Ketos Galak | [Part 1, 2, 3]

119
4
Deskripsi

Part ini bisa dibaca secara gratis. Dukung dengan vote dan komen. 

Part [1]

Saat memasuki ruang OSIS, aku melihat Kaezar sudah duduk di kursinya, melipat lengan di dada sembari menatap ke arahku. Cowok itu kelihatan sangat menanti kedatanganku, mungkin sudah tidak sabar untuk meluapkan kekesalannya, dan menjadikan aku sebagai santapan sorenya.

"Kenapa bisa salah begini?" Kaezar melempar laporannya ke meja. Lipatan tangannya terlepas, cowok itu bersidekap. Telunjuknya menunjuk laporan. "Gue tanya sekali lagi sama lo, Je. Kenapa bisa salah begini?"

Ini bukan pertama kalinya Kaezar mengucapkan kalimat seperti itu, dan setiap kali mendengarnya, aku selalu merasa menjadi orang paling bodoh dan ceroboh sedunia. Padahal, di kelas aku selalu masuk peringkat lima besar, tapi Kaezar mampu membuatku mempertanyakan kemampuanku sendiri.

Atau memang aku tuh sebenarnya sebodoh itu bagi Kaezar yang langganan masuk peringkat umum di angkatan kami?

Asal kalian tahu, ini adalah alasanku memutuskan untuk minta berhenti dari kepengurusan OSIS ketika baru menjabat satu bulan pertama menjadi sekretaris. Tujuh kali dalam seminggu aku menemui Pak Marwan sambil memohon-mohon untuk mencari penggantiku, tapi permintaanku tidak pernah dikabulkan. Pak Marwan malah terus bertanya. "Memangnya kenapa, sih? Kan, enak jadi pengurus OSIS, keren."

Masalahnya, Ketua OSIS kita kelakuannya kayak dajjal, Pak!

"Gue bilang apa waktu itu? Periksa lagi, Je. Periksa lagi." Kaezar tidak pernah berteriak atau membentak perempuan, tapi tatapannya sudah menjelaskan bahwa saat ini dia sangat marah.

"Gue periksa kok." Aku berusaha mengeluarkan suara senormal mungkin, padahal sebenarnya aku ingin menangis. Atau balik kanan, keluar dari ruang OSIS, dan langsung pulang ke rumah.

"Terus?" Kaezar mengembuskan napas lelah. Pada tahap ini, aku yakin sekali bahwa Kaezar menganggapku sangat tidak becus menjadi sekretaris.

Laporan empat bulan pertama di semester satu saat itu memang masih sempat Kaezar periksa, tapi laporan di bulan kelima, Kaezar menyerahkan sepenuhnya padaku karena dia harus mengikuti lomba olimpiade Fisika di tahap kedua setelah menjadi yang terbaik di penjaringan tahap pertama. Saat itu dia berkata, "Minta tolong Janari kalau ada apa-apa."

Janari yang sudah meraih tasnya dari meja dan hendak pulang, menghampiriku yang masih berdiri di depan meja Kaezar. "Maafin gue ya, Je. Waktu itu nggak bantuin lo periksa laporan, padahal kan lo juga pasti sibuk banget sama persiapan PAS."

"Nggak apa-apa, Ri." Aku berusaha tersenyum, tapi ucapan Kaezar membuat mood-ku kembali buruk.

"Ya kalau Jena ngerasa keteteran, harusnya dia sendiri yang minta tolong, nggak usah nunggu orang lain nyamperin buat nawarin bantuan." Kaezar menggeser laporan lebih dekat ke arahku. "Lo beneran copy-paste dari laporan tahun lalu?"

Aku melotot. "Nggak!"

"Ya, terus kok bisa—"

"GUE UDAH BILANG NGGAK, KAN?!" Aku merasa usahaku mengerjakan laporan di tengah-tengah persiapan PAS itu sama sekali tidak dihargai.

"Santai, dong." Kaezar mengernyit seraya berjengit mundur. "Gue kan cuma nanya."

"Lo tuh nuduh! Bukan nanya!" bentakku. Mohon maaf ya, Kaezar. Kesabaranku sudah habis, jadi sudah tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak berteriak. Namun rasanya ini lebih baik daripada aku menahan emosiku dan berakhir menjadi tangisan, akan sangat memalukan.

Janari yang masih berada di sana hanya sibuk melirik ke arah kami bergantian. "Eh, udah sore. Balik aja, besok lagi kita beresin—"

"Satu jam cukup nggak?" tanya Kaezar tiba-tiba. Lalu melihat jam di pergelangan tangannya. "Sampai jam lima. Atau ... ya paling lambat sampai jam enam deh. Lo periksa lagi laporannya."

SINTING KALI NIH ORANG!

"Kenapa?" Kaezar seperti menangkap aksi protes dari ekspresiku. "Cuma laporan satu bulan terakhir. Sisanya kan aman." Dia melirik ke arah Janari. "Lo kalau mau balik, balik aja, Ri. Gue tungguin dia dulu nih." Dagunya menggedik ke arahku.

"Oh." Janari tersenyum dengan ekspresi yang masih terlihat merasa bersalah padaku. "Gue balik duluan, nggak apa-apa kan, Je?"

Aku mengangguk. "Nggak apa-apa." Lalu melirik Kaezar.

Pengurus OSIS yang lain sudah tidak ada di tempatnya masing-masing, mungkin mereka sudah pulang atau melanjutkan kegiatan ekstrakurikuler.

Namun di luar, di lapangan basket, aku bisa mendengar suara pantulan bola. Masih ada kehidupan di sekolah. Setidaknya, jika aku kesal dan akan menikam Kaezar dengan gunting yang berada di kotak pensilku, akan ada yang mendengar teriakan permintaan tolongnya.

Janari melangkah keluar, menyisakan aku dan Kaezar di ruangan itu. Aku mendengkus seraya meraih laporan yang berada di meja Kaezar, yang bentuknya sudah berubah menjadi setengah gulungan, lalu berjalan ke arah mejaku.

"Satu jam bisa selesai, kan?" tanya Kaezar ketika aku baru saja menekan tombol power di komputerku.

"Baru juga gue nyalain komputernya, Kae," gerutuku. "Udah ngomong selesai-selesai aja."

Aku menyangga dagu dengan telapak tangan seraya menunggu komputerku benar-benar menyala.

"Gue kan udah bilang, kalau nggak sanggup, lo bilang."

Aku memasang telinga baik-baik, sangat menunggu Kaezar berkata, Lo bisa kasih tugas lo ke orang yang sanggup jadi sekretaris yang lebih baik dari lo! Dan dengan senang hati aku akan keluar dari ruang OSIS sekaligus kepengurusan jika Kaezar benar-benar berkata demikian, tapi sayangnya kalimat itu tidak pernah kudengar.

Kaezar malah berkata. "Lo bisa minta bantuan sama yang lain."

"Yang lain juga sama sibuknya. Nggak cuma gue." Aku mulai meng-klik dokumen-dokumen laporan yang akan aku edit, lalu mulai memeriksanya.

"Lo bisa hubungi gue—"

"Kae?" Suara itu terdengar dari ambang pintu, membuatku menoleh. Di sana, aku memukan Kalina. cewek itu mengenakan kaus kuning bertuliskan 'K' di bagian dadanya dan rok hitam pendek di atas lutut, seragam anggota cheerleaders yang biasa mereka gunakan untuk latihan. Rambut hitamnya terurai di punggung, tubuhnya memiliki tinggi di atas seratus enam puluh sentimeter dan terlihat sangat ideal dengan apa pun yang ada di dalam dirinya. "Gue mau ngomong sebentar."

Kaezar tidak berkata apa-apa, langsung bangkit dari kursinya dan mengikuti langkah Kalina ke luar ruangan. Setelah itu, aku benar-benar ditinggal sendirian. Namun, ini terasa lebih baik, aku bebas mengerjakan tugasku tanpa ada sepasang mata yang terus mengawasi.

Omong-omong soal Kalina, cewek itu adalah pacarnya Kaezar. Mereka jadian sekitar enam bulan yang lalu—beberapa hari setelah pelantikan pengurus OSIS. Kalina adalah ketua Sekbid Seni dan Kewirausahaan. Cocok sih, dia kan anak cheerleaders, jadi setiap kegiatan yang diajukan selalu menyenangkan karena dia benar-benar menyukai jabatannya.

Mereka jarang terlihat bersama, tapi sesekali aku melihat Kaezar mengantar Kalina pulang. Dan pernah juga di akhir pekan, aku melihat mereka jalan berdua di mal. Walaupun seisi sekolah begitu mengagumi K Couple itu—Kaezar dan Kalina, tapi mereka tetap menunjukkan sikap yang sewajarnya selama di sekolah.

Mereka cocok sekali, dan semua orang tahu itu. Kaezar memiliki tubuh jangkung yang tingginya mencapai seratus tujuh puluh tujuh sentimeter—aku pernah melihat profil Kaezar di daftar profil Ketua OSIS Adiwangsa. Dia juga memiliki tatapan mata yang tajam dan tegas, mungkin itu yang membuat semua orang bisa patuh pada apa yang dia katakan. Sementara Kalina, dengan wajah kecil berbentuk V dan tahi lalat di bawah bibirnya, dia terlihat sangat cantik.

Aku mendengkus, kenapa aku jadi ikut-ikutan memuja pasangan itu alih-alih menyelesaikan laporanku yang diberi waktu satu jam ini?

Aku kembali fokus pada layar komputer, memusatkan kembali perhatianku pada setiap deretan paragraf yang kubaca. Sampai akhirnya sebuah suara membuat jantungku rasanya jatuh ke lambung.

"JE!" Hakim berdiri di depanku sembari menggebrak meja. Dia sudah mengganti seragamnya dengan kaus basket. "Gue tahu lo pasti masih jadi tahanan Kae di sini. Dan gue mau menyampaikan informasi penting!" ujarnya dengan mata melotot, ekspresinya terlihat berlebihan. "Tapi ini rahasia!"

Aku menendang kaki Hakim dari kolong meja. "Sumpah nggak lucu! KAGET GUE!"

Hakim malah cengengesan. Dia membungkuk, mengusap-usap tulang keringnya yang tadi ditendang oleh ujung sepatuku. "Jadi ...." Dia berbisik, lalu menengok ke belakang, ke arah pintu masuk. "Nggak ada siapa-siapa kan, ya?" gumamnya, bertanya pada dirinya sendiri.

"Sumpah deh, lo nggak penting banget. Sana, deh! Gue mau meriksa laporan dulu biar cepet balik!"

"Ih, Je! Lo nggak mau dengar?" tanyanya tidak percaya.

Aku berdecak. "Sana ah!"

"Ih beneran nggak penasaran?"

"Nggak! Nggak! Makasih!"

"Serius? Padalah lo bakal kaget banget."

Aku diam.

"Je?"

Aku masih diam.

"Jenaya?"

Akhirnya aku menyerah. "Ya udah, apaan?"

"Nggak jadi ah. Katanya tadi nggak penasaran." Dengan santainya, cowok itu berbalik dan melangkah ke arah pintu keluar.

"Hakim!" seruku.

Hakim tergelak, lalu berbalik seraya menunjuk wajahku dengan telunjuk yang bergerak-gerak. "Penasaran kan lo?" tuduhnya. Hakim kembali ke posisi semula, membungkuk lagi di hadapanku. "Lo merhatiin wajah Kae nggak sih selama rapat pleno tadi?"

Aku mengernyit. "Dih, ngapain juga merhatiin wajah dia?" Kalau bisa memilih, aku bahkan ingin sekali menutup seluruh wajahnya dengan banner partai politik lusuh yang ada di depan halte sekolah.

"Tuh, tuh. Suka gitu." Hakim melotot, lalu menyugar rambutnya yang basah karena keringat. "Katanya, kemarin ...."

Aku mengernyit.

"Mau tahu nggak?"

"Sekali lagi lo nanya ya, Kim ...." Aku meraih gunting dari kotak pensilku. Berlama-lama menghadapi orang ini memang selalu membuatku melupakan hukuman pidana di negara ini.

Hakim tertawa sembari merebut gunting dari tanganku. "Tapi ini rahasia, ya?" bisiknya, dan aku mengangguk hanya untuk mempercepat informasi yang akan disampaikan olehnya. "Katanya, kemarin ... Kaezar sama Kalina putus."

Aku hanya mengernyit. Dia mau ngasih tahu itu doang?

"Ih, kok lo nggak kaget, sih? Nggak asyik banget!" protes Hakim seraya menggebrak meja. Dia mungkin mengira aku akan memberi respons seperti Sungkara yang akan berkata, "Hah? Kok bisa? Demi apa lo? Eh, anjir nggak nyangka gue. Terus? Terus?"

"Kebanyakan mainan akun lambe-lambean lo sama Sungkara." Aku menggeleng lalu mengembalikan fokusku pada layar komputer.

Hakim dan Sungkara adalah duo Sekbid Publikasi dan Dokumentasi yang memegang semua akun sosial media sekolah, menyebar informasi apa pun tentang sekolah juga kegiatan di luar sekolah. Namun, tidak jarang mereka juga memberikan info tidak berfaedah seperti hubungan Kaezar dan Kalina. Sebutan 'K Couple' itu mereka pencetusnya, sampai seisi sekolah ikut-ikutan.

"Gue serius, Je. Mereka putus." Hakim berusaha meyakinkanku, padahal jelas-jelas aku sudah menunjukkan sikap tidak peduli.

"Tadi Kalina baru aja ke sini, manggil Kaezar," ujarku.

"Hah?" Hakim mengernyit. "Mau minta balikan?"

Aku berdecak. "Mereka nggak putus kali! Lo aja yang ngada-ngada!"

"Eh, gue tuh dapat info dari anak-anak cheers waktu latihan tadi." Hakim mengeluarkan ponselnya, mengotak-atiknya sebentar. "Lihat nih buktinya." Layar ponselnya di simpan di hadapanku, sehingga menghalangi pandanganku pada layar komputer. Sengaja banget. "Di bio Kalina udah nggak ada nama Kaezar!"

"Tapi kan selama ini di bio Kaezar juga nggak ada nama Kalina. Mungkin Kalina udah males aja kali, karena Kaezar nggak ngelakuin hal yang sama." Aku tidak begitu memperhatikan bio Kaezar sebenarnya, hanya pernah terpaksa membuka profil akunnya untuk melihat banner kegiatan OSIS yang di-share di feeds instagramnya.

Saat satu sekolahan heboh karena tahu bahwa di bio Kalina tertulis namanya, Kaezar bahkan mengosongkan bio di profil akunnya begitu saja. Dasar cowok tidak berperasaan! Kalau aku jadi Kalina, sudah aku guncang leher cowok itu.

"Kalina juga udah unfollow Kaezar!" Hakim menunjukkan bukti selanjutnya.

"Tapi selama ini Kaezar juga nggak pernah follow Kalina. Nggak pernah follow siapa pun sih lebih tepatnya."

Following kaezar itu nol, bahkan dia tidak mengikuti balik akun-akun guru yang menjadi followers-nya. Seandainya benar lapisan langit ini ada tujuh, nah kesombongan Kaezar itu ada di lapisan paling atas, dekat dengan surga.

"Udah sana, ah! Nggak penting banget lo!" Aku menyingkirkan tangan Hakim dari hadapanku.

Hakim berdecak seraya geleng-geleng. "Lo bisa bayangin nggak sih seandainya Kaezar beneran putus sama Kalina?" tanyanya, masih berusaha memengaruhiku untuk tertarik membahas Kaezar. "Mood Kaezar itu kan kayak tai kucing anget dilempar batu ya tiap harinya, alias mencar-mencar, berantakan. Nggak pernah bagus."

Aku mengernyit dengan perumpamaan menjijikan itu.

"Nah, lo bayangin. Kaezar yang mood-nya selalu berantakan itu ..., sekarang lagi patah hati." Hakim menangkup mulutnya dengan telapak tangan. "Gue sih nggak bisa bayangin semengerikan apa mood-nya sekarang," ujarnya dengan suara berbisik, menakut-nakutiku.

"Ya terus ...?" Entah kenapa suaraku sekarang jadi mencicit.

"Ditambah lagi, di ruangan ini lo cuma berdua sama dia." Hakim menepuk-nepuk pelan punggung tanganku yang masih berada di atas keyboard. "Kalau gue sih ...." Hakim bergidik ngeri. "Mending kabur! Wassalamu'alaikum ya, Je. Duluan. Dadah!" Lalu berlari meninggalkanku sendirian.

"Hakim Hamami!" aku berteriak, tapi percuma, Hakim sudah menghilang dan meninggalkan pintu ruang OSIS yang tertutup dengan sendirinya.

Sesaat kemudian Kaezar masuk dengan wajah bingung, pasti dia heran melihat Hakim yang baru saja berlari keluar bersamaan dengan teriakan kencangku. Namun seperti biasa, Kaezar adalah makhluk yang paling tidak peduli dengan urusan orang lain, langkahnya terayun kembali ke arah kursi dengan tenang tanpa bertanya ada apa.

"Udah gue e-mail ya laporan kegiatan bulan November yang pertama. Tinggal yang kedua sama ketiga," ujarku.

Kaezar hanya mengangguk-angguk seraya menggerakkan mouse di mejanya. Baru saja beralih ke laporan kedua, Kaezar sudah berkata. "Typo tuh, Je. Halaman lima."

Aku mendongak sesaat, menatapnya yang tidak balik menatapku. Kuputuskan untuk langsung membuka halaman lima dan mencarinya sendiri. "Oh ini. Oke, gue benerin."

"Halaman delapan. Gelar Pak Anwar. Anwar Bukhari koma M titik Pd," ujar Kaezar lagi. "Lo jadi sekretaris udah enam bulan tapi gitu aja masih salah, Je?"

Kenapa sih aku selalu benci nada suaranya yang terkesan menyepelekan itu walaupun sudah sangat sering mendengarnya? "Udah," ujarku ketus. "Udah gue benerin."

"Halaman sepuluh. Periksa deh tabelnya. Bisa kali posisinya di tengah." Kaezar mendengkus, ia bangkit dari kursinya seraya mengambil penghapus, lalu berjalan ke arah white board yang menggantung di depan ruangan. Cowok itu menghapus daftar kegiatan OSIS yang kutulis tadi pagi. "Coba lo benerin deh," ujarnya seraya menuliskan tanggal esok hari di sudut kiri atas white board. "Terus tadi gue nemuin—"

"Kae?" suaraku membuatnya menoleh. "Bisa nggak sih gini aja; lo periksa dulu semuaaa laporan gue ini, terus lo tandain mana yang harus gue benerin? Biar sekalian gue ngerjainnya."

Kaezar menaruh penghapus ke kotak yang menggantung di bagian bawah white board, lalu berjalan ke mejaku. Cowok itu berdiri di belakangku, satu tangannya mengambil alih mouse yang kupegang.

Aku terkesiap. Terkejut saat Kaezar membungkuk, dadanya menyentuh puncak kepalaku soalnya.

"Bentar, gue periksa dulu semua," ujar Kaezar. "Tadi gue nemu typo lagi di halaman berapa sih, lupa," gumamnya kemudian.

Sebentar. Sebentar.

Kenapa jadi begini?

"YA NGGAK DI SINI JUGA DONG MERIKSANYA, KAE, AH LO TUH!"

***

 

Part [2]

 

Pekan pertama semester dua, guru-guru saja masih belum semuanya aktif mengajar. Bahkan ada yang hanya meninggalkan pesan memberi tugas untuk membuat rangkuman materi pelajaran dulu sebelum berlangsungnya KBM. Namun, untuk siswa-siswi yang tergabung dalam kepengurusan OSIS, kelonggaran itu sepertinya tidak berlaku.

Di jam istirahat pertama, Kaezar meminta kami untuk rapat OSIS dengan anggota lengkap, memberitahu pembentukan panitia PENSI yang akan diadakan di pertengahan semester.

"Gue maunya setelah selesai PTS, biar pada fokus dulu belajar, baru seru-seruan," ujar Kaezar.

Seru-seruan? Siswa lain bisa seru-seruan, tapi untuk anggota OSIS tiga bulan sebelum acara pasti akan sangat sibuk, saat hari H apalagi, dan setelah itu pasti repot dengan laporan pertanggungjawaban.

DI MANA LETAK SERUNYA ACARA BAGI KAMI PENGURUS OSIS SEBAGAI JONGOS-JONGOSNYA KAEZAR INI?

"Yaelah, Si Kae. Baru juga masuk sekolah, udah mesti ngurusin PENSI aja," gerutu Hakim yang baru saja duduk di depanku, membawa mangkuk berisi mi instan pesanan kedua, setelah pesanan pertamanya dirampas olehku. Kami baru bisa benar-benar istirahat di jam istirahat kedua, karena Alkaezar Pilar merampas jam istirahat pertama kami untuk rapat mingguan di ruang OSIS.

Sungkara yang duduk di sampingku meraih sambal dari tengah meja, lalu menumpahkan ke mi pangsit di mangkuknya. "Tahu, nih. Ketua OSIS kesayangan lo tuh, Je," ujarnya seraya melotot padaku.

Aku mengernyit, sibuk mengaduk mi instan di mangkuk. "Ketua OSIS kesayangan lo kali, waktu karyawisata terakhir lo satu kamar kan sama dia."

"Siapa yang milih dia sih dulu, anjir?" umpat Hakim di sela suapannya.

"Gue," jawab Sungkara. "Jujur. Gue milih dia."

"Gue juga, sih," tambahku. Karena kupikir Kaezar itu manusia normal, bukan monster yang bisa menyerap seluruh aura positif manusia yang berhadapan dengannya. "Tapi setelah kepilih rasanya gue pengin jeblesin dia ke tembok."

Tidak lama, Chiasa dan Davi datang, bergabung bersama kami setelah tertahan lebih lama di ruang OSIS. Jadi, posisi duduknya sekarang: aku, Sungkara, dan Davi. Sementara di hadapan kami ada Hakim dan Chiasa. Kantin sekolah kami memiliki bangku dan meja yang panjang banget sehingga bisa muat untuk lima sampai enam orang.

"Kaezar tuh bisa nggak sih, sehari aja nggak usah mikirin OSIS?" gerutu Chiasa sembari menyendok sambal berkali-kali ke kuah baksonya. "Baru masuk sekolah, gue udah disuruh bikin anggaran tambahan mading untuk tema-tema yang katanya di-request sama Pak Marwan, tentang kegiatan baru apalah itu. Mana ribet banget lagi sama Davi, mesti narik-narikin dari anggaran tiap Sekbid yang jelas-jelas mana mau anggarannya diambil!"

"Chia, mangkuk lo udah merah banget itu," ujar Sungkara memberi tahu.

"Biarin, anggap aja ini wajah Kae yang gue templok-templokin sambal." Si Ketua mading itu masih kelihatan kesal.

"Gimana sih cara bikin surat pengunduran diri dari bendahara OSIS?" tanya Davi yang kelihatan tidak berselera pada mangkuk bakso pesanannya. "Kae tuh tiap nyuruh meriksa keuangan, kalau mata gue belum belekan sampai leher kayaknya belum puas."

"Jangan main-main! Sebelum lo, gue pastiin gue dulu yang ngundurin diri!" Aku melotot yakin, tapi tidak menceritakan misi rahasia yang sudah kulakukan selama beberapa hari ke belakang. Ya, namanya juga misi rahasia, jadi nggak ada yang boleh tahu.

Jadi ... heleh, akhirnya aku cerita di sini juga. Jadi, beberapa hari ke belakang, aku mencoba menghubungi Alura, salah satu anggota komisi MPK, merayunya untuk menggantikan aku sebagai sekretaris OSIS I selama satu semester ke depan. Kenapa aku memilih Alura? Karena Alura itu pacarnya Kaivan, sekretaris II OSIS. Selain bisa mendapatkan jabatan penting di struktur OSIS, dia juga bisa sering-sering kerja bareng dan ketemu Kaivan. Tawaran yang sulit ditolak, kan?

Cerdas kan aku ini? Haha.

Walaupun ya, alasannya nggak cuma itu. Nggak semata-mata aku ingin cepat keluar dari kandang serigala bernama Kaezar itu lantas aku memilih penggantiku dengan asal, Alura adalah salah satu siswi teladan, jadi cukup bisa diandalkan.

Namun ... jangan sampai rencanaku ini tercium oleh Kaezar. Jangan sampai! Bisa-bisa dia menggagalkan semuanya! Karena misinya menjadi ketua OSIS selain membuat sekolah kami memiliki program kerja yang sangat bagus, dia juga ingin membuat kejiwaanku terguncang.

"Tapi ya ngomong-ngomong, pantes aja Si Kae diputusin Kalina. Nggak heran. Gue kalau jadi Kalina, jadian enam bulan sama dia mungkin udah minum obat migrain sampai sepabrik-pabrik," ujar Chiasa. "Terus stroke. Mati." Lalu bergidik ngeri.

"Lho, lo tahu dari mana Kae-Kalina putus?" tanyaku. Apakah kabarnya menyebar secepat itu?

"Tuh!" Chiasa menggedikkan dagu ke arah Hakim, membuat Hakim menyengir.

Aku mengernyit, menggeleng heran. "Lo bilang sama gue kemarin, ini rahasia? Nggak boleh bilang sama orang-orang. Terus lo kata Chiasa bukan orang? Eceng gondok?"

Ucapanku membuat Sungkara terkekeh, sampai tersedak dan mengambil minumannya.

"Ye, maksud gue tuh nggak boleh bilang sama orang asing," elak Hakim. "Tapi sebenarnya, tanpa kita sebarin, semua orang bakal tahu kok. Anak cheers bahkan udah pada tahu semua."

"Kalina mestinya dapet penghargaan nggak, sih?" tanya Davi. "Jadi orang terlama bisa dekat-dekat sama Kae. Enam bulan, gila nggak tuh, Ngadepin mood Kae yang kayak tai kucing."

"Vi!" Semua membentak Davi ketika mendengar perumpamaan menjijikan itu.

Davi tertawa. "Tai kucing anget. Gampang ambyar. Kata Hakim." Malah sengaja banget.

"Ngomong-ngomong, Chia. Kae bisa banget tuh jadi riset tokoh utama di cerita lo," usul Hakim.

"Judulnya apaan?" tanya Davi sambil menahan tawa.

"Ketos galak, I Love You. Ketos Posesif. My Psikopat Ketos. My—"

"Diem! Gue hajar lo!" Chiasa menunjuk mata Hakim dengan garpu di tangannya. Lalu bergidik antara ngeri dan geli. "Eh, tapi jujur cerita-cerita dengan tokoh kayak gitu memang laku tahu di Wattpad," ujar Si Penulis Wattpad dengan followers yang sudah melebihi seratus ribu itu. "Tapi ... di dunia nyata, gue bayangin Kae kok malah merinding sendiri sih?"

"Apa yang salah? Emang menurut lo Kae kurang ganteng buat jadi inspirasi tokoh cerita lo?" tanya Sungkara.

"Ya ..., jujur ya, ganteng sih." Chiasa meringis. "Tapi, ih udah lah. Geli campur serem gue bayangin pacaran sama cowok kayak Kae di dunia nyata. Cukup di Wattpad aja."

Aku menatap semua teman-temanku yang baru saja tergelak, sebelum hening menyapa karena mereka sibuk dengan makanan yang harus dihabiskan di jam istirahat singkat ini. Namun, percakapan tadi menyisakan sesuatu yang masih menggelitik pikiranku.

Tentang Kaezar.

Benar, Kaezar itu ganteng, pintar, berwibawa. Segala sesuatu yang ada di dalam dirinya bisa membuat orang lain—kita-kita ini— lpatuh, entah kenapa. Setiap dia bicara, seperti ada kekuatan yang membuat orang lain setia mendengarnya sampai akhir, tapi tolong jangan berpikir semua yang dimiliki Kaezar mampu membuatku terpesona. Tidak pernah. Tidak pernah terpikir dalam list kegiatanku sama sekali.

Aku mengenal Kaezar pertama kali saat MPLS, kami satu kelompok saat itu selama sepekan. Lalu berpisah di kelas yang berbeda. Dan kami kembali bersama ketika terpilih dalam Sekbid Budi Pekerti Luhur di OSIS, bekerja sama selama kelas X. Kami dekat. Cukup dekat.

Namun, semuanya tiba-tiba berubah saat Kaezar jadian dengan Kalina. Dia menjauhiku, bahkan terlihat seperti membenciku. Entah hanya perasaanku saja atau memang demikian adanya. Tidak hanya Kaezar, sih. Kalina juga bersikap sama. Apa dua orang itu bersekongkol untuk memusuhiku setelah mereka resmi jadian? Tapi atas dasar apa? Motifnya apa? Untungnya apa?

"Gue jadi penasaran sama sikap Kae setelah putus sama Kalina." Hakim kembali membuka percakapan setelah semua selesai makan dan sedang sibuk dengan botol minuman masing-masing. "Gimana sikapnya sama Jena setelah putus? Bakal balik kayak dulu, atau tetep musuhin Jena?"

Tuh, kan! Semua orang tahu kalau dulu aku dan Kaezar adalah teman dekat. Setelah jadian dengan Kalina, Kaezar seperti tidak ingin mengenalku lagi, atau bahkan menganggapku tidak ada di bumi ini. Dan menurur teman-temanku, kata orang-orang di depanku ini, Kaezar bersikap demikian karena takut Kalina cemburu.

"Kalau Kae bersikap biasa lagi sama lo, berarti bener ya. Selama ini Kalina memang cemburu kalau Kae deket-deket sama lo," ujar Chiasa.

"Lah, masih dipercaya aja itu hipotesis gila?" Aku melotot pada Chiasa. "Apa sih memangnya yang bikin Kalina bisa mikir gue bisa nyaingin dia?"

Untuk poin kepopuleran, jelas aku kalah telak. Kalina tidak hanya populer di sekolah, dia bahkan—mungkin—jadi idaman setiap cowok-cowok club basket di sekolah lain. Dan untuk masalah fisik, yahilah. Siapa sih yang bakal memilih aku jika aku disandingkan dengan Kalina?

Tinggiku bahkan mungkin hanya sebatas bawah kuping Kalina—atau entah, aku tidak pernah benar-benar mengukur. Aku tidak punya rambut yang panjang bergelombang dan indah, hanya modal ikat rambut yang disimpul longgar dan sering terurai ke mana-mana. Pipiku bulat, tidak setirus Kalina yang bentuk wajahnya menjadi idaman banyak cewek di sekolah. Aku juga tidak punya mata seperti Kalina yang bulat dan indah. Hidungku nggak mancung, malah kata Papi, aku lebih mirip kucing kesayangan Mami dulu daripada mirip kedua orangtuaku. Sedangkan kucing peliharaan Mami itu berjenis Persia. Apa memang aku sepesek itu?

"Je, memangnya suka sama orang itu mesti banget dari fisik?" Secara tidak langsung Hakim menjelaskan bahwa fisikku memang tidak ada apa-apanya dibanding Kalina.

"Jadi, fix ya?" Sungkara menatap mata kami semua. "Kalau sikap Kaezar balik lagi kayak dulu sama lo, muka lo memang muka pelakor. Jadi, dulu Kae musuhin lo karena takut Kalina cemburu."

Aku mengernyit. Meringis juga. "Tuh, tuh. Suka nggak jelas. Gimana bisa, sih?"

"Bisa aja, Je!" tukas Hakim. "Bisa aja di kehidupan sebelumnya lo itu adalah pelakor di zaman Kerajaan Majapahit."

"Bener!" Chiasa menjentikkan jari. "Bisa jadi, Je. Itu juga kutukan buat lo yang sampai sekarang nggak punya-punya cowok," tambahnya.

Aku menatap mangkuk sambal di hadapannya seraya menyedot habis teh botol. "Enak kali nemplokin sambal ke mata orang, ya?" gumamku, Chiasa menyengir.

"Udah, si! Udah jelas-jelas Kae itu benci sama Jena karena dendam sama insiden bazar tahun lalu," ujar Davi tiba-tiba mengingatkanku pada dosa besar yang kumiliki saat itu. "Lo ingat nggak sih, di akhir semester dua kelas X waktu Jena—"

"Vi!" Aku menggebrak meja sampai semua mangkuk nyaris melompat. Tidak ada yang lupa akan insiden bazar itu, antara aku dan Kaezar, yang sebenarnya membuatku sedikit menjauh dari Kaezar.

Sumpah, ya! Kalau ingat itu aku ingin pindah sekolah saja rasanya!

Sisa tawa di meja masih terdengar, bahkan kedatangan Janari tidak membuat kikikan itu hilang sampai Janari yang baru saja duduk di sisi Hakim sembari membawa makanan pesanannya keheranan.

"Ada apaan nih? Bagi-bagi dong kalau ada yang lucu," ujar Janari seraya menatap kami semua.

"Kebanyakan gaul sama Kae bibir lo pasti kaku banget kayak pagar sekolah ya, Ri?" tanya Chiasa dengan ekspresi mengasihani.

Janari hanya terkekeh. Penghargaan cowok tersabar se-Adiwangsa memang pantas dijatuhkan pada sosok Janari. Janari dengan setia selalu menemani Kaezar ke mana-mana, sampai di akhir waktu istirahat begini dia baru sempat ke kantin.

"Eh, Ri!" Hakim memosisikan duduknya menjadi sedikit miring ke arah Janari yang tengah menusuk-nusuk siomaynya. "Lo pasti tahu kan, Kae putus sama Kalina?"

Janari mengangguk dengan mulut yang tidak berhenti mengunyah.

"Kae cerita?" tanya Davi.

"Curhat gitu? Ke gue maksudnya?" tanyanya seraya meringis. "Lo pikir Kae bakal begitu?"

"Ah, ya ... nggak juga, sih." Davi bergumam, wajahnya terlihat kecewa. "Tapi ya, kan gue mikirnya lo paling dekat sama Kae. Jadi, ya bisa aja kan kalau dia keceplosan cerita gitu kalau lagi galau-galau banget terus—"

"Nggak galau dia," ujar Janari sembari terus menyendok makanannya. "Nggak ada bekas-bekas habis putus gitu."

"Memang iya?" Chiasa condong ke depan, terlihat penasaran.

Janari mengerjap. "Ya memangnya kalau putus harus galau?"

"Benar kan, tebakan kita selama ini. Kae udah transplantasi hati." Sungkara bicara sambil melotot dramatis.

"Lo tanyain kali, Ri," pancing Hakim. "Kali aja gitu kan, dia memendamnya sendirian."

Janari mengernyit. Ekspresinya seolah berkata, Dih ngapain juga?

Dan pemeran antagonis dalam cerita itu biasanya memang panjang umur. Saat sedang digunjingkan, Kaezar datang menghampiri meja kami. Makanan yang dibawanya selalu sama, dua bungkus roti sandwich cokelat dan sebotol air mineral. "Belum pada ke kelas?" tanyanya, basa-basi banget sumpah.

Kaezar duduk di samping Janari, mulai membuka kemasan rotinya.

"Kae?" ujar Janari. "Gue mau nanya dong. Boleh?"

Sesaat setelah pertanyaan itu. Mataku blingsatan, mencari tatapan teman-temanku yang ternyata memiliki tatapan yang sama. Kami semua saling kedip, lalu memutuskan untuk pura-pura tidak peduli pada pertanyaan Janari dan jawaban Kaezar nanti.

"Nanya apaan?" tanya Kaezar cuek, lalu membuka segel botol air mineralnya.

"Lo boleh jawab, boleh nggak, sih." Janari menyengir.

"Apaan?" ulang Kaezar.

Kami sudah sepakat untuk pura-pura tidak peduli, tapi suasana di meja malah hening. Aneh kan jadinya.

"Itu." Janari nyengir lagi. "Tadi Kimia ada pretest, ya?"

HILIH, JANARI MINTA BANGET DI GEDIG!

Kami pikir Janari akan bertanya tentang Kaezar yang kabarnya kemarin baru putus dari Kalina. Tahunya apa? Ya memang penting sih, pretest Kimia, tapi kan kami lebih menginginkan informasi lain.

"Iya ada." Kaezar menghabiskan setengah botol air mineralnya. "Mau gue kasih kisi-kisi nggak?" tanyanya seraya bangkit dari bangku. Dia tuh selalu makan tanpa dinikmati seolah dikejar waktu, dua bungkus roti sandwich-nya malah sudah habis.

"Mau! Mau!" Janari cepat-cepat menghabiskan minuman kalengnya.

"Gue ke XI Sosial 1 dulu, ada perlu sama Kaivan."

"Ya udah, gue ikut." Janari ikut bangkit dan melangkahi bangku.

"Habis itu mau balik ke ruang OSIS lagi," lanjut Kaezar.

Janari mengernyit. "Lho, balik ke ruang OSIS, lagi? Ngapain?"

"Benerin printer." Kaezar hendak pergi, tapi masih berdiri di depan bangkunya. Kedua matanya menatapku. "Biar nggak ada yang marah-marah lagi gara-gara printer error mulu."

***
 

 

Part [3]

"Terus kenapa lo harus bilang sama Kae?" tanyaku seraya melipat lengan di dada, berdiri menepi di dinding depan kelas karena Kaivan tiba-tiba meminta bertemu di awal jam istirahat. "Gue kan sengaja diam-diam nawarin Alura untuk jadi sekretaris OSIS, ketika udah deal, baru gue kasih tahu Kae. Lah, lo malah bilang!"

"Gue pikir Kae udah setuju lo keluar dari OSIS, makanya lo nyari gantinya." Kaivan meringis. "Ternyata waktu kemarin gue tanya, Kae kayak yang kaget gitu."

Ya kaget, lah! Mana mau Kae melepaskanku dari jeratan penuh siksaan bernama kepengurusan OSIS ini?!

"Kae malah nanya balik, memangnya kenapa Jena mau keluar dari kepengurusan OSIS?" lanjut Kaivan.

"Terus lo jawab apaan?"

Kaivan mengangkat bahu. "Gue jawab, nggak tahu."

"Kok, lo jawab nggak tahu? Jelas-jelas jawabannya karena Kaezar sendiri." Tapi, ya mana berani Kaivan menjawab dimikian. Aku mengentakkan kaki seraya berdecak, kesal. "Terus sekarang jadinya gimana?"

"Ya nggak jadi, Kaezar juga kayaknya nggak ngizinin Alura masuk OSIS gitu aja," jawab Kaivan. "Lagi pula ya, Je ..., setelah gue pikir-pikir, gue kayaknya lebih baik menyelamatkan cewek gue dari kandang mengerikan bernama Ruang OSIS itu. Nggak deh, Je. Kasihan Alura kalau harus masuk OSIS."

Aku melongo. Enak banget jadi Alura, ada seseorang yang berniat menyelamatkan, sedangkan aku yang sudah menjatuhkan diri ke kandang serigala itu terisk-teriak minta tolong untuk keluar saja tidak ada yang peduli. "Ya udah deh," ujarku lemas.

"Sori ya, Je."

Aku mengangguk. "Mau gimana lagi?"

"Tapi Je, gue boleh tahu nggak sih, sebenarnya alasan vital yang bikin lo pengin banget keluar dari OSIS itu apa selain Kaezar?"

Jena mendengkus. "Gue pengin pulang siang! Pengin bebas jalan! Nggak mau kebelit laporan tiap hari! Pengin nyari cowok biar bisa 'diselamatkan' kayak Alura! Ngerti lo?!"

Kaivan berjengit mundur. "Santai, santai, Je." Dia meringis. "Sekarang bawa istirahat dulu biar tenang."

Namun aku hanya mendelik dan kembali masuk ke kelas tanpa bicara apa-apa lagi. Chiasa dan Davi sudah pergi duluan ke kantin, lalu mengirimiku pesan yang berisi bujukan agar aku cepat-cepat menyusul, tapi kutolak. Nafsu makanku hilang, aku tidak berselera melakukan apa-apa selain menelungkup di bangku kelasku.

Aku hanya ingin keluar dari kepengurusan OSIS, kok cobaannya banyak banget?

Aku benar-benar sendirian di kelas, dan baru saja menyimpan ponsel di atas meja sebelum getarnya terasa lagi. Namun kali ini, pesan masuk datang dari ... Kaezar, orang terakhir yang ingin kulihat namanya di layar ponselku.

Alkaezar Pilar
Di mana, Je?

Shahiya Jenaya
Di tempat yang tidak ingin kau temukan.

Alkaezar Pilar
Serius. Di mana?

Shahiya Jenaya
Mau ngapain?

Alkaezar Pilar
Mau ngomong.

Shahiya Jenaya
Ngomong apaan?

Alkaezar Pilar
Bisa nggak lo jawab aja, lo lagi di mana?

Shahiya Jenaya
Di kelas. Tapi lagi sibuk. Nggak bisa ke mana-mana. Nggak bisa diganggu juga.

Alkaezar Pilar
Ya udah, gue ke sana.

Shahiya Jenaya
Lo ngerti nggak sih sama kalimat 'Nggak bisa diganggu'?

Dan tidak lama kemudian suara Kaezar terdengar dari ambang pintu kelas. "Je?" Dia benar-benar datang. Dia benar-benar tidak mengerti maksud dari pesanku.

Aku tidak menoleh, hanya mengambil secara asal buku dari dalam tas dan membukanya. Kubaca sampulnya, Buku Bimbel Matematika. Aku punya jadwal bimbingan belajar sepulang sekolah nanti, hanya satu pelajaran sih, tapi akan membuatku pulang larut karena jadwal hari ini adalah pelajaran Matematika.

Beginilah keseharianku, kalau tidak sibuk dengan urusan OSIS, ya ada jadwal bimbingan belajar. Sehingga seringnya aku pulang larut malam ke rumah. Lupa bagaimana menikmati matahari sore di rumah kecuali hari Minggu—itu pun jika Kaezar tidak iseng menyuruhku datang ke sekolah karena urusan OSIS.

Omong-omong, tempat bimbingan belajarku dan Kaezar itu sama. Namun bedanya, aku belajar karena memang membutuhkannya, sementara Kaezar belajar karena suka. Kaezar suka belajar. Aku bahkan pernah melihat Kaezar mengerjakan setumpuk soal di ruang bimbingan belajar sendirian tanpa disuruh sedangkan semua siswa sudah bergerak pulang.

"Wah, beneran sibuk, ya?" ujar Kaezar ketika sudah berdiri di samping mejaku.

Aku hanya bergumam, berusaha untuk fokus pada soal Matematika di depanku tentang ... Limit Fungsi Aljabar. Ih, Jena bodoh kenapa juga kamu menarik asal buku Matematika tadi? Sok pintar sekali.

"Je?"

"Apa sih, Kae? Mau ngomong ya ngomong aja." Aku masih berusaha fokus pada buku di depanku yang terbuka, tapi masalahnya ini bukan buku Biologi yang harus dibaca, melainkan buku Matemtika yang seharusnya membuatku sibuk mengerjakan soal. Jadi, oke, Jena, ambil satu soal dan kerjakan! "Limit x menuju sembilan akar x—"

"Je?"

"Apa sih, Kae?" Aku mendongak singkat sebelum kembali pada lembar soal. "Ya udah ngomong aja, gue dengerin. Dikurang tiga per x dikurang sembilan, sama dengan." Aku kembali menggumamkan soal yang kutulis, yang sebenarnya bertujuan mengulur waktu untuk mengerjakan karena aku sama sekali belum menemukan caranya.

"Lo mau keluar dari OSIS?"

Gerakan tanganku terhenti, ujung pensilku mengambang di atas kertas soal. Pernah tidak tertangkap basah ketika sedang mengendap-ngendap untuk menghindari seseorang? Aku sedang merasakannya sekarang. Perutku seperti diaduk, terasa mulas sekali.

"Gue pikir, selama ini udah nggak pernah ngehubungi Pak Marwan, karena lo sekarang baik-baik aja. Maksud gue, lo udah nggak ada niat keluar dari OSIS lagi."

"Oh." Aku hanya menggumam sekenanya. Berpikirlah, Jenaya! Kenapa hanya 'oh'?

"Jangan keluar dulu, Je," pinta Kae. "Gue masih butuh lo."

Ucapannya membuatku kembali mendongak, dua alisku terangkat. Pasti aku terlihat kaget sekarang. Kupikir Kaezar akan mengucapkan kalimat-kalimat sarkastik menyebalkan seperti biasanya ketika berhasil mengetahui niatku yang kembali gagal keluar dari OSIS, tapi ternyata di luar dugaan.

"Maksudnya, nggak ada yang lebih ngerti dari lo untuk segala urusan administrasi OSIS, lo tahu bakal gimana keteterannya gue, apalagi sekarang kita mau ngadain PENSI dan gue butuh lo untuk tetap berada di kepengurusan OSIS."

Ke mana suara Kaezar yang selalu menganggapku remeh dan tidak becus kerja? "Gue pikir-pikir lagi, deh," jawabku.

"Sampai selesai PENSI, deh."

"Iya. Iya." Aku kembali fokus pada lembar soal di hadapanku, lalu mengerjakan soal Limit Fungsi Aljabar itu dengan segenap kemampuan yang kupunya, tapi aku tidak menemukan jawabannya ketika mencoba men-substitusikan angka sembilan ke dalam soal fungsi aljabar yang kukerjakan. Dan .... "Lo ngapain masih di sini, sih?!" bentakku.

Kaezar menggaruk hidungnya pelan, lalu mengambil alih pensil dan lembar soalku. "Kalau disubstitusi, ini hasilnya nol per nol, jawabannya tak terhingga. Bukan gini cara ngerjainnya." Kaezar menunduk di depanku, percaya atau tidak, dia mengerjakan soal itu tidak lebih dari satu menit. "Pakai cara ini. Kalikan dengan akar sekawan. Gini. Hasilnya satu per enam." Kaezar menyeringai.

Dan aku hanya memberinya tatapan sinis

Dan aku hanya memberinya tatapan sinis.

Cowok itu menaruh pensil di mejaku, lalu kembali berdiri tegak. "Mending ke kantin yuk, daripada ngabis-ngabisin jam istirahat. Kejawab nggak, laper iya."

***

Papi ♡
Fush, Papi jemput jam berapa nanti?

Shahiya Jenaya
Malem, Piii. Aku ada jadwal bimbel Matematika sore nanti.

Papi ♡
Sekarang di mana? Udah makan belum?

Shahiya Jenaya
Di sekolah, mau rapat OSIS dulu. Aku udah makaaan.

Aku menaruh HP ke dalam tas saat melihat Kaezar sudah masuk ke ruang auditorium, duduk di sampingku, disusul Janari di sebelahnya. Kami sudah berada di barisan paling depan, menghadap semua pengurus OSIS yang duduk di kursi-kursi yang disusun membentuk huruf U.

Untuk rapat OSIS biasa, biasanya kami hanya menggunakan ruang OSIS. Namun, karena bahasan kali ini adalah tentang PENSI, kami membutuhkan ruangan yang lebih besar karena tidak hanya ada anggota OSIS inti yang hadir.

"Hari ini kita akan membuat kepanitian untuk acara PENSI," ujar Kaezar setelah memberi salam dan mengucapkan berbagai kalimat pendahuluan. Cowok itu berdiri di hadapan semua anggota rapat. "Gue minta, kepanitian nanti bukan dari pengurus OSIS inti, karena pengurus inti kan tetap berada menjadi panitia bayangan. Jadi untuk ketua, bendahara, dan sekretaris, cukup satu. OSIS akan bantu back up."

Semua mengangguk-angguk, seperti biasa, Kaezar selalu mudah membuat semua anggotanya patuh.

"Kalil gimana? Siap, Kal?" Kaezar membuat Kalil yang bertugas di Sekbid Teknologi dan Informasi OSIS mengangguk.

"Siap. Tapi gue tetap butuh bantuan lo ya, Kae?" Kalil menyetujui begitu saja ketika namanya ditunjuk sebagai ketua panitia, seolah-olah di belakang kami, kedua cowok itu sudah mendiskusikan semuanya.

Kaezar mengangguk. "Pasti," gumamnya. "Bendahara? Lo udah tunjuk siapa?"

Kalil menunjuk Gista yang duduk di sebelahnya, mereka berada dalam sekbid yang sama. "Gista aja, Gista bilang sanggup kok."

"Beneran, Gis?" tanya Kae.

Gista mengangguk mantap. "Siap. Tapi gue juga pasti ngerepotin Davi banget, nggak apa-apa kan, Vi?"

Davi tersenyum, mengacungkan dua jempol. "Santai!" sahutnya.

"Dan sekretaris?" tanya Kaezar. "Sebenarnya tugas sekretaris ini lebih berat dari bendahara, benar-benar harus—"

Ucapan Kae yang terhenti membuatku mendongak, karena sejak tadi aku sibuk mencatat keputusan rapat; tentang ketua panitia, bendahara, dan ... kali ini sekretaris. Aku baru tahu alasan suara Kaezar kembali tertelan, Kalina tengah mengangkat tangan di antara hening yang ada.

"Gue," ujar Kalina yakin. "Boleh kan kalau gue jadi sekretaris PENSI nanti, Kal?" tanyanya seraya menoleh pada Kalil.

Kalil mengangguk pelan. "Boleh," jawabnya. "Boleh banget, gue juga belum nemu partner yang sanggup untuk jadi sekretaris."

Kaezar berdeham pelan, sembari membuka-buka catatannya dengan tujuan tidak jelas, dia kembali bicara. "Tugas sekretaris nggak semudah yang lo bayangkan ya, Na."

"Gue tahu," sahut Kalina mantap, membuat Kaezar menatapnya. "Makanya, gue perlu banyak diskusi sama Jena kan nanti?" tanyanya.

Kedua orang itu malah saling bertatapan, menyisakan hening yang kembali menjeda jalannya rapat. Sesaat setelah itu, Kaezar menoleh padaku. "Gimana, Je?"

Lho, kok nanya gue? "Gue sih ..., ya siapa aja ayok."

"Oke," putus Kaezar akhirnya. "Untuk panitia inti selesai ya? Sekaramg kita lanjut ke seksi-seksi lain."

Dan rapat OSIS tidak pernah memakan waktu sebentar. Pukul lima sore semua seksi baru terpilih dan disetujui. Di saat semua anggota rapat masih sibuk membahas perihal bidang yang diembannya, aku sudah membereskan semua alat tulisku dengan tergesa.

Telat lagi aku ikut bimbingan belajar kalau begini ceritanya!

"Jenaaa! Jalan dulu yuuuk!" ajak Chiasa yang merentangkan dua tangan, seolah-olah rapat OSIS yang alot tadi membuatnya jenuh. "Jangan jauh-jauh, yang deket aja gue laper. Ramen deh ramen!"

"BERESIN LAGI DONG KURSINYA!" suara lantang Arjune Si Komandan Pleton PASKIBRA itu membuat seisi ruangan kicep dan diam-diam menggeser kursi ke tempat semula.

"Jena?" panggil Chiasa lagi, kali ini dengan suara lebih pelan karena Arjune masih ngomel-ngomel di belakang sana.

"Gue ada jadwal bimbel." Aku buru-buru mengangkat seluruh alat tulisku, sampai tanoa sengaja bolpoinku jatuh. Dengan segala kerepotan yang ada, aku hendak mengambil bolpoinku itu. Namun, Kaezar yang duduk di sampingku, yang terlihat tidak peduli karena sejak tadi tengah mengobrol dengan Janari, lebih dulu membungkuk dan mengambilnya.

"Koordinasi sama semua aja sih harusnya, Ri," ujar Kaezar, masih berbicara pada Janari, tapi tangannya terulur padaku, menyerahkan bolpoin.

Aku menerimanya, tanpa ucapan terima kasih karena sepertinya Kaezar tidak membutuhkan itu, dia masih sibuk mengobrol dengan Janari.

"Jena, bimbel? Pulang rapat OSIS terus bimbel?" tanya Sungkara dengan nada mencibir.

"Kapan mau punya cowok kamu Shahiya Jenaya?" tambah Hakim. "Gitu aja terus hidup lo, ya? Malang sekali wahai anak Papi."

"Lho, nggak apa-apa!" hibur Kaivan. "Siapa tahu nanti nemu cowoknya di ruang OSIS. Kan, nggak ada yang tahu ya, Je?" Sepertings Kaivan masih merasa bersalah atas kejadian Alura yang gagal menggantikanku.

"Lo mau putusin Alura demi gue?" tanyaku sinis. "Lo mau jadi cowok gue dan 'menyelamatkan' gue, Kai?" sindirku.

Dan pertanyaan itu membuat Kaivan kicep, tapi entah kenapa membuat Kaezar menoleh cepat, menatapku seraya dengan kening mengernyit, terlihat ngeri.

"Kai," ulangku seraya melotot pada Kaezar. "K.A.I. Use 'i', not 'e'."

Ucapanku barusan membuat Hakim dan Sungkara menutup mulut, menahan tawa.

"Jena?" Saat semua orang sudah keluar dari auditorium, langkahku kembali terhenti oleh panggilan Kalina. Dia menghampiriku, berdiri di depanku yang masih berada di dekat Kaezar dan Janari. "Gue minta bantuan lo ke depannya, ya," ujarnya seraya mengulurkan tangan.

"O-oh." Aku kembali menaruh alat tulisku ke meja, menyambut uluran tangan Kalina. "Santai kali, Na. Kita sama-sama aja."

"Gue pasti ngerepotin banget, sih. Ini kali pertama gue jadi bagian penting dari suatu acara besar soalnya."

"Gue kan udah tanya tadi, lo beneran sanggup?" Tiba-tiba Kaezar menyambar. Cowok itu menghentikan obrolannya dengan Janari dan fokus pada Kalina.

"Jangan ngeremehin gue gitu, Kae." Kalina menatap Kaezar sengit. "Gue bisa! Gue sanggup!"

Kaezar mengembuskan napas berat, lalu menatapku dan berkata, "Nitip Kalina ya, Je."

***

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Ketos Galak
Selanjutnya Ketos Galak | [Part 4, 5, 6]
117
1
Part ini bisa dibaca secara gratis. Dukung dengan vote dan komen.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan