuanya memiliki sentimen negatif atas keputusannya melanjutkan pendidikan mengambil jurusan Desain Komunikasi Visual. Tatapan tajam ibunya—yang dia panggil “Mami”—membuatnya merasa tertekan setiap kali pulang. Seiring waktu, karena sering bersama, aku dan Ares jadi lebih dekat daripada dengan teman-teman lainnya. Dialah yang memperkenalkanku pada alkohol untuk pertama kali, dan anehnya, aku tidak menyesal sama sekali.
Ares biasa-biasa saja pada semester pertama, cenderung medioker. Dia mengikuti alur kampus seadanya, tetap berada di tengah-tengah antara tidak ingin repot dengan urusan kegiatan organisasi mahasiswa dan juga tidak ingin terlalu berusaha pada nilai akademis. Padahal aku yakin jika mau, dia bisa mendapatkan nilai lebih baik sebab dia memiliki bakat bawaan sebagai seniman. Sedangkan aku bergabung dalam Kegiatan Ekstra Mahasiswa atau kami sebut dengan KEM yang terbagi menjadi tiga fokus yaitu: fotografi, videografi dan desain grafis. Aku memilih KEM Fotografi, karena pada dasarnya, aku menyukai kamera. Namun, sayangnya aku berhenti dari klub itu pada semester tiga sebab sudah mulai sibuk bekerja.
Memasuki semester dua, Ares sepertinya memutuskan untuk memanjangkan rambut dan mulai memelihara rambut-rambut halus di wajahnya. Gaya seperti itu justru membuatnya semakin menarik; dari awal, wajahnya sudah memiliki daya tarik alami, dan penampilannya kini menjadi magnet tak tertolak bagi perempuan. Pacarnya sering berganti, hampir tidak ada yang bertahan lebih dari tiga bulan. Kebanyakan harinya akan dia habiskan dengan senang-senang, tapi sekarang, dia duduk dan tengah serius mengerjakan karya untuk tugas akhirnya.
“Gam, ntar sore gua mampir ke kost, ya. Mau ambil kamera,” ujarnya di tengah-tengah mata dan jarinya sibuk memilih file di layar laptopnya.
“Kabarin. Soalnya gua mau pergi.”
“Oke. Gua juga masih nungguin Trisna,” Ares sengaja menekankan nama Trisna, membuat teman-teman lain menoleh ke arahnya. Jelas, dia ingin memamerkan keberhasilannya mendekati Trisna. Tak lama kemudian, dia tertawa bangga dan angkuh. Teman-teman mulai ribut, ada yang memukulnya dengan buku, ada pula hanya dengan tangan kosong. Sementara itu, aku hanya bisa menggelengkan kepala.
“Gua duluan, yak!” ujarku pada teman-teman yang masih bersenda gurau.
Siang ini aku berjanji menjemput Aruna di kampusnya, lalu kami akan makan siang bersama. Aku menantikan akhir pekan sebab Aruna tidak ke panti asuhan karena persiapan ujian dan magang.
Aku dan Aruna makan siang di sebuah kafe sederhana dekat kampusnya. Sambil menyantap makanan, Aruna bercerita mengenai jadwal magang yang baru saja dia terima. Kali ini, dia akan magang di rumah sakit yang dibina oleh yayasan kampus. Rumah sakit itu tidak jauh dari kampus Aruna. Seluruh cerita Aruna tentang magangnya menarik untuk didengar, kecuali satu hal dan menggangguku bahwa, magang kali ini dia lebih sering mendapatkan jadwal dinas malam, dari pukul sembilan malam hingga tujuh pagi. Pihak rumah sakit tampaknya sudah menganggap mereka sebagai mahasiswa yang cukup terlatih untuk menghadapi situasi genting, terutama di tengah malam.
“Kamu kenapa begitu wajahnya?” Aruna bertanya, mungkin terlihat sangat jelas bahwa aku mencemaskannya.
“Was-was. Malem banget kamu dinasnya,” aku meletakkan sendok ke piring, sudah tidak selera makan.
“Iya tapi juga nggak setiap hari. Tiga kali seminggu.”
“Aku anter ya?” pintaku.
“Deket, kok. Kayak aku ke kampus biasa.”
“Nggak apa-apa. Sama aku aja.”
Aruna tidak berniat lagi menolak, lalu melanjutkan makannya. Sementara itu, aku mendorong piringku menjauh, merasa kenyang saja tiba-tiba, entah karena perasaanku yang tidak nyaman juga. Sekilas, aku bisa melihat Aruna tidak suka dengan caraku yang menjauhkan makanan karena kehilangan semangat. Tapi dia diam.
Piring Aruna sudah tandas. Hampir setiap kali makan, dia selalu menghabiskan semuanya; kalaupun ada sisa, pasti sangat sedikit. Aku puas sekali melihatnya makan dengan lahap begitu. Yang sering membuatku heran adalah bagaimana tubuh kecil itu bisa menampung makanan banyak. Meskipun porsi makannya besar, bobot tubuhnya tetap tidak bertambah. Untuk ukuran perempuan berusia dua puluhan, Aruna tergolong mungil.
Kami pulang, kembali ke kost setelah hampir satu jam duduk di kafe itu. Selama di motor, Aruna memegang bahuku. Aku mulai terbiasa dengan sentuhan jari-jemarinya yang halus dan kecil, yang awalnya terasa asing di pundakku. Dia mengenakan jaket jeans milikku, yang sengaja kubawa sejak pagi. Aku tahu Aruna hampir selalu keluar tanpa jaket atau outer lain, dan aku tidak ingin seragam putihnya yang polos itu menjadi tembus pandang jika terkena cahaya berlebihan. Sepanjang perjalanan, kami tak banyak bicara. Saat kulirik melalui kaca spion, Aruna tampak menikmati sore yang sedikit mendung. Beberapa rintik hujan mulai turun dari langit, dan sesekali dia menadahkan tangannya ke udara, menunggu tetes air jatuh ke telapak tangannya. Awalnya, aku tersenyum melihat tingkah polosnya, namun senyum itu perlahan memudar. Mengira-ngira tentang masa kecilnya di panti asuhan –apakah masa-masa itu begitu sulit hingga hal sederhana seperti ini bisa membuatnya begitu bahagia?
-oOo-
Minggu tenang sudah berakhir. Dari siang hingga sore akhir minggu kemarin aku habiskan dengan belajar bersama di kamar Aruna, meskipun kami memegang buku teks yang berbeda. Malamnya kami keluar membeli ketoprak yang biasa mangkal di perempatan kost. Rabu sore aku kembali akan bekerja di konveksi, kali ini aku memastikan Ares bisa mendampingi sebagai rekan kerja, aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, membuat Kak Ami kecewa dan juga menambah pekerjaanku hingga dua kali lipat pada akhirnya. Proses menyelesaikan materi itu butuh waktu dua hingga tiga hari sedangkan pada pabrik garmen itu aku datang empat kali dalam sebulan. Mereka sangat cepat dalam memproduksi produk-produk baru. Persaingan pasar fashion memang sangat ketat, terlebih melalui platform jual beli online. Lalu untuk sementara, aku dengan sengaja tidak mengambil pekerjaan lain agar fokus menghadapi ujian dan pengerjaan karya tugas akhir.
Aruna tampak sibuk dengan kegiatannya: kuliah dan belajar, baik sendiri maupun bersama teman-teman di kampus. Dia juga fokus mengerjakan penelitian untuk karya ilmiahnya. Aku mencoba membantu dengan menyebarkan kuesioner penelitiannya kepada Ares, Trisna, dan beberapa teman lain. “Lu sama Aruna udah jadian?” tanya Ares sambil menyerahkan kuesioner yang sudah diisi. Saat itu, kami baru saja tiba di studio kecil-kecilan milik konveksi, namun tiba-tiba listrik padam. Aku lupa menjawab pertanyaannya karena Ares langsung menggerutu bersama Kak Ami. Begitu listrik menyala kembali, kami semua terburu-buru bekerja, dikejar waktu. Aku berharap setelah ujian selesai, akan banyak akhir-akhir pekan yang aku dan Aruna lewati bersama dengan kegiatan menyenangkan. Walau jarak kami hanya beberapa langkah, namun itu bukan suatu jaminan untuk memudahkan bertemu. Rutinitas kami memiliki jadwal yang berbeda. Aruna dan aku hampir selalu berusaha menyempatkan diri untuk bertemu di pagi hari dan sarapan bersama. Sedikit banyak, aku mulai terbiasa bangun lebih pagi, meski perutku masih belum bisa menerima makanan di waktu-waktu itu.
Dua mata kuliah dijadwalkan ujian di minggu yang sama. Itu hal yang baik, karena akhir pekan ini sudah mulai cuti bersama Natal. Aku melewati ujian dengan serius, dan begitu juga Ares. Untuk pertama kalinya, dan hal langka, dia terlihat belajar dengan benar—mencoret-coret buku teks, menandai hal-hal penting. Entah ada hubungannya dengan Trisna atau tidak, yang jelas ini perubahan yang baik. Ares terlihat bersungguh-sungguh di semester akhir ini. Semester tujuh akhirnya selesai bersama ujian mata kuliah terakhir tadi. Sekarang, aku hanya tinggal menunggu nilai dua mata kuliah tersebut. Jika semuanya lancar dan tidak ada mata kuliah yang harus diulang, semester depan kami akan sangat sibuk mempersiapkan karya tugas akhir untuk kelulusan.
Di tengah-tengah itu, ada rencana besar bersama Ares—bisnis sebuah studio yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan produksi komersial. Itu salah satu target yang kutuliskan dalam buku bersampul cokelat. Kami berencana mulai mencari tempat strategis selama libur semester. Awal tahun ini benar-benar sudah terasa padat. Sementara itu, Aruna sedang menjalani praktik lapangan, sehingga kami jarang bertemu. Hubungan kami tidak dipenuhi percakapan romantis panjang baik melalui pesan maupun telepon. Kami hanya bertukar pesan jika diperlukan—seperti saat aku menjemputnya atau dia memberi tahu jadwalnya secara singkat. Namun, satu hal yang tak pernah Aruna lupakan adalah mengingatkanku setiap hari untuk menjaga kesehatan dan makan dengan benar. Malam itu, setelah aku pulang dari studio konveksi, Aruna datang ke kamar, membawa makan malam yang sudah dia siapkan dan juga sebotol vitamin.
“Kamu itu kegiatannya banyak, pulangnya malam, tidurnya larut, bangunnya kesiangan, nggak minum vitamin,” ujarnya khawatir.
-oOo-
“Gimana ujian kamu? Lancar?” tanyaku pada Aruna. Hari Jumat ini sama-sama menjadi hari ujian terakhir kami. Kami tengah makan malam pada sebuah kedai makan yang cukup terkenal di daerah ini. Suasananya terbuka, di pinggir jalan. Menu makanannya beragam dan cukup ramai namun tidak terlalu sesak. Jarak tempat makan ini dengan kos kami hanya sekitar tujuh menit jika ditempuh dengan motor.
“Lancar,” jawabnya, sambil menuangkan sambal ke mangkuk bubur ayamnya, “yah, walaupun ada yang aku nggak bisa jawab, lupa. Kamu gimana?”
“Aman lah itu. Aku nggak berharap nilai sempurna juga.”
“Jangan gitu, ah! Aku tahu kamu belajar.”
“Iya, sih. Tapi nggak berharap gimana-gimana juga,” jawabku santai, “enak buburnya? Nambah yuk?” Kulihat bubur ayam di mangkuk Aruna sudah hampir habis.
“Enak, tapi udah, ah. Udah kenyang juga.”
Lalu kami diam, sebab memperhatikan kendaraan yang lalu-lalang. Martabak di piringku belum habis setengahnya saat bubur ayam di mangkuk Aruna hanya tersisa beberapa sendok saja.
“Kamu tahu?” kataku, “tempat makan ini pernah jadi salah satu lokasi syuting film, loh? Nih, persis di meja kita ini,” aku mengetuk dengan telunjuk permukaan meja kami.
“Tahu, dong. Yang mereka temen-temanan mendaki Semeru itu, kan?” Aruna memastikan, wajahnya tampak ceria. Aku tahu itu jenis film yang dia suka. Dulu saat pertama kali makan bersama Aruna –mi instan di kamarnya, kami sempat mengobrol sedikit mengenai film favorit.
“Pinteeeerrrr…,” ujarku sambil mengacungkan kedua jempol padanya.
“Aku nonton, tuh,” sambungnya lagi.
“Oh, ya? Itu pas kita SMA kan? Kamu nonton sama siapa?”
“E-ehhh, sama temen, temen lama. Udah kenal lama maksudnya,” Aruna tampak ragu, dia menyampaikannya dengan terbata-bata.
Aku tertawa, aku bahkan tidak akan mempermasalahkan jika dia mengatakan saat itu dia nonton bersama seorang pacar. Itu masa SMA, puncak usia pubertas. Bahkan saat SMA dulu aku juga menyukai seorang gadis dari kelasku lalu kami berpacaran selama satu semester.
Kuperhatikan poni rambutnya yang mulai panjang, dan tanpa sadar, tanganku bergerak merapikannya. Ternyata di balik poninya itu tersembunyi setumpuk rasa bersalah pada matanya. Aku tersenyum, memudarkan perasaan tidak enaknya. “Santai aja. Aku nggak gimana-gimana, kamu mau pergi sama mantan kamu dulu juga nggak masalah. Kan udah jadi mantan,” bisikku sambil menyenggol kepalanya pelan dengan kepalaku.
“Aku seneng tiap lihat kamu makan lahap.” Kataku saat Aruna menyuap sendok terakhirnya.
“Kebiasaan mungkin,” ujar Aruna dengan santai, “karena selama di panti, semuanya diatur. Jam tidur, jam bangun, termasuk soal makan. Nggak boleh pilih-pilih, apalagi nyisain makanan. Jadi, kalau ambil makanan harus dikira-kira, bakal habis atau enggak. Kalau nggak habis, rasanya sayang. Siapa tahu ada teman atau adik kita yang masih lapar, tapi kita malah buang-buang.”
Aku tertegun mendengarnya. Itu tidak mudah—sama sekali tidak mudah. Jika dibandingkan denganku, semasa kecil aku selalu diberi pilihan oleh Ibu dan Bapak, meskipun aku tidak sering meminta. Pilihan itu tetap ada: mau yang ini atau yang itu, pilih yang kanan atau kiri—hal-hal kecil semacam itu. Tapi Aruna? Dia sudah terbiasa dengan kehidupan di mana dia harus menerima apa yang ada, suka atau tidak, tanpa banyak pilihan.
Ternyata begitu. Mendengar ceritanya membuatku semakin terpacu untuk membuat Aruna lebih bahagia. Aku ingin dia merasakan bahwa dunia ini tidak lagi sebatas apa yang harus diterima, tapi dia juga bisa memilih apa pun yang dia inginkan.
“Nih, jaket kamu,” Aruna menyerahkan jaket padaku saat kami sudah sampai pada parkiran kost.
“Simpen aja buat kamu. Dipakai terus tiap keluar, oke?” pintaku.
“Tapi kan gerah, Gam.” Aruna beralasan.
“Pakai aja daripada masuk angin,” aku menyanggah cepat. “Ya?” Seandainya aku bisa dengan jujur mengatakan bahwa jaket itu bukan hanya sekadar melindunginya dari angin, tapi juga dari tatapan-tatapan nakal laki-laki lain.
“Oke, deh ….” Dia menerima saja meskipun sedikit terlihat sungkan. Tapi sepertinya dia tahu bahwa percuma saja protes sebab aku juga tidak akan mengalah.
Kami berjalan bersisian sambil saling menggenggam.
“Kamu nggak kepengen jatuh lagi?” tanya Aruna iseng.
“Hhmm ... ? Gimana?” Aku mulai bingung.
“Jatuh, karena mabuk dulu. Nggak kepengen jatuh lagi?” jelas Aruna.
“Oh!” Aku terkekeh malu dan menggelengkan kepala mengingat betapa konyolnya saat-saat itu. “Nggak jatuh, lah. Sekarang kan udah ada yang megangin,” kataku sambil mengangkat tangan kami yang masih menggenggam.
Andai dia tahu bahwa saat ini pun aku tengah mengerahkan seluruh tenaga untuk sekedar melangkah. Berjalan sambil menggenggam tangannya seperti ini benar-benar membuatku lemah dan hampir merosot turun hingga ke lantai bawah.
Aku menunggu Aruna masuk ke kamarnya. Kini dia menatapku seolah menunggu.
“Apa?” kataku.
“Tangan. Gimana aku mau masuk kalau masih belum dilepas?” Aruna menggoyang-goyangkan tangan yang aku genggam.
“Oh iya. Lupa.” Kulepas genggaman itu. “Tapi sebenarnya bisa aja dibawa masuk sekalian sama orangnya,” kedua alisku terangkat cepat beberapa kali dan tersenyum usil.
“Kalau gitu, sini….” Dia memberi isyarat agar aku mendekatkan wajah. Aku menurut, berpikir dia akan membisikkan sesuatu, seperti di coffee shop dulu. Tapi kali ini, apa yang terjadi justru benar-benar membuat jantungku nyaris berhenti. Aruna mengecup pipiku! Meskipun dia melakukannya dengan sangat cepat tapi aku terpaku pada posisi itu cukup lama.
“Udah. Kamu berdiri yang bener lagi, dong!” ujarnya dengan rona kemerahan bersemu-semu pada pipinya, juga sambil memukul-mukul bahuku.
“Udah nggak bisa berdiri aku. Gimana nih?” ujarku masih di posisi yang sama, condong menunduk ke arah Aruna.
“Bohong banget!” Aruna menahan senyum, lalu segera masuk, menutup pintunya sedikit keras. Meninggalkanku terdiam dan malu-malu di depan pintu.
“Aduh, aduh, love birds …,” Bu Dewi yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar sambil memangku kedua tangannya.
“Eh? Bu Dewi.” Aku menggaruk alis sebab merasa sungkan. Juga tidak tahu harus melakukan apa.
“Saya sampai nahan diri buat keluar, loh. Takut gangguin kalian,” goda Bu Dewi lagi.
Aku terkekeh pelan, malu ketahuan.
“Anggap aja saya nggak lihat, deh,” Bu Dewi mengedipkan sebelah matanya, semakin membuatku salah tingkah.
“Saya masuk dulu, Bu,” ucapku cepat, mencari jalan keluar dari situasi canggung ini.
Malam itu, aku terus mengelus pipi yang dikecup Aruna, pipi kiri. Bahkan saat mencuci wajah, aku terbiasa mengusapkan sabun dengan kasar dan cepat, tetapi kini aku mengusap pelan bagian pipi yang dikecup Aruna. Aku menatap cermin, melihat diriku sendiri yang tersenyum menggelikan. Seberapa pun kuatnya aku ingin menahan senyuman tapi tetap saja tidak berhasil, kedua ujung bibirku tetap terangkat tinggi mengikuti perasaan di hati. Aku sudah tidak normal. Ini benar-benar seperti yang orang-orang bilang: mabuk cinta.
Lantas daripada terus-terusan seperti orang gila, aku memutuskan untuk video call Ibu dan Marwa, mengabarkan kemungkinan akan pulang sebentar sebelum semester ganjil dimulai. Saat mendengarkan Marwa bercerita mengenai ujiannya, Ibu tiba-tiba menyela, “Kamu kayaknya lagi seneng, ya?”
“Enggak, biasa aja, Bu,” aku mencoba tenang.
“Iya. Wajah kamu lebih cerah. Berseri-seri. Juga tadi ibu lihat kamu beberapa kali kamu senyum sendiri.” Ibu dengan cepat menyadari. Memang benar, firasat seorang Ibu hampir selalu tepat. Tidak diragukan lagi, bahkan hanya dengan layar sekecil ponsel ini pun Ibu bisa mendapati bahwa ada yang berbeda kali ini.
“Ada apa, sih, kak?” Marwa ikut-ikutan.
“Nggak ada apa-apa, kok.” Dengan cepat aku menjawab. Juga memohon pada diri sendiri agar senyuman tidak mencuat seenaknya di depan Ibu dan Marwa.
“Ya udah, kalau emang nggak ada apa-apa. Ibu seneng aja lihat kamu begini, lebih ganteng,” ujar Ibu.
“Ah? Masa, sih?” tanyaku seraya mendekatkan wajah pada layar ponsel untuk memastikan perkataan Ibu benar.
“AH! APA SIH! Nggak ganteng-ganteng banget juga!” Marwa yang kaget karena melihat wajahku memenuhi layar ponselnya, berseru kesal. Lalu kami bertiga tertawa. Setelahnya, Marwa melanjutkan ceritanya tentang ujian. Dia kecewa karena salah satu mata kuliahnya tidak sesuai dengan perkiraan. Materi ujian yang dia terima ternyata berbeda jauh dari apa yang telah dipelajarinya. Aku pun menakut-nakutinya dengan mengatakan bahwa dia mungkin harus mengulang mata kuliah itu pada semester ganjil berikutnya.
-oOo-
Ini Sabtu sore, tapi Aruna sudah berada di kampus sejak pagi. Sementara aku baru bangun pukul setengah sepuluh tadi pagi. Saat memeriksa ponsel, kutemukan pesan darinya yang dikirim sekitar satu jam sebelumnya. Dia memberi tahu bahwa dia akan berada di kampus hingga sore karena dosennya memberikan pengarahan mengenai praktik lapangan yang akan mereka laksanakan segera. Kubalas pesan itu dengan mengatakan akan menjemputnya.
Angin sore yang tidak begitu kuat membiarkan rambutnya bergerak lembut sesuai hentakan kakinya.
“Yok!” Aruna langsung naik setelah aku membuka pijakan kaki untuknya.
“Jalan?” ajakku. Aku berencana membawa Aruna makan dan nonton film setelahnya.
“Ayok, ayok!” ujarnya semangat.
Jalanan sangat padat karena malam misa. Matahari sudah jauh condong ke barat, digantikan oleh penerangan lampu kendaraan dan lampu jalan. Seandainya jalanan lancar, sekitar sepuluh menit saja kami sudah sampai di salah satu mal di daerah Kelapa Gading. Namun, nyatanya sudah lebih dari dua puluh menit perjalanan dan tujuan kami masih belum juga terlihat.
“Gam, gimana kalau kita balik aja?” tanya Aruna.
“Iya, nih. Kayaknya filmnya nggak keburu juga,” jawabku.
Akhirnya, entah sudah berapa kali, rencana malam mingguan kami kembali gagal. Aku merasa kesal. Berbeda dengan Aruna, dia tampak biasa-biasa saja, tak ada sedikit pun tanda kekesalan di wajahnya. Dengan santai, dia melangkahkan kaki menaiki setiap anak tangga. Kedua tanganku penuh menenteng dua kantong belanjaan. Sebelum pulang, kami sempat mampir ke mini market. Aruna memilih beberapa roti dan sepotong kue strawberry yang sudah dibungkus menarik dalam kotak bening. Sementara aku belanja beberapa roti dan kopi.
Aruna langsung merogoh kunci kamarnya begitu kami sampai di lantai tiga. Dan aku mengikutinya. “Kamu ngapain ikutan?” tanyanya sambil menoleh ke belakang. Kuangkat kedua tanganku, memperlihatkan kantong belanja yang penuh. Alisku naik satu, seolah bertanya bagaimana dengan ini semua.
“Nanti aku susul kamu ke kamar. Kita kan mau nonton dan makan bareng. Cuma di kamar kamu yang ada TV. Aku mau mandi dulu, nggak lama, kok,” jelas Aruna lagi.
“Oh ya? Kalau gitu aku siapkan dulu filmnya,” ujarku sambil tersenyum lebar. Meskipun tidak sesuai rencana awal, tapi hal seperti ini ternyata jauh menyenangkan.
Kemudian aku mencondongkan badan, memberikan satu sisi pipiku ke arah Aruna.
“Kamu ngapain lagi?” tanyanya lagi dengan sorot mata malas-malasan.
“O-oh? Enggak, ya? Kirain bakal jadi kebiasaan,” jawabku setengah cemberut. Menuntut mendapakan kecupan pada pipi.
Aruna tertawa sambil mendorongku menjauh, “Sana, ah!”
Kutatap lagi Aruna dengan sedikit mengiba. Tapi cara itu tidak ampuh, dia tetap masuk dan meninggalkanku.
Di kamar, aku sibuk sekali. Setelah memilih sebuah film, aku mulai mengeluarkan barang-barang belanjaan dari kantong belanja. Di tengah-tengah itu, Ares menelepon. Kuselipkan handphone di antara bahu dan telinga, sembari tanganku tetap bekerja. Dia mengatakan akan mampir untuk main PES dan berencana menginap.
“Kagak bisa sekarang,” ujarku singkat.
“Nyesel gua nelpon. Tahu gitu dateng aja kayak biasa.”
“Enggak! Nggak! Sibuk gua!” kataku tanpa terlalu peduli.
“Lah? Cah monyet sok sibuk!” jawabnya dengan kesal. “Eh! Malam mingguan lu, ya? Sama siapa? Aruna?”
Meskipun sedang tidak melihat wajahnya, aku tahu benar dia pasti sedang cengar-cengir. Dia juga terdengar tertawa, lantas aku memutar bola mata saja sebelum memutus sambungan telepon itu.
Sebab rasa gerah yang tak tertahankan, aku segera mencari baju yang lebih nyaman. Aku mengambil kaos lengan pendek—sangat pendek, bahkan bisa dibilang tanpa lengan. Bahunya masih tertutup lebar, tapi bagian lengannya terbuka sepenuhnya. Salah satu kaos favoritku, terutama saat musim panas atau ketika suhu Jakarta mulai menyengat. Aku sempat mengira-ngira apakah ini pantas dipakai di depan Aruna. Saat sedang mempertimbangkan hal itu, tiba-tiba pintu kamar diketuk. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera membuka pintu sambil mengenakan kaos itu.
Aruna masuk menyusulku dan, tanpa sepatah kata, menutup pintu di belakangnya. Tatapannya singgah sebentar pada kaos yang kukenakan—hanya sesaat, tapi cukup membuatku sadar bahwa gaya berpakaian ini sebenarnya bukan masalah. Hanya aku yang berlebihan. Kami duduk di lantai. Saat kunyalakan TV, Aruna mengambil kue strawberry dari piring, menyuapnya perlahan. Tidak ada percakapan pembukaan, bahkan tidak ada basa-basi khas pasangan.
“Kamu suka filmnya?” tanyaku, memastikan apakah dia sebenarnya bosan dan ingin mengganti film saja.
“Aku suka kamunya.” Suaranya cepat dan tegas, bahkan tanpa melirikku sedikit pun. Aku terperanjat. Bagaimana mungkin dia mengucapkan itu tanpa mengubah ekspresi wajahnya sedikit pun?
“Kamu mau kuenya?” tanyanya. Kali ini dia menoleh dan tangannya mengulurkan sendok yang berisi potongan kecil kue strawberry kepadaku. Wajahnya terang seperti rembulan itu tampak semakin memikat karena krim merah kue strawberry melekat pada bibirnya dan … astaga, sorot matanya itu merayu. Aku mulai terganggu.
Aku menggeleng pelan, dan segera meraih tangannya yang mengulur itu, “Aku mau kamunya,” bisikku. Bibirku bahkan menyentuh telinganya. Tangan itu aku dekap pada lantai dan menahannya tetap di sana. Jempolku bergerak mengusap rona merah yang melekat pada bibirnya. Perlahan pipinya berwarna semerah krim pada bibirnya. Entah keberanian dari mana, aku bahkan tidak mengkonsumsi alkohol sebelumnya, tapi kini aku justru melawan semua keraguan. Kukecup bibirnya. Aruna membalas sehingga bibir kami bergelut malu-malu. Setelah itu, aku memeluknya erat, dan seketika itu pula, pusaran hangat melingkupi ulu hati dan menyebar ke seluruh dada. Terasa nyaman dan aman dalam waktu bersamaan seakan telah menemukan rumah pada Aruna dan tentu saja, tidak ingin pergi dari sana.

(bersambung)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
