1 | Who are you?

°Queen Anne's Lace

Melihat keluar jendela, langit malam yang masih saja terlihat sama membuat wanita itu menghela napasnya panjang. Hari-harinya sudah sangat membosankan, ia kira dengan sedikit menengok ke arah luar akan sedikit menghiburnya tapi ternyata tidak.

Angin dingin menerpa surai hitamnya yang bergelombang, namun wanita itu tidak menyukainya. Ia tidak suka kedinginan. Netranya yang berwarna coklat terang menangkap sosok diri di hadapan cermin saat ia memalingkan wajah. Begitu naas, sering kali ia berharap apa yang ia lihat pada pantulan cermin tersebut adalah bukan dirinya.

Sudah terhitung satu tahun lamanya namun kedua tangannya masih belum terbiasa menggerakan roda dan berpindah tempat menggunakan alat bantu tersebut. Ia tidak mau berlama-lama menatap gambaran dirinya yang terlihat begitu menyedihkan, atau ia akan terlarut kembali ke dalamnya.

Minatozaki Sana, seorang perwira di kantor polisi metropolitan Seoul yang terbilang masih sangat muda ini harus kehilangan kedua fungsi kakinya. Menjadi salah satu anggota tim divisi reserse kriminal, Sana tahu kemungkinan terburuk apa saja yang mungkin akan menimpanya. Hanya saja ia tidak tahu akan mengalami hal tersebut begitu cepat di tahun kedua masa jabatannya sebagai detektif.

Sejak itu, Sana berubah seperti pribadi yang berbeda. Ia lebih suka menyendiri, bermasam muka, menjauhi semua orang dan mulai menyalahkan keadaan. Hidup Sana selama ini hanya di isi dengan semua usahanya. Ia mengerti bahwa kehidupan ini sebenarnya adalah rangkaian hasil dari usaha yang dilakukan.

Begitulah Sana berpikir mengenai hidup, saat kau berusaha maka kau akan menjadi seseorang yang sukses. Mudah di tebak dan membosankan. Namun setelah apa yang terjadi kepadanya, kini Sana sudah tidak peduli lagi dengan hidup. Buktinya semua usaha itu berbalik mengkhianati Sana.

Tepat pada musim dingin tahun lalu, sinar bulan yang menyelinap masuk melewati bangunan-bangunan tua dengan sedikit pencahayaan membuat Sana berlari kebingungan untuk mencari jalan keluar. Setiap hembusan napas yang keluar dari mulut Sana menghasilkan uap saat ia mulai terengah-engah, bagaimanapun caranya ia harus menangkapnya hari itu juga.

Sudut bibir Sana melebar saat ia bisa melihat sinar di ujung jalan berharap itu adalah jalan keluar yang sedang ia cari. Sana sampai di sebuah jalan besar, jalanan besar yang tidak pernah ia lewati sebelumnya. Nampaknya sinar yang dilihatnya tadi dihasilkan oleh salah satu lampu pinggir jalan yang sudah mulai meredup namun berusaha tetap bertahan.

Kemanapun ia mengedarkan pandangannya, Sana tidak menemukan yang sedang ia cari sebelum matanya kembali memicing menahan cahaya yang menyilaukan datang mendekatinya dengan kecepatan tinggi dari sudut jalan.

Braakk!!

Sebuah mobil sedan tahun 1996 tanpa pengemudi ditemukan bersamaan dengan Sana yang terbaring lemah di tengah jalan dengan darah segar mengalir dari kepalanya. Saat itu Sana mengira hidupnya akan berakhir seperti bab terakhir dari sebuah cerita, tapi nampaknya ia salah. Nyatanya itu lebih seperti bagian tengah cerita yang sengaja di robek keluar dari buku karena Sana tidak tahu siapa dia dan dimana keberadaannya.

Matanya terbuka lebar, suara napasnya berderu keluar dari mulut, selalu saja seperti ini. Mimpi itu terus berulang seperti kaset yang sedang berputar didalam kepalanya. Sana mengusap keringat dingin yang membasahi pelipisnya, ia sudah lebih tenang sekarang. "Mimpi sialan!" umpat Sana pelan.

Ding, dong!

Sana menatap jam bulat yang terpasang di dindingnya. Tepat pukul depalan pagi, hari ini ia kembali lagi. Sana tidak tahu orang kurang kerjaan seperti apa yang selalu melakukan hal sama selama satu minggu terkahir ini padanya. Saat ia membuka pintu ia akan menemukan satu buah keranjang penuh dengan bunga tergeletak disana.

Bunga yang sama dan selalu berakhir di tempat yang sama pula, tempat sampah. Tidak ada nama tujuan maupun pengirim yang dapat menjadi alasan Sana untuk menyimpannya. Lagipula Sana tidak menyukai bunga, seharusnya orang itu mengetahuinya atau tidak ia hanya akan menyia-nyiakan uangnya.

Hari-hari Sana akan selalu sama, tidak ada yang istimewa. Hidupnya statis tidak mau berusaha untuk merubahnya atau membuatnya sedikit menyenangkan. Lagipula tidak banyak yang bisa dilakukan oleh orang dengan keterbatasan fisik sepertinya.

Sana menatap ke arah tempat sampah yang kini dipenuhi dengan bunga yang belum ia ketahui nama dan jenisnya. Bunga itu berukuran kecil namun dalam jumlah yang sangat banyak, berwana putih dengan sedikit titik berwarna merah di bagian tengah. Cantik pikir Sana, jika saja ia tahu siapa pengirimnya dan dengan alasan apa dia mengirimnya mungkin Sana akan sedikit tersentuh karena mendapatkannya setiap hari.

Namun ini sangat mengganggunya. Ia merasa seperti sedang di teror, jangan salahkan dirinya yang sudah selama dua tahun telah terlatih instingnya. Hal seperti ini tidak ada sama sekali romantis-romantisnya, ya ada Sana hanya akan mencurigai semua orang.

Pertama, Kim Hanbin. Pria yang seumuran dengannya itu diketahui sudah lama menyukai Sana sejak pertama kali mereka masuk ke sekolah kepolisian bersama. Setelah Sana berhenti, Hanbin menjadi satu-satunya orang yang sangat terpukul dan berusaha mati-matian mencari pelaku tabrak lari Sana. Semua orang memanggilnya gila karena kelakuannya.

Kedua, Park Soo Yeong semua orang mengenalnya sebagai Joy sang designer. Sahabatnya ini sudah lama tidak mengunjunginya karena harus menyelesaikan studinya sebagai fashion designer di luar negeri dan mungkin Joy mengirimkan bunga sebagai permintaan maafnya karena merasa bersalah. Manusia yang sering sekali di sama-samakan dengan boneka Barbie itu memiliki hati yang lembut.

Yang terakhir adalah orang yang Sana harap adalah pengirim sesungguhnya. Kim Taehyung. Pria itu memiliki umur dan juga pangkat yang lebih tinggi dari Sana, sama halnya dengan Hanbin, Sana juga menyukai Taehyung sejak lama. Tidak ada kabar darinya sejak Sana berhenti, hal itu membuat Sana semakin sadar bahwa selama ini cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.

Untuk itu Sana memutuskan untuk mencari tahu siapa pengirimnya, besok sebelum jam delapan pagi ia akan duduk di tepi jendela menghadap luar dan menunggu dengan sabar siapa pengirim bunga tersebut. Tekad Sana sudah bulat, jika bukan salah satu dari ketiga orang dugaan Sana maka ia akan memikirkannya lagi nanti.

"Aku tidak melakukannya." ucap Hanbin. Terlihat sangat jelas dari raut wajahnya pria itu tidak suka membahas perihal bunga tersebut. Hanbin bebas tugas hari ini, dengan begitu ia selalu mengunjungi Sana dan membawakan muffin kismis kesukaannya dari toko roti favoritnya dibandingkan dengan bunga. "Apa kau ingin aku melakukan sesuatu?" tanyanya lagi.

Sana menggelengkan kepalanya, "Sudahlah, kau pasti sudah cukup sibuk. Tidak perlu membuang-buang waktu hanya untuk mencari tahu siapa pengirim bunga itu. Aku yakin besok pagi aku akan menemukan siapa orangnya. Ngomong-ngomong terimakasih untuk muffin ini." kata Sana seraya memasukan kue muffin tersebut ke dalam mulutnya.

Hanbin tersenyum kecil, sudah lama sekali ia merindukan Sana yang selalu tertawa dan penuh dengan semangat saat bertugas. Untuk melihat itu semua cukup sulit sekarang ini, Hanbin sudah beruntung Sana masih mau menemuinya. "Apa kau masih bermimpi buruk?" tanyanya sedikit khawatir.

Tidak ada jawaban dari Sana, tapi dari caranya berhenti mengunyah untuk sesaat lalu melanjutkannya sudah menunjukan jawabannya. "Aku mengenal seorang psikiater yang dekat dari sini, yang aku dengar ia sangat hebat. Lulusan luar negeri." ujar Hanbin melebih-lebihkan nada suaranya. "Dan lagi jika kau tidak mau keluar dari rumahmu, ia akan datang kemari untuk menemuimu. Apa kau mau aku membuatkan janji dengannya untukmu?"

"Aku tidak membutuhkannya, aku baik-baik saja." kata Sana datar. Hanbin berdecak lalu berpindah posisi agar lebih dekat dengan Sana untuk meyakinkannya sekali lagi. "Sana-ya, sekarang ini mengunjungi psikiater adalah hal yang wajar. Tidak perlu seseorang dengan gangguan kejiwaan, banyak dari mereka yang patah hati, memiliki banyak pinjaman, sulit berkonsentrasi, selalu bermimpi buruk sepertimu bahkan yang tidak punya uang, mereka akan pergi kesana." jelas Hanbin.

Sana tertawa kecil mendengar pernyataan Hanbin, "Kau kira mereka itu tempat penggadaian? Untuk apa orang tidak punya uang datang kesana." ucap Sana, pikir Hanbin setidaknya ia bisa sedikit menghiburnya. "Aku mengerti maksud perkataanmu Hanbin-ah. Tapi aku sungguh tidak memerlukannya. Lagipula aku sudah tidak bermimpi buruk lagi belakangan ini." sambung Sana berbohong, mimpi itu akan selalu bersamanya entah sampai kapan.

"Baiklah, aku tidak akan lagi memaksamu." kata Hanbin pada akhirnya. Ia lupa bahwa Sana juga keras kepala, jadi akan percuma saat kau memaksanya. "Tapi berhentilah berdiam diri didalam sini." ujar Hanbin frustasi. "Kau harus keluar, menghirup udara segar, biarkan cahaya matahari mengenai kulit putihmu yang mulai memucat dan berhentilah berpikir bahwa kau akan menyusahkanku." kesalnya.

Sana terdiam, ia sangat tahu Hanbin sedang marah padanya saat ini. Tapi pria itu tidak pernah lebih lagi meninggikan suara padanya dan selalu mengubah intonasinya setelah itu menjadi begitu hangat. Begitulah Kim Hanbin, Sana sangat beruntung bisa mengenalnya. "Mwoya? Ya! Kim Hanbin, apa kau masih menyukaiku?" goda Sana.

"M..mwo?" Hanbin gelagapan, ia salah tingkah menggaruk kepalanya yang Sana yakin sama sekali tidak gatal. "Aku hanya mengkhawatirkanmu." sambungnya pelan namun masih bisa Sana dengar. "Ya, apa kakimu baik-baik saja? Tidak terasa sakit?" Hanbin merubah topik pembicaraan begitu cepat.

Sana tertawa melihatnya, saat seperti ini wajah Hanbin akan berubah semerah tomat bukan hanya wajah bahkan sampai ke telinganya dan itu sangat menghibur bagi Sana. "Eung, kakiku baik-baik saja." kata Sana tidak bisa berhenti tertawa. "Ah syukurlah. Kalau begitu aku akan meminum ini, gomawo." ujar Hanbin menyesap secangkir teh yang disiapkan Sana. "Dan berhentilah tertawa."

Keesokan harinya, sesuai dengan rencana Sana bangun lebih awal dan membawa dirinya ke depan jendela tepat disebelah pintu masuk untuk melihat siapa pengirim bunga misterius tersebut. Sana melihat ke luar jendela, suasana di luar sana masih sama saja setidaknya di depan rumahnya. Selain itu, ia tidak tahu lebih jauh lagi.

Merindu? Bisa katakan begitu. Sana rindu jogging track yang selalu ia lalui disetiap pagi sebelum berangkat bekerja, Sana rindu suara riuh dari tempatnya bekerja. Kantor polisi kadang dipenuhi dengan teriakan, umpatan-umpatan dan terkadang juga suara isakan tangis. Banyak yang Sana rindukan termasuk Kim Taehyung.

Sana sedikit tersentak, apa yang baru saja dipikirkannya? Kim Taehyung? Ia langsung saja kembali tersadar seraya menggelengkan kepalanya pelan. Mengapa tiba-tiba saja pria itu muncul di benaknya, "Kau benar-benar sudah gila." ucap Sana pada dirinya sendiri. Tidak lama setelah itu Sana kembali tersentak karena ponselnya yang tiba-tiba saja berdering.

Sana tersenyum lebar begitu sebuah nama terpampang di layar ponselnya. "Yeoboseyo?" ucapnya riang. "Queen Anne's lace?"

"Eung, itulah yang aku temukan. Setelah kau mengirim gambar padaku aku langsung mencari tahu tentang bunga itu. Tapi, ya! Kim Sana, apa kau sedang mengujiku? Kau sengaja karena aku tidak mengunjungimu setelah sekian lama bukan?" suara melengking yang masuk ke indera pendengaran Sana membuatnya menjauhkan ponsel dari telinganya.

"B..bukan begitu." Sana tertawa kecil. "Seseorang mengirimiku bunga ini tapi tidak ditemukan apapun tentang pengirimnya, aku pikir itu kau Joy. Tapi ya sudah kalau bukan." jelas Sana. "Tapi apa katamu barusan? Qu..queen apa?"

"Astaga, queen Anne's lace. Bunga ini berarti fantasi. Kau tahu? Mengapa disebut seperti itu?" Sana menggelengkan kepalanya meski ia tahu Joy tidak akan bisa melihatnya. "Sebenarnya banyak yang aku temukan. Tapi aku lebih menyukai arti yang satu ini, Fantasi. Melambangkan surga, ini juga menandakan kompleksitas." Sana hanya bisa mengerutkan dahinya tidak mengerti.

Sana hendak meminta Joy untuk menjelaskan lebih dalam lagi tentang perkataannya sebelum mata Sana menangkap sosok seseorang yang mendekati rumahnya. "Joy-ah, aku akan menghubungimu lagi nanti." ujar Sana memutuskan panggilannya secara sepihak bahkan saat Joy belum selesai dengan perkataannya.

Sana memajukan kursinya lebih dekat dengan jendela agar bisa sedikit lebih jelas melihat siapa dibalik pintu rumahnya. Seseorang dengan postur tegap berdiri dengan menenteng satu keranjang bunga ditangannya. Ia terkesan terlihat aneh karena mengenakan setelan jas lengkap dengan dasi hitam di pagi hari seperti ini.

Sana mengerutkan keningnya bingung, entah mengapa jantungnya berdebar begitu cepat saat ini. Ia sama sekali tidak mengenali wajah tersebut, Sana termasuk orang yang akan mudah mengenali wajah meski hanya bertemu sekali saja bahkan ia masih mengingat wajah para penjahat yang telah ditangkapnya.

Sana terkejut saat netra mereka bertemu satu sama lain. Sana bisa melihat manik hitam legam tersebut menatapnya hangat, hingga tanpa Sana sadari pria itu sudah berada di hadapannya sekarang. Ia membungkukan tubuhnya agar sejajar dengan Sana dan menatapnya lekat, dari balik jendela tersebut pria itu tersenyum lembut membuat Sana berpikir itu adalah senyum terindah yang pernah dilihatnya.

"Anyeong!" ucapnya tersenyum nakal sembari melambaikan tangan dengan gerakan jarinya yang lentik.[]

LUCID DREAM