We Are Your Fault (Lengkap)

92
12
Terkunci
Deskripsi

Berawal dari one night stand yang tak pernah Rere Irdiana bayangkan akan terjadi dalam kehidupannya. Ia harus menikah dengan seorang pria arogan, Kenzo Adigama.

Pernikahan yang dibangun tanpa dasar cinta itu terjadi hanya karena Kenzo yang ingin memanfaatkan Rere untuk urusan pribadinya, dan Rere yang memanfaatkan Kenzo demi nama baiknya. Prinsip wanita itu, janda tidak perawan jauh lebih baik, daripada gadis namun sudah tak perawan.

Meski begitu, Rere berusaha bersikap layaknya seperti seorang istri....

88,843 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
650
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Dari Mata Turun Ke Hati 1 (Komplit) 36 Part + 24 Part
50
4
Ini adalah Kisah Dari Mata Turun ke Hati versi cetak dan ebook. isi terdiri dari 36 Part (Yang sama dengan Wattpad) dan tambahan extrapart berjudul Tie the Knot (24 Part)Cerita ini memiliki kelanjutan yang baru diterbitkan di Karyakarsa. Di mana kelanjutannya tidak ada di buku, ebook atau di kisah DD yang pertama ini.Link : https://karyakarsa.com/Greyacraz/dari-mata-turun-ke-hati-xp-2 Sinopsis Cara kerja cinta memang terkadang tak munafik. Karena tak jarang semua dimulai dari fisik.Jadi siapa yang bilang jika cinta itu buta?Bullshit!Cinta itu pamrih.   Dari Mata Turun Ke Hati   Copyright @ Flamingo Publisher, 2019Penulis : Greya CrazPenyunting : Greya CrazLayout : Greya CrazCover : Nanmah Art-Lana MediaUkuran : 14,5 x 20,5 Hak Cipta penulis dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian, atau seluruh isi tanpa izin penulis.        Terima kasih untuk Sang Pencipta.Terima kasih teman-teman yang meluangkan waktu untuk membaca ceritaku termasuk yang sudah menanti cerita ini tamat dari lama.Terima kasih sudah mengikuti cerita ini dalam waktu yang tidak singkat.Dan Terima kasih keluargaku.   Greya Craz     Part Satu Sudah setengah jam lebih rasanya Afika melihat bu bos si pemilik usaha Binatu tempatnya bekerja duduk diam di samping mesin cuci berjenis front load dengan bibir manyun lima senti.Biasanya bibir itu digunakan untuk mengajukan komplen. Komplen atas kinerja karyawan yang kadang membuat tensi darah naik seketika. Tapi hari ini, Diana berbeda sekali.Afika lega sih, karena untuk beberapa menit tak mendengar omelan Diana. Pasalnya, Afika tadi melakukan kesalahan kecil. Yaitu salah memasukkan celana milik pelanggan ke pelangganan yang lainnya. Tapi kelegaan itu mengandung rasa khawatir. Bagaimana jika Diana sedang menyiapkan amunisi untuk mendampratnya?Bu bosnya itu tak seperti wanita-wanita pemeran utama yang ada di FTV yang biasa ia tonton. Baik hati. Bah! Apa itu baik hati? Diana tampaknya tak mengenal dua kata itu. Yang Diana kenal adalah sekumpulan nama binatang di Ragunan.Tapi bukan monyet, onta, komodo, jerapah yang keluar dari mulut Diana ketika marah. Bukan. Melainkan Babi dan Anjing! Naaah kira-kira Ragunan juga memelihara kedua binatang itu tidak, ya?Sumpah! Diana kalo lagi diam kek gitu auranya nyeremin kali!Afika melirik Seto, sesama pekerja di Syauqia Laundry milik Diana. Diam kau, bang. Kalau didengarnya, kena amputasi gajimu!Ish! Jelek kali doamu.Seto pergi, dan Afika yang beristirahat dari pekerjaannya menyetrika, menggeleng kepala. Semoga ini bukan tanda-tanda kiamat ya ALLAAAAAH! Afika setengah berteriak kaget, kala yang ia pikirkan sedari tadi berteriak memanggil dirinya.AFIKA! KENAPA ADA YANG NANYAIN CELANANYA YANG ILANG?!Diana, si wanita dua puluh sembilan tahun, yang sering dijuluki perawan tua karena belum menikah dan bahkan tak memiliki pacar karena katanya dia lebih garang dari para lelaki yang sempat dekat dengannya datang menunjukkan sebuah pesan di layar ponselnya pada Afika. KAU KERJA KEKMANA, KA?! CANGCUT MAREBU AJA JANGAN SAMPAI KETUKER! LAH INI CELANA JEANS ORANG! KALAU GANTI, DUITNYA DUA KALI LIPAT DARI BIAYA DIA LAUNDRY!Afika terpejam sepanjang Diana mengeluarkan caciannya. Dia berharap gendang telinganya dapat bertahan. Iya, salah nya kak. Maaf. Dia melirik Seto yang berdiri di belakang Diana, tampak tersenyum mengejek.Pria itu bisa tenang sekarang. Lihat saja sebentar lagi dia juga akan kena amukan Diana.KAU KIRA BERAPA HARGA MAAFMU? NGGA BISA BUAT BELI CELANA BARU! SEKARANG CARI CELANANYA, CEPET!Udah aku cari, kak. Orangnya kan tadi pagi ke sini. Afika menyengir lebar. Keknya sih ... masuk ke bungkus pelanggan lain.MASUK KE BUNGKUS PELANGGAN LAIN?! LAIN KALI OTAK KAU YANG SALAH BUNGKUS! Diana yang hari ini datang dengan setelan jeans panjang dan kaos oblong itu berbalik. LEBIH DARI LIMA KALI YA, KAU SALAH MASUKAN BARANG ORANG! BESOK-BESOK, KUPOTONG-POTONG GAJI KAU!Afika diam, melihat ke arah pintu yang menelan sosok Diana. Hanya sosoknya saja. Tidak dengan teriakan Diana yang mengerikan yang masih berkumandang bak terompet sangkakala.Tapi sesaat saja sebelum Diana diam dan Afika, wanita berambut pendek itu langsung bernapas lega. Kenapa diamnya kak Di ngga selamanya aja sih ya Allah?SETO! KERJAAN KAU BELUM BERES DAN KAU SUDAH DUDUK SANTAI DI TERAS, YA?! KAU JEMUR CUCIAN SEBELUM KEPALA KAU YANG KUJEMUR!Afika kembali menegang kala mendengar teriakan Diana lagi. Tapi sesaat saja, sebelum ia tersenyum bahagia. Senangnya jika Seto juga kena omel Diana.*Syauqia Laundry hanya memiliki dua orang karyawan. Maksudnya hanya dua orang yang bertahan. Sisanya paling lama satu bulan bekerja di sini, sebelum memilih keluar.Tak ada yang tahan dengan omelan Diana yang tak pernah lelah mengeluarkan suara yang kerasnya mengalahkan toa Masjid.Tapi Afika dan Seto, yang bertahan sejak bisnis Binatu ini dibuka, karena mereka tetangga Diana, dan tahu betul bagaimana sikap si perawan tua itu.Mulutnya memang jahat. Tapi kalau soal uang tak pernah pelit. Ancaman potong gaji bahkan tak pernah direalisasikan mesti karyawannya memang layak mendapatkan hukuman di setiap kesalahan yang sudah dilakukan.Diana juga bukan bos yang asal memberi perintah pada karyawannya. Kadang, jika pekerjaan sedang begitu banyak. Diana akan ikut turun tangan, bahkan ketika dua karyawannya sudah pulang, Diana masih di ruko berukuran empat kali delapan miliknya, untuk menyelesaikan pekerjaan yang tak diselesaikan Seto dan Afika.Tak ada lembur untuk para pekerjanya. Bukan berarti ia tak mampu memberi gaji tambahan. Tapi Diana tak mau mengurangi jatah istirahat karyawannya.Mungkin itu alasan mengapa Seto dan Afika bertahan bekerja di usaha yang dibangun dengan kerja keras Diana sendiri itu. Ya ... mungkin hanya itu. Nanti kalau ada kebaikan Diana lainnya, akan Afika sebutkan. Tapi nanti, kalau Diana insaf, menjadi wanita sejati.Sudah makan nya kau, Ka?Seakan tak ingat jika beberapa jam yang lalu mengamuk seperti kesetanan. Diana menghampiri Afika yang masih menyetrika.Belum lah, kak. Deadline ini. Nanti sore diambil.Seto keluar, jemput pakaian pak RT. Kau cari makan, Ka. Biar ini aku yang kerjakan.Afika menatap lekat ekspresi lelah Diana. Kenapa nya, kak? Dari tadi muka kusut kali.Diana, wanita dengan rambut lurus hingga bawah pinggul itu menggantikan posisi Afika setelah mengeluarkan selembar uang bergambar presiden pertama Indonesia. Biasalah! Bapakku sibuk minta cucu. Dia pikir cucu bisa keluar dari mesin cuci?Ooh. Aku pikir masalah apa. Afika meremehkan kegundahan Diana. Karena hal seperti ini biasa sekali terjadi.Enak kali kau cakap! Masalah genting, ini!Iya lah. Afika tersenyum lebar. Aku keluar dulu cari makan.Jangan lebih dari tiga puluh ribu ya, Ka? Awas kau beli macam-macam. Kupotong gaji kau!Iya lho, kak. Iya! Tau aku!Sepeninggalan Afika, Diana yang bibirnya hari ini bebas dari gincu coklat kesukaannya mematikan setrika, lalu bersandar lelah pada punggung kursi plastik yang ia duduki. Cari cucu di mana coba?! Ck! Serba salah kali! Kita belum nikah, dimintai cucu! Nanti kukasih cucu! Diamuknya aku, karena dapat cucu tanpa mantu. Orangtua, makin tua makin aneh perangainya.*Setelah mengantarkan Afika pulang, Diana segera pulang ke rumah dan teriakan sang ibu langsung menyambutnya.Kau pulang?! Baguslah! Mamak mau bilang kalau tadi mamak ketemu sama kawan SMA mamak dulu! Ya ampun! Masih cantik kali! Masih kencang kulitnya! Mungkin kalau mamak rajin ke salon, mamak juga masih kencang macam dia!Diana melirik malas pada sang ibu. Ada kode rahasia di sebaris kalimat yang ibunya ucapkan. Minta uang untuk biaya perawatan.Sudah lah, mak! Sudah tua. Ngga ada yang naksir pun kecuali bapak.Tiar langsung mencebik, mendengar jawaban menohok putri pertamanya yang tak kunjung menikah, padahal sebentar lagi, sebelas bulan tiga hari lagi, Diana akan berusia tiga puluh tahun.Anak nomor dua, yang merupakan adik perempuan Diana bahkan sudah menikah. Si bungsu yang berjenis kelamin lelaki berusia dua puluh empat tahun pun sudah berpamitan untuk menikah. Tapi Diana, jangankan pamit menikah. Pamit cari pacar saja tak pernah.Tiar dulu kembang desa yang pacarnya tak bisa dihitung dengan jari. Tapi Diana yang ia akui cantik, karena tak ada seorang ibu yang mau mengatai putrinya jelek, mungkin baru berpacaran sebanyak tiga kali. Itu pun laki-lakinya pasti khilaf saat berpacaran dengan Diana.Diana! Ndook? Buat teh, ndook!Dari teras belakang rumah, suara Suryo, ayah Diana yang merupakan orang Jogja asli itu terdengar dengan aksen khas pria itu.Tinggal berpuluh tahun di Medan, tak sama sekali menghilangkan aksen jawa Suryo. Malah menurut Diana, aksen jawa Suryo kian kental di telinganya. Apalagi saat memberi nasehat. Persis dalang.Pak, lebaran nanti katanya pulang Jogja? Sambil menyerahkan segelas teh hangat pesanan rutin Suryo tiap kali Diana pulang bekerja.Masih lama lebarannya.Duduk di samping sang ayah, Diana memijati pundak tua Suryo. Ya maksudnya, kalau iya kan aku kumpul-kumpul dari sekarang. Tiket pesawat udah naik loh, pak.Heeh! Suryo menyeruput teh panasnya. Ojo numpak pesawat. Ngentut neng langit, bahaya.Diana langsung meringis mendengar ucapan nyeleneh ayahnya. Pak, pesawat ngga kentut.Lah itu, motor Sukarni. Suryo sedang membicarakan tetangganya yang sering mengajak Suryo pergi ke sawah bersama. Sering dut ... dut ... dut. Terus mati total! Lah kalau pesawat mati total, kan medeni.Alah! Bilang aja kalau bapak naik pesawat, bapak mual. Masuk angin!Tiar menyahut. Wanita berusia lima puluh dua tahun dengan daster dan rambut di rol itu mengangkat jemuran yang berada tak jauh dari teras di mana Diana dan Suryo duduk.Besok bapak saja lah naik bus! Ngga usah bawa-bawa aku! Mau coba naik burung terbang!Iya mak, ya? Asal jangan pesawat mamak jadikan tempat piknik. Segala macam barang dapur dibawa.Karena pasalnya, jika Tiar berpergian ke manapun, jauh atau dekat, termos, piring, sendok dan bekal yang bisa menghidupinya selama satu minggu akan dibawa dalam satu tas besar. Iya. Serepot itu ibunya.Alah, cerepet kali lah kau! Eh! Dengan pakaian di tangannya, Tiar menghampiri anak dan suaminya. Meletakkan pada satu kursi kayu semua pakaian kering. Tadi mamak belum selesai ngomong soal kawan mamak.Ngga ada duit nya, mak!Siapa yang mau minta duit sama kau?! Mamak mau bilang soal anak teman mamak itu! Tadi dia bawa anaknya! Laki-laki, ganteng, mapan, dan belum nikah!Bulu kuduk Diana meremang seketika. Ibunya pasti menyodorkan dirinya pada teman lama Tiar itu.Terus mamak tawarkan kau!Mamak pikir Diana barang?Dan Suryo yang ingin anaknya cepat menikah tau-tau ikut masuk dalam obrolan, yang jika didengar orang akan menyangka itu sebagai sebuah percekcokanDicoba dulu, Di. Mungkin kan jodoh.Diana langsung memberengut malas mendengar ucapan ayahnya yang mendukung gerakan obral anak yang dilakukan Tiar. Masalahnya dia mau ngga sama Di?Mau lah! Tiar menjawab dengan semangat. Anak mamak kan cantik. Mengedipkan mata, menggoda Diana yang masih tetap berekspresi datar.Memang aku cantik. Diana berdiri, melepas gelungan rambutnya.Rambut panjang indah itu jatuh, menjuntai nyaris menyentuh pantat teposnya. Diana kamar dulu, lah. Kalau anak teman mamak itu mau ketemu sama Di, bilang aja. Dia langsung bergerak pergi.Malas sekali rasanya membicarakan perihal lelaki dan jodoh.*Diana berguling ke kiri dan kanan. Ekspresinya tampak menyeramkan ketika ia sedang kesal.Kecoak saja takut lewat di depannya. Iya. Takut digenjet mati oleh sandal rumah bergambar helo kity milik wanita itu. Bah! Helo kity! Malu lah sama kelakuan yang seperti singa kelaparan.Jodoh bisa dipesen pakek ojek online ngga sih?!Dia memang suka iri ketika melihat teman-temannya sudah menemukan pasangan masing-masing, dan bahkan sudah menggendong anak.Tapi itu semua tak sampai membuat ia gundah gulana. Galau merana.Ini bukan karena jodoh tak kunjung datang. Ini tentang kedua orangtuanya yang terus memborbardir dirinya dengan pertanyaan kapan bawa jodoh. Dua orang tua itu tampaknya takut sekali Diana akan sendirian menghabiskan masa tua. Padahal ada Afika dan Seto yang sampai gigi rontok semua, tak akan ia pecat meski kerjaan selalu saja terdapat kesalahan. Afika dan Seto akan ia jadikan karyawan seumur hidup. Peduli setan dua orang itu tidak betah. Jadi Diana tak begitu khawatir tak bisa mendapatkan teman di masa tua.Walau ia juga ingin sekali merasakan bagaimana rasanya tidur dipeluk pria. Dicium-cium mesra. Lalu dibelai- belai manja. Uuuh ... pasti rasanya seperti terbang ke angkasa.Membayangkan hal yang mulai nyeleneh, bunyi notifikasi pesan dari sebuah media sosial menarik perhatian Diana. Ia melirik ponsel yang ia letakkan di atas nakas sebelum berdiri dan mengambil benda canggih kesayangannya.Juli Panjul : beb! Telpon beb!Tak menunggu permintaan berikutnya, Diana segera membuka pintu balkon, duduk di atas ayunan gantung dan segera menelpon sahabat lamanya. Sahabat yang ia pungut di Jakarta semasa kuliah dulu.Miskin kali kau, ya?!Pulsa gue tinggal marebu perak! Jaga-jaga kalau quota habis. Ini udah sekarat juga! Makanya minta telpon!Diana langsung mencibir, peduli setan temannya tak bisa melihat cibirannya itu. Kenapa? Plis, kalau tujuan lo nelpon cuma buat minjem duit gue ngga mau kasih.Eleeeh! Tau gue kalau lo sekarang udah jadi pengusaha laundry sukses! Tau gue. Tau! Tapi siapa juga yang mau minjem duit! Gue mau curhat!Kalau curhat soal lo ngga ada duit, plis! Curhat sama tembok aja!Bangkek lo ye!Berhasil membuat temannya kesal, Diana tertawa riang. Ya udah buruan curhat!Gue dilamar!ANJING! Diana segera bangkit. GUE UDAH DILANGKAHIN ADIK GUE, YA JUL! TERUS LO MAU IKUT-IKUTAN?! SETAN KAU MEMANG!klek!Diana langsung menggigit bibir bawahnya ketika pintu balkon tetangga di depan balkon kamarnya terbuka.Iya. Posisi rumahnya memang sangat dekat dengan rumah tetangga yang satu ini. Hanya berjarak sekitar tiga meter mungkin. Tapi, malangnya tetangga sebelah rumah yang menempati kamar lantai dua yang terletak di samping rumah. Malang, karena Diana juga menempati kamar di lantai dua yang terletak di samping rumah, membuat balkon kamar mereka saling berhadapan dengan jarak yang begitu dekat.Sangat dekat, karena balkon keduanya saling menjorog ke depan dan hanya menyisakan ruang kosong berjarak satu langkah kaki orang dewasa.Sangking dekatnya, tak hanya Diana yang bisa melompat ke sana—tapi demi apapun tak pernah ia lakukan—suara Diana yang lengkingannya sanggup membangunkan beruang yang tengah hibernasi saja bisa melompat hingga kamar tetangga sebelah.Harusnya pagar tembok yang dijadikan pembatas rumah mereka dibangun lebih tinggi agar setidaknya jika Diana berteriak begini tak kena tegur langsung.Tapi apa daya. Sudahlah. Ia malas mengeluh hal tak berguna di saat ada yang lebih genting harus ia pikirkan.Duh ... padahal dia yang salah, mengganggu kenyamanan tetangga sebelah. Malah dia yang mengeluh. Hebat sekali wanita ini.Bisa kecilkan suaranya?Diana yang pura-pura tak melihat ke arah balkon tetangga, mulai menoleh pada sosok pria bertubuh proposional di seberang sana, dengan tinggi yang cukup sempurna untuk ukuran orang Indonesia. Pria itu menatapnya tanpa ada guratan ramah sama sekali. Ah ... orang sebelah kan memang sombong menurut Diana. Maaf, bang. Ringisnya seolah tak enak hati, padahal tidak.Langsung melengos tanpa menjawab permintaan maaf Diana, pria itu kembali ke kamarnya. Tentu saja, si wanita tanpa pantat aka Diana mencibir kesal. Sumpah! Sombong kali jadi orang!Siapa? Dokter sebelah kamar lo?Siapa lagi coba yang sombong kek gitu kalau bukan dia?Ck! Orang kaya, pinter, ganteng, sukses, mah bebas, Di. Lagian lo teriak-teriak gitu. Inget, udah ngga tinggal di hutan sekarang.Sialan lo! Diana kembali duduk. Sudah ia lupakan teguran tetangganya tadi. Lampu kamarnya mati. Gue pikir dia belum balik. Jadi beneran lo mau nikah? Sama Mike? Sesaat membahas tetangga sebelah, Diana kembali membahas tentang Juli.Ngga, Di. Dia ngga ada kepastian.Lah terus? Diana langsung memasang tampang bingungnya. Ngapain pacaran bertahun-tahun kalau ngga jadi? Buang waktu banget!Namanya belum jodoh, Di. Em ... gue taaruf. Ngga berani cerita sama lo kemaren, soalnya kan belum pasti. Baru kenal dua bulan. Tapi ini insyaallah jadi. Sebenarnya, Di. Gue udah mau nikah dua minggu lagi.Diana langsung bungkam, dengan sepasang kelopak mata bergerak naik turun. Juli akan menikah. Dua minggu lagi, akan menikah dengan pria yang baru dikenal selama dua bulan.Dia bahagia. Sungguh. Tapi ... dia juga merasa iri. Juli dua tahun lebih muda dari dirinya, dan akan segera menikah sebentar lagi. Sedangkan dirinya?Diana? Kok diem? Marah, ya? Sori. Gue bukan mau nutupin.Kekehan Diana lalu terdengar sembari menghapus setetes cairan bening yang menampilkan sosoknya di sudut mata. Gue kaget. Ya ampun, Jul! Kabar baik begini kok ngga bilang-bilang, sih? Selamat yah, beb? Gue seneng lo mau bobol perawan duluan.Ha ha ha! Gila lo! Eh ... gue dipanggil nyokap. Ntar malam lo telpon gue lagi, ya?Ya udah. Bye.Diana mematikan panggilan. Diam sejenak, menatap kosong pagar balkon miliknya, sebelum kemudian menarik napas dalam, menikmati sakit di setiap tarikan.Sepertinya ia sudah memasuki rasa cemburu di level tertinggi.Gue kurang cantik gitu, ya? Ngga ada yang mau sama gue.Nyatanya dia hanya kurang semok di pantat dan kurang kalem saja. Selebihnya semua ... biasa-biasa saja sih. Dia tak putih, tapi tak terlalu hitam juga—berterimakasih pada skincare mahal, rekomendasi Lusi. Jadi walau tak terlihat putih, ia tampak bersih dan eksotis.Dia tak terlalu mancung. Ya ... ukuran hidung standar. Dia selalu berucap syukur karena meski hidung tak semancung ayahnya, hidungnya tak bulat seperti ibunya. Lalu ... dia tak pendek. Karena tingginya 168 sentimeter. Apa lagi? Em ... oh ya, dia punya rambut yang bagus. Lurus dan panjang. Sempat ingin menjadi model shampo, sayang terhalang keberanian.Iya. Dia itu jago kandang. Mulutnya saja yang besar. Suka maki-maki tak karuan. Tapi kalau dihadapkan dengan orang yang tak dikenal, dia bisa jadi pendiam. Saat casting iklan, gerak tubuhnya kalah luwes dengan robot buatan Jepang.Apalagi kalau dihadapkan dengan orang galak seperti tetangganya tadi. Meski irit bicara, si tetangga cukup galak menurutnya. Selalu sinis setiap melihat dirinya. Nah ... Diana yang terkenal garang akan membatu jika dihadapkan dengan orang-orang seperti itu.Ah ... benar. Sepenakut itu dirinya.    Part Dua  Hal yang tak boleh ia lakukan, keluar dari ruang operasi dengan sarung tangan penuh darah. Ia pergi begitu saja tanpa mampu menjelaskan apapun pada keluarga pasien. Tubuhya yang lelah kemudian bersandar di dinding lorong sepi rumah sakit, dan membuang semua rasa bersalahnya di sana.Hari ini, satu nyawa tak sanggup ia selamatkan. Sudah semua kemampuan ia kerahkan, tapi ketika semua ia rasa berjalan dengan sempurna, ia malah keluar dari ruangan untuk memberikan kabar duka.Dok, keluarga pasien sudah ikhlas. Seorang wanita menghampiri. Tampak sekali kesedihan di raut wajahnya, sama seperti Devan yang sedang merasa bersalah saat ini.Iya. Pria itu berdiri. Saya pulang, Vee. Dia melepas sarung tangannya. Nanti kamu telepon saya kalau ada apa-apa.Iya dok.Memasukkan mobil ke perkarangan rumah, karena tak ada orang untuk membukakan pintu garasi. Pria itu segera turun dari Land Cruiser silvernya, segera masuk ke rumah dan dengan langkah lunglai ia menapaki setiap anak tangga untuk menuju kamarnya.Dalam seminggu ini terjadi begitu banyak kecelakaan yang sebagian besar korbannya harus mencicipi meja operasi. Dan hari ini pasien ke sekian harus meninggal karena berbagai komplikasi.Dia kurang istirahat. Dan kejadian tadi membuat dirinya mulai merasakan lelah.Langsung berbaring di ranjang besarnya, ia langsung terpejam masih lengkap dengan sepatu dan Snelli.ANJING! GUE UDAH DILANGKAHIN ADIK GUE, YA JUL! TERUS LO MAU IKUT-IKUTAN?! SETAN KAU MEMANG!Sontak, sepasang mata Devan terbelalak menunjukkan bola mata yang begitu merah. Dia baru terpejam rasanya. Mimpi bahkan belum sempat menyambut kedatangannya. Dan tetangga sebelah kamar yang tampak begitu susah untuk tak berbicara sekeras toa masjid itu berteriak lantang.Shit! maki pria itu lantas berdiri dengan semua emosi tertahan.Membuka pintu balkon, tatapan nyalang segera ia berikan pada tetangga yang berpura-pura tak melihat ke arahnya. Bisa kecilkan suaranya?Wanita itu melihat ke arahnya dengan sepasang mata bulat yang mengerjap bersama ringisan sungkan. Maaf, bang, cicitnya.Tak menjawab, apalagi memberikan senyuman setelah istirahatnya diganggu dan hebatnya ini bukan yang pertama kali. Devan kembali ke kamarnya dan menutup pintu cukup keras.Pengganggu, umpatnya.Melepas sepatu dan Snelli, akhirnya ia memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Teriakan tetangga sebelah benar-benar sudah menghancurkan keinginannya untuk tidur.*Devan?Baru selesai berpakaian santai sehabis mandi. Devan berbalik dan menemukan wanita berusia lima puluhan melangkah anggun ke arahnya.Ima yang selalu tampil menawan meski hanya berada di dalam rumah tersenyum melihat tatapan lelah sang putra.Mama ke sini? Kok ngga kasih kabar? Devan tarik tangan sang ibu, ia kecup punggung tangan wanita itu. Ke sini sama siapa?Sendiri. Papa kamu ada urusan di Malaysia. Mama ngga mau ikut. Jadi deh tadi malam kepikiran buat ke sini. Sambil melangkah dengan Devan yang menggandengnya ke arah ranjang. Pas perjalanan ke sini tadi Vee telpon. Duduk di sisi ranjang brrsama sang putra, Ima mengusap lembut bahu Devan. Kamu sudah berusaha sayang. Selebihnya itu urusan Tuhan.Tersenyum tipis, Devan mengangguk.Helaan napas Ima tertiup lembut. Mama bawa makanan kesukaan kamu, loh. Ayo turun.Mama duluan. Devan nyusul.Mengecup pelipis putranya singkat. Ima lantas beranjak pergi meninggalkan Devan yang barang kali ingin merapikan rambut atau sekedar menyemprotkan parfum. Putranya itu begitu peduli dengan penampilan.Turun dari kamar, Devan mencari sang ibu yang tak ada di dapur atau di meja makan. Mengernyit, pria itu melangkah keluar, dan melirik pada sumber suara yang berbeda tengah berbincang sesuatu yang tampaknya menarik.Ima sedang berbicara dengan Tiar. Seperti biasa. Jika datang, Ima akan memberikan oleh-oleh pada tetangga kiri kanan rumahnya. Mengikat silahturahmi, meski ia lebih banyak menghabiskan waktunya di Jakarta.Terus, Muda kapan nikahnya?Minggu besok baru lamaran. Tiar menjawab tanya Ima dengan ramah. Tetangganya yang bukan asli orang Sumatra Utara itu begitu lemah lembut. Dan untuk mengimbangi, Tiar akan berbicara selembut bidadari. Dia takut jantung Ima tak kuat mendengar nada suaranya yang selalu tinggi. Eh tapi itu kan kalau ia berbicara dengan anak dan suaminya. Iya, benar. Keluarganya adalah ujian untuk emosinya. Nanti kalau nikahnya, wajib datang.Insyaallah. Ya udah, mamak Diana. Saya masuk dulu.Tiar mengangguk, dan sekali lagi mengucapkan terimakasih pada Ima sebelum ikut melangkah pergi menjauhi dinding tembok setinggi dada yang menjadi satu-satunya pembatas rumah mereka.Berbeda dengan orang kaya lainnya yang biasa membangun tembok pagar tinggi seolah enggan mengenal tetangga. Keluarga Ima membangun pagar, bahkan tak setinggi tubuh, kecuali bagian belakang rumah yang memang lebih tinggi pagar temboknya. Katanya agar tahu apa yang terjadi dengan kiri kanan rumahnya. Sedangkan pagar bagian depan rumah, memang dibangun dari jeruji besi kokoh yang dirakit semewah mungkin.Kukira mamak cari mancis ke warung. Malah bekombur sama tetangga.Tiar melirik sadis pada putrinya. Kau pikir mamakmu ini Astrid Tiar yang suka gosipin artis itu?! Nama, bodi dan kecantikan aja pun yang sama!Diana langsung mencibir. Namun dalam sekejapan lirikannya berubah pada kantong plastik berwarna putih di tangan sang ibu. Kutengok ada sesuatu di tangan mamak.Secepat kilat, seperti petir yang menyambar hanya dalam hitungan detik. Tiar memeluk oleh-oleh yang Ima berikan. Bukan buat kau! Lalu pergi masuk sebelum Diana mengambil pemberian Ima yang jelas berisi makanan nikmat. Selalu begitu biasanya.Bah! Celit kali lah!Bersungut-sungut, wanita itu berjalan menuju selang air dan menjulurkan ke arah tanaman bunganya.*Diana mau dilangkahi lagi sama adiknya.Ima memulai pembicaraan setelah menyiapkan makan untuk sang putra. Mengedikan bahu, Devan melahap makanan di piringnya tanpa peduli pada apa yang ibunya bicarakan.Devan. Ima duduk di hadapan sang putra yang masih tak memperhatikan eksistensinya. Mau mama jodohkan sama Diana?Dan kunyahan Devan seketika berhenti. Fokus pada makanannya berubah ke arah sang ibu, menatap malas wanita yang telah membesarkannya. Bercandanya ngga lucu, mom.Kemudian kembali pada makanannya, sedang Ima segera memajukan bibir, berpangku dagu. Mama tuh capek liat kamu sendiri terus. Udah tua loh kamu. Papa dulu waktu nikahin mama umur dua tiga! Ini kamu udah tiga dua masih sendiri.Ya namanya jodoh belum datang.Jodoh itu perlu dicari, nak. Karena jodoh bukannya tamu tak diundang yang tiba-tiba mengetuk pintu.Ya. Besok Devan cari. Ia tatap ibunya. Yang cantik kayak mama.Ima lantas cemberut, karena ia menangkap guratan tak serius dari ucapan sang putra. Ngga usah dicari. Sebelah kamar kamu kan udah ada. Tinggal deketin aja gitu.Langsung saja Devan menggeleng. Wanita di samping kamarnya bukan wanita idamannya. Dua puluh tahun ia bertetangga dengan wanita itu. Tak terhitung berapa kali saling bertatap muka meski jarang atau nyaris tak pernah menyapa. Namun sekalipun tak pernah terlintas di benak Devan untuk memikirkan Diana menjadi pasangannya.Bukan tipe Devan.Ck! Mau kamu yang kayak gimana?Devan menggigit kentang goreng di tangannya. Kayak mama.Bohong! Kamu mau yang seperti Jihan, kan? Nak, perempuan itu sudah jadi istri orang. Kemudian berdiri, menatap kesal pada sang putra yang semenjak ditinggal menikah mantan kekasih di saat masih menjalin hubungan sebagai kekasih, mulai tak pernah lagi menggandeng wanita manapun.Hati Devan seolah ikut dibawa lari oleh Jihan, wanita yang sudah menjadi kekasih Devan semenjak duduk di bangku SMA hingga usia mereka memasuki dua puluh lima. Tanpa ada kata putus, atau pembicaraan apapun tentang hubungan mereka. Jihan menghilang, dan dalam waktu dua bulan, kabar jika wanita itu akan menikah segera terdengar.Wanita berdarah campuran Pakistan, Bugis, dan Sunda itu memang cantik. Ima tak bisa memungkiri hal itu. Terlebih, di usia yang masih begitu muda, Jihan sudah menjadi seorang dosen di sebuah universitas. Jihan bahkan memiliki kepiawaian lain, yang mana kesempurnaan dalam diri wanita itu menjadi idaman seluruh wanita di muka bumi.Tak heran jika Devan susah move on. Tak heran, jika memasukan Diana sebagai salah satu kandidat kekasih, langsung Devan tolak mentah-mentah. Putri dari salah seorang teman Ima yang tak hanya pintar, bahkan sekarang sudah menjadi dokter spesialis di Jerman, dan kecantikannya tak kalah jika disandingkan dengan Jihan saja Devan tolak. Apalagi Diana.Duh ... Ima kehabisan kandidat untuk dijodohkan dengan anaknya. Semua mundur ketika Ima menawarkan sang putra, karena mereka semua enggan tak dipedulikan.Sisa Diana yang ia kenal dekat karena wanita itu cukup ramah padanya. Tapi tampaknya Diana juga tak mau pada putranya. Kalau memang Diana sempat memiliki ketertarikan. Diana pasti setidaknya melakukan berbagai hal untuk bisa memikat Devan. Tapi apa? Wanita itu malah lebih banyak menunjukkan sisi kebringasannya dari pada sisi keanggunannya.Devan jelas tak menyukai wanita serampangan seperti Diana. Tapi ... wanita itu baik.Aah ... Ima sadar, jika pria tak hanya sekedar butuh wanita baik untuk dijadikan pendamping. Iya karena jika wanita banyak mencari pria berharta, maka pria banyak mencari wanita berupa.Siapa yang bilang harus seperti dia, ma? Tanpa mau menyebut nama mantan kekasih yang sudah terlalu dalam menorehkan luka di hatinya, Devan tersenyum melihat ekspresi kesal ibunya. Ma, istri itu bukan dicari untuk pemakaian sehari dua hari. Istri itu untuk menemani seumur hidup. Pilih barang aja kita harus tahu kelebihannya. Harus pastikan itu bagus dan berkualitas. Masa untuk cari pendamping mau asal-asalan yang penting nikah. Baju yang ngga dibawa sampai mati saja kita tetap mau beli yang bagus kok. Masa istri yang harus menemani sampai mati, carinya yang ala kadar?Kamu itu! Ima bersedekap. Ada aja jawabannya kalau ditanya soal jodoh. Udahlah! Mama mau tidur.Tertawa kecil, melihat ibunya pergi dalam keadaan merajuk. Devan segera menggeleng pelan, merasa lucu pada tawaran ibunya untuk menjodohkan ia dengan Diana.Sepertinya ia memang harus segera mendapatkan calon pendamping, sebelum ibunya menawarkan jodoh lain, yang karakteristiknya jauh lebih di bawah tetangganya.Sungguh, ia tak bermaksud menghina. Diana tak jelek, meski tak begitu cantik. Diana juga tak bodoh, karena wanita itu sempat kuliah meski Devan tak tahu berapa nilai yang wanita itu dapatkan ketika wisuda. Diana juga tak miskin, meski tak kaya. Tapi wanita itu cukup mandiri dengan memiliki usaha binatu yang cukup laris menurut Devan. Karena dia juga langganan di sana.Tapi mau bagaimana jika hati tak sama sekali tertarik, bahkan sekedar melirik. Apakah harus dipaksakan?Jika pakaian yang sempit saja bisa sobek ketika memaksa untuk mengenakannya. Bagaimana dengan hubungan?    Part Tiga    Diana mematut wajahnya di cermin sekali lagi sebelum memutuskan turun dari kamar, dan berangkat bekerja seperti biasa.Ia melangkah pelan, menuruni setiap anak tangga sambil menatap layar ponsel di tangannya.Berhenti di anak tangga terakhir, bibirnya yang baru akan terbuka memanggil ibunya, kembali terkatup kala sayup-sayup ia tangkap suara sang ibu yang menyebut-nyebut namanya.Ngga tega aku lihat Diana dilangkahi lagi. Dia bilang 'ngga apa-apa, mak'. Tapi nangisnya di kamar.Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu menggigit bibir bagian bawahnya cukup keras. Terasa buruk ketika tahu dirinya tengah dikasihani. Namun lebih buruk jika yang mengasihani terlihat seperti terbebani.Masalah jodoh ini, inginnya cukup Diana saja yang pusing. Tapi tak bisa begitu, karena ia masih memiliki orangtua yang berharap putrinya menemukan seorang pria untuk bersama membina rumah tangga.Menarik napas dalam, lalu mengembuskan udara dari mulut berharap sedihnya ikut keluar, Diana melanjutkan langkah menemui orangtuanya di balik ruangan tak jauh dari tangga. Mak! Diana pergi!Eh! Ngagetin kau! Tiar mengelus dadanya. Pagi kali!Diana mencomot gorengan buatan sang ibu yang menjadi teman kopi Suryo sebelum pergi bertani. Khan nhanti phulhang sephat, jawabnya dengan mulut penuh.Tiar langsung memukul pelan kening putrinya. Makan ya makan aja kau! Sudah sana pergi!Hanya menyengir, Diana menyalami tangan ibu dan ayahnya sebelum pergi. Eh Diana! Kau jangan lupa ketemu anak temen mamak siang nanti, ya!YA MAK! jawab Diana lantang.Wanita itu sudah berada di halaman rumahnya. Masuk ke dalam Jazz silvernya, mobil yang ia beli dari tabungannya semasa bekerja di Jakarta beberapa tahun silam. Gajinya cukup besar dulu. Namun ia memutuskan untuk berhenti dan memilih berdikari.Persaingan, saling sikut menyikut demi jabatan dan juga agar dipandang oleh atasan akhirnya membuat Diana mundur. Ia tak bisa bersaing tak sehat dengan orang yang ia anggap sebagai teman seperjuangan.Melihat pesan baru di ponselnya, Diana langsung mengernyit. Bah! Jauh kali lah ketemuannya. Dia mendesah kesal, meski tak bisa berbuat apapun.Setelah menyetujui permintaan ibunya untuk menemui anak teman lama Tiar. Malam tadi Tiar mengatakan jika anak temannya yang kata Tiar bernama Kaif mengajak Diana bertemu siang hari ini.Tapi bukannya membiarkan Diana yang memilih tempat untuk bertemu, tanpa bertanya pria itu yang menentukan semuanya. Dan pagi hari ini Kaif memberikan alamat yang akan menjadi tempat pertemuan mereka. Dan tempat itu berada cukup jauh dari Syauqia Laundry.Ah ... demi jodoh. Demi kebahagiaan orangtuanya agar tak pusing memikirkan dirinya yang terus menjomblo.Toh menurut Tiar, Kaif anak yang baik. Jadi mengapa tak mencoba lebih dulu?Cepat kali datangnya, kak?Afika yang telah tiba terlebih dahulu segera menegur Diana yang baru masuk.Siang nanti mau keluar. Pulang cepat juga nanti. Muda mau lamaran. Seto sudah datang, Ka?Sudah, kak. Langsung antar baju tadi. Ada yang minta diantar pagi ini. Kemudian menunduk, fokus pada pakaian yang ia setrika. Sedang Diana segera pergi ke ruang pencucian setelah meletakkan tas di atas kulkas.Namun baru akan mengeluarkan baju yang telah dikeringkan dari dalam mesin, dia mundur dan kembali pada Afika. Kakiku pegal kali lah, Ka. Kau jemur baju, aku manggosok sajalah.Eleh. Bilang saja panas di luar.Afika keluar dari ruang kecil untuk menyetrika, dan segera Diana gantikan. Lama kali lah, Seto. Awas kalau aku tau dia keliaran dulu! gerutunya pelan.Permisi.Mendongak melihat seseorang yang datang, Diana segera tersenyum kaku melihat siapa yang berdiri di samping mejanya yang berada dekat dengan pintu. Pelanggan setianya yang selalu menggunakan jasa setrika binatunya. Pria yang tak lain adalah tetangganyaDiana segera merasa menyesal karena menggantikan posisi Afika. Sungguh tak nyaman ketika berjumpa dengan tetangga samping rumahnya, karena ingin menyapa mereka tak begitu dekat. Tidak menyapa dianggap sombong. Pura-pura tak kenal, kok makin aneh.Eh bang. Mau ambil baju?Iya. Tanpa ekspresi apapun, bahkan sekilas senyum. Devan memberikan selembar kertas kecil pada Diana.Diana tak membutuhkan nota itu untuk mencari pakaian Devan. Dia sudah hafal di luar kepala.Kak Di! Eh, ada dokter Devan. Mau ambil baju?Devan mengangguk, tersenyum singkat pada Fika.Kenapa kau tereak-tereak? Diana baru membuka mulut selepas menemukan bungkusan pakaian milik Devan.Eh, kak. Mamak Tiar baru sms. Dia bilang 'kau tengok, Ka. Nanti siang Diana pergi nemuin calonnya apa ngga. Kau bilang kalau dia ngga pergi, ya!'. Fika beralih pada Diana yang mendengkus, sambil memasukan pakaian Devan ke dalam plastik besar. Ngga ceritanya kakak mau ketemu calon! Siapa, kak? Ganteng kah?Alah! Diana memutar bola matanya, terkesan tak acuh. Ia serahkan bungkusan pada Devan yang entah mengapa malah menyimak ucapan Afika dengan baik. Tiga puluh, bang.Devan segera menyerahkan uang pas pada Diana yang lantas melengos, kembali duduk untuk melanjutkan pekerjaannya. Pun dengan Devan yang segera beranjak, meski samar-samar telinganya masih menangkap ucapan Diana sebelum ia benar-benar menjauh.Bukan calon! Mamakku sibuk kali jodohkan aku sama anak temannya. Aku nurut aja lah!Oooh. Sukses lah, kak! Moga jodoh.Diana melirik Afika. Aamiin. Meski jauh di lubuk hatinya, ia meragukan hal itu.*Sudah satu jam Diana menunggu di tempat yang sudah dijanjikan. Meja nomor tujuh, tak jauh dari jendela yang memperlihatkan para pejalan kaki sedang lalu lalang di luar sana.Sudah dua gelas green tea latte masuk ke dalam perutnya yang sejak pagi hanya ia isi satu potong bakwan buatan ibunya. Dia tak sedang berdiet. Rasanya sehari makan satu baskom nasi pun belum tentu bisa menggerakkan satu garis timbangan tubuhnya ke kanan. Banyak orang yang berharap seperti dirinya. Makan banyak tapi tak gemuk. Tapi di sanalah letak ketidakbersyukuran manusia. Karena Diana juga berharap ia seperti orang lain yang setidaknya bisa menambah angka timbangan. Ya ... setidaknya pantatnya sedikit lebih berlemak dari yang ia punya sekarang.Diana?Sebuah suara pria memanggilnya. Suara yang tak begitu familiar, jelas karena baru pertama mereka bertemu. Sesosok pria berkemeja biru muda, tampil rapi dengan rambut disisir ke belakang dan sedikit rumbut-rambut pendek di sekitar rahang.Tampan. Begitu kesan pertama Diana pada pria yang berhasil membuatnya nyaris dibunuh oleh rasa bosan. Tersenyum samar pada pria yang setelah memanggilnya lalu duduk di hadapannya begitu saja, tanpa sama sekali peka pada raut kesal Diana. Wanita itu langsung membuang wajah ke arah jendela di sampingnya.Melihat aktivitas orang di luar sana rasanya jauh lebih menyenangkan.Maaf membuat kamu menunggu lama. Tapi aku harus menjemput seseorang dulu.Ngga apa-apa.Diana hari ini tak sama sekali berusaha memberi penampilan terbaiknya, karena tetap menggunakan gaun simpel berlengan panjang, tertutup di bagian dada dan tak memamerkan kaki jenjangnya. Jauh lebih baik dibanding harus mengenakan gaun berpotongan pendek seperti saran Afika. Tak benar-benar pendek sebenarnya. Hanya sedikit lebih bergaya dari yang ia kenakan. Tapi Diana tak suka.Sejak mendapatkan menstruasi pertamanya. Diana mulai membenahi cara berpakaian. Memang ia belum menutup kepala dengan hijab. Belum siap katanya. Tapi dia juga tak terbiasa memamerkan lekuk tubuhnya. Bahkan, mengenakan pakaian sebatas lutut pun tak pernah kecuali di rumah. Namun tetap berpakaian rapat meski ia hanya ingin duduk santai di balkon.Sudah pesan minuman rupanya?Iya. Ya kali baru pesan minum setelah pria ini datang.kamu ngga pesan minum? Atau makanan?Diana. Kaif segera menyahut. Si tampan berbrewok tipis namun memiliki raut sedikit ramah itu tampak lebih serius dari beberapa detik yang lalu.Ya?Aku ngga mau perjodohan ini.Weew!To the point!Diana suka lelaki seperti ini. Tak manis di awal lalu pahit belakangan. Pahit di awal begini kan lebih enak. Tinggal buang, lalu cari yang asli manis tanpa pemanis buatan.Ck ... ck ... ck. Belum mencoba untuk melangkah bersama saja dia sudah ditolak.Kecewa? Iya. Sedikit.Karena Diana tak mau munafik. Beberapa waktu yang lalu, ketika ia belum melihat bagaimana tampang pria bernama Kaif ini, ia cukup ragu untuk bisa melanjutkan perjodohan yang Tiar buat. Ketika berjumpa dan tampangnya tak hanya sekadar lumayan, enak dipandang. Diana sedikit berharap hubungan ini bisa dilanjutkan.Dari mata turun ke hati.Begitu kan tahapan cinta terjadi?Maka wajar jika Diana ingin menjalin hubungan dengan Kaif yang bisa membantunya memberikan keturunan yang imut-imut, lucu-lucu.Tapi sayang. Belum apa-apa sudah ditolak.Aah sudahlah. Namanya belum jodoh. Nanti bisa dicari lagi yang tampan-tampan. Itu kalau Diana masih bernafsu untuk mencari calon imam. Di usianya yang nyaris mendekati tiga puluh ini Diana seperti kehilangan semangat mudanya untuk tampil mempesona agar bisa menjerat lawan jenisnya.Dia jauh lebih tertarik menghabiskan waktu membaca novel dan mengkhayal, lalu bermain ponsel, membuka akun instagram pria-pria tampan, lalu tidur cepat sebelum migrain menyerang.Dia merasa di usia sekarang ini, staminanya kian berkurang. Duuh belum menikah sudah begini. Nanti kalau menikah bagaimana ia bisa kuda-kudaan sepanjang malam dengan sang suami kalau sedikit-sedikit saja merasa lelah.Loh looh. Malah melantur ke mana-mana. Ooh dasar otak jomblo jarang dibelai.Aku sudah punya pacar.Kaif melanjutkan ucapannya karena Diana hanya memberi respon diam.Aku terpaksa datang ketemu sama kamu karena mama paksa dan kamu ngga mau ngebatalin. Mamaku belum mau nerima pacarku. Padahal dia pegawai sama kayak aku. Sebanding sama aku. Ngga ada yang kurang.Sepasang alis Diana lantas terpaut. Dia tampak berpikir keras, mengartikan ucapan terakhir Kaif yang seakan sedang membandingkan dirinya dengan pacar pria itu.Sebenarnya ya bang, ya? Kau cukup bilang samaku, kau sudah punya pacar. Kau ngga mau perjodohan ini. Selesai. Aku juga pasti bakal mundur. Ngga mungkin lah aku paksa-paksa kau buat maju! Jadi ngga perlu lah kau pamerkan pacar kau, sementara kau tau kerjaku apa. Wanita itu lantas berdiri. Mencari calon suami bagi Diana itu memang wajib enak dipandang. Tapi ingat, tak melupakan poin lain yang jauh lebih penting.Seagama, taat agama, rajin bekerja dan berahlak!Yang sombong, tak masuk dalam antrian.Sombong kali, kau! Dia mengambil tas tangannya di sebelah kursi yang ia duduki. Lalu sambil beranjak pergi, ia berucap, Mantan menejer nya aku dulu! Ngga ada aku sombong kek gitu! Sebanding! Dia berdecih, tanpa peduli pada tatapan tamu cafe siang itu yang mendengar omelannya. Baru pegawai bank aja songong!Lelaki mencari wanita yang rupawan. Kadang tampang pas-pasan, inginnya pacar seperti Cinta Laura. Namun tambahannya sekarang, wanita yang dipacari atau yang akan dijadikan calon istri harus memiliki pendidikan yang setidaknya setara, lalu memiliki pekerjaan yang gajinya beda tipis.Bah! Mau dijadikan tulang punggung juga sepertinya.*Halo, Gas? Kenapa?Devan baru kembali ke ruang kerjanya, meninggalkan ponsel yang menampilkan puluhan panggilan tak terjawab dari beberapa orang.Baru akan memeriksa pesan whatsapp, panggilan dari suami sepupunya sekaligus sahabatnya masuk dan segera dirinya jawab.Sibuk banget, telpon gue baru dijawab.Heem. Kenapa? Sambil membuka kotak makan dari katering langganan.Lo tau? Dari tante Ima sampai Jakarta, sampai hari ini. Dia ngga berhenti ngocehin tentang lo! Status jomblo lo bikin tante Ima ketar-ketir.Devan hanya mencebik, tak begitu ambil pusing atas informasi dari Bagas.Beneran? Ini masih tentang mantan terindah? Lo ngga bisa lupain?Itu cuma spekulasi nyokap gue aja.Ya. Semoga. Karena kalau lo masih berpaku sama Jihan aja. Gue ingetin, dia dah nikah.Devan tersenyum hambar. Udahlah. Gue sibuk.Tante Ima minta tolong ke gue buat ngomongin masalah ini.Masalah apa sih? Devan menyingkirkan makan siang yang belum tersentuh, lantas berdiri dekat jendela. Masih soal status gue?Bro, ini udah terlalu lama. Ayolah! Lo bisa serius sama satu orang, kan?Sudah! Devan mendesah kasar. Gue udah nyoba dan hasilnya gagal. Gue ngga ngerti apa yang salah. Yang jelas, gue ngga bisa ngerasain apapun setiap deket sama perempuan di luar sana. Lo tau, kan? Jatuh cinta ngga semudah lo matahin hati seseorang.Devan frustasi. Bagaimana cara pria itu mengungkapkan isi hatinya cukup Bagas mengerti jika sahabatnya memiliki tekanan setiap membicarakan pasangan.Pria itu pernah jatuh cinta. Berulang kali, namun pada satu sosok yang sama. Tak pernah berubah, sekian tahun cinta Devan hanya dijatuhkan pada Jihan. Hingga ketika pria itu ditinggalkan begitu saja, Devan lantas kebingungan bagaimana caranya ia menyusun kembali cinta yang dihancurkan oleh wanita yang menguasai takhta di hatinya.Lo mau solusi? Serius, ini pasti berhasil.Menghela napas, Devan kembali ke kursi kerjanya. Ia tak begitu suka membicarakan perihal hati jika bukan karena sudah begitu terdesak. Dan kekhawatiran Ima atas kesendiriannya, mendesak dirinya untuk mengkonsultasikan hal ini pada Bagas. Meski sebenarnya Bagas tak begitu pandai dalam urusan seperti ini.Tania lebih hebat jika memberikan solusi cinta. Tapi apa Bagas akan menyetujui Devan menghubungi istri pria itu untuk membicarakan cinta. Tak mungkin. Tapi Devan juga tak begitu tertarik berbicara tentang hati pada adik sepupunya itu. Tania pasti akan banyak mengatur.Ya udah. Apa solusinya?Membiasakan diri lo untuk seseorang. Persis kayak lo membiasakan diri lo untuk menerima Jihan.Devan lantas mengernyit.Pertama kali lo lihat Jihan. Yang bikin lo tertarik adalah fisiknya. Ngga munafik, semua orang pasti ngincer muka. Setelah itu, otaknya. Lo ngga nyangka aja, kan? Kalau Jihan ngga cuma cantik tapi pinter.Bagas begitu tahu hal itu, karena ketika Devan mengagumi seorang wanita untuk pertama kali, ia menceritakannya pada Bagas yang saat itu teman sebangkunya.Cantik. Itu kesan pertama Devan ketika bertemu dengan Jihan, murid pindahan dari Sulawesi.Tapi gue pikir abis lo bilang Jihan cantik dan pinter. Lo bakal nembak dia. Tapi ngga. Enam bulan lo dijadiin bahan ledekan karena terus ngeliatin Jihan. Selama itu lo bener-bener bikin kita gemes. Ngeliatin tapi ngga ngedeketin. Sampai kemudian lo ngajak dia ngobrol yang kami pikir tanda-tanda lo bakal jadian sama dia. Tapi ngga juga. Malah lo tiba-tiba cuekin dia sampai beberapa hari. Dia nangis karena sikap lo. Udah bikin dia kebaperan eh tiba-tiba dicuekin. Dan ngga ada angin ngga ada hujan. Lo tau-tau nembak dia. Lo masih inget kan kenapa lo ngelakuin hal aneh itu? Gue nanya berkali-kali dan akhirnya lo jawab. Lo pasti masih inget.Ingat.Memastikan dirinya jika ketertarikan yang berasal dari mata tak berarti cinta. Mungkin itu awal mulanya. Namun, jika tanpa berpikir panjang langsung mengartikannya sebagai cinta, maka hubungannya dengan Jihan tak akan bertahan hingga bertahun-tahun lamanya.Membiasakan diri atas kehadiran wanita yang berhasil membuat dirinya tertarik untuk memiliki.Devan tak ingin mengenal cinta monyet. Baginya cinta itu seperti hidup dan mati. Satu kali. Jadi dia ingin ketika hatinya mendamba seorang wanita, ia akan menjadikan wanita itu sebagai cinta sejatinya.Butuh waktu yang lama untuk menjadikan Jihan sebagai pusat perhatiannya. Ia ingin membiasakan kehadiran wanita itu. Membiasakan indra penglihatannya untuk mengagumi satu wanita saja. Ketika akhirnya ia yakin, pandangannya benar-benar tak bisa lepas dari Jihan, ia mendekati wanita itu dan perlahan ia membiasakan indra pendengarannya untuk terbiasa mendengar satu suara yang akan menemani ia selamanya.Usia yang masih muda tak membuat Devan bermain-main perihal cinta. Baginya perasaan murni itu begitu suci untuk dinodai dengan kata 'bermain-main'.Devan memastikan jika Jihan adalah wanita yang dirinya cintai. Namun, seberapa besar cinta itu, Devan kemudian mengujinya.Memilih bersikap tak acuh, untuk mengukur seberapa dalam hatinya butuh akan kehadiran Jihan.Hingga hari ke lima, dirinya menyerah. Membiasakan diri atas kehadiran Jihan. Membuat ia kehilangan ketika pandangannya tak menemukan wanita yang berbulan-bulan menjadi pusat perhatiannya. Rasanya ada yang kurang ketika pendengarannya tak menangkap suara wanita yang ia dambakan. Dan rasanya begitu menderita ketika memilih menghindar dari wanita yang ia cinta.Devan tergila-gila.Caranya untuk jatuh cinta membuat ia benar-benar jatuh hingga ketika yang menjadi pegangan cintanya pergi, ia lupa cara untuk berdiri.Jadi gimana? Lo cukup nemuin perempuan di sekitar lo yang memanjakan mata lo. Lo selidiki otak dan sifatnya. Kalau oke, lo lanjut. Lo harus usaha, bro. Ngga selamanya lo berkubang sama masa lalu. Mantan yang terus lo pikirin itu, belum tentu mikirin lo juga.Udahlah. Gue coba.Demi ibunya.Mematikan panggilan dengan Bagas. Devan diam, memikirkan solusi yang Bagas beri. Kira-kira ke mana ia mencari wanita yang sesuai dengan karakteristik yang ia inginkan dan bisa ia dekati?Tok tok!Lamunan Devan buyar. Pria itu mendongak ke arah pintu, menatap seorang wanita yang berdiri anggun di sana. Maaf ganggu, Dok. Aku mau cari temen ngopi. Ke kantin, yuk?Memperhatikan wanita yang masih mengenakan snelli, menutupi gaun bermotif bunga yang dikenakan, Devan mengangguk sambil tersenyum.Arum. Dokter gigi kenalannya. Benar. Mengapa dia tak mencoba dengan dokter muda ini? Toh mereka juga sama-sama sedang sendiri.Part Empat  Diana hanya diam di perkarangan rumah setelah turun dari mobilnya. Bola mata bergerak mengikuti lalu lalang keluarga sang ibu yang tampak sibuk karena akan ikut ke acara lamaran Muda, adik Diana yang terakhir.Ini ikut semua, Tulang? tanyanya pada sang paman yang kebetulan lewat di belakangnya.Iyalah! Semua mau tengok Muda lamaran.Lalu pria paruh baya itu pergi meninggalkan Diana yang seketika tak berniat untuk ikut. Hanya untuk lamaran saja, yang dibawa nyaris setengah kampung.Diana sedikit tak menyukai hal merepotkan begini.Sungguh, ikut dalam kesibukan pernikahan saudara yang nomor dua saja ia sudah sangat pusing. Sekarang ia juga ikut andil di dalam kesibukan acara lamaran saudara nomor tiga.Sepertinya, jika ia menikah nanti ia tak akan melakukan hal rumit seperti ini. Berbagai tahapan adat yang tak ia mengerti sepertinya akan ia lewatkan.Yang terpenting sah. Begitu yang ada dalam pikirannya.Bahkan wanita ini tak akan menetapkan berapa besaran Sinamot atau uang mahar jika ada seorang pria yang akan menikahinya.Dia hanya ingin menikah dengan cara sederhana. Cukup mahar seadanya, dan setelah menikah ia hidup bahagia beserta semua harta sang suami yang beralih menjadi hak miliknya.Itu lebih baik, kan?Eh, kek mana?!Diana tersentak kaget pada suara Tiar yang tiba-tiba datang.Kek mana acara ketemuan tadi?Diana mendesah, mengelus lengan yang Tiar pukul. Udah punya pacar nya, mak.Eh! Tiar yang sudah tampil menawan dengan kebaya merah semerah bibirnya yang diberi gincu dengan tebal memonyongkan bibirnya. Iya nya?!Diana mengangguk. Mak, menor kali lah muka mamak. Kalahnya ondel-ondel betawi. Enggan membahas si pria sombong yang ia temui siang tadi, Diana segera mengalihkan pembicaraan dengan mengomentari penampilan sang ibu.Alah mulut kau! Kek mamak juga kau dandan nanti!Ih! Diana langsung merinding protes.Apa ah ih ah ih?! Banyak anak laki nanti di sana!Ya terus? Diana menggedikan bahu. Diana di rumah lah. Jaga rumah.Ngga ada! Enak kali, kau!Ih males kali lah aku mak, nanti ditanya-tanya, Diana kapan nyusul?!Besok! Kau jawab gitu aja! Anggap doa.Ga lah! Diana kemudian melangkah pergi. Males kali aku jawabnya!Semakin dijawab semakin menjadi. Orang-orang yang selalu bertanya perihal kapan dirinya akan menikah itu, seolah jodoh ada di tangan manusia saja.Memangnya Diana tak mau menikah? Sampai berulang kali pertanyaan bernada sama terus dilayangkan padanya, seolah jodoh bisa dipilih di Supermarket.Kupilih yang ganteng! Poliandri aku! gerutunya sambil mengabaikan panggilan para keluarga yang seperti biasa pasti akan menanyakan kapan ia menyusul Muda ataupun Lella yang sedang hamil anak kedua.Masuk ke kamarnya, membuka pintu balkon untuk memasukkan udara ke kamar, membuang sedikit gerah. Diana berjengit kaget saat pintu baru terbuka, sebuah tangan meremas pantatnya dengan lancang.Jutek kali kau, Di.Segera berbalik, menepis tangan yang menempel di pantatnya, Diana mendorong pria berjanggut tipis yang tersenyum pongah padanya.Ngapain kau di sini?! Keluar! Dia menunjuk ke arah pintu yang tertutup, tanpa ingin mencari tahu bagaimana Firdaus, suami Lella adiknya, masuk ke kamarnya sementara ada banyak orang di bawah.Rindu kali aku sama kau, Di. Dia bergerak mendekat, dan dengan sigap Diana bergerak mundur hingga pinggulnya menyentuh pinggiran pagar yang mengelilingi balkon.Ngga usah macam-macam, kau! Nada panik terdengar jelas, namun di telinga Firdaus itu terdengar seperti nada penyambutan.Cuma mau satu macamnya ak—Klek!Pintu di belakang Diana terbuka. Firdaus yang sudah mengurung tubuh Diana langsung mendongak, mengumpat kesal melihat seseorang muncul dan menatapnya dingin.Sedang Diana yang wajahnya pucat pasi, ketakutan atas apapun hal lancang yang bisa Firdaus lakukan segera mengambil kesempatan untuk lepas dari kungkungan tubuh besar adik ipar kurang ajarnya ini.Tersenyum sinis, Firdaus menatap Diana lekat. Kita tunda dulu ya, Di? Kemudian berbalik dan meninggalkan kamar Diana tanpa rasa khawatir sedikitpun karena apa yang ia lakukan dipergoki oleh tetangga sebelah.Mengelus dada yang detak jantungnya memukul-mukul dengan keras, Diana mengucap syukur berulang kali dalam hati.Setelah tenang dari gemuruh jantung yang menyerbu, ia berbalik menatap Devan yang tampak tak acuh. Pria itu menolongnya, tapi berpura-pura seolah tak melakukan apapun. Duduk di kursi sudut, fokus pada layar ponselnya, Devan hanya diam bahkan melirik Diana yang hanya menatapnya dengan ringisan tipis saja tidak.Makasih, bang. Namun Diana cukup tahu apa yang harus ia lakukan.Kehadiran Devan menyelamatkannya dari kelakuan kurang ajar Firdaus yang bisa saja berbuat nekat.Harusnya kamu tidak diam. Perlu sepersekian detik untuk mendengar tanggapan Devan. Melirik Diana sekilas, ia kembali fokus pada ponselnya.Sedang Diana hanya diam sambil membenarkan ucapan Devan. Harusnya ia tak diam. Harusnya ia berteriak agar Firdaus berhenti mengganggunya dan berlaku lancang padanya. Seharusnya begitu. Tapi ia kasihan pada Lella yang sedang hamil muda. Lella juga memiliki anak yang masih begitu kecil.Tersenyum tipis, Diana berbalik, masuk ke dalam kamarnya.Dia benar-benar membenci sifatnya yang terlalu iba pada sang adik hingga keselamatannya sendiri tak terjamin. Entah mengapa, sejak dulu Firdaus seperti menaruh obsesi padanya.*Kekmana, kak? Sukses lamaran Muda?Diana yang sedang duduk menghitung pendapatan hari kemarin namun baru bisa hari ini ia kerjakan karena kemarin harus pulang cepat mengedikan bahu. Kek gitu, lah! jawabnya agak malas.Semalam setelah Firdaus mengacaukan ketenangannya, Tiar yang memaksa dirinya menggunakan kebaya kian membuat kesal. Dia yang enggan ikut terpaksa turut serta menemani Muda lamaran karena masih takut jika sampai dikeluarkan dari KK.Ibunya memang sekejam itu. Padahal apa salahnya yang terlalu bosan mendengar tanya kapan nikah dan berkenalan dengan pria sombong secara random.Dia mengatakan sombong, karena jaman sekarang banyak sekali lelaki yang menetapkan kriteria calon istri harus sesempurna bidadari, sepintar BJ. Habibie, tapi tampang dan keuangan mereka sendiri masih patut dikasihani.Diana merasa kesulitan mencari pasangan hidup. Ini bukan tentang tampangnya yang pas-pasan. Diana tak semerana itu. Dia masih cukup layak jika disandingkan dengan Tara Basro. Ya ... walau masih bagus hidung wanita itu dibanding dirinya. Matanya juga tak setajam itu. Terkesan sedikit lebih bulat. Tapi dia tak jelek juga. Ya ampun, siapa sih manusia yang sudi menjelek-jelekan dirinya sendiri?Selain wajah, Usia Diana yang tak lagi muda juga menjadi salah satu faktor banyak yang enggan menjalin hubungan dengannya. Alasan mereka, melahirkan sekali saja onderdilnya pasti langsung menurun drastis. Dikira tubuhnya ini kaleng ikan sarden? Satu kali pakai.Lalu yang ketiga adalah pekerjaan. Lelaki di luar sana lebih menganggap Diana sebagai pengangguran ketimbang wirausaha. Padahal penghasilannya di binatu ini lumayan cukup untuk membeli mulut pria yang selalu menganggap wanita kantoran lebih keren.Kenapa sih mereka semua tak mencari wanita dari segi agama dan sikapnya saja? Eh ... agama saja. Sikap Diana agak sedikit barbar. Tapi setidaknya dia rajin mengaji dan sembahyang. Dia juga rajin bersedekah dan menolong sesama. Rajin menabung dan insyaallah bisa diajak sukses mendirikan rumah tangga yang SaMaWa.Ya Tuhan ... kapan sih pria yang selalu Diana harapkan dalam doa datang melamarnya? Diana gerah dengan semua pertanyaan orang perihal kapan nikah.Lesu kali, kak. Sedih nya mau dilangkahi?Diana menurunkan setumpuk lembaran uang receh di tangannya. Ngga sedih, Fika. Nyesek aja dikit! Berbobot kali lah pertanyaan kau!Afika langsung terkekeh geli. Diana sedang sensitif hari ini.Afikaaaa!Seperti nada sebuah iklan makanan yang dulu sering berseliweran di layar kaca, suara Seto mendayu dari luar.Afika yang sedang menyetrika segera menoleh ke arah Seto yang baru datang membawa bungkusan plastik di tangan. Diana yang melanjutkan menghitung uang receh di tangan ikut menatap Seto yang cengengesan minta ditabok. Karyawan yang selalu datang lebih lambat dari atasan!Abang Seto! Bawa makanan, kah?Iya Af—Ngga usah kau banyak cakap, Seto! Kau bawa ke sini makanannya, terus kau pergi ke belakang jemur pakaian! Enak kali ya hidup kau! Kerja datang siang! Mau jadi bos kau?Ish! Pagi nya, Di! Udah merepet aja mulut kau.Eh sopan kali kau ya!Iyalah nona muda! Seto meletakkan bungkusan yang ia bawa ke meja Diana. Istriku buat ... apa sih itu makanan orang jawa. Memet?Mendengar ucapan Seto ketika menyebut nama makanan yang dibawanya, Afika tertawa lantang. Jelek kali lah nama makanannya! Hahaha!Lemet! Diana lantas membenarkan. Udah kau diam, Fika. Pening palaku. Kau ke belakang, Seto! Banyak kerjaan ini.Iya, Di! Iya. Ish! Jutek kali kau pagi ini! Seto lantas masuk ke dalam. Ditanyain kapan nikah lagi, kau? Pria itu melepaskan helmnya di meja setrika Afika dan menatap Diana yang langsung cemberut.Jodoh kau ada, Di! Udahlah, nanti juga datang. Kau ngga usah pusing-pusing kali lah!Lama kali siapnya! Diana menggerutu pelan, namun cukup dapat didengar Seto yang segera terkekeh.Ya sabar lah kau! Jodoh kan Tuhan yang nentuin! Kali aja udah siap, tinggal datang, atau baru dibikin, atau masih reinkarnasi lima puluh tahun lag—Udahlah, pergi kau Seto!Segera menyerobot ucapan ngawur Seto, Diana siap melemparkan pulpen ke arah karyawan yang dulunya adalah kakak kelasnya di sekolah dasar.Tertawa senang seolah membuat mood Diana kian terjun bebas adalah hal paling menarik, Seto berlari meninggalkan Afika yang tertawa dan Diana yang menggerutu sendiri.*Malam itu, Devan baru mengeluarkan mobilnya dari perkarangan rumah sakit tempatnya bekerja. Namun seperempat perjalanan, ia melihat Arum sedang berdiri cemas di pinggir jalan sambil mengotak-atik ponsel seperti sedang menghubungi seseorang.Berhenti, pria itu keluar dan beranjak menemui dokter gigi yang ia tetapkan sebagai target pendekatannya. Dia masih bingung bagaimana cara agar mendekati wanita itu. Namun sepertinya ia memiliki cara sekarang.Dokter Devan? Menyadari kehadiran Devan, Arum segera menyapa.Kamu kenapa?Mobilku mogok. Arum perempuan berusia dua puluh enam tahun itu mendesah kesal. Mobilnya udah dijemput orang bengkel. Ini aku mau minta jemput papa tapi ngga diangkat telponku.Kenapa ngga naik taksi?Bibir Arum mencebik. Aku udah nunggu di sini dari tadi, tapi taksi ngga ada yang kosong. Mau naik ojek takut.Ya sudah. Aku antar.Lantas saja Arum terbelalak tak percaya. Kamu antar? Sebentar. Sepertinya ada yang salah dengan Devan. Karena setahunya Devan selalu tak pernah mau mengajak siapapun naik ke dalam mobil pria itu. Serius?Devan segera mengangguk tanpa pedulikan raut keheraman Arum. Ayo.Waaah! Tumben banget kamu!Lalu tanpa tawaran yang kedua kali, Arum segera melangkah menuju kendaraan Devan lalu pria itu mengikuti pelan.Tau rumahku?Arum bertanya setelah Devan duduk di balik kemudi.Tau.Oh iya. Kamu pernah ke sana pas layat. Nada bicara Arum berubah ketika ia ingat kedatangan Devan beberapa bulan yang lalu, ketika ibunya meninggal dunia.Menatap Arum yang seketika diam, Devan mendadak bingung. Bagaimana caranya memulai pembicaraan?Ck! Terlalu lama berinteraksi dengan Jihan, membuat ia lupa cara membuka komunikasi dengan wanita lain, selain mantannya itu.Melalui jalanan yang tak cukup padat, selengang suasana di dalam mobil yang senyap. Devan akhirnya hanya diam dan setengah perjalanan, mungkin karena bosan menikmati perjalanan tanpa obrolan, Arum segera membuka suara.Wanita itu yang kemudian membicarakan beberapa hal tentang pekerjaan mereka, dan sesekali diam, kemudian berbicara lagi dengan topik yang sama.Devan benci dengan dirinya sendiri yang kesulitan mencari bahan obrolan. Bahkan sampai Arum turun, ia masih belum bisa menemukan topik yang pas untuk berbicara dengan wanita.Selama ini Arum memang sering mengajaknya melewati waktu istirahat bersama. Namun mereka hanya sekedar makan, minum dan membicarakan hal yang sama seperti yang mereka obrolkan di dalam mobil tadi. Pekerjaan dan pasien.Ck! Masih kesal karena kebodohannya, Devan melucuti pakaiannya, dan segera ia bawa ke dalam keranjang pakaian kotor yang kosong.Mengambil sebuah handuk dari dalam lemari, pria itu membungkus pinggangnya yang tak terlindungi apapun.Mendinginkan tubuh sebelum ia beranjak mandi. Devan menyalakan televisi yang volumenya segera ia besarkan kala mendengar tawa membahana dari luar balkon.HAHAHA! Malang kali lah nasib kau!Devan segera membanting remot ke kasur, berjalan menuju pintu balkon, hendak menghentikan gangguan dari tetangga yang tak ingat waktu ketika membuka suara. Entah, berapa oktaf suara si kurus itu. Suaranya yang tak merdu selalu saja mengganggu.Pintu terbuka. Lalu yang Devan dapati adalah seperti yang biasa ia lihat. Wajah pura-pura tak bersalah Diana yang menatapnya ragu-ragu.Bisa tolong diam?Diana yang menempelkan ponsel pintarnya ke dada, langsung meringis sungkan, namun kemudian menunduk, dan di bawah sinar lampu balkon Diana yang bersinar cukup terang, Devan mengernyit kala mendapati semburat merah di pipi Diana. Maaf, bang, bisik perempuan itu yang lalu membuang pandangan ke arah samping.Tanpa menjawab lagi, Devan segera masuk dan menggeleng heran. Diganggu iparnya ngga ada suara. Giliran begini, suaranya ngga terkendali.Lalu ia kembali menonton, tanpa lagi peduli wanita yang ada di luar sana, menekan dada sambil mengatur napas tak terkendali.Diana! Diana! Napa kau diam?!Mendekatkan ponsel ke telinga, Diana yang detak jantungnya masih menabuh kencang membuka suara. Tama ... zina matanya aku barusan.Ha? Apaan?! Nada bingung terdengar dari seberang.Masih melongo linglung, Diana mengerjap pelan. Dokter sebelah. Biasa nya kutengok dia ngga pakek baju. Tau nya aku dadanya kotak-kotak kek roti sobek. Tapi baru kali ini kutengok dia pakai anduk aja, Tam.Kau ngomong apa, sih?Besar kali tonjolan di balik handuknya, Tam! Yakin aku yang kau ngga ada setengahnya!Tai babi! Malas aku ngomong sama kau!Dan Diana kembali tertawa keras, namun segera ia bekap mulutnya dan dalam sekejap ia masuk ke dalam kamar sebelum mendapatkan teguran dari orang sebelah yang entah sudah menggunakan pakaian lagi atau masih berbalut handuk yang tak bisa mengendalikan tonjolan gagah di baliknya.Ya ampun! Diana benar-benar butuh nikah!   Part Lima  Tak tahu apa yang menarik dari tayangan televisi masa kini. Jika dulu Minggu adalah motivasi Diana untuk bangun pagi, karena banyak tayangan anak-anak yang menarik, tak peduli usia telah dewasa, kemudian malamnya sebuah drama keluarga yang tak mencapai ribuan episode dan tak perlu tayang setiap hari hingga Diana paham betul bagaimana rasanya rindu hanya karena tak sabar melihat aksi aktor atau aktris kesukaannya.Kini televisi seolah menjadi sebuah properti tak berfungsi yang lebih sering menampilkan gelap dibanding warnanya.Tak hanya ia. Ibu, ayah dan adiknya lebih asyik sibuk dengan urusan mereka dibanding duduk di depan televisi menyaksikan drama tak masuk akal, atau berita yang rasanya tak menjunjung tinggi berita yang bersifat objektif.Jadi, di malam yang rasanya lebih ramai jika digunakan untuk berkumpul keluarga, Diana hanya duduk di balkon sambil membaca novel romantis yang untungnya tak seperti drama aneh yang entah mengapa bisa diloloskan oleh KPI. Oh Diana lupa. KPI kini hanya sensitif dengan acara kartun, sampai tayangan Spongebob saja kena teguran. Atau Sizuka yang diblur kala menggunakan baju renang.Mungkinkah bodi kartun Sizuka bisa meningkatkan libido penontonnya? Ah ... Diana masih cukup normal untuk tak bisa tidur dan terbayang-bayang penuh rasa penasaran karena memikirkan bagaimana bentuk isi di balik handuk milik dokter sebelah rumah, dibanding Sizuka, maupun Squidward yang tak pernah bercelana.Eh ... dia memikirkan apa sih? Ck!Sebenarnya tak jarang Diana menghabiskan malam dengan ayah dan ibunya, tanpa Muda yang lebih asyik bermain game atau menghubungi calon istri pria itu. Tapi akhir-akhir ini, semakin dekat dengan hari pernikahan muda, semakin muram wajah Tiar dan Suryo kala menatapnya.Terlebih besok tetangganya yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya akan menikah. Padahal Zeina tetangganya itu baru berusia dua puluh tiga tahun. Tapi besok sudah akan menikah. Diana? Masih betah dengan kesendiriannya.Betah. Yang membuat gerah hanya pertanyaan orang sekitar dan yang membuat gundah adalah tatapan orangtua yang seolah takut dirinya akan menua sendirian.Sudah sangat lama jarak Diana bertemu dengan pria terakhir yang dipaksa berkenalan dengannya namun ternyata pria itu memiliki pacar. Hingga sekarang, dia sudah tak berkenalan dengan pria manapun karena selain sudah jarang keluar rumah untuk tebar pesona, Diana lebih banyak menghabiskan waktu di Syauqia Laundry.Ya ... mengumpulkan uang ternyata lebih menggiurkan dibanding mencari pasangan.Klek!Diana yang duduk santai di ayunan rotan berbentuk bulat langsung mengalihkan pandang dari rentetan kata, merangkai sebuah romansa, ke arah balkon tetangga yang terbuka dan menampilkan sosok si penghuni kamar.Ini sudah yang ke sekian kali mama ingatkan hal yang sama. Devan ngga akan lupa. Ya udah, sekarang mama istirahat. Titip salam untuk papa.Bersandar di sisi pagar balkon berwarna hitam, kontras dengan warna putih pagar balkon milik Diana, Devan mematikan panggilan dengan sang ibu, kemudian berbalik melihat ke arah Diana yang sudah fokus pada novel wanita itu lagi.Devan pernah bertanya-tanya ada sihir jenis apa pada setumpuk kertas yang merangkai kisah manja tak masuk akal yang bernama novel. Hingga tak hanya Diana yang ia lihat sering membaca benda itu, namun sepupunya, bahkan ibunya ikut tergila-gila dengan kisah-kisah aneh di dalamnya.Diana, panggilnya pada tetangga sebelah kamar yang langsung menatapnya.Sepasang alis Diana naik, sedikit aneh si tetangga memanggilnya di saat dirinya tak membuat keributan. Ya Bang?Ini. Devan mengangsurkan bingkisan yang baru Diana sadari ditenteng pria itu sejak keluar kamar. Aku beli makanan lebih, tadi. Buat mak Tiar.Tadinya martabak durian yang ia beli akan diberikan pada Arum. Namun urung karena ia mendadak sungkan. Beberapa bulan mencoba mengakrabkan diri dengan wanita itu, Devan malah merasa aneh sendiri. Dia terlalu terbiasa menganggap Arum sebagai partner kerja, bukan seseorang yang ia suka. Beda dengan Jihan yang memang ia sukai sejak pertemuan pertama, dan mencoba untuk mencipta suka menjadi cinta terasa begitu mudah ia lakukan.Jadi lah, merasa mubazir, akhirnya apa yang ia beli, diberikan pada tetangga sebelah. Dan ini sudah cukup biasa, meski sebelumnya lebih banyak sang ibu yang berbagi makanan dengan tetangga dari pada dirinya.Berdiri, setelah tersenyum tipis, Diana menerimanya.Tak ada rasa heran kala dirinya menyambut pemberian Devan, karena hal ini sudah jelas biasa. Meski jarang Devan yang memberikan langsung, namun bukan berarti tak pernah. Ia juga sering berbagi makanan dengan tetangganya ini. Eh ... ibunya yang berbagi, ia bertugas untuk mengantarkannya. Dan malas harus mengetuk pintu rumah tetangga, Diana juga lebih suka memberi melalui balkon. Lebih menghemat waktu.Makasih, bang.Belum ia kembali ke ayunan bulat yang ia hias dengan bunga palsu, suara Muda dari belakang melenyapkan senyum Diana.Eeh! Dapat apa tu, kak?! Balenlah aku!Melihat Muda yang berdiri cengengesan di sampingnya, Diana menatap sinis. Ada tangan nya buat ketuk pintu. Ada mulut nya buat ucap salam! Nyelonong aja kau masuk kamar orang! Ngga ada sopan!Eh?! Muda terkekeh geli mendengar omelan kakaknya. Maafkanlah sekiranya adikmu ini membuat salah, kak. Ia lalu melihat Devan yang hanya diam menyaksikan interaksi tak akur antara adik dan kakak di depannya. Eh bang! Lama nya tak kutengok abang di rumah!Devan tersenyum bersama anggukan pelan. Sibuk di rumah sakit, Muda.Banyak kecelakaan ya, bang? Eh, dua minggu lagi mau nikah aku, bang. Datang ya, bang?Diana yang tak tertarik ikut campur obrolan dua pria di sekitarnya kembali ke ayunan, memilih membaca novel sambil menikmati martabak durian pemberian Devan.Datang, Muda. Insyaallah.Iya lah! Ajak calon nya, bang? Janganlah sendiri-sendiri terus!Devan lalu hanya tersenyum menanggapi ucapan Muda. Rencananya ia akan mengajak Arum ke acara pernikahan Muda kelak. Namun itu jika ia tak merasa sungkan lagi.Eh, atau abang sama kakakku aja lah—aww!!Teriakan Muda tak kepalang kerasnya kala sebuah tendangan berkekuatan banteng menendang betisnya.Mengelus betis yang pasti memerah, Muda melirik pada Diana yang melotot memberi peringatan.Keluar kau!Apa sih, kak?! Sadis kali, lah! Sambil mendesis kesakitan, lalu ia tatap lagi Devan yang ikut meringis seolah turut merasakan sakit Muda. Ia melihat bagaimana Diana menendang kaki pria itu. Penuh tenaga ekstra.Ngga usah lah bang kau sama kakakku! Ngga ada hatinya dia bang!Alah! Pergi kau!Devan menggeleng pelan melihat pertikaian di depannya lalu memilih duduk di sofa sudut balkon.Mau pergi nya aku! Mau tempat calon istriku! Maaf! Cukup jomblo yang cuma di rumah waktu malam Minggu.Dan sebelum Diana kembali menendang atau lebih parahnya mendorong Muda dari balkon lalu tertawa jahat penuh kemenangan, pria dua puluh lima tahun itu segera berlari tungang langgang keluar dari kamar Diana.Mendengkus kesal, Diana kembali melanjutkan aktivitasnya membaca novel, sambil menahan kesal dan malu karena ulah muda.Diana sungguh tak suka dijodoh-jodohkan oleh seseorang langsung di depan wajahnya. Seolah dia benar-benar frustasi untuk menemukan calon pendamping. Ya meski memang begitu.Sudah ia lupakan perihal Muda juga tak ia indahkan eksistensi Devan yang memang di sanalah tempat pria itu.Suara kendaraan yang terdengar samar-samar seiring dengan bunyi decitan pagar kemudian menarik perhatian Diana untuk turun dari ayunan.Wanita itu menoleh, melihat nakas samping kasur yang tadi tergeletak kunci mobilnya namun kini raib entah ke mana.Terdengar lagi kian kuat suara kendaraan yang begitu ia hapal, Diana mendongakan kepala ke luar pagar balkon, dan langsung berteriak lantang kala mobil kesayangannya melaju keluar pagar yang tak lagi ditutup.MUDA! BODAT! KAU YA!Dan kali ini Devan memilih menghela napas kala mendengar teriakan lantang Diana. Ya ampun, benarkah tetangga samping kamarnya ini dilahirkan sebagai seorang wanita atau, hanya sekadar fisik, tidak untuk jiwanya?*Diana masih duduk di sisi ranjang, sambil memegangi perutnya yang terasa sakit.Hari pertama haid selalu menjadi hari penderitaan untuk Diana karena ia pasti akan merasakan sakit bukan main di area perut.Dulu bahkan ia sempat pingsan hanya karena tak kuat menahan sakitnya. Sudah berulang kali memeriksakan kondisinya ini, namun menurut dokter apa yang Diana alami adalah hal yang biasa terjadi oleh beberapa perempuan.Pertanyaannya adalah, kapan rasa sakit ini menghilang? Diana tak sanggup jika seumur hidupnya akan merasakan sakit seperti ini ketika dirinya mendapatkan tamu bulanan.Diana! Belum juga siap, kau?!Menoleh ke arah pintu, Diana meringis pada Tiar. 'Sakit kali lah mak. Ngga kuat rasanya aku pergi kondangan.Bentar aja nya! Tiar mendekat. Ngga enak nanti dibilangnya kau cemburu si Zeina nikah duluan!Kan penting kadonya, mak?!Alah! Macam tak tau muncung orang sini aja kau!Diana langsung mendesis. Yelah yelah! Diana siap-siap!Lalu ia berdiri, bergegas ke kamar mandi.Ya sudah! Mamak pergi ke sana lagi, ya?!Ya!Lalu tak lama hening. Diana yang masih duduk di atas kloset tersenyum lebar. Sementara ibunya pergi lagi ke acara pernikahan Zeina, dia menenangkan diri di kamar mandi.Setelah satu jam mendinginkan tubuh di bawah cucuran shower, Diana segera bersiap-siap.Sebuah gaun putih dengan corak bunga berwarna hitam, dan lengan berbentuk terompet pada ujungnya membungkus tubuh Diana dengan sempurna. Rambut panjang wanita itu dibagi dua, kemudian dirinya kepang dari atas sebelum disanggul menjadi satu.Diana selalu berpikiran untuk memangkas rambut panjang yang kadang menghalangi aktivitasnya ini. Namun setiap akan melakukannya dia merasa rugi.Tak bersusah payah mengenakan sepatu tingginya, Diana mengambil flatshoes berwarna putih susu dari dalam lemari sepatu.Memeluk kado berukuran sedang, Diana meninggalkan dompet yang tak perlu ia bawa mengingat dirinya hanya pergi kondangan di rumah tetangga.Sedikit malas-malasan Diana melangkah menuju rumah Zeina, yang dari pagar rumahnya terlihat begitu ramai, bahkan suara organ tunggal terdengar jelas, membuatnya yang menahan rasa tak nyaman pada area perut kian meringis.Beberapa langkah bergerak, suara pagar terbuka dari samping rumahnya membuat ia menoleh dan sepasang mata yang kelopaknya ia percantik dengan eyeshadow itu bersirobok pada sepasang mata tajam dokter muda tetangganya.Diana tersenyum sekilas, sebelum kemudian kembali melangkah pelan, mengulur waktu untuk tiba di acara pernikahan Zeina tak peduli pada sengatan matahari yang membuat kulitnya menderita. Ya ampun ... belum tiba di sana saja, Diana seolah sudah mendengar pertanyan para tetangga dan sanak saudara perihal statusnya.Eh Diana! Devan!RT setempat yang akan menuju rumah Zeina berhenti, dan menyapa.Kening Diana mengernyit bingung kala pak RT turut menyapa tetangga sebelah rumahnya.Sebentar. Memangnya pria itu ada di mana?Menoleh, Diana agak berjengit kaget melihat sosok Devan berdiri tak sampai satu langkah di belakangnya.Pria itu tak mengikuti Diana. Hanya saja, sama seperti wanita itu, Devan enggan pergi ke acara pernikahan Zeina karena akan banyak para ibu-ibu yang berusaha mendekatinya untuk memperkenalkan anak gadis mereka pada dirinya.Jadi ketika ia lihat Diana, Devan merasa Tuhan sedang menolongnya. Anggap saja ia memiliki teman untuk datang ke pesta pernikahan itu, dan sekaligus menjadikan Diana tameng. Dia tak bermaksud memanfaatkan Diana. Hanya memanfaatkan keadaan yang mendukung saja.Berangkat sama-sama, kelen?Diana langsung saja menggeleng. Ngga!Iya.Langsung saja, Diana melirik tak mengerti pada Devan yang pura-pura tak merasa salah pada jawaban datarnya.Eeh pacaran, kelen?Ngga! Lagi, Diana memberikan penyangkalan, namun ketika ia lihat Devan, pria itu hanya menaikkan sepasang alis saja.Sebenarnya apa yang terjadi dengan tetangganya ini, sih?Eh! Bertengkar nya kelen? Pak RT yang usianya masih empat puluhan, berpenampilan rapi dengan celana panjang hitam dan batik hitam bercorak burung bangau, berdecak. Masih pacaran nya, Di! Jangan lah marah-marah.Lalu tanpa peduli pada Diana yang akan menyanggah, pak RT beralih pada Devan. Membungkam mulut Diana yang langsung terkatup rapat.Devan! Jangan kau lama-pacaran. Nikahi Diana! Udah tua nya kelen berdua! Ngga iri nya liat kawan kelen sudah bawah anak daftar TK? Nikah! Jangan pacaran terus kelen! Lalu menepuk bahu Devan yang hanya mengangguk enggan menanggapi terlalu serius ucapan pak RT yang kembali melanjutkan langkahnya.Sedang Diana, kian mengernyit heran. Menatap Devan, yang juga menatapnya tanpa makna apapun, Diana lalu menggeleng, mengibaskan tangan pelan.Sudahlah, ia enggan menggubris apa yang barusan terjadi.Kembali melangkah, kali ini Diana mempercepat gerak kakinya, karena mendadak tak nyaman berdekatan dengan Devan yang tak pernah berdekatan dengannya.Eh! Pacaran nya kelen?Lagi! Ketika tiba di meja penyambut tamu, seorang wanita yang menjaga kado dan buku tamu menatap Diana dan Devan bergantian.Diana langsung menautkan sepasang alis, pun dengan Devan yang berdiri di belakang Diana.Pak RT nya yang bilang. Ck! Mundurnya aku bang Dev dari kandidat yang memperebutkan hati abang?!Setelah menulis namanya di buku tamu, Diana mendorong kening tetangga wanitanya yang usianya masih cukup muda itu dengan tatapan kesal. Alah muncung kau! katanya lalu bergegas pergi, tanpa sadar pada wajah dan lehernya yang telah memerah karena malu. Sementara Devan menuliskan namanya di buku tamu tanpa pedulikan Diana yang pasti merasa risih menurutnya.Sepertinya ia harus meminta maaf pada wanita itu. Tapi kalau ia meminta maaf dan menjauh sekarang, posisinya tak akan nyaman. Dia enggan mendengar permintaan para ibu-ibu yang ingin Devan berkenalan dengan putri mereka.Eeh! Cemburu nya, kak? Ngga akan kuambil pacarmu, kak! Lalu terkekeh pelan, diikuti orang sekitar yang mendengar kalimat menggodanya pada Diana. Bang Devan! Jangan cuma dipacari lah bang, Kak Di. Nikahi, bang! Ngga enak kan bang kalau orang kampung ngelangkahi dia semua bang.Tersenyum, Devan hanya mengangguk saja. Dia masih enggan untuk menyanggah.Kita semua doakan, nya bang! Kelen nikah tahun ini!Lagi, Devan yang telah melangkah pelan, mengangguk, namun kali ini dengan ibu jari teracung.Devan sepertinya tak takut jika doa orang- orang yang peduli pada status Diana akan didengarkan Tuhan.   Part Enam  Diana kesal. Di saat ia harus menahan sakit pada area perutnya, pak RT yang mulutnya susah diatur itu menyebarkan gosip yang dibuat sendiri pada para tetangga. Dia sudah susah menahan sakit, diharuskan pula menahan emosi. Mengingat dirinya manusia, jadi Diana bisa menahan diri untuk tak mengobrak abrik pesta pernikahan Zeina.Lalu ini lagi. Si pria yang bukannya menyangkal malah diam seolah membenarkan. Niatnya apa? Ingin membuat dirinya mengharap.Khok cuih!Hubungan mereka tak sedekat itu untuk bisa membuat Diana mengharap.Tapi yang aneh, mengapa si dokter tetangganya ini malah bersikap seperti ini, sih? Ingin mempermainkannya, atau tak sengaja? Menanggapi ledekan para tetangga yang beberapa menjadikan mereka pusat atensi setelah mempelai di depan sana memang menjengkelkan. Tapi membiarkan gosip menyebar juga tak bisa dibenarkan.Eh Diana!Tepukan pelan mampir di bahu wanita itu dan seorang wanita muda bersama pria yang menggandeng mesra berjalan, mengambil tempat duduk di depan Diana lalu menoleh ke belakang untuk melihat Diana yang membalas tatapannya. Datang kondangan terus, Di. Kapan kau undang kami ke acaramu? Goda wanita itu yang mengerling menjengkelkan.Tersenyum miring, tanpa sama sekali menutupi ekspresi kesalnya, Diana mendekatkan wajah pada wanita yang dulunya adalah adik kelas. Kuundang, kalau kau punya anak.Dan jawaban Diana membuat wanita itu kesal. Langsung melengos dengan wajah memerah, namun samar, Diana mendengar teguran suami wanita itu. Bukan untuknya. Tapi untuk istri pria itu sendiri.Sedang Devan yang mendengar jawaban Diana, melirik wanita itu bersama sekilas ekspresi terkejut.Pasalnya wanita di depannya yang menanyakan kapan Diana menikah sudah lima tahun menanti momongan yang tak kunjung hadir. Tapi dengan sekali tebas, Diana membuat wanita itu diam dengan mengungkit hal yang sangat sensitif.Menyelesaikan makannya yang tak begitu banyak, Diana cepat-cepat berdiri. Mumpung makanan Devan masih banyak, jadi dia bisa menghindari gosip dengan membuat jarak. Percuma mengatakan tidak pada sekumpulan orang yang sudah merasa terkaannya benar. Jadi Diana memilih menjawab melalui tindakan.Namun ketika sebuah tangan menariknya, membatalkan langkah yang akan mencipta jarak. Diana menoleh kesal pada Devan yang sudah berdiri di belakangnya.Bahkan ketika ia sangat malu dengan kian banyaknya pasang mata yang fokus ke arahnya, Devan tampak biasa saja.Dia memang bukan artis kampung hingga banyak yang menjatuhkan netra padanya. Namun dikenal sebagai anak mak Tiar yang selalu eksis tak hanya di dunia nyata juga dunia ghaib, maksudnya dunia media sosial. Diana harus pasrah jika status menyendirinya di usia yang nyaris memasuki tiga puluh tahun menjadi sorotan warga kampung. Dan ketika dirinya terlihat dekat dengan seorang pria, warga akan senantiasa mendoakan agar hubungannya lancar hingga jenjang pernikahan. Mereka memang para tetangga kepo. Tapi Diana tak menyangkal dari mereka semua ada yang baik padanya dan keluarga.Mendekat, tahu jika Diana sedang tak nyaman dengan sikap tak sopannya, pria itu lalu berbisik. Noda merah di rok kamu cukup banyak.Dan informasi itu membuat Diana mendesis kesal sekaligus malu. Rona merah merambat parah ke arah wajah dan leher yang terbuka.Padahal dia sudah menggunakan pembalut yang cukup panjang, tapi mengapa bisa kebobolan juga?Miring kali, ya?Duh ... Diana merasa konyol sekarang.Melengos, enggan menatap Devan yang kian membuatnya merasa malu, Diana tetap melangkah, dan sungguh ia syukuri dengan keberadaan Devan kali ini.Pria itu membantunya menutupi noda di belakang pantatnya. Bahkan tanpa ada rasa risih, mungkin karena profesi pria itu yang sudah terbiasa dengan darah, Devan berada tepat di belakang Diana tanpa peduli pada tatapan beberapa pasang mata yang jatuh padanya.Tiba di pelaminan, memberi selamat pada mempelai yang menjadi raja dan ratu hari ini. Zeina yang tampil cantik dengan bulang berwarna emas yang menjadi mahkota si pengantin mengerling pada Diana yang sedari tadi menarik perhatiannya.Kutengok ada yang pacaran, kak. Ia menggoda kala Diana mencium pipinya.Tersenyum, Diana hanya mengedikan bahu. Dia enggan menyangkal karena itu hanya akan memperpanjang waktu.Jangan turun dulu lah, kak. Foto dulu, ajak Zeina kemudian yang tak bisa Diana dan Devan tolak.Mengapit mempelai, Diana dan Devan menatap kamera dengan senyum tipis, sebelum kemudian bergegas turun dengan Devan yang tetap di belakang Diana.Pria itu tak memiliki maksud apapun melakukan hal ini. Hanya saja ia tahu jika wanita yang sedang mengalami siklus bulanan akan sangat malu jika mengalami kejadian seperti Diana.Udah, makasih, bang. Menoleh sebentar pada Devan yang mengangguk samar. Diana lantas menggenggam area yang terkena noda mesntruasinya, lalu berjalan cepat menuju rumah yang kali ini ia rasa berkilometer jauhnya.Tak lagi menoleh ke belakang atau peduli pada teguran beberapa tetangga yang lewat. Diana memelankan langkah ketika ia lihat sosok yang tak pernah ia inginkan ada di rumahnya berdiri di depan pagar. Firdaus. Adik ipar sialannya.Mematri tampang dingin, Diana membuat jarak pada Firdaus yang tersenyum kala melihat kehadirannya.Pulang, Di? Cepat kali?Masih enggan memberi tatapan ramah, Diana membuka suara dengan sinis. Ngapain kau di sini?Jaga rumah. Muda pergi, bapak ke sawah. Pria itu menunjukkan kunci pagar dan rumah, membunyikannya di depan wajah seolah meledek Diana yang seketika geram. Masuk, Di? Dari pada panas-panasan di sini, mending panas-panasan di dalam nya kita.Berdecih jijik, Diana bergerak mundur kala mendapati kaki pria berjarak dua langkah di depannya mendekat.Lempar kuncinya. Kau bisa pergi.Ck! Firdaus berdecak namun tetap dengan senyum menjijikan yang tak luntur. Kutemani kau di dalam, Di.Ngga mau kau kasih kunci itu, aku tereak!Tereak? Pria itu terkekeh pelan. Lalu melirik dengan senyum ramah pada beberapa tangga yang lewat, sebelum sorotnya jatuh pada Devan yang kian mendekat. Pria di depannya itu memandang tak acuh ke arahnya.Tereak, Di. Terus kau mau bilang apa kalau tereak? Aku perkosa? Mana buktinya? Kita di luar. Masih dengan tangan memamerkan kunci rumah yang dititipkan padanya.Diana benar-benar kesal pada kecerobohan Muda yang seenaknya menitipkan kunci pada Firdaus. Adiknya itu memang tak tahu bagaimana kelakuan iparnya ini pada dirinya, namun sifat Firdaus yang tak bisa dipercaya semestinya tak membuat Muda segampang ini menyerahkan kunci pada suami Lella.Menggigit bibir bawah, Diana melepaskan genggamannya pada area rok yang kotor, lalu berpindah ke perut yang kian melilit sakit.Wajahnya mulai pasi, pandangan sedikit menggelap, mungkin selain karena menahan sakit, ia tak tahan pada sengat mentari yang menusuk tepat di atas kepala.Bunyi pagar terbuka di belakangnya terdengar, Diana lantas menoleh dan mendapati Devan berdiri, menatapnya. Di sini panas. Dia perlebar pintu pagarnya. Ayo.Pria itu tak perlu bertanya apa yang terjadi pada Diana yang hanya berdiri di depan pagar rumah, dengan Firdaus yang menenteng beberapa kunci yang disatukan dalam satu kaitan besi bulat. Apa yang ia lihat cukup menjelaskan apa yang tengah Diana alami.Menatap lagi pada Firdaus yang tampak tak suka pada kehadiran Devan, Diana lantas mundur, mengikuti Devan yang sudah masuk tanpa banyak berkata lagi.Sebenarnya wanita itu bisa ke rumah tetangga. Atau ke rumah Tulangnya yang hanya berjarak beberapa meter saja. Tapi jika ditanya ia harus menjelaskan apa?Enggan pulang karena ada Firdaus?Nanti ditanya lagi memangnya ada apa dengan Firdaus? Sesama ipar kok malah bermusuhan. Lalu ia diceramahi panjang lebar.Ck! Diana malas menjelaskan panjang lebar yang malah akan berdampak buruk pada keluarganya.Jadi yang paling aman adalah berlindung di rumah Devan, dan jika beruntung dia bisa menumpang kamar pria itu untuk melompat ke balkon kamarnya. Kebetulan kunci kamar ada padanya.Namun kala ia memasuki teras rumah Devan yang sejuk karena di halaman ditumbuhi pohon mangga yang cukup rindang, Diana mengerjap bingung.Sepertinya dari pada masuk berduaan dengan tetangga lelakinya, lalu menimbulkan fitnah, Diana berdiri saja di teras sambil menanti Tiar.Tahu keadaannya akan begini, dia pasti tak meninggalkan ponselnya. Tapi tadi ia berpikir hanya kondangan di rumah tetangga, jadi ia merasa tak perlu membawa apapun selain kado yang telah disiapkan.Masuk, Di.Melihat Devan yang sudah berada di dalam rumah, Diana menggeleng dengan senyum sungkan. Ngga apa-apa, bang. Mamak bentar lagi juga pulang. Biar kutunggu di sini.Tak ingin memprotes keputusan Diana, Devan hanya mencebik dengan bahu terangkat sekali. Kalau gitu aku masuk.Tanpa menutup pintu, pria itu pergi meninggalkan Diana yang kemudian menatap jalanan, sambil mengintip sesekali ke arah pagar rumahnya yang sudah tak ditunggu Firdaus namun kunci masih di tangan pria itu.Mulai lelah, dengan rasa sakit yang kian menjadi. Diana duduk di sisi kursi rotan yang ada di samping pintu rumah, karena takut mengotori benda itu dengan noda menstruasinya.Ck! Dosa apa aku, mak? Gini kali nasibku!Diana mulai meratapi diri. Namun juga memaki muda yang tak kunjung menampakan diri. Entah ke mana pria itu pergi. Awas saja, jika bertemu akan ia cincang hidup-hidup dijadikan makanan ikan koi peliharaan pria itu yang ada di belakang rumah.Mampuus!Mengusap wajah, mulai merindukan empuknya kasur dan nikmatnya terpejam. Diana berdiri ketika mendengar langkah di sampingnya.Eh, bang?Pria itu menyerahkan sebuah handuk kecil. Ini bersih. Bisa dipakai untuk menggantikan pembalut.Mendengar kata pembalut keluar dari mulut Devan, Diana membeliak namun seiring kemudian tersenyum malu. Wajahnya yang pasi kembali berwarna oleh rona merah. Ngga usah—Kamu bisa bersihkan pakaian kamu di kamar mandi.*Setelah tak bisa menolak tawaran Devan yang sedikit memaksa menurutnya, di sini lah kemudian Diana terdampar.Di sebuah ruang memanjang, yang bagian ujung terdapat kamar mandi bersekat kaca transparan, dan bagian tengah tempat lemari pakaian dan perlengkapan lain seperti dasi, sepatu, jam tangan, dan kaca mata. Diana yang berada di ujung lainnya sedang mengenakan pakaian yang sudah bersih, di depan sebuah kaca lebar yang tertempel di salah satu sisi dinding sebuah ruangan yang Diana sebut walk in closet. Dia pikir tempat seperti ini hanya ada di sebuah novel saja.Diana tadi membersihkan diri selagi mesin cuci mahal milih Devan yang bahkan tak Diana miliki padahal wanita itu memiliki usaha binatu, mengeringkan gaun dan celana dalamnya yang sudah ia bersihkan bagian kotornya.Sedikit lembab, karena mesin cuci mahal milik Devan hanya mengeringkan sekitar 80% saja, namun tak masalah karena Diana akan segera pulang dan mengganti pakaiannya. Wanita itu keluar dari ruangan yang berada di dalam kamar Devan yang tak ia sangka lebih mewah dari perkiraannya selama ini—karena dari balkon kamarnya ia bisa melihat sebagian sisi kamar Devan yang memancarkan aura maskulin.Sudah?Diana berjengit kaget kala suara bass Devan yang duduk di sisi ranjang di tengah ruangan kamar terdengar tiba-tiba.Sudah, bang. Makasih.Heem. Mak Tiar belum pulang. Firdaus masih di depan pagar. Lebih baik kamu tunggu dulu sampai mak tiar pulang. Tanpa beranjak, pria itu menyodorkan sesuatu pada Diana. Perut kamu sakit? Kamu terus memegangnya dari tadi. Pakai ini untuk sedikit meredakannya.Bantal penghangat. Bagaimana bisa Devan sepeka itu sebagai pria? Diana terharu dibuatnya. Meski sudah menolak untuk hanyut pada kebaikan si tetangga yang selama ini sering menampilkan raut ketus, namun apa daya, jika hati Diana malah berdenyut-denyut bahagia.Ya ampun. Jomblo memang tak bisa diberi harapan sedikit saja.Mengangguk pelan, kehilangan suara yang biasanya berkicau tanpa saringan, berteriak seolah tinggal di hutan, Diana mendekat mengambil bantal penghangat yang Devan berikan.Butuh obat pereda nyeri? Aku punya kalau kamu mau.Diana lantas menyengir. Lengkap ya, bang?Devan tersenyum dengan anggukan pelan. Dokter harus memiliki perlengkapan untuk mengobati, karena akan diperlukan setiap saat.Dokter.Cengiran Diana kian lebar, namun malah memperlihatkan sebuah kebodohan. Iya bodoh.Harusnya Diana tahu jika apa yang Devan lakukan padanya adalah sebuah kebiasaan seorang dokter yang terbiasa menangani seorang pasien yang kesakitan. Dan ya ... Diana pasien, karena dia sakit.Sudah lah, Di. Ngga jadi baper, kau!Duduk di sofa, di sana ada stop kontak.Diana segera menurut pada ucapan Devan. Duduk di sofa yang tak jauh dari pintu balkon yang tak pemilik kamar buka, lalu menggunakan bantal penghangat yang pria itu beri.Aku tunggu di bawah. Kalau sakitnya belum reda, bilang saja.Diana mengangguk lagi. Devan benar-benar memperlakukan dirinya bak pasien. Duuh apa kabar baper yang seketika retak tak beraturan.Pasien nya kau, mblo! Pasien. Ngga usah ngarep!Elah! Ngapain pula ngarep ama tetangga. Diana! Setengah otak kau pasti dicomot Kamisol!Makasih, bang. Maaf kali ngerepotin abang.Heem. Tidak masalah. Karena setiap melihat orang yang kesakitan, jiwa mengobati dalam diri Devan seketika akan muncul. Mungkin itu yang dinamakan naluri dokter yang telah bersatu dengan jiwanya.Benar. Kali ini ia memandang Diana sebagai tetangga dan pasien. Tak lebih. Bahkan sejenak pria itu lupa jika Diana juga seorang wanita. Wanita yang sebenarnya sangat ia larang memasuki area pribadinya. Tempat ini hanya pernah dimasuki oleh dua wanita sebelumnya. Sang ibu, dan mantan kekasihnya. Jihan.Lalu mengapa tanpa berpikir, ia menawarkan Diana memasuki kamarnya, bahkan menggunakan kamar mandinya? Di dalam kamar, setelah kurang lebih dua jam lamanya Diana di rumahnya, menanti Tiar, lalu kini sudah pamit pulang meninggalkan Devan yang masih diam di atas ranjang sejak satu jam lalu.Pria itu masih memikirkan kebodohannya yang menawarkan Diana masuk ke dalam kamarnya. Ya ampun. Tampang Diana tadi tampaknya benar-benar memelas hingga alam bawah sadarnya mendadak tak tega jika tak memberikan sebuah bantuan.HA HA HA! Eh!Devan yang terlentang, menatap langit-langit kamar yang tak begitu terang karena lampu utama ia matikan,  namun cahaya lampu tidur masih tetap membantu penglihatan. Pria itu segera bangkit saat mendengar tawa lantang dari seberang kamar yang mendadak berhenti.Turun dari ranjang, pria itu berjalan mendekati pintu balkon dan diam di sana mendengar percakapan tetangga yang tengah menelepon seseorang.Malam ini, Tam. Tidurnya tetanggaku. Kena tegur lagi nanti. Hehe. Udahlah. Besok kau lanjut curhatnya. Aku mau tidur. Capek nya aku gara-gara ulah Muda sama si Daus sialan. Babay kekasih gelapku.Sesaat berdiam diri di balik pintu, Devan kemudian membuka kunci, membukanya dan mendapati si tetangga yang berbalut gaun tidur berlengan panjang menatap ponsel namun sebentar saja sebelum beralih ke arahnya.Eh, bang? Maaf. Ganggu, ya?Menggeleng pelan, setelah berdiam menatap Diana hingga wanita itu tampak salah tingkah dibuatnya. Devan menghela napas pendek, lalu berjalan menuju kursi di sudut balkon dan duduk di sana.Menatap lagi Diana yang duduk di ayunan gantung sambil memainkan ponsel, tak menepati ucapan pada seseorang yang diteleponnya tadi, jika Diana mengantuk dan ingin tidur. Devan berdecak samar, lalu terpejam dengan kepala menengadah.Tadi siang, dia dan Diana tampak normal meski tak banyak pembicaraan yang dilakukan namun seolah tak ada sekat ketika ia memberi bantuan. Namun setelah mereka kembali di tempatnya masing-masing, Devan berpikir jika yang terjadi siang tadi adalah mimpi.Rasanya masih belum dipercaya ketika ia bisa beramah tamah dengan tetangga wanita yang biasanya membuat ia emosi saja.   Part Tujuh  Tak tahu berapa lama matanya terpejam. Yang jelas ketika ia terbangun, Diana sadar ia tidur bukan di tempat yang seharusnya. Di kamar lelaki lain, di atas sofa. Itu bukan tempat yang seharusnya untuk wanita yang bukan siapa-siapa si pemilik kamar. Dan bukan hal yang bagus jika apa yang ia lakukan menjadi bahan omongan tetangga.Entah ke mana tadi akal ia letakkan. Karena Firdaus sialan, ia harus di sini dalam keadaan memalukan lalu lebih tak malu lagi menumpang tidur seolah ruangan ini adalah miliknya.Lagian, si pemilik kamar bisa-bisanya menyuruh dirinya berdiam di sini sendirian, padahal bisa menawarkan Diana di kamar yang lain.Tapi kata Devan, mesin cuci yang sistem pengeringnya paling bagus hanya ada di sini. Sementara yang ada di kamar mandi bawah adalah mesin cuci biasa. Baik. Itu bisa dimengerti. Tapi membiarkan Diana menggunakan kamar pria itu untuk beristirahat?Ya ampun apakah Diana begitu memelas tadi, sampai dikasihani seperti ini?Segera keluar dari kamar, tanpa merapikan sanggulan rambutnya yang sudah acak-acakan, namun berpikir apakah tadi Devan melihat wajahnya yang biasanya tak sopan kala terlelap, misal menganga atau ngiler. Ya ampun, Diana tak memiliki muka. Wanita itu turun, dan di belakang tangga, ia lihat Devan sedang duduk di sebuah sofa, menyaksikan berita dari layar televisi besar, yang menurut Diana mungkin empat kali lipat dari TV 21 inch yang ada di rumahnya. Mata pria itu apa tak sakit melihat layar seperti itu?Kamu sudah bangun?Diana yang masih berada di anak tangga terakhir langsung terkesiap namun segera mengangguk cepat. Maaf, bang. Ketiduran. Karena dia memang sedang begitu lelah. Entah apa yang dikerjakannya, intinya tubuhnya lelah. Mungkin karena menstruasi yang menyerap sebagian daya tubuhnya?Ngga apa-apa. Meski dalam kepala sempat menyesali keputusannya yang membiarkan Diana menempati kamarnya yang merupakan tempat paling pribadi.Em.... Diana turun, berjalan ke arah sebuah pintu menuju ruang tamu. Bang, makasih yah. Maaf kali ngerepotin. Aku pulang dulu, mungkin mamak udah di rumah. Diana tersenyum bersama anggukan singkat. Permisi, bang. Lalu pergi, berjalan cepat tanpa menunggu jawaban Devan.Dia tak tahu harus meletakkan di mana wajah satu-satunya yang sekarang sudah semerah saga. Tak lagi ia pedulikan apapun pendapat Devan padanya. Memalukankah, menjijikankah, tak tahu dirikah. Terserah. Yang penting sekarang ia pulang, dan jika ternyata masih ada anjing sialan itu di depan rumahnya, ia akan berbelok ke acara pesta Ziena dan menarik sang ibu untuk pulang.Namun beruntung sekali memang si tepos ini. Ketika melongok ke arah rumahnya, motor Muda sudah terparkir di sana. Dia pulang!Eh, kak. ke mana dari tadi? Muda tampak terkejut pada kehadiran kakaknya yang masuk tanpa berucap salam. Sudah biasa jika Diana tak memiliki sopan.Mengernyit, Diana mengangguk pelan. Adiknya tak sendiri, melainkan tengah berduaan dengan Irish, calon istri Muda yang duduk anggun di sofa tunggal setelah tadi meloncat dari sofa panjang, ketika Diana masuk ke rumah tanpa suara. Gadis yang usianya baru memasuki dua puluh dua tahun itu tersenyum malu-malu minta ditinju.Tadi tak memiliki malu saat berdekatan dengan Muda, menempel-nempel seperti lem alteco. Heran. Kenapa anak perempuan jaman sekarang, dipegang terlalu intim dengan lelaki yang bukan pasangan sahnya biasa saja. Diana saja masih merasa risih. Ya ... walau tadi saat tangannya dipegang oleh tetangga sebelah tubuhnya mendadak merinding disko. Tapi kesal dan memalukan juga. Eh tapi lagi, kan hanya pegangan tangan. Ngga usah gatal nya, kelen!Lalu melangkah cepat menuju anak tangga, meninggalkan Muda yang cengengesan, dan Irish yang langsung menunduk malu. Ngga usah kau dengar kak Di. Irinya dia sama kita.NGGA ADA NYA AKU IRI SAMA KELAKUAN MESUM KALIAN, BODAT!Eh, Diana dengar rupanya.*Baper itu seperti sebuah penyakit berbahaya untuk para jomblowan dan jomblowati yang tak memiliki tameng tebal untuk menjaga hati agar tak patah hati. Karena efek baper bisa membuat tubuh gemetar, dada sesak, mulut tergagu, tak sanggup berucap, atau malah bersikap salah tingkah, dan sok malu-malu tai kucing! Tapi itu tak berlaku untuk Diana yang sudah terlalu banyak memakan manis, asam, asinnya sebuah harapan palsu dari para pria yang sekadar memberikan harapan tanpa iming-iming kepastian.Baper boleh. Bodoh jangan.Baper tak masalah. Namun kalau itu bisa membuat dirinya kemudian jatuh cinta, atau berusaha mendapatkan hak penuh atas perhatian si pria yang sekadar memberi perhatian, kadang tak bermaksud lain, hanya karena ingin berbagi kebaikan seperti tetangga sebelah pada Diana tadi. Oh ... jangan.Diana melayang pada kebaikan Devan padanya. Pria itu tulus. Tapi selain karena memang pria itu dokter yang jiwanya sudah menyatu dengan profesi yang bertugas untuk menolong manusia, Devan baik padanya, juga karena Diana adalah tetangga. Hanya itu. Tak lebih.Jadi setelah tadi ia dibuat dag dig dug oleh kelakuan si dokter sebelah, Diana kini tak merasakan hal lain, selain rasa malunya karena harus dipergoki tengah menstruasi oleh seorang pria yang kemudian menyodorkan bantuan dan dia seperti tak tahu diri malah menumpang mandi, cuci baju, lalu tidur, dan setelahnya pergi begitu saja.Iya. Diana seperti kehilangan muka, bahkan tak tahu harus bertingkah seperti apa jika bertemu si tetangga sebelah. Duh ... pulang ke rumah, niatnya istirahat, si Diana malah memikirkan apa yang harus ia lakukan jika bertemu Devan yang tak mungkin ia hindari jika menampakan diri di balkon kamar pria itu.Bersikap biasa saja? Tapi kok susah, ya? Mengingat apa yang terjadi tadi siang, bukan hal yang bisa dilupakan hanya dengan satu kalimat ; Lupakan itu Diana!Tidak semudah itu Ferguso!Di! Mana kau, Di?Sedang duduk di sisi ranjang, Diana mendongak mendapati ibunya berdiri di pintu sebelum memberondong masuk dengan ekspresi begitu antusias. Tiar duduk di samping sang putri dengan sepasang mata mengerjap penuh sinar laser. Soalnya, tatapan mengharap Tiar seperti tatapan membunuh bagi Diana.Kau pacaran nya sama Devan? Iya nya? Ngga ada kau cerita sama mamak?! Udah main rahasia-rahasiaan rupanya kau, ya?!Diana mencebik, sebelum kemudian meletakkan punggung tangan di kening sang ibu sebelum ia letakan di bawah bokongnya. Suhu mamak, normal?!Kau pikir mamakmu, sakit?! Tiar mengambil bantal, dan memukulkan di kepala Diana yang sontak berteriak. Mamak serius! Kau pacaran sama orang sebelah?Diana melihat ibunya sudah persis seperti pembawa acara gosip Astrid Tiar. Bersemangat untuk meng-ghibah. Tapi tak masuk akalnya adalah Tiar menggosipi anaknya sendiri.Mak.Pacaran? Senyum Tiar sudah seperti senyum lebar boneka Annabell. Ck! Apa lah mamak, ni! mamak tengok kami pacaran, ngga?Kau yang pacaran! Nanya kau sama mamak?!Ck! Ngga ada yang pacaran, mak! Itu si Kamisol aja yang mulutnya lebar!Tiar meremas gemas bibir putrinya yang segera mengomel pelan. Kamli! Pak RT! Mantan kau!Kamli, si pak RT yang Diana sebut ember, menyebarkan gosip sialan, memang mantan pacarnya. Pria itu berusia tiga puluh dua tahun, ketika dulu berpacaran dengan Diana yang masih belia. Dua puluh tahun. Jadian ketika Diana liburan semester. Tapi usia pacaran mereka tak panjang, karena selain alasannya Diana jauh, di Jakarta, dan Kamli tak sanggup LDR. Kamli ingin dinikahkan oleh perempuan yang kata orangtua Kamli lebih dewasa, dan sesuai oleh pria itu.Perbedaan usia dua belas tahun di antara mereka menjadi hambatan. Meski bagi Tiar dan Suryo tak masalah. Tapi namanya tak jodoh. Mau bagaimana? Toh meski dulu Diana sempat bersedih, karena Kamli menurutnya lelaki baik, dan memiliki selera humor yang sama seperti dirinya, kini Diana merasa jika takdir Tuhan lebih indah. Untung dia tak menikah dengan Kamli.Sekarang di usia empat puluh dua tahun, Kamli si pak RT sudah seperti pria berusia lima puluh tahun, dengan sebagian rambut memutih. Lah, Diana masih kinyis-kinyis, seperti gadis belia yang manis. Dalam mimpi Diana. Tapi tak masalah. Diana memang jauh lebih muda dibanding teman seusianya, yang sudah menikah.Ya ... mungkin teman-temannya sudah tak memiliki waktu untuk merawat diri, karena selain menjaga anak, juga ada suami yang sebenarnya untuk urusan makan bisa ambil sendiri. Tapi karena merasa memberi nafkah yang menurut Diana tak seberapa, tak sewajarnya para beberapa suami itu memperlakukan istri seperti babu.Sedang Diana, seluruh waktunya ia habiskan untuk dirinya sendiri. Tak bagi-bagi. Lalu jika nanti ia menikah, ia hanya menginginkan satu hal dari suaminya. Hargai dirinya sebagai seorang istri, bukan babu atau sekadar mesin pencetak anak. Dan dia berjanji akan memperlakukan suaminya sebagai kepala rumah tangga, tak sekadar penghasil uang.Tapi sayang, janji itu belum tahu bermuara pada siapa. Duh ... jodoh. Mengapa seperti barang antik yang sulit didapat, sih? Eksklusif.Diana kembali pada ibunya yang masih setia menanti jawaban. Mak. Tadi, kami ngga sengaja barengan ke tempat Ziena. Terus temu nya sama pak RT. Ngga ada angin ngga ada hujan. dia bilang kami pacaran. Mulutnya Kamisol kan kek ember pecah, mak. Meleber lah ke mana-mana itu gosip yang dibikin sendiri. Lah Diana males nggubris, bang Devan juga mungkin ngga mau peduli. Dilayan malah lebar nanti gosipnya. Ya diemin aja, lah!Lalu Tiar diam, menatap putrinya dengan bibir menganga. Jadi ngga ada pacaran? tanyanya kemudian.Ngga ada! Udah, ngga usah ngarep tinggi-tinggi. Orang sebelah juga ngga ada mau sama Diana! Tukang Laundry nya, Diana. Bukan bidan, perawat, polisi, apalagi dokter!Tiar mengerjap heran. Heran nya, mamak. Kau mamak kuliahin sampai S2 biar kau bisa dapat laki-laki yang sepadan. Balik kampung, malah ngga ada yang mau sama kau! Katanya takut, Sinamotnya mahal! Takut ngga sepadan. Nanti kau melawan sama laki kau, karena pendidikan kau sama gaji kau lebih besar. Lah, ada dokter, kaya, dibilangnya kau ngga sepadan! Ngga cuma kau yang bilang! Wak Uli-mu tadi juga bilang gitu. Ada lagi orang yang bilang gitu. Cantiknya anak mamak. Tiar menjepit dagu Diana, lalu sedikit mengangkatnya ke atas.Pintar, pandai cari duit. Sepasang mata Tiar berkaca. Diana benci, ketika ibunya harus mempedulikan omongan orang tentang dirinya. Dan bodohnya ia juga merendahkan dirinya di hadapan sang ibu. Ck! Bengak kali lah yang bilang anak mamak ngga sepadan. Namun kemudian Tiar memukul kepala Diana, namun pelan. Tak keras seperti biasanya, hingga membuat Diana mendesis kesakitan. Kau juga! Kau sepadan sama siapapun! Cuma laki-laki bengak yang ngga sepadan sama kau! Udahlah! Pening palakku.Tiar berdiri, dan segera meninggalkan Diana yang terpaku, menatap pintu nanar. Ibunya akan menangis diam-diam setelah ini. Dan Diana pasti akan melakukan hal yang sama.Ini bukan tentang dirinya yang tak kunjung menikah dan menjadi omongan para tetangga. Namun tangis orangtuanya yang seolah takut, jika dirinya kelak akan tua sendirian tanpa siapapun yang mendampingi.Berdiri, mengambil ponsel yang sedang ia isi dayanya di atas nakas. Diana berlalu menuju balkon, dan duduk di ayunan gantung, menghubungi seseorang sambil menahan isaknya. Diana menunduk, untuk berjaga-jaga jika tetangga sebelah keluar. Dia tak ingin siapapun memergoki kondisi malangnya, selain... Tama? Sibuknya, kau?Dari seberang, suara batuk pria terdengar. Ngga! Kenapa, kau? Parau suara, kau. Sakit?Diana menggeleng, mulai menghapus air mata yang bercucuran. Bingung aku, Tam. Bantu aku lah.Bingung? Kenapa? Kau nangis, Di? Jangan nangis, lah! Makin jelek kau nanti!Tertawa, di sela tangis yang tak mampu ia reda. Diana mengatur napasnya. Mau balik ke Jakarta aja lah aku, Tam. Pusing aku kalau mamak sama bapakku ikut mikir jodohku. Sedih aku lihatnya, Tam.Masalah nikah lagi?! Ya ampun! Orangtua nya, Di. Udah biasa gitu.Diana menggeleng. Tak peduli jika gerakan kepalanya tak dapat Tama lihat. Lalu membersit hidung yang sudah mampet karena menangis. Tapi ngga kuat lama-lama nya, Tam.Kau bilang mau jaga mamak bapak kau, di sana. Terus mau balik ke sini? Ngga kasian?Kali ini Diana diam. Tujuannya pulang kembali ke kampung halaman adalah untuk menjaga kedua orangtua yang telah renta, karena mengandalkan Lella yang kadang masih merepotkan orangtuanya jelas tak mungkin. Apalagi Muda, yang membuat segelas kopi saja tak bisa. Nanti kalau Suryo sakit, dan Tiar kelelahan, siapa yang membuatkan teh ayah dan ibunya? Kalau jarak kita sekadar diukur sama KM, Di. Udah aku nikahi kau dari dulu. Tapi kau ucap salam pakai Assalamualaikum, aku Shalom. Kau Alhamdulillah, aku Puji Tuhan. Jauh kali jaraknya, Di. Ngga bisa aku jangkau sama kaki, pun lamborghini.Diana tersenyum, di sela-sela tangis yang kian menjadi. Tama. Ia pernah jatuh cinta pada pria itu ketika dirinya memasuki dunia kerja di usia dua puluh tiga tahun. Saat itu, Tama adalah teman kerja senior yang membimbing dirinya.Bahkan ketika ia pindah tempat kerja, pria itu masih mendampinginya, mengajarinya banyak hal. Ketika ia pikir jika kebaikan pria itu karena mereka berasal dari tanah yang sama, Medan. Pria itu malah menyatakan cinta.Diana membalasnya. Karena terlalu munafik jika tak mengakui apa yang hatinya rasakan pada pria itu. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka memilih mengubah status di antaranya menjadi sekadar teman. Ah tidak ... persahabatan. Tak lebih. Karena ketika mereka berjalan bersama ke tempat ibadah mereka masing-masing, saat itu mereka sadar. Semakin jauh kaki mereka melangkah bersama, semakin dalam pula luka yang akan mereka terima.Ini hanya sekadar cinta sesama manusia. Mana mungkin, demi ego agar bisa bersama, mereka khianati keyakinan mereka, ia khianati Tuhan mereka?Uluh uluh, manis kali lah bibirku. Di seberang sana, Tama tertawa. Dag dig dug kah hatimu wahai Diana-Diana?Diana ikut tertawa, sambil menghapus air matanya. Iya. Manis kali, sampai diabetes aku dibuatnya.Udah berhenti nangis, kau? Udahlah. Ngga usah kau mikir kawin! Kau tengok aku, masih melajang, ngga ada yang mau aku kawini! Baru kudekati saja mereka lari!Diana tertawa, mendengar hiburan hambar dari Tama. Namun ia harus tertawa, agar Tama tak kecewa. HA HA HA! eh. Diana menutup mulut, kala ia sadar tak boleh membuat keributan jika tak ingin ditegur tetangga sebelah yang mengingatkannya lagi pada hal memalukan tadi siang.Sialan!Fake kali lah tawa kau, Di. Ngga lucu, ngga usah nya kau ketawa! Seketika Tama menjadi sewot. Pria ini memang sensitif sekali perasaannya. Dulu juga ketika mereka memilih putus, Tama yang lebih banyak menangis. Sedang Diana lebih banyak menegarkan. Wanita itu memilih menangis diam-diam agar Tama tak semakin menyesalkan kandasnya hubungan percintaan mereka.Malam ini, Tam.Terus? Udah curhatan, kau? Belum ada aku beri wejangan indahnya tadi, Di!Tidurnya tetanggaku. Kena tegur lagi nanti. Diana terkekeh pelan. Baginya sudah sangat cukup membagi sedikit kegundahan dengan bercerita meski tak ada saran yang memuaskan. Ya ... nyatanya ia memang hanya ingin didengar.Eh! Aku mau curhat juga nya, Di! Tadi siang ak—Udahlah. Besok kau lanjut curhatnya. Aku mau tidur. Capek nya aku gara-gara ulah Muda sama si Daus sialan. Babay kekasih gelapku.Diana langsung mematikan panggilan, masa bodoh dengan rentetan pesan berisi makian yang akan Tama kirimkan padanya sebentar lagi.Klek!Bunyi pintu terbuka, seketika seperti sebuah vonis mati bagi Diana yang segera mendongak dan tersenyum kikuk melihat sosok Devan di depannya. Eh, bang? Maaf. Ganggu, ya?Diam, menatap Diana seperti menatap korban yang tak berdaya di bawah kuasa pria kejam, hingga wanita itu duduk gelisah dibuatnya, Devan menggeleng dan menghela napas pendek sebelum duduk di kursi sudut balkon.Diana yang sempat salah tingkah langsung mengernyit keheranan. Tumben pria di seberang sana tak menegurnya? Biasanya akan mengatakan; Bisa tolong diam?Diana terkikik merasa lucu sendiri. Kenapa sih, dia bisa merasa begitu takut jika pria pemilik balkon kamar sebelah keluar dan menegurnya. Ya ampun, pasti bagi pria itu dirinya amat sangat mengganggu.    Part Delapan  Dulu, sebelum dirinya diboyong ke Provinsi Sumatera Utara, Devan tinggal bersama kakek dan neneknya di Jakarta. Orangtua kedua yang mengasuhnya, merawatnya tanpa pamrih, di saat Ima harus menemani Tommi, suaminya bekerja ke luar kota. Namun, kejadian buruk menimpa Devan kala itu.Harusnya hari itu menjadi hari yang menyenangkan ketika ia bersama kakek dan neneknya menjemput sang ibu di bandara. Harusnya dia bahagia bisa menarik paksa sang ibu masuk ke sebuah toko mainan, dan memborong berbagai mainan yang ia inginkan. Harusnya. Namun, semua tak seperti yang ia terka ketika sebuah mobil sedan menabrak mobil yang dikenderai sang kakek, dan mencederai mereka yang ada di dalamnya. Devan, dan neneknya turut menjadi korban. Namun, entah karena dirinya ada di belakang, tak terkena hantaman langsung mobil sedan yang menabrak dari arah depan atau memang dirinya sedang berada dalam keberuntungan. Luka di tubuhnya hanya berupa goresan. Tapi tidak dengan kakek, neneknya, orangtua sang ibu yang harus meregang nyawa di depannya.Pertama sang nenek, meninggal ketika sedang berada di perjalanan menuju rumah sakit. Dan kakeknya ... tak mendapatkan perawatan yang optimal ketika dibawa di UGD dan ditangani dokter yang terlihat kelelahan hari itu. Mungkin sudah begitu banyak pasien yang ditangani, hingga dia tampak lamban mengambil tindakan sebagai pertolongan utama.Ia ingat, ketika dokter itu berteriak kepada seorang perawat, ketika darah segar keluar dari mulut kakeknya. Anak kecil berusia sepuluh tahun, hari itu hanya bisa melihat dan menangis, tanpa sang ibu yang masih menunggu di bandara, dan berpikir jika mereka telat menjemput karena macet.Melihat bagaimana raut bingung dokter yang menangani sang kakek kala itu, juga kepanikan yang semestinya tak muncul di saat yang begitu genting, Devan bertekad jika ia akan menjadi seorang dokter yang bisa menyelamatkan pasien dengan mengerahkan semua kemampuan terbaiknya. Ia harus bisa mengontrol emosi, agar pasien yang menaruh harapan di tangannya, tak menerima tangis keluarga yang menanti kabar baik dari pasien yang ditangani.Namun, setelah lima tahun ia menjadi dokter IGD, Devan kemudian paham jika dokter adalah manusia yang kadang tak mampu mengontrol emosinya ketika mendapatkan tekanan bukan sekadar dari kewajibannya yang harus menyelamatkan pasien, namun juga keluarga pasien, dan kondisi fisik yang kadang telah terlampau lelah.Hari ini, ia bahkan baru akan menyeruput tehnya, kala seorang perawat datang dan mengatakan ada pasien sesak napas. Bergegas, melupakan jika seharian perutnya belum terisi dengan secuil makananpun, Devan segera menemui pasien dan melakukan pemeriksaan.Selesai menangani pasien sesak napas karena alergi selai kacang, Devan yang baru menelan satu suap makan siang yang baru bisa ia nikmati di sore hari, perawat datang dan mengatakan jika ada pasien kecelakaan.Dia belum menghabiskan makanannya, ketika harus melakukan operasi pada pasien yang mengalami luka parah pada area perut yang bisa mengancam jiwa jika tidak segera ditangani. Devan lelah. Ketika ia baru keluar dari ruang operasi, dan seorang perawat mengatakan jika pasiennya, wanita berusia dua puluh tahun yang baru saja menjalani operasi usus buntu enggan meminum obat jika bukan dirinya yang menemani.Devan mengurut kening. Mengangkat tangan, pria itu menyerah pada kondisi tubuhnya yang butuh istirahat. Bisa ditunda sebentar? Saya mau makan. Sebentar saja, katanya lalu segera pergi menuju ruangan.Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis ilmu bedah, Devan tak menyesal kala ia memutuskan untuk menjadi dokter IGD saja. Di sana, jauh lebih membutuhkan dokter yang kompeten, karena menangani pasien yang berada dalam keadaan gawat darurat, dokter IGD harus memiliki pemahaman yang lebih jauh jangkauannya dari sekadar dokter umum biasa.Namun terkadang ia merasa lelah, dan ingin menyerah, ketika menjadi dokter IGD, ia dipaksa untuk memiliki kesigapan, bukan hanya gerak, namun kecepatan berpikir, juga ketenangan di antara kepanikan pasien maupun keluarga pasien.Terlalu sering menyaksikan pasien yang meregang nyawa sebelum berhasil ditangani, dan dengan seluruh rasa empatinya, Devan harus bisa menjelaskan pada keluarga pasien tentang kondisi pasien, dan siap menerima makian jika keluarga yang ditinggalkan merasa kematian pasien merupakan kesalahannya, meskipun tidak. Namun, seperti dirinya dulu yang pernah menyalahkan dokter UGD yang menurutnya tak sigap dalam menangani sang kakek hingga akhirnya harus meregang nyawa, Devan harus paham, jika keluarga pasien kini seperti dirinya dulu yang tengah berada dalam keadaan duka dan mencari pelampiasan untuk semua rasa tak terimanya, menerima kepergian orang tercinta.Devan pernah lelah. Namun ketika ia ingat untuk sampai di tahap ini dia melakukan berbagai perjuangan, termasuk kehilangan seorang kekasih yang katanya memilih pria lain karena ia begitu sibuk mewujudkan impian, Devan berdiri lagi, dan mempertahankan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Menolong tanpa pamrih. Menolong tanpa batas.Tok tok tok!Dan Devan yang baru saja keluar dari kamar mandi menyelesaikan hajatnya langsung menghela napas pelan, namun tak menggerutu melainkan tersenyum senang. Setidaknya pintu ruangannya tak diketuk ketika ia masih berada di kamar mandi. Ingat! Kecepatan merupakan hal penting yang harus dimiliki dokter IGD, tak peduli dirinya sedang berada di kamar mandi, melakukan apapun yang bisa dilakukan di ruangan kecil itu. Keselamatan pasien adalah nomor satu.Devan membuka pintu dan yang ia temukan adalah senyuman lebar Arum yang kemudian mengangkat sebuah bungkusan. Taraaa! Katanya kamu lagi sibuk banget, ya? Aku tuh harusnya udah pulang dari tadi, tapi dompet aku ketinggalan. Dan pas balik perawat bilang kamu lagi dapet ujian. Arum tersenyum lagi, memamerkan jajaran gigi putihnya yang kian menyempurnakan kecantikannya. Aku beliin ayam di kantin.Kedekatannya dengan Devan beberapa bulan ini, wanita itu sambut dengan baik, meski ia tak tahu ke mana hubungan ini akan bermuara. Namun apapun tujuan Devan mendekatinya, entah karena suka dirinya, atau sekadar ingin mempererat hubungan pertemanan, Arum senang bisa mengenal sosok Devan lebih dalam.Belum begitu paham memang, karena Devan adalah seseorang yang irit berbicara, dan terlalu tertutup karena jarang membicarakan hal yang begitu pribadi seperti keluarga, atau orang terdekatnya. Tapi Arum sedikit tahu jika Devan adalah pria baik yang tak tegaan.Jangan pernah mengatakan pada Devan jika sedang dalam keadaan susah, seperti sakit atau telilit hutang. Tanpa banyak bicara, pria itu akan memberikan bantuan sebisa mungkin. Ya ... Arum baru tahu hal itu ketika dirinya dan Devan kian dekat akhir-akhir ini. Sedangkan dulu, ia hanya sekadar teman satu profesi di tempat yang sama. Memang ia sering mengajak Devan ke kantin bersama, namun hanya sebatas itu. Dan selebihnya, yang ia dengar dari orang di sekelilingnya, Devan pria tak peka, yang sangat jarang bergabung dengan teman seprofesinya, dan tak suka membuang waktu dengan berkumpul di luar rumah sakit, di waktu kosong.Namun anggapan itu salah. Bahkan kata orang Devan adalah pria yang pelit memberi tumpangan, nyatanya pria itu rela mengantarkannya pulang waktu itu. Tak hanya sekali, malah berulang kali. Dan Devan juga tak segan turun dari mobil untuk memayunginya, ketika langit tengah menangis.Aku pikir ada pasien lagi. Masuklah. Pria itu memberi ruang untuk Arum yang segera masuk dan duduk di sofa sudut.Ngga. Di depan longgar! Bisa istirahat kamu, jawab Arum yang menyodorkan bungkusan pada Devan yang duduk di kursi lain di sampingnya. Ada jadwal piket malam ini?Devan menggeleng. Ngga ada. Besok. Pria itu membuka bungkusan pemberian Arum dan memakan ayam goreng yang ada di dalamnya. Kamu ngga pulang?Arum mengerucutkan bibirnya. Ngusir, nih?Seketika, Devan mengernyit. Maksudnya? tanyanya tak mengerti.Ck! Arum bersedekap, pura-pura kesal. Kamu nanyain aku ngga pulang. Itu artinya ngusir?Ohh. Devan segera mengangguk mengerti, seolah ia tak memiliki masalah pada tuduhan Arum barusan. Aku ngga tau kalau pertanyaanku tadi kalimat pengusiran. Tak melihat pelototan Arum yang gemas pada kepolosan dirinya, pria itu melirik jam dinding yang berada di atas pintu. Aku harus pulang. Kamu masih mau di sini?Sontak, mata Arum berputar dibuatnya. Ya kalau kamu pulang ngapain aku di sini, dokter Devan?Devan segera tersenyum tanpa dosa. Kalau begitu ayo ke parkiran sama-sama. Kamu bawa mobil, kan?Arum berdecak kesal. Harusnya aku ngga bawa mobil, kalau tau pulangnya bisa bareng kamu.Lagi-lagi, Devan tersenyum tipis. Arum kini sedang berada pada tahap mengharap, sama seperti Jihan saat itu, ketika berhasil ia dekati dan terbuai dengan pendekatan yang ia lakukan. Namun sayangnya, jika dulu ia menaruh hati terlebih dahulu pada mantan kekasihnya itu, kini ia sedang berada dalam tahap mencoba mencintai, namun nyatanya yang muncul hanya sekadar rasa simpati.Katanya cinta bermula dari mata, baru kemudian turun ke hati. Sudah memilih wanita yang memanjakan mata, kenapa cinta belum juga menyambangi hati? Sebenarnya, apa sih yang dirinya inginkan? Kalau begini, kapan ia membawa calon menantu untuk sang ibu?Devan pusing mendadak setiap mengingat teror sang ibu tentang menantu, pernikahan, lalu anak.*Seharian ini Diana tak henti-hentinya memaki. Afika dan Seto yang tak bersalah kena semburan api dari mulutnya yang jika sudah emosi lupa yang namanya tata krama, apalagi kosa kata bermakna positif.Ini dikarenakan Muda yang diam-diam mengambil kunci mobilnya ketika ia mandi, untuk pergi bekerja. Sementara motor butut yang suka mendadak mati milik Muda ditinggalkan, beserta sebuah tulisan, Kutitipkan kudaku ini padamu, kakak tecinta.Tercinta dari neraka. Nanti jika Diana sudah tiba di rumah, ia jamin jika Muda tak akan selamat. Sialan! Ketika ia berharap motor matic yang ia kendarai ini tak kambuh penyakitnya, di hujan yang mendadak turun dengan derasnya, motor yang rasanya ingin Diana buang ini mati.Mati total, tak bisa dinyalakan.Diana akan membunuh Muda! Terlebih ketika adiknya itu tak mengangkat telponnya. Benar-benar akan ia buat adiknya tak bisa merasakan malam pertama yang sudah Muda idam-idamkan.Seperti seorang penjahat, mata Diana berapi-api penuh dendam.Muda sialan! makinya pelan, sambil mendorong motor butut itu di tengah hujan. Ia berencana memarkirkan motor ini ke sebuah minimarket, dan biar Muda yang menjemputnya nanti. Diana malas mencari bengkel, di saat hujan begini. Kubunuh kau, Muda! Dia kesal pada adiknya yang terlalu boros menabung untuk membeli sebuah kendaraan yang tak perlu mewah, namun setidaknya bisa melindungi dari sengatan matahari maupun hujan seperti saat ini.Tapi dasar keras kepala. Bukannya menabung, gaji pria itu selalu habis untuk pacaran, rokok, dan jajan. Untung Tiar mendapatkan jatah bulanan. Jika tidak, bisa dipastikan Muda akan menyesal telah menjadi adiknya, dan anak mak Tiar.Tiit tiit!Diana segera berhenti ketika sebuah kendaraan bertipe SUV warna silver berhenti di depannya. Kening wanita itu mengernyit kala merasa kenal dengan mobil tersebut.Namun pilih acuh, Diana kembali berjalan, mendorong dengan mengikis semua rasa malu karena menjadi tontonan. Wanita kurang kerjaan mendorong motor di tengah hujan. Bukannya dibantu, malah Diana sempat melihat apa yang ia lakukan direkam seseorang.Dirinya akan dijadikan sebuah berita di instagram dengan caption ; kasihan kakak ini. Hujan-hujanan bawa motor yang dijual untuk biaya pengobatan.Mulai ... Hoax mode on!Sialnya lagi, si pengunggah dapat simpati, ucapan terima kasih, dan like juga pengikut yang banyak, sedang Diana masih di sini mendorong motor yang akan innalillahi.Diana!Ketika namanya dipanggil, wanita itu langsung mencari sumber suara dan terpaku pada sosok pria berkemeja biru langit, membawa payung dan mendekatinya.Devan ... mengapa dia harus bertemu dengan pria ini, sih? Sialnya bertemu dalam keadaan yang perlu dikasihani begini. Lagi untuk kesekian kali.Motor kamu kenapa?Pria itu memayungi Diana yang tubuhnya sudah basah kuyup.Mengerjap, merasa tak enak dihampiri begini, Diana menggeleng samar dengan bibir mencebik. Mati mendadak, bang.Terus mau kamu dorong sampai rumah? Pria itu tercengang dan terheran-heran.Ya ngga lah! Diana tertawa pelan merasa lucu pada pertanyaan pria yang baru datang dan langsung memayunginya seolah sebelum hari ini, mereka begitu akrab satu sama lain. Mau parkir ke minimarket depan. Diana menunjuk minimarket yang ia maksud. Jaraknya hanya tinggal beberapa meter lagi. Abis itu cari ojek, pulang.Kita bisa pulang sama-sama.Diana lantas menggeleng, menolak dengan senyum sopan. Ngga usah, bang. Badanku basah. Nanti mobilnya basah.Pegang payungnya, biar aku yang bawa motornya ke sana.Pria itu menyodorkan payung biru pada Diana yang terpaksa memegangnya.Beneran ngga usah, bang. Biar aku naik ojek aja nanti.Namun seolah tak menerima sebuah penolakan. Devan yang sudah memegang stang motor Muda menatap Diana tegas. Ayo.Dan seperti sapi dicucuk hidungnya. Diana menurut sambil bertanya-tanya dalam hati atas sikapnya kali ini.Kenapa dia harus menuruti Devan, sih?Dan Devan mengapa memaksanya begini? Sebentar. Dalam satu minggu ini, mengapa dirinya bisa terlibat dua kali komunikasi dengan si kulkas ini? Ya ampun!Tumben kali!Dua puluh tahun saling mengenal sebagai tetangga, baru saat acara pernikahan Zeina seminggu yang lalu dan hari ini Devan berbicaranya lebih dari satu kalimat.Bah! Perlu dapat rekor MURI ini!    Part Sembilan  Devan ingat apa yang temannya katakan dulu, ketika ia memberikan bantuan pada seorang wanita yang jatuh terjerembab ke dalam selokan kecil. Jangan terlalu baik, kalau tidak mau dianggap memberi harapan.Devan tak mengerti jelas apa maksud dari ucapan tak berguna itu. Maksudnya, jangan pernah menolong sesama, jika enggan orang tersebut berharap lebih padanya. Sungguh, Devan tak tahu mengapa opini terbelakang seperti itu masih melekat di otak beberapa manusia.Bodoh sekali manusia yang mengatakan jangan menjadi orang yang terlalu baik, apalagi pada lawan jenis. Karena akan menjadi hal yang tak baik jika dia menganggap lain kebaikanmu, atau terpesona dengan kebaikanmu, lalu mengharap padamu yang bahkan tak bisa mewujudkan harapan-harapan itu.Mengapa sebuah kebaikan harus diberi batasan, sementara tanpa batasan itu saja, banyak manusia yang melenyapkan kepedulian pada sesama.Mengapa harus memikirkan resiko ketika ingin melakukan sebuah kebaikan, jika ketidakpedulian membuat manusia tidak berguna untuk sesamanya.Devan membenci dengan opini terbelakang yang tak bisa diterima oleh logikanya. Pria itu akan membantu siapapun yang membutuhkan bantuan, dan tak perlu merasa takut jika dirinya akan menciptakan sebuah harapan. Karena sebenarnya rasa seperti itu tak akan pernah ada jika seseorang yang ia tolong bisa membedakan mana kebaikan tulus, dan mana kebaikan yang menyelipkan sebuah harapan kosong.Ya ... itu yang Devan lakukan. Memberi pertolongan pada siapapun, tanpa memikirkan dampak buruk yang akan terjadi. Karena bagi pria itu, hal positif tak pernah menciptakan negatif.Dan itulah yang ia lakukan kini. Menghentikan kendaraan kala ia melihat seorang wanita mendorong motor di tengah hujan deras. Sungguh, ia tak mengenali siapa wanita itu awalnya. Dari kejauhan ia terlampau iba pada wanita malang yang tampak kesusahan, dan dia ingin menawarkan bantuan apapun yang bisa ia lakukan.Namun ketika samar-samar sepasang netranya menangkap sosok yang nyatanya ia kenal, Devan menggeleng pelan. Entah dosa apa yang dilakukan si tetangga yang setiap berteriak membuat emosinya mendadak membludak, melenyapkan seluruh ketenangan yang menjadi identitasnya. Hingga tampak begitu malang sebanyak dua kali dalam satu minggu. Hebatnya lagi, dua kali ini dia yang turun tangan memberikan pertolongan.Eh tapi ... semenjengkelkan apapun Diana, Devan tak lantas lepas tangan jika melihat wanita itu dalam kesusahan. Tak perlu Diana. Tetangganya yang lain yang kadang terlalu suka ikut campur urusannya pun akan ia beri pertolongan jika memang membutuhkan. Dan pria itu tak perlu takut akan ada yang menaruh harapan padanya. Ya ... dia murni menolong, tanpa embel-embel ingin dikagumi.Ini bener ngga apa-apa, bang? Basah nanti mobilnya. Tampak sungkan, Diana ragu-ragu kala ingin masuk ke dalam kendaraan mewahnya.Devan yang sudah ada di balik kemudi menggeleng pelan. Masuklah, hujan makin deras.Merasa tak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya, Diana lantas hanya mengangguk saja dan menuruti si pemberi bantuan. Ya baguslah. Daripada dia pulang naik ojek atau taksi yang bisa menguras isi kantongnya. Lebih baik kan menumpang kalau ada yang memberi tumpangan.Meski dia masih bertanya-tanya akan satu hal. Mengapa harus Devan? Dari sekian banyak orang yang ia kenal, mengapa ia harus bertemu dengan tetangganya ini yang sudah dua kali mendapatkan dirinya dalam kondisi mengenaskan.Bukan apa. Hati jomblo itu lemah, jenderal! Diana takut jika kali ini tameng pertahanan dirinya dari virus baper yang berkepanjangan akan runtuh karena harus bertubi-tubi menerima kebaikan pria di sampingnya.Kenapa pulang dari arah sana? Bukannya terlalu jauh? Merasa hening, setelah beberapa detik memulai perjalanan kembali, Devan membuka suara.Dan Diana yang sudah benar-benar basah kuyup, dengan rambut yang ikatannya sudah ia lepas, kemudian disampirkan ke samping, berusaha sedikit mengeringkan, menatap Devan sebentar sebelum kembali fokus memukul-mukul pelan uraian rambut panjangnya. Tadi anter baju pelanggan, bang. Harusnya Seto. Eh tiba-tiba anaknya sakit. Kan ngga enak sama pelanggan, pasti udah ditungguin. Jadi antar sekalian. Eh malah hujan. Pikir tadi mau berhenti dulu, kan, berteduh. Tapi takutnya malah kemaleman. Motor juga ngga mau nyala-nyala.Devan lalu mengangguk-anggukan kepala mendengar jawaban panjang Diana yang komplit, hingga ia tak memiliki pertanyaan lain untuk membuat suasana di dalam mobilnya tak begitu sepi. Eh ... memangnya kenapa jika sepi? Bukankah dia sudah biasa sendiri? Pun jika ada Arum di sampingnya, dia tak perlu basa-basi menciptakan obrolan, bukan?Devan melirik Diana, yang kali ini mengusap-usap bahu, seolah mencari kehangatan. Pakaian kamu terlalu basah. Devan mengecilkan AC kendaraannya. Ada toko baju di depan, kalau kamu mau ganti.Diana lantas menggeleng. Bentar lagi nyampe, bang. Ngga apa-apa, lah. Wanita itu menyengir, menatap Devan yang hanya mengangguk, tanpa ingin mendebat. Tak ada urusan pria itu mendebat keputusan Diana.Masih mengusap-usap lengan, bahkan gigi mulai bergemelatuk kedinginan, Diana menatap Devan yang begitu fokus mengendalikan setir. Bang Devan di poli apa? Kok pulangnya sore?Di IGD.Kening Diana lantas mengernyit. Lah, kata mamak udah ambil spesialis, bang? Kini ia mengusap pahanya, yang juga meminta kehangatan. Duh ... bisa hipotermia jika begini. Duh, lebay sekali Diana.Iya. Tapi tetap di IGD.Tak menatap Devan karena Diana terlalu fokus mengusap lengan dan pahanya bergantian, wanita itu berdecak kagum. Waw. Bagus dong pelayanannya kalau ditangani langsung dokter spesialis. Tapi memang rumah sakitnya bagus sih, ya? Tapi mahal. Wanita itu terkekeh sendiri. Tapi seimbang sih kalau pelayanannya memuaskan.Heem. Devan melirik Diana yang tampak sibuk memberi kehangatan pada tubuh yang dibalut pakaian basah. Pria itu menggeleng pelan. Tidak masalah kalau kamu mau—macet. Pria itu memperlambat kendaraan sebelum menghentikannya.Ha? Diana lantas mendongak, melihat ke depan dan langsung mendesah kesal melihat jajaran kendaraan yang berhenti di depannya. Tumben kali jalan sini macet. Ya Allah. Dia bisa mati kedinginan kalau begini.Tadi hipotermia, sekarang mati. Belum kawin nya kau, Di.Devan tak hiraukan ocehan Diana karena ia sibuk menoleh ke kiri, mencoba mencari jalan alternatif untuk bisa keluar dari kemacetan. Pria itu lalu menurunkan kaca jendela dan bertanya pada pengendara motor di sebelahnya. Macet kenapa, pak? tanyanya sedang Diana hanya memperhatikan saja.Ngga tau jugak, awak! Lalu pria yang Devan tanyai bertanya pada pengendara lain, sebelum kemudian kembali pada Devan yang masih menanti jawaban. Pohon tumbang katanya, bang. CK ah! Putar balik lah awak!Sedang Devan mengangguk saja, sebelum kembali menutup pintu jendela. Ia tatap lagi Diana yang bibirnya sudah membiru kedinginan. Pohon tumbang.Oh! pohon yang di depan sana nya, bang? Memang ngeri kali itu pohonnya.Mungkin. Pria itu menoleh ke belakang, melepas sabuk pengaman untuk mengambil tasnya dan mengambil sesuatu dari dalam benda itu. Kamu bisa pakai ini dulu.Sebuah kaos berlengan pendek ia serahkan pada Diana yang langsung saja menggeleng, merasa sungkan. Ngga usah, bang. Biar lah, bentar lagi jugak udah beres itu.Namun sebentar lagi yang Diana tunggu tak kunjung tiba. Wanita itu semakin kedinginan, bahkan berulang kali ia memastikan jika ac mobil yang memberinya bantuan sudah pria itu kecilkan. Tahu begini, tadi dia naik ojek saja. Sudah sampai dia di rumah. Sudah golek-golek manja aku di kasur, mak!Aku rasa pakaian basah tidak terlalu bagus. Masih terjebak macet, dan tak memiliki celah untuk mencari jalan alternatif, Devan menyodorkan lagi kaosnya.Diana langsung saja menatap gugup ke depan sambil meremas kencang kancing di bagian dada. Ngga usah—Kamu ganti di belakang. Paling belakang. Devan memiringkan spion di atas nya ke arah kiri. Tidak akan ada yang melihat.Kian merasa malu dan dalam hati memaki diri sendiri yang tadi sok menolak membeli baju, mau tak mau, Diana mengambil kaos dari tangan Devan. Aku tidak punya celana.Diana langsung melotot tajam penuh kecurigaan. Sepertinya tetangganya ini ingin mengambil kesempatan. Namun paham pada tatapan Diana, Devan tak bisa untuk tak memutar bola matanya. Aku cuma punya sarung. Aku letakkan di kursi paling belakang.Langsung saja Diana menghela napas lega. Makasih, bang.Heem. Dia menunjuk ke arah belakang tanpa menoleh. Lewat sini saja.Dan Diana mengangguk, menurut lagi. Tujuan pria ini kan baik, mengapa harus ditolak, kan?*Untuk ke sekian kali, Diana mempermalukan diri di hadapan tetangganya ini ketika ia kembali ke kursi samping kemudi dengan kaos yang sedikit kebesaran, dan sebuah sarung yang menutupi hingga mata kaki.Menyudut ke pinggir, Diana mendekap erat bagian dadanya yang malah tercetak jelas karena kaos tipis milik Devan basah oleh bra yang tak ia lepas. Kaos putih yang Devan pinjamkan terlalu kontras dengan warna merah bra yang ia kenakan. Jadi wanita itu hanya berharap Devan tak melihat cetakan warna dalaman yang ia kenakan. Diana yang wajahnya sudah memerah dan panas, menatap ke arah jendela, hanya diam dengan seluruh kosa kata yang hilang.Tadi saja dia tampak cerewet sekali. Kini sadar jika kondisinya kian mengenaskan, Diana minder jika harus membuka suara, mengajak Devan bicara. Pria itu juga hanya diam di tempatnya, bahkan melirik Diana saja tidak.Cetakan bra Diana yang berwarna merah menyala tertangkap oleh netranya, dan tahu jika wanita itu tengah malu, Devan memilih untuk tak memperhatikan. Tak mungkin juga dirinya melakukan hal itu, kan?Dia lelaki normal. Tak bohong soal itu. Namun dia juga cukup normal untuk tak terus menjatuhkan pandang ke arah kiri dan menebak-nebak kira-kira ukuran berapa bra yang Diana kenakan.Sialan!Sekarang dia malah memikirkannya.Yang dia tahu, Diana selama ini selalu mengenakan pakaian tertutup, dan terlihat nyaman menggunakannya. Jadi tak perlu pria itu pertanyakan jika wanita di sampingnya merasa malu kala mengenakan pakaian yang malah mencetak area pribadinya. Meski banyak wanita yang ia temui begitu percaya diri ketika mengumbar lekuk tubuh dan seolah senang jika ada yang memuji kesempurnaan tubuhnya yang dibalut pakaian mini. Minimalis.Tapi Devan tak bermaksud membuat Diana mengumbar aurat wanita itu. Dia hanya murni membantu, jadi jika terjadi hal tak nyaman seperti ini jangan salahkan kaos yang ia beri. Salahkan wanita itu yang tak melepaskan bra yang sudah basah.Sebentar. Bukankah itu malah lebih parah?Kali ini Devan berdecak samar. Mengapa pikirannya malah lari ke mana-mana?Ada polisi, ucap Diana pelan.Devan yang mulai menjalankan kendaraan karena mobil di depannya mulai bergerak, ikut melihat ke arah polisi yang mengatur lalu lintas. Pakai sabuk pengamannya, pintanya sebelum mereka kena tegur oleh polisi.Mengangguk, tangan Diana bergerak cepat untuk menarik sabuk pengaman. Kan tidak lucu yah kalau mereka kena tilang dalam kondisinya seperti ini. Sudah persis ondel-ondel betawi. Tinggal dandan menor saja, pakaiannya sudah pas. Kaos kebesaran, warna merah samar dari bra yang dikenakan dan sarung.Kian dijelaskan, kondisi Diana mengapa jadi kian menggelikan, ya?Macet sabuknya. Fokus Diana beralih pada sabuk pengaman yang berusaha ia tarik.Sekarang kedua tangannya berusaha menarik kaitan besi, namun tak ia tarik dengan kasar, takutnya malah rusak dan dia harus menggantinya.Diana bisa menangis sehari semalam. Harga mobil yang ia tumpaki ini tak murah, dan pasti harga aksesoris dan spare partnya tak murah pula. Dia bisa potong gaji Seto kalau begini.Baru ingat jika ada masalah dengan sabuk pengaman di kursi penumpang sebelahnya, Devan segera meminggirkan mobil. Sèdikit susah, memang, katanya setelah melepaskan sabung pengaman lalu mencondongkan tubuh untuk membantu Diana memasang sabuk pengamannya.Keras sekali, kata pria itu lagi yang begitu fokus pada apa yang dikerjakan hingga tak ia perhatikan ada wanita yang nyaris dihimpit tubuhnya sedang berusaha mundur mencipta celah dari Devan yang dagunya ada di depan mata Diana.Wanita itu menoleh ke kanan, kala aroma pria di depannya begitu membuai indra penciuman. Tak tahu mengapa, namun aroma keringat bercampur parfum yang pria itu kenakan membuat dirinya ingin terus menghirup seolah ada candu yang memabukan di sana.Gugup, dengan jantung yang mulai berdebub, terlalu kencang hingga Diana merasa sesak sendiri untuk mengatur napasnya. Wanita itu kian berusaha mundur, namun sandaran di belakangnya membuat ia terpojok.Diana menggigit bibir bawahnya, berusaha mengusir gelisah, namun wajah yang sudah mulai memerah karena sadar ada bagian dari tubuh itu menyentuh dadanya, juga tangan kokoh yang berpegangan sisi sandaran yang ia duduki melintang di depan wajah, pikiran wanita itu kian berkecamuk.Dug dug dug dug!Detak jantungnya kian tak terkendali, terlebih ketika ia rasakan gerakan-gerakan Devan yang berusaha menarik sabuk pengaman yang tampak ikut berkonsporasi dalam membuat virus baper dalam diri Diana berkembang biak, beranak pinak hingga susah dimatikan.Ngga usah kau mikir macam-macam, Di!Kenapa susah? Bisik Devan yang mengirimkan gelombang suara ke indra pendengaran Diana yang semakin gugup dibuatnya.Pin ... pindah ke belakang aja, bang.Ucapannya berupa cicitan yang tak begitu Devan dengar. Menoleh, ingin menanyakan lagi apa yang Diana katakan Devan malah terpaku saat melihat wajah Diana dari samping yang sudah memerah dengan mata mengerjap gelisah.Tak pernah ia perhatikan selama ini jika Diana memiliki bulu mata yang panjang, menghiasi sepasang mata wanita itu yang sedikit bulat.Tanpa sadar Devan membasahi bibirnya kala menatap bibir merah Diana yang digigit gelisah oleh gigi-gigi wanita itu.Jangan menggigit bibir.Ha?Diana langsung memperhatikan Devan dan sepasang mata yang begitu dekat dengan sorot milik Devan menangkap kerjapan terkejut pria itu.Sudah. Devan melihat pada sabuk pengaman yang tiba-tiba bisa dirinya tarik. Aneh.Menarik dan mengenakannya pada Diana, pria itu segera kembali ke kursinya, menahan gejolak di dada sambil berharap jika Diana tak mendengar apa yang dirinya ucapkan.Bodoh! Mengapa dia harus mengucapkan hal seperti tadi. Bagaimana jika Diana jadi salah sangka?Sialan! Bibir Diana terlalu merah dan....Devan tak ingin memikirkan jika apa yang ia lihat tadi begitu menggoda.Devan yang semburat merah mulai menghiasi wajahnya mengurut pelipis sebelum kembali melajukan kendaraan sambil mengatur napas yang rasanya tak bisa mengantar oksigen dengan sempurna ke paru-paru. Dia harus segera sampai ke rumah.Pun dengan Diana yang kini memilih memeluk dirinya sambil menatap tanpa suara ke arah samping kiri, berharap pengalihannya ini bisa menghentikan otak yang terus memutar ucapan Devan tadi.Jangan menggigit bibir.Sialan! Mengapa tiga kata itu harus terdengar begitu erotis di telinga Diana.Ya ampun! Cepatlah ia tiba di rumah.   Part Sepuluh  Tiada satupun dari mereka saling membuka suara, tak peduli jika hening membuat keduanya kian terasa asing. Senyap yang diharap bisa mencipta tenang pada jantung keduanya yang berdentam, berirama, mengganggu saluran pernapasan, namun nyatanya, kian menempatkan mereka pada perasaan tak tentu arah.Diana gelisah di tempatnya, berusaha mengusir tiga kalimat yang keluar dari bibir Devan tadi, dan sialnya harus ia dengar dan ingat-ingat tanpa henti, sedang Devan masih menerka-nerka apakah Diana mendengar titah bodoh yang ia lontarkan tadi, mulai memikirkan apakah Diana bisa melupakan semuanya, jika memang benar wanita itu mendengarnya.Setan membuatnya nyaris tersesat ke labirin tak masuk akal, kala netra menatap bibir merah wanita di sampingnya digigit-gigit seolah sengaja menggoda. Meski ia tahu Diana tak mungkin bertujuan seperti itu.Dua puluh tahun bertetangga, dan sekitar lima belas tahun kamar mereka bersebelahan, tak pernah sekalipun Diana menggoda dirinya seperti beberapa gadis tetangga yang lain, termasuk Lella adik wanita itu.Diana yang ia kenal selalu membuat bising tak peduli pagi, siang, malam bahkan menganggap dirinya mahluk tak kasat mata. Di mana baru akan menyadari jika ada dirinya di sebelah balkon Diana, ketika ia keluar dan meminta wanita itu untuk mengecilkan suara.Tetangganya yang satu ini terlihat lebih tergoda dengan pak RT, dulu ketika pak RT yang bernama Kamli itu belum menikah, dibanding dirinya yang jika dilihat dari manapun lebih unggul.Jadi gagasan jika Diana berniat menggodanya barusan jelas tak mungkin. Tapi ... dia nyaris tergoda dan sialnya harus kebablasan dengan mengucapkan kalimat yang tak harus diucapkan.Apa yang ia lakukan? Bagaimana jika wanita itu menyalahartikan maksud ucapannya?Mencoba menepis semua perasaan gelisah, Devan mengulas senyum kala ia sudah membelokan kendaraan ke jalan menuju tempat tinggalnya. Sebentar lagi mereka akan terbebas dari suasana menjebak ini.Berhenti, tanpa bertanya pada Diana apakah ingin mampir, atau segera pulang, Devan turun, lalu dengan payung birunya ia berjalan menerobos hujan untuk membuka pintu gerbang. Memanfaatkan keadaan, Diana yang untuk beberapa saat berubah menjadi batu langsung meloncat turun.Bang! Makasih tumpangannya, bajunya besok aku balikin. Seperti anak lelaki baru sunat, Diana menenteng tas dan sebuah plastik hitam berisi pakaian basahnya, menggenggam sarung bagian depan dan mengangkatnya agar mempermudah gerak kakinya untuk berlari ke rumah.Di tempatnya Devan diam, melongo menatap Diana yang berlari tungang langgang, seperti menghindari setan. Pasti setan bagi Diana adalah dirinya.Devan berdecak kesal. Bodoh! katanya untuk ke sekian kali, namun sekarang ia ucapkan langsung sambil menepuk kening. Sekarang, ia tak tahu harus bersikap seperti apa jika bertemu dengan Diana.Devan memiliki rasa malu. Ya ... dia memang pria. Namun sampai detik ini dia masih manusia yang mempunyai rasa. Termasuk malu.*Ada Muda dan kedua orangtuanya yang tumben sekali duduk bersama di depan TV dan mendengar salamnya, mereka semua serentak melempar tatapan pada Diana yang datang sudah seperti badut Ancol sarungan.Bah! Napa kau, kak?! Seperti baru melihat boneka Voodo disarungi, Muda tertawa terpingkal sedang Tiar menggeleng kepala dan Suryo mengerjap tak percaya jika yang ia lihat tadi adalah putrinya.Diam kau! Diana berteriak sambil menapaki setiap anak tangga. Dia tak berniat berhenti menegur orangtuanya lebih dulu, jika tak ingin mendapatkan pertanyaan yang tak bisa ia jawab, perihal pakaian yang ia kenakan.Biarkan Diana membersihkan diri dan otak yang masih saja mengulang kalimat bermakna ambigu yang Devan ucapkan tadi, baru ia turun dan menjelaskan pada kedua orangtuanya, pun jika dirinya ditanya. Jika tidak, ya lupakan.Kak! Kau ngga pulang sama motorku! Mana motorku, kak!Dari luar pintu kamar suara Muda berteriak panik. Diana yang tengah melucuti pakaian yang menempel ditubuhnya menatap pintu sinis, seolah itu adalah adiknya yang perlu dieksekusi mati. Kujual!Yang benar sajalah kau kak! Mana, kak? Ngga kerja nya aku besok!BODO!Diana masuk ke kamar mandi, dan ia jadikan suara panggilan Muda sebagai lagu pengiring ritual membersihkan diri.Tak pantang menyerah juga ternyata Muda. Masih mengetuk pintu kamar kakaknya, hingga Diana yang masih menggunakan handuk bermodel kimono dan handuk di kepala membuka pintu sambil menatap kesal pada Muda. Kak! Mana kau sembunyikan kuda gantengku, kak! Ish, lah! Jangan becanda lah kak! Ngga ada uang lagi aku buat belinya nanti. Muda bersungut-sungut kesal. Dia benar-benar takut dengan ucapan Diana tadi, karena pasalnya Diana dulu pernah melakukan hal yang sama.Ketika dia SMA dia meletakkan sepedanya ke sembarang tempat. Malangnya Diana yang menemukan benda beroda dua tanpa mesin di pinggir jalan depan rumah. Tanpa banyak pikir Diana membawanya pergi ke pasar dan dijual. Uang hasil penjualan sepeda dibelikan pulsa dan bedak.Kakaknya itu memang tak main-main kalau soal bertindak sadis. Jadi jika Diana mengatakan jual, maka akan benar-benar wanita itu jual. Dan jangan berharap akan Diana ganti uangnya.Bersedekap menatap Muda marah, Diana lantas menendang kaki adiknya yang langsung melolong sakit.Kak!Kau ambil mobilku, kau kasih aku motor rusak! Pulang kehujanan nya aku cuma gara-gara motor bobrok kau itu!Ya maap! Irish minta jemput nya tadi. Ngga tega aku kalau jemput pakai motor.Ngga usah kau banyak tingkah, ya?! Ngga ada mobil belagak kaya, kau! Mana kunciku dulu!Dengan raut kesal, Muda menyerahkan kunci mobil Diana yang ia simpan di kantong celana. Motorku!Kau cari di parkiran alfamart ujung jalur sebelum lampu merah ke arah rumah sakit.He? Mana pula itu?Diana mengedikan bahu, lalu sambil berkata ia menutup pintu. Kau doa sajalah, motor kau masih ada di sana!Pintu kamar langsung tertutup di depan wajah Muda yang melongo bingung. Terus kuncinya?!Di dalam jok motor!! Kau congkel lah jok motor kau!Tega kali kau kak!!Dan teriakan protes Muda tadi Diana balas dengan tawa yang begitu meriah. Lagian siapa suruh bermain-main dengan dirinya.*Sepanjang malam, setelah bertahun-tahun ia tak merasakan bagaimana rasanya tidur gelisah, tak dapat lelap di saat mata lelah. Terakhir kali dulu ketika ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Tama. Ya ... keputusan yang dibuat bersama. Alhasil dirinya merasakan perasaan tak nyaman. Seolah ada yang kurang. Sebelum kemudian ia kembali ke Medan untuk memperbaiki hatinya yang retak, sekaligus menjaga orangtua, kemudian lambat laun semua berjalan normal.Tinggal kenangan yang biasa ia bicarakan dengan Tama sebagai bahan candaan. Sedang hari-harinya kembali berseri, tanpa ada lagi drama patah hati.Namun kini, seperti ABG yang baru mengenal cinta, meski Diana tahu hatinya tak tengah merasakan rasa seperti itu, namun gejalanya mulai terasa sama. Beda tipis pula dengan gejala ketika ia patah hati dulu. Gelisah, susah memejamkan mata padahal rasanya sudah sangat mengantuk, dan bingung.Sialannya kalimat yang ia dengar tadi, yang keluar dari bibir tetangganya masih terngiang seperti kaset rusak di kepala.Diana segera bangkit, duduk di sisi ranjang setelah menendang guling yang tak berdosa, kedinginan di atas lantai tanpa pelukan Diana seperti biasa.Mengacak rambut yang terurai, Diana lalu berdiri. Ia ingin mencari udara segar.Ah ... wanita itu tak tahu mengapa sedari tadi detak jantungnya tak mau kembali normal. Setiap ia ingat aroma tubuh Devan, bisik pria itu, hangat napas yang menerpa wajahnya, Diana merinding seketika. Diana akan gila sebentar lagi jika tidak segera di rukiah. Mungkin saja setan dalam dirinya mulai kegatalan.Tak jauh berbeda dengan dirinya ternyata. Di seberang kamar Diana, tergolek tubuh Devan di atas ranjang, sedang berusaha tidur dengan perasaan gelisah.Pria itu mulai tak tenang, dan perlahan mulai membenarkan ucapan salah seorang temannya dulu. Kebaikan yang bisa disalahartikan hingga mencipta harapan.Sesungguhnya ia tak perlu merasakan perasaan tak enak ini jika saja mulutnya yang mendadak tak berada di bawah kendali tidak melontarkan kalimat ambigu seperti tadi.Jangan menggigit bibir.Sialan! Dia bisa gila jika terus mengingat kebodohannya tadi. Dia bisa kehilangan logika jika mengingat apa yang ia katakan tadi.Jangan menggigit bibir. Memangnya kenapa jika Diana menggigit bibir? Toh yang digigit adalah bibir wanita itu sendiri. Lalu mengapa harus dirinya yang tak nyaman melihatnya? Mengapa ia yang gelisah, seolah bibir itu adalah miliknya dan hanya dia yang boleh menggigit seperti itu.Eh?Aaah!Devan segera bangkit, duduk di sisi ranjang ketika pemikiran liar mulai menguasai otaknya yang sudah tak sejalan dengan apa yang ia inginkan. Berhenti memikirkan bibir merah Diana dan kalimat yang ia ucapkan tadi.Hanya itu.Mengacak rambut penuh frustasi, Devan kemudian bangkit, bergerak menuju arah balkon sebelum kemudian berhenti ketika dari balik tirai yang sedikit tersibak ia lihat sosok Diana sedang berdiri di pinggir pagar balkon dengan rambut lurus wanita itu yang terurai jatuh melebihi pinggul. Diana tersenyum menatap langit yang sepertinya malam ini tampak cerah dengan kehadiran beberapa bulan dan bintang.Tapi mana mungkin? Hujan bahkan baru reda.Memilih abai, Devan kemudian membuka pintu balkon, mengganggu Diana yang mulai merasa damai.Sedang menatap langit gelap tanpa kerlap kerlip bintang, Diana berdiri tegap, melepas earphone dan memberi senyum kaku pada Devan yang diam menatapnya.Earphone. Sekarang Devan tahu mengapa wanita itu tersenyum-senyum sendiri.Saling memberi tatap, keduanya membuka mulut. Belum tid— lalu bersamaan pula keduanya menutup mulut.Diana membuang napas dari mulut, lantaran sedikit kesal dengan dirinya yang tak tahu telah melakukan kesalahan apa.Sedang Devan bersikap seolah tak terjadi apapun, berdiri di sisi pagar balkon, tersenyum tipis pada Diana. Sudah tidur. Tapi terbangun. Pria itu memberi jawaban dan Diana mengangguk pelan. Yang dia tahu sebagai tetangga selama berpuluh tahun memang begitu. Devan sering keluar kamar ketika malam, tanpa Diana tahu alasannya. Tapi dirinya? Baru malam ini dia begitu berani keluar kamar, di jam yang hampir mendekati angka satu.Biasanya pukul sepuluh malam saja dia sudah mengurung diri di kamar.Agak dingin malam ini. Jadi susah tidur. Diana pun kemudian ikut menjawab. Tapi kekknya udah ngantuk. Aku tidur dulu, bang. Diana menghindar. Tak aman berada di dekat Devan untuk sementara ini. Tak aman untuk perasaannya.Mengangguk samar, Devan mempersilakan.*Kira-kira sudah dua hari Diana tak keluar ke balkon. Selain karena lampu balkon putus dan belum Muda ganti, dia enggan bertemu tetangga sebelah untuk sementara waktu. Dia ingin melupakan apa yang Devan ucapkan hari itu, dan sepertinya waktu benar-benar membantunya untuk melupakan hal yang kini sudah tak begitu ia ambil peduli.Masih pilek nya, kak?Afika yang baru melihat kedatangan Diana langsung menyapa bos, pemilik Binatu yang hidungnya merah dengan wajah yang sedikit pucat. Heem. Mana badan mulai ngga enak. Mau acara nikah Muda, semua repot. Diana mendekati Afika yang menyetrika. Kau cuci baju sajalah, Fika. Aku yang setrika.Tak butuh perintah dua kali, Afika lantas berdiri. Periksa lah, kak. Nanti malah ngga bisa ikut ke pesta Muda.Diana mengangguk, sambil mengibaskan tangan meminta Afika pergi. Heeem. Sudah, sana. Cuci bajunya.Tak lama selepas Afika pergi, Diana mengecilkan suhu panas setrika, lalu berdiri mengeluarkan sesuatu dari dalam tas gendong yang ia letakkan di sebelah kaki meja di sampingnya.Sarung dan sebuah kaos milik Devan yang sudah ia gosok dan ia beri pewangi. Benda yang menjadi bahan pertanyaan Tiar beberapa hari lalu dan ia jawab jika itu adalah baju milik salah seorang pelanggan yang ia pinjam agar dia tak kedinginan setelah kehujanan karena motor Muda rusak mendadak, ia letakkan di atas meja sebelum ia bergerak mencari sesuatu di etalase baju.Sebuah bingkisan bertuliskan nama Devan ia dapatkan dengan senyum lebar. Ini adalah hari kamis, di mana Devan biasnya mengambil baju yang disetrika di Syauqia laundry.Membuka kembali bungkusan berwarna putih yang sudah melindungi setumpuk pakaian milik Devan. Pelan-pelan Diana mengeluarkannya dan ia letakkan sarung juga baju milik pria itu di atasnya sebelum kembali ia bungkus di plastik baru.Merasa tenang, tanpa perlu memikirkan pertanyaan Afika tentang kepemilikan kaos dan sarung itu, karena karyawannya itu sedang ada di belakang. Diana kembali menyetrika dan beberapa saat, waktu yang ditunggu tiba.Devan datang dan mengambil pakaiannya. Bagus! Diana bisa mengatakan sekalian jika baju pria itu yang dipinjamkan padanya ada di dalam bungkusan dan dia akan berterimakasih sekali lagi tanpa takut Afika mendengar dan mulai bertanya-tanya.Diana benar-benar tak suka ada yang menanyai perihal pria yang sebenarnya tak ada sangkut paut dengan dirinya. Dia enggan digoda seolah sedang menjalin hubungan. Hal seperti itu akan terdengar menjengkelkan terlebih jika sampai digoda langsung di depan pria yang dituduh menjalin asmara dengannya.Langkah pria itu begitu tegap kala menghampiri Diana, dan menyerahkan secarik kertas tanpa mimik berarti. Sudah dua hari berlalu. Tak hanya Diana yang mulai bisa mengabaikan ucapan Devan sore itu. Pria itu juga sama. Kesibukan membuat ia tak lagi peduli, dan perasaan tak nyaman lambat laun menghilang.Terlebih ketika Diana tak muncul di balkon, seolah membantu Devan untuk melupakan kejadian di mana ia salah melontarkan kalimat. Kini semua di antara dirinya dan Diana kembali normal, tanpa ada lagi resah dan degupan jantung yang membuat gelisah.Mengangguk, tanpa mengambil nota yang Devan sodorkan, Diana memberikan baju pria itu yang sudah disiapkan. Bang, kaos putih sama sarungnya udah ada di dalam. Makasih, ya? Maaf baru bisa balikin.Devan menatap sejenak pakaiannya yang sudah Diana masukan ke dalam kantong plastik sebelum kemudian mengangguk pelan. Menyodorkan uang sesuai dengan harga yang harus ia bayar, Diana lantas menggeleng. Ngga usah, bang. Anggap aja traktiran.Melihat uang yang ada di tangannya, Devan diam sejenak sebelum mengangguk. Dia enggan mendebat. Okey.Diana tersenyum lagi sebagai ucapan terima kasih. Rasanya beban di pundak sedikit hilang ketika ia sudah membalas budi seseorang, meski ia tahu tak ada harga untuk sebuah kebaikan. Tapi tak ada yang bisa Diana lakukan selain hal ini. Dia juga tak mungkin membantu Devan suatu saat, kan? Ayolah. Pria ini sudah terbiasa dengan hidup normal tanpa masalah remeh, seperti kehujanan karena motor mogok.Boleh pinjam pena dan kertas?Oh! boleh. Diana bergerak, mengambil pena dan kertas pada Devan yang masih belum beranjak dari tempat usahanya.Menuliskan sesuatu, di selembar kertas yang Diana beri, pria itu kemudian menyerahkan kembali kertas yang sudah ia beri coretan dan pena. Kamu batuk pilek. Suara kamu sedikit serak. Mata kamu merah, dan kamu terlihat pucat. Tebus obat ini di apotik. Devan menunjukkan uang yang tadi tak Diana terima. Ini saya anggap bayaran konsultasi. Kemudian berbalik, meninggalkan Diana yang membuka mulut, lalu mendengkus pelan sebelum mengurut kening dengan mata terpejam. Ia kesal.Sungguh. Sebenarnya apa yang Devan lakukan?Memberikan sebuah kebaikan atau perhatian? Ya Tuhan! Bisa-bisa Diana kehabisan cara mengusir baper yang terus menyambanginya tanpa salam setiap Devan menyodorkan sebuah kebaikan yang akan bahaya jika Diana anggap sebagai bentuk perhatian.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan