Misteri Kematian Gus Muk

2
0
Deskripsi

Dalam tugasnya Kuswara menembak mati lelaki yang diduga perampok sadis. Namun sang polisi malah menjumpai keanehan demi keanehan sesudah peristiwa itu.

Sepuluh tahun lalu Kuswara masih brigadir. Kerjanya hanya mengintai-intai berandalan di pinggiran kota. Dari tukang buah pindah ke warung asongan, mengorek informasi tentang si polan atau tentang kejadian apa saja. Pekerjaan seperti itu tidaklah menjanjikan buat anak dan istri. Oleh itu Kuswara takut kawin. Gajinya sekadar harap maklum. Ada tunjangan, tetapi sudah pasti terpotong buat para informan. Sialnya Kuswara sendiri yang nekat menjadi seperti itu. Di keluarga besarnya lelaki itu selalu jadi olok-olok, apalagi kalau bukan karena profesinya. Polisi. Kata mereka, itu adalah pekerjaan yang tidak mencerminkan harapan. Lebih baik menganggur, sebab penganggur pun punya harapan dan khayalan yang mengagumkan. Saudara jauhnya yang dipanggil Lik Sin bahkan pernah membantingnya di tengah-tengah syukuran keluarga Bani Asngad dengan kata-kata, "Ibu-bapakmu sudah capek doa tiap hari, malah doanya sampai tanah suci supaya kamu mau diserahi truk, eeee, malah jadi polisi. Kesirep apa kamu, Kus. Didoakan apa saja kok ndak mempan. Apa kamu lupa, simbah kakungmu dikurung 12 tahun sebelum akhirnya dinyatakan bukan pembunuh Dofir!" 

Betapa anti keluarga itu pada polisi. Dan faktanya demikian. Kakeknya Kuswara, Asngad menjadi korban salah tangkap. Semua orang dari penjuru mana pun kadung melihat mereka sebagai keluarga pembunuh. Fitnah sudah meluas, baru  putusan Asngad dikoreksi. Lelaki malang itu mati tidak lama setelah bebas dari penjara. Bahkan di hari penguburannya masih ada saja yang tidak percaya kalau Asngad tidak bersalah. 

Namun semua perkataan itu kalah oleh waktu. Tahun demi tahun berganti, Kuswara makin mantap sebagai ajun inspektur dua. Sejatinya Kuswara terjun ke sana hanya lantaran penasaran, sebusuk kata orangkah polisi itu. Benarkah anggapan mereka? Rupanya tidak. Maksudnya tidak salah juga. Tetapi Kuswara berjanji pada dirinya tidak akan seperti itu. Di samping yang busuk-busuk, masih ada pula yang menjaga kehormatan, dan itulah yang dipedomani Kuswara. Oleh karenanya ia tetap kere. 

Satu waktu Kuswara ditugasi untuk mengumpulkan informasi tentang sebuah kasus pencurian dengan kekerasan. Perampokan yang dimaksud memang tidak tanggung. Seorang juragan barang pecah belah, isi rumahnya digasak, sekeluarga dibantai. Bakal cucunya yang baru akan lahir dua pekan lagi pun ikut tewas lantaran ibu si janin itu dicekik mati. 

Kuswara tak mau buang waktu. Saat itu juga ia bergerak, mengerahkan segenap perangkat dan kemampuannya agar si perampok cepat diringkus lalu dihukum seberatnya. Telinga-telinga yang ia bayar setiap bulan ia mintai keterangan. Juga ia memohon bantuan kepolisian provinsi agar melacak lalu lintas komunikasi pesan maupun panggilan selama satu bulan terakhir. Tidak luput Kuswara mengumpulkan video-video yang yang tercecer dari sejumlah bangunan dan fasilitas di penjuru kota. Maka singkat saja Kuswara telah mengantongi sejumlah nama. Setelah diteliti satu persatu, rupanya ia condong pada seorang lelaki bernama Mukasim. Kemudian ia laporkan pekerjaannya kepada atasan. 

"Kamu yakin Mukasim?" tanya Hadiono, pangkat inspektur satu, yang celananya selalu kekecilan setiap ganti tahun. 

"Memang dia, dan pasti dia. Bahkan ada bukti kalau dia baru saja membagi-bagikan uang kepada pihak-pihak yang disebut sebagai kerabatnya." 

"Berapa yang dia bagi?" 

"Paling sedikit masing-masing 10 juta untuk dua keluarga." 

"Itu sedikit, bukan? Katamu korban suka menyimpan banyak uang di rumah." 

Kuswara berdalih, "Pasti dia pintar. Mana mungkin langsung memberi banyak. Atau bisa jadi dia pelit." 

Hadiono sebelumnya sudah memeriksa berkas Mukasim, sehingga ia bertanya, "Kamu paham siapa Mukasim?" 

"Kabarnya dia baru kembali dari suatu tempat. Jujur saja, aku belum melacak ke mana ia pergi begitu lama. Tapi orang ini pernah–atau masih–dianggap sakit jiwa oleh beberapa orang." 

"Dengar-dengar Mukasim baru kembali satu bulan lalu," imbuh Hadiono. 

"Tidakkah aneh?" 

"Belum tentu. Barangkali dia bekerja di daerah lain kemudian memberi kerabatnya uang." 

"Maksudku, Mas Hadi, bukankah dalam sebulan terakhir ada tiga laporan pencurian dari lingkungan yang berdekatan?" 

Hadiono tak sabar menarik napas. Petunjuk demi petunjuk memang semakin memperkuat anggapan bahwa Mukasim pantas diinvestigasi. 

"Begini, Kus, Mukasim itu memang punya catatan. 20 tahun silam dia pernah dipenjara empat tahun karena mencuri 30 ekor kambing." 

"30 kambing itu sama dengan 90 juta rupiah sekarang." 

"Aku mengerti," tukas Hadiono. "Maksudmu bisa saja Mukasim melakukan yang lebih gila." 

Kuswara manggut-manggut karena merasa mendapat angin. 

"Tetapi kamu perlu tahu yang lain. Waktu kasus itu terjadi, ada dua pegawai sedang berjaga di area kandang." 

Seketika Kuswara menggeser kursinya lebih dekat karena terheran-heran. "Bagaimana mungkin?" 

"Malah dua pegawai itu sempat dituduh berkomplot dengan Mukasim. Padahal nggak begitu." 

Kuswara jadi sangat tertarik kisahnya, lalu bertanya, "Bagaimana cara dia mencuri?" 

"Kamu belum baca berkasnya lengkap?" 

"Aku hanya tahu dia pernah melakukan pencurian kambing." 

Hadiono menggasak rokok untuk segera dinyalakan. Sesudah isapan pertama ia baru berkata, "Kalau kamu sadar dia bisa mengerjakan semuanya sendirian, maka kamu lebih heran. Dan benar dia adalah pelaku tunggal. Malam itu Mukasim membawa truk, membuka kandang di depan pegawai, lalu menjejalkan puluhan ekor ke dalam bak truk itu."  Hadiono mengisap rokoknya dua kali berurutan sebelum meneruskan, "Andaikata Mukasim mau, bisa saja dia mencuri 200 ekor sisanya hingga kandang itu ludes." 

Jadi mengerti Kuswara yang dimaksud atasannya. Sehingga ia bertanya untuk memastikan, "Dia punya semacam aji-aji?" 

Hadiono memamerkan taringnya lalu mengatakan, "Kamu tahu apa kata Mukasim saat pembacaan pleidoi? Dia bilang bahwa tujuannya mencuri hanya untuk mengingatkan pemilik peternakan agar taat membayar zakat." 

Kuswara geleng-geleng tak percaya. Mustahil baginya ada pencuri semacam itu. Kalau pun ada, dikemanakan hasil curiannya. 

Sebelum Kuswara bertanya Hadiono segera menyambung kisahnya, "Mukasim menolak didampingi pengacara. Dia sendiri yang menulis pleidoi lalu membacanya di muka hakim. Catatan pembelaannya dipenuhi nasihat tentang keadilan. Anehnya, dia mengakui perbuatannya tetapi menyerahkan semuanya pada Tuhan. Dapat dikatakan pleidoi itu bukan pleidoi, sebab Mukasim nggak berusaha membela diri. Itu kasus paling aneh yang pernah kutelusuri." 

"Bagaimana kambing-kambing itu?" desak Kuswara. 

"Dalam persidangan dia bersikeras bahwa dirinya sudah mendapat manfaat dan menikmati hasil pencuriannya." 

"Kalau benar seperti itu dia hanya pencuri seperti pencuri pada umumnya." 

"Tetapi tiga bulan setelah putusan hakim, Mukasim mengirim surat pada korban. Memberitahu di mana ia simpan kambing-kambing curiannya." 

"Sinting! Mana ada begitu?" 

"Bahkan korbannya masih hidup kalau kamu mau bukti. Mukasim memang mengembalikan itu. Kambing-kambing curiannya ditemukan benar-benar utuh dan sehat di sebuah tanah lapang yang rumputnya subur." 

"Tiga bulan? Belum ditambah masa penahanan. Dan hewan-hewan itu mungkin saja kehujanan berhari-hari. Bagaimana itu..., ahh!" 

"Dan yang paling paling nggak masuk akal, tanah lapang itu ada di pinggir jalan ramai, tapi nggak satu pun yang mengaku melihat kambing sebelum korban sendiri yang memeriksanya." 

Seperti direbus otak Kuswara dengan kisah aneh Mukasim. Namun ia selalu percaya yang dikatakan Hadiono, sebab lelaki itu amatlah jujur serta senantiasa memelihara kehormatan. Di sisi lain Kuswara juga sangat percaya pada analisisnya. Kalau mendengar cerita sang atasan memang ada yang janggal. Andai benar Mukasim punya kesaktian, mengapa ia membobol rumah bahkan membunuh korban sekeluarga. 

Akhirnya Kuswara mendapat izin penangkapan Mukasim. Hadiono sempat berpesan agar hati-hati mengolah kasus tersebut. 

"Mukasim itu orang sakti, sekalipun dia juga dianggap gila. Mungkin saja dia kebal senjata dan mampu menggendam pikiran, barangkali juga otaknya pendek dan sukar diduga. Hati-hati, walaupun berat, jangan terseret hawa napsu." 

Sehari kemudian, saat melintas petang, Kuswara mendatangi rumah Mukasim. Sebuah gedhek di pinggir sungai, seadanya dan miskin, yang bahkan terlalu serius disebut rumah. Di situlah Mukasim tinggal, seorang diri, berkawan suara tonggeret atau kodok selepas senja. Namun Kuswara tak punya alasan mundur. Ia percaya manusia andal berpura-pura. Gubuk kayu tak menghalangi sifat serakah. Mukasim berhak membela diri, tetapi ada tempatnya khusus, yakni persidangan. Yang sudah pasti, Kuswara telah memiliki sejumlah saksi yang melihat Mukasim keluar rumah korban pada malam buta beberapa saat setelah terjadi perampokan. 

Sampai di lokasi Kuswara langsung mengetuk. Mukasim ada di dalam, mengenakan sarung sambil memangku kemeja batik lusuh, telanjang dada, memperlihatkan badannya yang kerempeng dan mulai keriput. 
Rupanya kedatangan Kuswara disambut murka. Tuan rumah langsung menghamburkan umpatan dan kata-kata kasar. Tak ayal, makin bulat keyakinan Kuswara bahwa bajingannya memang Mukasim. Dia tidak gentar sedikit pun. Langkahnya maju hendak menyergap. Berbarengan itu Mukasim cepat mengambil parang dari selipan kayu. Bilah senjata itu tampak begitu tajam. Kuswara merasa terdesak. 

Dor! 

Tiada waktu membuat peringatan, tidak sempat pula menembak tepat sasaran. Mukasim menggelepar. Sebutir peluru panas menembus dadanya. Tinggal Kuswara seorang di sana, memandangi mayat dengan sepasang mata terbelalak. Untuk kali pertama dalam ratusan tugas tangannya mencaplok nyawa. 

Tiga bulan terlewati, tetapi pikiran Kuswara tak dapat berhenti mengenang Mukasim. Dalam hatinya yang terjauh ia menyesal, sementara pikirannya telah berkompromi dengan peristiwa itu. 

Mukasim lekas dikuburkan setelah mati. Kedua kerabat yang pernah ia santuni sangat sedikit bicara. Dan hanya mereka berdua saja yang menghadiri pemakaman. Penjelasan dari pihak kepolisian telah diterima tanpa keberatan. Lagipula Mukasim hidup sebatang kara. Maka kasus itu berakhir dengan keterangan terduga pelaku ditembak di tempat. Dalam kurun singkat tidak ada orang yang membicarakannya. 

Namun demikian Kuswara tak berhenti diganggu oleh kenangannya. Terkadang ia sengaja melewati rumah Mukasim. Rupanya makin lama perasaannya tambah tidak karuan. Suatu petang ia datangi gedhek tersebut. Bukan itu saja, Kuswara malah mendekat dan membuka pintu. Ajaibnya, tempat itu seperti belum ditinggal si penghuni. Ada sebuah kitab suci terbuka halamannya, juga sebuah piring bersih di atas kuali. "Lelaki itu seolah sudah terbiasa tak punya apa-apa, bagaimana dia merampok begitu sadis?" 

Tiba-tiba Kuswara dikagetkan suara segerombol manusia. Bergegas ia periksa ada apa di luar. 

Ada tiga pemuda mendatangi gubuk tersebut. Melihat orang baru saja keluar, satu di antara mereka bertanya, "Bapak tahu rumah Gus Muk?" 

"Gus Muk siapa?" Kuswara tak mengerti. 

"Saya mendapat mimpi tentang di mana Gus Muk pernah menetap. Dan rasa-rasanya gambaran yang saya lihat itu persis dengan tempat ini sekarang." 

Kuswara tambah bingung, tetapi ia mau tahu lebih jauh. "Seperti apa Gus Muk yang kamu maksud itu?" 

Pemuda yang lain bersuara, "Umurnya kira-kira 50. Pendek, kurus, matanya kelihatan selalu bulat tapi kecil, biasanya sarungan dan batikan." 

"Tapi terkadang nggak pakai baju," imbuh pemuda sebelumnya. 

"Kalian ada perlu dengan Gus Muk itu?" 

"Benar. Sebenarnya bukan keperluan dengan beliau langsung, tetapi orang lain. Dia suruh kami datang ke tempat ini dan titip sesuatu." 

Kuswara sejenak diam. Tidak dapat disangkal, ciri-ciri Mukasim sungguh mirip dengan yang disebutkan pemuda itu. 

"Bagaimana caranya dia menyuruh kalian?" cecar Kuswara. 

"Lewat mimpi." 

"Ada-ada saja," sinis Kuswara. 

"Memang seperti itu." 

"Kalau begitu apa yang dia titipkan?" 

"Bapak kenal dengan yang namanya Kuswara?" 

Kuswara tak menyangka namanya disebut hingga wajahnya tak bisa menyamarkan perasaan. Hanya saja dia akhirnya memilih bersembunyi. Ujarnya, "Ya, aku kenal." 

"Apa pekerjaan Kuswara?" 

"Dia seorang polisi." 

"Seperti apa pangkatnya?" 

"Setahuku masih rendah. Paling tinggi ajun inspektur." 

"Berarti memang bapak kenal." 

"Ada titipan untuk Kuswara?" desak Kuswara. 

Pemuda itu segera menyodorkan sebilah parang. Sebelum berpindah tangan Kuswara ditunjukkan kilau yang menggambarkan ketajamannya. Kuswara berdebar setengah jantungan menyaksikan parang milik Mukasim yang ia kira hampir menebas batang lehernya. 

Dengan gemetaran Kuswara menerima senjata tersebut, lalu berjanji akan menyerahkan amanah kepada yang berhak. 

"Ada pesan lain?" ujar Kuswara tak yakin. 

"Oh, untung saja diingatkan. Ya." 

"Apa itu?" 

"Gus Muk berpesan kepada Kuswara agar hendaknya akal dan tindakannya terhadap siapa pun selalu setajam senjata ini." 

Sebentar saja tiga pemuda itu pamit. Tinggallah seorang diri Kuswara. Untuk alasan yang sukar dipahami pria itu kembali ke dalam gedhek, merenung lama hingga hujan lebat tumpah bersama tibanya malam. Riak sungai dengan cepat terdengar deras. Kuswara merasakan dirinya seolah terombang-ambing dalam arus yang tak berkesudahan. Dia jadi meragukan dirinya telah membunuh, tetapi membunuh bahkan lebih baik daripada kebingungan yang melandanya. 

Dua bulan sesudah peristiwa muskil itu Kuswara pergi ke sebuah kota karena satu urusan. Selempang perjalanan pulang singgah dia ke sebuah langgar untuk meringkas salat. Dan sekali lagi ia dibikin luar biasa kaget. Tiga pemuda yang pernah mendatanginya kembali menampakkan batang hidung. Bahkan mereka sama sekali belum melupakan Kuswara. 

"Ah, apa kabar juga kalian. Rupanya kalian tinggal di daerah ini. Ini kebetulan, bukan?" 

Mereka bertiga tersenyum santun. Lalu seorang menanggapi, "Sebenarnya kami dari Bengkulu. Kemari karena ingin mengaji dengan Gus Muk." 

"Gus Muk ada di sini?" 

Sesosok lelaki yang selalu melekat dalam ingatan Kuswara melangkah memasuki langgar. Seketika itu juga tiga pemuda menyingkir dari Kuswara demi memberi takzim pada sosok tersebut. 

"Mukasim?" Kuswara berbisik amat pelan dalam hati. Sementara pria yang pernah ia tumpas nyawanya itu melewatinya begitu saja tanpa sedikit pun menoleh. 

Lesat waktu tiada terkira. Dua tahun sudah. Itu menjadi pertemuan terakhir Kuswara dengan Mukasim alias Gus Muk. Berkali-kali sang polisi berusaha mengungkap sosok tersebut, tetapi semua berakhir sia-sia. Sementara itu kedua orang yang disebut kerabat Mukasim meninggal berdekatan karena sakit, lima bulan setelah Kuswara menembak mati pria misterius itu. Yang ia peroleh dari penelusurannya amat sedikit bahkan dapat dikatakan nihil. 

Pada hari yang lain Kuswara diberitahu Hadiono tentang penangkapan gembong rampok di satu desa tambak bandeng di daerah yang jauh. 

"Penangkapannya kemarin malam. Ada dua orang, yang satu keburu didor mati. Diduga sudah sembilan perampokan mereka lancarkan." 

"Apakah itu ada kaitannya dengan kasus di wilayah kita?" selidik Kuswara. 

"Sepertinya komplotan itulah yang membantai keluarga juragan pecah belah dua tahun lalu." 

Dengan sendirinya terkilas lagi sosok Mukasim dalam angan Kuswara. Namun ia telah berdamai dengan peristiwa aneh tersebut, bahkan hatinya telah meyakini bahwasanya ia tidak membunuh siapa pun. 

Benar dan akuratlah informasi yang diterima Hadiono. Para penjahat itu segera disidangkan. Alih-alih sendirian memikul karma, pentolan rampok memilih berkicau seperti tekukur di pagi hari. Maka semakin gampang polisi menyerok anak buahnya. Lima orang pun segera ditangkap dalam sepekan. 

"Mas Hadi," bisik Kuswara empat mata, "omong-omong Mukasim, bagaimana awalnya sampeyan menemukan berkas itu?" 

"Kamu masih penasaran Gus Muk?" balas Hadiono juga berbisik. 

"Gus Muk? Apa Mas Hadi bilang, Gus Muk?" 

Hadiono menyunggingkan senyum lebar yang membelah pipi tembamnya, diikuti kata-kata, "Kita berdua adalah murid Gus Muk. Kutanya, apa yang memaksamu berada di sini?" 

Tidak ada kesempatan Kuswara berpikir macam-macam kecuali menjawab, "Karena aku memang polisi." 

"Maksudku kenapa kamu menjadi polisi?" 

Kali ini Kuswara kesulitan memberi jawaban yang menurutnya tepat. Ulasan masa lalu tentang diri dan keluarganya bergulir sedemikian rupa. Sebelumnya dia kira alasannya tepat, untuk mengetahui kebusukan dan integritas anggota. Namun hal itu tiada artinya lagi. 

Dikarenakan Kuswara terus-terusan diam, Hadiono berkata, "Nggak usah dijawab. Itu menjadi urusan antara dirimu, keyakinanmu, dan Rabbmu. Kecuali satu hal yang jelas, bahwa kita berdua punya khayalan dan harapan yang luhur tentang keadilan." Lantas Hadiono beranjak ke arah meja kerja. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas jinjing lalu diletakkan di atas meja. Sesudah itu dia pergi meninggalkan ruangan. 

Kuswara menatap kitab suci itu hingga seolah-olah pandangannya tidak dapat melihat yang lain. Akhirnya dihampirinya benda tersebut. Sebuah buku yang mulai lapuk juga lusuh. Terdapat sejuntai pembatas kertas yang menyembul keluar. Dengan benak gemetar Kuswara membuka buku itu pada halaman yang diberi batas. Dan benar saja, apa yang dipikirkannya tidak bertentangan dengan kenyataan. Kitab itulah yang pernah dijumpainya di rumah Gus Muk. 

Kuswara mendapatkan sebuah penggalan ayat dicoret tinta merah. Ia tidak tahu artinya, kecuali segera menelusurinya dengan internet. 

"...Maka janganlah kamu menuruti hawa nafsu karena hendak menyimpang dari kebenaran. Jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa saja yang kamu kerjakan."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya RUQYAH - BAGIAN 1
6
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan