
"Jodoh tidak akan kemana". Pepatah itulah yang Julia pegang begitu erat. Dia tidak pusing memikirkan pernikahan di usianya yang sudah menginjak dua puluh tujuh tahun. Dia percaya Tuhan akan memberikannya pasangan di waktu yang tepat. Julia menikmati kesendiriannya, mengambil waktu sebanyaknya untuk diri sendiri agar kelak setelah menikah tidak ada penyesalan.
"Kapan menikah?" Ini adalah pertanyaan yang jumlahnya tidak terhitung lagi. Julia sudah kebal mendengarnya bahkann sudah bisa dia jadikan candaan....
Julia tidak pernah merasa takut tidak memiliki pasangan meski usianya kini sudah menginjak dua puluh delapan tahun. Julia tipe orang yang santai, dia tidak akan menikah karena di buru usia. Buru-buru itu tidak baik, akan ada sesuatu yang selalu tertinggal, terlewatkan atau terlupakan. Maka dari itu Julia ingin pasangannya yang benar-benar sudah dia kenal luar dan dalamnya. Julia tidak mau menelan kekecewaan setelah menikah karena sifat atau kelakuan pasangannya di luar ekspestasinya. Lagi pula kedua orang tuanya juga tidak memintanya untuk menikah dengan cepat. Mereka sependapat dengan Julia. Tipe orang tua idaman yang mendukung penuh pilihan anak-anaknya. Iya, selama pilihan itu baik.
Berbeda dengan Romeo yang setiap hari harus mendengarkan pertanyaan, kapan bawa pasangan? Kapan nikah? Mana nih calonnya? Dan yang paling membuat Romeo kesal adalah ungkapana " Memangnya barangnya nggak karatan iya, nggak pernah di servis pun?" Romoe hanya bisa menutup telinganya dari berbagai macam pertanyaan itu. Dia bahkan sampai muak mendengarnya. Hanya satu orang yang pengertian di dalam rumahnya yaitu, sang Mama. Wanita yang selalu mengerti dirinya. Namun, hari itu semua berbeda.
"Rome, Mama sebenarnya sudah sangat lama ingin menanyakan satu hal sama kamu. Boleh tidak, Mama bertanya sekarang?" Wanita paruh baya itu bertanya dengan pelan.
"Sejak kapan Mama butuh persetujuan aku kalau bertanya satuh hal. Langsung aja, Mam. Kalau bisa aku jawab pasti aku jawab, kok." Romeo menyendok lauk ke dalam piringnya. Saat ini dia dan kedua orang tuanya sedang makan malam.
"Umur kamu sudah tiga puluh dua, kan, Rome?" Mendengar pertanyaan itu, mendadak perasaan Rome tidak enak. Namun tak urung dia mengangguk menanggapi pertanyaan ibunya.
"Kapan kamu membawa calon menantu untuk Mama dan Papa?" tanya Sinta wanita cantik yang telah melahirkannya tiga puluh dua tahun yang lalu itu.
"Ma, kita sepertinya sudah pernah membahas hal ini, kan?" Romeo meletakkan sendoknya. Selera makannya hilang dalam sekejap.
"Kapan? Mama nggak pernah ingat." Sinta melirk suaminya yang sedang makan tanpa mau melibatkan diri dengan pembicaraan keduanya.
"Atau jangan-jangan kamu tidak tertarik sama perempuan? Kamu ..."
"Mam, please. Aku normal." Romeo menghentikan ucapan ibunya.
"Kalau begitu buktikan dong, Rome. Mama malu, Rome kalau ketemu sama teman-teman Mama. Mereka ceritanya tentang cucu, jadi Mama selalu tidak bisa ikut dalam percakapan mereka. Mama hanya jadi patung yang mendengar keseruan mereka bermain sama cucu. Mama hanya kepikiran satu hal, mungkin sampai Mama mati, Mama tidak akan pernah menggendong anak kamu."
"Mama jangan ngomong gitu."
"Umur tidak ada yang tahu, Rome. Kita tidak bisa menebak rahasia Tuhan."
Perkataan ibunya membuat Romeo bertekad untuk segera mendapatkan pendamping. Dia meminta asisten pribadinya mencari wanita potensial yang mau dia bayar untuk dia jadikan istri.
"Bapak belum mencantumkan kriterianya di sini." Bimo menunjukk bagian kosong pada kertas itu.
"Tingginya sekitar 150 sampai 165 cm. Pintar, cantik cenderung manis, rambutnya hitam panjang, kukunya harus bersih tanpa polesan nail art. Satu lagi, pastikan dia memiliki pendidikan yang tinggi, minimal S1 semua jurusan." Bimo mengerutkan keningnya.
"Bapak cari istri atau karyawan?" tanya Bimo pelan. Bimo langsung menutup mulutnya saat tatapan tajam di layangkan Romeo.
"Apa dia harus wanita pekerja atau tidak masalah meskipun dia pengangguran?"
"Tidak masalah bekerja atau tidak bekerja," jawab Romeo.
"Apa harus dari keluarga kaya atau tidak masalah meskipun dia dari keluarga kurang mampu?" Romeo berpikir sejenak, lalu dia mengangguk pelan.
"Tidak masalah," jawabnya kemudian.
"Satu lagi, pastikan dia bukan dari kalangan artis. Saya tidak suka kehidupan saya jadi konsumsi publik."
...........
Bagian Satu
Romeo sedang mengecek satu per satu berkas yang di berikan Bimo padanya. Ada sekitar dua puluh daftar wanita yang akan dia pilih sebagai calon istrinya. Dari dua puluh daftar tersebut delapan belas diantaranya sudah dia eleminasi. Sekarang hanya tersisa dua daftar. Romeo membaca data diri mereka dengan teliti tidak satu kata pun yang tertulis di sana dia lewatkan.
Setelahnya Romeo membuang dia berkas yang tersisa. Bimo menghela napasnya. Kerja kerasnya selama satu bulan ini berakhir di tempat sampah.
"Tidak satu pun yang Anda suka, Pak?" tanya Bimo. Sebenarnya pertanyaan itu sudah mendapatkan jawaban, Bimo hanya penasaran apa alasan atasannya menolak semua wanita itu.
Romeo menggeleng. "Tadinya saya tertarik dengan wanita yang bernama Celine. Selain wajahnya yang cukup menarik dia merupakan lulusan S2 dari Australia."
"Lalu apa yang membuat Anda tidak memilihnya, Pak?" Bimo bertanya dengan kening berkerut.
"Dia menuliskan cita-citanya sebagai model," jawab Romeo santai.
"Tapi, kan dia bekerja sebagai konsultan keuangan, Pak." Bimo mengambil data-data wanita itu dari alumni sekolahnya dulu. Semua yang dia pilih itu merupakan yang terbaik. Rata-rata mereka lulusan dari luar negeri kecuali dua orang namun, meskipun lulusan dalam negeri. Universitas tenpat mereka menempuh pendidikan merupakan universitas terbaik.
"Bukan tidak mungkin dalam satu tahun ke depan dia beralih profesi." Bimo diam, dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Lagi pula kalau dia berbicara bosnya itu akan terus mematahkan pendapatnya.
"Carikan daftar yang lain!" perintah Romeo angkuh.
"Baik, Pak." Bimo kemudian pamit keluar dari ruang kerja Romeo.
"Ada yang Pak Romeo pilih?" tanya Dina, wanita itu merupakan sekretaris utama Romeo. Dia sudah melihat dua puluh daftar wanita yang di berikan Bimo pada Romeo dan harus Dina akui kalau dia cukup insecure melihat data-data pribadi beserta prestasi mereka masing-masing. Tidak munafik, Dina juga menaruh hati pada atasannya itu namun, melihat mereka ditolak Dina langsung sadar diri.
"Jadi tidak satu pun dari mereka yang dipilih, Pak Romeo?" Dina bertanya lagi untuk memastikan.
"Tidak ada, Din. Pak Romeo minta di carikan daftar yang baru." Dina menganga, jika mereka saja di tolak apalagi dirinya yang hanya remahan rengginang.
"Makanya, Din. sadar diri! Yang spek bidadari aja di tolak apalagi kamu yang spek pembantu?" Dina menendang kaki Bimo kesal.
"Sialan! kenapa harus kamu perjelas sih?!" Bimo tertawa keras meledek Dina sembari berjalan menuju mejanya yang berada di sebelah meja Dina.
"Tapi, aku penasaran, Bim. Memangnya kriteria Pak Romeo itu seperti apa?" Dina sepertinya belum menyerah, mungkin dia masih bisa meningkatkan kualiatas diri.
"Kerja, Dina. Nggak usah cari penyakit." Bukan menjawab pertanyaan Dina, Bimo malah memberikan ceramah singkatnya.
***
Dengan wajah datarnya, Romeo berjalan keluar dari lift khusus diikuti oleh Bimo dan juga Dina. Jam kerja telah habis sejak lime belas menit yang lalu dan waktunya pulang. Para karyawan yang juga ingin pulang di berikan kesempatan mengagumi pahat sempurna wajah bos mereka.
"Andai Pak Romeo bisa aku gapai. Mungkin dunia akan berputar di bawah kakiku," begitulah isi hati kebanyakan pekerja wanita yang terpaku memandangi Romeo.
Mobil Romeo sudah berada di depan pintu lobby. Bimo langsung membukkan pintu belakang untuk Romeo sementara Dina memasukkan tas kerja pria itu ke dalam mobil. Dia tidak ikut naik mobil bersama Romeo dan Bimo. Dia membawa mobilnya sendiri. Sejak awal bekerja dengan Romeo, Dina memang tidak pernah satu mobil dengan pria itu saat pulang kantor seperti ini. Kecuali kalau mereka sedang rapat di luar kantor.
"Selamat sore, Pak." Dina memberikan salam terakhirnya untuk hari ini. Besok mereka akan kembali bertemu lagi. Romeo hanya mengangguk membalas ucapan Dina.
Bimo kemudian melajukan mobil keluar dari area perkantoran.
"Kamu bisa nyetir lebih cepat, Bim? Saya ada janji makam malam dengan Mama malam ini," kata Romeo sembari memandang keluar. Bimo ingin mengumpat pada bosnya itu. Saat ini adalah jam pulang kerja, jalanan Ibu Kota sedang padat-padatnya. Bagaimana bisa dia mempercepat laju kendaraan.
"Macet, Pak," jawab Bimo seadanya.
"Kamu nggak bisa cari jalan tikus atau lainnya?" Rome adalah tipe bos yang tidak ingin tahu kesusahan pekerjanya. Yang penting dia terima pekerjaan mereka beres tanpa ada masalah sedikit pun.
"Akan saya coba, Pak." Bimo menyalakan aplikasi maps pada ponsel pintarnya. Dia kemudian menempelkan ponsel tersebut di dashboard. Bimo lalu diarahkan untuk masuk melalui gang kecil. Karena jalan yang mereka ambil adalah jalan kecil makan laju kendaraannya juga tidak bisa melebihi batas. Terlalu banyak belokan yang membuat Romeo mengurut keningnya.
"Maaf, Pak. Aplikasinya mengarahkan jalanan ini." Buru-buru Bimo minta maaf sebelum bosnya marah. Romeo hanya menggerakkan tangannya meminta Bimo melanjutkan perjalanan.
Saat tikungan yang kesekian kalinya, Bimo kurang berhati-hati sehingga dia menyerempet seorang wanita yang sedang mengendarai motor. Bimo buru-buru keluar dari mobil setelah dia berhenti.
"Kamu tidak punya mata, iya?!" teriak wanita itu kesal. Dia menepis debu yang ada pada rok kerjanya.
"Maaf, Mbak," ucap Bimo sembari membantu wanita itu membenarkan posisi motornya.
"Bimo saya buru-buru." Romeo hanya membuka menurunkan kaca mobil sembari menatap keduanya dengan datar.
"Maaf, Pak. Saya harus memastikan kalau Mbak ini tidak kenapa-napa," kata Bimo. Kalau tidak ingat kalau dia masih memiliki cicilan rumah, Bimo akan segera mengirimkan surat mengunduran dirinya.
"Dia terlihat baik-baik saja. Berikan dia uang sebagai kompensasi lalu permasalahan selesai," ucap Romeo enteng.
"Tidak semua hal harus diselesaikan dengan uang, Tuan." Wanita itu menatap Romeo sinis.
"Oh, iya saya lupa. Orang-orang seperti Anda, kan hobbinya membuat masalah lalu menyelesaikannya dengan uang. Tidak peduli kalau pun sebenarnya masalah itu selesai dengan sebuah kata 'maaf'," kata wanita itu lagi menyindir Romeo.
"Saya bukan tipe orang yang kamu sebutkan itu, Nona." Romeo keluar dari mobilnya.
"Saya menyarankan hal tersebut karena memang permasalahan ini membutuhkan uang untuk biaya perbaikan motor itu." Romeo segera membuka dompetnya. Dia yakin kalau wanita di depannya ini hanya malu menyebutkan berapa uang yang dia inginkan. Kalau di berikan uang dia pasti akan segera diam.
Setelah menaruh uang di tangan wanita itu Romeo segera berbalik. Ada senyum sinis di wajahnya saat tebakkannya tadi benar.
"Tunggu!" wanita itu menghentikan langkah Romeo.
"Apa itu kurang?" wanita itu menggeleng, dia terlihat mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Romeo mendengus, dia menebak satu hal. Wanita itu sedang mengetikkan nomor ponselnya. Sayangnya Romeo tidak akan menerimanya.
"Saya—"
"Seperti yang kamu katakan." Wanita itu mengikuti cara bicara Romeo.
"Kalau saya pasti butuh uang untuk biaya perbaikan motor. Karena kamu berniat baik makan saya ini saya rincikan total kerugian saya akibat insiden kecil ini." Wanita itu memperlihatkan rincian yang dia tulis di ponselnya. Semua lengkap dengan biaya perawatan motor, kerugian pakaian. Ujung rok wanita sedikit robek, sepatu yang dia kenakan terlihat menghitam karena dia menginjak selokan yang dalamnya hampir mencapai betis.
"Estimasi biaya perbaikan motor mungkin sekitar tiga ratus ribu. Bengkelnya milik saudara saya, jadi kalau lebih dari itu, saya bisa nego harga. Sepatu saya harganya delapan puluh ribu, belinya di pasar malam. Kemudian rok saya harganya seratus ribu, jadi totalnya empat ratus delapan puluh ribu. Dan ini saya kembali sisanya, lima ratus dua puluh ribu." Romeo teridam sejenak.
"Saya berbaik hati memberikan kamu lebih," kata Romeo. Dia sedikit takjub dengan pemikiran wanita itu yang menurutnya cukup bijak.
"Saya tidak mengambil keuntungan dari kelalaian orang lain." Wanita itu kemudian berbalik lalu mendorong motornya meninggalkan tempat itu. Beruntung rumahnya sudah tidak jauh lagi dari sana. Jadi dia tidak perlu mendorong lebih jauh.
"Kamu lihat itu, Bimo. Dia menolak uang saya." Romeo sejujurnya kesal namun, juga kagum pada perhitungan yang wanita itu rincikan tadi. Bimo mengangguk, baru kali ini dia melihat ada orang seperti itu di kota besar seperti ini.
"Bimo, saya ingin kamu mencari tahu semua hal tentang dia."
Bersambung....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
