Resign #CeritadanRasaIndomie

4
1
Deskripsi

Bekerja pada perusahaan yang nggak bisa menghargainya membuat Rosa muak. Sayangnya, ia selalu berusaha bertahan setiap harnya karena ia tak memiliki keberanian untuk melepas status sebagai ‘pekerja kantoran’. Bayang-bayang kebebasan selalu menghantuinya setiap malam. Kapan ia bisa memiliki kebebasan dalam hal waktu, uang, dan tenaga? Meski begitu tersiksa dan ingin bebas, tapi apakah ia memiliki keberanian untuk memutuskan?

Perasaan acak-acakan dan hari yang berjalan muram adalah hal yang biasa dirasakan Rosa selama ini. Terutama sejak ia bekerja di kantor megah itu. Setiap pagi ia terbangun tanpa gairah. Dengan malas ia menyeret kaki menuju jendela dan membukanya lebar. Berharap udara pagi menyegarkan segala pikiran kalutnya semalam. Pikiran negatif dengan segala protes mengenai hidupnya yang sungguh menyebalkan. Namun, ternyata semua pikiran itu justru mengendap hingga pagi datang. Membuat ia terperangkap dengan perasaan menyebalkan yang berulang. 

Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi, tapi rasa-rasanya ia ingin kembali merebahkan diri. Seandainya saja ia memiliki semua kebebasan. Waktu, uang, dan tenaga. Ah, mana bisa dunia memberikan semua itu padanya. Ia bahkan nggak memiliki salah satu di antaranya. 

Waktunya habis untuk bekerja di kantor bahkan terkadang akhir pekannya pun tersita. Kalau tidak, akhir pekannya hanya ia habiskan untuk rebahan karena merasa lelah bekerja. Sedangkan uang, ah gajinya tak seberapa di perusahaan itu. Tenaga juga tak ia miliki karena sepertinya ia mudah lelah belakangan. Jompo, kalau kata generasi sekarang.

Ia tak pernah percaya dengan kata-kata work life balance. Omong kosong. Baginya, selalu ada hal yang harus dikorbankan. Prinsip hidup work life balance hanya mampu dijalankan mereka yang sudah sukses. Mereka yang merasa tenang tanpa perlu khawatir hari esok, tentu saja bisa memilih hidup seimbang karena dunia dalam genggaman.

Berbeda dengan kaum lainnya yang harus banting tulang untuk sakadar tidak mengkhawatirkan kebutuhan satu bulan. Bisa tidur nyenyak tanpa berpikir bagaiman membayar tagihan saja rasanya sudah bagus.

Rosa melangkahkan kaki dengan malas menuju kamar mandi. Ia harus bergegas kalau tidak mau jam kedatangannya berwarna merah lagi. Masih tanggal 15, tetapi ia sudah 5 kali datang terlambat. Cukup berat baginya bersemangat menjalani hari setiap paginya. Menyemangati diri dan mendedikasikan waktu sepenuhnya seharian pada perusahaan yang bahkan nggak bisa menghargainya. 

Sial. Kenapa juga aku mau bekerja di sana? Batinnya hampir setiap hari. 

Aneh, ia memang seharusnya tak menerima pekerjaan ini. Tapi, apa daya. Ia sudah dewasa dan harus bekerja seperti banyak orang liannya. Jadi, berapapun yang ditawarkan akan diterimanya. Supaya ia memiliki status agar saat ditanya seseorang ia bisa menjawab dengan tenang tanpa rasa rendah diri. Ia merutuki kebodohan yang membuatnya terperangkap dalam gedung megah namun menyiksa ini. 

Kali ini Rosa tiba di kantor tepat waktu. Hari ini ia memutuskan untuk menjadi pegawai yang rajin. Ia menyiapkan berkas yang akan diserahkan pada Bu Sasa, kepala bagian yang sangat cerewet. Rosa mengeluarkan pena kesayangannya dari dalam tas. Saat itu ia melihat amplop putih terselip.

Pandangannya menatap ruangan di seberang. Tampak wanita berusia 40-an sedang berkutat dengan layar di hadapannya. Setelah mengecek berkas, Rosa beranjak menuju ruangan Bu Sasa.

“Bu, ini surat resign saya,” kata Rosa menyerahkan amplop putih di meja Bu Sasa. Dengan ekspresi datar Bu Sasa membuka amplop itu. 

“Mau resign mulai kapan?” Tanya Bu Sasa dengan malas tanpa menoleh. 

“Hari ini, Bu,” Jawab Rosa tanpa ragu. Bu Sasa mengijinkan tanpa banyak bertanya. 

Bodoh, kenapa diserahkan sekarang? Bagaimana kamu akan membayar tagihanmu bulan depan? Sedikit rasa khawatir menyelimuti hatinya akibat tindakannya yang tiba-tiba barusan. Seolah menyesali betapa cepat lidah berucap menjawab pertanyaan Bu Sasa. Sayangnya, apa yang sudah terucap tidak bisa ditarik kembali. 

Rosa pun segera kembali ke mejanya dan merapikan semua barangnya. Belum  banyak orang yang datang pagi itu. Bagus. Karena ia malas harus berpamitan pada orang-orang yang bahkan nggak ia kenal. Rosa tak memiliki rekan kerja yang menyenangkan di sini. Justru kebanyakan dari mereka berusaha saling menjatuhkan. 

Kakinya melangkah ringan keluar gedung megah itu. Hatinya kini merasa tenang. Cemas yang tadi menghampiri tak lagi ia rasakan. Ia tersenyum memandang langit yang begitu cerah hari ini. Tiba-tiba perutnya berbunyi. Protes tak diberikan haknya tadi pagi. Ia selalu melewatkan sarapan karena bangun siang dan berangkat dengan tergesa. 

Ia berjalan melewati rumah makan padang langganannya selama bekerja di gedung megah itu. Kakinya terhenti teringat sesuatu saat akan melangkah masuk ke dalam. Diurungkannya niat untuk masuk dan bergerak cepat menuju kosan. Mendekati kosan, ia mampir memasuki  minimarket dan membeli mi instan favoritnya, Indomie

Sesampainya di kosan ia segera meletakkan barangnya di dalam kamar dan bergegas menuju dapur. Ia sudah membayangkan menyantap mi kesukaannya. Saat akan memasuki dapur, di sana Rosa melihat Mbak Nana sedang asyik sarapan nasi goreng, makanan satu-satunya yang bisa dimasak olehnya.

Mbak Nana adalah sosok yang penting baginya di kota ini. Bekerja sebagai pekerja lepas membuat Mbak Nana bebas memilih waktu bekerja dan memiliki klien. Dari Mbak Nana lah Rosa mendapatan inspirasi dan keberanian untuk berani mengejar apa yang diimpikannya selama ini.

“Lho, kok udah balik, Sa? Sakit?” tanya Mbak Nana melihat Rosa mendekati meja makan dengan wajah heran.  

“Hehe. Nggak, Mbak. Gue….resign.” Kata Rosa pelan. Ada nada bahagia dalam kata-katanya yang tak sanggup ia sembunyikan. Rosa tahu, seharunya ia justru sedih karena sekarang ia tak lagi memiliki pekerjaan tetap dan gaji bulanan. Tetapi, tak bisa dipungkiri kalau ia justru lebih mendambakan kebebasan dengan melakukan hal yang selama ini ingin dilakukannya.  Mumpung masih muda. Nggak apa-apa gagal yang penting sudah mencoba.

“Ya ampun, Sa! Akhirnya! Selamat!” Mbak Nana bangkit dan memeluk Rosa erat. Mbak Nana adalah satu-satunya orang yang selalu mendukungnya untuk resign. Rosa menceritakan semuanya pada Mbak Nana. 

“Thanks, Mbak. Ini juga berkat lo yang selalu menginspirasi dan memberikan gue keberanian.” Rosa pun bercerita banyak hal pada Mbak Nana sambil memasak mi goreng yang sudah dibayangkannya. 

“Eh, orang-orang tuh ya biasanya ngerayain sesuatu yang penting dengan makan makanan enak. Kok lo malah makan mi instan sih? Haha. Apa lo udah persiapan ngirit duluan?” Mbak Nana tertawa melihat tingkahku yang begitu bersemangat untuk makan. 

“Haha bukannya gitu, Mbak. Indomie ini punya cerita sendiri buat gue. Dari dulu nyokap selalu ngelarang gue makan mi sering-sering. Setiap kali kelar ujian, nyokap pasti nanyain pengen dimasakin apa. Nah, saking sukanya gue sama mi instan ini, gue minta dibikinin mi goreng yang super lengkap kayak yang dibungkusnya haha. Meski nyokap nggak bisa menata sama persis kayak yang digambarnya, nyokap selalu berusaha bikin Indomie goreng yang sama persis kayak digambarnya. Ah, gue jadi kangen nyokap.” Nggak terasa air mata Rosa meleleh. Ia memutuskan untuk menelepon ibunya setelah selesai makan. 

Meski sedikit ragu, tapi Rosa tetap mengatakan yang sebenarnya perihal ia keluar dari perusahaan dan rencananya setelah ini. Rosa lega karena ibu nggak marah padanya. Justru ibu mendukung keputusan Rosa untuk resign. Bagi ibu, yang penting Rosa selalu bertanggung jawab dengan semua keputusan yang diambilnya. 

“Nggak masalah kamu resign. Justru ibu bersyukur kamu tahu apa yang ingin kamu lakukan dengan hidupmu. Karena banyak orang dewasa di luar sana yang nggak tahu apa yang ingin mereka lakukan. Ujung-ujungnya, mereka hanya melakukan rutinitas seperti robot. Seakan nggak punya gairah untuk hidup,” kata ibu disela-sela Rosa bercerita. Rosa seolah merasa tersindir dengan kata-kata ibu. Namun, hatinya hangat dan ia justru semakin bersemangat. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Cerpen
Selanjutnya Black Box #CeritadanRasaIndomie
4
3
Bella, sosok istri setia yang rela melakukan apa saja demi suaminya. Bahkan, ia rela keluar dari pekerjaan impiannya yang mampu memberikan gaji jauh lebih besar dari suaminya. Apartemen tempat mereka tinggal adalah hasil kerja keras Bella saat belum menikah. Katanya, hidup selalu memberikan pilihan. Lalu, pilihan mana yang akan dipilih oleh Bella saat ia tahu suaminya selingkuh?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan