1-5 Madu In Training

433
46
Deskripsi

Bab 1-5 Banyak yang minta di KK. Hayuk tak kasih. Ramein yesss. Rumah baru Ayang Dedes ama Krisna

Madu In Training 1-5



 

1




 

Sewaktu Kartika Hapsari mengetuk pintu depan Panti Asuhan Hikmah Kasih, Daisy Djenar Kinasih, salah satu pengurus panti, sedang menggendong Jelita, bocah cantik berusia satu setengah tahun yang baru saja mandi. Handuk berwarna kuning masih membelit tubuh bocah kurus tersebut dan dia melambai sembari pamer senyum pada tamu mereka yang datang sore itu.


 

"Mbak Tika? Aduh maaf, Desi nggak dengar tadi pas ketuk pintu." Gadis dua puluh dua tahun itu meminta Kartika masuk. Tangannya terarah pada sofa berwarna cokelat tua bahan oscar yang di beberapa bagian agak sedikit geripis dan melesak. Meski begitu, walau beberapa furnitur yang terdapat di dalam ruang tamu tampak tua dan tidak bagus layaknya furnitur di rumah warga lain, kondisi ruang tamu tersebut amat rapi dan terawat. Di dinding atas sofa, terdapat beberapa foto dalam pigura yang berisi gambar kepala yayasan, pengurus, serta foto-foto anak-anak dirawat di tempat itu. 


 

"Nggak apa-apa. Salah Mbak yang datang mendadak, nggak kasih tahu kamu terlebih dahulu."


 

Daisy lantas diam sejenak, berusaha memindai lawan bicaranya yang kini memilih menghenyakkan pantat ke atas sofa. Terdengar suara derak dan sejenak, Kartika melirik tempat dia duduk tersebut dengan perasaan was-was. 


 

"Karetnya agak dol, sering diloncatin Syarif sama Udin." Daisy meminta maaf. Dia kemudian masuk ke sebuah kamar untuk mengambil kebutuhan Jelita yang nampak anteng dalam gendongannya. Karena itu juga, Kartika yang tadinya duduk, kemudian memutuskan untuk menyusul Daisy.


 

"Namanya anak-anak. Tapi hari ini agak sepi, ya? Yang lain ke mana?"


 

"Ke ulang tahunnya Sifa. Yang bulan kemarin baru diadopsi sama keluarga Harmansyah. Mereka semua senang, karena selain kangen, anak-anak baru sekali ini diajak naik bus gede dan pakai seragam. Heboh banget pas mereka juga diajak belanja ke mal." Daisy menjelaskan. 


 

Dia sudah menarik selembar setelan yang sudah disetrika dari sebuah lemari plastik warna biru, celana dalam dan kaos dalam untuk Jelita. Daisy juga membawa sebotol minyak kayu putih dan sebotol bedak bayi berukuran 500g serta sebuah sisir berwarna cokelat tua ke atas sebuah karpet plastik bermotif mirip tikar pandan dan mendudukkan Jelita yang langsung berusaha berdiri begitu pantatnya menyentuh lantai.


 

"Kamu nggak ikut?" Kartika bertanya. Dia kemudian ikut duduk di depan Daisy yang menggoda Jelita dengan sebuah gelitikan hingga balita tersebut terkekeh geli.


 

"Jelita mencret. Udah beberapa kali beol. Jadi aku yang jaga. Lagian kalau semua pergi, ndak enak panti jadi kosong.


 

Kartika memperhatikan Jelita yang menepuk-nepuk botol bedak dengan semangat. Dia mengelus punggung bocah kecil itu setelah merasa Daisy memberi bedak terlalu banyak di sana.


 

"Kasian, Jelita tulangnya nonjol gini. Nggak dibawa ke rumah sakit aja, Des?" Kartika menawarkan dan dibalas gelengan oleh Daisy.


 

"Nggak, Mbak. Udah dibawa ke bidan. Dikasih sirup sama antibiotik." 


 

Kartika menggeleng tanda tidak setuju, "Kok gitu? Bidan kan tugasnya membantu ibu dan bayi yang baru lahir." Belum sempat protesnya usai, Daisy sudah terlebih dulu memotong, "Bidan Yatri langganan panti, Mbak. Boleh ngutang kalo duit belum ada. Jelita juga sudah mulai senyum, nggak nangis-nangis lagi kayak semalam."


 

Kartika berusaha agar air matanya tidak tumpah. Memandangi balita malang yang entah siapa orang tuanya itu, mengingatkan dia dengan nasib mereka berdua. Dia sedikit lebih beruntung daripada Daisy. Kartika diadopsi oleh keluarga yang amat baik dan mencintainya, sedangkan Daisy, walau telah empat kali diadopsi, entah mengapa, keluarganya tidak pernah bertahan lama. Pada akhirnya, gadis tersebut muak dan memohon agar diizinkan tinggal di panti untuk mengabdi ditempat dia dirawat dan dibesarkan walau tanpa gaji sekalipun.


 

"Jelita ikut ke dokter ama Bude, ya?" Kartika bicara, mengabaikan gelengan dari Daisy yang kini sudah memakaikan celana dalam buat gadis mungil tersebut.


 

"Mbok dipakein diapers. Nanti mencretnya kemana-mana." Kartika protes. Daisy tentu saja tertawa, "Mahal, Mbak. Lagian kalo pake celana, aku bisa tahu kapan dia buang air. Jelita juga bisa laporan kalau dia beol."


 

"Tapi nanti berceceran dong fesesnya." 


 

Daisy mencium pipi Jelita yang baru saja kelar dia beri bedak tipis.


 

"Halum, halum, halum, anaknya siapa ini?" 


 

Jelita terkekeh geli. Daisy lantas menoleh lagi, "Nggak apa-apa, Mbak. Desi tinggal lap, bersihkan dengan alat pel."


 

"Nggak jijik kamu?" Kartika mencari-cari jejak keberatan di wajah lawan bicaranya tersebut, tapi Daisy tidak menampakkan wajah kesusahan sama sekali.


 

"Yah, Mbak. Bu Yuyun yang ngasuh kita berdua dari kecil juga nggak ada jijik sama sekali."


 

Kartika mengulum senyum. Daripada membeli pokok sekali pakai yang jumlahnya tidak murah, masih mending mencuci ulang bertumpuk-tumpuk pakaian kotor. Dana yang diterima yayasan untuk panti harus dihemat sedemikian rupa. Mengasuh anak-anak malang seperti Jelita kadang juga membuat para pengurus berjuang lebih keras saat mereka sakit, entah itu merawat mereka atau juga memikirkan biaya pengobatan. Itu saja, di luar biaya makan dan lain-lain. Karena itu juga, mempertanyakan tentang popok sekali pakai pada mereka adalah hal yang seharusnya tidak perlu diucapkan. 


 

Meski begitu, kadang ada saja bantuan datang berupa paket-paket kesehatan, bantuan sembako, pakaian balita, anak-anak, bahkan untuk para pengurus selain donasi dari para donatur yang untungnya tidak pernah putus memperhatikan anak-anak malang tersebut. Kartika termasuk salah satu di antara mereka. 


 

Kunjungannya ke panti biasanya selain kangen dengan Daisy sang adik angkat, adalah memberikan bantuan entah itu berupa kebutuhan pokok atau juga dana yang setiap melihat angkanya, membuat Daisy atau para pengurus panti merasa amat tidak enak hati. 


 

Mereka semua tahu, setelah diadopsi oleh sepasang suami istri kaya raya, Kartika juga dinikahi oleh pemilik bengkel dan showroom mobil ternama di Jakarta. Uang tentu bukan lagi masalah. Akan tetapi, tetap saja, kebaikan sang donatur tetap yang telah memberikan sumbangsih amat banyak para yayasan tersebut, membuat Daisy sungkan karena mereka telah terlalu banyak mendapatkan bantuan.


 

"Makanya Mbak sayang banget sama kamu. Setelah semua teman-teman kita bahagia dengan hidupnya masing-masing, kamu masih setia di sini, berkorban buat adik-adik, sampai lupa membahagiakan diri sendiri." Kartika mengelus punggung tangan Daisy yang baru kelar mendandani Jelita. Si mungil dengan rambut tipis sewarna jagung tersebut menyunggingkan senyum saat dia berusaha berdiri.


 

"Ngomong apa sih, Mbak Tika ini? Desi bahagia, kok. Lihat adik-adik nyaman dan sehat sudah berarti segalanya buat Desi."


 

"Maksud Mbak, kamu nggak ada niat buat pacaran...?"


 

Kartika sengaja mengulur kalimat barusan dan tentu saja karenanya, Daisy lantas melirik dengan sudut matanya yang memilik buku mata amat lentik. Meskipun tidak memakai bedak dan make-up, Daisy memiliki kecantikan alami yang mampu membuat banyak kaum Adam terpesona. Tapi, dia lebih memilih menutupi kecantikannya dengan jilbab panjang terulur yang pada akhirnya membuat Daisy nyaman karena tidak semua lelaki suka pada wanita yang menyembunyikan kecantikan di zaman sekarang.


 

"Haduh, pacaran opo, Mbak? Desi nggak ada waktu buat begituan. Maunya sama yang serius, langsung halal, nikah. Biar puas-puasin mesranya waktu sudah sah. Bebas ngapain aja."


 

Daisy tersipu, malu sendiri dengan kalimat yang barusan diucapkannya. Entah mengapa, Kartika merasa, selama sepersekian detik, mata wanita muda itu terarah ke pintu luar seolah takut ada yang mendengar. Tapi, disamping itu Kartika merasa Daisy juga mencuri pandang ke arah pigura depan kamar yang mereka tempati saat ini. Sang pemilik yayasan yang saat ini entah berada di mana, Kartika tidak tahu, adalah seorang pria tampan yang selain sopan, punya akhlak amat baik. Dia mengenal Sauqi Hadad dengan yang sudah menjadi generasi ketiga dalam hal mengurus dan menakhodai Panti Asuhan Hikmah Kasih. 


 

Bukan kabar burung lagi, hampir semua gadis yang berada di panti mengidolakannya. Daisy bisa jadi salah satunya. 


 

"Ntar kalo kamu nikah, yayasan bakal kelimpungan."


 

Daisy mengerjap selama satu detik lalu menahan rona di wajah, dia bicara gugup, "Desi ngarepnya nikah sama suami yang mengerti kalau istrinya punya tanggung jawab dengan adik-adik di sini. Lebih bagus, kalau nyantolnya sama orang sini juga."


 

Kartika menggeleng tidak setuju. Tebakannya barusan tidak salah. Bukan itu tujuannya datang hari ini.


 

"Janganlah. Nikah sama orang sini bakal bikin hidupmu muter-muter di panti, tok. Kamu harus melanglang buana, Des."


 

Deasy cekikian geli, "Ya ampun, Mbak. Santai aja. Desi baru dua puluh. Belum mikirin nikah. Masih fokus ngerawat adik-adik. Lagian nggak ada yang mau juga, kok. Desi kan anak yatim piatu. Tinggal di panti juga. Orang-orang punya stigma kalau anak panti adalah anak yang nggak diinginkan, anak haram. Ya kali, Desi bakal diterima dengan mudah jadi bagian keluarga seseorang. Biar sudah jaman modern, tetap bibit, bebet, bobot, jadi pertimbangan. Siapa yang mau punya menantu yang nggak jelas asal-usulnya."


 

"Hush." Kartika memotong, "Mbak ketika menikah dengan Mas Krisna, nggak ada tuh ditolak sama keluarganya. Bunda Hanum menerima Mbak dengan sukacita, walau sampai detik ini, Mbak belum bisa memberi cucu..."


 

Wajah Kartika tampak lesu seketika dan sewaktu melihatnya, membuat Daisy yang sedang mengawasi Jelita berjalan hilir mudik dalam kamar, melemparkan pandangan prihatin. 


 

"Tapi, Mbak nggak sedih-sedih amat. Di sini ada Jelita dan teman-temannya yang menghibur. Kalau lagi suntuk sama kafe dan toko online, Mbak mampir ke sini. Ada kamu juga yang nggak pernah bosen meladeni curhat Mbak."


 

Daisy yang kemudian bangkit lalu menangkap Jelita yang berjalan santai menuju pintu keluar, pada akhirnya menghela napas sebelum menggendong kembali gadis kecil itu dan membawanya ke arah Kartika yang memandangi lantai tegel dengan wajah muram.


 

"Mbak, kan, sudah lebih dari kakak kandung Desi sendiri. Ojo sedih, toh. Aku ikutan mau nangis. Dokter nggak bilang apa-apa, kan? Sakit Mbak nggak makin parah, kan?"


 

Kartika diam, tapi secepat kilat matanya basah dan Deasy yang mulanya memperhatikan Jelita yang sudah asyik menjelajah kamar kembali, mendekat ke arah Kartika dan mengusap punggungnya. Bukannya reda, tangis wanita tiga puluh tahun itu makin pecah.


 

"Ya, Allah, Mbak. Eling. Kenapa? Kasih tahu Desi. Ada Desi yang bisa bantu Mbak."


 

Kartika menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan terisak-isak. Hijab syari warna peach yang senada warnanya dengan gamis, membuatnya amat anggun. Tapi, karena menyentuh bahu dan punggungnya, Deasy tahu, keadaan Kartika tidak baik-baik saja.


 

"Mbak, Ya Allah. Kurus banget badanmu. Mbak makan, nggak? Suamimu dah tahu belum?"


 

Kartika mengangguk. Tangisnya pecah lagi.


 

"Minggu depan kami ulang tahun pernikahan yang ke lima. Mas Krisna bakal hancur kalau aku kasih tahu waktu istrinya nggak banyak lagi..."


 

"Mbak...kamu jangan ngomong begitu. Aku nggak mau ada apa-apa..." Deasy menyambar tubuh ringkih Kartika dan tidak kuasa menahan air mata yang makin deras saat adik angkatnya memeluknya dengan erat.


 

Bahkan, Jelita yang saat itu bingung dengan apa yang sedang terjadi di hadapannya, ikut menangis panik. Deasy sampai harus bangkit dan menenangkan si kecil dalam gendongannya.


 

"Nggak apa-apa, Sayang. Bude sedih aja." Daisy merayu sang bocah supaya tangisnya reda.


 

"Kamu beneran mau bantu Mbak?" Kartika tiba-tiba saja berdiri dan bergerak mendekati Deasy dengan tangan bergetar. Untuk pertama kali, selama mengenal wanita itu, Deasy Djenar Kinasih merasa bahwa Kartika Hapsari tampak sangat mengkhawatirkan. Dia bahkan tidak bisa menahan diri untuk mendekati Kartika lalu memeluknya sambil menahan air mata yang dari tadi memang hendak tumpah.


 

"Mbak jangan nakutin Desi..." 


 

"Dokter bilang, waktuku nggak lama lagi, Des. Mas Krisna bakal hancur kalau dia tahu kenyataan dia akan kehilangan istrinya..."


 

"Mbak nggak boleh ngomong gitu. Maut cuma Allah yang menentukan. Mbak nggak boleh..."


 

Kartika menggeleng. Dia lantas menarik jemari kiri Deasy erat-erat lalu menatap wajah adik angkatnya dengan penuh harap, "Waktuku nggak lama lagi. Cuma kamu yang bisa kupercaya. Tolong aku, Des. Tolong gantikan aku jadi istri Mas Krisna. Tolong menikah dengannya..."


 

Deasy Djenar Kinasih merasa palu Godam sedang menghantam wajahnya dan dia hanya mampu memandangi wajah Kartika yang menganggukkan kepala berkali-kali.


 

"Bantu aku. Itu permintaan terakhir dari kakakmu ini."


 

***





 

Madu In Training 2



 

Dua hari sudah lewat dari peristiwa Kartika Hapsari yang menangis di depan Daisy Djenar Kinasih. Sewaktu Kartika membuka kedua kelopak mata, lima menit sebelum pukul tiga dini hari, dia mengernyit. Bagian bawah sana berdenyut tidak nyaman dan dia tahu, sesuatu sedang mengalir di sela-sela pahanya. 


 

Kartika tidak kaget lagi. Dia sudah terbiasa dengan hal tersebut. Sudah beberapa bulan terakhir dia tidur mengenakan popok dewasa karena pembalut kadang tidak sanggup menampung darah yang keluar karena jumlahnya terlampau banyak. Nyerinya luar biasa dan dia selalu berusaha menutupi semua itu dengan senyum. Walau ketika terbangun di sepertiga malam seperti saat ini, dia hanya mampu menangis sendirian. 


 

Kartika bahkan tidak bisa berdoa seperti kebanyakan orang karena dia selalu merasa dirinya tidak pernah suci akibat penyakit yang dia derita.


 

Orang bilang, sakit adalah penggugur dosa. Apakah dosaku terlalu banyak hingga diberi penyakit separah ini, Ya Allah? 


 

Kartika memejamkan mata. Bulir-bulir bening dan hangat telah meleleh begitu saja. Dia berusaha kuat tidak terisak supaya suaminya yang sedang terlelap di sebelahnya saat ini tidak terganggu. 


 

Mas Krisna.


 

Kartika membuka mata. Suasana kamar tidak terlalu redup. Lampu tidur di atas nakas, yang berada di samping tempat tidur, sengaja dinyalakan supaya ketika dia bangun, Kartika masih dapat melihat sesuatu.


 

Ditelengkannya kepala. Krisna, suami tersayangnya sedang terlelap. Kepalanya menghadap ke arah Kartika. Tangan mereka bertaut sejak mula kepala keduanya menyentuh bantal. Krisna tidak pernah melepaskan tautan tangan mereka setiap tidur dan dengan tangan kirinya yang bebas, seraya menahan isak yang sebetulnya tidak sanggup dia tahan, Kartika menyentuh pipi mulus pria berusia tiga puluh satu tahun itu dengan perasaan hancur berkeping-keping. 


 

Bagaimana aku bisa sanggup jauh darimu, Mas? Bagaimana aku bisa kuat?


 

Kartika menarik tautan tangan mereka berdua dan mengarahkannya ke arah bibirnya sendiri, mencium tautan tersebut sembari memejamkan mata, di antara perih yang menyayat-nyayat di bagian bawah sana yang terus diabaikannya sejak dulu, air matanya luruh lagi.


 

Bagaimana perasaanmu kalau tahu aku nggak bakal lama lagi berada di sampingmu?


 

Dengkur Krisna terdengar jelas dan Kartika berusaha tersenyum. Suaminya terlihat amat lelah. Mereka baru saja merayakan tahun ketiga bisnis showroom mobil yang ternyata cukup menjanjikan. Krisna punya kemampuan negosiasi yang baik dan tidak malu keluar masuk berbagai kantor dan perusahaan demi menjalin kerjasama baik untuk penyewaan, pengadaan mobil kantor berskala besar serta inisiasi mobil antar jemput untuk korporat yang biasanya malas berurusan dengan penurunan nilai barang setiap tahunnya. 


 

Karena kesibukannya, dia bahkan selalu lupa dan abai pada keadaan dirinya sendiri. Kartika harus selalu memastikan Krisna makan tepat waktu, serta urusan remeh temeh lain yang kadang tidak sempat pria itu lakukan sendirian. 


 

Pipi kamu tirusan, Mas. Ya Allah, suamiku…


 

Kartika memejamkan mata. Air matanya tumpah lagi dan sekejap, dia merasa hidungnya mampet. Detik itu juga, dia berusaha bernapas namun akhirnya suaranya yang berjuang diantara isakan dan tarikan napas membuat kelopak mata sang suami terbuka. Krisna otomatis bangun dan mengusap lengan kiri Kartika.


 

"Kenapa? Perutnya sakit? Kamu pendarahan lagi?"


 

Krisna bangkit lalu duduk dan memeriksa tubuh Kartika yang di matanya makin kurus. Karena itu juga, isak Kartika makin jadi dan daripada dicek oleh suaminya, dia memohon agar Krisna mau memeluknya dengan erat. Dia tahu, percuma saja mengelus atau mengusap perut dan punggungnya. Nyeri-nyeri itu tidak akan bisa hilang dengan mudah. Dokter telah memberi peringatan supaya dia dirawat secara intensif di rumah sakit. Tapi, Kartika menolak dan mengatakan pada semua orang yang mengenalnya kalau dia baik-baik saja. 


 

Kecuali pada Deasy yang secara mengejutkan, malah menolak permohonannya.


 

"Mbak sadar bicara apa? Suami Mbak bukan anak kecil. Dia nggak akan suka dengan ide gila ini. Desi juga bukan nggak mampu cari suami. Desi masih mau mengabdi di Panti ini lebih lama lagi."


 

Kartika tahu bukan itu alasannya. Deasy adalah satu-satunya gadis yang masih berada di panti padahal dia telah berusia dewasa. Sementara semua temannya telah keluar, dengan alasan diadopsi, menikah, telah mendapat pekerjaan, Deasy memilih mengabdi sembari nyambi jadi tukang kue yang menurut Kartika bukan pekerjaan yang bisa diandalkan. Deasy menekuninya karena hanya itu hal yang dia sukai selain mendekam di panti dengan dalih tidak tega melihat adik-adiknya merana.


 

Padahal, staf di yayasan tidak sedikit dan Deasy sama sekali bukan staf, Kartika tahu betul tentang itu. Dia tahu semua tentang adik angkatnya tersebut luar dalam sehingga meminta Daisy menerima permintaanya adalah hal paling bijak yang pernah dilakukan oleh seorang Kartika Hapsari sebelum dia berpisah dari dunia ini.


 

"Mbak, aku nggak mau!" Kartika ingat, penolakan Daisy benar-benar membuatnya terluka. Tapi, dia tetap tidak suka wanita muda tersebut hilir mudik dengan gamisnya yang sudah pudar serta bagian bawahnya penuh untaian benang akibat obrasannya lepas, efek terlalu sering dipakai. Kartika tahu, hampir semua uang Daisy digunakan untuk membantu panti sebagai ucapan terima kasih telah diasuh dan dibesarkan hingga detik ini.


 

"Dengar! Aku punya penawaran yang nggak bakal bisa ditolak sama sekali olehmu. Jika kamu setuju, hidupmu akan terjamin hingga tua."


 

Deasy menggeleng. Matanya beberapa kali mencuri pandang ke arah luar dan pigura yang tergantung di dinding depan kamar. Saat satu suara familiar terdengar, dia seperti terlonjak dan buru-buru keluar sambil menggendong Jelita. Mengabaikan Kartika yang memandanginya dengan mata terpicing ke arah pigura yang sebelum ini menjadi pelarian Deasy.


 

Wajah Syauqi nan tampan terlihat dengan jelas di mata Kartika. Dia adalah sang pewaris panti atau pria yang terpaksa dibebani kewajiban mengurus tujuh puluh anak-anak tidak beruntung karena ayahnya, sang pemilik panti asuhan terkena serangan jantung mendadak dan meninggal tidak lama kemudian. 



 

Kamu jatuh cinta sama Syauqi, Des? 


 

Nggak. 


 

Kamu nggak boleh jatuh cinta sama dia. Satu-satunya pria yang boleh kamu cinta adalah orang yang sama yang saat ini sedang memelukku. 


 

Kamu akan menggantikan aku. Kamu akan jadi satu-satunya wanita yang dipeluk dan dicintai oleh Mas Krisna. 


 

Dan aku akan melakukan apa saja supaya kamu mau menganggukkan kepala dan menerima pinanganku, menjadi maduku, menjadi istri kedua suamiku, Krisna.


 

Azan Subuh masih belum berkumandang dan Kartika meminta agar Krisna mengeratkan pelukan mereka supaya nyeri-nyeri di bagian bawah sana lekas hilang dan dia bisa terlelap kembali dan bermimpi dengan indah. 


 

Tentang dirinya yang berjalan di sebuah taman bunga yang berbau harum dan luas, sedang melambai kepada sepasang anak manusia yang bertatapan penuh cinta dan berjalan sukacita ke arahnya.


 

***







 

Madu In Training 3



 

Kharisma Kafe yang berlokasi di bilangan Bintaro Sektor sembilan menjadi tempat pertemuan antara Kartika Hapsari dan Gendhis Wurdani Parawansa. Gendhis adalah adik kandung Krisna dan hal tersebut berarti bahwa Gendhis dan Kartika adalah saudara ipar. Hubungan mereka sangat akrab meski umur keduanya terpaut cukup jauh. Gendhis berusia satu tahun di bawah Daisy dan seperti Kartika, dia juga mengenal pengurus panti asuhan itu dengan baik. 


 

Suasana kafe menjelang pukul dua di hari Sabtu itu lumayan sepi. Agak sedikit aneh karena biasanya di penghujung akhir pekan akan ada banyak pasangan yang mampir. Tapi, bagi Kartika, dia lebih suka keadaan sepi tersebut karena orang-orang tidak bakal sibuk mencuri kesempatan memperhatikan keadaannya. Walau sudah memilih duduk di salah satu meja yang letaknya berada di sudut pojok kafe yang terlindungi partisi rak kayu dengan dekorasi kaktus dan sukulen mini, Kartika masih merasa banyak mata yang memperhatikannya.


 

Dia sudah lelah menahan nyeri dan menangis semalam suntuk meratapi nasib. Pada Krisna, suaminya, dia berkata krim mata kedaluwarsa telah membuat matanya bengkak dan suaminya percaya saja bahkan menawarkan kunjungan ke dokter untuk memeriksakan keadaannya. 


 

Untung juga, Krisna percaya kalau Kartika punya penawarnya dan bengkak di matanya akan sembuh menjelang malam nanti. Kenyataannya, dia memang mengoleskan masker mata, akan tetapi, dia kemudian sadar akan suatu hal dan adik iparnya, Gendhis bisa jadi perantara yang baik untuk membantunya.


 

Gendhis adalah seorang perawat dan selama ini dia sudah banyak membantu Kartika bertahan dengan penyakitnya. 


 

Ponsel Kartika yang dia letakkan di atas meja kayu teak bergetar dan foto Gendhis muncul. Adik iparnya menelepon. Tanpa ragu Kartika mengangkat panggilan tersebut.


 

"Iya, Dhis. Sudah sampai dari tadi. Kamu sudah di parkiran?"


 

Kartika tersenyum karena sejurus kemudian pintu kafe terbuka dan kepala seorang wanita dengan tatanan rambut bergelombang dicat tembaga membuat Kartika menggoyangkan tangan.


 

"Dhis, sini."


 

Gendhis memberi kode kepada seorang pelayan kalau dia sudah ditunggu dan pelayan tersebut mempersilahkan Gendhis menuju tempat saudara iparnya berada. Mereka kemudian berpelukan selama beberapa saat dan detik itu, Gendhis sadar betapa kurus tubuh Kartika yang dikenalnya selama ini.


 

"Mbak." Gendhis menahan air mata, "Mas Krisna harus tahu. Kamu harus ke rumah sakit, kemo." Jemari kanan Gendhis menggenggam kedua jemari iparnya. Respon Kartika hanyalah sebuah gelengan pelan sebelum dia meminta Gendhis untuk duduk, "duduk, Dhis."


 

Gendhis menurut. Dia menyeka air mata yang tiba-tiba jatuh dengan punggung tangan kiri lalu berusaha tersenyum. Rasanya sakit dan menyebalkan bila melihat Kartika seolah bebal dengan keadaannya sendiri.


 

"Mas Krisna tahunya HNP*-ku kumat." Kartika bicara lembut, mencoba menenangkan hati Gendhis yang risau. Hari ini adik iparnya tampil amat menawan. Gendhis memakai kulot putih dan dipadukan dengan blus berwarna mauve yang terbuat dari bahan sifon. Dia terlihat masih muda dan sangat bersemangat. Agak aneh mendapati matanya berkaca-kaca dan Kartika merasa amat bersalah karenanya.


 

"Ini obat pesanan Mbak." Tanpa basa-basi, Gendhis mengangsurkan sekotak obat pesanan Kartika dan wanita berjilbab itu mengucapkan terima kasih dengan wajah tulus, "Mbak bergantung kepadamu. Mas Krisna bakal curiga…"


 

"Mbak kenapa, sih, nggak mau jujur? Dhis kenal sama Abang jauh lebih baik dari saudara kami yang lain. Mbak Ita sama Mbak Dian emang nggak terlalu peduli dan sibuk sama keluarga mereka masing-masing, tapi, Dhis tahu kalau Abang nggak bakal ninggalin Mbak cuma gara-gara penyakit ini."


 

"Umur Mbak nggak lama lagi." Kartika meraih tangan Gendhis kembali, mencoba menenangkan hati sang ipar yang begitu terkejut, "sel kankernya sudah menyebar sampai ke hati."


 

Gendhis terkesiap begitu mendengar jawaban Kartika.


 

"Mbak? Mbak sadar dengan apa yang sudah Mbak katakan? Bisa-bisanya Mbak menyimpan ini semua dari Mas Krisna?" 


 

Kartika menggeleng. Wajahnya sedikit pucat sewaktu dia berusaha untuk melanjutkan.


 

"Perkembangan selnya terlalu cepat. Aku bahkan nggak punya waktu buat berpikir apa-apa kecuali apa yang mesti aku lakukan setelah aku tidak ada."


 

"Kenapa Mbak nggak mikirin tentang perasaan Mas Krisna?" Gendhis melanjutkan, matanya merah. Dia masih hendak bicara sewaktu seorang pelayan meminta izin untuk meletakkan pesanan mereka menjelang sore itu. Dia menunggu selama beberapa detik hingga pesanan mereka selesai baru kemudian Gendhis kembali melanjutkan, "ini bukan perkara sepele. Suami Mbak harus tahu."


 

Kartika mengangguk usai Gendhis bicara, "Tentu. Dia bakal tahu. Tapi, sebelum semua itu, Mbak harus mempersiapkan semuanya. Mbak tahu persis bagaimana sifat Masmu. Kami sudah bersama sejak SMA dan dia tidak bakal mudah bangkit bila tahu istrinya tidak bisa lagi diselamatkan."


 

Gendhis berdecak. Dia tampaknya tidak setuju dengan apa yang bakal diucapkan oleh Kartika setelah ini. Apa pun itu. 


 

Karenanya, dia berusaha mengambil napas selama beberapa detik dan mengedarkan pandangan ke langit-langit kafe, berusaha menenangkan diri. Dia berkali-kali mengerjapkan kelopak matanya agar air mata sialan tersebut tidak perlu meleleh. Akan tetapi, kenyataannya amat susah dan dia harus bersikap seanggun mungkin menahan tangis di tempat sebagus ini. Orang-orang yang penasaran bakal mengira dia patah hati.


 

Yah, jika itu bisa disebut dengan patah hati, maka jawabannya benar. Dia bakal patah hati ditinggal oleh kakak ipar tersayangnya. Satu-satunya kakak ipar perempuan yang dia miliki dan selalu menjaganya sejak dia masih belia.


 

"Kalau Mbak nggak jujur kayak gini, Mas Krisna malah bakal makin sedih. Dia seharusnya jadi yang pertama tahu." Gendhis menyusut ingus. Dia kemudian meraih tisu yang tersedia dalam sebuah wadah di atas meja lalu mengusap hidungnya. Setelah itu, dia mengambil satu lembar lagi untuk mengusap matanya yang basah. 


 

"Mbak tahu." Kartika membalas. Dia berusaha kuat dan tersenyum. Tangannya terlihat amat kurus dan Gendhis merasa amat marah kepada dirinya sendiri karena tidak sanggup memberi tahu abang kandungnya sendiri.


 

Yah, dia tidak terlalu salah. Dia selama ini mengira Kartika sudah memberitahukan semua kepada Krisna. Pantas saja sikap pria tersebut tampak normal. Dia memang selalu memperhatikan dan merawat istrinya dengan amat baik, pikir Gendhis. Tapi, mungkin Krisna kelewat bodoh hingga tidak sadar kondisi Kartika sebenarnya amat kritis.


 

"Aku bakal telepon dia kalo Mbak nggak mau. Habis ini, kita segera ke rumah sakit. Jangan ditunda lagi, Mbak. Setiap menit sangat berarti."


 

Kartika menyentuh punggung tangan kanan Gendhis seraya menggeleng pelan seolah dia sudah tahu ke mana muara penyakitnya akan berakhir.


 

"Segera setelah kamu pulang, Mas Krisna bakal mampir ke sini. Dia sudah janji akan datang dan merayakan hari jadi kami."


 

Gendhis menyumpah di dalam hati. Bisa-bisanya dia tidak ingat tanggal penting tersebut. Tapi, yang paling tidak wajar adalah sikap Kartika yang kelewat santai sementara di dalam tubuhnya ada bom waktu yang siap meledak.


 

"Dhis nggak punya kado." Dia mengeluh sementara Kartika membalas dengan seulas senyum, "Nggak perlu. Justru kedatangan Mbak ke sini adalah untuk minta bantuan kamu. Kado pernikahan kami sudah Mbak persiapkan, tapi, agak sedikit bermasalah dalam membujuknya. Cuma, Mbak tahu, dia adalah kado terbaik yang bisa Mbak beri buat Mas Krisna dan juga kamu, Dhis."


 

Gendhis mulai tidak suka arah pembicaraan ini, terutama setelah telinganya menangkap ada sebuah objek lain yang muncul di antara dirinya dan sang abang.


 

"Dia? Kado apaan sampai Mbak pake kata dia? Dia ini maksudnya orang? Mbak mau ngasih orang buat hadiah? Terus apa hubungannya sama Dhis sampe Mbak bilang baik Mas Krisna dan Dhis bakal suka dengan kado itu."


 

Gendhis bisa merasakan kalau tangan kakak iparnya sedikit lebih hangat dan gemetar dari biasanya. Meski begitu, wanita berusia tiga puluh tahun tersebut tetap tersenyum dan Gendhis seolah melihat cahaya dan semangat terpancar dari sinar matanya.


 

"Kado pernikahan kami, adalah seorang pengganti yang paling pantas mendampingi Mas Krisna dan menjadi kakak iparmu. Kamu bakal sangat bahagia, bahkan setelah aku pergi nanti."


 

"Mbak jangan macem-macem, deh." Gendhis menarik tangannya dari genggaman Kartika dan menatapnya dengan raut wajah tidak suka. Bagaimana dia bisa memikirkan hal seperti itu di saat genting macam begini? Mendengarnya saja Gendhis sudah tidak sudi, apa lagi membayangkan Krisna menikahi wanita selain Kartika.


 

"Mbak pikir Mas Krisna gila mau kawin lagi sementara bininya sekarang sekarat? Kalau dia tahu…"


 

"Daisy Jenar Kinasih, dia Kakak cantik kesayanganmu, kan? Bukannya sejak dulu kamu punya mimpi, punya satu lagi abang supaya dia bisa jadi kakak iparmu."


 

Kartika mengurai senyum. Tangannya lantas meraih gagang cangkir bermotif bunga mawar di hadapannya, lalu menyesap isinya seolah dia sedang menikmati minuman paling nikmat di dunia.


 

"Mbak Tika, ja… jangan gila." Gendhis merasa saat ini ada yang mencekik tenggorokannya karena tiba-tiba saja dia jadi amat kesulitan untuk menghirup udara.


 

"Kalian bakal cocok." Kartika mengedipkan mata, mengabaikan akting sang ipar yang kini bertingkah seperti ikan yang menggelepar karena meloncat dari air.


 

"Mbak gila. Mbak Daisy dan Mas Krisna itu musuh bebuyutan. Menyatukan mereka dalam sebuah pernikahan sama aja kayak mengurung seekor kambing di kandang serigala. Kambingnya bakal mati, Mbak. Mati." Gendhis menyentuh lehernya sendiri dan mengabaikan perasaan bergidik ketika dia membayangkan dua orang tersebut disatukan dalam sebuah bahtera pernikahan.


 

"Benar." Kartika mengangguk setuju, mengacungkan cangkir berisi larutan teh Twinings dengan gula batu ke arah adik iparnya. 


 

"Jika kambing itu mau mati dengan mudah, dia bakal mati. Tapi, aku yakin, daripada mati, dia pasti memilih seribu cara supaya tetap hidup. Dan, suamiku, akan kuat bertahan sekalipun dia harus berpisah denganku."


 

Dasar wanita gila, pikir Gendhis. Kartika Hapsari benar-benar wanita gila dan sinting karena bisa-bisanya dia memikirkan hal paling edan seperti ini menjelang hari-hari terakhirnya di dunia. Pertama, mencarikan seorang madu untuk suaminya, dan kedua, menganggap seorang pria yang super tampan dan gagah seperti Krisna Jatu Janardana sebagai seekor kambing di dalam kandang yang siap mati diterkam serigala. 


 

***














 

*Hernia nukleus pulposus (HNP) atau herniated disc adalah kondisi ketika salah satu bantalan atau cakram (disc) tulang rawan dari tulang belakang menonjol keluar dan menjepit saraf. Penyakit ini sering disebut oleh orang awam sebagai saraf terjepit.




 

Madu In Training 4


 

Waktu menunjukkan lewat pukul empat saat Gendhis Wurdani Parawansa pamit kepada kakak iparnya, Kartika Hapsari. Gendis pulang terlebih dahulu karena sang bunda menelepon dan memintanya cepat pulang. Hal tersebut membuat Kartika bersyukur, jika tidak, dia bakal tetap menunggu kedatangan abang kandungnya lalu membeberkan semua yang dia ketahui pada Krisna, tentang kondisi istrinya yang sebenarnya amat mengkhawatirkan, serta rencana Kartika untuk menjodohkannya dengan Daisy.


 

"Bukankah Daisy kesayanganmu juga?"ujar Kartika saat Gendhis merajuk dan dia sudah menghabiskan lembar tisu ke tujuh. Gendhis memang mengangguk tapi dia tidak berniat mendapat kakak ipar baru lagi bila kakak ipar kesayangannya masih hidup.


 

"Kak, aku nggak mau punya dua kakak ipar perempuan. Aku nggak mau Mas Krisna berbagi istri, aku nggak mau ada dua ratu dalam satu istana Kangmasku, belum lagi bila Bunda tahu, semua orang tahu." 


 

"Itu jadi urusanku." Kartika memotong. Dia bicara dengan nada amat meyakinkan sehingga setiap Gendhis berusaha membeberkan fakta bahwa baik Krisna, Bunda dan dirinya sendiri tidak bakal mendukung niat Kartika tersebut.


 

"Lagipula, Mas Krisna hanya akan punya satu istri." Kartika menyunggingkan senyum sebelum dia melepaskan adik iparnya.


 

Meski begitu, Gendhis tetap tidak menyukai ide kakak ipar tersayangnya tersebut. Apalagi, setelah mendengar pengakuan Kartika barusan, hanya ada satu istri, bukankah itu seperti dia seolah yakin bahwa dirinya akan pergi meninggalkan dunia. Tapi, daripada itu, tidak ada yang lebih menyedihkan bila hal ini diketahui oleh Krisna sendiri dan Gendhis, seperti sebelumnya yakin, abangnya tidak bakal bahagia sama sekali saat mendengarnya.


 

"Dhis, tolong lakukan saja pekerjaanmu dan jangan kamu menolaknya. Hanya ini satu-satunya permintaan dari kakak iparmu ini dan waktu kita tidak banyak lagi.


 

Tersudut dan terpaksa, Gendhis tahu dia tidak punya pilihan. Mereka berpacu dengan waktu dan dia hanya menjalankan tugasnya, walau lebih bagus lagi, Daisy yang bakal mendapat tugas maha sulit ini menolak mentah-mentah permintaan Kartika. Dengan begitu, dia punya seorang lagi sekutu buat menentang niatan jelek seorang Kartika Hapsari yang merasa dia bisa mendahului takdir Tuhan dan merencanakan skenario baru sesuka hatinya, seolah-olah dia adalah sutradara amat berbakat dan bisa menebak, baik hati suaminya dan hati adik angkatnya bisa diatur sedemikian rupa. 


 

"Sudahlah. Jangan menangis. Kamu tahu dengan jelas, tidak ada yang bisa mengubah takdir. Yang pasti, sekarang siapkan mentalmu dan ketika aku mati nanti, jangan sia-siakan air matamu. Gunakan untuk hal yang lebih berguna seperti mendoakan misi kita bakal sukses."


 

Gendhis menyerah dan hal terbaik yang bisa dia lakukan hanyalah pergi dari kafe tersebut dan bergegas menemui Daisy, sesuai permintaan Kartika. Meski seperti tadi, dia betul-betul yakin, wanita itu tidak bakal sudi menuruti keinginannya. Kartika terlalu sinting dan Daisy yang waras pasti menolak diperistri Krisna yang selama bertahun-tahun menjadi musuh bebuyutannya. 


 

***


 

Krisna Jatu Janardana terburu-buru memarkirkan mobil di depan pelataran parkir Kharisma Kafe. Setelah keluar dan mengaktifkan alarm, dia segera menelepon istrinya dan merasa amat lega begitu Kartika menjawab dirinya sudah berada di dalam. 


 

Tanpa pikir panjang, Krisna melangkah masuk kafe. Suara beberapa pelayan terdengar menyambut dan dia tersenyum kepada beberapa dari mereka. Krisna tahu, wajah beberapa perempuan yang menoleh kepadanya nampak terpesona. Tatapan mereka tidak bisa ditipu. Sesekali di antara perempuan tersebut memperhatikan penampilannya yang memang menawan dari atas hingga ujung kaki, lalu berbisik kepada rekan di sebelahnya. Dia mafhum mereka selalu memuji. Krisna adalah salah satu pemenang jebolan kontes Pria Sehat Indonesia pada tahun 2015 yang memang pemilihannya agak ketat. Haruslah seorang yang berwajah tampan, pintar, dan paling penting proporsional. Tambahan lain, pria tersebut haruslah laki-laki tulen, bukan melambai alias punya orientasi seksual menyimpang. 


 

Tetapi, Krisna sudah meninggalkan dunia gemerlap tersebut sejak mengenal Kartika. Mereka saling jatuh cinta dan menikah tanpa berpacaran. Fokus hidup Krisna adalah Kartika hingga detik ini, tahun ke lima pernikahan mereka. 


 

Krisna menemukan Kartika duduk agak sedikit tersembunyi di sudut kafe. Senyumnya mengembang. Gegas, dia mendekat dan tanpa ragu, dikecupnya puncak kepala Kartika yang tertutup jilbab sifon lembut yang menjulur hingga perut. Sampai kapan pun, Kartika adalah wanita kesayangannya yang paling indah. 


 

"Assalamualaikum. Udah lama nunggu, Sayang?"


 

Kartika menggeleng. Krisna mengambil posisi duduk di bangku depan tempat dia duduk saat ini. Penampilannya tampak sangat sempurna. Memukau walau hanya memakai kemeja putih slim fit dan celana berbahan wol warna abu-abu tua. Si tampan itu selalu punya pesona yang tidak bisa ditolak. Kartika merasa amat sedih harus meninggalkan Krisna seorang diri. Terutama karena dia tahu, pria tersebut bakal hancur tanpa dirinya. 


 

"Nggak. Tadi Gendhis sempat mampir, kok. Nemenin aku." 


 

Krisna tidak menaruh curiga sama sekali. Gendhis dan Kartika memang selalu akrab. Dalam satu minggu, bisa dipastikan mereka akan bertemu beberapa kali. Walau, pria itu tidak tahu alasan mereka bertemu selain kerinduan antara kakak dan adik ipar. Bahkan hingga bertahun-tahun lamanya pertemuan itu selalu terjadi. Kesibukan Krisna membuatnya selalu percaya pada Kartika dan dia berterima kasih kepada adiknya Gendhis karena mau menemani Kartika saat dia tidak bisa melakukan tugasnya sebagai seorang suami. 


 

"Kok, nggak nungguin? Tumben. Biasanya kalau ada perayaan, dia yang duluan minta traktir. Pesan yang paling banyak dan paling mahal."


 

Sekalipun Gendhis tampak sangat modis dan langsing, tidak terlihat kalau dia adalah penggemar kuliner. Di depan sang abang, dia akan jadi dirinya sendiri. Tidak heran, meski mereka keturunan Jawa dan Kartika selalu memanggilnya Mas, Gendhis malah membahasakan diri kepada Krisna dengan bahasa gaul lo-gue tanda mereka amat akrab. 


 

"Dia dapat tugas penting, makanya nggak bisa lama." 


 

Ngomong-ngomong, Kartika senang melihat penampilan Krisna hari ini. Sebagai pengusaha otomotif yang sedang naik daun, dia menarik banyak perhatian perempuan. Tidak terhitung banyaknya sales cantik yang berusaha menarik perhatian si tampan itu, tetapi Krisna selalu memilih Kartika sekalipun dia tidak pernah bisa berfungsi sempurna sebagai seorang istri. 


 

Dia bahkan membayangkan reaksi Daisy saat mereka menikah nanti. Ah, pikiran itu seharusnya cepat menjadi nyata jika adik angkatnya tersebut tidak banyak protes. Krisna adalah pria soleh terbaik dan amat langka. Daisy bakal sangat menyesal menolaknya. Kesetiaan suaminya patut diadu dan Kartika bahkan heran, Krisna mampu bertahan selama bertahun-tahun setelah tahu Kartika akan mengalami pendarahan setiap mereka berhubungan. 


 

Tapi, setiap Krisna mengajaknya berobat atau melakukan pemeriksaan, Kartika selalu mengelak dan mengatakan kalau dia akan melakukannya sendiri. Krisna seharusnya curiga tetapi dia terlalu cinta dan tidak menyadari bahwa setiap menit kebersamaan mereka akan berkurang. Kartika amat senang karena Krisna seperti itu.


 

"Sudah pesan? Kayaknya kamu belum makan." Krisna melirik cangkir berisi teh yang baru terminum seperempatnya di hadapan Kartika. Karena itu juga, dia melambai memanggil pelayan untuk minta diantarkan buku menu.


 

"Sengaja nunggu." 


 

Kartika tidak bicara lagi. Dia memilih memandangi suaminya yang kini mengucapkan terima kasih kepada pelayan pria yang menyerahkan buku menu kepadanya lalu pandangan Krisna terarah kepada beberapa gambar menggugah selera dan mulai bertanya kepada Kartika tentang menu yang akan dipilihnya. 


 

"Chicken cordon bleu enak, kok. Kamu mau?" Kartika menunjuk ke arah menu di hadapan mereka ketika Krisna tampak bingung. Pria itu selalu begitu. Tidak bisa memesan menu sendiri alasannya tidak mengerti. Padahal dia adalah seorang atasan di kantornya. Kartika bahkan harus mengirim bekal makan siang jika dia memasak atau memesan layanan makanan online jika dia harus pergi ke rumah sakit.


 

"Ada yang lain?" Krisna membolak-balik menu, " lokal aja, Yang."


 

"Ada ayam goreng lengkuas. Kamu mau? Ini pernah kita makan waktu ke Bandung." Kartika menunjuk lagi gambar menu berikutnya yang berada di lembar ketiga. Gambar ayam goreng dengan sambal menggoda membuat Krisna langsung mengangguk setuju. Dengan tangannya yang agak sedikit gemetar, Kartika lalu menulis angka satu di kertas pesanan dan dia juga menambahkan angka di sebelah menu nasi dan air minum untuk suaminya, si tampan manja yang tidak pernah bisa hidup tanpanya. 


 

"Selanjutnya, dessert. Kamu mau pesan apa?"


 

Krisna menunjukkan beberapa gambar makanan penutup. Tetapi dia lebih memilih meraih tangan kanan Kartika yang jauh menarik perhatiannya. Tangan selembut sutra itu tampak sangat ringkih dan amat kurus. Krisna mesti menahan ngilu di dalam hati melihat keadaan istrinya. Bahkan, untuk itu dia sengaja menggeser tempat duduknya menjadi lebih dekat dengan Kartika dan menggenggam tangan istrinya dengan amat erat.


 

"Tika. Jangan bohong lagi. Tolong." 


 

Krisna mencoba tersenyum. Dia tidak sanggup lagi bersikap pura-pura tidak tahu. Pria kuat itu mengerjap beberapa kali sebelum membawa genggaman tangan mereka ke dekat bibirnya lalu mengecup punggung tangan istrinya berkali-kali.


 

"Aku ditelepon Dokter Farhan."


 

Air mata Krisna jatuh sebelum dia bicara, "Aku cemas banget. Aku nggak mau kehilangan kamu, Sayang." 


 

Kartika berusaha tersenyum. Dia tidak ingin menangis. Dia sudah berjanji kepada dirinya untuk tetap kuat dan meneruskan perjuangannya hingga titik penghabisan meski tahu, istri lain di belahan dunia mana saja bakal menghujat. 


 

Mereka tidak tahu seperti apa suaminya sementara Kartika amat paham sekali dan dia ingin memberikan satu yang terbaik buat suaminya sebelum napasnya benar-benar berhenti. 


 

Sebuah pesan WA masuk dan notifikasinya membuat perhatian Kartika teralihkan.  Dia menoleh ke arah ponsel dan meminta waktu kepada suaminya untuk membaca pesan tersebut.


 

Dari Gendhis.


 

Berdebar, Kartika mengusap layar dan berusaha tidak terlihat antusias. Dia belum tahu berita yang bakal dia dapat tapi Kartika percaya, Daisy bakal menurut jika Gendhis yang turun tangan. Sejak dulu, mereka bertiga punya hubungan amat unik. Kartika dan Daisy amat dekat, begitu juga Kartika dan Gendhis. Tetapi, Daisy dan Gendhis adalah duo yang tidak terpisahkan bila mereka sedang bersama. Namun, lucunya, jika mereka berkumpul bertiga, suasana yang terjadi malah sebuah kecanggungan yang aneh seolah ketiganya baru saling mengenal. Dia sendiri tidak mengerti kenapa bisa seperti itu.


 

"Gendhis bilang apa?" Krisna yang penasaran, mengusap air mata dengan punggung tangan kiri sementara tangan kanannya tetap menggenggam tangan Kartika. Sementara buku menu tadi tergeletak, terlupakan.


 

Wajah Kartika tampak tegang selama beberapa detik ketika membaca tulisan yang tertera di layar. 


 

Ngamuk. Malah ngajak Dhis berantem. Khas dia banget, Nenek Serigala.


 

Kartika meneguk air ludah. Jika Gendhis saja bisa gagal, dia harus bagaimana? 


 

"Sayang? Kenapa jadi pucat? Ada masalah apa? Biar Mas bantu."


 

Usapan lembut Krisna di bahu Kartika membuatnya menoleh dan dia kembali meneguk air ludah. 


 

Kalau begitu, si kambing harus bisa menerima kenyataan itu, pikir Kartika. Dia harus bicara kepada Krisna dan membuat suaminya menerima permintaannya.


 

Ralat.


 

Permintaan terakhir Kartika di hari jadi pernikahan mereka yang kelima yaitu menjadikan Daisy Djenar Kinasih istri kedua Krisna. 


 

Misi yang tidak mungkin, tetapi dia harus melakukannya. Kambing malang itu harus tetap selamat, suka atau tidak suka sekalipun Kartika bakal menerima konsekuensi kemarahan dari suaminya sendiri.


 

***



 

Madu in training 5



 

Gila. 


 

Krisna mengatainya gila usai mendengar permintaan konyol yang beberapa saat lalu keluar dari bibirnya. 


 

Yah, bukan hanya Krisna. Tadi Gendhis juga mengatakan hal yang sama dan Kartika tidak merasa heran. Bahkan, Daisy juga mengatainya begitu. Terbukti dari pesan lain yang sempat dia intip, termasuk pesan suara yang direkam oleh iparnya kepada Kartika. 


 

Daisy tidak pernah marah dan mengamuk, tapi, hari ini dia melakukannya. Di depan Gendhis pula yang selama hidupnya amat dia sayang. 


 

"Kamu minta istana, minta isi seluruh dunia, akan aku kabulkan. Tapi, jangan minta aku nikahi dia. Tidak pernah ada wanita yang pantas menjadi istriku selain kamu, Tika." desis Krisna menahan marah sewaktu merek berdua sudah berada di rumah. Tidak ada lagi perayaan sejak Krisna ikut mengamuk. Setali tiga uang dengan Daisy Djenar Kinasih yang kini bahkan memblokir nomornya. Apakah karena itu juga Kartika merasa kalah? Tidak sama sekali.


 

"Aku tahu, Mas. Kamu bisa memberikan segalanya. Kecuali kesempatan hidup." Kartika menarik napas. Dia mencoba tersenyum walau saat ini dorongan untuk memeluk tubuh suaminya amat menggoda. Tapi, ada hal lebih penting yang perlu dilakukan.


 

"Allah yang menggenggam nyawaku," dia melanjutkan, "tiap detik amat berarti hingga aku takut, setelah pergi nanti, hidupmu akan hancur lebur." 


 

Wajah Krisna nampak tegang, tetapi, Kartika tidak berhenti sampai di situ saja, "Dia adalah kandidat terbaik untuk jadi penggantiku, jadi istrimu." 


 

Saat itu Kartika duduk di salah satu bangku di meja makan dekat dapur rumah mereka. Terlihat sekali dia agak kepayahan ketika duduk dan bicara sementara Krisna harus menahan gemeletuk di hati untuk tidak meledak. Jika saja dia tidak diberi tahu oleh dokter yang mengurusi istrinya, Krisna sudah pasti bakal marah besar. Tapi, sekarang, setelah dia melihat kondisi istrinya yang semakin buruk, bagaimana dia bisa meluapkan semua kemarahan itu?


 

Ke mana dirinya selama bertahun-tahun ini sehingga bisa mengabaikan Kartika, wanita yang amat dia cintai melebihi nyawanya sendiri?


 

Lo nggak pernah ada buat dia. Lo terlalu sibuk ngurus showroom, roadshow sini sana, melobi perusahaan, melobi pengusaha, promosi ke luar kota, memajukan bisnis lo, tapi bini sendiri sekarat.


 

Lo bahkan nggak tahu, kalau dia sudah nggak sanggup duduk dengan benar.


 

Krisna mendekat ke arah Kartika yang masih diam. Dia lantas duduk bersimpuh di dekat lutut istrinya dan mulai menangis. 


 

"Maafin, Mas, Tika. Mas nggak sanggup. Nggak sanggup hidup tanpa kamu. Nggak sanggup hidup dengan wanita selain kamu."


 

Kartika tersenyum. Dia berusaha mengangkat lengan suaminya supaya bangkit. Dikuatkannya diri agar tidak menangis. Sebenarnya dia tidak kuat. Krisna yang menangis adalah kelemahannya. Tapi, dia tidak boleh cengeng. Penyakit telah menggerogoti dirinya hingga hancur-hancuran. Jangan sampai air mata membuatnya jadi lemah. Ini adalah usahanya yang paling dia upayakan. Tangis Krisna hari ini adalah tangisan terakhir yang bakal pria itu lakukan. Setelahnya, duka dan kesedihan yang dia alami bakal dihapus oleh senyum dan cinta adik angkatnya, Daisy Djenar Kinasih.


 

"Justru aku yang nggak bisa pergi dengan tenang kalau aku belum yakin, hidupmu bakal aman." 


 

Krisna mendongak, merasa amat terluka dengan kata-kata Kartika barusan.


 

"Aku seorang laki-laki, Tika. Selama ini pikirmu bagaimana aku hidup? Sebelum ketemu kamu? Bagaimana bisa kamu memastikan aku bakal bahagia dengan wanita yang tidak aku cintai sama sekali? Kamu tahu, wanita liar itu… " 


 

Krisna berhenti bicara dan mengucap istighfar. Bila sudah membahas tentang Daisy, dia tidak pernah bisa mengendalikan diri, seolah kelelakiannya diuji dan Krisna amat tidak suka.


 

"Mas Krisna? Nggak salah mau dipanggil Mas? Bukannya, lebih cocok dipanggil Mbak? Kemaren aku nemu kamu nge-love foto cowok pake sempak doang di IG?"


 

"Yakin Mbak milih dia jadi suami? Memangnya punyanya bisa bangun? Jangan karena umurmu sudah dewasa, kamu sembarang memilih suami, Mbak. Kamu masih muda. Taaruf, sih, taaruf. Tapi, aku nggak ridho kamu sama dia. Aku tahu belangnya."


 

"Desi nggak begitu, Mas. Dia benar-benar anak baik."


 

Krisna menggeleng. Matanya basah dan pikirannya mendadak kosong. Tidak ada hal lain yang paling dia inginkan selain memeluk Kartika dan meyakinkan istrinya kalau mereka masih akan bersama hingga puluhan tahun lagi.


 

***



 

Daisy terbangun tepat saat azan Subuh berbunyi. Suara merdu yang dia tahu milik Syauqi membuat kedua kelopak mata yang tadinya lengket bagai lem sekarang mendadak terang benderang. Sayangnya, suasana kamar yang dia tiduri saat ini gelap gulita. Hanya ada laptop lemot yang menurutnya berasal dari zaman majapahit yang lampu tanda diisi baterainya menyala dengan warna orange. 


 

Padahal laptop kuno itu adalah milik Syauqi yang tidak lagi digunakan. Yayasan mendapat bantuan beberapa laptop baru dan Daisy merasa sayang bila laptop yang lama tidak dipakai sementara keadannya masih cukup bagus, walau sebenarnya cuma untuk dipakai mengetik di aplikasi Microsoft Word. 


 

Daisy bangkit dari tempat tidur dan menggelung rambutnya yang mencapai punggung. Daster gamis yang dia pakai nampak lusuh akibat terlalu lama dipakai, hadiah dari Kartika entah beberapa tahun lalu. Daisy tidak punya banyak pakaian, hanya beberapa stel gamis berwarna gelap, tiga stel daster yang dipakai bergantian serta lima buah jilbab dasar berbahan tebal yang tidak tembus pandang. Kartika sering menawarinya untuk membeli beberapa stel gamis baru agar dia merasa pantas ketika berdiri menyambut tamu yang datang ke yayasan. Tetapi, Daisy tidak berminat. Lagipula, dia cuma pengurus bukan baris depan yayasan yang biasa menerima tamu. Pekerjaan Daisy adalah memasak, mengasuh, membantu para santri membersihkan asrama serta membantu mengawasi santri remaja melakukan pekerjaannya sebelum nanti mereka akan mencari pekerjaan untuk hidup mereka sendiri, dengan nama lain, mengajari mereka berwiraswasta jika tidak ada orang yang menampung mereka, terutama santri perempuan. 


 

Daisy mengajari mereka memasak segala macam yang dia pikir bakal laku bila dijual mulai dari gorengan, sayur, lauk pauk, roti dan donat, bahkan kue. Sejak kecil, dia juga melakukan hal yang sama. Tidak jarang, Daisy keluar masuk kantin dan koperasi sekolah, atau kantin perusahaan demi menjajakan dagangannya. Selama bertahun-tahun dia melakukannya, termasuk menerima pesanan katering dan semacamnya agar bisa terus bertahan hidup. 


 

Tidak ada ibu dan bapak yang memberinya uang saku dan dia mesti berpuas hati melakukan semuanya sendiri. Bahkan, saat beberapa teman pantinya pulang menjelang hari raya Idul Fitri atau liburan panjang untuk menemui anggota keluarga mereka yang lain, dia tetap sendiri dan membantu Bu Yuyun atau Umi Yuyun, pengasuh senior yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Syauqi. 


 

Seperti apa rasanya berlebaran di tengah keluarga? Dia tidak pernah tahu. Kegembiraan yang paling dia ingat hanyalah kunjungan dari Kartika setiap tahun khusus untuk dirinya sendiri sepulang dari salat Ied. Walau tidak lama, Kartika dan keluarganya akan menyerahkan sebuah bingkisan untuk Daisy dan hal itulah yang membuatnya bertekad untuk melakukan apa saja yang kakak angkatnya pinta sebagai ganti keluarga yang dia punya. 


 

Tapi, permintaan tersebut tidak termasuk menjadi madu Kartika maupun menikahi suami gilanya yang amat pandai menutupi topengnya di depan sang istri.


 

Pemenang kontes kegantengan? Huh, apalah itu namanya. Jika Daisy tidak tersasar mampir ke akun pageant yang membuatnya akrab dengan dunia mahkluk lembut itu, dia tidak bakal menemukan belangnya seorang Krisna Jati Janardana itu. 


 

Azan Subuh belum berakhir. Daisy menikmati alunan panggilan merdu yang Syauqi lantunkan setiap pagi dan dia bergegas menyalakan lampu kamar. Sebentar lagi suasana bakal ramai. Anak-anak akan berjalan ke musala dan melaksanakan salat Subuh bersama. 


 

Daisy? Tentu dia juga tidak akan ketinggalan. Calon imamnya telah memanggil dan tidak ada hal yang lebih indah dari pada duduk bersimpuh bersama memuja yang Maha Kuasa, sang pemilik alam raya ini.


 

Begitu Daisy membuka pintu kamar, layar ponselnya menyala dan sebuah pesan masuk, dari Kartika Hapsari, sebuah permohonan yang entah ke berapa kali, yang tidak pernah bakal dia hiraukan. 


 

Kartika pasti sudah gila, menyerahkan suaminya sendiri untuk Daisy.


 

Benar-benar gila, karena saat ini, di hati Daisy hanya ada seorang Syauqi Hadad.


 

***


 

Temans, cerita ini blurbnya dibuat tahun 2018. Terus bab awal dibuat antara 2019 sampai 2021. Maaf kalau banyak ngawur apalagi kalau nama desi berubah jadi Deasy, wkwkw. Eke keingetan Deasy Ratnasari soalnya. Mo revisi ntar kacau semua. Jadi harap maklum yes.


 

Umur Daisy 22

Kartika 30

Krisna 31 (kalo nemu 32 maklumin aja..wkwk) 

Gendis 21 


 

Banyakin komen ama love ya. Kalian setuju ga Krisna ama Daisy? 






 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Madu In Training
Selanjutnya 6-8 Madu In Training
161
7
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan