RANIA Gadis Kecil di Masa Lalu (Prolog- Part 4)

9
2
Deskripsi

🏆🏆 30 NASKAH TERBAIK KWC 3🏆🏆

🌻Kisah Rania di tengah perjuangan meraih impiannya. Semangatnya selalu menyala dikarenakan sepenggal kenangan dari masa lalu🌻

Rania, sebuah nama yang bermakna cantik dan mempesona, juga kemenangan dan kesuksesan.
Awalnya dia gadis kecil yang hidup di keluarga berada. Namun, cobaan datang menghantam bisnis keluarganya hingga perekonomiannya terpuruk. Beberapa orang berempati, tetapi tidak sedikit juga yang tak acuh dan memandang sinis keluarganya.

Memiliki impian tinggi,...

PROLOG

Gelap baru saja melipat terang. Ruang tamu keluarga Pak Joko sunyi. Detak jarum jam dinding terdengar seperti ketukan senapan polisi menunggu pesakitan mengaku. Rania akrab disapa Ara duduk di kursi, menunduk, seperti penjahat menanti eksekusi hukuman.

Suara gelas membentur lantai menyentak kesadaran Rania. Di hadapannya, serpihan gelas berhamburan ke segala penjuru. 

"Pak, maafkan Ara! Sungguh itu bukan mau Ara, Pak." Gadis dua puluh tahun itu bersimpuh dengan bahu bergetar menahan isakan. Jemari meremas bagian bawah tunik yang dia kenakan.

"Bapak dulu bilang apa?! Semiskin-miskinnya kita, jangan pernah menjual kehormatan. Lalu apa?! Sekarang kamu mengingkarinya. Angkat kaki dari rumah ini! Kamu sudah bikin malu bapak dan ibu!"

"Ini salah paham, Pak!"

"Salah paham katamu?! Siapa yang ada di foto itu?! Bapak tidak buta, Ra!"

Tubuh Rania gemetar seakan bumi sedang diguncang gempa, saat melihat bara di sepasang manik mata sang bapak. Memilih bergeming, dia tidak bisa menyangkal, benar adanya foto yang tersebar seantero grup medsos kampung adalah dirinya.

"Ara akan buktikan kalau Ara tidak bikin malu bapak dan ibu," lirihnya.

"Pergilah! Jangan kembali ke rumah ini!"

Satu kalimat yang mampu membuat dada Rania kian sesak bagai terhimpit batu.

Sementara itu, sang ibu dan adiknya duduk termangu di kursi kayu yang mulai terlihat lapuk. Sesekali menyeka air mata yang kian menganak sungai.

Menoleh ke arah wanita yang wajahnya terlihat gurat lelah, Rania mendekat sambil membelai lengannya.

"Bu, ibu tidak membelaku? Ara nggak salah, Bu. Ara hanya bantu cari uang." Hening, sang ibu pun memilih bungkam seribu bahasa. Hanya pergerakan tangan sesekali mengusap bulir bening yang membasahi pipi. Bahunya pun bergetar menahan isakan.

Gegas Rania ke kamar mengepak barang yang diperlukan untuk kepergiannya malam itu juga. Namun, sayup-sayup terdengar rintihan wanita yang sudah mengandungnya selama sembilan bulan. Ibunya memohon pada sang bapak untuk mengizinkan putrinya tinggal semalam. Ada ketakutan yang dirasakan sang ibu jika Rania naik bus malam. 

Rania masih bisa mendengar percakapan ibunya, tetapi tidak ada balasan dari bapak.

Keesokan harinya, Rania memantapkan hati untuk pergi.

"Pak, Bu. Ara pamit bukan hanya pergi ke Yogya, tetapi Ara pergi jauh puluhan ribu kilometer ke benua lain. Setahun, Ara akan buktikan bisa meraih impian." 

Ya, Rania selalu ingat pesan seseorang sepuluh tahun yang lalu. 

"Sebagian orang menyukaimu, dan sebagian tidak. Jadilah dirimu sendiri!"

Pesan yang tertulis di halaman pertama sebuah buku harian untuk menguatkan dirinya saat kondisi terpuruk hingga mampu bangkit lagi. Sepenggal kisah di masa lalu, selama satu bulan didampingi, menjadi kenangan berharga yang terpatri di dalam memorinya.

"Kalaupun Bapak dan Ibu membenci Ara sekarang, tolong doakan Ara biar selamat sampai tujuan dan kembali pulang." Air mata menggenang di pelupuk, tangis Bu Minah tak terbendung melihat punggung putri sulungnya berangsur menghilang. Netranya lalu memindai kotak kecil yang ditinggalkan putrinya. 

Kotak itu sengaja ditinggalkan Rania untuk seseorang yang pernah memberi semangat dalam hidupnya di masa lalu. Berharap orang itu akan merengkuhnya kembali di saat terpuruk seperti saat ini, lalu mengulurkan tangan padanya untuk bangkit menatap masa depan.

 

🍁🍁🍁🍁🍁

Bab 1 Ujaran Tetangga

Suara berisik dinamo mesin jahit menggema di seluruh ruangan. Tangan kanan wanita paruh baya lincah memegang benang dan memasukkannya pada ujung jarum mesin. Kantung mata tercetak jelas di wajahnya. Peluh bahkan membasahi dahinya. Namun, semangat tetap menyala demi sesuap nasi untuk keluarganya. 

"Minah, kembalikan mesin jahitku! Dasar tidak tahu terima kasih. Berlagak ingin menguliahkan anak. Memangnya kuliah nggak pakai duit?"

Ombak badai menghantam kepala Bu Minah saat mendengar suara teriakan Bu Sastro bak petasan menggelegar di ambang pintu rumahnya.

"Banyak sarjana nganggur di kampung kita. Buang-buang duit saja kamu. Lihat saja anak sulungku! Nggak kuliah pun banyak duitnya. Kerja di luar negeri uang bulanan mengalir seperti air sungai yang tak pernah kering. Setahun bisa bikin rumah. Belum lagi tabungannya bisa untuk beli emas dan perhiasan." 

Lagi, ujarannya tak berhenti memenuhi ruang tamu rumah Bu Minah. Rumah berukuran sedang dengan minim perabot di sana, hanya ada seperangkat meja kursi tamu dan satu bufet berisi buku berjajar rapi serta satu buah bingkai foto bersama.

Wanita berambut panjang dicepol dengan jepit rambut kupu, usia sekitar kepala empat berdiri terpaku mendapat cacian itu. Meteran yang biasa untuk ukur badan masih mengalung di leher segera diletakkannya begitu saja. Ya, Bu Minah istri dari Pak Joko sedang tertunduk menerima makian dari Bu Sastro tetangganya. Beruntung suaminya sedang keluar dan putri bungsunya di sekolah. Hanya ada putri sulungnya yang diminta bersembunyi di kamar.

"Maaf Bu Sastro, suami saya belum dapat kerja. Tolong jangan diambil mesin jahitnya! Biarkan kami pakai dulu sampai bisa membeli mesin bekas!" ucap Bu Minah menunduk seraya menangkup kedua tangannya penuh permohonan.

"Nggak, nggak bisa! Pokoknya sekarang juga saya ambil mesinnya. Lepaskan dari mejanya!" titah Bu Sastro bagaikan seorang penguasa yang tengah menindas bawahannya. Lengkingan suaranya bak petasan membuat Bu Minah mengusap berulang kali dadanya.

"Ampun, jangan Bu! Kalau mesinnya diambil, saya nggak bisa cari uang. Bagaimana kami bisa makan?" lirihnya lagi dengan kedua tangan menahan mesin jahit yang sudah siap diangkat Bu Sastro dari meja kayu yang dibuat oleh Pak Joko. 

"Saya nggak mau tahu! Kalian dapat uang darimana terserah! Punya dua anak cantik dianggurin. Kenapa nggak disuruh kerja saja. Cari uang ke luar negeri sana, jadi TKW atau apalah. Pasti banyak majikan yang tertarik, dolar pun mengalir." Wajah merah padam Bu Sastro menyeringai sinis.

Sungguh teriakan itu seketika memekakkan telinga Rania, putri sulung Pak Joko dan Bu Minah yang bersembunyi di kamar. Keduanya memiliki dua putri bernama Rania dan Hapsari. Nama yang cukup singkat, tetapi memiliki makna mendalam.

Bu Minah sering melarang putrinya ikut campur masalah keluarganya. Keterpurukan ekonomi memaksa mereka harus menerima dengan lapang dada nasibnya, mengencangkan ikat pinggang agar mampu bertahan hidup.

Banyak yang iba pada kondisi keluarganya. Namun, tak sedikit pula yang memandang sinis. Usaha bisnis cemilan Pak Joko yang tengah meroket tiba-tiba bangkrut karena permainan salah satu tangan kanannya.

Gaji karyawan dikorupsi, barang-barang diselundupkan hingga terlilit banyak utang. Baik utang di bank maupun bank plecit sudah dicicipi semua sampai harus menanggung tunggakan angsuran yang kian hari kian mencekik bunganya.

Brakk,

Suara benda dibanting mengagetkan Rania yang masih memasang telinga lekat-lekat untuk mendengar makian tetangganya yang terkenal kaya raya. Dadanya turut berdenyut nyeri mendengar ibunya dicaci. Sesak di dada kian terasa bagai terhimpit batu besar. Andai sedang di atas bukit, dia ingin berteriak sekencangnya. Berulang kali dia menepuk dadanya, lalu mengusap air mata yang mengalir menganak sungai.

"Berani ya kamu melawanku!" 

"Bu Sastro janji meminjamkannya enam bulan. Ini baru tiga bulan, Bu!"

"Omong kosong dengan janji, saya cuma kasian sama kalian. Tiga bulan sudah cukup. Saya lebih baik sewakan mesin ini ke orang lain biar bisa jadi duit. Kalau saya pinjamkan ke kamu, nggak ada duitnya sepeser pun!"

Masih setengah berteriak terjadi adu mulut antara dua wanita cukup berbeda usia itu. Bu Sastro lebih tua dibanding Bu Minah, alhasil Bu Minah tahu diri untuk sedikit bersikap hormat.

Entah angin darimana Bu Sastro niat awalnya berbaik hati meminjamkan mesin jahit bekas, kini justru datang ingin mengambil paksa. Seakan ada hasutan tentang keluarga Bu Minah yang sampai ke telinga Bu Sastro.

"Ini, silakan bawa pulang! Saya tidak butuh belas kasian orang. Saya masih punya Allah, yang tak mungkin membiarkan kami kelaparan!" teriak Bu Minah membuat Bu Sastro terkesiap. Sepertinya kesabaran wanita itu telah habis.

"Astaga, kamu mau bikin saya jantungan, hah?!"

Rania terkejut bukan main. Jelas suara itu milik ibunya. Bu Minah yang sabar dan lembut kini menampakkan taringnya. Sedikit rasa bangga mencuat di hati Rania. Rasa menggebu yang sedari tadi tertahan di dada ingin diluapkannya tetapi tidak mampu, kini telah dilakukan ibunya.

Saat mendengar ibunya dimaki-maki, Rania ingin membalasnya. Namun, niat itu urung dilakukan mengingat pesan bapak ibunya jangan sekali-kali merendahkan orang lain meski dia merendahkanmu. Cukup dengarkan, jika kamu membalasnya maka tidak ada bedanya dia denganmu.

Rania pikir belum saatnya membalas perbuatan kasar tetangga yang terkenal sombong dengan kekayaannya. Dia bisa membalasnya dengan menunjukkan segala prestasi yang bisa diraihnya entah sampai kapan saatnya tiba, bahkan puluhan tahun pun dia akan sabar menanti. Keinginannya hanya satu, ingin melanjutkan kuliah agar bisa membuat kedua orang tua dan adiknya bangkit dari keterpurukan ekonomi.

Bukannya Rania tidak bersyukur sudah bisa lulus SMA dengan lancar. Baginya menuntut ilmu sepanjang masa. Tidak mutlak harus kuliah, tetapi jika ada satu kesempatan di depan mata, Rania tidak akan menyia-nyiakannya.

Seperti pesan ustaz saat memberi tausiyah minggu pagi di kampungnya. Siapa ingin sukses di dunia harus dengan ilmu. Bahagia di akhirat juga butuh ilmu. Jika ingin keduanya, maka hendaklah dengan ilmu. Ilmu tak punya kaki untuk menghampiri kita, maka kita yang harus menghampirinya dengan cara belajar.

*****

Suara peluit ketel melengking pertanda air mendidih, membuyarkan lamunan Rania yang sedang duduk termangu di ranjang kamar kos berukuran 3x3. Kamar bernuansa krem dengan gorden motif keropi menambah mood boosternya tiap hari. Sekelebat bayangan tentang masa silam selalu menjadi cambuk semangatnya menempuh kuliah di kota pelajar.

Tak terhitung sudah banyaknya air mata yang tumpah ruah dari sepasang mata beningnya saat mendengar ucapan yang ditujukan untuk keluarganya sesaat setelah pengumuman kelulusan SMA kala itu. Terhitung sudah hampir tujuh tahun, dia harus membungkam omongan buruk tetangga dengan prestasinya baik di bangku sekolah maupun perkuliahan.

Rania kerap disapa Nia kalau di kampus. Gadis berwajah oval dan memiliki lesung pipit di sebelah kiri. Parasnya cukup menarik dipandang, walau hanya dengan kesederhanaannya. Surai panjang hitam segera diikatnya dengan tali rambut motif keropi kesukaannya. Tali rambut yang disimpannya sejak sepuluh tahun pemberian dari seseorang yang selalu disimpannya sebagai kenangan.

Tidak tahu apakah orang yang memberi mengingatnya, Rania tetap menyimpannya rapi dan hanya memakainya saat di kos. Sederhana saja alasannya, dia tidak ingin tali rambut itu hilang yang berujung hilang pula kenangannya dengan orang itu.

"Nia, airnya mendidih!" seru Cika teman kuliah sekaligus sahabatnya satu kos.

"Ya, makasih Ci!"

Rania segera bangkit dari tempat tidur lalu melangkah menuju dapur bersama. Dia membuka satu bungkus sereal yang dibawa dari kamar lalu menyeduhnya di sebuah cangkir tanggung dengan pegangan. Diaduk pelan sambil pikirannya melayang ke kejadian tadi pagi. 

"Nanti sore saya jemput. Bersiaplah! Jangan lupa dandan yang rapi!"

"Hah."

 

Bab 2 Bukan Wanita Penghibur

"Nanti sore saya jemput. Bersiaplah! Jangan lupa dandan yang rapi!"

"Hah."

"Nia, ngaduknya lama amat? Lihat sampai tumpah airnya! Kamu melamun apa, sih?"

Suara teguran Cika mengagetkannya.

"Eh, nggak ada, Ci. Aku lagi menghitung berapa kali adukan supaya sereal jadi lebih lembut rasanya saat diminum," kilahnya. Sungguh konyol alasan yang mendadak dilontarkan Rania demi mengalihkan tanya dari sahabatnya.

"Awas kalau kamu bohong, ya!"

"Enggaklah! Yuk, minum bareng!"

"Nggak, Nia. Aku mau keluar, ada janji makan bareng dengan Arif."

"Ya, ya. Hati-hati, salam buat Arif, Ci," ujar Rania sambil menggeser kursi di dekat dapur, lalu mendudukinya. Dia menyeruput serealnya dengan sendok kecil. Dapur berukuran minimalis disediakan bu kos untuk dipakai bersama. Ada satu meja dan dua kursi kayu di sana, biasa dipakai untuk makan atau hanya sekedar duduk menikmati cemilan dan minuman demi membunuh waktu luang.

"Kamu ikut sekalian aja, yuk! Kita makan bertiga," ajaknya membuat Rania menggeleng seketika.

"Aku nggak mau jadi obat nyamuk," ucap Rania. Gelak tawa pun menghiasi obrolan mereka. Sedikit lega dirasakan Rania. Sedari tadi pikirannya berkecamuk antara keluar atau tidak malam ini. Dia tidak bisa memberi alasan jika ditanya sahabatnya. Dengan perginya Cika, Rania tidak perlu berbohong, karena dia memang tak pandai melakukannya.

Setengah jam berlalu, Cika sudah pergi. Giliran Rania yang bersiap-siap. Pukul empat sesuai waktu yang dijanjikan setelah salat Asar. Gegas Rania mengenakan pakaian rapi, legging warna hitam dipadukan dengan tunik floral selutut serta pasmina polos warna senada. Dia memang bukan golongan pengikut trend fashion, hanya saja motif floral adalah motif kesukaannya. Dengan memakai pakaian motif itu, Rania merasa isi hatinya selalu berbunga-bunga meski keadaan hati sesungguhnya berbanding terbalik.

Mematut diri di depan cermin, Rania memoleskan lipgloss setelah bedak tipis menghiasi pipinya yang merah merona. Wangi lavender dari sabun kesukaannya pun menguar sampai ke indra penciumannya. Keluar dari kamar kos, Rania mengambil sepasang sepatu ketsnya. Tak lupa tas cangklong kecil kenang-kenangan semasa SMA terpasang di pundaknya.

"Halo, saya sudah di depan toko kue. Bapak sampai di mana?" Dengan sedikit gemetar tangannya memegang HP bekas yang dibelinya setahun yang lalu. Suara Rania pun terbata menandakan kegalauannya mengambil keputusan.

Tidak lebih dari sepuluh menit mobil sedan mewah warna silver berhenti tepat di depan posisi berdiri Rania. Rasa gugup menderanya, hatinya bergejolak hingga terjadi perang batin. Antara melanjutkan atau memilih berbalik mundur. Namun, begitu kaca mobil diturunkan dan menampakkan wajah pengemudi dengan kaca mata hitam bertengger di sana, membuat Rania urung mundur. Rasa tak enak hati pada Pak Herman dosen senior di kampusnya menyusup relung hati. Pikiran buruk menghantui andai dia mundur. Dia takut disangka mempermainkan kebaikan seseorang yang ingin membantunya.

"Masuk!" titahnya diiringi seulas senyum. Rania tersentak, gugup jelas iya. Menoleh ke kanan dan kiri, dia berharap tidak ada teman atau orang yang dikenalnya sedang memergoki posisinya sekarang. Dalam hitungan detik, Rania sudah berada satu mobil duduk di samping kiri kemudi.

Suasana hening dan canggung, Rania bergeming, bingung memulai pembicaraan. Sampai digerai ATM, Pak Herman turun dan terlihat masuk ke ruang kecil bersekat kaca berisi mesin penyedia uang. Beberapa menit kemudian sosok itu kembali masuk ke dalam mobil. 

"Ini, hitung dulu sudah sesuai jumlahnya belum." Pak Herman menyodorkan segepok uang pada Rania yang masih tercengang. Jantung Rania seakan ingin meloncat keluar, memegang uang sebanyak itu baru kali ini dia lakukan. Pikirannya berkelana, apakah sosok di sampingnya itu benar-benar membantu tanpa pamrih.

Lima jam perjalanan pulang pergi Yogya Boyolali, akhirnya mobil yang ditumpangi Rania kembali memasuki perbatasan wilayah Yogya-Jateng. Antara lega telah memberikan uang yang dibutuhkan orang tuanya dan bingung dengan apa yang akan dilakukan setelah ini. Mobil tiba-tiba berhenti di pinggir jalan. Suasana lengang di sekitar pertanda malam yang menyapa. Jam di dashboard menunjukkan hampir pukul sepuluh. 

"Kamu sudah siap, kan?"

"Hah, maksudnya apa, Pak?" Rania tak mengerti dengan ucapan laki-laki seusia ayahnya bahkan mungkin lebih tua, yang kini duduk di sampingnya.

"Bukannya kamu mau membantu menghilangkan penat saya. Mari kita bersenang-senang malam ini!" 

Mata Rania membelalak sempurna. Inikah akhir cerita perjalanan malamnya pulang ke rumah membawa harapan untuk orang tuanya dan berakhir menjadi penghibur laki-laki seumuran ayahnya. Laksana menemukan oase di tengah padang pasir bagi orang tuanya. Namun tidak dengan Rania, ini awal dari masalah pelik yang akan menimpanya.

"Ya, Rabb. Ampuni hamba."

*****

Rania berdiri di depan pintu kos dengan napas terengah-engah. Dia berusaha menetralkan diri dengan menarik oksigen sebanyak-banyaknya lalu menghembuskan perlahan. Melihat jam di ponsel menunjukkan lima belas menit berlalu dari jam sepuluh, bahunya melorot.

Nasib masih berpihak padanya. Dengan dalih jam malam kos hampir terlewat, Rania berhasil lepas dari mimpi buruknya memenuhi keinginan Pak Herman. Dia sangat bersyukur malam ini bisa melepaskan diri. Namun dia belum memikirkan untuk malam selanjutnya.

Dengan merapalkan doa, Rania memegang knop pintu dengan jantung berdebar.

"Alhamdulillah." Rasa lega mengembang di dada saat mengetahui pintu kos belum terkunci. Biasanya jam malam di kosnya adalah jam sepuluh. Kali ini keberuntungan masih berpihak padanya. Membuka pintu perlahan sembari mengendap-endap, Rania ingin memastikan bu kos tidak menangkap basah dirinya pulang terlambat. Biasa anak kos akan terkena denda uang kas jika melewati jam malam.

Plak.

"Aargh." Jantung Rania seakan ingin loncat keluar. 

"Astaga Nia, ngapain jam segini keluyuran?" Napas yang tadi sudah normal kini kembali berkejaran. Dia mengusap dadanya berkali-kali.

"Kamu mau bikin aku jantungan, Ci?" Rania mendengkus kesal karena ulah sahabatnya. Dipikirnya bu kos yang memergoki kepulangannya.

"Kamu dari mana aja?"bisiknya membuat Rania menaruh telunjuknya di bibir, lalu menarik Cika ke kamarnya.

"Jangan lapor bu kos kalau aku terlambat ya, please! Uangku menipis kalau harus bayar denda." Cika tak tega melihat wajah sendu Rania. Sejujurnya wajah sendu itu bukan dikarenakan Rania terlambat pulang ke kos, melainkan masalah lain yakni dengan sosok yang baru saja mengantarnya pulang.

"Cerita sama aku, Nia! Sebenarnya ada apa? Wajahmu terlihat nggak baik-baik saja," cecar Cika membuat Rania menutup wajah dengan kedua tangannya. Hening, tiba-tiba bahu Rania bergetar. 

"Nia...." Tepukan di bahu Rania justru membuatnya semakin tergugu."

"Ci, gimana caranya mendapat uang 15 juta dalam seminggu?" ucap Rania terbata seakan ada duri yang tersangkut di tenggorokan.

"Apa maksudmu?! Li... lima be...las juta rupiah?!" ucapnya mengeja. Cika memandang lekat sorot sendu wajah Rania seraya memegang kedua bahunya. "Itu uang banyak sekali untuk apa, Nia?"

"Aku butuh uang itu, Ci. Aku..., keluargaku...."

Tangis Rania kembali pecah, ingin rasanya mencurahkan semua isi hatinya termasuk masalahnya dengan Pak Herman. Namun semua itu hanya tertahan di dada hingga sesak mendera bagai terhimpit beban berat.

"Minum dulu, Nia!" Cika menyodorkan botol minum yang tergeletak di ranjang dekat tas cangklong. Setelah sapuan cairan dingin terasa melegakan tenggorokan, Rania mulai sedikit tenang. Dia mulia bercerita dari kepergiannya menuju rumah di Boyolali hingga pulang kembali ke Yogya tengah malam.

"Apa?! Jadi, kamu terlibat masalah dengan Pak Herman?!" Rania mengangguk, sementara Cika memasang wajah khawatir.

 

 

Nantikan episode selanjutnya. jangan lupa komentar dan tap love ya. Makasih, salam sehat selalu


Bab 3 Ingin Melapor

 

"Apa?! Jadi kamu terlibat masalah dengan Pak Herman?" Rania mengangguk, sementara Cika memasang wajah khawatir. Dia berpikir hal buruk akan menimpa Rania, sedikit banyak Cika mendengar desas desus tentang sikap Pak Herman yang kurang sedap. Apalagi kalau sampai ada mahasiswa memergoki sahabatnya pernah jalan bersama beliau, bisa dipastikan gosip hangat itu akan menyebar bak kilatan cahaya.

"Aku harus gimana, Ci? Lima belas juta dalam seminggu atau aku harus..." Rania menjeda kalimatnya. "Aku harus menjadi penghiburnya. Aargh!"

Rania melepas pasmina dan mengacak rambutnya frustasi. Bagaimana mungkin dia harus menjadi penghibur laki-laki itu jika tidak bisa mengembalikan uang sesuai temponya. Rania bergidik ngeri membayangkannya.

"Ulur waktu, Nia! Sebisa mungkin ulur waktu, selagi kamu kumpulin uang. Aku dan Arif juga akan membantumu mengumpulkan uang."

"Ci..., maaf aku selalu merepotkanmu."

"Aku tidak punya uang sebanyak itu, tapi kita bisa kumpulin sama-sama, Nia. Percayalah!" Rania mengangguk dan berterima kasih pada sahabatnya dengan sebuah pelukan.

Esok paginya, hari-hari di kampus dirasakan Rania dengan debaran jantung tidak normal. Seperti seseorang yang takut kedapatan mencuri barang, Rania selalu was-was. Wajahnya celingukan ke kanan kiri manatahu berpapasan dengan orang yang ditakutkannya.

"Nia!"

"Astaghfirullah, Ci. Jangan ngagetin aku kayak gini. Lama-lama aku bisa jantungan," ujar Rania sembari mengelus dada.

"Sttt, kamu bisa tenang Nia. Pak Herman perjalanan dinas ke luar kota seminggu. Aku dengar infonya di ruang kemahasiswaan tadi.

"Serius, Ci?" Cika mengangguk dengan seulas senyum menenangkan sahabatnya. Rania tiba-tiba terharu, tanpa diminta setetes cairan bening mengalir dari mata indahnya.

"Ci, kamu sahabat terbaikku. Jangan pernah ninggalin aku dalam situasi apapun, ya!" rengeknya.

"Astaga, Nia. Kenapa kamu jadi melow begini. Sudah-sudah nanti banyak pasang mata curiga sama kita. Sebaiknya bersikaplah seperti biasa supaya tidak mengundang orang penasaran!" Rania mengangguk. Mereka berjalan menyusuri koridor kampus menuju sebuah taman kecil.

"Menurutmu, apa aku perlu melaporkan masalah ini, Ci? Siapa tahu nggak cuma aku korban pelecehannya." Rania mengajak Cika duduk di bawah pohon di area taman kampus. Mereka mengobrol serius di tempat lebih sepi supaya tidak didengar mahasiswa lain.

"Susah, Nia. Masalah seperti ini menjadi dilema bagi perempuan sebagai korbannya. Kalau kamu melapor, sama halnya membuka aib. Beruntung kalau yang mendengarnya akan membelamu. Bagaimana jika mereka justru merundungmu." Rania tampak sedih mendengarnya. Kegalauan melandanya, andai masalah ini didiamkan, pelakunya pasti merasa bertambah aman dan bebas melancarkan aksinya. Bagaimana bisa memutus rantai keburukan macam itu.

Berjuang sendiri di isu perempuan dan khususnya di isu kekerasan seksual memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan. Maka dari itu sangat penting seseorang memiliki support system yang saling menguatkan dalam setiap prosesnya, baik support dari keluarga, kerabat dekat maupun sahabat.

Menghela napas dalam, Rania memutar otak mencari jalan tengah. 

"Aku punya kenalan polisi. Dia tetangga dekat di kampung. Apa kamu mau menemaniku bertemu dengannya, Ci? Mungkin aku coba saja cari tahu bagaimana mengatasi masalah ini padanya."

"Ide bagus, Nia. Kantornya di mana?"

"Kalau nggak salah di Polda."

Akhirnya Rania memberanikan diri mencari tetangganya yang bekerja di Polda ditemani Cika.

"Mau cari siapa, Mbak?" Rania menoleh saat terdengar suara maskulin menyapanya.

"Eh, kamu Rania kan? Kenapa ada di sini?"

"Hmm, itu. Eh, Mas Agha kami cuma main saja lihat kantor Polda. Tadi lagi jalan-jalan di mall sebelah." Rania menyikut lengan Cika yang sedari tadi terpaku melihat sosok tampan dan gagah di depannya.

"Iya, Mas. Nia bilang ada tetangganya bekerja di sini. Jadi, kami sekalian mampir sebentar. Ini sudah mau balik kampus lagi, kok."

Agha hanya ber oh ria seraya tersenyum.

"Akhir pekan saya mau pulang. Sudah lama nggak nengok kampung. Mau pulang bareng, nggak?" tawar Agha.

"Ah iya, mau, Mas." Cika reflek menjawab tanyanya.

"Astaghfirullah, Ci. Jangan malu-maluin!"

Agha tersenyum melihat tingkah Cika. Alhasil Rania justru urung menyampaikan maksudnya mencari tetangga dekat yang juga teman masa kecilnya. Usia yang terpaut lumayan jauh membuat Rania menganggap Agha seperti kakaknya.

"Oke, sini ketik nomer ponselmu! Besok saya hubungi."

"Hah. Iya, Mas." Rania tergagap, lalu segera meraih benda persegi itu.

Dari sinilah awal Rania menyambung silaturahmi dengan Agha tetangga yang berprofesi sebagai polisi sejak menyelesaikan pendidikan di Akademi Kepolisian Semarang.

*****

Seminggu berlalu....

"Ra, buruan jangan lama-lama. Kasian Mas Agha kelamaan nunggunya!" teriakan Bu Minah tak urung menghentikan kesibukan Rania mematut diri di depan cermin sembari membetulkan pasminanya. Ara adalah panggilan untuk Rania saat di rumah atau di kampungnya.

"Sebentar lagi, Bu."

Bu Minah segera menghentikan mesin jahitnya. Barangkali seruannya tadi masih kalah dengan bunyi dinamo mesin yang menggelegar. Wanita paruh baya itu meletakkan meteran yang mengalung di leher, lalu menghampiri laki-laki berparas rupawan. Mengenakan kaos kasual dan celana jeans dilengkapi sepatu kets hitam, laki-laki muda berusia 28 tahun itu memiliki nama lengkap Agha Rahmawan. Anak salah satu tetangga berselisih tiga rumah dari rumahnya. Agha berprofesi sebagai polisi, berkantor di kota Yogya.

"Saya panggil Rania dulu, Mas Agha. Maaf, ya harus menunggu lama!"

"Nggak papa, Bu. Biar Rania selesaikan dulu, takutnya ada yang ketinggalan." Senyum merekah yang terlukis di wajah Agha selalu meneduhkan hati. Jika boleh bermimpi, Bu Minah punya asa tinggi laki-laki yang duduk di kursi tamunya itu menjadi pasangan hidup untuk putrinya.

Cklek,

Bu Minah memutar knop pintu kamar Rania, matanya membelalak sempurna. Menggelengkan kepala, lalu menghela napas panjang, Bu Minah paham betul apa yang sedang dilakukan putri sulungnya. Melingkarkan pasmina di kepala, lalu mengulanginya lagi seakan berbagai model dicoba tetapi tak pantas juga.

"Kamu sudah cantik, butuh berapa lama lagi Agha harus menunggumu, Ra?"

Rania hanya menoleh dan mengerucutkan bibirnya. Hatinya berbunga-bunga sejak mendengar suara Agha datang menghampiri. Mereka janji berangkat ke Yogya bersama. Menurut Rania ini jelas bisa menghemat uang sakunya kalau berangkat bareng Agha dibanding harus naik bus. Di sisi lain, dia juga senang bisa semakin dekat dengan makhluk Allah yang tak sedikit kaum hawa menjadi fansnya.

"Ini dah mau selesai, Bu." Senyum tersungging di bibirnya memperlihatkan lesung pipit yang menjadi sumber pesonanya.

"Astaga, Ra!"

"Kenapa, Bu?" tanya Rania heran karena ekspresi terkejut ibunya.

"Jangan sering mengobral senyum! Ibu khawatir Pipi yang merah merona ini bisa membuat laki-laki jatuh ke pesonamu."

"Ishh, ibu nih bikin malu Ara aja. Ya nggak apa-apa kan, Bu?"

"Nggak apa-apa kalau hanya satu laki-laki macam Agha yang terpesona. Kalau banyak laki-laki justru bahaya."

Rania tergelak, lalu meyakinkan pada ibunya bahwa dia akan menepati janjinya belajar sungguh-sungguh hingga lulus kuliah dengan lancar. 

"Ara nggak mau memikirkan calon pendamping hidup, Bu. Ara ingin meraih cita-cita dulu."

"Jangan kaku begitu, Ra! Jodoh Allah yang mengatur. Kalau ditengah kamu kuliah tiba-tiba Allah menghadirkannya, kamu tidak bisa mengelak."

"Pokoknya Ara mau serius kuliah dulu, Bu."

Rania memeluk ibunya. Elusan tangan dipunggungnya memberikan ketenangan. Semangatnya untuk kembali ke kota pelajar langsung tersulut.

"Ya sudah, fokuslah belajar! Jaga diri di sana ya! Jangan terlalu mementingkan kerja sambilan takutnya kuliah jadi keteteran!"

"Siap, Bu! Yang penting doa ibu selalu mengiringi setiap langkah Ara."

"Ya, ibu selau mendoakanmu, Ra."

Bu Minah mengurai pelukan, tangan kanan mengusap bahu putrinya, dan tak lupa mengecup puncak kepala yang telah tertutup pasmina polos warna biru laut.

"Hati-hati ya, Mas Agha! Titip Rania."

"Iya, Bu. Kami berangkat dulu."

"Nanti pamitkan Bapak dan Sari ya, Bu!" Rania melambaikan tangan yang dibalas anggukan ibunya seraya melambaikan tangan. Agha menyodorkan helm pada Rania yang terlihat tak fokus. Rania harus mengakui penampilan Agha hari ini membuatnya terkesima. Apalagi suara maskulin ajakannya membuat hati kian meleleh.

Aroma citrus menguar dari parfum yang dipakai memberikan kenyamanan tersendiri bagi Rania. Tak bisa dipungkiri banyak ibu-ibu di kampung yang mengidolakan Agha jadi menantunya, pun juga ibunya. Namun Rania tak ingin bermimpi terlalu tinggi, meski Agha masuk kriteria suami idamannya, kondisi keluarga mereka seperti langit dan bumi. Asanya hanya satu, kuliah bisa lulus tepat waktu dan bisa kerja dapat uang banyak untuk membayar hutang orang tuanya. 

"Ra, hai, Rania!" Agha mengibaskan tangan di depan wajah Rania.

Nantikan next episode. Jangan lupa komentar dan tap lovenya ya. Salam sehat selalu.

 

Bab 4  Anak Perwira vs Penjual Susu

"Ra, hai, Rania!" Agha mengibaskan tangan di depan wajah Rania.

"Astaghfirullah. Ya, Mas." Rania terkesiap, berusaha membuang muka agar tidak kelihatan wajahnya yang merah merona. Sungguh wangi parfum itu tak juga menghilang dari indra penciumannya.

"Ini helmnya. Kalau hanya melamun, kita nggak jadi berangkat lho."

"Eh, iya Mas," jawabnya sedikit gugup. Gegas Rania memasangkan helm. Dia menarik napas dalam demi menetralkan detak jantungnya.

"Mas bisa mampir ke rumah Pak Cokro dulu, nggak? Mas tergesa nggak balik ke Yogyanya?" Agha mengulum senyum setiap mendengar tanya Rania yang beruntun. 

"Ckk, kebiasaan kamu tuh, Ra. Tanyanya satu-satu. Belum juga dijawab dah nyerocos kayak kereta api," decih Agha yang disambut gelak tawa Rania.

"Maaf," ucap Rania tersipu. Agha melajukan motor honda 150cc dengan kecepatan sedang menuju rumah Pak Cokro pemilik  peternakan sapi yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah Rania. Dia menunggu di luar, sementara Rania masuk mengambil barang.

"Ini ya Mbak, tadi sudah disiapkan semua jadi tinggal bawa."

"Makasih banyak, Mbak. Saya bawa dulu susunya ya."

"Semoga laris ya, Mbak!" Rania mengangguk sumringah dan mengamini doanya. Doa dari orang-orang terkasih begitu memberi semangat untuk perjuangan hidupnya. Banyak karyawan yang mengenal Rania sebagai gadis tekun dan pekerja keras, membantu keluarganya dengan berjualan susu di pelosok Boyolali. Tak ada rasa malu, yang terpenting baginya adalah kerja halal. Kini dia mulai ikut memasarkan susu murni ke beberapa kafe di Yogya. Tidak banyak uang yang didapat, tetapi sudah cukup melegakan hatinya bisa mendapat uang sedikit demi sedikit.

"Yuk, Mas!" Agha melihat Rania membawa cooler bag. Hatinya amat tersentuh saat melihat semangat gadis yang berselisih lebih dari lima tahun dengan usianya. 

"Ra, kamu nggak masalah kuliah sambil kerja?" 

"Memangnya kenapa, Mas?"

"Aku khawatir kamu nggak bisa atur waktu. Nanti kuliahmu justru terbengkalai." Rania duduk sebentar di samping Agha dengan memberi jarak cooler bag di tengahnya, karena kursi yang tersedia lumayan panjang.

"Nggak gitu juga, Mas. Aku malah bisa latihan wirausaha. Kan di kampus ada mata kuliah kewirausahaan sekarang." Rania menjelaskan dengan wajah sumringah.

"Ya sudah, yang penting fokus pada kuliahmu biar cepat lulus dan...." Agha menjeda kalimatnya. Dia tak yakin kalimat selanjutnya akan membuat Rania senang mendengarnya.

"Dan bisa kerja lalu dapat uang banyak," sambung Rania seraya tertawa renyah. Agha sedikit kecewa ternyata kalimat lanjutannya beda dengan yang dipikirkan Rania.

"Kenapa, Mas?"

"Haha, iya iya dapat uang banyak biar cepat kaya raya lalu lupa sama aku."

"Ishh, enggaklah. Pak polisi selalu di hati semua orang."

"Yang penting aku selalu di hatimu, Ra," ucap Agha tentunya hanya tertahan di dalam hati.

Ehm,hmm.

Suara deheman memaksa mereka menghentikan gelak tawa. Rania terkejut lantas berdiri dan membungkukkan badan. Ada Bu Sastro yang baru datang, sepertinya ingin membeli susu juga.

"Agha, kamu sudah pantas untuk menikah. Buruan menikah biar dicarikan calon sama bapakmu. Kalau sudah menikah nanti nggak akan ada perempuan yang mengusikmu." Ucapan sinis Bu Sastro bisa dipahami Rania kalau perempuan yang dimaksud mengusik adalah dirinya. Namun sebisa mungkin Rania tetap bersikap sopan. Kenyataannya memang dirinya sering merepotkan Agha untuk memboncengkannya saat sama-sama balik ke Yogya.

"Iya pasti, Budhe. Masak iya ponakan budhe yang ganteng ini disuruh jomblo seumur hidup. Nantilah aku minta Bapak melamar gadis."

"Jangan lupa gadis yang sesuai bebet, bobot, dan bibitnya. Cantik saja nggak ada jaminan untuk memenuhi ketiganya. Bapakmu banyak relasinya, anak perwira masak menikah dengan gadis kampung jualan susu," seloroh Bu Sastro terang-terangan sembari melirik sinis Rania.

"Jangan begitu, Budhe!"

"Ah, sudahlah! Sana buruan berangkat biar nggak kena sanksi terlambat!"

Rania hanya meneguk ludahnya. Sudah seringkali ucapan menyakitkan masuk ke telinganya hingga menyayat relung hati. Mengekori Agha yang menuju motor, Rania mengelus dadanya. Benar saja apa yang dibilang Bu Sastro. Mana pantas dia bersanding dengan anak perwira yang juga seorang anggota kepolisian. Biasanya polisi dapat pasangan tak jauh dari profesinya. 

"Ah, sudahlah Rania kuburlah mimpimu dalam-dalam agar kamu tidak merasa menjadi orang yang menyedihkan."

"Ra, jangan terlalu diambil hati omongan budhe! Beliau memang suka ceplas ceplos begitu," ujar Agha membuat Rania tersenyum kecut. 

"Andai kamu tahu sikap Bu Sastro yang memaki ibuku dua tahun yang lalu, Mas. Pasti kamu nggak akan terima budhemu menindas keluargaku. Bahkan sampai saat ini hati Bu Sastro masih sehitam arang. Gunung kapur pun tak sanggup mengubah warnanya."

Keduanya bersiap melanjutkan perjalanan. Dengan diawali doa, Agha mulai menstater motornya. Sempat terjadi perdebatan awal karena Agha menginginkan cooler bag di depan, sedangkan Rania sebaliknya. Lantas Rania meletakkan tas punggungnya di dada untuk pembatas antara dirinya dan punggung tegap Agha.

"Pegangan yang benar, kalau mengantuk bilang. Kalau takut juga jangan diam saja!"

"Iya-iya, tumben cerewet sih, Mas."

Agha tidak menjawab, hanya seulas senyum mengembang di bibirnya saat melihat wajah kesal Rania dari kaca spion.

Agha mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi tepat setelah masuk jalan raya. Dia tidak mengindahkan peringatan Rania untuk berhati-hati. Alhasil, Rania pasrah membonceng motor dengan mendekap erat tas punggungnya sembari berpegangan kuat pada jaket yang dikenakan pengemudinya. Sesekali Rania memejamkan mata, merapalkan doa keselamatan untuk keduanya.

"Astaghfirullah, jadi begini kalau polisi mengejar pengemudi motor yang suka lari dari kejaran polisi. Pantas saja mereka sering tertangkap. Polisinya naik motor sat set, nikung sana sini pandai melewati celah bahkan lalu lintas sepadat apapun. Motor meliuk ke kanan kiri mencari jalan hingga awalnya di baris belakang sekarang bisa di baris paling depan saat lampu merah menyala.

Rania menarik napas berkali-kali masih diiringi dengan istighfarnya. Jantungnya pun tak kalah berdetak hebat saat di tengah perjalanan motor yang ditumpanginya tadi menyalip bus besar. 

"Yakinlah aku membawamu sampai tempat tujuan dengan selamat! Jangan pernah membiarkan hatimu meragu!"

"Hmm. Ya." Dengan suara bergetar, Rania membenarkan sedikit posisinya biar nyaman karena sempat terdorong maju setelah Agha mengerem mendadak.

"Selamat di jalan iya, tapi jantungku nggak aman, Mas," sesalnya dalam hati meski senang bisa berangkat bersama untuk pertama kali sampai Yogya. Biasanya Rania minta diturunkan di jalan raya lalu naik bus. Kali ini Agha tidak membiarkannya naik bus, alasannya khawatir kualitas susu yang dibawa menjadi tidak bagus. Hanya sebuah alasan klasik, sesungguhnya ada bunga-bunga yang mekar di dalam hatinya.

Tidak sampai dua jam Rania sudah sampai di markas Agha. Semacam asrama untuk tempat tinggal para anggota kepolisian. Rania merasa seperti wanita di sarang penyamun. Malu jelas iya, disana banyak pasang mata melihat kedatangannya. Semua kaum adam tengah bersiap dengan pakaian seragamnya. Hanya dia sendiri dari golongan kaum hawa yang berada disana.

Membungkukkan sedikit badannya, Rania memberi tanda menyapa mereka.

"Nggak usah terlalu hormat, mereka bisa ngelunjak!" larang Agha.

"Selamat datang, Kapten! Waktu upacara sebentar lagi dimulai." Rania terkesiap melihat dengan sigapnya beberapa orang di depannya berbaris rapi dan memberi hormat pada laki-laki di sampingnya. Dia mengernyitkan dahi seraya menatap Agha dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Kapten? Apa posisi Mas Agha atasan mereka?" Rania tertunduk malu, semakin minder dibuatnya. Dia tidak tahu menahu pangkat di anggota kepolisian.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Rania
Selanjutnya Surat Cinta dari Tetangga untuk Suamiku (Part 18)
3
0
Simak kisah Alin dan Tulus, yuk. Happy reading
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan