Diambang Kematian - Part 1

3
0
Deskripsi

"Bagaimana jadinya jika engkau diwariskan sesuatu yang justru mengancam keluarga dan juga nyawamu sendiri?"

Lantunan adzan Maghrib terdengar menggema ketika aku memasuki rumah bapak. Seharian aku mengantri obat di apotek langganan setelah dokter memberikan resep untuk penyakit yang diderita bapak setahun ini. Walaupun dokter selalu kesulitan mendiagnosis penyakit bapak, tapi aku tetap berikhtiar dengan rutin menebus resep dari dokter agar penyakitnya segera sembuh dan bapak bisa kembali sehat seperti dulu.

Karena sudah mendengar adzan, aku memutuskan untuk melakukan kewajibanku kepada Yang Maha Kuasa terlebih dahulu sebelum menemui bapak yang selama seminggu terakhir hanya bisa berbaring di kamar. Selesai sholat, aku pun memasuki kamar bapak. Aku mencium tangan bapak dan duduk di samping kasurnya.

"Obatnya sudah aku belikan pak, tapi baru aku tebus separo. Minggu depan insya Allah aku tebus yang separonya lagi." Ucapku pada bapak.
"Buat apa to le? Kan bapak sudah bilang, obatnya gak usah ditebus, sayang uang kamu kalau buat beli obat begitu." Balas bapak setengah protes.
"Halah, yang namanya uang kan bisa dicari to pak, yang penting bapak sembuh, sehat lagi seperti dulu." Kataku menenangkan.
"Tapi kalau saat ini udah gak bakalan berguna le. Kamu cuma buang-buang duit. Padahal harusnya bisa kamu gunakan untuk kebutuhan keluargamu. Bukannya Raras sebentar lagi juga mulai sekolah?" Tanya bapak di penghujung kalimatnya.
"Iya pak, tapi bapak gak usah mikirin itu. Insya Allah pasti aku ada rejeki buat sekolah Raras." Kilahku.
"Yasudah, paling tidak biarkan bapak mengganti uangnya. Kalau untuk kebutuhan bapak sendiri harusnya tidak apa-apa. Ibumu pasti juga tidak mempermasalahkan, yang penting kamu tidak menggunakannya untuk kebutuhanmu atau keluargamu." Jelas bapak.

Sampai saat ini, sebenarnya bapak masih punya banyak uang. Mobilnya saja ada dua. Bapak juga tinggal di perumahan elite dengan bangunan yang bisa dibilang mewah. Tapi dari kecil, ibu melarangku untuk menerima apapun dari bapak entah itu berupa uang, mainan, makanan, atau barang yang lainnya. Bapak juga tak pernah memberiku sesuatu walaupun aku sebenarnya merasakan kasih sayang yang begitu besar sejak aku masih kecil. Ibu juga tak pernah dan tak mau menerima harta sekecil apapun sejak mereka berpisah saat aku masih bayi, itulah mengapa aku dan ibu hidup dengan serba pas-pasan walaupun bapak adalah orang terkaya di desa kami. Setiap kali aku menanyakan itu, ibu hanya menjawab kalau aku menerima sesuatu dari bapak, berarti aku akan tinggal ikut bapak dan ibu akan hidup sendiri. Aku yang sangat takut kehilangan ibu pun tak berani mengungkit lagi pertanyaan itu dan hanya bisa menurutinya.

"Ganang, besok kamu pulang dulu ya. Ada sesuatu yang harus kamu sampaikan pada ibumu." Kata bapak berubah serius.
"Menyampaikan apa pak?" Tanyaku penasaran.
"Sampaikan permintaan maafku pada ibumu, dan bilang padanya, kalau dia sudah pergi", jawab bapak penuh misteri.
"Dia siapa pak?" tanyaku lagi.
Aku sempat berpikir kalau dugaanku selama ini benar. Ibu meninggalkan bapak karena bapak mempunyai seorang wanita idaman lain yang selama ini dia sembunyikan.

"Ibumu bakal tahu siapa yang aku maksud. Dia juga akan menjelaskan semuanya, termasuk kenapa aku tidak pernah nafkahin kamu dan ibumu sejak kamu kecil, juga alasan kenapa kami terpaksa berpisah. Yang harus kamu dengar dari mulutku sekarang adalah, sampai detik ini, tidak ada perempuan yang lebih cantik dari ibumu. Sampai kapanpun ibumu selalu ada dihati bapak. Semoga ibumu bisa mengampuni bapak ya, walaupun dosa bapak memang sangat besar dan rasanya memang tidak pantas mendapatkan pengampunan dari siapapun." Ujar bapak dengan mata menerawang.
"Aku gak tahu dosa apa yang bapak maksud, tapi selama bapak bertobat, Allah pasti mengampuni pak. Ibu juga pasti mengampuni bapak kok." Jawabku sambil mengusap dahi bapak.
"Satu hal yang harus kamu tekankan pada ibumu, besok malam tepat tujuh hari kepergiannya, jadi pastikan ibumu tepat waktu. Jangan sampai dia berhasil ngajak kamu seperti waktu ngajak bapak. Dan ingat baik-baik le, apapun yang terjadi, jangan pernah biarkan dia masuk." Kata ayahku sambil mulai menutup mata.

Aku sama sekali tidak mengerti ucapan bapak, tapi melihat bapak yang seperti akan beristirahat, aku tak berani untuk menanyakan lebih lanjut. Aku pun membiarkannya terlelap sambil sesekali tetap mengusap dahinya. Setelah memastikan bapak sudah tidur, aku berpindah untuk duduk dilantai yang dialasi karpet bulu. Namun baru saja beranjak, tiba-tiba aku merasakan bapak menggenggam erat tanganku dan aku merasakan tubuhku seperti tersengat listrik dengan daya yang lumayan besar. Jantungku berdegup kencang dan kepalaku berdenyut dengan hebat. Aku mencoba menenangkan diri dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Anehnya, kulihat bapak masih tertidur dengan posisi tangan yang tidak berpindah sama sekali. Melihat itu, akhirnya aku berpikir bahwa aku kelelahan sehingga tubuhku merasakan apa yang kualami tadi. Agar lebih tenang, akhirnya aku mengeluarkan mushafku dan mulai membaca ayat suci. Namun baru beberapa saat aku membaca Alquran, aku merasakan panas disekujur badan terutama di bagian tengkuk. Mataku berkunang-kunang dan kulihat huruf-huruf Hijaiyah yang ada di Alquran menjadi kabur dan tak beraturan. Aku menghela napas kemudian beranjak kembali untuk mengambil minum yang ada di tas.

Saat aku berdiri, aku melihat sekilas bayangan hitam dari kaca lemari yang ada di kamar bapak. Aku menghampirinya, namun tidak ada yang aneh. Aku hanya melihat bayanganku sendiri dari kaca lemari itu. Lumayan lama aku memperhatikan bayanganku, sampai akhirnya aku melihat bayanganku itu mulai berubah. Ia menjadi sedikit lebih pendek dengan tubuh yang kurus. Kulit wajahnya banyak kerutan dan rambutnya terlihat botak. Aku bergidik melihat itu semua, dan makin bergidik lagi setelah menyadari bahwa bayanganku di kaca lemari itu berubah menjadi sosok bapak. Aku hanya mampu beristighfar berkali-kali. Ternyata memang benar kata Ibu, rumah ini menyimpan banyak kejanggalan. Aku berusaha tidak memikirkan itu dan mencoba untuk tidur karena kurasakan hari itu aku lelah sekali, energiku seperti terserap habis oleh sesuatu yang tidak aku ketahui. Baru sesaat merebahkan badan, aku langsung terlelap ke alam mimpi dengan sangat cepat.

Dok! Dok! Dok!
Dok! Dok! Dok!
Aku terbangun mendengar pintu kamar diketuk dengan keras. Suara ketukannya terdengar terburu-buru dan kasar. Aku yang khawatir hal itu akan membangunkan bapak pun langsung beranjak untuk membukakan pintu. Aku memegang tuas pintu dan menariknya agar terbuka, dan betapa terkejutnya aku karena melihat bapak berdiri didepannya dengan napas tak beraturan dan wajah pucat pasi.
"Loh pak, dari mana? Sudah bisa jalan sendiri?" tanyaku keheranan karena sudah beberapa waktu ini bapak tidak pernah meninggalkan tempat tidurnya.
"Nang, jangan tinggalin bapak ya le. Kamu harus meneruskan apa yang bapak terima dari mbah-mbahmu. Kamu harus jadi anak yang berbakti. Semua yang telah kami jalani tak boleh berhenti di kamu, apa kamu mengerti?" ucap bapak panjang lebar dan mengakhirinya dengan pertanyaan yang sama sekali tidak aku mengerti.
"Maksud bapak apa?" tanyaku mencoba memperjelas maksud bapak.
"Aku boleh masuk kan, Ganang?" tanya bapak lagi dengan suara yang sedikit berbeda.
"Iya pak pak masuk aja, istirahat lagi di kasur." jawabku pasti.
"Kalau aku masuk, berarti kamu akan meneruskan apa yang dimulai kakek buyutmu, yang diteruskan sampai bapakmu. Apa kamu bersedia?" tanya bapak lagi makin tak bisa dipahami.
"Aduh, aku gak paham maksud bapak apa. Sudah masuk dulu saja pak, bahaya kalau kelamaan diluar", kataku lagi.
"Terimakasih Ganang, aku akan masuk sekarang", kata bapak lagi dengan suara yang sama sekali tidak ku kenal.

Setelah kalimat terakhir itu diucapkan, tiba-tiba bapak berubah menjadi asap hitam yang pekat. Melihat itu spontan aku melangkah mundur ketakutan. Asap hitam itu melayang dan dengan cepat memasuki hidung, mulut dan kedua telingaku. Aku sempat tidak bisa bernapas dan merasakan sensasi tercekik selama beberapa saat. Mataku berkunang-kunang dan kulihat peristiwa-peristiwa yang tak pernah kualami. Aku melihat kejayaan dan kekejaman, kesenangan dan keterpurukan, tawa dan air mata. Aku juga mendengar suara-suara asing yang silih berganti ditelingaku. Sampai akhirnya, aku melihat tubuh Raras, anakku satu-satunya, tergeletak tak bernyawa dengan leher bersimbah darah.

Keringat bercucuran dari sekujur tubuhku setelah semua itu berlalu. Aku juga merasakan panas yang membakar diseluruh tubuh. Namun ada sesuatu yang kemudian aku sadari, aku merasakan energi besar yang meluap-luap dari dalam. Energi yang membuatku merasa bisa melakukan apa saja yang aku pikirkan.

"Ganang", aku mendengar seseorang memanggil namaku lirih. Aku menoleh ke sumber suara dan lagi-lagi aku terkejut lantaran melihat bapak masih terbaring di kasurnya.
"Bapak?" Sahutku keheranan.
"Cari ibumu sekarang Nang, ini sudah terlambat! Bukankah aku sudah bilang untuk tidak membiarkan dia masuk? Ini memang salahku, seharusnya kuceritakan sendiri semuanya. Uhuk! Uhuk!" Ucap bapak dengan tergesa-gesa sebelum akhirnya terbatuk dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya.
"Bapak!" teriakku panik kemudian membantu bapak.
"Apa yang sebenarnya terjadi pak?" tanyaku lagi.
"Seharusnya dia tidak datang padamu secepat ini. Seharusnya kamu masih punya waktu. Pergi le, temui ibumu sekarang!" kata bapak lagi dengan tegas.
"Tapi bapak bagaimana? Tidak ada siapa-siapa yang menjaga bapak sekarang", bantahku.
"Tidak usah mikirin bapak! Ajalku sudah dekat, besok aku mati! Kamu yang penting, le! Jangan sampai kamu jadi seperti bapak. Jangan sampai anakmu jadi korban! Kamu sudah lihat sendiri tadi kan kalau Raras bakal mati?" jelas bapak menakutkanku.
"Selamatkan keluargamu, Ganang. Turuti petunjuk Ibumu. Jangan sampai, seperti, Bapak", kata bapak lagi semakin lemah.

Aku menatap mata bapak dengan tajam. Terlihat penyesalan mendalam dan kekhawatiran yang besar disana. Aku pun menuruti apa yang dikatakan bapak dan segera mengemasi barang-barangku. Aku berpamitan dan langsung berangkat ke rumah ibuku walaupun saat itu ayam pun belum berkokok. Sepanjang jalan aku lewati dengan pikiran berkecamuk dan perasaan was-was yang tak terkira. Aku bertekad untuk secepat mungkin sampai dirumah ibuku dan menanyakan semuanya, sejelas-jelasnya.
*****

Matahari baru mau terbit ketika aku sampai di rumah Ibu, tapi aku yakin Ibu sudah bangun karena aku tahu Ibu selalu melaksanakan sholat subuh di masjid. Aku segera memarkirkan motorku dihalaman dan mengetuk pintu dengan perlahan. Tak butuh waktu lama aku menunggu sampai akhirnya Ibu membukakan pintu.
"Ganang? Habis dari mana kok pagi-pagi sudah sampai sini?" tanya Ibu heran.
"Dari rumah Bapak, Bu. Ada hal penting banget yang mau aku tanyain", jawabku sambil meraih tangan Ibu untuk menciumnya.
"Sini masuk, ngobrol didalam saja", ajak Ibu.
Aku menuruti Ibu dan masuk kedalam rumah. Alih-alih memasuki ruang tamu, ibu menuntunku untuk masuk ke ruang keluarga dan kami duduk di atas karpet yang ada di depan tivi.
"Bapakmu sudah menjelaskan apa ke kamu, Nang?" tanya Ibu memulai pembicaraan.
"Belum, Bu. Bapak cuma nyuruh aku kesini buat nanya ke Ibu", jawabku terus terang.
"Laki-laki itu memang pengecut. Harusnya dia yang menjelaskan semuanya ke kamu", ucap Ibu kesal.
"Memang sebenarnya apa yang terjadi Bu? Kali ini aku mohon Ibu jelasin semuanya. Sudah terlalu banyak kejanggalan yang aku rasakan sejak aku kecil", kataku mendesak.

Ibu menatapku dalam, kemudian jatuhlah air matanya. Aku yang sudah berpikiran kacau sejak dari rumah Bapak makin kebingungan menanggapinya.
"Dulu kita keluarga yang bahagia, Nang. Utuh. Bapakmu, Ibu, kamu, juga kakakmu", kata Ibu memulai ceritanya.
"Kakak? Aku punya kakak, Bu?" tanyaku terkejut karena selama ini yang kutahu aku adalah anak tunggal yang tidak mempunyai kakak ataupun adik.
"Ya. Kamu punya kakak laki-laki. Namanya Samudra. Maafkan Ibu juga karena tak pernah cerita padamu. Luka ini terlalu dalam untuk dikuak. Kamu belum genap 2 tahun saat itu, dan kakakmu berusia 4 tahun", jawab Ibu menjelaskan.
"Apakah dia meninggal?" tanyaku lagi.
Ibu terdiam sesaat sebelum menjawab. Bibirnya bergetar dan air matanya makin deras mengalir.
"Ya, dia meninggal. Dia meninggal, dibunuh bapakmu. Lehernya digorok saat tidur. Bapakmu menggendong Samudra dan membawanya ke belakang rumah. Lalu setelah sampai di pohon belakang, bapakmu menggorok lehernya bersama 2 ayam cemani yang sudah dipersiapkan!"
*****

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Tipu Daya Dukun
0
0
Penyakit ini kiriman dari orang yang dekat denganmu, kalau tidak segera diobati bisa merenggut nyawa. Kata dukun itu setelah memeriksaku.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan