Selanjutnya
Menikah dengan Pria Dewasa (FREE Bab 1-10 karya Herlina Tedy)
Welcome to DLista Story.Teman2 pembaca setia, berikut ada karya titipan teman saya. Langsung bisa didukung dan dibaca maraton ke link :https://karyakarsa.com/Herlinateddy/series/diam-diam-menikahhttps://karyakarsa.com/Herlinateddy Bab 1
Ini bukan zamannya Siti Nurbaya, kenapa harus ada perjodohan konyol ini, Pa? protesku dengan lantang. Aku tidak mau pernikahan itu.
Papa tidak peduli ini zaman Siti Nurbaya atau bukan. Kita keluarga besar hanya menjalankan amanah yang sudah kita janjikan sejak kalian kecil, jelas lelaki yang sudah membesarkanku sejak 20 tahun lalu.
Tapi bisa 'kan tunggu sampai aku siap dinikahi, setidaknya tunggu aku selesaikan kuliah sampe sarjana, alasanku lagi sambil menahan air mata yang sudah tertumpuk di pelupuk mata.
Aku tidak mau cita-citaku menjadi dokter, terhalang gara-gara harus menikah muda. Aku merasa umurku masih terlalu muda untuk menikah, usiaku masih dua puluh tahun.
Tidak bisa, keluarga Pak Latif tidak bisa menunggu lagi. Lagipula keluarga sudah menyetujui surat kontrak. Sebelum surat itu ditandatangan, kalian udah harus punya hubungan suami istri. Karena papa ..., tegas Pak Faris setyawan yang merupakan ayah kandungku dan juga seorang pengusaha properti.
Papa egois! Aku langsung memotong pembicaraannya dengan nada meninggi. Mengorbankan putrinya sendiri demi usaha papa sendiri, ucapku marah, tak terkendalikan lagi sembari menetaskan air mata yang sudah penuh dan akhirnya terjatuh begitu saja tanpa bisa ditahan.
Kamu ....
Suara papa tak kalah meninggi. Jarinya menunjuk tajam ke arah wajahku. Rona wajah memerah, mata melotot dan urat lehernya timbul kebiruan, jelas memperlihatkan kalau dia sedang marah.
Di saat yang sama, mama mendekatinya dan menurunkan jari telunjuk, berusaha menenangkan papa sambil mengelus punggungnya.
Udah , Pa. Tenang dulu. Jangan gegabah, kata mama sambil terus menenangkan papa. Mama khawatir papa khilaf dan melukai aku.
Langkah papa pun terhenti karena ditahan Kak Arkan, kakak kandungku. Setelah beristighfar beberapa kali, lelaki yang menjadi tulang punggung keluargaku pun membuang wajah ke arah lain. Dia enggan melihatku.
Tak lama berselang kulihat Kak Arkan menuntun pria berambut putih itu menuju anak tangga naik ke lantai dua dan masuk ke kamar. Mama telah memberi sinyal kepadanya agar perdebatan antara anak dan ayah tidak berlangsung lebih sengit.
Aku bukan anak yang pembangkang yang selalu membantah perintah orangtua. Aku hanya ingin dihargai dan diberi kesempatan untuk memilih jalan hidupku. Bagaimana mungkin seorang Alya yang dulunya juara kelas semasa sekolah harus berakhir menjadi ibu rumah tangga yang mengurus suami dan anak. Tidak, aku punya impian. Aku ingin mewujudkan cita-citaku.
Kamu enggak pa-pa, Al? tanya mama dengan nada seembut mungkin. Tangan itu mengelus rambutku yang menjuntai di punggung.
Wanita cantik itu mendekatiku dan duduk di sampingku. Aku tahu mama tidak bisa membela atau membantu untuk membatalkan perjodohan berencana itu. Aku tidak menyalahkannya sama sekali. Aku hanya butuh perhatian dan dukungan. Beliau lah orang yang selalu menjadi teman curhat kala aku sedih dan butuh teman mengeluarkan isi hati.
Kupejamkan mata dan air yang sudah penuh di pelupuk itu pun berhasil berdesakan turun beriringan. Rasa kesal, penat dan kecewa bercampur aduk menjadi satu paket. Sesak kurasa tetapi tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku menghirup udara dengan rakus, mengisi rongga paru-paru yang kini mungkin stok oksigennya sudah menipis.
Aku tahu ini bakal terjadi, tetapi aku tidak bisa melawan keputusan yang sudah diperintah papa. Apapun yang beliau putuskan, tidak bisa diganggu gugat. Aku tak punya pilihan lain, selain menerima nasib yang seakan-akan aku adalah boneka hidup yang sedang berperan untuknya.
Sementara di lingkungan kampus hanya kedua temanku yang tahu kalau aku diam-diam menikah dengan Mas Rayhan.
Please, jangan bocorin ya, ra-ha-si-a.
Aku memohon dengan suara pelan kepada kedua sobatku. Kita sahabatan sudah 5 tahun. Haniya dan Eliza. Haniya lebih dewasa, tegas dan pintar sedangkan Eliza sedikit lola, u know, maksudku.
Gile, lu. Zaman gini masih aja ada jodoh-jodohan? Kayak cerbung di novel-novel online aja, pake kawin dijodohin segala.
Haniya pun menurunkan nada suaranya sambil sedikit menunduk. Pasalnya, kita lagi duduk di kelas di antara teman lainnya yang sedang menunggu dosen Anatomi.
Eliza yang duduk tengah di antara kita menoleh ke wajah kita secara bergantian. Kayaknya dia bingung dengan apa yang kita bahas barusan. Harap maklum ya, kayaknya dia belum sarapan.
Kalian lagi bahas apa? Cerbung novel yang mana? Oh, yang Authornya Dear, Mr.Mantan itu? Ya, ellah, kalo yang itu, aku udah baca, kisah Bastian dan Keysha kan?
Tuh, kan, aku bilang juga apa. Dia mah agak Lola, kita lagi bahas apa, dia bahas apa. Kadang aku bingung masa kecilnya dikasih ASI tidak, sih? Konon katanya bayi yang diberi ASI di dua tahun pertama, tingkat kecerdasan lebih besar dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI. Hal itu dikarenakan ASI itu mempercepat pertumbuhan otak bayi hingga 30 persen.
Astaga Eliz. Enggak ada yang bahas tentang novel.
Kulihat Haniya mengusap dada, kayaknya dia sedang mengumpulkan stok sabar untuk menjelaskan kepadanya. Hanya wanita berkacamata hitam itu yang sabar menjelaskan kepada Eliza, sedangkan aku tidak.
Tuh, tadi lagi novel online kawin dijodohin. Tuh kan dia masih aja nyolot.
Iya, Alya mau dinikahi sama om-om karena dijodohi sama papanya. Kalimat itu sudah cukup membuat teman lola kami mengerti apa permasalahan yang sedang kita bahas tadi, tetapi ....
APA? ALYA MAU KAWIN SAMA OM-OM?
Ya, ampun dia berteriak mungkin karena kaget dengan kabar perjodohan itu. Duh, sebagian teman yang ada di kelas serentak menoleh ke sumber suara. Beberapa detik kemudian mereka berpaling menatapku dengan mimik penasaran terbit di wajah mereka. Seketika aku si Korban menjadi pusat perhatian mereka.
Ya, Allah, Eliza, teman sumber cari masalah. Haniya buru-buru menutup mulutnya dengan telapak tangan. Aku pun tersenyum tipis sambil menelungkup tangan sambil berucap maaf dengan pelan. Kuharap mereka mengerti dengan gerakan mulut yang aku sampaikan. Sebagian dari mereka pun membalas senyuman tipis dan sebagian masa bodoh dengan apa yang barusan terjadi. Itulah kehidupan di kampus karena tidak semua teman yang kita kenal apalagi kadang kita mendapatkan teman satu kelas yang senior ataupun junior.
Mudah-mudahan mereka tidak mendengar jelas apa yang diucapkan Eliza. Pasalnya kala dia berteriak tadi, wanita berambut pendek itu sambil mengemil kacang telur.
Please, Eliz. Aku merapatkan gigi dengan wajah kesal.
Aku tidak mungkin publikasikan pernikahan atas perjodohan konyol itu. Aku terpaksa menikah diam-diam dengan om-om yang bernama Rayhan. Awalnya aku merasa tidak nyaman karena setelah menikah aku harus tinggal di rumahnya. Sepanjang hari aku menghabiskan waktu mengurung di kamar kalau weekend. Aku malas kalau harus bertemu dia yang juga libur kantor di hari itu.
Kadang aku izin ke Mall bersama Haniya dan Eliza. Pesan itu aku kirim via chat di aplikasi hijau. Artinya aku jarang berbicara tatap wajah dengan om itu, lebih tepatnya aku yang sering menghindarinya.
Kini pernikahan yang tak kuinginkan itu sudah berjalan hampir satu tahun. Pernikahan yang sah di mata agama dan hukum. Namun bagiku, itu sekadar pernikahan di atas hitam putih saja. Status istri yang kusandangi selama ini hanyalah formalitas di mata keluarga besar kita. Pernikahan yang kita lakonkan hanya untuk kebahagian kedua keluarga besar itu. Pernikahan tanpa didasari cinta seperti film-film romantis.
Sudah makan?
Suara pria itu menarik kesadaranku dari lamunan yang tak begitu penting. Aku mengerjapkan mata lalu membuang pandang ke televisi yang sengaja aku nyalakan untuk menemaniku saat berada di ruang tamu malam ini. Tumben, dia pulang cepat, biasanya jam segini dia belum pulang. Kata Bik Ima dia sering lembur. Kulirik sekilas ponselku, angka baru jam delapan.
Sudah, jawabku singkat sambil menegakkan posisi duduk.
Aku tidak nyaman tiduran di sofa kalau ada dia. Aku men-scroll layar ponsel yang ada di tanganku, entah apa yang aku lihat di ponsel itu. Intinya, aku hanya mengalihkan perhatian aja.
Dia yang berstatus suamiku menghempas bobotnya di sofa empuk yang tidak jauh dari tempat aku duduk kemudian menekan tombol remote, mengganti siaran TV sinetron menjadi siaran berita. Dia pun tak menanggapi jawabanku. Sekilas aku meliriknya dengan ekor mata, tampak dia fokus menatap acara berita khas bapak-bapak itu. Sudah kubilang, tidak ada pembicaraan yang bisa kita bahas dalam kehidupan kita. Kita jauh berbeda dari segi umur dan pola pikir.
Merasa bosan aku pun beranjak berdiri dari duduk menuju ke kamar dan meninggalkan pria itu sendirian di ruang itu. Lelaki umur tiga puluh tahun yang sudah menjadi suamiku selama hampir 1 tahun itu tidak menghiraukanku saat aku menaiki anak tangga ke atas.
Cuek, iya, aku bahkan tidak peduli dengan apa yang dia kerjakan selama ini. Aku juga berharap dia pun tidak usah mencampuri urusan pribadi.
Kita hidup dengan kesibukan masing-masing. Aku fokus dengan kuliahku yang sekarang masuk semester 6 dan dia sibuk dengan kerjaan yang selalu menumpuk di kantor. Bahkan kata Bik Ima dia lebih sering lembur karena ada rapat dadakan dan ketemu kolega di luar kantor. Aku sama sekali tidak berminat mengetahuinya.
Sesampai ke kamar, aku langsung merebahkan tubuh mungilku yang cuman 160 cm ke ranjang yang empuk dan memeluk bantal pink berbentuk hati. Pandanganku langsung tertuju ke langit-langit kamar yang dipenuhi dengan stiker resin berbentuk bintang. Aku akan melihat sinar hijau di bintang itu kala lampu kamar dimatikan. Yang membuat aku seakan-akan berada di bawah tepat bintang itu berada. Indah sekali. Kejadian tahun lalu pun terngiang di benakku.
Lamunanku di satu tahun silam kembali buyar saat notifikasi chat dari aplikasi hijau masuk. Kuraih ponsel yang kuletakkan di atas kasur dan aku mengusap layar 4 inch itu.
Jangan lupa besok bawa buku paket Anatomi ya, pesan dari Haniya, sahabatku sejak SMA itu.
Jariku bergegas menari membalas pesan itu dengan dibubuhi emot jempol menandakan okay.
Lalu, kupejamkan mata, berharap malam akan cepat berlalu menggantikan pagi yang cerah untuk hari esok.
Bab 2
Pagi ini aku sengaja mengurung diri sampai jam delapan di kamar. Jadwal kuliahku di jam pertama pukul 10.00. Seperti biasa aku menunggu Mas Rayhan berangkat ke kantor pukul 07.30. Iya, aku menghindarinya. Aku tidak mau berada satu meja saat kita menikmati sarapan pagi.
Setelah selesai membersihkan diri, aku mengenakan kemeja biru dan celana jeans khas anak kuliahan. Aku duduk di depan kaca rias, memberi sedikit polesan bedak dan lip gloss yang membuat aku semakin cantik, ditambah lesung pipit di pipi kiri yang aku miliki. Kata mama, itu menambah pesona di wajah putihku saat aku tersenyum. Mama percaya lelaki mana pun yang menatap akan jatuh hati padaku. Duh, mama selalu memuji hingga aku merasa terbang melayang ke angkasa nan jauh di sana.
Namun, yang dikatakan mama itu benar adanya. Zaman aku duduk di bangku SMA, selain pintar aku juga dijuluki gadis pematah hati para pria. Pasalnya, banyak pria terutama senior yang ada di sekolahku, sudah banyak yang aku tolak ketika mereka menyatakan cintanya. Banyak juga di antara mereka sering mengirim hadiah atau cokelat untuk mengungkapkan perasaannya. Namun sayang, tak satu pun hadiah itu aku terima. Semua barang itu aku berikan kepada kedua sahabat yang siap menampungnya.
Setelah selesai berhias, aku mengayun kaki keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju ke dapur. Saat aku sampai di meja makan, aroma nasi goreng plus telor ceplok menusuk rongga hidung. Perutku terasa lapar seketika. Susu UHT dingin pun sudah tersaji di meja makan. Semua ini sudah disiapkan Bik Ima, asisten rumah tangga kami sejak Mas Rayhan masih kecil.
Hari ini masuk siang, Non? tanya Bik Ima setelah melihatku menarik kursi dan duduk di sana.
Iya, Bik. Jam sepuluh, kataku sambil mengambil gelas yang berisi susu dan meneguknya. Adem rasanya tenggorokanku.
Mas Rayhan tadi pagi-pagi banget jam tujuh udah berangkat, katanya ada rapat dadakan di kantor, jelas Bi Ima sambil mengelap kompor yang berminyak habis memasak. Posisinya memunggungi dan tak menoleh ke arahku.
Oh, jawabku singkat lalu memasukkan sesuap nasi goreng ke mulut.
Sebenarnya aku kurang tertarik dengan keberadaannya. Sering tidak bertemu, itu membuatku lebih nyaman karena aku merasa lebih baik seperti ini.
Non!
Bik Ima mendekati meja makan dan duduk di dekatku. Bi Ima memang sudah kami anggap orangtua, jadi kita tidak pernah membedakan derajat antara majikan dan pelayan. Wanita berusia empat puluh delapan tahun itu sudah bekerja lama di kediaman papa Mas Rahyan.
Nah, sejak kami menikah, Mas Rayhan mengajak Bik Ima untuk menemani dan melayani keperluan kami. Dari memasak, mencuci dan setrika pakaian sampai membersihkan rumah. Dulunya, Bik Ima adalah pengasuh Mas Rayhan sejak mamanya meninggal karena kanker serviks yang dideritanya. Waktu itu, umur Mas Rayhan masih 10 tahun.
Iya? Aku menoleh sekilas ke wajah Bik Ima yang mulai muncul keriput halus, tapi buatku dia tetap nyaman dipandang.
Menurut Non, Mas Rayhan itu ganteng enggak?
Astaga sudah berapa kali dia menanyakan pertanyaan yang unfaedah itu. Kulihat Bik Ima mulai kepo dan menunggu jawabanku. Dia melipatkan tangan dan meletakkannya di atas meja.
Sebenarnya telingaku risih dengan pertanyaan Bik Ima karena aku tahu maksudnya. Selak beluk yang aku dan Mas Rayhan alami di rumah ini, Bik Ima tahu semuanya. Namun, dia berjanji tidak akan memberitahu kepada siapapun termasuk orangtuaku dan orangtua Mas Rayhan.
Dari masalah aku dan Mas Rayhan pisah ranjang sejak malam pertama, perang mulut sampai sikap dingin di antara kita. Jarang berbicara karena kami jarang bertemu dan sibuk dengan kegiatan kita masing-masing yang sudah menjadi kesepakatan kita sebelum pernikahan itu digelar.
Bik Ima memaklumi keadaan kita yang tidak saling kenal, lalu dipersatukan tali pernikahan. Cuma ya gitu, Bik Ima orangnya kepo, suka menyomblangi kita. Mana tahu ke depannya bisa saling mencintai, katanya begitu.
Hm, enggak tahu, Bik. Aku kurang perhatiin sih, jawabku berdusta. Aku tahu Bi Ima ingin tahu bagaimana perasaanku kepada Mas Rayhan.
Sebenarnya kalau mau jujur, Mas Rayhan memang tampan dengan tinggi 175 centimeter. Hidung mancung, dada yang bidang dengan kemeja panjang yang selalu dikenakan, membuat dirinya terlihat seperti pria eksekutif muda. Aku yakin banyak pasang mata cewek di luar sana tidak akan menolak memandangnya, tetapi tidak denganku. Itu dikarenakan pada dasarnya aku tidak begitu menyukainya.
Kata Bik Ima, dulu Mas Rayhan suka fitnes sehingga memebentuk otot di lengannya. Hanya saja, akhir-akhir ini dia tidak melakukan olahraga rutin itu karena tuntutan pekerjaan yang menyita waktu. Kini dia lebih suka jogging berkeliling perumahan di sekitar ini.
Udah hampir 1 tahun jadi istri Mas Rayhan, masa enggak pernah perhatiin sih, Non?
Kayaknya Bi Ima makin penasaran sambil melayangkan tatapan menyelidik. Benar-benar ya nih si Bibik, jiwa paparazi-nya lebih besar daripada kedua temanku itu.
Gimana ya .... Sengaja aku menggantung kalimatku sambil menggigit bibirku, pura-pura berpikir. Ngomong-ngomong, kenapa Bik Ima tiba-tiba tanya ini sih?
Aku melirik ke arahnya dengan tatapan penuh curiga. Apa jangan-jangan ini bagian skenario Mas Rayhan untuk mengintrogasi aku? Ah, kenapa aku jadi curiga gitu ke dia. Mana mungkin pria itu se-kepo itu.
Non Alya masih belum bisa menerima Mas Rayhan sebagai suami? Bik Ima malah bertanya lagi tanpa menjawab pertanyaan tadi.
Apaan sih si Bibik, mah.
Aku segera melahap satu sendok terakhir nasi gorengku lalu menandaskan susu. Aku bergegas beranjak dari duduk dan siap-siap untuk pergi untuk menghindar pertanyaan Bi Ima yang lainnya.
Aku ke kampus dulu ya, Bik. Taksi online-nya sudah datang.
Aku pergi sebelum Bi Ima makin kepo, melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin aku jawab sama sekali.
Meninggalkan Bi Ima yang geleng-geleng sembari senyum sendiri melihat kelakuanku yang tahu kalau aku sedang menghindarinya.
Hati-hati ya, Non Alya.
Iya. Aku masih menyahutinya meskipun kakiku sudah berada di teras rumah.
Aku selalu naik taxi online saat aku berpergian ke manapun, baik itu ke kampus, ke mall. Namun, kalau aku berpergian dengan temanku, kita selalu nebeng mobil Haniya, alasannya mengurangi emisi gas dan polusi udara. Ngeles sih, sebenarnya, padahal niatnya untuk menghemat ongkos.
Alasan lain aku menggunakan taxi online karena aku belum punya SIM kendatipun aku sudah bisa mengemudi mobil. Kala aku duduk di bangku SMA, pernah belajar mengemudi dari Kak Arkan. Hanya saja, untuk mendapatkan SIM di Kantor Kepolisian, aku masih belum sempat mengurusnya, ada sederetan test yang harus aku lalui.
***
Hai, sapaku setelah sampai ke kelas dan bertemu dengan dua sahabatku.
Hai, sapa mereka kompak dan menoleh sekilas.
Nih buku Anatomi yang kamu pesan kemaren, Han. Aku menyodorkan buku tebal itu ke arahnya.
Ohya, pinjam dulu ya. Senin aku balikin.
Aku mengangguk menanggapi dan langsung mengambil duduk bersisian dengan mereka. Kita memang sudah kompak sejak lima tahun lalu, jadi ke mana-mana kita selalu bersama. Baik itu ke nongkrong ke mall, cafe favorit kita, belajar bersama di perpustakaan bahkan ajaibnya kita bisa ikut ujian negara dan lulus dengan jurusan yang sama, Fakultas Kedokteran.
Eh, malam ini kita ke mana? Besok udah weekend, sabtu, minggu kita mau ngapain ya? tanya Haniya minta saran kedua sobatnya sambil memainkan ballpoint.
Aku punya DVD baru nih. Drakor baru-nya Lee Ming Ho.
Eliza memeriksa tas dan mengeluarkan dua buah DVD lalu menyodorkan kita. Aku dan Haniya mengambil masing-masing satu lalu memperhatikan judul dan sinopsisnya.
Iya bosan juga kalo weekend kita jalan ke mall, makan, shopping, muter-muter enggak jelas sampe pegel nih betis. Sekali-sekali nobar, nonton bareng. Huh, membayangin Lee Ming Ho, kataku senyum, membayangkan wajah artis favorit negara ginseng itu sambil memejamkan mata.
Kita bertiga memang penggemar drakor, K-pop. Maklum, masih suka nonton yang baper, gemoy artis Korea yang ganteng-ganteng. Yah eella, lebay banget memang. Kalau ada series drakor yang baru, kita enggak pernah ketinggalan, langsung gercep.
Nobar-nya di rumahmu ya? saran Eliza sambil menoleh ke arahku.
Hah?
Aku menoleh ke mereka yang kompak menatap ke arahku juga. Aku tak ada pilihan selain mengiyakan. Sebuah anggukkan pertanda setuju kuberikan meskipun sebenarnya aku tidak nyaman karena di rumah ada Mas Rayhan.
Suara notifikasi masuk ke ponselku bersamaan dengan anggukan tadi. Kuusap layar hitam itu dan tak sengaja aku menyunggingkan senyuman yang tak bisa kusimpan.
Kenapa, Al? Chat dari siapa? Haniya tanpa pamit langsung merampok ponselku.
Ih, balikin, Han. Aku mencoba merebutnya kembali.
Eliza malah menghalangiku saat aku mencoba meraih kembali ponselku dari Haniya.
Astaga, Al. Mata Haniya melotot saat dia berhasil membaca pesan yang barusan aku terima dari seseorang.
Bab 3
Apaan sih? Eliza pun menarik paksa ponselku yang ada di tangan Haniya.
Ya ampun, banyak amat. Pengirimnya Rayhan Atta Handoko. Eliza menutup mulut yang menganga, matanya pun ikut melebar tak percaya.
Aku mendengus kesal karena pesan pribadiku telah dibaca mereka tanpa izin. Aku merampas kembali ponselku lalu memasukkan ke dalam tas. Busyet, ketahuan sudah, uang bulanan yang ditransfer suamiku.
Itu Om Rayhan, suamimu kan? Uang sebanyak itu buat apa?
Haniya memperkecil suara ketika bertanya hal itu. Gadis itu memang tahu situasi dan kondisi, dia bisa mengendalikan diri ketimbang Eliza, si Gadis lemot.
Aku tidak menanggapi pertanyaannya, membuang pandangan ke papan tulis putih. Aku mau menghindari juga tidak bisa. Mereka tidak mungkin akan mengizinkan aku ke toilet sampai aku menjelaskan apa yang sudah mereka lihat barusan. Selama ini aku tidak pernah membahas masalah uang nafkah yang diberikan Mas Rahyan sebagai suami.
Hei, sepuluh juta? Haniya pindah posisi duduk di samping sambil meletakkan tangan ke pundakku.
Uang jajan? Eliza menebak dengan memicing mata bundarnya.
Aku pun terpaksa mengakui dengan memberi anggukan pelan.
Hah, yang bener? Banyak banget, Al?
Kulihat reaksi wajah mereka terkejut. Ya, iyalah pasti kaget. Dulu sebelum menikah aku hanya dikasih jatah sama papa tiga-empat juta saja untuk jajan sebulan. Aku seorang pengangguran yang hanya fokus kuliah. Rata-rata mahasiswa fakultas kedokteran tidak bisa bekerja setengah paruh karena waktunya habis di laboratorium dengan deretan praktikum di siang hari sampai sore hari. Beda dengan mahasiswa jurusan lain di bidang ekonomi atau hukum, setengah harinya mereka sudah diperbolehkan pulang karena jadwal kuliah yang tidak begitu padat.
Buat bayar apa aja itu, Al? tanya Haniya, tiba-tiba jiwa ke-kepo-annya meronta. Soalnya aku tahu, uang jajan dari orangtua mereka tidak sebanyak itu.
Apa ya? Aku mikir-mikir sambil memainkan manik mataku.
Uang token listrik? tebak Eliza. Aku menggeleng.
Uang WiFi internet bulanan? tebaknya lagi sambil mendekatkan wajah ke arahku. Lagi-lagi, aku menggeleng.
Gak tahu juga. Aku tidak pernah disuruh bayar ini-itu, lanjutku. Buat bayar taksi online, mungkin.
Tapi itu masih banyak banget sisanya. jawab Eliza sambil mencibirkan bibirnya.
Apapun itu, Al. Aku bilang suamimu itu tidak pelit. Aku mau lho kalau ada stok cowok kayak Om Rayhan-mu itu. Lumayan, kan, tajir, tampan, kalau jalan berdua ke mana-mana, jadi pusat perhatian. Ya ampun, aku tidak bisa membayangkan gimana-gimananya lagi. Cewek berkacamata itu menggoyang-goyangkan lenganku.
Pada nge-halu ya, lu orang pada, ketusku mengakhiri pembicaraan tak penting itu, dosen pun datang untuk memulai kuliah pertama.
๐๐๐
Hari ini giliran Alya yang traktir ya? Kan, baru dapat transferan dari suami tercinta. Gadis berambut pendek itu memintaku membeli cemilan untuk persiapan nobar kita siang ini.
Yei, enak aja. Aku memanyunkan bibir beberapa centi. Ini namanya pemerasan secara halus, tahu aja aku baru dapat uang bulanan yang lumayan banyak, mereka pada memalaki aku.
Tanpa jawaban setuju dariku, mereka terus memasukkan beberapa makanan ringan dan minuman kotak rasa buah-buahan ke dalam keranjang merah yang aku tenteng.
Yang ini sekalian ya, Al. Eliza, si rambut pendek itu meletakkan cemilan ke dalam keranjang lalu mendahuluiku.
Ini juga ya, oh iya, aku langsung ke mobil ya, tungguin lu selesai, timpal cewek berkacamata, Haniya melewatiku ketika dia juga meletakkan barang yang sudah dipilih dari minimarket itu.
Aku mendengus kesal tetapi ya sudahlah, toh ke mana-mana kita selalu nebeng ke mobil Haniya. Hitung-hitung ada hubungan timbal balik, dia keluarkan uang bensin dan aku keluarkan uang cemilan. Sementara Eliza yang suka bantu-bantu bawain barang belanjaan kita. Kita memang menerapkan simbiosis mutualisme, hubungan saling menguntungkan.
Aku pun ikut antre ke barisan untuk membayar barang belanjaan yang sudah penuh di keranjang merahku. Setelah selesai membayar, aku menuju ke Yaris silver milik Haniya yang parkir tepat di ruko minimarket itu.
Tak lama kemudian, kendaraan roda empat itu melambat setelah hampir sampai di depan halaman rumah. Halaman rumah itu bisa menampung dua mobil sekaligus. Setelah turun dari mobil, kulihat tidak ada mobil Mas Rayhan. Berarti dia belum pulang, baguslah kalau begitu. Mudah-mudahan dia lembur sampai malam seperti biasanya, doaku dalam hati.
Setelah menyapa Bik Ima, kami mulai mencari posisi duduk ternyaman. Aku menyalakan layar LED 45 inch itu, sedangkan Eliza menyetel DVD player. Sementara Haniya sibuk menyiapkan cemilan kita di atas meja.
Mereka sudah beberapa kali mampir dan numpang nonton di rumah. Mereka bilang, nobar di rumah ini terasa nyaman, selain karena kualitas televisi dan DVD player yang dilengkapi dengan sound system yang lumayan jernih suaranya. Kalau nobar di rumah mereka, selalu ada orangtua yang memantau seperti kamera pengintai, tidak bebas, kata mereka.
Tak terasa kita sudah menghabiskan waktu beberapa jam untuk menonton delapan episode. Drama romantis itu seolah menghipnotis sehingga kita lupa waktu.
Oh My God, teriak Haniya melotot ke arah TV sambil mencomot beberapa cemilan yang ada di tangan Eliza.
Oh, enak banget tuh cewek, dicium ama Lee Ming Ho, timpal Eliza tak kalah seru, matanya tak lepas dari layar itu, seolah tidak mau ketinggalan sedetik pun adegan itu.
Aku pun mau, sambung Haniya lagi, agak lebay sih menurutku.
Kondisi di ruangan ini sedikit rincuh dan gaduh dengan teriakan mereka berdua. Mereka tidak rela artis idaman mereka, Lee Ming Ho melakukan adegan romantis dengan artis partnernya.
Lihat, lihat! Jari Haniya menunjuk ke layar TV yang ada adegan romantis lagi, kaki pun terangkat ke sofa. Terlihat nyaman memang, seperti rumah sendiri.
Oh, ya ampun senyumannya, kata Eliza kagum sambil mencomoti snack yang ada di tanganku. Ih, apaan sih, cemilan yang di tangannya masih ada, main comot milikku. Aku menepuk tangannya dan dia meringis kesakitan lantas tersenyum ketika sadar kesalahannya.
So sweet. Haniya makin lebay sambil manyun-manyun.
Aku hanya menggeleng dengan ke-lebay-an yang sudah tercipta di antara mereka berdua. Aku suka dengan artis negara ginseng itu, tetapi aku masih bisa mengendalikan diri untuk tidak terlalu fanatik seperti mereka. Toh, lebay seperti itu, untungnya apa?
Tak lama terdengar suara deheman mengalihkan perhatian kita dari drama romantis ke arah suara itu. Langkah kaki pun terdengar semakin jelas menuruni anak tangga kemudian sosok berkaos putih dengan celana jeans pendek mendekati ruang di mana kita berada.
Tatapan pria itu datar menatap ke arah kita bertiga. Aduh, gawat, kapan dia pulang? Kok, aku tidak menyadari saat dia menaiki anak tangga ke lantai dua. Terakhir aku melirik jam, jarum itu masih menunjukkan angka tiga. Masih sore.
Aku mengembuskan napas panjang, berusaha mempersiapkan diri dengan apa yang akan terjadi. Mungkin saja dia merasa terganggu dengan suara bising yang tidak disengaja kita munculkan.
Ini gara-gara Haniya dan Eliza. Suara cempreng mereka pasti terdengar sampai di kamar lantai dua.
Malam Pak, eh, Om, eh maaf, sapa Eliza sambil beranjak dari duduk yang santai. Tangannya menggaruk kepala, leher, punggung, pokoknya apa aja yang tidak gatal sebenarnya untuk menyembunyikan rasa canggung. Dia terlihat salah tingkah dengan kehadiran Mas Rayhan, sampai-sampai dia bingung mau panggil apa.
Mas kali, kok, Om, sih. Haniya menyenggol sikunya. Sejak kapan lo panggil Alya sebutan Tante. Kalo Om berarti istrinya, lo panggil tante, kan? bisiknya dengan pelan biar tidak kedengaran suamiku.
Aku menahan tawa dan melirik sedikit ke mereka yang berdebat hal kecil yang tidak seharusnya terjadi sekarang. Eliza pun ah, entahlah dia memang seperti, anaknya lemot ketulungan. Semua masalah bisa berasal darinya, bisa juga berakhir dengan tawaan karena keluguannya.
Oh iya, malam, Mas. Eliza meralat sapaan untuk Mas Rayhan sambil memasang wajah malu-malu kayak putri malu yang tak sengaja disentuh. Aku lihat wanita itu pun menunduk, menghindari kontak mata suamiku.
Lalu, pria berkacamata itu menghampiri kita sambil melempar sedikit senyum, masih dengan sikap khas yang dingin seperti es kutub utara. Terlihat dari tatapannya yang datar dan tidak berekspresi. Tampan sih, tapi ya itu, kesan wajahnya serius bak dosen killer.
Maaf ya, ini sudah pukul berapa? Apa orangtua kalian tidak khawatir anak gadisnya masih belum ada di rumah jam segini? Akhirnya dia mengutarakan maksud kedatangannya sambil melirik ke jam branded yang masih melingkar di pergelangan tangan.
Haniya maupun Eliza refleks ikut mencari jam dinding yang ada rumah itu untuk mengetahui jam berapa sekarang. Kami memang lupa waktu sampai tidak tahu jam sekarang. Eliza pun mengambil ponselnya dan melihat jam.
Oh My God, uda jam 12, Han. Eliza berteriak sambil menunjukkan layar benda canggih itu. Mata melebar dan mulut menganga, itulah ekspresinya yang membuat kita spontan senyum-senyum karena menurut kami, ekspresi itu lucu sekali.
Iya sih, tapi mamaku tahu, aku ada di rumah Alya. Tadi aku udah tlepon, tegas Haniya. Kalo lo, Liz, uda pamit ama nyokap?
Eliza mengangguk. Udah kok.
Mereka pun saling melempar tatapan kemudian berpaling ke arahku. Aku masih malas berdiri, pandanganku masih pura-pura fokus ke televisi. Namun, beberapa kali aku melirik ekspresi suamiku. Ada yang tak beres kayaknya.
Mungkin kedua temanku merasa sadar diri, tidak baik berada di rumah orang di jam Cinderella seperti ini, mereka pun memilih pamit pulang.
Hmm. Kalo gitu, kita pulang aja, yuk. Aku anter kamu dulu ya, Liz. Gadis berkacamata itu mengambil tas dan mengeluarkan kunci mobil.
Al, kita pulang dulu ya, DVD-nya di sini dulu aja. Besok kalo lo mau nonton, nonton duluan aja. Eliza pun sambil membereskan dan memasukkan barang-barangnya ke tas.
Aku mengambil remote dan menekan stop lantas mematikan layar televisi. Lalu, aku berdiri dan mengantar kedua gadis itu ke pintu tanpa sepatah kata pun.
Maaf, Mas. Kami pamit dulu ya, pamit Haniya canggung, membalikkan badan dan menuju ke pintu.
Pria itu hanya mengangguk pelan menanggapinya. Aku pun mengekori langkah kedua gadis itu sampai mereka masuk ke mobil.
Sorry ya, Al. Enggak enak nih sama Om, kita khawatir ntar lo bakalan diomelin dah, ucap Haniya agak cemas yang duduk di jok kemudi.
Iya, aku sering curhat kalau Mas Rayhan memang sering bawel kalau aku melakukan kesalahan bahkan kadang untuk kesalahan kecil. Entahlah itu aku bilang, jalan kita berbeda. Jalan pikirannya lebih kritis, sedangkan pola pikirku lebih simpel.
Enggak bakal, palingan dia juga udah langsung ke kamarnya, udah malam juga kan. Kalau besok, aku bisa menghindarinya saja sampe lu jemput aku. Eh, besok kita jadi kan ke konser band Kharisma?
Aku mencoba meyakinkan mereka kalau aku akan baik-baik saja. Padahal sejujurnya, aku tidak yakin Mas Rayhan tidak memberi petuah malam ini. Dia memang hobinya mencari kesalahan lalu menceramahiku, entah demi apa, aku tak mengerti.
Ya sudah, kalian hati-hati ya, jangan lupa chat kalo udah sampe rumah, kataku sambil membalas lambaian tangan.
Sip. Terdengar starter-an mobil Haniya sambil mengacungkan jempol lalu melaju pergi.
Setelah aku melihat mobil silver itu menjauh dan sudah terlihat pandanganku, aku masuk dan mengunci pintu utama. Aku melangkah kaki ke anak tangga, tanpa kusadari ternyata Mas Rayhan masih duduk di sofa itu, sepertinya menungguku.
Alya! panggilnya dengan suara lantang.
Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke arah suara itu. M@mpus deh, nanggapi atau kabur langsung ke kamar ya?
Bab 4
Duduk, aku mau bicara sebentar, lanjutnya, berdiri dengan kedua tangan dilipat di depan dada.
Aku jelas tahu apa yang akan dia bahas, memberi petuah malam yang tidak penting dan sangat membosankan, tentunya. Dia selalu begitu, jika menurutnya tidak cocok dari segi pandangannya maka dia akan membuat peraturan baru yang harus aku patuhi. Otoriter banget sih.
Aku capek, aku mau istirahat, balasku alasan menghindarinya sambil berjalan menuju ke anak tangga.
Berhenti! titahnya lantang, berlari menghampiri dan menahan langkahku. Posisinya sekarang ada di hadapanku, hanya ada beberapa jengkal jarak di antara kami.
Aku bisa merasakan deru napas terengah-engah saat jarak kita seperti ini. Tatapan itu sedikit tajam menusuk mataku, apakah dia marah karena aku mengacuhkan perintahnya? Aku mengalihkan pandangan ke samping, tak mau mempertahankan kontak mata itu.
Duduk dan dengarkan aku dulu, setelah itu terserah kamu mau apa, suaranya pelan tetapi tegas. Suara itu, entah mengapa membuatku sedikit takut, gugup dan akhirnya memilih untuk patuh.
Aku kembali mengayunkan kaki menuju ke sofa dengan langkah yang malas dan menghempaskan p*ntatku ke sofa yang empuk itu, memeluk bantal sofa.
Dia mengikuti langkahku dan mengambil duduk tepat di depanku. Aku tahu alasannya agar bisa melihat langsung ekspresi wajahku saat dia memberi kuliah tambahannya malam itu.
Kamu itu tuan rumah tadi. Seharusnya kamu tahu waktu dan keadaan. Dia mulai memberi kuliah malam, membuat telingaku memanas seperti letupan larva, hatiku jengkel. Sikapnya yang terlalu ke-bapak-bapak-an seolah hanya dia yang patut didengarkan.
Bagaimana perasaan orangtua mereka yang cemas menunggu putrinya belum sampe di rumah? Coba kamu bayangin aja, bagaimana kalo itu terjadi pada mama? Mama pasti akan khawatir, jika jam segini, gadis kesayangannya belum sampai di rumah. Mereka pasti akan mikir apakah terjadi sesuatu di jalan. Bagaimana keadaannya .... Panjang sekali ocehannya itu, semakin membuatku ingin merobek bibirnya.
Udah? potongku dengan pandangan kesal dan tidak membiarkan dia menyelesaikan celoteh yang terlalu posesif, menurutku.
Dia pun diam dengan tatapan sedikit sentimen. Mungkin menurutnya, aku tidak sopan memotong pembicaraannya dan tidak suka dengan sikap pembangkangku. Aku tidak pernah bersikap manis atau manja di depannya.
Bagiku, dia hanyalah orang asing yang secara kebetulan dijodohkan dan menikah denganku. Kendatipun dia adalah suami sah di mata agama dan hukum, bagiku dia tetap orang lain yang tidak berhak untuk mencampuri setiap urusan dan gerak-gerikku. Lama-lama aku bisa gil@ kalau harus hidup diatur makhluk yang namanya Rayhan ini.
Coba kamu renungkan saja apa yang kamu dan temanmu lakukan untuk malam ini, tegasnya lagi tanpa memperdulikan sikap cuek yang aku hadiahkan untuknya. Aku hanya menoleh sesekali ke arahnya sambil memainkan ponselku.
Alya, aku lagi bicara dengan kamu, bisakah kamu menyimpan ponsel itu dulu?
Pria berkacamata itu menatapku sengit, bisa kubaca aura yang tak mengenakkan di mata tajamnya. Melihat itu membuat sekujur tubuhku merinding. Aku pun menutup layar dan menggengam ponselku dengan erat. Geram rasanya harus berada di situasi seperti ini.
Aku berdehem beberapa kali sebelum aku mengutarakan isi yang ada di kepalaku.
Menurutku tidak ada yang salah dengan malam ini. Lagi pula mereka sudah pamit sama nyokap mereka dan mereka tahu anaknya ada di rumah Alya. Jadi aman terkendali. Jadi apa yang harus dikhawatirkan? sindirku sambil menunjukkan jari telunjuk membentuk huruf O menyatu dengan ibu jari. Tidak usah pikir terlalu jauh gimana-gimana. Lagi pula ini weekend, besok sabtu tidak ada kuliah. Kita udah dewasa, Mas. Bukan anak SMA lagi yang butuh dicemaskan.
Entah apa yang merasuki kepalaku sehingga kalimat demi kalimat lolos begitu saja tanpa kupikir dulu. Bomat, ah.
Kamu akan mengerti bagaimana perasaan itu kelak kalo kamu menjadi orangtua, timpalnya dengan tatapan yang tak terlepas dariku. Rona wajahnya berubah, nadanya pun dibuat selembut mungkin. Jujur, aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya yang terlalu datar, apa dia sedang marah atau mungkin sedang menyudutkan ku.
Aku menarik nafas panjang, membuang perlahan, berharap setiap kekesalanku malam ini melayang ke udara bersamaan hembusan napask. Aku menunduk karena enggan melihat kedua mata yang seolah mengintimidasi ku.
Udah? ketusku sambil berdiri tanpa melihat kedua mata yang menghujam ke ulu hati.
Ingin rasanya aku memiliki ilmu menghilang seperti pendekar kera sakti dalam serial televisi yang viral zaman 1990-an itu. Aku sudah tidak betah lama-lama di sini menghadapi pria sok ngatur yang tidak penting itu.
Pria berstatus suamiku pun ikut berdiri dengan sorotan mata tak suka. Sekilas kulirik dia mengeraskan rahang dan mengepal tangan khas orang sedang menahan amarah. Di sini siapa yang seharusnya marah, aku apa dia?
Aku mendongak sedikit ke wajahnya, niat untuk menantangnya. Namun, nyaliku tiba-tiba menciut ketika tatapan yang kudapat adalah tatapan yang seolah ingin menerkam tubuhku hidup-hidup.
Dengan sedikit keberanian yang kumiliki, aku mengayunkan kaki, berlalu meninggalkan dia yang sepertinya belum puas dengan kuliah malam itu. Aku berlari kecil menuju anak tangga dan berharap dia tidak menahan langkahku. Lagi pula apa haknya mengatur kehidupanku? Aku saja tidak peduli dengan apa yang sudah dia lakukan selama hampir satu tahun ini.
Alya, kamu mau kemana? Aku belum selesai bicara, bentaknya dan aku tidak peduli. Aku terus berlari tanpa menoleh ke arahnya lalu buru-buru masuk ke kamar dan menguncinya.
Bodo amat, bisikku pelan saat aku bersandar di balik pintu.
Aku mengatur napas yang tersengah-sengah dan mengelus dada. Sengatan kekhawatiran tiba-tiba menyusup di hati dan beberapa kemungkinan pun mulai mengganggu pikiranku.
Keberanian apa ini? Kalau nanti dia gedor pintu gimana? Atau besok kalau dia .... Tidak-tidak dia tidak bakalan berani. Setidaknya aku masih punya orangtua yang harus dia hormati. Dia tidak mungkin akan melukaiku. Aku bergidik ketika tatapan mata itu terlintas melewati benakku.
Sambil memijat pelipis, aku berjalan pelan dan memastikan dia tidak akan mengganggu dengan mengetuk pintu. Sebenarnya, belum pernah aku alami kejadian seperti malam ini. Aku hampir tidak pernah bertatap wajah dengannya. Kalau berpergian bersama, itu pun hanya sekadar acara keluarga besar saja dan sudah berapa kali? Itu pun bisa dihitung dengan jari.
Peraturan yang sudah dibuat manusia Hulk itu seperti harga mati yang harus dituruti dan dipatuhi. Aku tidak diperbolehkan menginap di rumah siapapun kecuali rumah orangtuaku, tidak diperbolehkan pulang ke rumah melewati jam sepuluh malam. Aku juga dilarang membawa teman untuk menginap di rumah ini. Dilarang keras mengunjungi pub dan minum minuman beralkohol. Selain itu, aku juga tidak diperbolehkan membawa teman pria masuk ke rumah ini kecuali kak Arkan, kakak kandungku.
Gini banget ya, nasibku.
Bab 5
Boleh aku duduk di sini ? Mas Rayhan meminta izin sebelum mengambil posisi duduk di sisiku seraya menyodorkan jus jeruk.
Aku mengangguk memberi izin dan mengambil jus jeruk yang ditawarkan. Lalu, kuletakkan jus berwarna jingga itu di atas meja. Aku tidak haus, aku hanya butuh ketenangan saat ini.
Malam pertunangan semua orang seharusnya merasakan kebahagiaan, tetapi tidak dengan hatiku. Acara itu terkesan mendadak sekali. Bahkan, keinginan menikah karena perjodohan kedua keluarga besar yang sudah direncanakan tanpa sepegetahuanku. Kata mama, masalah ini sudah dipikirkan sejak aku masih di bangku SMA. Mereka sengaja tidak memberitahu karena khawatir akan mengganggu kelulusanku. Lagipula waktu itu, calon suamiku tengah menyelesaikan tesis S2-nya di negara Paman Sam.
Kuliah semester berapa sekarang?
Aku tersadar dari lamunan saat dia melontarkan pertanyaan basa basi itu. Sebenarnya aku yakin dia sudah mengetahui banyak hal tentangku. Pertanyaan itu hanyalah alasannya untuk bisa mengajak aku berbincang.
Semester empat.
Aku menjawab singkat tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Aku muak, benci dan kesal dengan pria itu. Mengapa tidak ada penolakan darinya? Kenapa sepertinya, hanya aku saja yang menangkis perjodohan Siti Nurbaya ini?
Bukannya aku dengar dari kak Arkan , dia mahasiswa lulusan luar negri dengan IP tertinggi di kampus? Orang berpendidikan tetapi mengapa pemikiran dan pandangannya masih kedaluwarsa, mau saja dijodohi dengan gadis yang belum dikenal sama sekali untuk dijadikan istri. Pikiranku pernah terbesit tentang dirinya, jangan-jangan dia tidak tahu bagaimana cara berhubungan dengan lawan jenis.
Jurusan? Dia masih terus menimpali pertanyaan yang membuatku malas menjawabnya. Untung saja, dia bertanya dengan sopan dan nada lembut. Bisa saja, dia sedang ingin mengambil hatiku, entahlah.
Kedokteran, jawabku kembali singkat, hanya menatap ke arah minuman dingin yang belum aku cicipi sedikitpun.
Lagi pula aku cukup yakin meskipun aku tidak menjawab pertanyaan itu, dia sudah tahu jurusan yang aku ambil. Pintar sekali dia mencairkan suasana tetapi sayang, saat ini aku sama sekali tidak minat mengobrol dengan siapapun, terutama dia.
Sepertinya kamu keberatan dengan perjodohan ini?
Pertanyaan ini membuatku sedikit kaget. Spontan aku meliriknya dengan ekor mata lalu berpaling cepat ketika aku mengetahui ternyata mata itu tengah mengawasaiku. Mungkin dia membaca cara jawabku yang singkat dan acuh. Atau mungkin dia bisa membaca apa isi hatiku. Hebat sekali dia.
Hm.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Walaupun berkata jujur, itu tidak bakal membatalkan pernikahan yang akan dilangsungkan satu bulan lagi sesuai hasil rundingan kedua keluarga besar tadi.
Aku hanya belum siap saja. Kamu tahu aku masih berusia sembilan belas tahun, masih terlalu muda untuk menikah. Sementara teman-temanku masih bisa menikmati masa muda dengan kebebasan, sedangkan aku sudah harus menyandang status istri. Belum lagi ....
Aku memotong kalimatku, serasa ada kerikil yang mengganggu tenggorokan. Apa aku harus jujur kalau aku kecewa jika dengan terpaksa aku harus berhenti kuliah setelah pernikahan nanti?
Belum lagi? Pria yang sedari tadi duduk di samping dan memperhatikan setiap gerakku, mengulangi kalimat dan sepertinya dia sedang menunggu kelanjutannya.
Aku tak berani menatap pria asing itu yang mungkin sedang menatap lekat ke arahku. Kupalingkan wajah ke arah keberadaan kedua orangtua kita yang sedang tertawa bahagia di meja panjang itu. Mereka bahagia di atas penderitaanku.
Kuliahku. Aku menjawab seadanya, tak mampu berkata-kata lagi.
Iya, kenapa dengan kuliahmu?
Kamu tahu, aku harus mengikuti ujian negara untuk bisa masuk ke jurusan dan universitas sebagus itu dan tidak semua orang yang bisa diterima di sana. Aku merasa beruntung bisa menjadi bagian di kampus itu. Kini aku tengah masuk semester 4, masih butuh beberapa tahun lagi untuk mendapatkan gelar sarjana. Ada rasa gimana gitu, kalo aku terpaksa harus berhenti setelah menikah nanti.
Lega hatiku setelah mengungkapkan keluh kesah kepadanya. Aku berharap dia mau mengerti, setidaknya membatalkan pernikahan yang mendadak ini. Aku belum siap menghadapi semua ini. Berkali-kali aku mengambil nafas panjang dan membuangnya pelan.
Kenapa harus berhenti?
Dia malah bertanya balik kepadaku. Apa dia sedang menjebak aku atau sedang berpura-pura tidak tahu. Kemarin aku membahas tentang kelanjutan kuliah yang akan aku jalani dengan papa, beliau bilang setelah menikah, semua keputusan ada di tangan suamiku. Jadi, yang berhak memutuskan apakah aku melanjutkan kuliah atau tidak, itu tergantung pada Mas Rayhan.
Maksudnya aku boleh melanjutkan kuliahku sampai sarjana? Aku mencoba menerka apa yang ada di pikirannya. Mudah-mudahan saja yang kutebak ini benar.
Iya. Dia menjawab singkat dan refleks aku menoleh ke arah lawan bicaraku yang menyetujui aku untuk melanjutkan pendidikan yang sudah menjadi cita-citaku sejak kecil.
Aku speechless, aku hilang kata. Apa aku harus mengucapkan terima kasih atas keputusannya? Ah, tetapi kenapa sulit bagiku untuk mengucapkan dua kata itu. Egoku terlalu tinggi untuk mengungkapkannya.
Kalo soal itu, kamu tidak usah khawatir, kamu boleh lanjutkan kuliahmu sampai selesai. Aku tidak akan melarangmu. Dia menegukkan jus yang dipegang sedari tadi, pandangannya tidak ke arahku.
Tanpa sadar aku menyunggingkan senyuman tipis seketika karena aku merasa masa depanku ternyata tidak terlalu buruk. Aku masih bisa menggapai cita-citaku menjadi dokter. Kendatipun impianku bukan pernikahan karena dijodohkan. Aku menginginkan pernikahan dengan cinta pada pandangan pertama dimana kita saling jatuh cinta seperti film Romeo dan Juliet yang terkenal sangat romantis.
Ohya, ada satu hal. Dia melanjutkan kalimat dan sorot mata menyapu wajahku. Keningnya berkerut seolah akan mengatakan sesuatu yang penting.
Setelah kita menikah nanti, kamu tidak usah khawatir akan kebebasan dan kehidupan, asal ada batasannya. Kamu tidak perlu parno dengan setiap kewajiban yang harus kamu laksanakan. Aku tidak akan menagih hakku sampai kamu benar-benar bisa menerima komitmen pernikahan ini.
Aku memperhatikan setiap detail mimik wajah yang serius saat dia mendeskripsikan kalimat itu. Ya, setidaknya aku tenang kehidupanku selanjutnya, dia memberi ruang kebebasan, tetapi ada batas? Apa maksudnya? Entahlah, terserah dia saja. Aku tidak peduli dengan komitmen yang dimaksud.
Ngomong-ngomong kenapa Mas Rayhan tidak menolak perjodohan aneh ini? Lagi pula masih banyak gadis lain yang lebih dariku. Jujur, aku sudah beberapa kali menolak, tapi keputusan papa itu kayaknya harga mati, tidak bisa aku bantah. Tapi kalau Mas Rayhan menolak, bisa jadi pernikahan ini tidak usah diteruskan.
Aku berucap dengan hati-hati biar dia tidak tersinggung atau berpikir yang macam-macam. Aku masih menaruh harap ada keajaiban dimana dia yang mengusulkan untuk membatalkan perjodohan itu. Barangkali semuanya akan mulus jika dia yang meminta.
Tidak ada tanggapan apapun darinya. Dia hanya mengulum senyuman yang menawan, tetapi tetap saja aku belum berminat untuk membuka hati untuknya. Aku terlanjur menyukai kakak seniorku, Kak Imran. Aku pun yakin dia memiliki rasa yang sama denganku.
Sesekali aku mencuri pandang ke arah calon suamiku itu. Dia masih bungkam dan menyandarkan punggung ke sofa tempat kita duduki, menerawang jauh, entah apa yang ada di pikirannya. Aku merasa hambar bersamanya bagai ind0mie kuah tanpa bumbu.
Bagaimanapun dia adalah makhluk asing, baru beberapa kali aku bertemu dia di acara keluarga besar kala aku masih kecil. Itu pun sudah lama sekali, mungkin saat aku duduk di bangku SD atau SMP.
Saat itu pun kita tidak pernah bermain ataupun sekadar berbincang. Hanya bertegur sapa dan senyum kala kita berpapasan. Terakhir kita bertemu di acara sweet seventen-ku dimana aku mengundang beberapa teman dekat sedangkan papa mengundang saudara dan kerabat dekat saja.
Aku tidak begitu mengingat kejadian kala itu, tetapi sekilas aku melihat keberadaan Mas Rayhan di pesta itu. Dia bergabung dengan keluarga besar, sedangkan aku berkumpul dengan teman yang kuundang.
Sampai sekarang aku belum menemukan jawaban alasannya tidak menolak pernikahan karena perjodohan ini. Apakah dia memang tipe anak yang berbakti pada orangtua atau jangan-jangan? Ah, aku tidak boleh berprasangka buruk terhadap orang lain.
Aku menarik dan memeluk bantal pink berbentuk hati yang ada di sudut kasur. Hadiah ulang tahun sweet seventeen yang tidak kuketahui siapa pengirimnya. Bantal ini dibungkus dengan rapi yang dilengkapi dengan kartu ucapan yang berisi kalimat berbahasa Inggris.
Aku bergegas beranjak dari kasur menuju ke meja belajar. Aku membuka laci meja dan mencari kartu ucapan yang masih kusimpan di buku diary-ku.
Saat kubuka kembali kartu berukuran 15cm x 15cm berwarna biru dongker, tanpa sengaja aku menarik tipis kedua sudut bibirku ketika membaca kalimat itu dalam hati.
Thanks for helping me know love and teaching me how to love someone sincerely
Kalimat itu ditulis dengan rapi. Jujur, aku masih penasaran dengan orang yang telah mengirim bantal dan kartu itu. Sudah empat tahun berlalu, tetapi aku masih belum mendapatkan siapa orang iseng yang sengaja membuat aku ke-ge-er-an.
Bab 6
Flash back
Hai, pengantin wanita manyun aja dari tadi diperhatiin.
Lamunanku terurai ketika mendengar suara yang cukup akrab di telingaku. Sosok pria yang tampan yang selalu menjadi tempat bermanja saat aku butuhkan. Dia kak Arkan Setyawan, kakak kandungku. Lalu, dia mengambil posisi tepat di kursi samping aku duduk.
Aku memberi senyuman tipis tidak berekspresi, hari itu aku tidak berminat berbicara dengan siapapun. Aku dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Seusai prosesi ijab kabul tadi, dilanjutkan perjamuan makan dengan saudara dan rekan kerja kedua keluarga. Beberapa teman Mas Rayhan pun tampak hadir sedangkan Haniya dan Eliza tak kuijinkan datang dalam perjamuan itu. Hari itu bukanlah hari bahagia yang patut dirayakan.
Masih belum bisa menerima kenyataan? godanya, menyikut lenganku sambil terkekeh.
Apaan sih? ucapku dengan nada kesal. Aku memajukan bibir beberapa centi. Aku tahu dia sedang menggodaku.
Kadang aku mikir, kenapa ya, Papa egois banget. Seakan-akan dia bahagia di atas penderitaanku. Aku melanjutkan tanpa menghiraukan dia yang masih menertawakanku.
Hush, kamu ngomong apa, sih? Kak Arkan memotong kalimatku. Sepertinya dia tidak setuju dengan pernyataanku.
Menderita gimana? Kak Arkan mulai serius, aku bisa baca dari ekspresi di wajah itu, tatapannya mendetail ke dalam sorot mataku.
Kak Arkan 'kan tahu, aku tidak mau pernikahan ini. Papa seakan-akan memperalat aku sebagai bahan transaksi bisnisnya saja.
Akhirnya aku mengutarakan isi hatiku. Ini pertama kalinya aku memberitahu kepadanya. Akhir-akhir ini Kak Arkan sibuk ke kantor membantu mengurus pekerjaan kantor, jabatannya manajer pemasaran. Seusai selesai S2, dia menggeluti bisnis bersama papa.
Alasan kamu menolak pernikahan ini, apa? Takut tidak bisa melanjutkan kuliah? Tuh, aku denger, Rayhan sudah setuju kamu tetap lanjutin kuliah sampai selesai, bahkan katanya dia yang akan membiayai kuliahmu. Apa lagi alasannya?
Dia membenarkan posisi duduk dan mencondongkan tubuh ke arahku. Mungkin agar bisa mendengar ucapanku dengan jelas. Ruangan itu dimeriahkan penyanyi yang diundang wedding organizer kami, membuat suasana menjadi sedikit riuh.
Bukan masalah itu, Kak Arkan enggak bakal ngerti perasaanku, sahutku cepat.
Iya, bukan soal lanjut dan biaya kuliah, aku hanya merasa beban status istri di usia dini. Aku tidak mau teman kuliah tahu kalau aku diam-diam menikah dengan pria yang jauh lebih dewasa dariku. Lagi pula sebenarnya aku sudah punya tambatan hati, kakak seniorku, Kak Imran. Meskipun aku tahu Eliza juga diam-diam suka dengan senior kita itu.
Cinta? Kalian tidak saling cinta, trus disatuin oleh tali pernikahan? Kuno, itu mah. Cinta bisa tumbuh dengan sendirinya beriringan dengan waktu. Kalian bisa saling mengenal saat kalian sudah berada dalam satu atap nanti. Masih banyak waktu untuk membangun hubungan, jelas Kak Arkan bak seorang psikolog yang membuatku mual seketika.
Ya mau aku sebelum nikah, ya kita pacaran dulu kek, saling kenal dulu. Biar bisa tahu, kita tuh cocok apa enggak.
Sebenarnya itu adalah alasan klise yang aku tambah-tambahkan. Bukan itu inti dari permasalahanku. Mungkin usiaku masih 19 tahun waktu itu, aku masih ingin bersenang-senang menikmati masa muda kayak teman seusiaku.
Cocok. Kak Arkan menyela dengan cepat.
Tidak usah pacaran-pacaran segala kayak ABeGe aja. Toh, banyak yang pacaran sampai beberapa tahun, akhirnya putus juga. Pacaran tidak menjamin bisa sampai ke jenjang pernikahan, oceh Kak Arkan, sama sekali dia tidak setuju dengan pandanganku yang harus berpacaran dulu baru menikah.
Aku tidak menanggapi ocehannya. Aku menyapu sekeliling ruangan dan sorot mataku berhenti pada wanita muda nan cantik dengan gaun mahal yang membalut sempurna di tubuh mungilnya. Wanita itu terlihat sangat anggun dengan riasan wajah yang cocok dengan usianya. Dia berdiri, tersenyum yang tak terlepas dari wajah oval, menemani ibu tiri Mas Rayhan. Agnes namanya, adik tiri Mas Rayhan. Sepertinya umurnya gak jauh denganku.
Hey, kamu masih mendengarkanku? Kak Arkan mengibas tangan di depan wajahku.
Eh, iya. Aku berkedip beberapa kali lalu menoleh ke wajah ganteng lelaki berjas hitam itu.
Eh, yang aku tahu Rayhan itu pria yang baik, pintar, sopan, bertanggungjawab. Aku kenal dia. Dia 'kan seniorku waktu kuliah S2 di Amrik, puji Kak Arkan membuatku memalingkan pandangan ke arah suamiku yang sedang berdiri di tengah ruangan, bercengkrama dengan beberapa rekan kerja yang hadir.
Selain itu, dia juga sering berprestasi di bidang olahraga, juara renang se-kampus dan tim basketnya jadi tim favorit yang suka ikut pertandingan antar kampus. Kak Arkan terus memujinya.
Asal kamu tahu, yang Rayhan cari bukan pacar, tapi istri. Kepribadian, umur, dan jiwanya sudah matang. Kalimat itu adalah kalimat penutup pembicaraan kami.
Jujur, aku tidak tertarik apapun tentang lelaki yang sudah berstatus suamiku itu. Aku juga bosan mendengar Kak Arkan berkali-kali mengumbar kelebihannya. Aku tahu maksud baik di balik semua ini, yaitu agar aku bisa membuka hati untuk seniornya itu.
Terpaut sepuluh tahun usia antara kami akan menyulitkan aku beradaptasi untuk memulai hubungan. Belum apa-apa aku sudah parno sendiri dengan apa yang ada di benakku. Aku khawatir pria itu akan memperlakukan aku seperti anak-anak yang akan mengatur hidupku. Dan, itulah yang terjadi sekarang. Manusia Hulk itu selalu mengatur apapun yang aku lakukan, buktinya ya seperti malam kemarin kala aku mengajak kedua temanku nobar di rumah sampai larut malam.
Pi, aku pulang duluan ya pamit Mas Rayhan ke papinya setelah semua tamu pulang.
Iya, malam ini aku akan ikut dia pulang ke rumahnya. Sudah setahun ini Mas Rayhan memilih pindah dan tinggal sendiri di rumah yang dia beli sendiri.
Iya, hati-hati di jalan ya. Papi menepuk lengannya. Ada kebanggaan di raut wajah yang tertuju kepada anak sulungnya.
Pa, Ma, aku bawa Alya, ya. Dia minta izin ke Papa dan Mamaku.
Di sini kulihat ada senyuman yang terbit di wajah papaku.
Titip Alya, ya, pesan Papa diangguki Mas Rayhan mantap.
Pasti, Pa, tenang saja. Terlihat santai dia menanggapi pesannya, untuk sepersekian detik kita saling melempar pandang, lalu buru-buru aku berpaling ke arah Mama.
Sementara tangan Mama terulur menunggu pelukanku. Hari ini pertama kalinya aku harus pisah rumah dengan keluargaku. Rasanya seperti mimpi, belum sanggup aku harus hidup bersama dengan orang asing itu.
Jadi istri yang baik, patuh dan berbakti pada suamimu. Ucapan itu bersamaan dengan belaian lembut di punggungku.
Ah, kenapa aku jadi melow gini? Aku menahan agar air mata itu tidak jatuh. Aku berusaha tegar walau sebenarnya rongga di dalam sudah rapuh.
Setelah sesi berpamitan, aku dan Mas Rayhan memutar badan dan melangkah ke pelataran parkir. Di sepanjang perjalanan kita ditemani dengan keheningan yang panjang, aku hilang kata dan dia fokus dengan jalan yang di depan. Untungnya jalan tidak begitu ramai, hanya butuh dua puluh menit kita telah sampai di rumah.
Malam ini untuk pertama kali aku menginjak di rumah minimalis dengan cat dinding putih, kusen berwarna cokelat. Halaman rumah yang tidak begitu besar tetapi bisa menampung dua mobil.
Aroma melati itu menusuk rongga penciuman saat aku turun dari mobil. Daun pohon jambu bergoyang tertiup angin seolah menyambut kedatanganku. Begitu pula dengan para kodok da jangkrik yang saling bersahutan kala aku memasuki teras. Ah, rumah ini memang cukup nyaman untuk kutempati.
Hai, Non. Kalau butuh apa-apa, kasih tahu Bibik ya, Bibik siap membantu. Sapaan Bik Ima kala itu saat Mas Rayhan memperkenalkan asisten rumah tangga yang sudah dianggap keluarga olehnya.
Ini kamarmu.
Mas Rayhan mengantarkan aku di suatu ruangan lantai dua. Aku melangkah masuk dan menyapu sekeliling ruangan yang didominasi warna kayu yang minimalis. Pandanganku tertuju kasur ukuran queen yang dibalut sprei bermotif bunga berwarna merah jambu, meja dan kursi yang letaknya di sudut kamar, lemari yang ada di samping meja dan dilengkapi dengan kamar mandi.
Aku menghormati semua keputusanmu dan aku akan sabar menunggu hatimu terbuka untukku.
Ucapan itu terlisan di bibirnya. Namun, aku enggan berpaling ke sumber suara. Lidahku kaku dan bibirku seolah terkunci. Kaki yang tempatku berpijak seolah diberi lem alteco membuatku sulit untuk bergerak sampai setelah dia meninggalkan tempat itu.
Selamat malam dan selamat istirahat.
Itulah kalimat terakhir yang aku dengar sebelum pintu ditutup kembali dan bayangannya pun tak terlihat lagi.
Bab 7
[Girls, jangan lupa hari ini Band Ksatria konser mini di kafe Mansion, jam lima aku jemput ya. Kalian siap - siap ya]
Satu pesan masuk dari Haniya di Whatsapp group.
Iya, tiket konser itu sudah lama kita beli dan jadwalnya malam Minggu ini pukul 06.00 sore.
Setelah selesai membersihkan diri dan merias wajah dengan polesan bedak dan lipstik yang minimalis, aku pun keluar kamar dengan menenteng tas jinjing berwarna cokelat. Aku menuruni anak tangga sambil mengedar pandang ke sekeliling ruang tamu dan berharap tidak menemukan sosok Mas Rayhan di sana.
Lalu, aku melanjutkan langkah ke daerah dapur dan mendapatkan Bik Ima yang sedang menggoreng pisang.
Wah, sudah rapi dan cantik aja, Non. Mau kemana? sapa Bik Ima ketika menyadari kehadiranku.
Mau tahu aja, si Bibik, mah, godaku sambil mencomot pisang goreng yang sudah tersaji sebagian di meja.
Main ama Non Haniya dan Non Eliza, ya? tebak Bik Ima asal. Aku tahu sebenarnya Bik Ima sedang mencari tahu agar dia bisa melapor ke Mas Rayhan, ke mana aku pergi.
Aku mengangguk, tuh, tahu. Dengan siapa lagi kalo bukan sama mereka, Bik? Soulmate Alya kan cuma mereka.
Udah pamit ama Mas Rayhan? tanya Bibi lagi sambil membalikkan tubuh, menengok ke arahku.
Aku menggeleng-geleng sambil menoleh ke sana ke sini, mencari sosok pria itu.
Mas Rayhan kemana, Bik? Tumben jam segini tidak kelihatan.
Pagi-pagi Mas Rayhan sudah ke kantor, ada rapat dadakan ama klien katanya, mungkin bentar lagi juga pulang, Non. Biasanya kalau Sabtu pergi ke kantor, ntar pulangnya siang apa sore, ujar Bik Ima panjang lebar. Iya, dialah yang lebih tahu tentangnya karena dia selalu memperhatikan majikannya itu.
Oh. Aku membentuk huruf O di bibirku tanpa bertanya lagi.
Kadang Bibik kasihan sama Mas Rayhan, Non. Sehari-hari kerjaannya suka lembur, pergi pagi, pulang malam terus, kalau weekend kayak gini suka ngantor juga. Tidak ada istirahatnya.
Aku diam mendengarkan keluhan Bik Ima. No comment. Intinya sih, aku tidak begitu peduli dengannya. Komitmen di awal pernikahan adalah tidak saling mengurusi kehidupan masing-masing.
Sejak Mas Rayhan pindah ke kantor baru, Bibik perhatikan dia jadi agak sibuk. Bibik cuma khawatir, dia tidak perhatiin jam makannya. Entar maag-nya bisa kambuh lho, Non, kata Bibi dengan nada cemas, dia menutup kompor dan duduk di sampingku. Aku bisa membaca raut wajah prihatin seperti seorang ibu ke anaknya.
Mas Rayhan sudah gede, Bik. Aku yakin dia bisa jaga diri sendiri, percaya aja, deh.
Aku berusaha memberi kalimat positif kepadanya agar dia tidak perlu cemas seperti itu. Memang benar kan, umur Mas Rayhan sudah kepala tiga, harusnya dia sudah tahu mana yang baik dan buruk. Apa yang harus dilakukan dan yang tidak. Masa hanya urusan makan saja, dia tidak bisa mengaturnya.
Bibik cuma khawatir aja, Non. Bibi kenal betul Mas Rayhan. Sejak maminya meninggal, 'kan Bibik yang urus Mas Rayhan. Dia cenderung menjadi pendiam dan tertutup banget. Dulu waktu kecil, saat dia sakit, dia tidak mau kasih tahu Bibi. Dia menahan sakit itu sendiri, sampai bibik lihat wajahnya pucet banget. Akhirnya Bibik minta Tuan Latif bawa ke rumah sakit. Bik Ima bercerita dan mengenang masa kecil majikannya. Aku hanya menyimak sambil mangut-mangut.
Iya, setahuku, mami Mas Rayhan sudah meninggal sejak dia masih berusia sepuluh tahun karena kanker serviks. Lalu, papinya menikah lagi dengan Tante Irma dan mempunyai anak gadis bernama Agnes. Namun, Tante Irma itu adalah ibu tiri yang lembut, bukan ibu tiri yang kejam seperti cerita di sinetron ikan lele terbang.
Tak lama berselang, terdengar suara klakson mobil di luar halaman. Suara klakson itu cukup familiar di telingaku, seperti suara mobil Haniya. Apa mungkin dia sudah datang menjemputku?
Bik, Alya pergi ya, Bye. Aku pamit setelah meneguk air minum dan mengambil tas yang kuletakkan di meja.
Jangan lupa, pamitan ama Mas Rayhan, Non, saran Bik Ima setengah berteriak setelah aku melangkah ke luar.
Iya, kataku sambil bergegas keluar, membuka pintu penumpang dan masuk ke dalam mobil, yang di sana sudah ada Eliza.
Hai, girls. Cuzz, sapaku.
Gimana semalam, Al? Aman? Haniya menanyakan soal semalam sebelum dia melajukan mobil.
Amanlah. Iya, aku berdusta seakan-akan tidak terjadi apapun, mereka tidak perlu tahu kalau suaminya memberi kuliah malam kepadaku.
Setelah itu, mereka menggantikan topik pembicaraan yang membuat hatiku lega. Ngapain juga bahas tentang pria itu.
๐๐๐
Sampai di kafe, kita seru-seruan, mengobrol dan menikmati makan malam sambil mendengarkan lagu Band Ksatria. Dalam acara itu ada games dan kuisnya, membuat acara semakin meriah. Rata-rata yang hadir di cafe itu adalah anak muda yang merupakan penggemar Band Ksatria. Ada pula sebagian orang-orang yang sekadar nongkrong untuk menghabiskan weekend-nya saja.
Semalam yakin lo enggak pa-pa? Haniya membuka pembicaraan setelah acara kuis itu selesai.
Ya, enggak pa-pa. Lagian ngapain kalian bahas masalah itu lagi di sini. Bikin bad mood aja.
Aku sebal kalau harus membahas tentang dia di sini. Aku mengunjungi cafe ini untuk bersenang-senang, menghilang penat karena di rumah tidak banyak yang bisa aku lakukan, tidak ada kesenangan di sana.
Kulihat mereka berdua akhirnya diam sambil tangan mengaduk jus mangga yang masih dingin. Sesekali mereka memasukkan cemilan ke mulut dan melempar pandang ke arah penyanyi yang masih ada di sudut ruangan itu untuk beristirahat.
Eh, kalian udah satu tahun menikah?
Tuh, kan, Haniya masih bahas tentang aku dan suamiku.
Belum, masih 11 bulan, jawabku mengira-ngira, kalau aku tidak salah ingat.
Iya, maksudku udah hampir satu tahun tinggal di satu atap, serius kamu belum ada perasaan apa-apa ama suamimu itu? tanya Haniya sembari menaikkan salah satu alisnya. Dia ingin tahu banget, kayaknya.
Aku hanya menaikkan kedua bahu bersamaan, malas menanggapinya. Aku menyeruput jus stoberi yang baru diantar pelayan.
Nanti keburu disamber cewek lain lho. Btw, Lo sadar enggak sih, Mas Rayhan-mu itu udah ganteng, tajir, masih muda, enggak pelit, badannya perfecto, pinter, pekerja keras. Aku yakin banyak cewek klepek-klepek ama dia. Nyesel ntar lo, Al kalo itu terjadi.
Entah apa maksud Haniya menyatakan hal ini kepadaku. Sejak kapan dia berpihak kepadanya. Jangan-jangan dia hanya meledekku saja. Lagi, aku hanya bungkam, kutolehkan mata ke arah sekeliling tamu yang tak kukenal itu. Aku hanya mengalihkan pandangan saja, tidak mau menyahuti apapun yang ditujukan wanita berkacamata itu.
Kalo dia bukan suamimu, mungkin aku akan menebar pesona ke dia. Mana tahu dia bisa jatuh di pelukanku. Saat itu, aku tidak akan melepaskannya. ujar Eliza menimpalinya sambil senyum tak jelas.
Ngaco kalian berdua. Spontan kalimat itu lolos di bibirku. Entah kenapa aku keceplosan mengatakan itu.
Kenapa? Lo tiba-tiba takut?
Sepertinya Haniya menantangku. Aku meringis menggeleng, rasanya tak masuk akal kalau sahabatku mau menikung aku, kan?
Ayolah, Al. Coba buka gerbang hatimu sedikit buat Mas Rayhan-mu itu. Tidak ada salahnya mencoba, saran Haniya dan Eliza ikut memberi anggukan setuju.
Lagian nih ya, kalian 'kan sudah sah suami istri secara agama dan hukum. Jadi, wajar kalau kalian belajar saling cinta, saling memiliki. Haniya makin cerewet dan Eliza masih mengangguk-angguk tanda setuju dengan penyataan Haniya.
Emang kamu lagi suka ama cowok lain?
Haniya membidik curiga. Mata mereka menatapku bak seorang polisi sedang intrograsi penjahat yang habis ketangkap basah. Apa mereka tahu kalau aku suka sama Kak Imran?
Aku mendengus kesal dengan tatapan yang mereka berikan padaku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali.
Sapa? tanya mereka serentak.
Enggak ada, latahku cepat. Aku tidak boleh sampai ketahuan tentang perasaanku ini, bisa rusak persahabatanku dengan Eliza yang juga terang-terang suka sama Kak Imran juga.
Tuh, enggak ada. Yang udah, tidak ada salahnya kamu membuka hatimu untuk Mas Rayhan-mu, jawab Haniya lagi. Lebih baik aku diam daripada nanti keceplosan.
Kalian pernah nge-dated? tanya Eliza pelan sambil mendekat dan meneliti wajahku. Entah apa yang dia lihat di wajahku, apa ada kutil apa jerawat ya?
Kencan? tanyaku sambil mikir lalu menggeleng.
Sekalipun tidak pernah? Haniya ingin memastikan.
Iya, tidak pernah. Kita pergi bersama saat ada acara keluarga besar saja. Akhirnya aku mengakui hal itu. Iya, saat ada acara keluarga seperti acara tahun baru, acara ulangtahun Agnes, itu acara yang terakhir kita kunjungi.
Kamu tahu makanan kesukaannya? tanya Haniya dan aku menggeleng.
Warna kesukaannya? Giliran Eliza yang tanya. Kembali, aku menggeleng. Aku sama sekali tidak tahu tentang dirinya. Bahkan, aku tidak pernah kepikiran untuk mencari tahu.
Tanggal lahirnya? Awas kalo lo tidak tahu juga ya, ancam Haniya dengan mata sedikit melotot. Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya dan lagi, aku menggeleng.
Ya amplop, Al. Kebangetan kamu. Ke mana saja kamu selama ini? Haniya tepok jidatku dan aku meringis kesakitan sambil mengusap kening.
Haniya menarik napas panjang sebelum memberi ceramah panjangnya.
Memang kita tahu, kamu tidak mau pernikahan ini, tapi ini udah terlanjur terjadi, Al. Terus kamu bisa apa? Gugat cerai? Mau jadi janda muda? Sementara aku lihat, Mas Rayhan tidak buruk-buruk amat dan tidak melakukan kesalahan apa-apa. Dia normal, tidak cacat atau masih melakukan kewajiban sebagai suami, nafkahi lo. Lagi pula kasus kayak kalian itu sudah banyak di luar sana. So, what's wrong? Awas, jangan sampe nyesel kalau suatu saat nanti, ada perempuan lain yang hinggap di hati suamimu itu.
Suami? Suami siapa?
Spontan ketiga pasang mata kita melotot ketika melihat sosok Kak Imran, sang Gebetan menghampiri meja dengan wajah penasaran.
Nah, lho, ketahuan kan? Berabe dah.
Bersambung.
Diam-Diam Menikah (8)
Kusembunyikan pernikahanku dari dunia
Aplikasi sudah tamat ya.๐
Suami? Suami siapa?
Spontan ketiga pasang mata kita melotot ketika melihat sosok Kak Imran, sang Gebetan menghampiri meja dengan wajah penasaran.
Mateng deh kalau Kak Imran tahu kalau aku sudah menikah. Gara-gara Haniya sih, tidak melihat situasi dan kondisi di sekitar.
Eh, bukan itu suaminya tanteku yang ada di Semarang.
Mulut Haniya berbohong dengan mulus kayak jalan tol tanpa hambatan untuk mencari alibi. Wanita itu memang is the best, menurutku. Dia pintar menyesuaikan sikon apapun. Jantungku yang sudah berpacu tiga lebih cepat tak bisa berkata apapun tadi. Aku menjadi kikuk karena takut ketahuan kalau aku diam-diam sudah menikah.
Oh. Sepertinya Kak Imran percaya dan tak ada tanda-tanda curiga.
Kalian di sini juga ternyata. Nge-fans dengan Kharisma juga? tanyanya, menarik kursi dan duduk di sampingku tanpa minta permisi.
Ya, lumayan buat ngehabisin waktu weekend. Aku menjawab seadaanya sambil melirik sikap Eliza yang salah tingkah dari tadi sejak kehadiran pria berkemeja marron itu.
Kami berempat pun terlibat perbincangan ringan tentang apapun di meja itu. Eliza lebih inisiatif menanyakan banyak hal kepada Kak Imran. Senior itu pria yang supel, pintar beradaptasi dengan semua keadaan. Wajah tampan dengan mata sedikit sipit karena dia blasteran Jawa dan Korea. Kulit putih dan rambut cepak menambah kemolekan di wajahnya.
Eh, sudah malam banget nih, aku anter pulang ya? Dia melirik sekilas ke benda yang melingkar di pergelangan tangan.
Eh, iya lho, udah jam sepuluh. Haniya pun ikut melirik jam tangannya.
Serius?
Aku menarik tangannya dengan paksa untuk memastikan. Mati aku, kalau benar. Kita jadi lupa waktu. Peraturan yang dibuat Mas Rayhan salah satunya adalah paling telat jam sepuluh aku harus sampai di rumah. Aku menjadi panik ketika aku melihat jarum jam itu memang sudah menunjukkan angka sepuluh lewat dikit.
Astaga, yuk, Han, Liz, kita pulang. Aku berdiri, menarik tangan kedua temanku. Tiba-tiba sengatan kecemasan muncul di rongga dada. Aku tak mau menjadi mahasiswa yang duduk manis, mendengar kuliah malam dari suami di Monster Hulk itu.
Al, aku antar ya? Kak Imran mencekal lenganku dan refleks aku menepisnya cepat. Sesaat mataku melirik ke arah Eliza yang juga menatapku dengan wajah kecewa.
Tidak usah, Kak. Makasih, aku bareng Haniya saja. Aku menolak dengan halus dan menghadiahkan senyuman tipis.
Kalau saja tadi aku belum menikah, mungkin aku akan menerima niat baiknya. Namun, semua sudah berubah, aku sudah diam-diam menikah. Aku tak bisa membayangkan reaksi Mas Rayhan jika benar dia mengantarku malam ini.
Namun, kalau aku memikirkan perasaan Eliza, aku tetap akan menolak ajakan itu. Biarkan aku mengorbankan perasaan daripada aku kehilangan sahabatku.
Tidak apa-apa, Al. Aku juga mau sekalian pulang, biar aku tahu rumahmu.
Aduh, bisa berabe nih kalau dia maksa terus.
Enggak pa-pa, Kak. Alya bareng aku aja. Enggak enak kan, tadi perginya bareng aku, pulangnya sama siapa. Nanti enggak enak ama ortunya. Haniya memang pintar berdusta untuk meyakinkan lawan bicaranya.
Oh, gitu. Kalau gitu, aku tidak maksa lagi. Entar kapan-kapan baru aku main ke rumahmu, ya.
Ada raut kekecewaan di wajah oval itu. Maaf, Kak, aku tidak mungkin mengajak kamu mampir ke rumah suamiku. Bisa-bisa Mas Rayhan menggolok leherku karena melarang salah satu peraturannya.
Kak, kita duluan ya. Aku mendengar samar-samar Eliza sempat berpamitan ketika kita sudah melangkah jauh dan keluar dari cafe.
Sepanjang jalan, aku panik dan gugup. Aku menyesal karena aku begitu ceroboh sampai tidak ingat waktu. Namun, kedua sobatku tidak berhenti menenangkanku.
Tidak pa-pa, Al. Entar kamu jelasin kalau jalanan macet makanya kamu telat pulangnya. Lagi pula ini kan weekend, dia pasti maklum, kata Eliza dengan polos.
Ah, dia belum tahu Mas Rayhan. Pria itu tegas, pantang baginya untuk melanggar salah satu peraturan yang sudah dibuat untukku. Telat pulang lewat jam sepuluh bukan satu dua kalinya aku langgar. Namun, apa? Dia akan memberi ceramah panjang lebar sebelum mengizinkan aku masuk ke kamar.
Enggak mempan alasan itu, ini bukan pertama kalinya aku melanggar peraturannya, telat gara - gara macet itu udah menjadi alasan basi. Bakal disemprot lagi aku malam ini. Aku menjelaskan apa yang akan terjadi padaku malam ini.
Haniya hanya diam karena matanya fokus menyetir mobil. Aku tahu dia sudah berusaha mempercepat laju mobil, tetapi jalanan memang sedang ramai sekali. Banyak mobil yang melintas.
Suasana di mobil menjadi sedikit tegang, ketika Haniya menginjak pedal gas dan pedal rem secara bergantian. Tujuannya hanya berniat agar aku cepat sampai di rumah, tetapi menurutku itu tidak nyaman.
Han, aku belum mau mati, please nyetirnya slow aja, kata Eliza yang duduk di jok belakang, memohon. Kulihat sekilas, wajahnya pucat, mungkin karena ketakutan.
Malam ini Haniya menyetir mobilnya seperti sedang bermain balapan di arena permainan, tidak mempedulikan kondisi jantung kita yang sudah hampir terlepas dari rongganya.
Iya, Han. Santai aja. Enggak pa-pa kalau telat, paling diomelin bentar doang.
Sebenarnya aku pun takut dengan cara mengemudi Haniya malam ini seakan mengajak kita untuk sport jantung.
Kalau aku slow, yang iya ya kamu makin telat. Tuh liat udah jam sebelas. Enggak terasa kan? Udah satu jam kita di mobil, tunggu antrean macet begini. Emang kamu mau kita sampai di rumah jam dua belas apa jam satu dini hari. Aku kasihan sama lo, Al.
Enggak, Han. Daripada-daripada kan. Lo apa enggak kasihan sama nyokap aku, gadisnya mati sia-sia, dia gak bisa nimang cucu. Lo tahu kan aku anak tunggal. Suara Eliza bergetar, aku sempat terkekeh mendengar ocehannya. Lucu banget sih, dia memang.
Mendengar saran kita, akhirnya Haniya pun memperlambat kecepatannya. Mungkin dia tidak mau kita mati konyol karena kecelakaan. Setelah menghadapi kemacetan yang begitu panjang, kita memerlukan waktu hampir dua jam sampai di rumah.
Lo yakin enggak pa-pa? Enggak mau kita temani tuk kasih penjelasan kalau tadi memang macet di jalan. Haniya kelihatan prihatin dengan apa yang bakal terjadi. Kalau enggak diomeli, paling nanti diceramahi. Tidak ada bedanya sih, sama-sama harus mendapatkan wajah jutek dan garangnya.
Aku enggak pa-pa kok. Kalian hati-hati di jalan ya, jangan lupa chat aku kalau sudah sampai di rumah. Aku berusaha menunjukkan wajah yang tenang, seolah mendapatkan omelan dari Mas Rayhan itu adalah hal yang biasa.
Tapi, Al, ini udah jam dua belas lho. Lo kan enggak pernah selarut ini sampai di rumah. Mana Lo tadi belum hubungi dia kan? Hape lo lobat kan? Haniya masih dengan nada cemas sedangkan Eliza hanya mangut, dia pun bingung sebenarnya.
Kalian tenang aja, kayak aku mau disembelih aja sih. Santai, girls. Udah ah, mendingan kalian pulang sana. Aku yakin aku akan baik-baik saja. Dia tidak bakal berani macem-macem ke aku. Aku mengakhiri pembicaraan, berharap mereka segera pulang karena malam semakin larut.
Aku melangkahkan kaki pelan masuk ke rumah setelah mobil Haniya sudah melaju dan tak terlihat dari pandanganku. Ada sengatan ketakutan ketika aku membuka pintu. Derit pintu terbuka terdengar nyaring di rongga telinga karena suasana rumah sudah gelap dan sepi. Dalam hati aku berdoa, semoga monster Hulk itu sudah bermimpi ke alam lain di kamarnya.
Namun sayang, ternyata Dewi Fortuna sepertinya belum memihak kepadaku karena baru beberapa langkah aku mengayunkan kaki, lampu di ruangan itu menyala, ruangan itu terang seketika. Aku menahan langkah kala aku melihat sosok yang ingin aku hindari ternyata sedang berdiri beberapa meter di depanku. Ingin kabur, tetapi rasanya itu mustahil bisa kulakukan.
Pria berkaos putih dengan celana pendek katun memasang wajah yang tak bersahabat dengan sorot mata yang tajam menusuk jantungku.
Jam berapa sekarang? tanyanya dengan suara lantang, menggema di ruang itu.
Rasanya aku tak sanggup membalas tatapan yang seolah ingin mencabik tubuhku. Aku menunduk dan melihat jam tanganku tanpa menjawab. Iya, aku tahu dengan kesalahan yang aku lakukan malam ini. Ini sudah jam dua belas malam. Peraturan yang tertulis, maksimal jam sepuluh aku harus ada di rumah.
Jam berapa? tanyanya lagi dengan nada yang tak enak didengar.
Suara itu membuatku kaget dan mendadak jantungku berdebar tak karuan. Tatapan tajam itu membuatku tak berani beradu pandang.
Kamu bisu? Tidak bisa menjawab pertanyaanku?
Suara itu semakin dekat kudengar. Detak jantungku serasa berpacu beriring suara langkah sandal yang beradu dengan lantai. Aku mendongak sedikit melihat dia mengikis jarak di antara kita.
Bersamaan dengan dia melangkah maju, kakiku pun refleks melangkah mundur untuk menjaga jarak dengannya. Sampai akhirnya, punggungku menabrak dinding yang artinya aku tidak punya ruang untuk melangkah mundur. Sementara dia terus melangkah ke arahku, membuat tubuh kita nyaris saling bersentuhan.
Dengan hanya sejengkal jarak itu, aku bisa merasakan hangat hembusan napasnya yang berat. Serasa ingin menjelma menjadi superhero Black Widow yang bisa menghilang seketika.
Kuberanikan diri untuk melirik sekilas rahangnya mengeras dan wajah yang memerah. Bisa kupastikan malam ini tingkat kemarahannya mencapai level sembilan dari angka sepuluh nilai tertinggi.
Jam berapa sekarang? bisiknya tepat di telinga, membuat aku menggeliat geli dan risih saat kepalanya menuduk ke arah sisi wajahku.
Tamat sudah riwayatku karena apapun bisa terjadi malam ini. Aku tahu dia berkuasa di rumah. Kemungkinan-kemungkinan bisa saja terjadi, apa dia akan memukul, memaki, menjambak atau melecehkanku? Ah, otakku bergerilya ke mana-mana sehingga aku tak sanggup berpikir jernih.
Apa ada orang yang bisa menolongku? Bik Ima ke mana?
Jam dua belas. Aku menjawab pelan dengan posisi tertuduk. Sengatan ketakutan masih menyelimuti rongga hatiku.
Kau tahu kesalahanmu, Alya Nazia Handoko? bisiknya di telinga dan menurutku, dia sengaja memanggil nama lengkap dengan embel nama belakangnya.
Hanya anggukan kecil untuk menanggapinya, pandanganku berpaling ke arah lain.
Kenapa kau melakukan kesalahan yang sama? Kau tahu ini bukan satu - dua kalinya kamu mengulanginya, sergahnya dengan nada yang mulai meninggi.
Mungkin saja kalau aku minta maaf seperti yang sudah pernah aku lakukan saat aku melakukan kesalahan, masalah akan selesai. Namun, entah mengapa, malam ini bibirku enggan mengucapkannya.
Diletakkan kedua tangannya ke dinding, menopang tubuhnya dan mengunci tubuhku. Tatapan itu masih sama, tatapan seekor singa yang ingin menelan mangsanya hidup-hidup.
Apa yang akan dilakukan Monster Hulk kepada istri kecilnya?
Bab 9
Kalau terjadi apa-apa, siapa yang mau bertanggungjawab? Bagaimana aku menjelaskan kepada mama papa yang sudah menitipkan kamu kepadaku? lanjutnya dengan nada membentak, sorot matanya masih menghujam jantungku.
Nyaliku semakin menciut, nyeri hatiku mendengar bentakkan itu. Seumur hidup aku belum pernah melihat amarahnya yang kini memuncak. Aku merapatkan gigi, menahan perasaan dan berjanji tidak akan mengeluarkan setetes air mata di depannya. Aku tidak mau dia meremehkan dan menganggap aku gadis lemah.
Ke manapun kamu pergi, tidak pernah pamit. Dengan siapa kamu pergi, kamu tidak kasih tahu, lanjutnya lagi dengan nada sedikit melemah tetapi rahangnya mengeras.
Setiap aku mau kasih tahu, Mas tidak ada di rumah. Berusaha memberi alasan, aku membela diri dengan suara pelan.
Alasan yang aku berikan terkesan klise, biarkan saja, yang penting aku menyahuti daripada nanti dia bilang aku tuli atau bisu. Kasar sih, menurutku saat dia memakiku dengan dua kata itu.
Kamu punya ponsel? Tahu nomor teleponku? Kamu bisa nge-chat enggak? ketusnya dengan beberapa pertanyaan yang tak butuh jawaban dariku.
Tuh, kan, aku bilang apa. Alasanku tidak diterima olehnya. Jawab salah, tidak dijawab pun salah. Serba salah aku dibuatnya. Kalau di matanya sudah menganggap diriku salah, apapun yang aku utarakan, ya tetap salah. Mending aku diam saja daripada mulutku lelah menjawabnya.
Kamu anggap rumah ini hotel? Tempat kos? Terus, kamu anggap aku apa? ATM berjalan-mu?
Dia terus mencecar kalimat yang seolah sedang memfitnahku dengan mata melotot. Nada suara itu terkesan mengintimidasiku, menuduh yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku.
Sama sekali belum terpikirkan olehku, menganggapnya seperti itu. Aku hanya tidak peduli dengan apapun tentangnya. Aku malah tidak pernah meminta uang sepersen pun darinya. Dia yang mentransfernya untukku. Bahkan, kalau disuruh pilih, aku akan lebih memilih tinggal bersama orangtuaku, bukan di rumah ini.
Lalu, pria itu mengapit daguku dengan kedua jarinya, menggeserkan arah pandangku tertuju padanya. Posisi seperti ini membuatku bisa membaca ekspresi wajah yang begitu menyeramkan. Tatapan itu tajam menusuk nyeri ulu hati. Dengan sisa stok keberanian yang kupunya, aku menepis jarinya dengan menolehkan kepala ke arah lain, tidak ke arahnya.
Kau sudah menjadi tanggungjawabku. Apapun yang kau lakukan di luar sana, aku tidak peduli asal ada batasnya. Kau hanya perlu kabari aku dan menghormati semua peraturan yang sudah kita sepakati. Kau paham? Nada bicaranya ketus dan tegas.
Aku terpaksa mengangguk menanggapi daripada nanti aku disalahkan lagi. Tenggorokanku seperti tercekik, tak sanggup mengeluarkan sedikit suara pun. Aku bisa merasakan rongga dadaku seperti kehabisan oksigen, susah bernapas saat dia mengunci tubuhku.
Kau harus tahu, kesabaranku ada batasnya, Nona, hardiknya, membuat telingaku mendidih seketika mendengar kata-kata itu.
Lalu, dia pun membalikkan badan dan melangkah meninggalkanku. Aku menatap punggung itu menghilang perlahan saat dia menaiki anak tangga dan masuk ke kamar.
Kondisiku kacau dan kusut seperti sarang burung. Tak habis pikir dengan jalan pikirnya, hanya karena kesalahan yang sepele, masalah telat pulang, dia berubah menjadi monster yang begitu menakutkan. Lama-lama aku bisa mati karena serangan stroke atau jantungan kalau dia terus memperlakukanku seperti ini.
๐๐๐
Kunyalakan shower, berharap air hangat ini bisa menyegarkan sel saraf otak dan hatiku agar mampu mencerna apa yang terjadi barusan.
Aku tidak setuju dengan tuduhannya tentangku. Ringan sekali lisan yang memojokkan dan menyakitkan itu meluncur dari mulutnya. Entah terbuat dari apa hatinya, tega memperlakukan kasar via verbalnya.
Hotel? Kos-kosan? ATM berjalan? Aku mengembuskan napas panjang berharap semua kepenatan dapat menguap bersamaan udara yang keluar dari mulutku.
๐๐๐
Dini hari berguling menjadi pagi hari, kedua mata terpejam tetapi aku tidak bisa tidur sama sekali. Kalimat yang ingin kuabaikan terus terngiang di telinga meskipun aku sudah berusaha memejamkan mata. Semakin ingin aku lupakan, fitnahan itu semakin menusuk ke dalam hatiku.
Apa aku harus minta maaf hari ini? Haruskah aku mengorbankan harga diriku untuk mengatakannya? Iya, daripada nanti masalah lebih runyam, alangkah baiknya aku memang harus melakukannya. Menurunkan ego, tidak akan membuatku mati mendadak.
Aku melangkah keluar dari kamar dan segera menuju ke dapur untuk menemuinya. Sekilas aku melirik jarum jam menunjukkan angka delapan. Hari libur gini, biasanya dia lebih santai menikmati sarapannya.
Pagi, Non, sapa Bik Ima setelah melihat keberadaanku di dapur.
Pagi, Bi, sapaku singkat sambil menyomot roti bakar. Mas Rayhan belum sarapan?
Iya, fix, aku harus minta maaf pagi ini.
Belum turun, Non. Bibik juga lagi tungguin dari tadi. Bik Ima sibuk mencuci peralatan masak sekilas menoleh ke arahku.
Tumben, jawabku asal sambil meneguk susu UHT yang disediakan untukku.
Semalam Non .... Sepertinya Bik Ima sengaja menggantung kalimat.
Bibi tahu? Kenapa Bibik enggak samperin? Bantuin Alya. Sedikit kesal sih, kalau ingat kejadian semalam. Bulu kudukku berdiri sesaat.
Bibik hanya sekilas dengar ada keributan, tetapi Bibik enggak berani ikut campur. Takut diomelin Mas Rayhan.
Oh, astaga, ternyata Bibik pun takut dengan monster Hulk itu.
Tumben jam segitu, dia belum tidur. Apes banget aku kemarin, pake acara interogasi kayak maling. Biasanya dia tidak peduli kan?
Siapa bilang Mas Rayhan tidak peduli ama Non Alya? Tiap malam pulang kerja, Mas Rayhan selalu tanya, Non Alya udah sampai rumah belum, udah makan belum, tadi pulang sama siapa. Non Alya aja yang tidak tahu karena udah di kamar, ujar Bik Ima. Bersamaan itu, dia mengangkat telepon paralel di dapur yang berbunyi.
Iya, hallo, sahutnya setelah dia menempelkan ganggang telepon di telinga. Baik, Mas. Siap. Bentar ya, langsung laksanakan.
Lalu, Bik Ima meletakkan ganggang telepon ke tempat semula.
Bentar ya, Non. Bibi anter sarapan Mas Rayhan dulu ke atas. Mas Rayhan mau sarapan di ruang kerja aja, katanya.
Bik Ima menaruh beberapa potong roti bakar dan susu di atas nampan stainless. Lalu, dia meninggalkan aku sendirian di dapur.
Tumben dia sarapan di atas, biasanya juga makan di sini. Apa dia masih marah makanya tidak mau melihat dan satu meja denganku?
Namun, kalau dipikir-pikir, apa benar yang dikatakan Bik Ima kalau Mas Rayhan peduli dengan aku selama ini? Apa benar dia menanyakan kabarku pada Bik Ima, tapi kok, Bik Ima tidak pernah cerita?Aku pun tidak pernah melihat dia bertanya apapun tentang aku selama ini. Ck, Bibik bikin penasaran aku saja. Aku harus bertanya hal ini.
Hanya butuh beberapa menit, Bik Ima kembali menuju ke dapur dengan tangan kosong. Aku langsung mencecarkan pertanyaan yang sedikit mengganggu pikiranku.
Untuk apa Mas Rayhan tanya-tanya ke Bibik, apa aku udah pulang apa belum. Kepo amat sih. Aku memancingnya agar dia mau membuka mulut. Ada rasa penasaran setelah pernyataan Bibik tadi.
Ih, Non Alya. Wajar kalau Mas Rayhan tanya kabar Non Alya. Non Alya 'kan istrinya. Sebenarnya ya, menurut Bibik, wajar kalau semalam Mas Rayhan marah-marah. Non Alya pasti tidak kabarin Mas Rayhan kalau bakal telat sampai rumah?
Bibik yang tadi sibuk membersihkan kompor, kini dia menarik kursi dan duduk di sampingku. Mimik wajah itu menyiratkan sesuatu, tapi aku tidak bisa menerkanya.
Kalau Bibik jadi Mas Rayhan, Bibik bakal khawatir juga, Non. Soalnya sudah jam segitu Non Alya belum sampai di rumah dan tidak ada kabar. Mana tahu terjadi apa-apa di luar sana. Bibik lihat Mas Rayhan gelisah banget semalam. Berkali-kali mencoba menghubungi hape Non, eh, katanya tidak aktif. Gimana tidak panik, coba?
Iya sih, kemarin pakai acara lowbat pula tuh ponsel.
Iya lowbat. Hapeku mati, sambungku dengan perasaan sedikit bersalah.
Nah itu, kemarin Bibik sudah ingetin Non Alya, jangan lupa pamit dulu ama Mas Rayhan. Non belum pamit ya? Dia bertanya dan aku menggeleng.
Pantesan Mas Rayhan cemas , Non. Udah jam berapa, istrinya belum pulang, hapenya tidak bisa dihubungi. Bolak-balik tanya ke Bibik, Non Alya pamit tidak ke Bibik. Bibik bilang, pamit sih pamit, tapi tidak bilang mau ke mana. Habis kemarin Bibik tanya Non, Non tidak kasih tahu kan? Untung belum dilaporin ke polisi kalau istrinya hilang.
Iss, Bibik mah, enggak usah lebay. Aku mencubit tangannya yang sedikit keriput dan dia meringis kesakitan.
Iya, non. Bibik pernah nonton di berita-berita, Sekarang banyak penculikan, perampokan, ngeri pokoknya, Non.
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal sambil manyun karena rasa bersalah menguasai diriku. Kalau dipikir-pikir, memang sedikit keterlaluan sikapku kemarin. Akan tetapi, ini bukan kesalahanku sepenuhnya, ponselku lowbat tidak bisa mengabarinya. Jalanan macet karena hari weekend. Seharusnya dia bisa memaklumi, tidak sembarangan marah tanpa mendengar penjelasanku.
Bik, sudah siap? Suara Mas Rayhan terdengar dari arah luar dapur tetapi bayangannya tidak kelihatan.
Oh iya, Mas. Bentar ya, Bibi sisiran dulu. Bibi bergegas menyisir rambutnya yang tipis di depan cermin wastafel dan memoleskan sedikit bedak.
Mau ngapain, Bik? tanyaku iseng setelah aku memastikan Mas Rayhan sudah tak berada di sana karena tidak ada sahutan apa-apa di antara mereka.
Anu .... Bik Ima menghentikan aktifitasnya dan menoleh ke arahku.
Bab 10
Ke supermarket, Non. Rutinitas awal bulan, beli bahan dapur, kebutuhan rumah, sabun, deterjen, apa lagi ya, banyak, Non. Mas Rayhan selalu ajak Bibik, soalnya dia tidak tahu apa aja yang dibutuhkan. Entar Bibik milih-milih, shopping ke mall, Non. Kemudian Bibik melanjutkan aktifitasnya memberi sedikit lipstik di bibir tipis itu.
Oh. kataku singkat.
Aku mengerti dan memaklumi kalau para pria memang agak kesulitan belanja bulanan untuk kebutuhan rumah tangga. Seharusnya itu memang tugasku sebagai nyonya rumah, tetapi mana kutahu dia saja tidak pernah membicarakan hal ini kepadaku. Bodo, ah.
Ikut yuk, Non. Mumpung minggu ini Non Alya tidak ke mana-mana, sekali-kali ikut kita belanja. Jangan pergi bareng Non Hani dan Non Eliza mulu, ajaknya setelah dia selesai merias diri. Dia sudah terlihat rapi, kulihat.
Jujur, aku berada di ambang kebimbangan antara mau ikut apa tidak karena aku masih belum berani bertatap muka dengannya. Bagaimana kalau dia masih marah-marah di mobil? Terus, aku dijutekin dan dicuekin, gimana? Aku masih bisa merasakan aura amarah yang kemarin.
Namun, kala aku belum menyatakan iya, Bik Ima menarik tanganku menuju ke luar rumah dan mendorong tubuh menuju ke mobil yang sudah diparkirkan Mas Rayhan sejak Bik Ima bersolek tadi. Setelah sampai di samping mobil, Bik Ima membuka pintu mobil depan dan mempersilakan aku masuk.
Ayo, naik , Non.
Aku melirik ke dalam mobil dan mendapatkan Mas Rayhan yang sedang fokus dengan ponselnya. Taklama dia pun menempelkan ponsel dan memalingkan wajah ke arah berlawanan. Samar-samar aku mendengar dia sedang melakukan panggilan telepon, tetapi dengan siapa, aku tidak tahu.
Buru, Non, desak Bik Ima sambil mendorong badanku masuk ke dalam mobil.
Dengan segala upaya mengendalikan perasaanku, akhirnya aku duduk di samping jok kemudi. Begitu pula dengan Bik Ima langsung mengambil duduk di jok penumpang.
Berpakaianlah lebih sopan saat keluar rumah, ketusnya, sorot mata fokus di kaca depan mobil setelah dia mengakhiri sambungan telepon.
Aku tahu, sindiran itu tertuju kepadaku. Iya, aku hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek yang memperlihatkan aurat seorang wanita. Tadinya, aku tidak ada rencana ke mana-mana maka dari itu aku memakai pakaian santai. Mana kutahu kalau aku diajak Bibik ikut shopping ke mall. Ya, sudahlah, mending aku turun saja, tidak usah ikut kalau harus mendapatkan perlakuan dia yang dingin.
Ya, sudah, aku tidak jadi ikut.
Baru saja aku mau membuka pintu, tanganku dicekal dengan cepat. Refleks aku menoleh ke arahnya dan segera memalingkan wajah saat kedua mata kita bertemu.
Ganti baju sana, aku tunggu di sini.
Dia memberi perintah dengan nada yang lembut. Tatapan yang diberikan juga bukan tatapan seekor singa seperti tadi malam. Oke, kalau begini caranya, aku akan menuruti perintahnya kali ini. Anggap saja, ini adalah bagian dari permohonan maaf dariku.
Aku pun turun dari mobil dan segera masuk ke rumah. Sambil berlari, aku menuju ke kamar dan berganti pakaian lebih sopan. Blouse marron dan celana panjang skinny cokelat yang aku pilih untuk hari ini. Setelah selesai, aku kembali ke mobil karena tidak mau dia menungguku terlalu lama. Waktu yang kau butuhkan hanya lima belas menit. Aku masih sempat memoles bedak dan lipstik dengan tipis dan tak lupa menenteng tas tangan yang biasa aku bawa ke mana-mana.
Lihat, Mas. Non Alya pakai apa aja tetap kelihatan cantik.
Kulihat Bik Ima yang duduk di belakang, menepuk pundaknya, memuji kecantikan yang aku punya. Sengaja aku menengok ke wajah tampan itu, tetapi dia tidak menyahutinya, bahkan tidak melirikku sedikitpun. Dia menginjak pegal gas dan melajukan mobil meninggalkan perumahan. Ya sudahlah, mungkin dia tipe manusia yang tidak bisa menghargai makhluk ciptaan Tuhan. Cantik gini, malah dikacangi.
Di dalam mobil, tidak ada pembicaraan apapun. Pikiran mereka berdua mungkin berkelana ke mana-mana. Sementara aku membuang pandang ke luar jendela dan mendetail setiap orang yang taksengaja aku temui. Iya, aku suka meneliti setiap detail gerak-gerik orang di sekitar. Untuk apa? Entahlah, sudah bawaan lahir, mungkin.
Dinginnya mesin pendingin tidak begitu kerasa menyentuh kulit lantaran terik matahari itu di luar lebih menyengat. Tak lama kemudian, pria yang duduk di balik kemudi itu menekan tombol audio dan memilih siaran radio untuk menemani perjalanan kami yang memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit.
Mobil hitam yang kami tumpangi pun melambat ketika memasuki arena parkiran yang masih sepi. Keahlian mengemudi Mas Rayhan aku acungkan jempol karena aku merasa nyaman berada di sana selama perjalanan tadi. Tidak ada perasaaan was-was seperti kala aku menumpang mobil milik Haniya. Iya, mungkin ini salah satu perbedaan antara pria dan wanita saat mengemudi. Kaum Adam lebih percaya diri mengendalikan setir dan mudah fokus dengan apa yang ada di depan jalan sedangkan kaum Hawa sebaliknya, terutama Haniya.
Aku melangkah beriringan dengan langkah Bik Ima memasuki pintu samping mall setelah mobil terparkir sempurna di lahan parkir yang sudah disediakan pengelola mall di sana. Sementara pria berstatus suamiku berjalan di depan mendahului kita. Langkahnya terhenti saat tubuhnya berada di depan toko perlengkapan bayi kemudian dia masuk ke dalam.
Aku dan Bik Ima menunggunya sambil menyapu pandangan ke sekeliling. Suasana di pusat pembelajaran itu belum begitu ramai, mungkin masih jam sebelas siang. Biasanya mall akan terlihat ramai jika hari sudah menjelang sore atau malam. Beberapa menit kemudian, pria berkaos putih itu keluar dengan menenteng satu plastik putih yang lumayan besar. Apa isinya dan untuk siapa, aku sama sekali tidak berminat menanyakannya.
Setelah itu, aku dan Bik Ima mengekori langkahnya sampai ke supermarket yang menjual apapun baik perlengkapan dapur, mandi, kebersihan rumah, pakaian, alat tulis dan masih banyak lagi.
Bik Ima mengambil satu trolley untuk memasukkan barang yang akan dia belanjakan. Sementara Mas Rayhan kini bergantian yang mengekori langkah kita dari belakang. Bik Ima tampak sibuk memilih barang dan sesekali meminta masukkan dariku.
Alya, kamu di sini juga?
Aku cukup mengenal suara yang menyapaku itu. Kutolehkan ke arah sumber suara dan mendapatkan sosok pria yang berjaket kulit yang berjarak dua meter dariku. Kak Imran, senior sekaligus pria gebetanku, dulu.
Refleks aku menoleh ke belakang dan mencari sosok Mas Rayhan. Aku tidak mau statusku yang sudah menikah, ketahuan Kak Imran dengan keberadaan suamiku itu.
Kamu sapa siapa? tanyanya lagi dan mendekat, menghampiriku.
Sama ....
Syukurlah, aku tidak mendapatkan sosok Mas Rayhan, ke mana dia? Bukannya dari tadi dia berjalan di belakang kita? Ah, bodo, yang terpenting adalah cepat menyelesaikan percakapan dengan Kak Imran sebelum suamiku menjelma menjadi Monster Hulk.
Sama Bik Ima. Itu. Jari lentik milikku menunjuk ke arah wanita paruh baya yang sedang memilih daging di bagian frozen store. Pria ganteng itu pun memandang ke arah jariku menunjuk dan mengangguk ketika matanya mendapatkan sosok wanita itu.
Kamu sama siapa, Kak? Aku pun basa-basi dan berharap menyelesaikan pertemuan mendadak ini.
Aku lagi nemanin kakakku belanja tapi entah ke mana dia sekarang, mungkin masih ada di sekitar sini. Pria itu terlihat makin keren ketika dia refleks memasukkan salah satu tangannya ke saku celana.
Oh, iya, iya. Kalau gitu, aku ke sana dulu ya, bantu milih-milih biar cepat kelar. Aku segera mengakhiri pertemuan singkat itu karena tidak merasa nyaman kalau saja sampai Mas Rayhan datang.
Baru beberapa langkah kakiku bergerak, senior bermata sipit itu mengaitkan lengan menahan langkahku. Bersamaan itu, sorot mataku memandang wajahnya dan kagum dengan senyuman tipis yang selalu menggoda kaum Hawa itu. Ada getaran yang tak biasa di rongga dalam ketika posisi kita seperti itu. Saling berpandangan dalam hitungan detik seolah-olah sorot mata itu mengandung ilmu hipnotis yang menarik perhatianku.
Ya, Kak? Tiba-tiba aku tersadar ketika samar-samar aku mendengar panggilan Bik Ima. Namun, pria tidak menyahuti ku, mempertahankan kontak mata dengan senyuman menawan di bawah kumis tipis itu.
Maaf, Kak. Bik Ima udah manggil, aku harus ke sana. Aku menepis tangannya dan dia mengangguk.
Sampai ketemu besok di kampus. Dia berkata dan aku mengangguk pelan lalu memberi senyuman tipis, bergegas meninggalkannya menuju ke tempat Bik Ima berpijak.
Beberapa menit kemudian, aku baru menyadari keberadaan Mas Rayhan mendekati tempat kita berada. Segera aku tolehkan ke tempat dimana aku dan Kak Imran bertemu singkat tadi. Aku bisa bernapas lega ketika aku tidak menemukan bayangannya di sana.
Syukurlah. Tanpa sengaja aku mengelus dada.
Hai, Bro. How are you? Suara berat khas laki-laki itu menyapa suamiku.
Lalu, aku menyaksikan Mas Rayhan berpelukan hangat dengan pria yang rambut sedikit ikal itu sambil tertawa lepas. Mereka saling menepuk punggung satu sama lain lantas mengurai pelukan.
Baik-baik. Kamu gimana? Mas Rayhan membalas menanyakan kabarnya.
As you see, Bro. Eh, sama siapa?
Mata pria yang belum kuketahui namanya mengedar pandang ke sekeliling kemudian manik mata itu berhenti ke arahku dan Bik Ima yang berdiri tak jauh dari mereka. Lalu, aku bergegas menggeserkan kaki mendekati Bik Ima yang kini sibuk memilih buah apel. Sama si Bibik, Lo masih inget kan? Lalu kudengar mereka tertawa lagi. Entah apa yang lucu? Terus yang itu? Aku tahu pria itu pasti menanyakan statusku. My wife. Itulah jawaban singkat nan jujur dari Mas Rayhan tetapi aku enggan menyapa pria yang kuduga adalah temannya. Oh, iya, lo udah married, aku lupa. Sorry ya, aku tidak bisa hadir waktu itu. Aku masih di Amrik, ada sedikit urusan yang harus diselesaikan. Proyek perusahaan. Iya, no problem, doanya saja. Eh, aku kira kemarin lo bakal nikahnya sama Winda, eh, ternyata bukan ya? Winda? Siapa dia? Penasaran, aku pun menoleh sekilas dan kulihat Mas Rayhan menunduk lalu senyum tak jelas ke arah temannya. Saat kedua pasang mata kita kembali beradu tatap, aku bergegas memalingkan wajah ke arah apel yang masih dipilih Bik Ima. Winda? Siapa dia? Apa mungkin mantannya? Ada banyak hal yang tidak aku ketahui tentang suamiku. Kira-kira mau bertanya atau tidak, tentang wanita itu? Kenapa perasaanku tidak enak begini ya? Apakah aku cemburu? Next Bab 11-tamat. SELAMAT MEMBACA.