
Blurb
Salma lebih memilih berpisah. Bukan karena ia tidak mencintai Wildan lagi. Pernikahannya bahagia. Tapi inilah jalan yang terbaik untuk keduanya.
Salma menyakini jika cinta tidak harus memiliki. Ia sudah berusaha bertahan. Sampai akhirnya menyerah, karena dirinyalah yang selalu di salahkan.
Apakah titik temu dalam hidup Salma? Kembali pada Wildan atau bersama dengan pria lain?
************
Prolog
Pukul 22.00 WIB Salma menunggu Wildan yang belum sampai rumah. Suaminya bekerja di Jakarta. Pulangnya...
Blurb
Salma lebih memilih berpisah. Bukan karena ia tidak mencintai Wildan lagi. Pernikahannya bahagia. Tapi inilah jalan yang terbaik untuk keduanya.
Salma menyakini jika cinta tidak harus memiliki. Ia sudah berusaha bertahan. Sampai akhirnya menyerah, karena dirinyalah yang selalu di salahkan.
Apakah titik temu dalam hidup Salma? Kembali pada Wildan atau bersama dengan pria lain?
************
Prolog
Pukul 22.00 WIB Salma menunggu Wildan yang belum sampai rumah. Suaminya bekerja di Jakarta. Pulangnya hanya seminggu sekali. Wanita itu sudah merapikan rumah dan menyiapkan makanan untuk sang suami.
Di kamar Salma membaringkan tubuhnya yang lelah terutama batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Saat ini kepalanya begitu ramai. Banyak sekali yang di pikirkan tentang rumah tangganya. Salma menghela napas berharap bisa meringankan kesesakan di dadanya. Nyatanya tidak, kini dirinya sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Tidak lama terdengar suami pintu terbuka. Salma buru-buru bangun dari ranjang. Suaminya sudah pulang.
Wildan tersenyum saat melihat istrinya. Salma tidak membalas senyuman itu. Ia terlihat dingin. "Belum tidur?" tanyanya.
"Belum," ucap Salma singkat. Ia mencium tangan Wildan. "Mau mandi dulu apa makan dulu?" tanyanya.
"Mandi dulu aja," sahut Wildan. Ia menaruh tas di atas meja. Salma mengangguk. Ia membuka tas tersebut mengambil pakaian kotor yang di bawa Wildan untuk di cucinya besok. Di taruhnya di ember dekat kamar mandi.
Wildan mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Salma menghangatkan kembali masakannya yakni sop ayam. Kesukaannya Wildan. Lagi-lagi helaan napas itu terdengar. Tidak bisa di gambarkan suasana hatinya saat ini. Sungguh berantakan. Apalagi ketika melihat wajah Wildan. Teringat dengan masalah yang sedang di hadapinya.
Pria itu selesai mandi lalu makan. Salma memilih berdiam diri di kamar sambil memainkan ponselnya. Ia tidak menemani suaminya makan. Ternyata Wildan merasakan perbedaan sikap Salma akhir-akhir ini. Dari menolak ciumannya, membalas chat singkat dan tidak ada stiker-stiker cinta. Ia tidak mau ambil pusing. Mungkin karena sedang datang bulan, pikirnya. Selesai makan Wildan merokok di teras rumah. Memandangi motor dan mobil yang lalu lalang. Mereka mengontrak sebuah rumah dekat dengan jalan raya. Rokoknya habis baru ia masuk ke dalam rumah. Dibukanya pintu kamar, istrinya sedang berbaring. Ia menghampiri lalu naik ke atas ranjang.
"Kita pisah aja," ucap Salma tiba-tiba saat mereka hendak tidur. Tentu saja sang suami terkejut bukan main. Bagaikan tersambar petir. Ia terdiam menyakin diri jika salah dengar.
"Kalau ngomong ngaco aja," ucapnya. Mengenyahkan pikiran negatif.
"Mungkin ini lebih baik," sahut Salma.
"Aku nggak mau." Wildan memeluk tubuhnya. Namun, istrinya menolak. Berusaha melepaskan tangan sang suami.
"Yah, kita pisah aja." Salma menatap memohon pada suaminya. Wildan tidak tahu bahwa, wanita yang hidup bersamanya selama 3 tahun ini telah menyimpan luka yang sudah tidak bisa di bendungnya lagi. Batinnya sudah tidak kuat. Dan kini akhirnya menyerah.
"Aku nggak mau. Kamu kenapa sih?" tanyanya heran. Memang beberapa hari ini istrinya berubah. Mendiamkannya dan sering melamun.
"Biar kita sama-sama bebas. Kamu bisa milih cewek lain yang lebih dari aku."
"Aku nggak mau, kamu kalau ngomong ngaco!" Wildan berbalik marah. "Kenapa kamu bisa ngomong begitu? Aku udah punya istri. Ini istri aku," ucapnya seraya berusaha memeluk istrinya. "Aku nggak mau yang lain!" ucap Wildan tegas.
"Yah," ulangnya. Pria itu menggelengkan kepalanya. Ini bukan candaan lagi. Istrinya serius karena tidak tertawa sedikit pun.
"Kenapa kamu bilang begitu, Salma?"
"Ini yang terbaik buat kita. Kamu bisa nyari yang lebih muda dan cantik dari aku. Kamu bisa punya anak banyak nantinya."
"Kamu cantik. Aku nggak butuh yang lain," sahut Wildan dengan menatap tajam. Kini wajahnya berubah serius. "Aku punya kamu."
Salma tertegun. Memang Wildan adalah sosok suami yang baik, setia dan selalu membantu pekerjaan rumah. Namun, sayangnya ada sesuatu yang tidak bisa di jelaskan. Sesuatu yang membuat rumah tangganya berada di ujung tanduk saat ini.
"Kamu pikir-pikir dulu sekarang. Aku kasih waktu tiga hari buat ngasih jawaban. Aku harap kamu jawab iya. Masalah keluarga kamu bilang aja kalau aku yang selingkuh." Biarlah dirinya yang di salahkan. Dan memang seperti itu dari dulu.
"Apa-apaan kamu ini!" ucapnya berang. "Nggak ada tiga hari, pokoknya jawabannya tetap nggak. Kamu ini kenapa sih, Salma?" tanyanya putus asa. Mata pria itu memerah seakan ingin menangis.
Salma tidak bisa mengungkapkannya. Lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan apa sebabnya. Kenapa ia ingin menyudahi pernikahannya. Dirinya belum mampu untuk itu. Pikirnya biarlah itu menjadi masalahnya sendiri tanpa Wildan tahu.
"Aku udah nggak kuat, aku mau bebas." Suara Salma terdengar lirih.
"Apa selama ini aku mengekangmu?" tanya Wildan tidak habis pikir.
"Ya, aku nggak boleh main. Belum lagi yang lainnya," alasannya. Padahal bukan itu.
"Aku nggak pernah larang. Yang penting kamu kasih aku kabar. Dan perginya sama siapa."
"Aku udah nggak sayang kamu lagi," selorohnya. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Dan itu bohong. "Aku ingin bebas. Kamu bisa sama yang lain, begitu juga aku." Wildan termangu, tidak percaya dengan apa yang Salma katakan. "Jadi kita pisah aja," lanjutnya meminta persetujuan.
"Jangan ngomong seperti itu lagi. Pokoknya nggak!" Wildan tidak percaya jika Salma tidak mencintainya lagi. Walaupun istrinya suka marah-marah dan sulit di mengerti. Ia bisa merasakan bahwa Salma mencintainya. Begitu pun sebaliknya. "Apa ada yang salah sama aku?" tanyanya.
Salma menggelengkan kepalanya. "Nggak ada, salahnya ada di aku."
"Kalau aku yang salah, aku minta maaf."
"Kamu nggak salah, aku yang-," Wildan mencium bibirnya agar Salma tidak mengucapkan apapun lagi. Sang istri mendorongnya sehingga tautan bibirnya terlepas. Salma menghapus jejak di bibirnya. "Aku udah nggak sayang kamu." Ia mengulang ucapannya dengan serius. "Kalau kamu nggak setuju. Biar aku yang mengugat dan ngurusnya ke pengadilan," ucapnya. Wildan tidak bisa berkata-kata lagi. Nyawanya seakan di cabut detik itu juga. Tanpa ada pertengkaran hebat dalam rumah tangganya. Salma ingin bercerai darinya.
Dalam keheningan malam keduanya saling bertatapan. Dengan pikiran masing-masing. Salma sudah yakin dengan keputusannya. Ia tidak akan merubahnya kembali atau menarik kata-kata yang sudah keluar dari bibirnya. Meski Wildan memohon agar tetap bersama. Inilah yang terbaik untuk mereka. Dirinya tidak mau tersiksa. Ia akan melanjutkan kehidupannya nanti dengan bekerja. Menghidupi dirinya sendiri serta keluarganya. Lebih baik berpisah dari pada terluka.
"Maaf," ucap Salma di dalam hatinya. Ia tidak bisa melanjutkan hidup bersama Wildan. Cukup sampai di sini saja.
Yeyyy!! Prolog nya udah di update. Selanjutnya berbayar yaaa ^^
Semoga kalian sukaaaa…
Happy Reading!! ^^
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

