Diary Seorang Istri — BAB 1

20
0
Deskripsi

"Mari kita cerai.”

Rosmala menunggu kepulangan Arga, sudah pukul sembilan malam belum pulang-pulang. Rosmala sudah mencoba menghubungi dengan cara menelfon dan mengirim sms, namun sama sekali tidak ada balasan. 


Sebenarnya Arga kemana? 


Tidak mungkin ada kegiatan di kampus. Jam kampus saja sudah selesai sejak dirinya pulang.


Pernikahan Rosmala dengan Arga baru berjalan tiga bulan. Dalam tiga bulan, Rosmala sudah menghadapi banyak masalah keluarganya.


“Assalamu'alaikum.”


Salam dari Arga membuat Rosmala langsung berdiri, dia sempat bercermin untuk membenarkan kerudungnya. Syukurlah suaminya yang sejak tadi di tunggu akhirnya pulang ke rumah—walaupun pulang larut malam. Rosmala langsung mencium punggung tangan Arga.


 “Wassalamu'alaikum, Mas,” jawab Rosmala. Rosmala memandang Arga dengan sorot mata khawatir. “Kenapa baru pulang, Mas? Apa ada masalah pekerjaan atau urusan mendadak? Kenapa nggak hubungi Mala?” 


Rosmala bertanya dengan sederet pertanyaan. Dia langsung mengambil alih tas punggung Arga. 


Arga hanya diam, tanpa menjawab rentetan pertanyaan dari Rosmala.


“Kamu tau nggak? Aku khawatir banget, Mas. Sampai aku spam sms dan menelfon kamu berkali-kali tapi nggak diangkat.”


“Maaf, La.” Hanya itu jawaban dari Arga.


Sepersekian detik, Rosmala mematung mendengar jawaban dari Arga hanya kata maaf. Rosmala sedikit kecewa, dia juga butuh penjelasan. Tapi nyatanya Arga hanya mengucapkan kata maaf. 


“Mas, mau makan dulu nggak? Pasti laper, biar Mala buatkan makan malam, ya?” tawar Rosmala. Dia pandai menyembunyikan kekecewaan yang melanda hatinya.


“Tidak usah. Aku sudah makan.”


Bibir Rosmala menutup rapat. Pikirannya bertanya-tanya, Kenapa sikap Arga menjadi berubah sangat dingin dan cuek?


 “Ya sudah, Mas mandi. Mala siapin baju gantinya,” ujar Rosmala mencoba berpikir positif.


“Hm.” Arga kemudian berlalu masuk ke kamar mandi meninggalkan Rosmala yang terdiam di tempat.


Rosmala memandang punggung Arga yang akan menghilang dari pandangannya dibalik pintu. Rosmala masih tidak bergetak di tempat, sorot netra yang sendu.


Ada apa dengan Arga? 


Tiba-tiba Rosmala mendengar dering ponsel, dia melirik ponsel Arga yang bergetar di atas kasur. Keningnya berkerut melihat siapa si penelpon. Kak Yura? Rosmala dibuat bertanya-tanya lagi. Ada apa Kak Yura menelfon Arga?


Yura Desiana Lian, dia kakak Rosmala.


Rosmala tidak langsung menjawab, dia masih berpikir positif. Mungkin Kak Yura menelfonnya karena panggilannya tidak diangkat, jadi Yura menelfon Arga. 


Dengan cepat meraih ponsel Rosmala yang ada di nakas. Setelah menyala ponsel, tapi tidak ada pesan ataupun panggilan dari kak Yura setelah Rosmala mengecek ponselnya.


Lantas? Kenapa Yura menelfon Arga atau jangan-jangan memang ingin berbicara dengan Arga?


Ah, ini membuat Rosmala cemas.


Tanpa berpikir lagi, Rosmala segara menerima panggilan dari Yura di ponsel Arga.


“Assalamu'alaikum, Mbak,” salam Rosmala setelah panggilan terhubung.


'"Walaikumsalam ... Rosmala?” jawab kak Yura. Nadanya terdengar sedikit terkejut, siapa yang mengangkat panggilan di ponsel Arga. 

 

Mendengar nada bicara Yura membuat Rosmala sadar, Yura ingin berbicara dengan Arga, bukan ingin berbicara dengannya. Sepertinya Yura kecewa Rosmala yang mengangkat panggilan itu.


“Iya, ada apa, Mbak?” Rosmala bertanya the points maksud dan tujuan Yura menelfon Arga. Detik ini juga, Rosmala masih berpikir positif, tapi dia sangat penasaran kenapa Yura menelfon Arga. 


“Bisa bicara dengan Mas Arga?”


Rosmala terdiam, mengeryit kening mendengar Yura menyebut suaminya dengan sebutan Mas—Mas Arga? Itu terdengar sangat tidak nyaman jika ada wanita memanggil suaminya dengan sebutan kata 'Mas.'


Rosmala cukup lama terdiam di tempat sampai suara dari Yura menyadarkannya dari lamunan.


“La?” panggil Yura. “Kamu mendengar perkataan Mbak tadi, 'kan?”


“I-ya. Mbak,” jawab Rosmala gugup, gelisah dan cemas. “Mala dengar, tapi kenapa Mbak Yura pengen ngomong sama Mas Arga? Apa ada sesuatu?”


“Iya, La. Boleh minta tolong ponselnya diberikan kepada Mas Arga sekarang, aku hanya ingin bicara dengannya sebentar,” perintah Yura.


“Mau berbicara apa, Mbak?” tanya Rosmala penasaran. “Kalau ada sesuatu yang ingin disampaikan. Biar nanti Mala sampaikan aja ke Mas Arga, karena dia sedang mandi,” tawar Rosmala.


Hening sejenak. Yura belum membalas perkataan Rosmala. Perasaan Rosmala mendadak tidak tenang, dia menunggu suara Kak Yura diseberang sana.

 

“Mbak?”


Yura berdehem. “Maaf, La. Ada sesuatu penting yang harus Mbak sampaikan kepada Mas Arga, jadi Mbak ingin berbicara langsung dengannya,” tolak Yura. “Apa Mas Arga masih lama mandinya?” tanyanya.


Jleb! Rosmala tidak percaya apa yang Yura katakan. Sesuatu penting, sesuatu penting. Kalimat itu berputar di kepala Rosmala.


“Memangnya sesuatu penting apa? Boleh Mala tahu—”


Rosmala tidak melanjutkan perkataannya karena saking terkejutnya. Baru saja dia akan bertanya, tiba-tiba ponsel yang tadinya berada di genggaman kini berpindah ke tangan Arga.


Sejak kapan Arga menghampiri Rosmala?


Rosmala terkejut bukan main, dia mati kutu di tempat melihat Arga sudah ada di sampingnya dan merebut ponsel dari tangannya. Rupanya Arga sudah selesai mandi, sekarang hanya menggunakan handuk melilit pinggangnya.


“Aku tidak menyuruhmu untuk menyentuh ponselku! Lain kali jangan mengangkat panggilan orang lain sembarangan, itu namanya tidak sopan!” tegas Arga sedikit membentak. “Jangan pernah melakukan hal itu lagi!” peringatnya dengan suara dingin.


Arga seolah tidak peduli dengan Rosmala di sana yang terkejut. Arga lebih dulu berjalan ke arah kamar mandi lagi sambil membawa baju ganti dan ponsel masih berada di tangannya.


Setetes air mata jatuh membasahi pipi Rosmala, bahkan air matanya jatuh ke lantai secara bergantian menetes. Sakit, ini menyakitkan mendengar bentakan dari Arga. Suaminya menyuruhnya untuk tidak menjawab panggilan telefon sembarang.


Rosmala tahu, hatinya memang mudah baper. Sekali dibentak, hancur sudah pertahannya. Rosmala mengakui itu tapi perkataan Arga sungguh menyakitkan hati. Rosmala menghapus air matanya dengan kasar, dia menahan agar tidak menangis dengan isakan dan cegukan.


Perlahan Rosmala merebahkan tubuhnya di atas tidur. Dia menarik selimut putih awan sampai menutupi ke atas kepalanya. Dibalik selimut Rosmala menetes air mata dengan deras, memegangi dadanya yang terasa begitu sakit. Baru pertama kali ini Rosmala mendapatkan bentakan dari Arga.  


“Ya Allah, kenapa sakit sekali.”


Rosmala mengira Arga marah kepadanya tapi dia berusaha untuk berpikir positif. Ayolah Rosmala! Berhenti meneteskan air mata.


“Mungkin Mas Arga sama Mbak Yura ada sesuatu yang sangat penting harus mereka bicarakan,” batin Rosmala. “Dan mungkin Mas Arga sedang capek.”


Selanjutnya Rosmala berusaha terlelap sebelum Arga kembali ke kamar. Rosmala mendengar bunyi langkah kaki menuju balkon. Mungkin Arga dengan Kak Yura akan berbicara lama, membicarakan sesuatu penting.


Sudahlah, Rosmala ingin tertidur cepat, dia tidak ingin menambah suasana kacau hatinya. Rosmala memejamkan mata, bukannya kantuk, dia semakin memikirkan hubungan Mas Arga dan Mbak Yura.


Aduh, padahal Rosmala ingin menenangkan diri dengan cara tertidur. Kira-kira, dua puluh menit kemudian Rosmala merasa tempat tidur yang dia tiduri derderit menandakan Arga kini di duduk di sana.


Rosmala pura-pura tertidur. Dibalik selimut dia masih menahan air mata agar tidak tumpah lagi. Kejadian tadi membuatnya sadar bahwa dia telah berbuat tidak sopan, mengangkat panggilan di ponsel Arga. Ya, ini salah Rosmala. Tapi kenapa Arga begitu tidak suka ketika Rosmala mengangkat panggilan dari Yura? 


“Jangan pura-pura tidur, La. Aku tau kamu belum tertidur,” kata Arga dengan suara dingin.


Rosmala menelan air ludah, dia ketahuan oleh Arga. Perlahan Rosmala menurunkan selimut yang menutup wajahnya walaupun enggan. Mau bagaimana lagi? Toh dia sudah ketahuan.


Rosmala bangkit dari tidurnya, dia menunduk wajah dengan takut-takut dan menggenggam tangannya sendiri. Rosmala berniat meminta maaf sebelum Arga menegurnya lagi. 


“Mas,” panggil Rosmala dengan sangat hati-hati, mengigit bibir bawahnya. “Maaf kalau tadi aku tidak sopan. Lain kali aku tidak akan mengulangi lagi,” kata Rosmala dengan pelan.


Setelah Rosmala mengatakan kata maaf, hanya ada keheningan beberapa menit. Keheningan di malam hari membuat Rosmala terduduk canggung, matanya melirik ke sana kemari. 


Arga menarik napas sejenak, menenangkan suasana hatinya. “Maaf untuk tadi, aku tidak berniat membentakmu,” ucap Arga. “Ada yang ingin aku bicarakan kepadamu, La.”


“Bicara apa, Mas?” tanya Rosmala bingung.


“Mari kita cerai.”


DHEG!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Diary Seorang Istri

Kolom Komentar

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan