Masih Gratissss..
Pak Hakim Pak Jaksa vs Nona Pustakawan.
Baca work ini dengerin lagi “Rayuan Perempuan Gila” , pasti kalian tambah hepi
Sinopsis Sebaris Cinta dari Halaman Pertama
Ketika Iqbal Al Hakim diminta untuk menjadi kepala keluarga dan pemimpin di perusahaan kakeknya, Ruhi Karmila, ibu tirinya adalah orang yang paling tidak setuju. Tapi, dia adalah satu-satunya keturunan keluarga Akbar Hadi yang tersisa meski terlahir dari rahim seorang wanita biasa, wanita lain di hati suami Ruhi, Rahadian Hadi.
Segala cara dia lakukan termasuk menggunakan haknya untuk menjegal Hakim menjadi pemeran utama, termasuk memberikan syarat, dia baru bisa jadi direktur bila menikahi Yasinta Aurahana, keponakan Ruhi yang seumur hidup tidak pernah mau menjadi pusat perhatian.
"Nikahi dia dan kamu akan jadi orang kaya, Hakim. Jangan sampai nasibmu semalang Ibu dan keluarga kita. Kamu satu-satunya yang bisa mengubah nasib kita."
Menikah adalah soal mudah. Tapi, semua orang lupa, hati Hakim bukanlah untuk Nona Penjaga Perpustakaan gila Pria Korea serta gila makan itu. Hatinya cuma untuk Sarina, tuan putri keturunan keraton yang telah mencuri hatinya sejak pertama kali bertemu bertahun-tahun lalu.
"Nikah, ya, nikah. Tapi, kalau enam bulan si Otong nggak bisa jebol segel gue, bisa, dong, gue mengajukan pembatalan nikah dan balikin status di KTP gue jadi gadis lagi? Gue mau operasi tetong di Thailand, modal gaet Oppa di Korea."
Sinting. Tidak perlu dia koar-koar tentang hal itu kepada semua orang. Pernikahan mereka pasti akan bubar. Tapi, semua itu ada saatnya dan bila itu terjadi, Hanalah yang harus menangis, bukan dia.
Namun, kadang, manusia cuma pintar berencana, dan lupa, kalau Tuhan belum memberi ACC, semua rencana, tinggal rencana, karena pada akhirnya dia tahu, tujuan hidup Hana bukanlah Korea, melainkan neraka.
***
Prolog-9
Sebaris Cinta dari Halaman Pertama
Prolog SCdHP
Hari belum lagi menunjukkan pukul delapan ketika lantai lobi perpustakaan kota dipenuhi suara hak sepatu beradu dengan lantai. Untung saja belum banyak yang datang pada pagi hari itu, terutama setelah si pemilik sepatu tersebut berjalan menuju koridor tempat kantornya berada. Bila itu disebut kantor, maka Yasinta Aurahana memiliki ruangan paling luas yang pernah dimiliki oleh pekerja mana saja.
Kantornya adalah ruang baca umum di perpustakaan kota. Ada sebuah bilik kecil dan dia biasanya berada di sana selama beberapa waktu untuk mempersiapkan diri sebelum akhirnya duduk di loket peminjaman, pendaftaran, serta pengembalian barang. Tapi, karena jam buka perpustakaan masih beberapa waktu lagi, dia memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk mempersiapkan penampilan serta sarapannya pagi itu.
Sarapan di kantor adalah kebiasaannya. Menunya paling nasi uduk dan bakwan goreng. Tapi, buat Yasinta, hal tersebut seperti langkah awal masuk surga, karena kenikmatannya melebihi apa pun yang pernah dia rasakan. Yang kedua, memasang make up. Dia tidak pernah sempat melakukannya di rumah, apalagi, akhir-akhir ini …
"Eh, tumben pengantin baru udah nongki di sini?"
Yasinta mengangkat kepala ketika tangannya baru melepas karet pembungkus nasi. Rambut sebahunya bergoyang dan dia melemparkan senyum masam kepada lawan bicaranya yang kini menguap dan tanpa rasa malu mencomot salah satu bakwan yang ada di plastik.
"Pasti beli. Terus, laki lo dikasih sarapan apa?"
Yasinta mengerling ke arah manusia tidak tahu malu di hadapannya yang masih mengunuyah bakwan. Jika dia buka mulut, pun percuma. Lawan bicaranya itu sudah tahu dengan jelas apa yang telah terjadi.
"Lo kepo atau kepo? Muka lo nggak usah sok polos gitu, Mbak." Yasinta mendelik. Dia berbalik ke arah laci yang berada di lemari kayu jati tepat di belakangnya. Ada simpanan sendok dan peralatan makan yang dia simpan, termasuk dua buah mug dan sebuah tumbler Mixue berukuran hampir satu liter dengan sedotan berwarna senada. Yasinta membelinya dengan harga 80 ribu ketika gerai es krim tersebut sedang viral.
"Kepo sama mau tahu aja. Tumben banget, kemarin kawin, hari ini milih ngantor. Gue mikirnya, kerbul lo bakal lecet."
"Kerbul. Kerbul. Gigi lo kerbul, Mbak Okta Omes."
Kerbul alias kerang bulu alias alat kelamin perempuan. Entah kenapa Okta memberikan julukan tersebut dan sewaktu Yasinta protes, Okta mengatakan kalau istilah tersebut sudah sangat terkenal di jagat maya. Hanya rekan kerjanya itu yang ketinggalan zaman.
"Omes apaan? Cuma nanya."
"Kalau orang dengar lo ngomong begitu, bisa langsung viral, tahu. PNS sekarang nggak boleh ngomong sembarangan. Dikit-dikit direkam terus dihujat nggak pantas jadi pegawai negeri. Jutaan orang ngarep banget dapat posisi lo dan lo ngomong kotor."
"Ya kali gue dewa." Okta merepet, "Netizen repot amat ngurusin hidup gue. Kalau kepengen jadi PNS yang ikut aja tes, bukannya kalau nggak lulus malah julid ngatain nyogok, lah, uang haram, lah. Bah, emang otak mereka aja nggak sampai."
Yasinta menoleh ke arah kiri dan kanan. Tatapannya kemudian terarah pada Okta dan dia tampak sangat ngeri. Meski begitu, dia bersyukur, cuma ada mereka berdua di dalam bilik kecil tersebut.
"Mulut lo, Mbak. Gue ngeri." Yasinta memperingatkan, sementara Okta sendiri hanya menaikkan bahu dan menikmati bakwan hasil rampasannya pagi itu.
"Lah, gue ngomong jujur. Emangnya salah gue ngomong jujur? Kalau gue maling, kalau gue korupsi, kalau gue minggat, sebulan ke Maldives nggak masuk kerja, baru dah, hujat gue. Lo nggak usah pusing mikirin netizen, mentang-mentang followers naik gara-gara kawin."
Followers naik gara-gara kawin. Hal itu yang membuat bibir Yasinta naik dan dia jadi menggingit sendok daripada makan nasi uduk. Tatapannya sendu, tapi, ucapan Okta ada benarnya. Selama ini, dia berpikir menyembunyikan diri, membuat akun sosmednya pribadi, tidak membuat dia kemudian dilupakan. Justru, seperti kata sahabatnya itu, dia makin dikenal orang.
Sebagai perebut calon suami orang.
Dan kini, keadaan makin gaduh karena sudah banyak pendukung wanita itu mengamuk di kolom komentar milik Yasinta dan juga di kolom pesan pribadi, mengatakan dia tidak tahu malu. Mereka bahkan mengulik-ulik foto dan kehidupan masa lalu Yasinta yang sebenarnya tidak pernah terekspos media.
Media.
Dia ingin tertawa bila mengingatnya.
Yasinta Aurahana, putri Taufik Diponegoro, seorang pria yang beruntung punya kakak yang merupakan istri dari seorang pengusaha sukses. Gara-gara itu juga, dia dicap sebagai pria pengeruk keuntungan, padahal Yasinta tahu betul, ayahnya tidak seperti itu.
Sayangnya, orang-orang terlalu berasumsi dan papa tidak sekuat itu. Pada akhirnya, ketika sang ayah tidak bisa lagi berjuang bersamanya, Yasinta harus menerima kenyataan dia telah kehilangan dua orang paling berharga di dalam hidupnya. Mama telah lebih dulu pergi karena Covid-19 dan papa memilih menyerah karena depresi dan juga beban kehilangan istri yang selama bertahun-tahun, tepat saat dia diumumkan lulus menjadi ASN termuda.
Dan begitulah hidup.
Yasinta juga tidak punya pilihan ketika tantenya datang, apalagi dengan iming-iming bantuan transferan yang bisa membawanya ke Korea dengan fasilitas maksimal, bahkan untuk pindah ke sana asal dia bisa menggaet hati suaminya, juga melahirkan keturunan yang sehat, montok, kalau bisa lelaki, perempuan juga tidak apa. Tante akan mengurus dan menjaga cucu keponakannya itu, menjadikan mereka rebutan di antara para taipan …
Tapi, sebelum itu terjadi, ingatkan dia untuk mengocehi tante. Perempuan itu tidak mengajari Yasinta untuk melawan netizen yang anehnya, lebih sok tahu dari dia sendiri, dan oh, ya, mengajari Okta juga agar makin bodoh, supaya tidak bisa menebak kalau dia memang masih perawan hingga detik ini.
Notifikasi terdengar dari ponsel mahal hadiah pernikahan Yasinta yang kini tergeletak di meja samping alat pencetak. Okta yang pertama melihat dan bola matanya membesar, "Alamak, HP baru. Promax lagi. Beuh. Sogokan Tante keren amat. Pantas lo nggak nolak. Nggak apa-apa kasih perawan, yang penting barang baru semua, ya, dong. Daripada gadein SK."
"Dahlah, lo ngoceh mulu, Mbak. Makan, nih, nasi uduk. Bentar lagi kita apel." Yasinta memberi tahu. Wajahnya masih sama kusut seperti saat dia datang dan mulut Okta malah bocor seperti itu.
"Bener lo masih perawan, Neng? Aduuuuhhhhh … kasihan."
Saat itu, Adli, junior Yasinta kebetulan lewat membawa setumpuk berkas yang entah berisi apa dan dia hampir jatuh karena di saat yang sama, Yasinta melompat dan membekap mulut Okta hingga kertas pembungkus nasi di atas meja terlempar dan isinya berhamburan ke mana-mana.
"Lo malu-maluin, sumpah." geram Yasinta kepada Okta yang kini megap-megap karena lubang hidungnya ditutupi oleh tangan rekan kerjanya itu. Apalagi, kini kondisi mereka cukup kacau. Potongan bihun goreng, tempe orek, mengenai kepala dan seragam Korpri yang mereka pakai.
Sumpah, tidak ada yang lebih kacau daripada seorang pengantin baru yang gagal unboxing, didemo oleh penggemar pacar suami, kejatuhan nasi uduk, dan paling kacau, dilihat dalam kondisi paling menyebalkan oleh gebetan yang notabene, anak baru paling ganteng se-perpustakaan kota.
Ini baru hari Senin, loh.
Baru hari Senin, jangan-jangan, sumpah seorang netizen yang amat membencinya benar-benar jadi kenyataan.
Semoga hari lo senin selalu gara gara lo ngerebut Raden Sarina
***
Anu, sebelum mulai eke ingetin, eke ini pelupa. Tar di awal nulis umurnya berapa, di ujung jadi berapa. Namanya juga beda, di awal Hana, eh, jadi Yasinta.
Nama bunganya adalah Yasinta. Bahasa inggrisnya Hyacinth. Hana itu bunga di dalam bahasa Jepang. Jadi terjemahannya Aura Bunga Yasinta.
Kok bagus?
Yaiyalaaaaah. Eke gitu. Wkwkkw.
***
Usai apel pagi dan membuka ruang baca, serta mempersilakan para pengunjung untuk masuk, Yasinta memiliki seorang langganan yang datang khusus menjenguknya setiap pukul sepuluh pagi. Walau sebenarnya bukan tugasnya, Yasinta akan menemui pengunjung tersebut dan mengantarnya ke pojok baca anak-anak remaja yang posisinya berhadapan dengan ruang baca umum.
Pada jam segitu, Okta akan turun sebentar dari kantornya di ruang arsip dan menunggu di bilik petugas ruang baca umum menggantikan Yasinta hingga waktu kunjungan tamu tetapnya usai dan mereka melanjutkan tugas berikutnya.
Namun, sebelum agenda tersebut dimulai, Yasinta dikejutkan dengan karangan bunga mawar berwarna pink amat cantik dan harum, semuanya masih segar, seukuran manusia dengan buket sama cantiknya yang membuat Yasinta melongo.
"Ya ampun, duitnya berapa itu semua?"
"Tabungan Anno dua bulan, Miss." jawab seorang lelaki dengan kumis tipis dan rambut di sisir serong. Aroma parfum citrus membuat Yasinta merasa rileks dan teringat body cologne yang dia punya ketika masih SMA dulu. Tapi, nggak mungkin, kan, pria tiga puluh enam tahun di hadapannya ini memakai She La La La La La?
"Seharusnya nggak perlu." Yasinta menatap pria lawan bicaranya itu. Tapi, bocah berusia dua belas yang bernama Anno tersebut malah mengangsurkan sebuah kantong kertas berwarna pink dengan motif bunga dan juga ikatan pita kepada Yasinta.
"Buat kado Miss Yasi. I beli sendiri. Custom di penjahit. Isinya celemek. Selamat menempuh hidup baru. Jangan makan ramen terus. Nanti usus you keriting. Yah, memang aslinya keriting, sih, literally beberapa meter …"
Anno merepet panjang lebar dengan bahasa campuran Inggris dan Indonesia ditambah wejangan dan ilmu sedangkan pria yang menemaninya kemudian menyentuh bahu gadis muda itu dan bicara, "Oke, Anno. Kita ke mejamu, ya. Papa juga mesti jaga toko."
Anno yang memiliki rambut sepanjang telinga, menoleh kepada papanya dan dia mulai melakukan ekolalia, "Jaga toko. Jaga toko. Jaga toko. Tokototokototok Tokototokototok Tokototokototok Tokototokototok."
Tatapan mata Anno bukan mengarah ke sang ayah atau kepada Yasinta. Namun, meski begitu, tidak tampak kebingungan atau rasa panik di wajah keduanya ketika dia bersikap seperti itu. Malah, Yasinta sendiri pada akhirnya menyentuh bahu Anno selama satu detik sebagai tanda kalau sudah saatnya dia berpisah dengan ayahnya. Tentu saja, hal tersebut dilakukan sesudah dia meletakkan kado pernikahan dari bocah itu ke ruangannya dan Yasinta kemudian mengajaknya ke sebuah ruangan membaca yang jauh lebih kecil.
Ada beberapa buku pengetahuan di sana, tetapi, fokus Anno biasanya kepada sebuah meja. Terdapat sekumpulan miniatur planet dan mereka kadang menghabiskan waktu memandangi benda tersebut selain, tentu saja, berbalas kata dan berdiskusi.
"Tokototoktoktototok tok … " Anno masih menggumam sewaktu Yasinta membuka pintu ruang tersebut. Pendingin ruangan sudah dinyalakan sejak tadi dan hanya ada mereka berdua di sana. Yasinta memilih mengambil sebuah buku tentang planet dan kemudian beberapa komik berjudul Sailormoon versi berwarna yang sebenarnya sudah sangat usang. Namun, pengunjung setia perpustakaan itu, amat menyukai ceritanya sehingga kadang dia membacanya berkali-kali.
"Mau baca sendiri atau dibacain?"
Yasinta masih berdiri di dekat Anno yang kini menatap sekumpulan tiruan planet seolah-olah benda tersebut adalah cowok paling ganteng di dunia. Tetap tidak ada jawaban sampai dia memanggil lagi, "Anno, kamu baca sendiri?"
Anno lantas menoleh dan menemukan kalau Yasinta sudah memilih duduk di karpet puzzle berwarna dasar hijau. Agak sedikit kontras dengan seragam KORPRI yang dia pakai saat ini. Anno membalas dengan suara kecil, "Baca sendiri." dan kemudian dia ikut duduk di sebelah Yasinta.
Suasana ruang tersebut sepi. Hanya ada mereka berdua di sana. Sejak kebanyakan buku berpindah menjadi bentuk digital, pengunjung perpustakaan tidak sebanyak dulu. Petugas perpustakaan juga tidak melulu mengurusi buku, melainkan juga arsip daerah. Kadang, untuk memancing minat, diadakan bedah buku, pameran buku murah, temu penulis, dan juga pelatihan.
Pelatihan yang diadakan tidak melulu soal menulis. Ada juga pelatihan menjadi pustakawan masjid atau sekolah, menjadi editor, dan banyak lagi. Tapi, yang paling Yasinta sukai tentu saja bertemu dengan anak-anak spesial seperti Anno.
Anno sendiri bukan menjadi pengunjung perpustakaan tanpa alasan. Di bulan pertama Yasinta bekerja, dia masih sangat berduka karena ditinggal kedua orang tuanya. Saat itu, Anno kecil datang bersama ayahnya. Pria itu juga sedang hancur. Istrinya meninggal, juga karena wabah COVID-19. Seperti Anno, ibunya juga istimewa dan kehilangan belahan hati membuat pria itu semakin tidak sanggup mengasuh anaknya yang berkebutuhan khusus.
Dia tidak setelaten istrinya yang tahu betul keadaan sang putri karena kondisi mereka hampir mirip. Ada masa di mana Anno regresi dan mengamuk, tidak bisa dikendalikan. Dia juga harus diet makanan dan menjadi luar biasa aktif bila diet tersebut bocor. Lebih parah lagi, bila ada efek full moon. Energi Anno akan meningkat berkali-kali lipat dan tanpa ada penyaluran, dia akan bergadang dan tidak tidur hingga satu minggu lamanya.
Ayah Anno tidak mengerti bahwa tugas istrinya teramat berat karena dia sendiri harus mencari nafkah. Pertemuan Anno dan Yasinta, membuat gadis muda itu menjadi lebih terkendali dan sampai di tahun ke tiga, Anno tidak pernah alfa menemui Yasinta di perpustakaan, kecuali hari libur dan tanggal merah, saat perpustakaan harus tutup.
"Miss, you tahu kenapa Pluto nggak disebut planet lagi?"
"Ai kaga tahu. Coba jelaskan."
Anno panjang lebar memberi tahu, sedangkan Yasinta dengan semangat menatapnya. Meski begitu, tatapan Anno tidak terarah kepadanya dan sesekali, dia tertawa karena memandangi adegan yang menurut Yasinta biasa saja. Begitu senangnya Anno, dia sampai tidak sadar dan berdiri lalu menubrukkan tubuhnya ke dinding dekat meja yang berisi tiruan planet tadi hingga Yasinta menghambur ke arahnya dengan panik.
"Waduhh, awas kepalamu bocor."
Yasinta memarahi diri karena sempat lalai dan dia buru-buru mempercepat langkah demi memeriksa Anno yang kini memilih bicara kepada Yasinta daripada mengkhawatirkan lukanya, "Pluto disebut planet kecil … "
Mulut Anno terus mengoceh dan Yasinta lebih memilih memperhatikan luka di kepala Anno yang sebenarnya tidak berdarah. Namun benjolan sebesar bola golf yang muncul di dekat pelipis membuat dia menghela napas.
"Anno, kalau kepala kamu lepas, Miss Yasi bisa ditendang bos Herman dari perpus."
Bos Herman adalah kepala gedung perpustakaan dan arsip daerah tempatnya bekerja saat ini dan Anno mengetahui hal tersebut dengan jelas di hari pertamanya datang ke perpustakaan. Hari itu juga, Anno mempelajari daftar nama pegawai, urutan struktur organisasi perpustakaan dan menjelaskan hal tersebut kepada siapa saja yang mau mendengarkan. Sang ayah yang kala itu merasa hampa, membiarkan saja Anno bicara dan ternyata, pada akhirnya, yang menyimak hanyalah Yasinta yang masih dalam suasana berkabung usai kehilangan sang papa.
Mereka berdua menjadi akrab dan kemudian, karena Anno tidak menyukai suasana bising, dibuatlah ruangan yang sekarang mereka datangi, sekaligus untuk memfasilitasi anak-anak berkebutuhan khusus lain yang memiliki minat ke perpustakaan.
Namun, minat Anno tidak hanya soal planet. Di sekolah, dia diajarkan keahlian dan juga cara bertahan hidup di tengah gempuran modernisasi dan papa Anno memilih sekolah luar biasa yang memfokuskan diri untuk kemahiran hidup, seperti membuat karya seni, menjahit, tata boga, perhotelan, dan semacamnya.
"I tahu dia nggak sekejam itu. Lagian, nggak sakit, kok."
Jelas tidak sakit, pikir Yasinta. Anno hampir tidak mengerti apa itu rasa sakit walau tubuhnya terluka dan tidak sekali Yasinta kebagian tugas menjadi orang yang membantu membersihkan luka Anno saat dia tidak sengaja tergelincir, terpeleset, terjungkal, atau seperti ini, menabrakkan diri.
"Sama seperti kata you, Miss, lihat cowok ganteng, tapi nggak bisa dimiliki. Sakitnya setara, kan?"
Mau saja Yasinta menyembur Anno dengan membalas, daripada patah hati, dia lebih suka benjol. Tapi, Yasinta lebih percaya kalau Anno tidak bakal mengerti.
"Nggak gitu, juga. Kadang, cuma lihat dari jauh aja udah hepi, kayak lihat Oppa Gong Yo."
"Ah, temen I bilang, itu bukan Oppa, tapi kakek." Anno bicara jujur, "Tidak muda lagi. Apa you punya kecenderungan suka sama pria berumur, Miss? Tapi, I tahu, your husband masih muda. 28 tahun, kan?"
Buset. Yasinta sampai meneguk air ludah mendengar kata-kata Anno barusan. Tidak mengapa dia menyebut artis kesukaan Yasinta dengan kakek atau kata tidak muda lagi, karena kebanyakan, anak muda menyukai figur publik yang lebih segar dan enerjik. Tapi, ketika Anno menyebut suami Yasinta beserta umurnya, tahulah dia, kemampuan Anno cukup menyebalkan buat rata-rata anak berusia dua belas tahun.
"You do love each other, kan? Makanya bisa menikah."
"Yes."
Bilang yes, saja, pikir Yasinta. Melarikan diri dari masalah adalah hal paling mudah dan Anno kemudian memilih tersenyum atas respon tersebut.
Namun, entah karena kebetulan atau bagaimana, sesaat kemudian, ponsel Yasinta berdenting dan sebuah pesan masuk. Nama suaminya tertera di bagian atas sekali pesan Whatsapp dan dia menggigit bibir usai membacanya.
Pak Didin bakal jemput satu jam lagi. Kita makan bareng. Ibu mau kita bertemu dengan Pak De.
Aih. Aih.
Ibu mertuanya mengajak bertemu, padahal kemarin semua sanak keluarga suaminya sudah bertemu di pesta resepsi. Mengapa kini mengajak bertemu lagi? Yasinta bukan tidak menghargai, tetapi, mereka semua sepertinya lupa kalau menantu mereka adalah kacung negara dan satu jam lagi dia harus menghadiri rapat bersama dengan pimpinan mereka.
Kg bs. Gw rpt.
Yasinta membalas dengan cepat. Masa bodoh kalau pria itu marah. Salah sendiri menikah dengan dirinya.
Pak De mau pulang, makanya kita ketemu sebentar.
Ih! Dodol banget, sih.
Yasinta sempat menoleh sebentar ke arah Anno yang kini melihat-lihat ke arah rak buku yang berada tidak jauh dari mereka. Dia berusaha tidak mengalihkan pandangan, namun, ibu jarinya kemudian dengan cepat mengirimkan balasan.
Gw rpt. P Gub mw dtg. Lo aja yg ktmu, ajak cwk lo sana.
Cih. Enak saja dia menyuruh Yasinta menemui keluarganya, sedangkan pria itu asyik-asyikan menemani kekasihnya yang tamatan Harvard itu sarapan bersama di restoran hotel, sementara dia sendiri dibiarkan mengantri nasi uduk Pok Ukem.
Yasinta kemudian memperhatikan kalau saat itu suaminya mengetik dan dia melihat Anno sudah melakukan hal ekstrim lain sebelum dia bicara, "Miss, itu ada bukunya, Alasan Pluto Didepak … I naik dulu."
Naik? Yasinta melongo. Sesaat kemudian dia sadar, Anno berusaha menaiki rak daripada melakukan hal seperti menarik kursi atau memanggil Yasinta dan minta bantuannya. Karena itu juga, dia buru-buru berlari menghampir Anno, namun telat. Bocah dua belas tahun dengan bobot enam puluh lima kilo itu tidak sadar kalau kakinya menjejak papan rak yang tidak terlalu kuat, dan sejurus kemudian, satu rak bergoyang dan seluruh buku tumpah ruah, dengan tubuh Anno yang jatuh lebih dulu dan juga Yasinta yang kini mesti meringis, karena mata kaki kirinya tertimpa tubuh Anno yang jauh lebih berat dari dirinya sendiri.
Sepertinya, dia punya alasan tidak bisa bergabung makan siang bersama keluarga suaminya dan entah kenapa, dia kembali teringat kekacauan pagi tadi.
Baru pukul sebelas kurang dan masih hari Senin. Tapi, sudah dua kali dia mendapat kesialan.
Padahal, kan, dia tidak berniat jatuh cinta sama sekali kepada suaminya dan jika Sarina ingin merebut Hakim, dia dengan senang hati memberikannya.
***
2 SCdHP
Makan siang yang seharusnya menjadi saat Janjian buat Hakim menemui keluarganya, kemudian berubah saat Pak Didin, sopir istrinya, menelepon dengan nada panik. Hakim sendiri sedianya baru selesai berkirim pesan dengan ibunya, mengabarkan bahwa tidak lama lagi dia akan berangkat menuju rumah ibunya, sedang saat ini, dia masih berada di hotel yang sama dengan tempat resepsi pernikahan antara dirinya dan Yasinta kemarin diselenggarakan.
"Iya, kenapa Pak Didin?"
"Anu, Mas Hakim, Neng Yasi kecelakaan di perpus." suara gugup Pak Didin terdengar dan Hakim terpaksa mengerutkan dahi saat mendengarnya.
"Kecelakaan gimana? Dia, kan, cuma duduk-duduk doang di perpus?"
Hakim berdiri dari sisi tempat tidur dan dia berjalan menuju jendela. Disibaknya gorden yang menampakkan langit Jakarta siang itu. Suasana jalanan di hari Senin masih ramai, sekalipun matahari sedang berada tepat di puncak kepala. Tapi, gara-gara Yasinta, dia merasa seperti matahari telah diletakkan dj atas kepalanya sendiri.
"Itu, soalnya nolongin Neng Anno, ketiban … "
"Anno siapa?"
"Anak yang senang sama Neng Yasi."
Anak yang senang dengan Yasinta? Hakim sampai mendengus mendengarnya. Siapa, sih, yang rela berlama-lama dengan wanita singa itu? Memikirkannya saja sudah membuat kepala Hakim berdenyut-denyut.
"Ya, sudah. Saya ke sana sekarang. Bapak tolong bantu bawa dia … "
"Anu, Mas, sudah dibawa sama Mas Rafli."
"Siapa lagi itu Mas Rafli?"
Hakim baru saja hendak memutuskan sambungan ketika Pak Didin menyebutkan sebuah nama lain yang asing di telinganya.
"Itu, papanya Neng Anno."
"Ya, sudah. Susul saja. Ibu bisa ribut kalau tahu menantunya nggak jadi datang dan bilang kalau saya yang membuat-buat alasan."
Sambungan telepon terputus ketika Pak Didin mengatakan dia akan segera berangkat menuju rumah sakit. Sedangkan, Hakim sendiri masih memandangi layar ponsel miliknya, setelah dia mendapati satu pesan dari Sarina.
Mas, doakan Adek. Semoga pengajuan penelitian ini diterima dan bisa melanjutkan S3 dengan lancar.
Hakim membalas pesan tersebut dengan ucapan Aamiin dan kemudian dia menonaktifkan layar. Hakim lantas bergerak ke arah nakas dan mengambil kunci mobil miliknya. Koper Yasinta masih berada di samping tempat tidur yang posisinya acak-acakan. Saat melihatnya, Hakim mengusap pelipis.
Tidur kayak kebo. Kalau petugas room service lihat, pastilah mereka menyangka kita habis perang malam pertama. Nggak tahunya, si gila itu tidur kayak orang nggak pernah nemu kasur hotel. Mana yang katanya keponakan Ruhi Karmila?
Mana dia ketawanya mengerikan, lagi. Nonton acara apa, sih, sampai jam dua pagi? Habis cekikikan, malah nangis. Sinting.
Hakim menoleh ke arah Ipad milik Yasinta yang tergeletak di nakas. Tadi malam istrinya memilih menonton daripada mengajaknya bicara tentang kelanjutan nasib pernikahan mereka.
"Gue cuma mau nolong Tante. Dia bilang ibu lo jahat."
"Wanita yang kamu bilang jahat itu adalah ibu mertuamu dan dia lebih pilih kamu daripada Sarina."
Awal mula petaka yang kemudian membuat mereka berdua hampir perang bantal. Yasinta teguh membela sang tante dan Hakim dengan kesalehannya sebagai anak dari ibunya yang menolak kehadiran Sarina mentah-mentah.
"Mau dia putri keraton, kek, mau tamatan universitas paling hebat, kek, aku tidak sudi, Hakim. Kekasihmu tidak bakal bisa menyelamatkan kita, tidak kalau kita jatuh ke jurang kemiskinan. Tidak ada wanita yang mau menikah dengan pria kere, meskipun wajahmu mengalahkan pria paling tampan sekalipun."
"Sarina tidak seperti itu. Aku juga tidak bakal tinggal diam, Ibu. Aku mampu bekerja dengan kedua tanganku."
Susah payah Hakim menjelaskan tentang dirinya, potensinya, dan juga betapa besar cinta yang dia miliki untuk Sarina. Sayangnya, tidak ada kesempatan sama sekali. Ibunya, Farihah Hadi, menolak semua.
Hadi.
Dia dengan bangga memakai nama belakang Rahadian Hadi, hal yang membuat Ruhi Karmila murka, semurka-murkanya. Dia sendiri tidak memakai nama suaminya, karena, memang seperti itulah adanya. Ruhi memilih memakai nama belakang ayahnya yang merupakan purnawirawan jenderal dan notabene, kakek Yasinta.
"Kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa. Selagi masih tinggal di Indonesia, wanita itu akan mencarimu dan membuatmu merana sampai kamu tidak bakal bisa mendapatkan kehidupan layak, walau bersujud di bawah kakinya."
"Aku akan ke luar negeri, melanjutkan hidupku." sanggah Hakim yang langsung dibalas oleh ibunya mentah-mentah, "Dan membiarkan aku membusuk di sini? Demi Tuhan tidak akan aku biarkan."
Cintanya tidak mendapat restu. Hal itulah yang membuat Hakim, untuk pertama kali kecewa kepada sang ibu. Meski kemudian perdebatan itu berakhir karena air mata sang bunda membuatnya menyerah.
"Aku mesti menjagamu. Satu-satunya warisan yang aku punya dari suamiku."
Ponsel Hakim bergetar dan sebuah pesan masuk, membuat dia segera tersadar dari lamunan. Setelah dia mengambil Ipad milik Yasinta dan memasukkannya ke brankas di dalam lemari, Hakim bergegas menuju pintu dan keluar kamar. Dalam perjalanan menuju lift, dia menyempatkan diri membuka pesan video yang dikirimkan oleh Pak Didin.
Ini video dikirim dari Mbak Okta, sahabat Neng Yasi.
Video? Hakim mengerutkan dahi. Tangannya bergulir ke layar dan mulai mengunduh. Tidak butuh waktu lama, video berdurasi sepuluh detik menjelaskan kondisi paling terakhir istrinya itu.
Yasinta seperti berada di ruang IGD rumah sakit. Dia memeluk seseorang. Dari suaranya, Hakim tahu kalau yang dipeluk adalah seorang perempuan. Mungkin dia adalah Okta. Hakim bertemu beberapa kali dengannya. Di situ, wajah Yasinta terlihat basah dengan keringat. Matanya merah dan air mata menggenang di pelupuknya. Dia meringis dan berteriak dengan suara amat berisik.
"Nggak mau, kaki gue, jangan dipatahiiin."
Rengekannya seperti anak lima tahun yang tidak dibelikan mainan oleh ibunya. Tidak. Itu malah lebih parah. Yasinta sepertinya mencengkeram lengan Okta sehingga dia menjerit.
"Tangan. Tangan gue jangan lo cakar."
Hakim menahan tawa. Di saat yang sama, ada seseorang berpakaian seperti petugas medis berbaju hijau dengan penutup kepala, masker, dan sarung tangan. Melihatnya, Yasinta makin histeris.
"Kita cek dulu."
"Nggak mauk!"
Jika berada di sana, Hakim yakin, telinganya bakal jadi tuli. Tapi, yang jadi fokusnya kemudian adalah seorang anak perempuan di sebelah istrinya yang kini menutup telinga lalu ikut berteriak, mengulang kata-kata yang sama hingga berkali-kali.
"Nggak mauk. Nggak mauk. Nggak mauk. Nggak mauk. Nggak mau. Tokotototkototoktootok … "
Hakim diam sejenak demi memperhatikan gadis itu. Wajahnya ketakutan dan dia bisa melihat kalau pelipis kanan gadis itu berdarah. Apakah dia kesakitan juga? Hakim yakin iya. Saking seriusnya, dia tidak sadar kalau sudah tiba di depan lift dan Hakim mengaduh begitu ujung hidungnya yang mancung menabrak pintu logam.
"Duh."
Untunglah tidak ada siapa-siapa di sana. Kemudian, dia memutuskan untuk memencet tombol turun dan menunggu hingga kotak besi itu berdenting dan pintunya terbuka. Setelah lift tiba dan Hakim berhasil masuk, dia kembali memperhatikan layar ponsel dan melanjutkan menonton video yang beberapa detik lagi bakal usai.
"Adli, Mbak takuuuut. Tolongiin. Peluuuk."
"Hush, sinting. Peluk aja gue." Okta memotong dan menjewer telinga Yasinta yang tentu saja, langsung mengaduh dan menangis makin dramatis.
"Nggak sembuh kalau lo yang peluk… eh, Pak Didin datang … "
Video terhenti dan Hakim termenung selama beberapa detik hingga suara denting dan pintu lift terbuka membuatnya mengangkat kepala.
"Gue kagak cemburu, ya, lo sama Mall Sarina itu. Ambil aja. Stok laki bukan lo doang dan gue nggak sejelek yang lo kira, catet, ya, Pak Hakim dan Pak Jaksa. Gue laris. Banyak cowok nembak gue, sayangnya, gue lebih cinta ama Tante dan duit …"
Obrolan di pagi mereka, tidak lama setelah dia memutuskan untuk mandi namun menemukan Yasinta sudah siap dengan pakaian kerjanya, yang entah kapan dia bawa dari rumah.
"Kalau mau, anak presiden juga bisa gue goda. Sayangnya gue setia, ama Oppa …"
Rambut sebahu, kulit kuning langsat, bibir merah padahal dia belum memakai lipstik, sepatu berhak sekitar sepuluh cm dan aroma parfum super wangi yang membuat Hakim mendadak puyeng ketika melihat Yasinta gila-gilaan menyemprot benda tersebut ke tubuhnya.
"Enak aja lo bilang bau nenek-nenek. Ini Channel No.5."
Bukankah orang bilang seorang ASN tidak boleh hidup bermewah-mewah? Mengapa Yasinta dengan penuh percaya diri pamer minyak wangi mahal kepadanya?
"Kan lo yang beliin, pas kado antar-antaran kemarin. Makasih, ya, Suamik. Gue tunggu transferan tanggal 25 lo. Eh, swasta tanggal segitu, kan? Tahu aja lo, PNS artinya Pas Ntuk Sebulan."
Yasinta memberikan senyuman super lebar sebelum dia melambai dan membanting pintu kuat-kuat saat dilihatnya Sarina berdiri di depan kamar.
"Eh, eh, saru masuk kamar penganten. Lo tunggu aja laki gue di lobi, kek, atau di restoran sana. Ambil jatah makan gue, itu juga kalau lo nggak punya malu. Tapi, mayan, cuy, breakfast buffet sejeti. Lo ambil aja, yes. Gue mesti kerja. Maklum, kacung negara."
Yasinta menunjuk lift dan meminta Sarina berjalan lebih dulu sementara dia memilih menunggu bayangan kekasih suaminya menghilang dan dia sendiri melotot kepada Hakim sambil memegang ponsel, siap merekam dan melaporkan kepada mertuanya jika Hakim nekat, yang mana, langsung berhasil membuatnya tidak berkutik.
"Halalin dulu, anak orang, baru dibikin bunting, ya. Tapi, itu juga kalau lo berani cerain gue. Mumpung belom dapat karsu, sih, Kartu Suami." Yasinta terkikik. "Kalau, dah, dapet, bakal susah. Lo salah langkah pas mutusin kawin sama gue. Mbak Okta aja udah dua tahun ngusul cerai kaga diterima."
Di hari kedua mereka jadi suami istri, Yasinta sudah menyebut kata cerai dan Hakim tidak bisa lebih jengkel lagi, sehingga melihat video istrinya menangis saat ini adalah hal paling menyenangkan yang bisa dia terima.
Tapi, dia lupa, Yasinta Aura Hana adalah aktris drama paling lihai yang pernah ada. Pelatihannya lewat jalur drama Korea dan sejauh ini, dia tidak pernah gagal mengelabui siapa saja.
***
3 SCdHP
Insiden antara Yasinta, Anno, dan buku-buku di perpustakaan pada akhirnya membuat Hakim memandangi istrinya dengan wajah amat takjub sewaktu dia tiba di ruang IGD klinik terdekat dengan kantor. Bila dihitung, ada empat pria termasuk dirinya yang sengaja datang ke situ khusus untuk melihat apa yang telah terjadi.
Yang paling dramatis, tentu saja Pak Didin. Pria yang merangkap jadi tukang asuh Yasinta sejak kecil sekaligus sopir pribadinya itu, dengan wajah cemas menenangkan Neng kesayangannya. Pose Pak Didin tak ubahnya seorang bapak yang gemas melihat anaknya selalu gagal memasukkan gol ke kandang lawan setiap Yasinta berteriak sewaktu dokter berusaha menyentuh kakinya.
"Neng Yasi, jangan teriak. Itu, kan, nggak sakit."
"Nggak sakit dari Hongkong. Kaki gue bengkak begini. Apa Pak Didin kaga bisa melihat? Apa Pak Didin kena katarak? Abis ini kita ke poli mata buat mastiin." rutuk Yasinta. Wajahnya merah. Air mata mengambang di pelupuk matanya, dan yang paling lucu, Hakim baru sadar, di bawah hidung, di ujung hidung, serta di bawah mata istrinya, muncul keringat yang hampir tidak pernah dia temukan pada orang-orang terdekatnya.
"Bukan begitu, Neng. Kita udah begini dari setengah jam tadi. Dokternya udah capek."
Yasinta mengalihkan pandang, dari Pak Didin ke arah dokter berwajah amat tampan yang kini diam di hadapannya. Sepertinya, dokter tersebut bingung hendak berbuat apa karena pasiennya begitu barbar. Tidak peduli bujuk rayu setelah ini kakinya bakal baik-baik saja, Yasinta makin histeris karena di dalam kepalanya, tidak pernah ada hal baik-baik saja. Dia sudah menonton video mengobati patah tulang Haji Naim dan lebih memilih mati daripada tulangnya disentuh ketika sedang bengkak.
"Tapi, Pak Didin …"
Ucapan Yasinta terhenti karena di saat yang sama, suara pria paling menyebalkan, membuat dia terdiam dan suaminya, Iqbal Al Hakim masuk tanpa banyak basa-basi.
"Sini, pegang aku."
Okta, sahabatnya, langsung melepas pegangan Yasinta dan hal tersebut segera saja mendapat protes. Padahal, sahabatnya itu sedang tidak percaya dengan penglihatannya sama sekali. Yasinta bilang kalau hubungan dia dan Hakim seperti dua warung sembako yang bersaing dan main dukun. Tapi, melihat betapa lembut Hakim dan saat ini menawarkan diri untuk mengurus Yasinta, membuatnya tidak bisa tidak terpana.
"Mbak. Mbak. Tolongin gue, dia bukan mau bantu … " pekik Yasinta panik. Namun, terlambat. Dengan senyum pasta gigi, Hakim menyentuh lengan kanan Yasinta, lalu secara tidak kasat mata, mengunci tangan tersebut sehingga dia tidak bisa bergerak. Kemudian, Hakim memberi kode kepada dokter yang masih membujuk agar segera melakukan tindakan dan hal terakhir yang dia ingat sebelum Yasinta menghantam pelipis Hakim dengan kepalanya sendiri adalah kata-kata judes yang membuatnya nyaris kena serangan jantung.
"Jangan pegang-pegang gue, Begok!" yang kemudian membuat Yasinta malu dan ingin membenamkan wajahnya ke dalam sumur. Sayangnya, Hakim sendiri hampir terpeleset dan nyaris membentur ujung brankar sehingga membuat suasana IGD makin gaduh.
Hanya Anno, yang kini duduk di ranjang sebelah, dengan sang ayah yang menemani, menutup telinga dan dari bibirnya terus mengucapkan kalimat yang sama, "Tokotokotok tokotokotok tokotoktok." Mengabaikan tontonan super lucu dari pasangan pengantin baru yang kini membuat perawat serta dokter langsung mendapat serangan sakit kepala mendadak.
***
Hampir pukul tiga sore saat mobil milik Hakim parkir di depan rumah yang sebenarnya baru akan dia huni sekitar satu minggu lagi. Tapi, insiden tadi siang membuat semuanya kacau dan daripada dia kena sembur Farihah dan juga Ruhi karena lalai menjaga istrinya, Hakim memutuskan untuk check out hotel lebih cepat. Pak Didin dia minta untuk membawa barang-barang mereka, sedangkan dia membawa Neng Yasi kesayangan sopirnya yang dari tadi menangi sesenggukan.
Bahkan, Sarina tidak pernah menangis seperti itu dan ketika mengatakannya, tentu saja, dia mendapat semburan panas bak lahar api yang keluar dari bibir Yasinta.
"Nggak pernah nangis, pala lo peyang? Sini gue praktikkan ulang gimana rasanya ketiban beras tiga karung lebih, terus ditiban lagi rak buku, habis itu, kaki lo ditarik-tarik dan dibejek-bejek ama dokter. Mal Sarina itu paling parah menderita apaan? Jalan aja dia digotong pake tandu, bagian mana dia yang sakit? Lo awas aja, ya, bisulan, kudisan, mencret, minta obatin sama dia, gue nggak mau."
Hakim yang saat itu hendak membuka pintu mobil lantas terdiam mendengar ucapan istrinya. Tapi, sejurus kemudian dia memilih melepas sabuk, membuka pintu dan keluar sebelum akhirnya dia berjalan menuju pintu tempat Yasinta duduk dan membukanya.
"Keluar." suruh Hakim. Suaranya datar dan tidak terdengar kasar. Tapi, sebaliknya, di telinga Yasinta, hal itu seperti hinaan.
"Apa kata lo? Kaki gue digips kayak gini. Minimal kasih kursi roda, kek. Kata tante lo direktur, CEO. Masak sampe kruk aja nggak mampu beli pas kita lewat apotek tadi. Lo mau gue ngesot sampai WC kalau mules? Kalah, deh, suster ngesot."
"Aku sudah suruh Pak Didin. Tapi, sampai sekarang orangnya belum sampai. Atau kamu mau menunggu di sini?"
"Enak aja." sembur Yasinta, "Badan gue lengket habis nangis-nangis di IGD tadi. Gara-gara lo datang, Adli sama Mas Rafli pada kabur. Sial banget nasib gue hari ini."
Yasinta mengoceh mengabaikan kenyataan kalau saat ini tangan kanan Hakim telah terulur kepadanya, "Gimana caranya gue turun, coba? Ah, kalau gue masih di kantor, bisa ngecengin protokoler Pak Gub. Nasib gue lagi apes, bener. Apa mungkin gara-gara kawin ama lo?"
Sudut bibir sebelah kanan Hakim berkedut dan dia memandangi wajah istrinya dengan jengkel. Bagaimana bisa seorang Yasinta Aura Hana begitu percaya diri membahas soal laki-laki di depannya?
"Alah, jangan sok suci. Mending gue ngecengin cowok ganteng. Daripada lo, elus-elus anak orang, kaga bisa dihalalin, lagi. Malah ngehalalin gue."
"Aku bisa saja membiarkan kamu masuk sendiri." balas Hakim, makin jengkel karena Yasinta seperti tidak peduli kebaikannya saat ini. Tangannya masih terulur dan yang dilakukan sang istri adalah mengusap-usap poninya yang seperti poni anak kecil.
"Ih, kalau gue mau mandi, gimana, ya? Lo pasti senang, karena bisa jadi alasan nggak bobol gue, kan?"
Hakim menghela napas. Dia tidak tahu kalau wanita di depannya ini amat mirip nenek lampir, sehingga kemudian, dia sendiri tidak mengerti dengan isi kepalanya ketika memutuskan menarik tangan kanan Yasinta keluar mobil dan meletakkan tangan tersebut di bahunya.
"Buruan masuk. Aku masih harus telepon Ibu."
Yasinta melirik Hakim yang kelihatannya tidak kesusahan sama sekali menyeret tubuhnya, sedang Yasinta sendiri, merasa napasnya hampir copot sebab dia harus meloncat-loncat agar gips di kaki tidak menyentuh lantai. Gara-gara itu juga, air mata kembali menggenang di pelupuk mata.
"Ya Allah, mimpi apa gue digotong-gotong kayak gini? Sudah sebelah kaki gedenya kayak kaki gajah, dipaksa jalan sendiri … "
Entah untuk ke berapa kali Hakim menghela napas hari ini. Rasanya, dia tidak pernah melakukannya saat bersama Sarina. Sayang sekali, dia harus hidup bersama Nenek Lampir menyebalkan seperti satu yang berada di sebelahnya saat ini.
Tiba-tiba saja, Hakim melepas tautan tangan mereka, lalu berjongkok di hadapan Yasinta, sedang, wanita itu menatap amat heran ke arah suaminya yang kini mendongak dengan wajah menahan kesal.
"Buruan naik punggungku."
"Ih, gue nggak sembarangan pegang laki-laki." Yasinta menarik tangannya sendiri dan geli membayangkan kalau dadanya bakal bertemu dengan punggung Hakim. Gara-gara itu juga, dia lalu memejamkam mata dan memekik ngeri, "Ih, otak. Lo jauh-jauh, jangan ganggu gue. Gue masih suci murni."
Cih, Hakim mendengus, suci murni sebelah mana? Siapa tadi yang minta dipeluk juniornya? Lalu, senyum genit yang dia berikan kepada papa Anno tadi? Apakah Yasinta menyangka Hakim buta?
"Kalau nggak mau, aku masuk sendiri."
Yasinta menoleh ke arah teras rumah yang berjarak sekitar delapan meter dari posisi pekarangan rumah mereka. Meski baru sehari jadi istri Hakim, Yasinta sudah dua kali ke rumah itu. Beberapa barangnya sudah berada di sana dan membayangkan gips di kakinya bakal copot ketika memaksa berjalan, dia tidak punya pilihan selain memejamkan mata dan mulai mengalungkan kedua lengan di leher Hakim.
"Otak lo jangan travelling, gue getok kalau macam-macam."
"Macam-macam gimana? Yang kugendong ini tiga karung beras … aduh, jangan jewer … "
Hakim berjengit karena Yasinta protes dan mengatainya dungu, "Berat gue cuma empat lima. Jangan sembarangan lo."
"Ampun. Ampun. Jangan dijewer, ntar kita jatuh."
Minta ampun, pikir Hakim. Dia berusaha diam, tetapi, tetap kena batunya. Padahal, jarak masuk rumah masih beberapa meter lagi. Dari luar, orang yang melihat bakal berpikir kalau mereka sedang melakukan hal romantis. Namun, bila mereka jadi dia, pasti bakal menggerutu juga. Si Nenek Lampir ini, bila dibandingkan dengan Sarina …
Ah, kekasihnya adalah segalanya. Wanita lemah lembut baik budi dan berpendidikan. Yasinta? Jika bukan karena backing cucu seorang purnawirawan atau keponakan Ruhi Karmila, belum tentu bisa lulus ASN. Lagipula, amat lucu dia memilih pekerjaan dengan gaji minimal tersebut, bila dibandingkan dengan melanjutkan usaha ayahnya.
"Otak lo."
Sebuah jeweran pelan di telinga kanan dan Hakim hanya mampu menghela napas lagi. Kini mereka sudah berada di dalam rumah, dekat ruang tamu. Yasinta membantu membuka pintu karena tangan Hakim terkunci, menggendongnya dari belakang. Setelah itu, dia harus bersusah payah menuju kamar utama yang letaknya berada di sebelah ruang keluarga. Amat repot karena gips di kaki Yasinta ternyata tidak enteng.
Hakim sendiri pada akhirnya berhasil membantu Yasinta duduk di tepi tempat tidur dan dia berpikir urusan dengan istri gendengnya itu bakal selesai. Namun, belum dua detik melangkah keluar kamar, dia dikejutkan dengan jeritan panik yang membuatnya menggelengkan kepala.
"Apa lagi, sih? Aku baru mau telepon Ibu." Hakim menunjuk ponsel yang kini sedang membuka laman kontak ibunya, Fariha Hadi.
"Gue kebelet pipis. Gimana ceboknya coba?"
"Astaga, Hana. Bahkan buat buang air pun, kamu nyari aku?" Hakim menyugar rambutnya dan memejamkan mata selama satu detik sampai Yasinta membalasnya tak kalah garang.
"Terus gue minta tolong siapa? Pak Didin?"
Ingatkan dia, untuk membuka lagi perjanjian pranikah dengan wanita itu, segera setelah Yasinta buang air kecil dan selesai dengan urusan remeh-temeh putri manja yang ternyata amat menyebalkan itu.
***
4 SCdHP
Ketika Iqbal Al Hakim mengetuk pintu kamar, Yasinta yang tadinya sedang cekakak-cekikik menonton reels dari akun IG yang muncul di berandanya, cepat-cepat menonaktifkan layar ponsel dan melempar benda itu ke bawah bantal. Dia kini sudah berbaring di atas tempat tidur dan kedatangan Hakim telah membuatnya mesti bersikap seperti orang sakit.
Hakim sendiri masuk ke kamar bukan tanpa alasan. Sudah waktunya dia beristirahat dan seperti tadi malam, dia mesti tidur satu kasur dengan bini cerewetnya itu.
"Kakinya masih sakit?" Hakim bertanya, basa-basi sebab dilihatnya wajah Yasinta tampak panik. Tidak dia tahu kalau barusan sang nyonya sudah diinterupsi kesenangannya dan raut Yasinta saat itu lebih karena dia tidak bisa lagi menonton tayangan kesukaannya.
“Ya, sakitlah. Pakai nanya.”
Jawaban ketus Yasinta tidak membuat Hakim gentar meski sekarang hanya ada mereka berdua di rumah. Kenyataannya, kan, memang begitu. Pak Didin tentu saja pulang ke rumahnya dan akan kembali esok pagi. Namun, mengingat Yasinta bakal absen bekerja selama beberapa hari, Hakim sangsi, kehadiran pria itu masih dibutuhkan untuk saat ini.
“Kalau masih, aku bakal telepon dokter dan minta mereka suntik … “
Kalimat Hakim terputus karena Yasinta melemparinya dengan bantal guling. Menyuruh kakinya disuntik lagi? Lebih baik dia memilih mati.
“Nggak ada omongan lain, apa? Itu emang mau lo, kan? Lihat gue merana?” Yasinta bersedekap sementara Hakim berhasil mengambil bantal istrinya. Mereka duduk saling hadap dan saat ini, Yasinta melihat Hakim sedang menimang-nimang bantal di dalam pelukannya, seolah sedang berpikir untuk balas melempar dirinya.
Awas aja kalau berani.
“Aku tidak berniat seperti yang sekarang ada di dalam kepalamu.” Hakim bicara lagi. Matanya kembali melirik wajah Yasinta yang tampak kecut.”Kamu tahu benar kalau aku tidak pernah berniat jahat. Kita sudah saling mengenal sejak kecil.”
Saling mengenal sejak kecil. Sebenarnya, siapa saja yang mengenal mereka tahu kalau Yasinta dan Hakim adalah sepupu yang dinikahkan. Tidak ada perdebatan karena semua orang juga tahu, Hakim adalah istri lain seorang Rahadian Hadi. Tapi, kemudian, teman-temannya menggoda Yasinta dengan mengatakan kalau hatinya nyantol kepada hati sepupunya sendiri.
Tapi, semua orang lupa kalau Hakim telah menaruh hati kepada Sarina sejak lama. Sayangnya, kisah mereka terhalang restu. Farihah lebih memikirkan kelangsungan nasibnya yang jelas tidak sekuat Ruhi Karmila. Siapalah dia bila dibandingkan sang putri jenderal? Farihah hanya mantan kembang desa layu yang sekuat dia membesarkan putra semata wayang yang sejak dulu tidak pernah dianggap namun selalu dibanggakan oleh suaminya, yang juga suami Ruhi Karmila.
Wanita yang luar biasa cerdas, sejak awal menikah mengamankan aset atas namanya, nama suaminya, serta hampir semua hal, kecuali kemudian kenyataan bahwa dia tidak bisa memberikan keturunan kepada suaminya, yang kemudian menjadi kekuatan Farihah yang membuat Ruhi seperti mati kutu. Tidak peduli sebanyak apa aset yang dia kuasai, tetap saja, putra satu-satunya yang bakal menjadi penerus tahta keluarga.
Gara-gara itu juga, sejak muda dia dicekoki oleh tantenya bahwa keluarga Farihah tak ubahnya seperti lintah dan kini salah satu anggota keluarga lintah tersebut malah duduk satu ranjang dan berlabel suami di jidatnya. Belum lagi, omelan netizen tentang Sarina yang kini menjadi korban paling merana dibandingkan dirinya.
Padahal, dia seharusnya menjadi yang paling harus dikasihani. Adli dan Rafli, dua pria yang dari dulu menjadi pusat kesenangannya malah memilih mundur. Belum lagi kakinya yang kini mesti dibebat. Tidak terhitung betapa banyak penderitaan Yasinta demi menjadi istri pria di hadapannya itu.
"Nggak usah ngaku kenal-kenal, dah. Lo boleh jadi anak Om Dian. Tapi, tetap aja, lo bukan anak Tante."
Mereka saling diam selama beberapa saat. Mulanya, Yasinta berpikir kalau Hakim bakal kabur mencari Sarina seperti yang selama ini dia lakukan atau paling banter memilih tidur di kamar lain. Tetapi, sepertinya dugaannya salah. Pria itu kemudian mengambil bantal yang sudah disusun Yasinta membentuk barikade di kanan dan kirinya, sehingga hal tersebut membuat wanita dua puluh enam tahun tersebut refleks menarik bantal Hakim.
"Mau apa?"
"Mau tidur." balas Hakim. Tangannya memegang bantal dan saat yang sama, Yasinta juga memegang ujung yang lain.
"Balikin bantal gue."
"Bantalmu segitu banyak, itu aja sudah ada tiga." Hakim menunjuk tumpukan bantal di belakang Yasinta dan balasan istrinya adalah gelengan.
"Lo udah tahu kalau gue nggak bisa tidur cuma dua bantal. Punggung gue sepi, kaki gue juga."
"Punggung sepi? Mana ada manusia tidur bawa banyak bantal, alasannya punggung sepi." Hakim hampir tersembur tawa. Namun, Yasinta dengan cepat menarik bantal tersebut dan membawanya ke pelukan.
"Bodo amat. Lo ambil bantal sofa, kek, bantal dari kamar lain, kek. Pokoknya, bantal ini buat punggung."
Yasinta mengambil posisi meletakkan bantal di sebelah tempat tidur yang kosong lalu membaringkan tubuhnya dengan perlahan. Sebelah kaki yang dipasangi gips berada di atas salah satu bantal lain, sisa dua bantal untuk kepala dan untuk di sebelah kirinya, supaya dia bisa memeluk benda tersebut.
"Ada-ada aja. Semalam kamu juga ambil bantalku … "
Yasinta tidak menjawab. Dia memilih memunggungi Hakim dengan salah satu bantal berada di tengah dan seperti kata-katanya, bantal tersebut memang seolah mengganjal punggung Yasinta. Namun, Hakim tahu pasti, istrinya bukan memberi penghalang karena sejak tadi malam pun dia tidak protes ketika Hakim ikut tidur di sebelahnya.
"Gue nggak punya mama atau papa yang bisa peluk… "
Hakim merasa kalau suara Yasinta jadi agak sedikit pelan, tapi, kemudian, wanita tersebut melanjutkan, "Punggung gue diganjal, biar ngerasa Mama masih ada."
Hakim baru akan menjawab saat Yasinta tersentak dengan gaya amat tidak natural dan mengusap kakinya yang masih terbalut gips. Dari bibirnya keluar keluhan, namun, pria tersebut tidak dapat melihat raut wajah istrinya melainkan kemudian, mendengar isakan tidak wajar yang dia tahu, tidak ada hubungannya dengan kaki.
"Besok mau sarapan apa?" Hakim bertanya setelah dia mematikan lampu kamar dan meletakkan kepalanya di atas bantal. Dia tahu betul kalau Yasinta belum tidur. Dari tadi, wanita itu tampak gelisah dan menggaruk-garuk permukaan bantal guling dengan ujung kuku telunjuknya.
"Hana." Hakim memanggil lagi, "Kalau mau, aku belikan sebelum berangkat."
Tetap tidak ada jawaban. Yasinta sendiri sedang membayangkan kelanjutan video lelucon yang kini terpaksa tidak bisa dia tonton. Kenapa, sih, Hakim tidak cepat-cepat tidur?
"Hana?"
"Ah, lo banyak tanya. Besok aja belom datang, sekarang masih hari ini. Diem aja ngapa? Aduh, kaki gue … lo, sih, nanya mulu."
"Aku kerja besok dan nggak ada orang di rumah."
"Ada Pak Didin." Yasinta membalas. Dia tidak menoleh ke arah Hakim yang kini dalam posisi setengah berbaring dan setengah duduk.
Pak Didin? Oh, iya. Hakim lupa kalau ada fakta itu. Yasinta sudah pasti tidak bisa ke kantor selama beberapa hari ini dan hal tersebut juga berarti kalau sopir setia istrinya akan membantu Yasinta selagi berada di rumah.
"Tapi, nggak mungkin Pak Didin masuk kamar …" Hakim menggumam dan dibalas dengan Yasinta, "Biasa aja dia, mah. Dari dulu juga gitu. Lo aja biasa masuk kamar si Sarina."
Hakim terdiam. Tidak tahu kenapa, Yasinta seperti selalu hendak mengajaknya perang. Padahal, dia berpikir kalau Pak Didin bakal malu masuk ke kamar mereka. Namun, respon Yasinta amat tidak bersahabat.
"Aku tidak pernah masuk ke kamarnya."
Bahu Yasinta bergetar tanda dia kini sedang menahan tawa. Memangnya dia sebodoh itu? Toh, Hakim dan Sarina sempat kuliah bersama di luar negeri. Masa iya, mereka tidak pernah menghabiskan malam bersama?
"Yah, serah lo aja. Bukan urusan gue itu." Yasinta memilih menyerah. Agak aneh karena Hakim merasa hal tersebut seperti bukan istrinya.
Hana. Sejak dulu dia mengenal Yasinta dengan nama itu. Dia mendengar Mama Yasinta memanggilnya Hana dan Hakim melakukan hal yang sama. Dia adalah si tengah dari tiga bersaudara. Namun dua saudaranya juga telah lebih dulu pergi. Abangnya meninggal dalam kecelakaan saat kuliah di Australia dan adiknya wafat karena tenggelam saat berenang. Kini, si tengah menjadi yatim piatu dan juga kehilangan dua saudaranya. Karena itu juga, Hakim jadi tahu kalau Yasinta sengaja memasang bantal di sekeliling supaya dia masih merasakan efek dipeluk oleh keluarganya.
Keluarga, yang tidak seorang pun hadir saat hari pernikahan mereka, saat Yasinta seharusnya dinikahkan oleh sang ayah, atau dipeluk oleh bundanya sewaktu sungkem kepada orang tua. Bahkan, acara melangkahi kakak mempelai, semuanya tidak ada. Yasinta hanya ditemani tante tercinta.
"Tadi, Ibu telepon dan bilang mau mengirim Mbak Asih, buat menemani kamu." Hakim bicara setelah sekitar lima menit hening, namun, dia tahu kalau Yasinta masih terjaga.
"Gue nggak perlu ditemani. Jangan ngerepotin orang-orang. Lagian, gue anak rebahan. Cukup kasih kasur, gue bahagia." balas Yasinta dengan nada santai. Sayangnya, Hakim tidak sependapat.
"Jangan gitu. Kakimu sedang terluka. Gimana kalau mau ke kamar mandi? Kalau mau ambil pakaian? Kalau tiba-tiba jatuh?"
"Ntar gue pikirin pas mau ke kamar mandi, pas mau ganti baju, dan pas gue jatuh. Jangan dibikin ribet, masih besok juga."
Lagi-lagi, Yasinta membalas ucapannya dengan nada tidak antusias. Mungkin, karena kakinya masih sakit, pikir Hakim. Gara-gara itu juga, dia kemudian memilih untuk kembali berusaha memejamkan mata.
"Atau, kamu mau aku di rumah?"
"Aiiiissh, nggak usah. Ntar gue yang repot kudu nyiapin makan buat lo. Dahlah, kerja yang bener, sana. Jangan pikirin gue."
Yasinta tidak bicara lagi setelah berkata demikian, sehingga membuat Hakim menoleh ke arahnya, walau percuma, dalam kegelapan malam, dia seperti memandang ke arah dinding gelap. Hakim lantas kembali memandang ke arah langit-langit dan pikirannya menerawang di hari-hari awal sebelum pernikahan mereka, saat keduanya harus bertemu dalam sebuah rapat khusus yang mereka lakukan di sebuah kedai kopi sepi, tempat Yasinta biasa nongkrong.
"Kamu jangan berpikir aku menerima … "
"Sudahlah, gue bukan bocah. Gue tahu maksud lo, maksud mak lo, maksud tante gue. Cukup jalani peran kita baik-baik, ntar kalau sudah waktunya bubar, kita bubar. Mumpung gue lagi senggang dan kita berdua sebenarnya bukan orang lain … "
Hakim memejamkan mata, mengingat pertemuan-pertemuan lain, terutama saat dia diajak sang ayah menghadiri pemakaman semua anggota keluarga istrinya tersebut. Raut muka Yasinta selalu sama, berdiri paling dekat pusara, memegang bingkai foto mendiang dengan mata kosong dan pikiran yang tidak bisa ditebak sama sekali.
"Abang."
"Dek Tisha."
"Mama."
"Papa."
"Apakah tahun depan giliran aku? Atau tahun depannya lagi? Kalian semua pergi. Aku nggak punya siapa-siapa lagi."
Hampir satu menit kemudian, suara dengkur terdengar dan Hakim memutuskan untuk menoleh ke arah Yasinta. Di sebelahnya adalah orang yang sama dengan gadis malang yang tadi mampir di dalam pikirannya. Namun, tidak seperti dulu, Yasinta berubah menjadi seperti orang lain. Dia memang masih cengeng, namun, yang ditangisi olehnya adalah hal remeh-temeh tidak masuk akal yang kadang membuat Hakim menggelengkan kepala.
"Adliiiii … ganteng banget, sih?"
Hakim menghela napas. Gaya tidur Yasinta amat mengerikan, sampai dia dengan suara keras menyebut nama lelaki lain di dalam tidurnya.
"Kenapa gue mau aja disuruh kawin sama lo? Nggak tahu, mungkin karena gue lagi kepingin ngerasain gimana kawin sama orang yang nggak demen sama gue. Apalagi lo sebenarnya nggak mau juga sama gue, jadi, gue pikir, amanlah, ya. Alasan lain, karena gue sayang Tante dan bosen tiap lebaran ditanya kapan kawin. Udah, gitu aja."
Bosan ditanya kapan kawin? Alangkah absurd jawaban itu dan Hakim sampai menggelengkan kepala saat mendengarnya.
Ponsel Hakim tiba-tiba menyala dan sebuah denting membuat dia menoleh. Jam segini, biasanya Sarina yang mengirimkan pesan.
Jgn mcm2 ya sama dia, Mas.
Adek sedih tapi nggk bisa berbuat apa2.
Hakim memandangi pesan Sarina, kemudian menoleh kepada Yasinta yang tampaknya tidak akan bangun lagi. Setelah beberapa saat, dia memilih berdiri dan berjalan ke luar kamar, sambil membawa ponselnya.
Kantuk belum menggodanya untuk tidur dan dia ingin melepaskan gundah dengan berbicara kepada kekasihnya malam ini. Siapa tahu, rasa kesal yang dia dapat karena perdebatannya dengan Yasinta, ibu kandungnya, atau juga dengan direksi yang tampaknya tidak percaya dengan kemampuan Hakim, bakal lenyap begitu mendengar suara merdu Raden Sarina.
***
5 SCdHP
Yasinta sedikit senang ketika dia menemukan alat bantu berjalan yang bentuknya seperti kereta dorong di sisi tempat tidur saat dia bangun pagi berikutnya. Lampu kamar sudah dinyalakan. Dia sebenarnya tidak bisa tidur dalam kondisi seperti itu. Tapi, mungkin karena hari sudah pagi dan Hakim mesti bersiap-siap, maka, pria itu terpaksa menyalakan lampu.
Untung saja, Yasinta sedang datang bulan, sehingga dia tidak perlu panik dan buru-buru ke kamar mandi. Meski begitu, kebutuhan yang membuat perutnya selalu otomatis berkontraksi setiap matanya terbuka, tak urung membuat Yasinta kalang kabut.
Mules, lo nggak bisa nyari hari lain, gitu? Gue susah jalan, ya, ampun, masih aja ngajak kebelet boker.
Yasinta memilih bangun. Pagi ini, nyeri di kakinya lumayan terasa. Kalau tidak salah, dokter sudah meresepkan beberapa jenis obat. Penahan nyeri adalah salah satunya. Tapi, dia adalah tipe penakut. Makan obat sama saja dengan memaksanya muntah dan sejak kecil dia sudah berdamai dengan keadaan "Yasi mesti sehat" supaya tidak perlu makan obat.
Yang patut dia banggakan, kakinya yang bermasalah cuma sebelah, sehingga, dia bisa berjinjit dengan satu kaki bila ingin berjalan. Hakim juga telah menyediakan kruk untuk Yasinta yang membuatnya mau tidak mau memakai benda tersebut. Alat bantu jalan yang satunya tidak cocok buatnya yang kelewat lincah.
Gara-gara hasrat ingin buang air juga, Yasinta kemudian buru-buru masuk kamar mandi yang berada di dalam kamar utama tersebut tanpa pikir panjang. Toh, dia sudah yakin kalau Hakim tidak berada di rumah. Tadi, dia sempat melihat angka pada jam digital dan waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Berdasarkan pengetahuannya, Hakim mungkin sedang asyik menggoda bunga kompleks atau berteleponan dengan kekasihnya, yang mana saja dia tidak peduli. Namun, dugaannya salah besar. Ketika pintu kamar mandi terbuka, dia memekik kaget dan langsung mundur tanpa pikir panjang sambil menutup kedua mata dengan telapak tangan kanannya.
Teriakan Yasinta membuat Hakim yang kala itu sedang mandi lantas menoleh kaget ke arah istrinya dan dia tanpa pikir panjang segera lari ke luar kamar mandi begitu melihat Yasinta jatuh terjengkang. Tapi, begitu tangannya menyentuh lengan Yasinta, pustakawan muda itu menjerit-jerit histeris, "Pergi! Sana! Gue nggak mau! Tuhaaan, gue mau boker, malah dikasih pisang ambon pagi-pagi. Ta* gue masup panta* lagi." keluh Yasinta menahan jengkel, tangis, dan malu bersamaan.
Parahnya lagi, Hakim malah tidak sadar kalau dia mendatangi istrinya dalam kondisi seperti bayi baru lahir. Gara-gara itu juga, sambil terpejam, Yasinta balik badan dan merangkak menjauh sambil menggerutu ke arah langit-langit, "Sudah hari Selasa, ini, woi. Masih aja maksa jadiin hari gue Senin mulu."
"Hana, sakit, ya?"
"Bodo, amat. Lo pergi yang jauh, sana. Pakai handuk, kek. Pakai sempak, kek." Yasinta menarik tangan kanannya yang kini dicekal Hakim supaya lepas. Pria itu kemudian sadar penyebab istrinya mengomel dan dia segera mengucap istighfar setelahnya. Yasinta sendiri akhirnya menyadari Hakim terbirit-birit ke kamar mandi dan dia barulah membuka mata. Namun, hal tersebut hanya berlangsung beberapa saat. Sosok Hakim kembali muncul dari balik kamar mandi. Akan tetapi, dia sudah membelit tubuhnya dengan handuk.
Meski begitu, tetap saja, Yasinta memilih melempar pandangan ke arah kasur daripada memandangi suaminya yang kini seperti orang tidak tahu diri, tidak sadar kalau barusan dia pamer perabot di depan seorang gadis perawan suci murni yang sebetulnya, amat doyan menonton adegan tidak pantas di layar Ipad miliknya.
Tapi, kan, perabot cowok Korea atau adegan cipokan memang sengaja diciptain buat menghibur mata jomlo kayak gue. Lah, perabotnya si Hakim, pan udah sering dicelup ke salomenya si Mal.
Hiih! Yasinta sampai bergidik sendiri membayangkannya. Karena itu juga, lantas dia membuka mata dan mulai mencerocos, "Kunci, dong, kamar mandi kalau lo di dalam. Jadi gue tahu, ada manusia di situ."
"Aku kira kamu masih tidur." Hakim membela diri. Wajahnya masih dipenuhi busa sabun walau sebagian telah lumer. Yasinta sendiri merasa ingin tertawa melihatnya, bisa-bisanya Sarina tergila-gila dengan pria di hadapannya ini.
Benar, Hakim berpostur tinggi dan untuk ukuran pria, dia lebih mirip bak foto model. Kulitnya putih bening dan awalnya Yasinta sempat mengira kalau Hakim mirip salah satu aktor Korea saking lamanya mereka tidak bertemu. Gara-gara itu juga, barangkali dia tidak berpikir lagi ketika tante membujuknya agar mau jadi bini anak tirinya itu. Namun, ketika tahu kalau Hakim masih main hati dengan sang keturunan keraton, simpati Yasinta amblas.
Tapi, pisang ambon, sih. Idih, bisa-bisanya mata gue lancang pagi-pagi begini. Ampuni gue, ya, Tuhan. Itu masih innalillahi, lho, kalau tahiyat, gimana? Ya, amsyoong, otak gue, Yasinta menepuk pelipisnya sambil memejamkan mata. Tapi, otaknya tidak mau kompromi dan si gadis pecinta drama itu mulai bermain alur di dalam kepalanya, si Mal pasti nggak bisa jalan seminggu pas pertama dibobol.
"Hana." Hakim memanggil lagi, namun, Yasinta enggan menoleh. Segala film aneh-aneh sedang berputar di kepalanya dan dia merasa ingin menangis. Bisa tidak, sih, dia menendang Hakim jauh-jauh supaya tidak perlu menempel kepadanya seperti ini?
"Kamu mau ke kamar mandi?"
"Kagak. Kotoran gue naik lagi begitu liat lo … "
Ga pake baju, Yasinta melanjutkan di dalam hati. Gara-gara itu juga, dia sadar kalau pagi ini kakinya kembali berdenyut dan refleks Yasinta menyentuh bagian tersebut selama beberapa detik, namun kemudian, merasa percuma saja melakukannya. Kakinya masih terbebat dan dia seharusnya menuntaskan hasratnya ke kamar mandi bukan duduk di depannya seperti pengemis yang berhari-hari belum makan.
"Mau buang air? Ayo aku bantu berdiri." Hakim yang paham kemudian meraih lengan kiri Yasinta dan mulai mengangkat istrinya walau Yasinta sendiri berkata tidak perlu.
"Lo mandi aja sana. Kerja, kek. Jam segini masih di rumah." Yasinta berusaha menolak. Akan tetapi, tenaga Hakim yang jauh lebih besar pada akhirnya mampu membuatnya kembali berdiri dan saat mereka berdua seperti dalam posisi hendak berdansa, Yasinta kembali melengos dan segera melepaskan kedua tangannya dari bahu suaminya.
"Aku cuti. Menemani kamu."
Untung saja saat itu Yasinta sedang memalingkan wajah, sehingga, ketika dia memasang raut wajah pura-pura hendak muntah, Hakim tidak melihat. Lagipula, kenapa Hakim mesti mengambil cuti? Yasinta cuma keseleo di kaki dan dia masih bisa beraktivitas, kecuali berlari yang baginya masih sangat sulit.
"Dah. Dah. Gue gak butuh ditemenin. Tar si Mal marah lagi cowoknya nemenin gue. Gue juga mau rebahan lagi abis ini. Badan masih remek dari habis resepsi nggak istirahat."
Yasinta berusaha mengambil kruk miliknya yang tergeletak di lantai, akan tetapi, Hakim telah lebih dulu melakukannya. Gara-gara itu juga, Yasinta kembali membuang muka karena melihat belahan lipatan handuk yang membuat sebagian paha kanan suaminya terlihat.
"Kenapa kamu selalu panggil Rina dengan panggilan Mal? Dia punya nama yang bagus."
Whatever! Gerutu Yasinta di dalam hati. Dia hendak pasang aksi seperti tokoh dalam cerita barat yang suka memutar-mutar bola mata, tetapi, yang ada matanya jadi juling dan dia memilih untuk menghindar saja. Dunia orang jatuh cinta adalah hal yang tidak bisa dipahami olehnya dan kini Yasinta mulai merasakan sensasi sakit perut yang tadi sempat terhalang akibat insiden bersama Hakim.
"Suka-suka gue. Lo juga manggil nama gue sesuka hati lo. Hana-Hana."
"Tapi, mamamu memanggil kamu Hana."
"Emak gue. Emangnya lo emak gue juga?" balas Yasinta sewot. Hakim sendiri memilih menggeleng dan kesempatan itu dipergunakan oleh Yasinta untuk bergegas ke kamar mandi walau dia yakin, kecepatannya saat ini paling banter satu kilometer perjam.
"Aku suka panggil kamu begitu."
"Gue nggak." Yasinta menoleh dan menatap wajah Hakim dengan raut ketus.
"Lo dengar, ya, Om Dian boleh jadi punya dua bini dan lo anaknya, bisa jadi mewarisi sifat yang sama, sudah punya bini tapi masih belum bisa lepas sama cewek lo. Tapi, gue, nggak. Lo cuma punya pilihan, kalau naksir dia silahkan lanjutkan dan jangan sekali-kali bilang suka sama gue. Entah lo suka upil gue, kek, jerawat gue, kek. Serah lo. Termasuk seenaknya manggil nama kesayangan mak gue buat anaknya. Lo dilarang."
Yasinta mengepalkan tangan dan membuat pose kalau dia siap meninju Hakim bila suaminya masih nekat sebelum memutuskan untuk menutup pintu kamar mandi. Sementara, Iqbal Al Hakim yang kini memandanginya dengan wajah bingung hanya bisa menghela napas.
***
6 SCdHP
Ucapan Iqbal Al Hakim tentang cuti ternyata benar adanya. Saat Yasinta keluar dari kamar mandi, dia masih menemukan suaminya di kamar, menelepon seseorang yang entah siapa. Namun, dari nada suaranya yang selembut peuyeum Bandung, dia bisa menebak siapa yang ditelepon oleh suaminya itu.
"Jangan salah paham. Itu Ibu." Hakim menjelaskan walau saat ini Yasinta masa bodoh dengan jawaban tersebut. Dia lebih memilih mengambil pakaiannya di lemari yang sudah tersusun rapi. Meski pernikahan mereka baru resmi tiga hari, setidaknya, sang ibu mertua sudah memerintahkan putranya untuk memboyong barang-barang keperluan Yasinta ke rumah mereka yang baru. Walau Yasinta sendiri mengatakan kalau barang-barang di rumahnya sudah lebih dari cukup, Farihah tidak sependapat. Dia tidak ingin di rumah suaminya Yasinta diperlakukan buruk. Maka dari itu Farihah sendiri yang turun tangan dan memastikan tidak ada hal yang kurang buat Yasinta meski menantunya masih skeptis, sikap Farihah kepadanya murni karena kasih sayangnya sebagai ibu mertua atau memang ada udang di balik bakwan.
Hakim sendiri memandangi Yasinta yang keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk dan rambut yang dibebat tanda dia baru kelar keramas. Walau masih butuh bantuan kruk, tapi, jelas sekali kalau dia tidak peduli bahwa saat ini ada seorang pria yang memandangi penampilannya di hari sepagi itu.
"Ngapain lo lihat-lihat gue? Nafsu, ya? Kagak pernah lihat cewek lo handukan? Emang dia kagak pernah mandi?"
Hakim berada di dalam posisi antara bingunh hendak menjawab apa. Jika dia jujur, Yasinta jelas tidak bakal percaya. Bicara bohong, apalagi. Sejak awal, sudah ada bendera perang dikibarkan di antara mereka. Yang patut disyukuri adalah mereka tidak banyak membuat jarak seperti pasangan pengantin lain yang tidak ikhlas dinikahkan. Atau mungkin, karena sejak dulu Yasinta cuma menganggap Hakim sepupu, sehingga dia tidak perlu teriak-teriak seperti perawan yang kena senggol perjaka untuk pertama kali.
"Ngapain lagi lo masih di sini? Mau lihat gue ganti baju?" gerutuan Yasinta membuat Hakim tergagap seolah dia habis kena pergok mencuri. Hakim sendiri mengangkat kedua tangannya di depan dada seperti korban yang diancam oleh garong, tanda dia tidak berniat seperti itu.
"Nggak. Nggak ada maksud."
"Lo, tuh, belum kelar mandi." Yasinta menunjuk Hakim yang sejak tadi masih dalam busana seperti sebelum dia menyelamatkan Yasinta dan setelah membalas ucapan istrinya dengan anggukan, Hakim buru-buru berjalan ke kamar mandi dan menyelesaikan pekerjaannya membersihkan tubuh di pagi itu.
Belum lepas satu menit usai Hakim berada di kamar mandi, Yasinta yang saat itu sudah memakai gaun rumahan selutut, memilih untuk memeriksa ponsel dan satu pesan dari sang tante membuatnya cepat-cepat membaca.
Kalau lengah, tusuk aja pakai sumpit biar modar.
"Ih, Tante kriminil." Yasinta bergidik. Kalau dia masuk penjara karena suruhan wanita itu, alamat dia tidak bisa lagi menonton drama Korea.
Diemin aja, Tan. Tar mati sendiri😅
Lagipula, dunia bakal heboh jika dia melakukan hal tersebut dan netizen bakal tambah senang menguliti kebodohannya.
Kado aku mana? Nyuruh kawin tapi ga kirim kado. Ngambek, nih.
Yasinta mengirim sebuah pesan lagi yang kemudian dengan cepat dibalas. Pertama, sebuah foto dengan gambar bagian depan sebuah universitas bertuliskan bahasa Korea alias Hangul dan yang satu lagi, surat penerimaan di tahun ajaran berikutnya, bertuliskan nama Yasinta Aurahana yang membuat sang pemilik nama tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak.
"Kenapa?" Hakim lagi-lagi membuka pintu kamar mandi dan memandang panik kepada Yasinta yang kini memandangi ponselnya yang sempat dia lempar ke permukaan tempat tidur.
"Nggak. Nggak ada apa-apa." Yasinta membalas dengan cengiran dan dia kemudian menarik kruk yang tadi disampirkan di pinggir lemari demi mengambil posisi duduk kembali ke atas kasur.
"Jangan ngagetin. Aku kira ada apa-apa sama kamu." Hakim bicara lagi. Namun, Yasinta memilih mengabaikan kata-kata tersebut dan lebih suka memandangi hadiah pernikahan dari sang tante yang baginya jauh lebih berarti daripada suami sok perhatian yang hingga detik ini tidak mampu membuang kekasihnya demi istri sah yang dia nikahi dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Kuasa.
***
Bosan berada di kamar, akhirnya Yasinta memutuskan untuk duduk di ruang tengah rumah suaminya demi menghilangkan rasa bosan. Walau sebenarnya, yang terjadi adalah sama saja.
Ketika melihat Yasinta seperti orang kesusahan hendak bangkit dari tempat tidur, Hakim yang sesuai dengan kata-katanya kalau dia tidak akan berangkat bekerja hari itu memutuskan untuk mendekat dan membantu istrinya.
“Is, gue bisa sendiri.” Yasinta protes. Namun, pada saat yang sama, pria itu sudah meraup tubuhnya dan membawanya keluar kamar.
“Ngapain lo gendong-gendong gue, sih? Tangan lo kotor, bekas si Mal.”
Hakim mesti menulikan telinga supaya omelan dan hinaan terhadap Sarina yang keluar tanpa henti dari bibir Yasinta tidak mempengaruhinya. Usahanya kemudian berhasil karena setelah sang istri duduk nyaman di sofa depan televisi, dia tidak lagi menanyakan tentang wanita tersebut melainkan mempertanyakan kewarasan Hakim yang memilih untuk tetap berada di rumah.
“Sebenarnya, aku masih masa cuti menikah. Mereka menawari aku satu minggu.”
Yasinta terdiam selama beberapa saat usai jawaban tersebut. Dia sendiri sedianya diberi kelonggaran cuti selama tiga hari, tapi dia sendiri memilih masuk kerja. Toh, di dalam kepalanya memang tidak ada rencana bulan madu dan sebagainya walau mertuanya sudah memberitahu ada paket bulan madu ke Lombok yang dilewatkan Yasinta dengan alasan ada monev di kantor dan juga kunjungan Gubernur. Nyatanya, bukan hanya bulan madu yang gagal, dia juga batal menonton ketampanan ajudan dan juga tim protokoler orang nomor satu yang selama ini selalu berhasil membuat dirinya dan Okta cengar-cengir sepanjang hari.
Dan kini mereka berdua berakhir di rumah dengan salah satunya hampir patah kaki dan yang satu lagi memandanginya dengan raut wajah yang menyiratkan kalau dia sebaiknya berkencan dengan kekasihnya dibandingkan satu ruang dengan Mak Lampir bermulut cerewet tapi tak henti mengaduh seolah-olah dia tidak bakal bisa lagi berjalan selamanya.
“Kamu lapar? Aku bisa buatkan sarapan.” Hakim tiba-tiba saja memberi tawaran sebelum sempat Yasinta menjawab. Dia malah sudah berjalan lebih dulu ke arah dapur yang lokasinya berada tidak jauh dari ruang tengah dan perbuatan terpujinya itu telah membuat Yasinta menjulurkan leher dari balik sofa.
"Lo nggak kesambet apaan gitu, pas di kamar mandi tadi?"
Hakim sempat membalas Yasinta dengan seulas senyum sebelum dia pada akhirnya memilih untuk membuka kulkas dan memeriksa isinya. Sedang, Yasinta sendiri memandangi perbuatan suaminya dengan tatapan heran. Di dalam pikirannya berkecamuk banyak hal dan hampir semuanya ingin dia utarakan mumpung pagi itu mereka masih bersama. Toh, sebelum ini, hampir tidak ada waktu buat membahas perintilan huru-hara usai menikah. Kejadiannya terasa begitu cepat dan Yasinta menghitung, semua kehebohan ini berlangsung tak lebih dari satu bulan hingga hampir semua orang terdekatnya bingung.
Terutama Okta.
"Lo nggak bunting duluan, kan?"
"Is, amit-amit, nggaklah, Mbak. Gue masih segelan."
Dia bahkan punya pengetahuan hampir nol tentang Hakim kecuali fakta bahwa dia dibesarkan oleh istri lain Omnya dan sejak SMP sudah disekolahkan di luar negeri, entah Malaysia, Amerika, Australia. Untuk yang negara terakhir, Yasinta yakin, di situlah Hakim bertemu Sarina dan melabuhkan hatinya selama bertahun-tahun sampai kematian Rahadian Hadi membuatnya terpaksa kembali ke Indonesia dan dihadapkan dengan fakta, bila ingin jadi pewaris, dia harus mau dinikahkan dengan Yasinta, yang secara fakta, juga salah satu pewaris karena ayahnya, Taufik Diponegoro juga punya bagian saham di perusahaan.
Alasan lain, tentu saja, supaya harta keluarga tidak perlu lari ke mana-mana dan akal cerdik Ruhi Karmila agar Farihah mau berpikir seribu kali bila langsung bersenang-senang dengan labelnya sebagai istri Rahadian Hadi dan rencana sang tante langsung berhasil saat Farihah tidak bisa berkutik dan membujuk putra semata wayangnya supaya menyerah.
"Demi Ibumu, Nak. Tunjukkan baktimu … "
Hakim tersadar ketika terdengar suara dari air fryer di hadapannya tanda usai melaksanakan tugas dan setelah berdeham, dia mengeluarkan menu yang dimasaknya pagi itu untuk ditata ke piring.
Hakim sempat menoleh ke arah ruang tengah. Tidak ada suara padahal tadi, dia yakin kalau Yasinta sedang mengoceh entah kepada siapa.
"Hana?" panggil Hakim. Dia sudah selesai memindahkan menu sarapan mereka ke atas meja makan dan memutuskan untuk memeriksa kondisi istrinya setelah yakin, tidak ada jawaban yang dia dapat.
"Sarapan sudah jadi … "
Hakim berhenti bicara. Yasinta sedang memejamkan mata berbantalkan lengan. Kakinya yang terluka diletakkan di atas bantal dan tangannya yang bebas, memeluk satu lagi bantal lain. Seperti tadi malam, di punggung wanita tersebut terdapat satu bantal lagi dan melihatnya kembali membuat pria itu tersenyum.
"Apa lo bisa melepaskan dia dan jatuh cinta sama gue? Gue rasa, jawabannya nggak. Cowok yang cinta sama gue cuma sebiji di antara milyaran manusia dan masak iya, mesti seorang laki-laki yang hatinya udah milik orang lain? Gue, sih, ogah. Gue aja jaga diri seratus persen, masak pasangan gue, tebar benih dan pesona di mana-mana. Sori, ya, tapi, gue melakukan ini karena Tante dan gue yakin lo juga. Kita main cantik aja, oke."
Sebuah kesepakatan di bawah tangan yang tidak diketahui oleh Ruhi maupun Farihah mereka buat bersama. Karena itu juga, mungkin alasan Yasinta tidak banyak ribut ketika Hakim ikut tidur di sebelahnya atau malah berlenggak-lenggok di kamar hanya mengenakan handuk, tak ubahnya dia sedang berada di kamar bersama saudaranya sendiri. Mereka bebas mau jatuh cinta dengan siapa saja, asal jangan dengan satu sama lain. Semua karena punya alasan. Hakim memilih Sarina dan Yasinta memilih hadiah besar yang diiming-imingkan oleh sang tante, walau dia sendiri sebenarnya mampu mendapatkan apa saja, warisan sang ayah cukup buat dia melanjutkan hidup bahkan tanpa bekerja sama sekali.
"Gue cuma capek, tidur sendiri."
Jawaban sederhana di luar nalar yang membuat Hakim tidak mengerti jalan pikiran Yasinta. Tapi, setelah dua malam bersama wanita itu, dia tahu, ada hal yang lebih rumit, termasuk tangisan di tengah malam yang tidak diketahui oleh semua orang, tangisan dari bibir istrinya yang merindukan semua anggota keluarganya yang telah pergi. Jika dia tidak pura-pura tidur, dia tidak pernah bakal tahu tentang rahasia itu.
***
7 SCdHP
Sentuhan halus di lengan Yasinta Aurahana membuatnya segera membuka mata. Dia menemukan wajah Hakim yang kini tersenyum ke arahnya. Karena itu juga, dia serta merta mengerjap dan menyadari kalau di hari sepagi ini dirinya sudah ketiduran. Padahal, selama ini belum pernah. Pagi hari adalah waktu di mana dia biasanya bersiap untuk bekerja dan pukul enam lewat tiga puluh dia seharusnya sudah berada di mobil. Pak Didin selalu standby menunggu sejak pagi dan ke mana saja Tuan Putri kesayanganya hendak pergi, dia akan siap sedia mengantar.
“Makan dulu. Sudah hampir jam delapan.” suara lembut Hakim membuat mata Yasinta mendadak terang-benderang. Apakah dia tidak salah dengar? Tadi, memang dia ingat kalau Hakim berjalan menuju dapur. Tapi, saking heningnya suasana, dia sukar memercayai suaminya memasak.
“Aku masak, seadanya tapi. Nyonyaku lagi sakit, jadi nggak maksimal.” Hakim tersenyum lagi. Sikap dan kata-katanya berhasil membuat bulu kuduk Yasinta meremang.
“Sejak SMA aku belajar memasak, seadanya, sih. Tapi, sempat part time jadi pegawai McD’s dan juga KFC di luar sana. Lumayan buat nambah uang saku.”
Wajah Yasinta tampak sangat tidak percaya dan Hakim tidak merasa heran. Hampir semua orang yang mendengar cerita tersebut keluar dari bibirnya akan mengatakan kalau tunggal dari Rahadian Hadi tersebut membual.
“Lo mau gue percaya, gitu?”
“Nggak juga nggak apa-apa.” Hakim kembali mengurai senyum sambil memamerkan sepiring menu sarapan pagi yang membuat alis Yasinta naik.
“Dada ayam panggang dengan saus cajun, potongan daging asap dan mozzarella.” Hakim memberitahu. Ada campuran salad yang setelah diteliti oleh Yasinta merupakan campuran jagung manis pipil, selada, dan wortel yang membuatnya menaikkan alis.
“Sarapan apaan ini? Gue nggak setiap tahun ke luar negeri, tapi ini kayak makan siang daripada makan pagi. Ada jagung di salad, okelah, cuma maaf-maaf, nih, ye, gue berasa kayak ayam.”
Yasinta tidak bermaksud menghina, namun, kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya sehingga dia cepat-cepat menutup mulut dan mengucapkan kata maaf sewaktu melihat Hakim tersenyum masam. Tapi, dia, kan, rakyat Indonesia sejati. Diberi bakwan goreng juga tidak bakal menolak. Cukup terigu, jagung, wortel, dan daun bawang, sudah sangat nikmat.
“Sudah kubilang, cuma ada itu di kulkas. Nanti siang aku ke supermarket, belanja. Jadi, sementara ini makan yang ada.” Hakim menyodorkan piring ke tangan Yasinta yang masih belum percaya dengan penglihatannya dan tidak lama, pria tersebut segera berdiri dan berjalan lagi menuju meja makan. Yasinta menduga kalau Hakim akan makan sendirian di sana.
“Ini nggak lo kasih racun, kan?” Yasinta mengendus permukaan piring dan dia menoleh kembali ke arah dapur. Namun, Hakim ternyata sudah berjalan menuju ke arahnya.
“Aku nggak punya minat meracuni istri sendiri.” Hakim mengambil posisi duduk di ujung sofa yang masih tersisa. Di tangan kanannya terdapat secangkir kopi dan di tangan kiri berisi piring dengan menu yang sama dengan Yasinta.
“Ngarep gue mati sendiri, gitu?” Yasinta menantang. Ngomong-ngomong, dia jadi teringat obrolannya bersama sang tante di kamar tadi.
“Jangan, dong. Masa depan kita masih panjang.”
“Cuih.”
Tatapan mata Yasinta tampak menusuk begitu Hakim menoleh ke arahnya. Jelas sekali kalau dia terlihat tidak setuju dengan kalimat tersebut.
“Jalan ke mana? Ke neraka? Atau ke pengadilan agama? Gimana mau jalan, wong lo masih nyangkut di perempatan, godain anak orang. Mending gue ikut mobil lain yang lewat, daripada nungguin yang bisanya bikin PHP.”
Pedes, kan, omongan gue? Yasinta tertawa jemawa dalam hati. Senang rasanya melihat Hakim tampak tidak berkutik.
Hakim sendiri baru akan membuka mulut sebagai upaya untuk membela diri sewaktu terdengar suara bel dari depan dan mereka berdua saling tatap.
“Pak Didin?” tebak Hakim yang dibalas dengan gelengan oleh Yasinta. Bukankah sejak kemarin dia sudah memberitahu kalau tidak akan ke kantor hingga dia bisa berjalan? Lagipula, Pak Didin selalu menelepon bila ingin masuk rumah dan juga, Yasinta amat hapal cara Pak Didin setiap menekan bel rumah, seperti kode tak langsung bila ada orang selain Pak Didin maka Yasinta akan tahu.
"Bukan."
Hakim meletakkan piring nasi ke meja kopi yang letaknya di samping sofa lalu berjalan menuju pintu depan, sedangkan Yasinta menjulurkan kepala, ingin tahu tamu yang datang pagi itu. Rumah suaminya masih terbilang baru dan Hakim menempatinya tidak lama sebelum menikah, atas permintaan Farihah agar dia berinvestasi rumah. Siapa yang menyangka bahwa kemudian, rumah baru itu dihuni juga oleh istri anaknya?
"Mana? Mana menantuku? Kok, bisa-bisanya kamu ceroboh, Nak?"
Suara panik terdengar dan Yasinta yang tadinya agak enggan makan pagi, tahu-tahu saja mencomot potongan dada ayam panggang ala air fryer dan mengunyahnya sambil menatap ingin tahu ke arah ruang tamu. Begitu dia melihat sosok ibu mertuanya, Yasinta hampir tersedak potongan dada ayam.
"Oh, menantuku yang malang."
Yasinta mencari-cari air minum dan menemukan kopi milik Hakim di dekat meja. Dia beringsut mengambil kopi tersebut dan langsung isinya tersembur dari mulutnya begitu tahu kalau kopi yang diminum suaminya adalah kopi pahit.
Sinting.
Belum sempat mengusap mulut, Farihah sudah mendekat dan menghambur memeluk Yasinta dengan amat erat. Mata Farihah basah dan Yasinta bisa merasakan detak jantung ibu mertuanya ketika berpelukan.
Apakah Farihah Hadi memang panik? Dia tidak tahu.
"Suamimu ini, keterlaluan. Masak Ibu baru dikasih tahu pagi ini. Coba lihat, kakimu yang mulus halus. Aduh, gimana kalau tantemu tahu? Bisa mati, Ibu." ratap ibunda suaminya itu.
Yasinta sendiri masih meraba-raba apa yang barusan terjadi. Namun, belum selesai sampai di situ, sewaktu Farihah menemukan menu sarapan mereka yang agak ajaib pagi itu, dia mulai mengoceh lagi, "Aduh, Hakim. Makanan apa yang kamu kasih ke Yasinta? Dia orang Indonesia tulen. Harusnya kamu buatkan nasi goreng."
Yasinta sempat mengangguk setuju, namun kemudian dia sadar kalau Farihah bukanlah sekutunya, sehingga dia kembali memasang raut kesakitan yang membuat Farihah makin cemas.
"Aduh, Hakim. Kaki istrimu luka, sempat-sempatnya kalian bikin anak. Rambutnya masih basah, lagi." Farihah menatap sendu ke arah Yasinta. Dibelainya pipi kanan sang menantu yang nyengir serba salah, sedangkan putranya tampak terbatuk-batuk dan menggoyang-goyangkan bagian perut baju kaos berwarna putih yang dipakainya. Terdapat noda kopi dari dada hingga perut dan Yasinta menebak, seperti dirinya, Hakim juga sama-sama tersedak.
Dasar oon, bikin kopi lupa pakai gula. Itu yang namanya ngaku pintar masak? Gue yakin, lo beneran kesirep sama si Mal, kan? Liat dia nyengir aja lo udah mencapai titik kulminasi.
"Ibu nggak seharusnya ngomong begitu." Hakim memperingatkan. Dia sedang mengambil tisu dan mengusap bibir hingga dagunya yang belepotan kopi.
"Harusnya Ibu yang marah. Lihat kondisi, dong. Ini istri lagi sakit kamu main terkam saja. Jangan anggap diri kamu ayam atau kucing. Nggak lihat tempat dan waktu, langsung kawin."
Yasinta sendiri yang mendengar sang mertua bicara langsung mengangguk dan memberi pandangan mencemooh kepada suaminya. Memang dasar Pak Hakim dan Pak Jaksa itu gila, pikir Yasinta. Dari awal tidak bisa tegas. Celup-celup dengan perempuan lain, tapi, yang dinikahi malah dia. Kan, malang sekali nasib Mal Sarina itu kalau dipikir-pikir.
"Ngomong opo, toh, kamu, Nduk." Farihah membelai puncak kepala Yasinta, amat lembut dan penuh kasih sayang, sampai dia sendiri bingung, bukannya Farihah juga membenci Ruhi Karmila? Harusnya, Yasinta juga diperlakukan kasar.
"Ibu, tuh, cemasin kamu. Si Hakim kadang nggak suka mikir bener. Kamu, kan, lagi sakit, malah digenjot. Kasihan kamu mesti mandi wajib pas kakimu… "
"Haaaah?!"
Suara tawa meledak dari arah dapur dan Yasinta ingin sekali melempar garpu ke kepala suaminya yang kini tampak sangat puas membalaskan dendamnya tadi kepada sang nyonya. Yasinta sendiri merasa sangat malu karena sempat tidak nyambung. Mandi wajib, kata mertuanya? Dari mana bisa Farihah Hadi berpikiran demikian? Memangnya wanita itu tidak tahu kalau senjata anaknya terkulai lemas tidak bisa berperang melawan pesona seorang cucu Jenderal seperti dirinya yang sedari kecil dididik menjadi wanita tangguh?
"Bu … bukan begitu, Bu. Ini cuma … "
"Sudahlah, Ibu mengerti. Gimana pun Ibu pernah muda. Ayah Hakim, waktu awal kami menikah, nggak bisa lepas … "
Nostalgia menjijikkan dan Yasinta berharap telinganya budeg, karena sumpah, mendengar cerita romantis ibu mertua dan suami sang tante yang amat dia sayangi, rasanya seperti menorehkan luka di tulang kering Yasinta dan menyiramnya dengan air cucian cabai, walau bukan dia sendiri yang dikhianati oleh pasangan tersebut.
***
8 SCdHP
Kedatangan Farihah kemudian membuat rencana Hakim untuk mengunjungi supermarket demi membeli kebutuhan harian selama berada di rumah langsung tertunda. Alasannya karena Farihah ternyata datang dengan membawa seabrek makanan jadi yang ternyata dia buat sendiri khusus untuk menantunya sehingga hal tersebut membuat Yasinta terperangah, bukankah kemarin seharusnya Farihah merasa capek sebab dia juga jadi salah satu yang paling sibuk sepanjang mempersiapkan urusan pernikahan hingga resepsi usai?
“Jangan repot-repot, Bu.” Yasinta merasa tidak enak hati. Namun dia menelan air ludah saat melihat beberapa boks plastik penyimpan makanan keluar dari beberapa tas kain yang dibawa Hakim dari bagasi mobil ibunya. Bagaimana tidak? Aroma ayam goreng lengkuas yang sepertinya masih panas, sayur asem, beberapa boks empal daging dengan sambal balado, sup iga, satu boks besar karage ayam lengkap dengan saus, bahkan ada buncis goreng bawang putih, menggoda indra penciumannya. Dia merasa tidak keberatan menggeser piring sarapannya pagi itu dan merasa ingin melompat ke dapur, mengambil piring dan mencari nasi karena tahu, Farihah juga membawa satu termos berisi nasi panas mengepul.
Dia tidak tahu kalau memiliki seorang mertua seperti ini rasanya. Sepengetahuannya, mertua kadang kala jutek dan Okta adalah saksi hidupnya. Pernikahannya mesti kandas walaupun orang ketiga bukanlah wanita idaman lain, namun, ibu mertua yang merasa anaknya adalah miliknya dan menantunya lebih banyak membawa masalah ketimbang mengurus anaknya.
“Ayo. Ayo makan dulu.” Farihah mencari sebuah piring dan dia tersenyum saat melihat tumpukan piring bersih di kabinet. Meski tahu Yasinta belum mengambil alih dapur di rumah itu seperti kebanyakan perempuan lain, Farihah sama sekali tidak marah. Malah, dia sendirilah yang menyendokkan nasi panas mengepul ke piring dan juga mempersiapkan lauk sementara Yasinta disuruh duduk dan mengistirahatkan kakinya sehingga yang bisa dia lakukan adalah memandangi kesibukan di dapur pagi itu dengan tatapan seperti anak kecil yang menunggu dipanggil makan oleh ibunya.
Momen yang sama yang membuat Yasinta mengerjap, terutama setelah beberapa saat, Farihah mendekat dan selain piring penuh nasi, wanita itu juga membawa segelas air untuk menantunya.
Harusnya, Mak Pak Hakim orangnya keji. Yasinta memperingatkan diri. Dia tidak boleh mudah terperdaya. Bukankah, Farihah Hadi adalah orang yang sama yang merebut suami tantenya?
“Makan yang banyak biar cepat sembuh. Nggak enak guling-guling kayak gini, mending kerja, bisa gosip sama teman-teman.” Farihah tertawa, sedang Yasinta hampir tergigit lidahnya sendiri. Kok, bisa, Farihah tahu kalau Yasinta doyan bergosip dengan rekan-rekannya?
“Ibu, kan, juga suka gosip.”
Dih.
Yasinta hampir tidak pernah bergaul dengan Farihah dan Hakim karena selain sejak kecil dia sibuk dengan urusan sekolah, Ruhi Karmila juga tidak pernah menyinggung-nyinggung hingga akhirnya kematian sang ibu membuatnya menjadi sangat akrab dengan Ruhi dan di situlah dia mulai mendapatkan cerita dari penuturan tantenya tersebut.
Tapi, kemudian dia menjadi bingung sendiri. Perlakuan Farihah ternyata berbeda dengan yang dia dengar selama ini dan setelah bertahun-tahun hidup tanpa ibu membuatnya kembali merindukan sosok penuh kasih sayang yang dulu tidak putus memberinya banyak cinta. Apalagi, kini dia menyaksikan sendiri kalau ibu mertuanya bersikap amat baik. Entah hal tersebut memang betulan atau kamuflase, Yasinta tidak bisa membedakan.
“Makan yang banyak.” Farihah menyebut lagi. Senyumnya tampak tulus dan Yasinta terpaksa harus memalingkan wajah supaya Farihah tidak perlu melihat kalau saat ini dia berusaha menahan agar air matanya tidak jatuh.
“Iya, Bu.”
Untunglah, Farihah segera berdiri dan kembali melanjutkan pekerjaannya menyusun kotak-kotak makanan ke dalam kulkas sambil bibirnya menceramahi Hakim yang terpaksa menghabiskan masakan yang dia buat pagi itu. Penjelasan tentang dia tidak menyentuh Yasinta malah akan membuatnya berakhir celaka, karena itu, dia memilih tidak banyak protes dan menahan diri untuk tidak mencomot masakan ibunya karena jelas-jelas, dia harus menghabiskan dua porsi ayam panggang yang tadi tidak sempat dihabiskan oleh istrinya sendiri.
***
Farihah masih berada di rumah Hakim dan Yasinta hingga hari menjelang pukul dua belas. Ada saja hal yang dilakukannya, termasuk mencuci piring, merapikan dapur, bahkan mengepel lantai yang membuat Yasinta jadi tidak enak hati. Tapi, mertuanya hanya mengatakan kalau sedari muda, dia suka melakukan pekerjaan tersebut.
Usai makan siang yang lagi-lagi disajikan menu berbeda dari yang pagi sebelumnya, Farihah minta izin menonton tayangan sinetron kesukaannya. Yasinta sendiri sampai memastikan dia tidak salah dengar ketika ibu suaminya berkata demikian.
"Ibu mau numpang nonton sebentar, boleh, ya, Nak?"
"Loh? Ibu nggak perlu minta izin. Langsung aja nonton." Yasinta mengangsurkan remot TV yang membuat Farihah menepuk lutut kanan menantunya itu.
"Ya, janganlah. Kamu, kan, dari tadi nonton berita."
Padahal, sejak tadi televisi menyala dan Yasinta malah tidak memperhatikan layar. Dia sibuk berkirim pesan dengan Okta dan juga tantenya, Ruhi Karmila.
"Ibu nggak sibuk? Biasanya ikut pengajian." suara Hakim kembali muncul setelah hampir dua jam dia berkutat di ruang kerja. Yasinta sendiri melirik ke arah suaminya yang kini memakai kaos polo berwarna hijau toska. Kulitnya yang bersih tampak cocok dengan baju yang dikenakannya. Apalagi, saat ini dia memakai celana bahan wol abu-abu gelap motif kotak-kotak di bawah lutut.
Jika ada tokoh Korea paling cocok, mungkin, Yasinta bakal menyamakannya dengan Kim Soo Hyun. Namun, tubuh Hakim lebih berisi dan dia sangsi, bulu kaki suaminya sama dengan yang dimiliki oleh sang aktor.
Dih, bayangin bulu, malah keingetan yang tadi. Otak, lo bisa skip dulu, nggak? Ntar aja pas gue nonton drakor, Yasinta memarahi diri.
"Kamu mau ke kamar mandi, nggak?"
Suara Hakim membuat Yasinta tergagap. Di saat seperti ini, kenapa Hakim malah membahas kamar mandi yang membuatnya makin teringat peristiwa tadi pagi. Belum sempat menjawab, Farihah yang sebelum ini ditanyai tentang pengajian menggeleng lemah.
"Ustadzahnya sakit. Tadi Ibu sudah duluan ke sana."
Ustadzah, loh. Yasinta memperingatkan dirinya. Kok, bisa, seorang pelakor rajin beribadah? Apakah Farihah melakukan semua itu karena menyesali semua kesalahan yang diperbuatnya di masa lalu? Bukankah seharusnya dia datang dan meminta maaf kepada Ruhi? Tapi, seingat Yasinta, proses maaf-memaafkan itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu, sejak Rahadian Hadi mengakui kesalahannya kepada Ruhi, jauh sebelum Hakim lahir.
Ah, seharusnya dia tidak mengabaikan cerita ini bertahun-tahun lalu. Kemampuan mengingat kisah keluarganya sendiri saja cepat sekali lenyap dari kepala Yasinta. Padahal, dia, kan, tidak bodoh-bodoh amat. Buktinya, seperti kata Okta, dia bisa mengalahkan ribuan pelamar yang mengincar posisinya sebagai pustakawan.
Walau sebenarnya, profesi pustakawan tidak setenar dokter, tentara, atau polisi. Dia tidak bakal heran bila di luar sana banyak yang tidak mengetahui seperti apa tugas dan pekerjaan menjadi pustakawan tersebut.
"Hana, ke WC?" Hakim kembali menawari Yasinta. Kali ini dia memilih duduk di sebelah istrinya dan dengan santai meletakkan tangan hingga ke bahu Yasinta. Wanita itu sendiri melirik ke arah Hakim dengan sewot dan nyaris melempar wajah suaminya dengan bantal kursi ketika kemudian, Hakim meraih punggung tangan kiri Yasinta dan mengelusnya.
"Tangan lo." desis Yasinta. Suara dan tatapan matanya persis seperti Mak Lampir kejepit di saluran air.
"Ibu senang lihat kita skin touch kayak gini. Dari tadi beliau sudah curiga, kenapa kita nggak banyak ngomong." jelas Hakim yang membuat Yasinta cepat-cepat melepaskan pandang ke arah mertuanya yang tampak tersenyum, entah karena tayangan yang saat ini sedang ditonton atau karena perbuatan Hakim barusan.
"Tapi, lo nggak diminta buat gerayangin tangan gue." Yasinta membalas dengan mengambil ibu jari Hakim, lalu memelintirnya dengan amat kuat sehingga suaminya mengernyit.
"Tuh, dilihat Ibu." Hakim memberi kode dengan mata dan yang Yasinta lakukan hanyalah menahan jengkel dan berharap kalau Hakim cepat pergi dari situ.
"Mas, haus."
Hakim yang tadinya masih ingin menjahili Yasinta mendadak berhenti dan menakar tingkat kejujuran di wajah istrinya yang jelas-jelas berakting kalau dia haus. Tapi, dia tidak punya pilihan karena di saat yang sama, Farihah memanggilnya, "Kim, tolongin Hana."
Hakim berdiri dan berjalan menuju dapur, sedangkan Yasinta menghela napas walau mesti sembunyi-sembunyi. Jangan sampai Farihah mengetahui kalau saat ini dia berusaha mengenyahkan bulu kuduknya yang berdiri gara-gara suaminya.
Tidak lama, saat Hakim masih berada di dapur, ponsel milik pria itu yang tergeletak di dekat paha Yasinta bergetar pelan. Pop up notifikasi pesan Whatsapp sempat muncul walau saat itu layar mati dan nama Sarina berada di sana dengan sebuah pesan.
Jgn percaya sm dia. Kamu tahu betul, dia pnya seribu akal licik.
Idih, ngomongin siapa, sih? Gue? Akal licik? Emangnya gue apaan? Dasar Mal Sarina kurang ajar. Lo, tuh, yang nggak punya malu.
Sungguh, disebut sebagai seseorang yang punya seribu akal licik telah berhasil membuat darah muda seorang Yasinta Aurahana bergejolak dan begitu mendengar Hakim berjalan ke arahnya sambil bersiul, dia merasa perlu untuk membalas kelakuan dua orang itu, Hakim dan kekasihnya.
Yasinta meraih ponsel lalu memanggil Hakim dengan suara cukup keras agar Farihah bisa mendengar, "Mas, ada WA dari Sarina. Katanya jangan percaya sama dia, kamu tahu betul dia punya seribu akal licik. Ini kalian ngobrolin apa, sih? Sinetron?
Hakim membeku di tempat dengan posisi masih memegang cangkir berisi air minum, sementara Yasinta menunjukkan ponsel tersebut ke arahnya dengan wajah amat polos. Farihah, lain lagi. Raut wajahnya langsung berubah dan dari bibirnya mulai terdengar gumam tidak senang.
"Sarina? Kamu masih berhubungan sama dia? Nggak malu kamu, Kim?"
Farihah merepet panjang lebar dan memilih berdiri dari tempat duduknya untuk meminta penjelasan, termasuk meminjam ponsel anaknya dari tangan Yasinta. Hakim bahkan dibawa kembali ke ruang kerjanya dan mereka sepertinya berdebat di sana sementara Yasinta, mengirimkan sebuah pesan kepada Ruhi Karmila sambil tersenyum dan juga mengirimkan sebuah video pertengkaran ibu dan anak tersebut dengan wajah amat puas.
Perang Teluk, Emak vs Anak. Dirimu ada di tim mana, Tan?
Tim pecah kongsi, dong. Pinter banget ponakan eike.😘😘😘
Yasinta mengulurkan kepala, mencoba mencari tahu keadaan di kamar sebelah, tetapi lehernya kurang panjang dan dia cuma bisa mengetik balasan pendek kepada sang tante, Tambahin duit saku, yes. Buat beli Odeng.
Baru odeng, soal kecil, Sayangku. Besok kita meet up👍
"Putuskan dia sekarang juga. Ibu tunggu. Telepon dia sekarang." suara Farihah terdengar tegas, sementara Yasinta di ruang tengah ingin sekali berteriak "Mampus!" namun dia mesti menahan diri. Dia belum boleh berbahagia. Masih terlalu dini.
Dia juga tidak boleh lupa, sang putri keraton dibantu oleh netizen se-Indonesia raya. Bangga sebelum usaha mereka berhasil tidak bakal pernah bisa membuat dirinya atau Ruhi Karmila senang.
***
9 SCdHP
Kemarahan Farihah kepada putranya berdampak pada buteknya raut wajah Hakim ketika keluar kamar dan bertemu sapa kepada Yasinta. Hakim bahkan sempat melengos dan memilih untuk keluar rumah. Meski begitu, dari Farihah dia tahu kalau Hakim kemudian memilih untuk mencuci mobil tidak peduli saat itu matahari berada di puncak kepalanya. Mungkin, pikir Yasinta, sinar matahari yang terik bisa memanggang otak Hakim dan kekesalannya hari itu bisa menguap begitu saja yang mana, membuat Yasinta tidak bisa menahan geli karena sikap suaminya tersebut.
Bahkan, hingga akhirnya Farihah memutuskan untuk pulang, putranya masih mengunci mulutnya rapat-rapat dan hal tersebut tetap menjadi pantauan Yasinta hingga akhirnya pria itu menutup pintu rumah, menguncinya, dan hilang ke lantai dua tanpa bicara apa-apa lagi kepada Yasinta.
Mungkin mau nelepon si Mal, mau minta maaf dipaksa putusin dia, Yasinta menahan geli di dalam hati. Dia sendiri tidak mau repot-repot mengirim simpati. Biar saja suaminya menangisi perpisahan mereka. Toh, memang kenyataannya dia sudah punya istri. Sungguh aneh kalau sebelum menikah, Hakim tidak meminta perpisahan itu. Bukankah, surga ada di bawah telapak kaki ibu? Tidak peduli Okta suka meledek, surga dunia para pria sebenarnya ada di dalam celana bininya. Sungguh petuah yang tidak ramah jomlo dan perawan.
Yasinta sendiri merasa senang hidupnya tidak lagi dimandori oleh suami sok perhatian yang menurutnya sedang berpura-pura baik demi kelancaran nasibnya di dalam keluarga dan supaya hak warisnya tidak terganggu. Dia juga tidak butuh pertolongan pria itu. Ketika perutnya lapar, dia memesan via pesan antar dan meminta pengemudi ojek online menggantungkan pesanannya di gagang pintu karena kemampuan berjalan Yasinta masih amat lambat. Dia merasa bersyukur bisa berdiri setelah berjam-jam duduk. Pantatnya terasa amat kebas dan dia takut bakal menjadi tipis bila terus-terusan berbaring.
Meski begitu, dia mengakui saat telapak kakinya digerakkan, rasanya dia ingin menangis saking ngilunya. Tapi, bukankah dia adalah perempuan hebat yang tidak cengeng? Urusan ngilu-ngilu ini harus mampu dia tahan demi sekotak martabak cokelat kacang keju yang amat dia sukai.
Yasinta jelas-jelas tidak memesan satu menu saja melainkan beberapa dan ketika turun dari lantai dua menjelang azan Asar, Hakim menemukan bagian tengah rumah dipenuhi kotak-kotak plastik kemasan makanan berikut aroma yang bercampur aduk.
“Kamu lapar? Kenapa nggak kasih tahu?” Hakim mendekat dan meneliti menu makan sore istrinya kala itu. Ada beberapa plastik yang sudah habis isinya, beberapa masih tersegel.
“Lo mau? Ada mi ayam, ada i fu mie, ada juga cakwe sama lumpia. Habisin aja. Gue masih ada martabak.” jawab Yasinta dengan mulut penuh. Bibirnya belepotan saus merah yang terlihat mengerikan.
“Kamu makan apa?”
“Seblak, level empat. Belum berani gue level lima. Mau coba?”
Walau Hakim tidak memberikan jawaban, Yasinta dengan penuh percaya diri mengangsurkan sesendok topping seblak yang dari bentuknya adalah sosis ikan. Hakim sendiri sebenarnya sudah menggeleng, namun, dengan tatapan setengah melotot, Yasinta memaksa suaminya ikut makan.
“Nggak perlu. Aku masih kenyang.”
“Lo, mah, gitu. Mentang-mentang gue, wanita yang nggak lo cintai tapi terpaksa lo nikahi, makanan dari gue aja lo tolak, takut gue pelet. Padahal tadi, yang lo masak sempat gue makan sebelum disingkirin Ibu. coba kalau si Mal itu yang nyuapin, langsung merem-melek. Dikasih sianida sama dia, pasti lo bakal telan tanpa pikir panjang.”
Sebenarnya, salah besar menyinggung nama Sarina saat hati Hakim sedang kacau seperti ini dan Yasinta yang sadar bakal membuat pria itu kembali merajuk kemudian mencari adegan drama Korea paling sedih yang pernah dia ingat supaya air matanya bercucuran. Tapi, hatinya masih terlalu gembira melihat betapa buruknya perasaan Hakim saat ini sehingga air matanya seperti enggan keluar.
Nangis, dong. Ish, bayangin Oppa Minho cium bencong, kek. Aduuuuh, hati gue nggak rela dia cium bencong, bayangin siapa, kek, Yasinta memarahi diri.
“Makan, dong.” bujuk Yasinta lagi. Sesungguhnya, bila dia makan, maka Yasinta yakin Hakim bakal mencret selama satu minggu. Untuk bisa makan seblak level empat seperti saat ini, dia mesti menerima kepedihan tidak terperi. Bibirnya bengkak sepanjang hari dan dia bolak-balik ke kamar mandi hingga lima kali.
“Kenapa aku mesti makan benda seperti itu? Melihatnya saja sudah nggak meyakinkan. Siapa tahu itu sisa cat yang dilelehkan.” Hakim mengedikkan bahu. Kedua tangannya sudah tersembunyi di saku celana. Tidak ada isyarat kalau dia bakal membuka mulut sedangkan Yasinta masih menjulurkan tangan.
Sumpah, lo nyebelin banget. Pak Hakim, Yasinta menahan dongkol di dalam hati, apalagi di saat yang sama, Hakim memilih menggeleng dan hampir berbalik. Di situlah kemudian karma seolah berbalik kepada nona penuh drama yang berpikir akan menyenangkan sekali melihat suaminya kesusahan, setitik saus seblak meloncat begitu saja mengenai biji mata sebelah kanan Yasinta dan dia berteriak panik lalu tanpa pikir panjang segera melompat, mengabaikan mangkok yang masih dia pangku atau juga kakinya yang masih terbalut gips sehingga membuat Hakim berbalik dan menarik pinggang Yasinta yang hampir saja roboh menghantam lantai dan risiko dibawa ke IGD untuk kedua kali.
“Mata gue. Lepasin!” Yasinta berteriak. Tangannya menggapai-langit, berharap dia bisa segera mengguyur mukanya dengan segayung air.
“Gimana, sih? Kepalamu bisa luka, tahu? Kaki belum sembuh, mau nambah penyakit lagi.” Hakim marah dan suaranya jadi sedikit lebih tinggi. Namun, sedetik kemudian, Yasinta meremas wajah suaminya dan membalas dengan nada lebih tinggi lagi, “Mata gue, Dodol! Kena sambal! Lo cabut, gak, dari atas badan gue? Gue mau ke kamar mandi. Perih.”
Hakim lalu memusatkan perhatian ke seluruh wajah Yasinta. Saat ini istrinya tidak bisa membuka mata sama sekali. Air matanya meleleh membasahi kedua pipi dan dia ingin sekali mengusap mata dengan tangan, namun, kedua tangannya bekas mengutak-atik potongan topping ayam di dalam seblak tadi dan Hakim, bukannya sigap, malah bengong sepersekian detik karena menyadari kalau bibir Yasinta jadi amat merah dan bengkak karena sambal pedas tadi.
“Hakim!” Yasinta tidak tahan lagi. Dia meneriakkan nama suaminya dan meremas bahu pria itu sekuat yang dia bisa. Jika sekarang Hakim tidak juga melepaskan tubuh mereka, dia yakin bakal segera buta.
“Minggir. Mata gue kena sambel!” Yasinta berteriak lagi. Air matanya jatuh berderai-derai dan dia setengah mati berusaha membuka mata. Rasa-rasanya, dia yakin, bulu mata lentik kesayangan yang dia jaga sepenuh hati bakal rontok gara-gara banjir air mata tidak kira-kira ini.
Hakim sendiri kemudian langsung sigap. Tanpa pikir panjang, dipanggulnya tubuh Yasinta seperti kuli memanggul karung beras sehingga sang nyonya berteriak dengan amat kencang saking dia takut dan kaget.
“Lepasin gue. Nggak bisa napas, Woi. Lo emang laki demit. Sinting. Sialan.”
Sudah telat. Hakim tidak lagi mendengarkan perintah Yasinta. Dia dengan panik berlari ke kamar mandi, mendudukkan Yasinta di atas kloset, mengambil kepala shower, dan menyiramkan air ke seluruh wajah istrinya tanpa pikir panjang walau di saat yang sama, Yasinta sempat terpekik karena semburan air yang tiba-tiba mengenai wajahnya.
Setelah hampir dua puluh detik, barulah Hakim berhenti dan saat itulah dia sadar, keadaan mereka berdua amat kacau balau, Yasinta yang lebih tepatnya paling menderita. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Rambutnya yang tadi pagi baru saja dia keramasi kini kembali basah. Pakaiannya apa lagi. Kaos putih yang dipakainya sudah terguyur air dan dia lebih mirip seperti korban banjir bandang. Meski begitu, Yasinta akhirnya bisa bernapas lega karena dia bisa melihat lagi dan kemudian baru sadar, kakinya tentu terkena semburan air dan mereka sudah diperingatkan agar berhati-hati. Tadi pagi saja, Yasinta menggunakan pakaiannya untuk menutup gips tersebut.
"Sori." Hakim menatap Yasinta dengan wajah amat menyesal. Dia mencoba menunduk, namun kemudian pandangannya beradu pada pakaian dalam istrinya yang berwarna jeruk sunkist, orange terang yang kini terlihat jelas gara-gara kaosnya telah basah.
Berenda.
"Heh? Mata lo lihat ke mana?" Yasinta menjerit dan segera menutupi dadanya sendiri dengan tangan kanan. Namun, tangan yang satu lagi, secara refleks balas mengambil shower yang masih berada di tangan Hakim, lalu Yasinta menyemburkan benda itu, tepat di wajah suaminya, tanpa jeda sama sekali, hingga Hakim kemudian terbatuk-batuk tanpa henti, sebab, air shower langsung masuk ke lubang pernapasannya dan dia nyaris terpeleset dengan tangan kanan masih memegang lengan kiri Yasinta.
Gara-gara itu juga, pada akhirnya, Hakim tidak sengaja membuat tubuh Yasinta maju dan kepala mereka otomatis beradu, menimbulkan suara yang berakhir dengan keduanya mengaduh secara bersamaan.
"Telepon Pak Didin. Kita ke rumah sakit sekarang." Hakim mengeluh dengan suara lemah. Kepalanya puyeng, hidungnya sakit, dan dia menatap wajah Yasinta dengan raut amat jengkel.
"Ngapa lo marah ama gue? Coba tadi lo mangap aja, urusan jadi cepat kelar, kan? Dasar!"
Hakim menghela napas. Dia memilih bangkit dari lantai kamar mandi sambil memegang kepalanya dan dia berjalan ke luar tanpa menoleh lagi.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰