
Blurb
Salma lebih memilih berpisah. Bukan karena ia tidak mencintai Wildan lagi. Pernikahannya bahagia. Tapi inilah jalan yang terbaik untuk keduanya.
Salma menyakini jika cinta tidak harus memiliki. Ia sudah berusaha bertahan. Sampai akhirnya menyerah, karena dirinyalah yang selalu di salahkan.
Apakah titik temu dalam hidup Salma? Kembali pada Wildan atau bersama dengan pria lain?
************
Prolog
Pukul 22.00 WIB Salma menunggu Wildan yang belum sampai rumah. Suaminya bekerja di Jakarta. Pulangnya...
Part 1
Wanita itu menundukkan kepalanya. Setelah mendengar ucapan dari sang mantan. Seseorang yang selama 3 tahun ini pernah hidup bersama. Tapi kini tidak ada lagi ikatan suci di antara mereka. Wanita itu mengangkat kepalanya seraya menatap lekat pria yang duduk di hadapannya. Bibirnya menipis menyunggingkan sebuah senyuman.
"Ya, inilah yang terbaik untuk kita semua." Ucapannya menyelipkan kata 'semua' yang mengartikan bahwa, bukan hanya tentang mereka berdua melainkan ada orang lain. Ia mengalihkan pandangannya pada berkas yang tergeletak di atas meja. Yang berisikan akta cerai. Mereka baru pulang dari kantor pengadilan. Semuanya sudah selesai sampai di sini.
"Kenapa kamu nggak mempertahankannya. Kenapa cuma aku aja?" tanya pria itu.
"Inilah kenapa aku tetap ingin berpisah. Kamu nggak pernah melihat perjuanganku untuk mempertahankan pernikahan kita sebelumnya. Kamu seakan lupa, apa yang telah aku lakukan."
Pria itu terdiam, memandangi mantan istrinya dengan sendu. Hatinya bertanya-tanya, apa itu benar? Dirinya tidak pernah melihat itu? Apakah dirinya bodoh? Dalam gugatan Salma mengatakan jika sudah tidak ada kecocokan di antara mereka. Tidak seperti awalnya yang Salma katakan yakni dirinya berselingkuh dengan pria lain. Itu sangat berat, Wildan tidak ingin keluarganya membenci Salma. Dan itu kebohongan semata. Ia tahu bahwa mantan istrinya tidak selingkuh.
"Aku harap secepatnya kamu bisa menemukan seseorang. Membangun rumah tangga kembali dan mempunyai anak yang banyak," ucap Salma sambil terkekeh. Berusaha menguatkan dirinya sendiri.
Wildan menanggapinya dengan tatapan yang sulit di artikan. "Perpisahan ini apa karena anak?"
"Bukan, aku udah bilang kan. Bukan tentang anak." Salma enggan membahasnya. "Aku harap kamu menemukan kebahagiaan dengan yang lain."
"Kebahagiaanku itu sama kamu," sahut Wildan. Wanita itu tidak ingin goyah.
Salma menggelengkan kepalanya. "Kadang ada sesuatu keinginan kita yang nggak sesuai harapan. Kadang suka meleset. Tapi, aku yakin rencana Tuhan lebih Indah."
"Apa menurutmu perpisahan kita, ini takdir?"
"Ya, aku yakin itu." Salma meyakinkan Wildan.
"Terima kasih udah mau hidup bersamaku selama tiga tahun ini," ucap Wildan pada Salma dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak bisa menutupi rasa sedih dan kecewanya.
"Begitupun aku," sahut Salma seraya meyakinkan hatinya. Wildan mengulurkan tangan. Wanita itu lantas menyambutnya. "Terima kasih, atas kerja samanya selama ini," sambungnya. Wildan bangkit dari kursi lalu pergi.
Salma memandangi punggung pria itu yang semakin menjauh dari pandangannya. Ia menarik napas panjang. Kini dirinya sudah bebas, dan harus menata kembali hidupnya. Dulu ia bekerja, namun semenjak menikah berhenti. Salma ingin membuka usaha kecil-kecilan. Untuk bisa menyambung hidupnya.
"Tuhan jika ini yang terbaik. Kuatkan hatiku dan tolong hilangkan semua perasaanku padanya. Jangan membebaniku dengan perasaan yang masih sama."
***
Lima bulan kemudian
Salma tinggal di rumah orang tuanya kembali. Ibu dan ayahnya tidak mempermasalahkan perceraiannya. Hanya menyayangkan saja. Wildan menantu yang baik. Akan tetapi kedua orangnya memahami keputusan Salma. Mungkin ada sesuatu yang tidak mereka tahu di antara Salma dan Wildan. Tidak ingin anaknya terus menderita. Inilah yang terbaik untuk putri mereka.
"Salma," panggil ayahnya, Pak Tinto. Putrinya sedang menonton TV.
"Iya, Yah?"
"Sekarang kamu mau gimana?" tanyanya.
"Salma mau kerja tapi bingung, Yah. Kerja apa, umur Salma udah nggak muda lagi," keluhnya. "Pengennya sih mau buka usaha gitu, Yah. Tapi bingung juga nggak ada modalnya." Ia tertawa. Pak Tinto sudah pensiun tidak bekerja.
"Bener kamu mau punya usaha?"
"Pengennya sih, Yah. Tapi," Salma berhenti bicara.
"Ya udah, kamu pikirin dulu aja. Mau buka usaha apa. Nanti kasih tau Ayah," ucap Pak Tinto.
"Tapi, Yah." Salma memikirkan modalnya dari mana.
"Udah kamu pikirin dulu aja. Buka usaha apa yang sekarang lagi rame-ramenya. Masalah modal nanti kita cari solusinya." Pak Tinto ingin Salma punya kegiatan. Putrinya bukan lagi seorang istri. Pasti suntuk jika tidak ada aktivitas.
"Iya, Yah. Aku cari dulu kalau begitu." Salma mengangguk. Ia harus menghubungi sahabatnya. Untuk saling bertukar pikiran. Mungkin saja sahabatnya itu mempunyai ide.
"Wit, kamu ada dimana?"
Salma mengirim pesan pada sahabatnya. Mereka sudah berteman sejak SMA. Sudah pasti kedekatan mereka sudah seperti saudara kandung. Hanya Wita yang tahu alasan Salma bercerai dari Wildan. Sahabatnya itu tidak menghakimi Salma. Ia tahu sangat sulit jika di teruskan. Masalahnya tidak akan ada selesainya dan akan terus berulang.
"Aku ada di rumah."
Wita menjawab pesan darinya.
"Kenapa?"
"Kita jalan yuk,"
"Yuk, aku juga lagi bete banget."
Mereka janjian bertemu di sebuah kafe pukul 14.00 WIB. Salma segera mandi dan mengganti pakaiannya. Barang-barang yang di kontrakan sudah ia ambil. Di sana yang tersisa hanya kenangan. Di rumah orang tuanya, kamar miliknya masih tertata rapi. Tidak ada yang pakai. Pak Tinto dan Bu Eno memiliki tiga anak. Yang pertama dan kedua laki-laki juga itu pun sudah menikah. Dan tinggal jauh. Salma anak terakhir dan anak perempuan satu-satunya.
Wita sampai lebih dulu di kafe. Tidak lama Salma. Mereka saling berpelukan dan saling melepas rindu. Selama Salma menikah, mereka jarang bertemu. Wita tahu sibuknya menjadi istri dan tidak bisa pergi tanpa seizin suami. Sedangkan dirinya masih sendiri. Wita tidak tertarik dengan pernikahan. Ia tidak mau di repotkan dengan yang namanya kegiatan rumah tangga. Apalagi mempunyai anak. Di pikirannya, mengurus diri sendiri saja repot. Ditambah harus hidup mengurus orang lain.
"Rasanya lama banget kita nggak ketemu ya. Padahal baru kemarin," ucap Wita. Dulu ia yang mengantar Salma ke pengadilan. Saat tahu Wildan datang juga. Wita pulang terlebih dahulu tidak ingin mengganggu. Pasti ada yang ingin mereka bicarakan. "Gimana sekarang udah sendiri? Bebas?"
Salma tertawa kecil. "Iyah, tapi.. "
"Aku tahu, kamu cuma belum terbiasa aja. Pasti berat buat sekarang-sekarang. Tapi tenang aja, ada aku yang akan selalu menemanimu." Wita menepuk-nepuk dadanya. Mereka menjadi tertawa.
"Gini Wit, sekarang kan aku udah nggak kerja. Menurut kamu kalau aku buka usaha, kira-kira apa ya?"
"Bagus itu. Nanti aku naro saham," candanya.
"Usahanya aja aku masih bingung," sahut Salma.
"Gimana kalau kita buka usaha toko, macem kosmetik dan lain-lain gitu. Walaupun nggak laku kan expired nya lama," kelakarnya. "Sekarang yang lagi hist itu skincare dan gaya mode."
"Kayak gimana?"
"Itu macem-macem barang, kayak baju dan tas juga. Ya kita beli dikit-dikit aja dulu, karena kita baru mau buka. Kita cari ruko. Gimana?"
"Boleh itu," Salma senang dengan ide Wita. "Aku bilang Ayah nanti."
"Kita cari rukonya dulu."
"Kita cari modalnya dulu itu yang utama," sahut Salma sambil mendelik.
"Iya, sih." Wita cengengesan.
"Nanti aku bilang ke ayah dulu kalau begitu."
"Iyah," Wita mengangguk. "Orang tuamu belum tau alasan kenapa kamu cerai?" tanya Wita.
Salma menghela napas. "Belum, aku nggak mau mereka ke pikiran. Aku cuma bilang kalau kita udah nggak cocok lagi."
"Alasan klise," Wita tertawa hambar. Ia memainkan sedotan minumannya.
"Memang," Salma setuju.
"Kamu masih cinta dia?" tanya Wita.
Salma termenung lalu menyunggingkan senyuman. "Tiga tahun setengah itu bukan waktu yang sebentar." Wita mengerti arti kata-katanya. Sulit untuk melupakan atau menghilang perasaan itu. Apalagi Wildan laki-lakinya yang tidak pernah macam-macam. Tidak mudah menghapus perasaan cintanya. Ia hanya bisa menutupi dengan bersikap biasa-biasa saja.
"Tapi aku percaya kamu bisa," ucap Wita memberi semangat. "Kedepannya, carilah laki-laki lain yang anak tunggal." Wanita itu tertawa terbahak-bahak. Salma mendelik. "Biar nggak ada yang mencampuri rumah tangga kalian."
"Yang utama itu, tapi kamu nikah dulu. Biar tau gimana rasanya berumah tangga," cibirnya.
"Oh, nggak! Kamu tau sendiri kan. Aku nggak tertarik sama pernikahan. Contohnya aja udah di depan mata aku sendiri," ucap Wita menyeringai.
Salma menggelengkan kepalanya. "Masalahku jangan di jadiin tumpuan. Banyak yang setelah nikah hidup bahagia. Kalau aku mungkin belum."
"Nah itu dia, aku takut kita senasib." Wita tidak mau ada statusnya berumah menjadi janda. Lebih baik sendiri dan menikmati hidupnya sekarang.
"Dasar!" omel Salma.
"Sekarang tujuan kita jadi perempuan kaya aja. Kamu bisa buktiin kalau kamu bisa bahagia tanpa Wildan," ucap Wita.
"Buka lembaran baru ya," timpal Salma.
"Iyah, perempuan kalau udah punya. Dia nggak mikirin laki-laki. Beda sama laki-laki kalau udah punya, butuh banyak perempuan."
"Setuju," jawab Salma.
"Ngomong-ngomong kita makan dulu yuk. Baru kita nonton bioskop. Pasti kamu kangen masa-masa itu kan?" tanya Wita.
"Ya," Salma rindu pada masa-masa sendirinya dulu. Kini ia bisa melakukannya lagi.
Mereka memesan makanan sebelum ke bioskop. Bercengkerama tentang apa saja. Ada saja topik yang menarik. Dengan Wita, Salma bisa tertawa lepas. Dulu batinnya merasa tersiksa. Dan selalu berpura-pura terlihat bahagia. Kini dirinya bisa menghirup udara bebas. Beban di pundaknya seperti pelan-pelan berkurang. Ia bisa merasakannya. Salma berterima kasih pada dirinya bisa sekuat ini.
Part 2
Di sebuah rumah sederhana ditumbuhi pepohonan yang asri. Salma duduk sambil mengamati ayahnya yang sedang memberi makan burung. Kegiatan Pak Tinto sehari-hari. Setelah pensiun beliau memelihara beberapa burung dan juga kucing yang terlantar.
"Yah," panggil Salma.
Pak Tinto menoleh. "Kenapa?"
"Kemarin Salma udah ngomong sama Wita. Dia nyaranin buat buka usaha toko sama yang lainnya gitu. Kira-kira gimana?" tanyanya.
"Bagus itu," Pak Tinto setuju.
"Tapi kayaknya modalnya nggak sedikit, Yah." Salma menghela napas.
"Ya nggak apa-apa. Tapi itu udah pasti kan? Kenapa nggak makanan?" tanya Pak Tinto.
"Kata Wita jangan, nantinya kalau nggak laku pasti kebuang. Kalau kosmetik, baju sama tas kan nggak ada basinya gitu, Yah."
"Bener sih," sahut Pak Tinto. "Ya udah kalau begitu. Kamu catet aja apa yang harus di beli. Kira-kira butuh modal berapa."
"Yang utama Salma mau nyari ruko yang strategis, Yah."
"Iyah, mau nyari sama siapa?"
"Sama Wita paling. Tapi, Yah. Apa Ayah punya uang buat,-" ayahnya segera memotong ucapannya.
"Ada kok, yang penting kamu tekun buat ngejalanin usahanya." Pak Tinto tersenyum. Ia melanjutkan membersihkan kandang burung. Salma memandangi ayahnya. Rambutnya sudah memutih tapi masih gesit. Dulu ayahnya ingin sekali punya cucu darinya. Namun, setelah menikah 3 tahun belum juga di karuniai. Justru kini pernikahannya telah kandas.
Bu Eno datang membawa susu untuk Pak Tinto. Beliau sudah tidak minum kopi sudah lama karena tidak baik untuk kesehatan. Bu Eno selalu mengomel sehingga menggantinya dengan susu. "Lagi ngomongin apa sih, seru banget."
"Salma mau buka usaha, Ma." Salma menyengir.
"Bagus itu biar kamu punya kegiatan. Mama setuju banget." Ia meletakkan gelas susu dan camilan yakni pisang goreng. "Usaha apa?"
"Toko, Ma. Seperti keperluan perempuan, Ma. Kayak kosmetik dan lain-lain. Itu idenya Wita, Ma," ucap Salma sambil mengambil pisang goreng. Bu Eno duduk di sebelahnya.
"Oh, bagus idenya Wita. Oia, dia belum nikah juga ya?" celetuk Bu Eno tanpa di sadari.
"Dia nggak mau nikah, Ma."
"Lho, kenapa?" Bu Eno heran.
"Yang nikah aja cerai," sahut Salma seperti menyindir diri sendiri.
Bu Eno terdiam sesaat. Itu terjadi pada putrinya sendiri. "Jalan hidup orang kan nggak tau, sayang. Memang ada yang menikah terus bercerai, tapi ada juga yang langgeng. Jangan melihat yang buruknya aja. Sampai lupa kalau ada yang bahagia setelah menikah. Kalau memang udah jalannya, ya udah. Mau gimana lagi. Namanya kita manusia cuma menjalani aja. Yang buat skenario ya Tuhan. Jadiin semuanya pembelajaran. Mama yakin nggak ada yang mau pernikahannya berakhir dengan perceraian. Begitu pun kamu kan?"
"Iya, Ma." Salma mengangguk. Tidak pernah terbayangkan. Ia sangat bersyukur mempunyai orang tua yang pemikirannya terbuka. Tidak membuatnya terus menerus terpuruk dan menangisi nasibnya.
"Seumur hidup itu lama, sayang." Jika permasalahannya itu lagi dan lagi. Hanya akan menguras tenaga, pikiran dan juga batin. Tidak akan kuat, jadi lebih baik berhenti sebelum terlambat. Bu Eno berpikir logis. Pak Tinto masuk ke dalam rumah mengambil kandang burung lainnya.
"Ma, ayah punya uang dari mana buat modal buka usaha Salma?" tanya Salma.
Bu Eno tersenyum. Ia sudah berunding dengan Pak Tinto. Mereka mempunyai sebuah lahan. Dan akan di jual untuk modal Salma. Kakak-kakaknya sudah setuju. Sebagian akan di bagi-bagikan dengan kedua kakaknya. Sebelumnya memang sudah ada peminatnya. Namun, Pak Tinto masih menahannya karena untuk apa. Sekarang Salma membutuhkan modal untuk usaha. Sehingga beliau akan melepas lahan tersebut.
"Kamu nggak usah mikirin itu, biar Ayah aja." Bu Eno tidak memberitahunya. Jika Salma tahu pasti menolaknya. Apalagi sampai menjual tanah milik orang tuanya.
"Tapi, Ma.. " Salma enak hati. Menyusahkan orang tuanya sendiri.
"Tenang aja, ayahmu banyak uangnya kok." Bu Eno bercanda lalu tertawa. Salma tertawa kecil.
"Salma cuma nggak mau Ayah berhutang buat aku, Ma."
"Nggak kok sayang, percaya sama Mama. Mama sama ayahmu ini udah tua. Kalau berhutang, mau dari mana bayarnya? Lagian udah nggak kerja juga," ucap Bu Eno.
"Awas sampai berhutang ya, Ma. Aku nggak mau."
"Iyah, sayang. Nanti kamu cari-cari apa yang mau di beli. Kayak rak buat majang barang-barang kan harus pesan dulu"
"Iya, Ma. Aku ma Wita mau nyari rukonya dulu. Baru nanti mesen buat rak barang-barangnya. Mungkin aku mau buka toko Online juga. Kan lumayan buat tambahan ya, Ma."
"Iyah, bagus itu. Sekarang kan apa-apa sistem Online," sahut Bu Eno.
"Iya, Ma."
***
Salma menyibukkan diri dengan mencari ruko untuk usahanya. Ia menaiki motor, keliling jalanan Bogor. Mencari tempat yang strategis. Wita sedang bekerja sehingga harus mencarinya sendiri. Kecuali weekend Wita libur. Ternyata tidak mudah, ada beberapa ruko yang menarik perhatiannya akan tetapi harga sewanya mahal. Salma tidak berani karena usahanya baru.
"Aku harus cari ke mana lagi ya," keluhnya. Ia sedang beristirahat di taman kota. Dari pagi sudah di jalanan belum juga ada yang cocok. Terutama cocok di kantong. Tiba-tiba ponselnya bersuara. Ada chat masuk si pengirim adalah Wita.
"Gimana?"
"Belum ketemu yang pas. Harga sewanya mahal-mahal." Salma membalasnya. Raut wajahnya berubah sedih.
"Sabar, nanti kita cari bareng kalau aku libur."
"Iya,"
"Nanti coba aku tanya-tanya ke temen kantor. Kali ada yang punya kenalan yang suka sewain ruko. Bisa harga miring."
"Iya, mudah-mudahan ya."
"Kita ketemu yuk. Sekalian makan siang juga."
"Traktir ya," Salma mengirim chat.
"Iyah, tenang aja. Cilok lima ribu ya."
"Minimal MCD dong,"
"Kemahalan itu mah ah. Kita ketemu di depan kantorku ya. Sekalian jemput aku. Males bawa mobil."
Wita tahu pasti Salma mengendarai motor.
"Baiklah."
Setengah jam lagi waktunya makan siang Wita. Salma buru-buru mengenakan helmnya. Ia berjalan ke motornya yang terparkir di pinggir jalan. Di nyalakannya motor tersebut lalu pergi menuju kantor sahabatnya. Sesampainya di sana Salma menunggu Wita turun. Banyak karyawan yang keluar dari kantor untuk makan siang. Beberapa memperhatikan Salma yang berdiri di lobi kantor.
Saat ini usia Salma sudah 27 tahun. Dulu ia menikah dengan Wildan di usia 24 tahun. Keputusan yang sangat cepat dengan perkenalan yang singkat pula. Ternyata berakhir cepat juga pernikahannya. Mungkin ia terburu-buru mengambil keputusan. Tanpa tahu bagaimana keluarga Wildan yang sebenarnya. Itulah kesalahannya, jika Salma tahu lebih awal. Mungkin pernikahan itu tidak akan terjadi. Ibaratnya nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang perlu di sesali semuanya sudah terjadi.
Di SMA Salma terkenal dengan kecantikannya dan juga ramah. Sampai saat ini wanita itu masih cantik dengan rambut lurus panjang. Matanya yang bulat dengan bulu mata yang lentik. Berkulit putih turunan dari ibunya. Dengan tinggi 160 cm dan berat 55 kg. Tidak heran dirinya menjadi pusat perhatian. Walaupun berstatus janda. Tidak akan ada yang menyangka. Saat ini ia mengenakan kemeja di padu padankan dengan jeans berwarna navi.
"Salma!" teriak Wita memanggil namanya. Ia melambaikan tangannya. Salma tersenyum. "Maaf lama ya," ucapnya menghampiri.
"Iyah, nggak apa-apa kok."
Mereka makan siang bakso langganan. Siang-siang memang enaknya makan bakso dengan di temani es teh manis. Wita yang memesankan. Salma hanya duduk cantik. Tukang baksonya pun sudah mengenal Wita yang mudah akrab dengan siapa pun. Mereka tinggal menunggu pesanan datang.
"Kalau makan siang rame ya. Untung kita masih kebagian tempat," ucap Wita sambil mengedarkan pandangannya.
"Iyah, bisa-bisa makan di bawah pohon kayak dulu ya."
"Ho.oh." Wita terkekeh. "Gimana tadi udah dapet?"
Salma menghela napas. "Begitulah, ada yang aku suka tapi harga sewanya mahal banget. Ada yang lumayan terjangkau tapi rukonya kurang strategis."
Wita mengangguk kepalanya. "Belum nemu yang cocok ya. Coba nanti kita cari lagi kalau begitu."
"Iyah," jawab Salma. Pesanan mereka datang dan langsung di nikmati.
"Salma," ucap Wita di sela-sela makannya. Wanita yang di panggil hanya berdehem. "Di kantor ada anak baru rese banget. Suka bikin aku kesel!" gerutunya.
"Ganteng nggak?" tanya Salma spontan.
"Tengil begitu," ucap Wita dengan raut wajah kesal. Ia tidak mau mengakui bahwa orang baru itu memang tampan.
"Ya kalau ganteng kan, lumayan."
"Lumayan apa?" Wita berdecak.
"Bisa di jadiin pacar," ucap Salma sambil tersenyum miring.
Wita mendelik. "Aku nyari laki-laki nggak pernah mandang tampangnya."
"Terus?"
"Hatinya lah," jawab Wita.
"Masa?" Salma tidak percaya. Jika Wita memandang hati, pasti ia akan mempertimbangkan pernikahan. Tapi kenyataannya wanita itu tidak tertarik. Wita hanya bermain-main dengan pria, sebatas menjadi kekasihnya saja. Dulu ada yang mau serius, Wita langsung memutuskan hubungan mereka. Ia menjadi risih setelah tahu jika pria itu ingin menikahinya.
"Ya, nggak juga sih." Wita menyengir. Kini giliran Salma yang berdecak. Mantan-mantan Wita rata-rata berwajah tampan dan berada. Sayangnya jika ada yang ingin serius. Wita menyudahi hubungan mereka. Tidak ada pernikahan dalam catatan dalam hidupnya. Ia lebih baik sendiri dan menikmati hidupnya. Contohnya Salma, dirinya tidak ingin seperti sahabatnya. Menikah dan berakhir. Dalam pernikahan bukan hanya tentang dua orang melainkan dua keluarga.
Part 3
Suara ketukan pintu membangunkan Salma dari tidur lelapnya. Ia lupa jika sudah berjanji dengan Wita mencari ruko kosong. Wanita itu bangun dari ranjangnya lalu berjalan membuka pintu. Ternyata Wita sudah berada di hadapannya.
"Ini tuan Putri baru bangun?" sindir Wita sambil menggelengkan kepalanya. Tangannya di silangkan ke dada.
Salma menyengir. "Biasa maraton nonton drama Korea." Sewaktu menikah jarang ia lakukan karena sudah terlalu lelah. Kini tidak ada kegiatan sehingga dirinya melakukan apa pun seperti sebelum menikah dulu. "Masuk," ajaknya pada Wita. Sahabatnya masuk ke dalam dan duduk di atas ranjang. "Aku mandi dulu ya."
"Iyah," sahut Wita. Sambil menunggu Salma selesai, Wita mengambil ponselnya di dalam tas. Mengecek ada chat dari teman kantornya. Ia segera membalasnya. Di grup sedang ramai karena si anak baru. Wita hanya menjadi penyimak saja. Biasanya dirinya yang rajin memberikan komentar-komentar chat temannya. Lama menunggu Salma, ia tiduran di ranjang. Sebenarnya Wita lelah dengan rutinitasnya yang hanya bekerja dan bekerja. Ingin sekali resign akan tetapi tidak pernah terjadi sampai detik ini.
Keluarganya merupakan dari kalangan berada. Ia tinggal di apartemen dan mempunyai mobil hadiah ulang tahun dari ayahnya. Wita bekerja hanya mengisi waktu luang saja. Dan salah satu alasannya juga ingin hidup bebas tanpa di awasi oleh orang tuanya. Yang penting adalah Wita bisa menjaga dirinya sendiri. Ia telah buktikan hingga saat ini. Keluarga besarnya tinggal di Bandung. Mungkin sebulan sekali mengunjunginya atau Wita yang ke sana.
Setengah jam berlalu Salma baru keluar dari kamar mandi. Wita sampai ketiduran karena kamar sahabatnya itu sangat nyaman sekali. Salma tertawa kecil melihat Wita. "Kebiasaan," ucapnya pelan. Ia segera mengenakan pakaian dan juga memoles make up di wajahnya. Membiarkan Wita beristirahat karena kelelahan mengejar dateline.
***
Wita mengelilingi kota Bogor dengan Salma menggunakan mobilnya. Sudah beberapa ruko yang di sambanginya. Namun, belum ada yang cocok juga. Mereka beristirahat di pinggir jalan Raya. Dimana banyak pedagang kaki lima yang mangkal. Lokasinya dekat dengan sekolah SMA. Wita memesan minuman. Mereka berdiri di dekat mobil.
"Belum ada yang cocok juga ya," ucap Wita.
"Iyah, tempatnya nggak strategis." Salma menjawabnya dengan lesu.
"Kalau di sini cocok nih. Dekat sekolahan ya," ucap Salma seraya memperhatikan keadaan sekitar.
"Bener, jalan Raya lagi. Banyak orang yang lalu lalang."
"Ini, Kak. Minumannya," ucap tukang es.
"Makasih ya, Mang."
Mereka duduk di trotoar. Di payungi pepohonan besar dan rindang yang tumbuh di pinggir jalan. Wita mengamati ruko-ruko yang ada di seberang jalan. Ada sebuah ruko kosong. Dengan tulisan ‘Di sewakan' seketika matanya bersinar. Mungkin ini yang namanya kebetulan tidak terduga.
"Salma, kata kamu ini lokasi yang bagus kan?" tanyanya dengan semangat.
"Iyah," jawabnya polos.
"Mungkin ini yang namanya jodoh. Coba kamu liat itu di depan," tuturnya dengan mata berbinar-binar. Ia menunjuk ke arah seberang.
Mata Salma langsung tertuju. Ada ruko kosong yang di sewakan. Deretan dengan beberapa toko seperti bakery toko sepatu dan kafe. "Nah, ini yang aku cari, Wit."
"Kita ke sana yuk, di sana ada nomor hapenya. Kita hubungi, mudah-mudahan harga sewanya nggak mahal." Wita yang begitu semangat. Ia lantas menarik tangan Salma untuk menyeberang. Di depan ruko Salma segera menghubungi nomor yang tertera. Ternyata tidak di angkat-angkat. Padahal sambungan teleponnya bagus.
"Gimana?" tanya Wita.
"Nggak di angkat-angkat," jawabnya dengan kecewa. Berulang-ulang kali hasilnya nihil. Salma memancarkan raut wajah kecewa. Sekalinya cocok tapi ada kendala. Ia menggelengkan kepalanya.
"Coba nanti kita coba lagi. Kamu save nomornya," ucap Wita.
"Iya," Salma menyimpan nomor ponsel pemilik ruko. Ia akan menghubunginya lagi nanti. Wita memotret rukonya dan membuat status di aplikasi whatsapp miliknya dengan caption.
'Padahal udah cocok tempatnya. Tapi pemiliknya susah di hubungi.'
"Kita balik lagi yuk, es kita keburu nggak dingin nanti." Salma mengangguk. Mereka kembali ke tempat tadi. Mengobrol sambil memperhatikan mobil dan motor yang lalu lalang.
"Ngomong-ngomong sekarang kamu lagi deket sama siapa, Wit?" tanya Salma iseng. Akhir-akhir ini Wita sering jalan dengannya. Biasanya jika memiliki kekasih sangat sulit.
"Lagi jomblo sekarang aku," sahutnya enteng.
"Masa?" Salma tidak percaya.
"Iyah, ngapain juga bohong. Kayaknya aku udah bosen pacaran,"
"Kalau begitu berarti pengen nikah dong," celetuk Salma sambil menyengir.
Wita memicingkan matanya. "Nggak itu juga kali. Kamu tau kan aku nggak mau nikah. Cuma bosen sama pacaran. Pengen sendiri dulu kayaknya."
Salma tertawa renyah. "Kirain udah berubah pikiran sekarang mau nikah."
"Nggak mau. Aku nggak mau ngelibatin seseorang dalam hidup aku yang rumit ini. Kasian anak orang, Salma. Hidup sama aku yang ada bikin pusing dia, bukannya bahagia."
"Ya kan kita nggak tau nantinya hidup kita gimana," ucap Salma.
"Aku nggak mau berekspetasi sama manusia. Yang ada kecewa. Sebaliknya takut laki-laki itu kecewa sama aku. Sendiri lebih baik," ucap Wita seraya menghela napas.
"Kita sekarang sama-sama jomblo. Jadi nikmatin hidup aja yang ada. Aku juga lagi buka lembaran hidup yang baru."
"Semangat!!" ucap Wita.
"Semangat!!" sahut Salma.
"Ada ke pikiran buat nikah lagi nggak kamu?" tanya Wita ingin tahu.
"Nggak tau, aku juga. Aku trauma," ucapnya dengan sendu.
"Kayaknya mental kamu udah kena." Wita memandangi sahabatnya tersebut. Batinnya terluka sudah dalam tanpa ada yang tahu. Namun, ia bisa merasakannya. "Kalau buat hubungan sama laki-laki lain gimana? Masih mau?"
"Aku takut di sakitin. Apa laki-laki itu sebaik Wildan?" itu menjadi tolak ukur baginya. Tidak semuanya pria itu sama. Bagaimana jika ia bertemu dengan seseorang yang kasar? Itu akan membuatnya lebih menderita. "Bener kata kamu, kayaknya sendiri lebih baik. Tanpa ngelibatin hidup orang lain. Apalagi menikah itu bukan hanya dua orang tapi bersangkutan dengan orang banyak. Kalau kamu belum sanggup mendingan jangan. Menikah itu bener-bener menguji. Bukan cuma mental tapi juga fisik juga. Kalau kamu ketemu suami dan keluarga yang baik. Kalau nggak ya seperti aku ini, bercerai."
"Kalau keluarga udah ikut campur urusan rumah tangga. Nggak ada yang bener. Ujung-ujungnya pasti berpisah. Tapi segitu kamu pisah rumah ya."
"Tapi mereka suka maen ke kontrakan. Dan ngomong macem-macem. Aku yang ngurusin Wildan aja seolah-olah nggak di urusin. Belum lagi omongan yang lainnya," ucap Salma.
"Repot kalau begitu. Padahal Wildan yang tau gimana kamu ngurusin dia. Tapi keluarganya nganggap kamu nggak ngurusin."
"Wildan itu orang yang baik, dia nurutin apa yang aku mau apa pun itu. Dia nggak kasar atau nggak suka marah-marah ke aku. Dia laki-laki yang baik. Aku harap dia ketemu sama perempuan yang bisa buat dia bahagia. Dan keluarganya juga nerima perempuan itu. Jangan kayak aku," ucapnya dengan nada sedih.
"Jadi kamu ngelepasin Wildan agar dia bahagia?" tanya Wita.
Salma mengangguk. Matanya terasa panas. "Ya, aku nggak bisa masuk ke keluarganya. Terlalu bertentangan sama aku."
"Kadang begitu ya, ada pihak keluarga yang kurang menerima. Itu sulit banget buat kita masuk. Apa pun yang kita lakuin tetep aja salah di mata mereka."
"Ya begitu," Salma segera menghapus air matanya yang hendak turun di sudut mata. Ia malu di depan Wita. Padahal sahabatnya itu mengerti. Melepaskan seseorang yang masih kita cintai itu berat dan sulit. Kenangan-kenangan manis masih tersimpan. Tidak mungkin bisa di hilangkan begitu saja.
Wita menggenggam tangannya. "Kamu perempuan kuat! Jangan patah semangat. Sekarang kita bisa liburan berdua. Ke Bali??"
Salma terkekeh, "aku harus ngumpulin uangnya dulu. Baru juga mau buka usaha."
"Aku tunggu kok. Tenang aja," sahutnya seraya tersenyum. Salma membalasnya. Tidak terasa hari sudah sore. Mereka memutuskan untuk pulang. Seharian lelah berkeliling. Tinggal Salma menghubungi pemilik rukonya. Jika deal, ia akan segera mempersiapkan usahanya.
"Ini kayak rukonya sepupu aku."
Dahi Wita mengerut. Ada yang membalas statusnya. Pria yang baru-baru ini selalu membuatnya kesal.
"Ini ruko yang seberang sekolah SMA NEGERI 2 kan? Nomor hapenya juga itu nomor sepupu aku "
Pria itu mengirimkan chatnya lagi. Memang benar ruko tersebut.
"Kamu mau sewa ruko itu? Dan susah buat ngehubunginnya?"
Ia menyelipkan emoticon tertawa.
"Dia emang kayak gitu. Setiap minggu aku ketemu dia di acara keluarga."
Wita langsung mengetik.
"Kamu bisa kasih tau dia? Kalau ada yang mau nyewa rukonya. Dan tanya berapa harga pertahunya?"
Wanita itu menunggu jawaban dari rekan kerjanya tersebut. Setelah di tunggu tidak ada balasan. Wita lantas mengomel tidak jelas. Ia merasa di permainkan. Pria itu memang sangat menyebalkan.
"Dasar bocah tengil, chat aku nggak di balas-balas. Liat aja besok, abis dia!" ancamnya menggebu-gebu. Usia pria itu di bawah Wita. Mereka beda 3 tahun.
Part 4
Salma membuka galeri fotonya. Di mana foto pernikahannya dulu masih di simpan. Matanya berkaca-kaca memandangi foto-foto tersebut. Dirinya belum sepenuhnya menerima jika rumah tangganya sudah berakhir. Banyak yang belum mereka lakukan dan tercapai. Salah satunya memiliki anak. Meski Wildan tidak menuntutnya. Sebagai seorang istri, Salma tahu. Di lubuk hatinya yang paling dalam Wildan ingin mempunyai keturunan. Dalam rumah tangganya jarang sekali bertengkar.
"Aku masih belum percaya, kita udah pisah sekarang," ucap Salma sambil menatap foto mereka saat momen pernikahan yang begitu terlihat bahagia. "Sekarang kamu lagi apa? Apa udah nemuin seseorang yang buat kamu bahagia?" lirihnya.
Salma teringat kata-kata dari keluarga Wildan yang begitu menyakitinya. Seketika hatinya kembali terluka. Jika dari awal mereka tidak menyukainya. Mungkin pernikahan itu tidak akan pernah terjadi. Ia tidak mungkin memaksakan walaupun keduanya saling mencintai. Salma akan melepaskan Wildan sejak awal.
Wanita itu menghapus air mata yang jatuh melintas di pipinya. Sulit sangat sulit baginya. Meski ia merelakan semuanya. "Aku harap kamu cepat menemukan seseorang yang bisa di terima keluargamu."
Salma sudah berusaha semampunya. Untuk bisa masuk ke keluarga Wildan. Sayangnya, tetap saja hasilnya sama. Keluarganya terlihat enggan. Sampai akhirnya tenaga Salma habis tidak tersisa. Menjadi cuek pun tidak bisa. Ia adalah tipe pemikir. Tubuhnya sampai terlihat kurus karena batinnya yang terluka. Setiap perkataan dan perlakuan yang keluarga Wildan berikan. Ia telan sendiri.
Salma menyimpan semuanya sendiri tanpa Wildan tahu. Memang salah apa yang ia lakukan. Di satu sisi dirinya tidak mau Wildan bertengkar dan di jauhi keluarganya. Biarlah ia yang mengalah. Ia tidak mau mengorbankan keluarga mantan suaminya demi dirinya. Keluarga Wildan terlalu ikut campur dalam rumah tangganya.
Salma terdiam kejadian dulu dengan kakak ipar dan adiknya Wildan seperti roll film yang sedang di putar. Ketika Salma dinyatakan terdapat kista di rahimnya dan mengharuskannya segera di operasi. Wildan yang menemaninya beberapa hari. Pria itu cuti beberapa hari dari pekerjaannya. Setelah operasi kakak ipar dan adiknya datang menjenguk di jam besuk.
"Itu Wildan apa nggak ganti baju?" tanya kakak ipar Salma bernama Sari. Saat melihat Wildan yang mengenakan pakaian kemarin. Wajahnya terlihat kucal seperti belum mandi.
Salma yang masih terbaring lemah di kasur setelah operasi. "Nggak mau ganti, padahal bawa baju juga," ucapnya pelan. Masih sakit pun ia tetap memperhatikan suaminya. Membawa beberapa pakaian untuk Wildan di rumah sakit. Namun, sudah berkali-kali Salma menyuruhnya ganti pakaian tetap tidak mau. Alasannya tidak sempat, karena ia bolak-balik di panggil Dokter.
"Ya gantilah, keliatannya dekil gitu," ucap Sari dengan wajah tidak suka.
"Iyah, bukannya ganti baju Kak Wildan." Adiknya Wildan kini ikut mengomentari. Salma hanya diam. Kakak ipar dan adiknya Wildan sama saja. Kepala Salma pusing dan mual efek bius.
"Seneng kali ya kalau ke sini ngejengukin yang lahiran, ada anaknya. Nah ini operasi penyakit," celetuk Sari tanpa mengindahkan perasaan Salma. "Nah ini penyakit," lanjutnya sambil tertawa meremehkan. Mereka berani bicara seperti itu ketika tidak ada Wildan. Mereka menyuruh suami Salma untuk beristirahat biar mereka yang menjaga. Padahal Salma lebih memilih sendiri daripada di temani mereka. Salma menutup matanya seolah tidur. Agar Sari dan adiknya Wildan berhenti bicara. Ternyata tidak.
"Biasanya suka lama punya anak. Kasian Wildan ya. Udah tiga tahun tapi belum punya anak. Sekarang malah ada kista."
Telinga Salma masih mendengarkannya. Hatinya seperti tersayat-sayat. Siapa yang mau seperti ini. Rasa nyeri di perutnya tidak sesakit hatinya. Tangan kirinya mengepal kencang. Ingin sekali membalas ucapannya. Namun, tidak berani. Batinnya yang menangis. Rumah tangga di uji dengan berbagai macam. Dari masalah ekonomi, pihak keluarga suami yang terlalu ikut campur dan lainnya. Selalu ada saja yang membuat rumah tangga hancur. Jam besuk selesai, mereka pun pulang. Wildan masuk ke dalam kamar inap. Salma sedang ngelamun. Menghiraukan kehadiran suaminya.
"Kamu mau makan? Ini di bawain lontong, ayam sama Kak Sari dan Irma," ucap Wildan memeriksa kotak makanan yang masih di lapisi plastik berwarna putih. Salma diam saja tidak menyahutinya. "Sayang," panggilnya. Sang istri tetap diam. "Masih sakit? Apa yang di rasa sekarang? Aku panggil Dokter ya?" ucapnya seraya duduk di kursi sebelah ranjang Salma menoleh ke arahnya. Tatapannya sulit di artikan. "Sakit?" ulangnya. Ingin sekali Salma menceritakan perbuatan keluarganya Wildan. Mencurahkan seluruh isi hatinya. Ia menangis seorang diri setelah Sari dan Irma pergi. Matanya terasa perih sejak tadi. "Apa mau makan?" Salma tertegun sesaat lalu mengangguk. "Aku suapin ya." Wanita lagi-lagi hanya mengangguk.
"Mas, kenapa aku nggak bisa bicara apa yang mereka katakan sama aku ke kamu. Apa yang udah mereka lakuin sama aku?" seru batinnya. Salma kasihan tidak mau menjadi beban. Wildan menyuapinya dengan telaten. Air mata Salma tidak bisa terbendung lagi. Akhirnya meluncur membasahi pipinya.
"Kenapa nangis?" tanya Wildan khawatir. "Mana yang sakit?"
"Hatiku, Mas!" Ingin rasanya ia berteriak seperti itu di depan suaminya. "Perutnya nyeri," ucap Salma bohong.
"Sabar ya, sayang. Nanti juga nggak kok. Abis ini minum obat ya." Salma menganggukkan kepalanya. Selesai makan Wildan menyuapinya buah-buahan.
"Mas," panggil Salma pelan.
"Ya?"
"Kamu mandi dulu terus ganti baju," ucapnya.
"Kenapa? Aku bau ya?" Wildan tertawa.
"Iyah," sahut Salma dengan tersenyum kecil. "Urusannya udah beres kan. Nggak akan di panggil lagi."
"Iyah, tinggal nunggu hasil laboratorium. Apa bahaya atau nggak." Takut jika kista itu ganas dan tumbuh kembali. "Mudah-mudahan nggak ya,"
"Iyah, aamiin.." jawab Salma. Wildan akhirnya mandi dan berganti pakaian. Pikiran Salma melambung jauh. Kenapa dengan nasibnya. Ia mengira akan bahagia setelah menemukan pendamping hidup. Mereka saling mencintai. Nyatanya, ada saja ujiannya.
"Kamu ngelamun lagi," ucap Wildan yang duduk di sisi ranjang.
"Mas, gimana kalau aku nggak bisa punya anak?" tanyanya.
"Hush! Kalau ngomong sembarangan. Lagian aku nggak nuntut. Anak itu rezeki yang nggak terduga. Kita nggak tau punya atau nggaknya. Itu Allah yang ngatur. Selama kita bersama, aku nggak masalah. Ada atau nggaknya anak. Yang penting kita udah berusaha."
Wildan pria dewasa begitu pun dengan pemikirannya. Bagaimana Salma tidak jatuh cinta pada pria itu. Selama menikah ia seperti di ratukan. Apapun keinginannya pasti di turuti. Walaupun Salma tidak pernah meminta yang macam-macam.
"Kalau memang nggak punya?" tanya Salma seolah memastikan.
"Ya udah, mau gimana lagi."
"Kamu cari perempuan lain aja," ucap Salma membuat Wildan terdiam, syok. "Kamu bisa punya anak dari perempuan lain."
"Obat biusnya belum abis ya?" ucap Wildan heran. Istrinya bisa berkata seperti itu.
"Aku udah sadar, Mas. Aku serius."
"Udah tidur, ngomong kamu ngelantur aja. Nanti aku panggil suster kalau begitu."
"Aku sadar, Mas." Wildan tidak mau mendengarnya. Ia justru merapikan selimut Salma.
"Nah, istirahat tidur." Wildan mengecup keningnya. "Besok belajar jalan lagi. Mudah-mudahan nggak sakit ya. Biar kita bisa pulang cepat."
"Iya, aku udah nggak betah." Salma menguap. Pukul 02.15 WIB ia bangun dari tidurnya. Wildan tidur di kursi dengan kepala di ranjang miliknya. Lengannya sebagai bantal. Tangan Salma terangkat mengelus rambut suaminya. "Makasih atas semuanya ya. Kalau kamu bahagia dengan orang lain. Aku akan melepaskanmu," lirihnya dengan berurai air mata. "Maaf aku belum bisa seperti yang lainnya." Ia menahan agar tangisannya tidak terdengar sehingga membangunkan Wildan. Sang suami kelelahan menjaganya dan mengurus administrasi rumah sakit.
Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel miliknya. Sehingga mengagetkan dari lamunan panjang, membuyarkan semuanya. Salma tersadar jika itu kisah dulunya. Ia lantas melihat ponselnya terdapat notifikasi masuk. Tertera nama si psngirim.
"Sal, ternyata itu ruko sepupunya temen kantor aku."
"Wah, yang bener, Wit?"
"Iyah, tapi orangnya nyebelin banget. WA aku nggak di bales-bales dari tadi."
"Mungkin dia lagi sibuk kali."
"Mungkin, besok aku tanya langsung sama dia. Kamu udah ngehubungin ke no itu belum?"
"Udah berkali-kali tapi nggak di angkat."
"Ya udah kalau gitu. Besok aku tanyain ke dia ya."
"Oke, makasih ya Wita."
"Sama-sama, Sal. Udah tidur, udah malem juga. Jangan mikirin sang mantan.. Wkwkwk.. "
"Dasar! Ini juga mau tidur!"
Part 5
Matahari sudah menampakan wujudnya. Keluarga Salma sudah beraktivitas seperti biasanya. Di dapur ibunya memasak di bantu oleh Salma. Sedangkan ayahnya mengurus hewan peliharaan kesayangannya. Hari ini Bu Eno membuatkan tumis kangkung dan cumi tepung asam manis kesukaan Salma.
"Gimana rukonya udah ketemu?" tanya Bu Eno di sela-sela menggoreng cumi tepungnya. Salma yang duduk sedang memotong kangkung.
"Aku udah nemu rukonya. Tapi," ucap Salma.
"Tapi kenapa?"
"Aku telepon nggak di angkat-angkat sama pemilik rukonya. Aku udah chat juga tapi belum di balas."
"Mungkin lagi sibuk," ucap Bu Eno menenangkan.
"Kayaknya, Ma. Rukonya strategis deket sekolahan juga. Kayaknya sih mahal juga, Ma."
"Ya kalau tempatnya ramai, pasti kebayar."
"Iya sih, Ma. Mudah-mudahan nanti ramai ya, Ma. Aku udah suka banget sama tempatnya. Ruko baru lagi jadi nggak perlu di cat atau di perbaiki. Oia, kata Wita itu ruko punya sepupunya temen dia di kantor," ucap Salma menjelaskan.
"Wah, Bagus dong. Kali aja dapet diskon harga kan." Bu Eno sumringah.
Salma tersenyum meliat reaksi ibunya. "Mama ini, tapi mudah-mudahan aja ya."
"Iya kan," sahut Bu Eno. Mereka melanjutkan memasaknya. "Wildan apa masih suka ngehubungin kamu, Salma?"
Wanita itu terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan Bu Eno. "Nggak, Ma. Aku udah blok nomornya. Udah masing-masing sekarang. Aku nggak mau nantinya jadi masalah."
"Masalah gimana?"
"Gimana kalau dia udah punya pacar? Apa nggak jadi masalah nantinya? Pas di cek suka ngehubungin mantan istrinya. Aku sama Wildan udah punya pilihan masing-masing sekarang. Aku nggak mau ganggu dia, begitu juga sebaliknya," ucap Salma menerangkan bahwa Wildan masa lalu yang tidak bisa di ulang.
"Iyaya, takutnya salah tanggap bisa repot. Mama tadinya mau kamu sama Wildan nggak putus silahturahmi walaupun udah pisah," ucap Bu Eno.
"Aku bukannya nggak mau putus silahturahmi, Ma. Tapi kayaknya lebih baik kayak gini, nggak ada komunikasi. Aku nggak mau keluarganya juga salah paham. Di sangka aku masih ngejar-ngejar Wildan."
Bu Eno menghela napas. Ia tidak bisa memaksa putrinya. Mungkin benar kata Salma ini lebih baik. Keluarga Wildan pasti menyangka yang tidak-tidak jika Salma dan Wildan masih saling komunikasi walaupun sebatas silaturahmi. "Tapi kamu nggak trauma kan?" ibunya memastikan jika putrinya tidak trauma pada laki-laki.
Salma menggelengkan kepalanya. "Nggak kok, Ma." Dalam kasusnya bukan prianya yang bermasalah melainkan keluarganya. "Tapi buat sekarang aku belum mau."
"Nggak apa-apa, sayang. Semua butuh proses nggak segampang itu kamu berhubungan lagi. Sekarang cari aktivitas biar nggak bosen. Kalau jodoh nggak ke mana kok."
"Iya, Ma." Salma senang mempunyai orang tua yang berpikiran positif. Tidak mengecapnya macam-macam. Orang tuanya tahu jika Salma anak baik. Mereka melanjutkan masak dan juga makan bersama.
***
Saat Salma sedang menonton TV ada sebuah chat masuk. Ponselnya berbunyi di atas meja. Lantas ia mengambilnya, sebuah nomor baru. Ia terlihat senang. Ternyata dari si pemilik ruko. Akhirnya di balas juga. Salma segera membalasnya.
"Iya, Pak. Saya minat dengan ruko Bapak. Berapa pertahunya ya, Pak?"
Salma mengetik dengan semangat. Ia menunggu balasan.
"Pertahunya 50 juta."
Salma termenung. Mahal juga ternyata keluhnya dalam hati. Tapi ia sudah jatuh cinta pada tempat tersebut. Tahu harganya membuat dirinya down. Iya baru memulai usaha. Bagaimana jika nanti terjadi apa-apa. Usahanya tidak semulus jalan tol.
"Apa bisa di kontrak perbulan, Pak."
Si pemilik ruko belum membalasnya lagi. Salma menjadi lemas. Ia tidak ingin memberatkan ayahnya. Menyewa ruko Rp. 50.000.000,00 pertahun itu berat. Belum lagi membeli barang-barang dan lainnya. Akan habis dengan biaya yang besar.
Salma menghela napas lalu tersenyum. Ternyata tidak semudah pikirannya. "Harus nyari ke mana lagi coba?" keluhnya pelan.
"Wit, kayaknya nggak jadi di situ deh. Pertahunnya itu 50 jt. Aku nggak sanggup."
Salma memberitahukannya melalui chat. Jujur ia sangat kecewa.
"Yang punya udah telepon?"
Wita tidak sabaran lantas langsung menelepon Salma.
"Itu udah pasti lima puluh juta pertahun. Kamu udah nego belum?"
"Aku cuma bales, apa bisa di sewa perbulan? Gitu."
"Terus jawaban dia apa" tanya Wita.
"Sampai sekarang belum di bales lagi," jawab Salma dengan nada kecewa.
"Sabar-sabar, ini aku juga lagi ngomongin sama temen aku tentang ruko itu. Katanya sih, yang punya banyak usahanya. Jadi terbelangkai ruko-rukonya. Kadang dia lupa punya ruko." Wita tertawa. "Mungkin saking kayanya. Udah nggak mikirin ya."
"Mungkin, orang yang punya gimana? Baik nggak? Kalau baik kan bisa nego gitu. Ini usaha pertama kali. Tau sendirilah, Wit. Modalnya mepet, jadinya banyak yang harus di beli ini-itu."
"Iya, kamu bener." Wita mengecilkan suaranya. "Ini juga aku lagi bujuk sepupu yang punya ruko. Biar bisa nego."
Salma mengerti. "Ya udah aku tunggu jawabannya. Siapa tau bisa kan."
"Iyah, Salma." Wita membesarkan kembali suaranya. Rekannya itu ada di dekatnya.
"Sip, makasih ya Wit." Salma sangat berterima kasih karena sahabatnya itu mau membantu.
"Sama-sama, kita harus bisa dapetin itu ruko ya."
"Aamiin," jawab Salma lalu mematikan sambungan teleponnya.
Beberapa hari kemudian ternyata tidaklah semudah yang di bayangkan. Salma belum juga mendapatkan respons yang positif. Chatnya belum di baca sama sekali. Sesibuk apa sih si pemilik ruko. Zaman sekarang orang-orang pasti tidak lepas dari ponsel. Mau makan atau ke kamar mandi selalu ponsel di tangan. Begitu pun hasil dari Wita sama saja. Temannya itu belum membantunya untuk mempertemukan Salma dengan sepupunya.
"Wit, apa kita cari ruko lain aja ya?" ucap Salma yang sedang berada di sebuah kafe. Mereka janjian di sana. "Wit," ulangnya memanggil Wita yang sedang melamun.
"Eh, apa Sal?" tanya Wita yang terperanjat kaget.
"Kamu kenapa sih? Perasaan dari tadi ngelamun aja?" tanya Salma sambil memicingkan matanya yang menaruh curiga.
"Nggak kok, nggak ada apa-apa," elaknya.
"Aku nggak percaya," ucap Salma.
"Iya, Sal. Kamu beneran mau ruko itu?" tanya Wita serius.
"Iya, lokasinya bagus soalnya." Bibir Salma mengerucut kesal. "Tapi apa di kata, kalau nggak bisa perbulan. Kalau pertahun mahal banget. Aku nggak sanggup."
Wita menatapnya serius. "Baiklah, kalau begitu." Kepalanya mengangguk. "Kamu bisa dagang di ruko itu," ucapnya pasti. Kening Salma mengerut. "Ya, kamu bisa dagang di sana." Ulangnya dengan yakin. Tentu saja Salma di buat kebingungan. Artinya apa? Si pemilik ruko tersebut saja belum membalasnya. Kenapa Wita yakin bahwa ia akan dagang di sana.
"Kamu kesambet?" tanya Salma dengan wajah aneh.
"Enak aja!" sanggahnya.
"Terus kenapa kamu yakin banget aku bisa dapetin ruko itu?" tanya Salma.
"Jadi orang harus yakin. Nanti Tuhan dengar terus di kabulin. Berarti kamu sungguh-sungguh." Wita menyengir. "Sal," panggilnya sambil mengaduk-aduk minumannya. Salma berdehem. "Menurut kamu ya, kamu percaya nggak sih sama cinta pada pandangan pertama?" Keduanya paling bertatapan.
Mata Salma berkedip. "Pada pandangan pertama ya? Menurutku aku ya kalau zaman sekarang. Itu jarang banget. Kenapa? Kamu lagi jatuh cinta?" tebaknya.
"Bukan, bukan aku," sanggahnya dengan menggoyangkan tangannya. "Itu aku cuma nanya aja. Mangkanya aku juga nggak percaya. Zaman sekarang itu langka yang kayak begitu kan?" ucap Wita.
"Itu menurutku aja loh. Waktu aku sama Wildan aja nggak begitu. Walaupun perkenalkan singkat tapi nggak jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku suka sama dia perlakuannya setelah kenal."
"Jadi bener ya, jadi aku nggak harus percaya dia," gerutunya pelan.
"Jadi siapa yang jatuh Cinta pada pandangan pertama?" tanya Salma dengan tersenyum miring.
"Hah?!" Wita terkejut sendiri. "Itu temen aku. Iya, temen aku. Dia cerita sama aku. Katanya ada laki-laki yang begitu. Aku jawab aja kayak yang kamu bilang. Jangan terlalu percaya. Biasanya laki-laki cuma ngomong aja tanpa bukti kan," ucapnya panjang lebar tanpa jeda. Salma menahan tawanya. Ia sudah tahu gelagat Wita jika sedang berbohong. Mereka sudah bersahabat bertahun-tahun. Tentu saja sudah sangat mengenal satu sama lain. Bagaimana tingkah mereka.
"Oh gitu, iya jangan percaya. Harus hati-hati deh sekarang. Apalagi laki-laki yang banyak omongannya tanpa bukti." Salma menasihati Wita. "Tapi kalau ada yang bilang gitu ke kamu. Kasih tau, biar aku bisa nilai. Dia itu mokondo apa bukan."
"Apaan sih, orang itu temenku yang cerita bukan aku." Wita mendelik.
"Ya ini kalau terjadi sama kamu. Biar aku seleksi dulu."
"Buat apa? Kamu tau kan aku nggak mau nikah." Wita kembali mengingatkannya.
"Siapa tau nanti kamu berubah pikiran. Terus cepet-cepet pengen nikah," sahut Salma dengan tawaan. Wita tentu saja sewot sendiri. Ia menggerutu tidak jelas. "Ingat Tuhan bisa membolak-balik hati manusia dengan mudah."
Sorry typp & absurd
Thankyuu^^
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
