
Part ini bisa dibaca secara gratis. Dukung dengan vote dan komen ya.
Part [16]
KAEZAR
GUE baru saja tiba di Bandung setelah melewati lima jam waktu tempuh perjalanan dengan mengendarai motor. Salah satu uji nyali terbesar ketika memutuskan untuk nekat mengendarai motor Bandung-Jakarta dan Jakarta-Bandung di hari yang sama. Keputusan ini dikarenakan Papa tidak mengizinkan gue mengendarai mobil sendiri untuk melakukan bolak-balik perjalanan antar kota itu dengan alasan, "Kamu belum pernah mengendara sejauh itu, Kaezar. Jangan macam-macam."
Dan sekarang, rekor mengendara motor yang jumlahnya sepuluh jam waktu tempuh akhirnya gue pecahkan demi meluangkan waktu yang bahkan tidak lebih dari lima belas menit untuk bertemu Jena.
Favian bertepuk tangan saat gue baru saja memasuki rumah orangtua Tante Vina yang tengah sibuk dengan persiapan pertunangan anak keduanya, Tante Rena.
"Keren! Keren! Bokong aman, Bro?" ledeknya saat gue baru saja melangkah ke kamar, melewati keramaian di lantai satu.
Gue meletakkan helm ke meja, melepas masker dari wajah lalu melemparkan tubuh ke tempat tidur dengan jaket, sarung tangan, dan kaus kaki yang masih menempel di tubuh. Jujur saja, yang mengenaskan bukan hanya bokong, tapi sekujur tubuh yang semua bagian sendinya terasa longgar.
Favian yang sudah mengenakan baju batik seragam keluarga berjalan ke arah gue, lututnya dijedukkan ke ujung kaki gue yang terjulur dari tempat tidur. "Ganti baju sana, dari tadi Papa nanyain lo mulu, uring-uringan waktu tahu lo belum balik."
"Jam berapa acaranya dimulai?"
"Jam delapan malam. Lima menit lagi, buruan. Males gue dengar bokap ngomel-ngomel."
Gue bangkit dari tempat tidur dengan malas, berjalan ke arah lemari tempat batik milik gue disiapkan, tadi Tante Vina menyimpannya di sana. "Bokap siape, sih? Ribet banget," gerutu gue.
"Bokap gue, bokap lo, bokap kita semua," sahut Favian seraya bercermin di samping gue.
Gue membuka jaket dan kaus hitam yang sejak siang dikenakan, lalu meraih hanger batik dari dalam lemari. "Eh, nih kunci motor Rizwan, tolong balikin ya, bilang makasih sama saudara lo." Gue menyebutkan adik bungsu Tante Vina yang usianya tidak jauh di atas kami.
"Saudara lo juga kali," ujar Favian mengingatkan bahwa kami ini adalah keluarga. Sekali lagi, keluarga.
Favian sudah menjadi adik tiri gue sejak ... kurang lebih enam tahun lalu, sejak Papa menikahi Tante Vina, sejak kami masih duduk di bangku kelas enam SD. Usia kami hanya terpaut beberapa bulan, tapi tetap saja gue lebih tua darinya.
Tidak ada yang tahu masalah ini di sekolah, kami tidak menyembunyikannya, tapi juga tidak pernah menceritakannya pada siapa-siapa. Tidak akan ada yang curiga juga bahwa kami ini adalah kakak-beradik, karena kami tinggal terpisah. Sejak Papa menikahi Tante Vina, Papa tidak tinggal lagi di rumah yang dulu kami tinggali bersama Mama. Papa pergi bersama keluarga barunya, ada Tante Vina di sana, Favian, juga Jia yang baru lahir setelah satu tahun pernikahan mereka.
Namun, gue tetap memutuskan untuk tidak pergi ke mana-mana, tetap di rumah. Tinggal bersama kenangan dengan Mama.
Ada hal yang membuat gue enggan pergi, ada hal yang membuat gue marah. Sekeras apa pun Papa memaksa gue untuk ikut pergi, gue tetap tidak ke mana-mana. Mungkin, sejak saat itu hubungan kami merenggang.
Dan Favian, cowok yang senang sekali terbahak-bahak itu, senang sekali mendekati gue padahal sudah gue pukul mundur berkali-kali. Namun, kali ini gue akui, dia berguna.
"Bensinnya lo isiin, kan?" tanya Favian seraya menerima kunci motor dari tangan gue.
Gue melempar kemeja batik ke tempat tidur, lalu berjalan ke arah kamar mandi untuk sekadar cuci muka karena gue sadar memiliki Papa yang tidak sabaran. "Udah," sahut gue dari balik pintu kamar mandi.
"Jena gimana?" tanya Favian lagi.
Tidak pernah ada keinginan untuk menceritakan tentang apa pun pada Favian, tapi Favian selalu bisa membaca apa yang gue alami. Gue jadi curiga, sebenarnya siapa sosok buku yang terbuka yang bisa dibaca siapa saja di sini? Gue atau dia?
"Gitu lah," balas gue sekenanya. Gue sudah keluar dari kamar mandi dan meraih handuk kecil dari gantungan dekat pintu.
Favian duduk di tepi tempat tidur, menatap gue yang kini mengenakan kemeja batik miliknya. "Kapan jadiannya sih, anjir? Kok, gue yang kesel. Lama amat PDKT-nya?"
Gue tidak sempat membalas pertanyaan itu, karena kini pintu kamar yang terbuka membuat kami berdua menoleh bersamaan.
"Kaezar, kamu baru sampai?" tanya Papa yang baru saja menurunkan Jia dari gendongan. Pintu di belakangnya tertutup sendiri saat langkahnya terayun memasuki kamar.
Gue mengangguk, duduk di samping Favian seraya mengancingkan kemeja batiknya.
"Papa pikir, ketika Papa nggak mengizinkan kamu bawa mobil, kamu nggak akan nekat meminjam motor Rizwan." Papa berkacak pinggang, menggeleng, tidak habis pikir.
Jia yang baru saja lepas dari pelukan Papa, kini berlari ke arah gue, mengalungkan dua lengannya di tengkuk gue dengan manja. "Ini keringat?" tanya gadis kecil itu seraya mengusap air di ujung rambut.
"Bukan, tadi Mas Kae habis cuci muka."
"Oh."
"Kamu ada perlu apa sih, Kae? Sampai rela bolak-balik Bandung-Jakarta?" Papa masih terlihat penasaran. Karena, gue memang pergi tanpa penjelasan setelah permintaan izin memakai mobil ditolak.
"Itu, ceweknya—gebetannya maksudnya—sakit, masuk rumah sakit." Seharusnya Favian memang gue angkat sebagai juru bicara agar gue tidak banyak membuang energi untuk berbicara dengan Papa, tapi kadang dia terlalu mewakilkan jawaban sebenarnya tanpa menyembunyikan apa pun, jawaban yang sering kali membuat gue memutar bola mata.
"Gebetan?" Papa mengernyit.
"Gebetan itu apa?" tanya Jia, penasaran.
"Gebetan itu, calon pacar," jelas Favian terang-terangan.
"Jangan bilang, yang pernah kita bahas itu—siapa? Anak yang punya Blackbeans?" tanya Papa seraya mengacung-acungkan telunjuk ke arah gue dan Favian.
"Ah, tepat! Seratus untuk, Papa! Yeah!" Favian bertepuk tangan heboh sembari terbahak-bahak. "Jena, namanya." Dalam situasi seperti ini, rasanya gue ingin mendorong kepala Favian sampai ... jangan jauh-jauh, tenggelam di lapisan bumi kedua saja.
"Kaezar, kamu serius?" Papa melotot, masih terlihat tidak percaya.
"Kenapa harus nggak serius?" balas gue dengan suara sedikit terpatah-patah karena Jia masih memeluk leher sembari melompat-lompat di belakang tubuh gue.
Papa terkekeh pelan, bukan kekehan senang, malah terlihat frustrasi. "Dengar Papa. Kamu dalam masalah."
Gue mengernyit. Menyukai Jena sejak dulu memang masalah, dengan segala sikapnya yang selalu ingin pergi jauh-jauh saat gue dekati, itu adalah masalah. Jadi, gue sudah terbiasa.
"Orangtua Jena, Argan—siapa lah itu Papa malas banget sebut namanya—tidak menyukai Papa," jelas Papa dengan raut wajah sungguh-sungguh.
"Kenapa?" Pertanyaan dengan nada yang terdengar sangat penasaran itu datang dari Favian.
"Papa nggak percaya harus menceritakan ini," gumam Papa seraya melirik ke arah pintu kamar yang masih tertutup. "Ini rahasia kita, sebagai laki-laki."
"Aku perempuan," sahut Jia polos.
"Dan satu anak perempuan," lanjut Papa tidak ingin membuat Jia kecewa.
Jia bertepuk tangan.
"Jangan bilang, Mama." Papa menatap mata kami yang duduk di depannya. "Kami—Papa dan 'dia'—pernah menyukai wanita yang sama."
Hening menggenang lama. Lalu surut saat Favian kembali bicara.
"Astaga, cuma masalah cewek." Favian terdengar tidak menyangka. Gue juga.
"Pa ...." Gue hanya menggumam dan menganggap itu bukan masalah. Bukankah keduanya sudah menikah dan hidup berbahagia dengan keluarga masing-masing?
"Masalahnya nggak sesederhana itu." Papa melipat lengan di dada. "Om Argan memenangkan persaingan kami—"
"Berarti masalahnya ada di Papa," tembak Favian. Lalu menjentikan jari dan menoleh pada gue. "Benar, kan?"
"Papa harus merelakan kekalahan," ujar gue.
"OH, TENTU!" Papa melotot, suaranya sangat nyaring sampai Jia terperanjat. "Papa bahkan merasa sangat beruntung karena kalah, Papa bisa bertemu Mama kamu," ujarnya seraya melihat gue. "Bertemu mama kamu," selanjutnya melihat Favian. "Nggak masalah."
"Nggak masalah," ulang gue.
"Yang jadi masalah, kami nggak punya kesan baik saat itu." Papa menjauhkan dua tangannya. "Kami bertengkar, lalu berpisah tanpa kata maaf, meninggalkan kesan buruk bagi masing-masing."
Favian menjentikkan jari dengan tubuh yang melonjak-lonjak. "Papa hanya perlu bertemu dengan Om Argan." Dua tangannya menyatu. "Kalian bertemu, saling memaafkan, saling memamerkan keluarga yang sudah bahagia—yang artinya tidak ada hal buruk yang tertinggal di masa lalu. Selesai. Semua selesai. Nggak ada masalah lagi." Favian menepuk pundak gue. "Tentukan jadwal untuk pertemuan Papa dan Om Argan di Blackbeans. Langsung minta restu. Setelah itu, lo sama Jena bisa pacaran dengan tenang."
Tapi, masalahnya. "Gue belum pacaran sama Jena." Gue nggak mau ya, setelah kena DBD, dia langsung kena serangan jantung.
***
JENA
Aku sudah kembali ke rumah sejak hari kemarin, tapi tentu saja belum bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Papi juga tidak mengizinkanku sekolah begitu saja padahal sudah tiga hari aku beristirahat di rumah.
Sekarang hari Rabu, waktunya rapat mingguan panitia PENSI. Dan aku melewatkannya. Tidak masalah sih sebenarnya, aku percaya pada Kaivan. Yang aku khawatirkan hanya Kalina, karena dia suka impulsif meminta bantuanku dan setelah itu mengabaikan hasilnya.
Aku masih kesal dengan segala macam materi publikasi yang kubuat minggu kemarin, yang sama sekali tidak Kalina hargai. Aku tidak bisa balas dendam, jadi ... sebagai bayarannya, aku tidak akan lagi meminta Kaezar menghapus foto ujung sepatu di instagramnya yang sampai sekarang masih terpampang itu, biarkan saja Kalina melihat foto itu. Walaupun aku juga tidak tahu, sebenarnya Kalina peduli atau tidak jika Kaezar dekat dengan cewek lain?
Aku duduk di balik meja belajar di dalam kamarku, mengambil buku catatan dan mulai membuka foto-foto kiriman Chiasa. Chiasa baru saja mengirimkan catatan pelajaran dan tugas di sekolah yang kulewatkan sejak hari Jumat kemarin.
"Banyak," keluhku sembari menggeser-geser foto.
Padahal aku merasa baik-baik saja saat tidak melakukan apa-apa, tapi saat melihat tugas-tugas itu, kepalaku tiba-tiba terasa berat. "Hah, ya ampun, masalah orang yang tidak pintar-pintar amat gini nih."
Orang-orang seperti Kaezar pasti tidak pernah mengalami ini. Dia hidup untuk belajar, sementara aku belajar agar tetap hidup dan diakui sebagai anak Papi.
Oh, ya. Omong-omong tentang Kaezar, aku jadi ingat gelang anti nyamuk pemberiannya. Tanganku membuka laci meja, melihat gelang itu ada di sana. Aku tersenyum lagi mengingat saat Kaezar memberikannya. "Ada-ada aja," gumamku.
Alih-alih anti nyamuk, gelang ini malah membuatku pusing karena baunya. Semacam bau apa, sih? Sereh?
"Kak ...."
Aku menjatuhkan gelang ke lantai ketika mendengar suara pintu terbuka dan wajah Gio muncul dari baliknya. "Ngagetin!" Aku melotot.
Gio menyengir. Cengiran yang sangat aku kenali. Aku tahu dia sedang menginginkan sesuatu jika memasang wajah lubang alias lugu-lugu bangsat itu. Maaf ya, aku tahu istilah lubang itu sendiri dari Gio. "Pinjam hoodie item, ya?"
Tuh, kan?
"Kak ...."
"Mau ke mana?" tanyaku sembari mengambil gelang yang masih tergeletak di lantai.
"Ke depan doang. Bentar." Cengiran Gio terlihat lebih lebar. "Ya? Ya?"
"Nggak, ah." Sudah cukup kebaikanku selama ini, hoodie-ku tidak pernah kembali jika sudah dipinjam olehnya.
"Kak ...."
"Apa?!" Aku melotot lagi. Lama-lama bola mataku keluar kalau terlalu banyak bicara drngan anak itu.
"Aku lihat lho ... waktu Kak—siapa sih namanya? Kaezar? Pegang-pegang Kakak di rumah sakit. Hehe."
Pegang-pegang katanya? Aku menoleh cepat.
Gio memegang keningnya sendiri. "Memangnya siapa yang berani bikin lo kesal?" Dia mengulang ucapan Kaezar padaku saat itu.
Ya Tuhan, kenapa aku harus memiliki adik jahanam seperti dia, sih?
"Tapi, seandainya aku dipinjamin hoodie .... Aku akan pura-pura tidak melihat." Gio menutup matanya. "Aku adalah tiang infus. Aku adalah sofa. Aku adalah—"
Aku berjalan cepat ke arah lemari dan mengeluarkan hoodie hitam yang dimintanya.
"—dinding rumah sakit yang bisu. Aku adalah—" Gio bungkam setelah aku melemparkan hoodie ke wajahnya. "Makasih, Kak. Aku adalah jam dinding," ujarnya sebelum keluar dan menutup pintu dengan terburu saat melihatku akan melempar kotak pensil ke arah pintu.
Aku baru saja duduk kembali menghadap meja belajar dengan embusan napas kencang. Saat itu, sebuah pesan masuk ke ponselku.
Alkaezar Pilar
Je.
Sehat?
Aku menjauhkan layar ponsel dari wajah. Mendadak gugup kalau Kaezar sudah menghubungiku secara pribadi seperti ini. Bukan apa-apa, biasanya dia datang hanya untuk memberi kerjaan. Ini tumben saja ada sopan satun pakai pendahuluan, biasanya langsung tembak saja.
Shahiya Jenaya
Alhamdulillah. Sehat.
Napa?
Alkaezar Pilar
Tadi rapat mingguan. Lo nggak ada.
Ada banyak yang harus didiskusiin ulang.
Kalil ngasih beberapa kerjaan.
Tuh, kan? Aku tidak pernah salah.
Shahiya Jenaya
Ok. Gimana?
Alkaezar Pilar
Zoom meet bisa?
Gue sama lo.
Shahiya Jenaya
Hah?
Alkaezar Pilar
Sama Janari.
Shahiya Jenaya
Oh. Ok. Boleh.
Alkaezar Pilar
Bentar.
Nanti gue kirim link sama id-nya.
Shahiya Jenaya
Sip.
Alkaezar Pilar
Udah mandi, kan?
Aku berdecak seraya menjatuhkan ponselku begitu saja ke meja. "Ngeselin," gerutuku tanpa membalas pesannya. Aku buru-buru membuka laptop, menyalakannya. Dan tidak lama Kaezar mengirimkan link agar aku bisa bergabung ke dalam ruang meeting.
Aku bergabung setelah menerima persetujuan dari Kaezar, lalu ... menunggu. Dan, kenapa yang muncul hanya nama Kaezar? Cowok yang sekarang sedang mengenakan kaus putih itu tengah duduk menghadap sebuah layar komputer, terlihat seperti sedang berada di dalam kamarnya.
"Janari mana?" tanyaku.
Kaezar melirik ke arah kamera sesaat. "Belum gabung."
Aku mengernyit, tapi pada akhirnya hanya mengangguk-angguk.
"Kita tunggu bentar, ya?" ujar Kaezar yang langsung aku iyakan. Setelah itu, Kaezar meninggalkan komputernya dan menghadap ke arah kamera meeting sepenuhnya. "Sehat, Je?"
"Sehat. Udah sehat banget, kok."
"Kapan kemungkinan bisa masuk sekolah?"
"Gue sih, penginnya besok. Cuma kayaknya orangtua gue belum kasih izin," jawabku. "Jadi ..., lusa, mungkin?"
"Oh. Oke."
"Kenapa? Banyak kerjaan, ya?" tanyaku.
Aku melihat Kaezar mengusap kasar wajahnya. "Nggak ... juga, sih."
Aku hanya mengangguk-angguk. Saat Kaezar masih menatap ke arah kamera, aku mengalihkan wajahku ke arah lain. Aneh banget nggak, sih? Ini alih-laih zoom meet malah kayak video call. "Janari mana, sih? Kok, nggak gabung-gabung?" Aku sudah salah tingkah ini, ya ampun.
"Nggak tahu." Kaezar menggaruk keningnya.
"Ya udah, langsung aja deh, nggak usah nunggu Janari. Gimana?" Biar cepat selesai ini, woi!
"Catatan kerjaannya ada di Janari. Gue nggak tahu malah." Kaezar menjawab santai sembari bersandar ke sandaran kursi. "Muka lo masih pucat, Je," ujarnya tiba-tiba.
"Masa? Kelihatan, ya?" Tanyaku dengan dua tangan menangkup wajah.
Kaezar mengangguk. "Makan yang teratur. Minum air putih yang banyak."
"I-iya." Aku sudah banyak mendengar pesan itu ketika pulang dari rumah sakit, jadi aku tidak harus mendengar ulang kalimat itu dari Kaezar.
"Gue tuh ... repot kalau lo sakit."
Aku hanya cemberut, mencebik pelan. Saat mau menyahut Kaezar lebih dulu bicara.
"Khawatir," lanjutnya. Dia bersidekap di depan kamera. "Jangan sakit lagi, ya?"
Aku mengerjap-ngerjap, lalu mengangguk kaku. Ini aneh banget nggak, sih? Membuat aku bertanya-tanya, dari tadi kami ini ngapain?
Saat tatapan Kaezar masih menatap ke arah kamera, tangan kiriku diam-diam meraih ponsel dari meja, mengetikkan sebuah pesan untuk Janari.
Shahiya Jenaya
Ri, plis. Buru gabung.
Ini aneh banget deh.
Kaezar makin aneh.
Gue yang sakit, kok Kaezar yang ngelantur, sih?
Buru deh, lo lagi ngapain, sih?!
Janariii, buru gabung!
"Je?" Suara Kaezar membuatku kembali menatap kamera. "Kok, diem?"
"Eh? Ini. Apa. Jaringannya jelek, deh. Suara lo juga nggak jelas." Aku menyengir. Aku tuh tidak pandai berbohong. "Kayaknya gara-gara tadi sore habis hujan deh." Aku berharap Kaezar segera mengakhiri meeting yang tidak jelas ini.
"Iya, ya?" gumam Kaezar. "Nggak jelas?" tanyanya yang segera kusambut dengan anggukkan kencang. "Ya udah, gimana kalau langsung ketemuan aja?"
***
Janari Bimantara
Gabung apaan, Je?
Baru bangun tidur gue.
***
Part [17]
JENA
Alkaezar Pilar
Ya udah.
Gue berangkat.
Aku membaca pesan itu untuk ke ... tiga kali? Tujuh kali? Mendekatkan layar ponsel sampai hanya beberapa sentimeter di depan mata. Aku masih belum percaya bahwa aku baru saja menyetujui ajakan Kaezar untuk bertemu.
Dan ... apa yang kulakukan sekarang? Kenapa tiba-tiba aku bergegas mandi, menyisir rambut lama-lama, pakai lip balm, pakai blush on begini?
Sumpah Jena, blush on banget?
"Jena!" Aku menjerit seraya mendorong mundur tubuhku dari depan cermin. "Ngapain sih, lo?" tanyaku, seolah-olah di dalam tubuhku ini ada dua orang yang berbeda. Yang satu kecentilan, yang satu kebingungan.
Aku menangkup wajahku dengan dua tangan, masih berdiri di depan cermin. Namun, ngomong-ngomong, blush on-nya baru dipakai di sebelah pipiku. Jadi, untuk menindak adil kedua pipiku, nggak apa-apa kan kalau aku pakai sebelah lagi? Lalu ... oke kurang tebal, aku beri sedikit lagi biar tidak kelihatan terlalu pucat dan ... sip!
Aku harus pakai parfum nggak, sih?
JENAAA!
Aku sampai memegang kepalaku saking frustrasinya. Setelah ini aku akan bertanya pada Mami, obat apa saja yang kuminum selepas keluar dari rumah sakit. Jangan-jangan obatnya mampu memengaruhi daya pikiran dan daya khayalku sehingga semuanya menjadi seperti ini. Jujur saja, selepas menginap di rumah sakit, bawaannya gugup sendiri kalau ingat Kaezar.
Aku memilih dress kuning kotak-kotak yang panjangnya jatuh di bawah lutut dengan ban karet di bagian pinggang. Ini dress lama, dan sudah tidak pernah kupakai. Jadi tidak ada yang istimewa dari penampilanku ini. Catat, ya! Tidak ada yang istimewa!
Aku berjalan sambil menggenggam ponsel, keluar dari kamar melewati Mami yang tengah sibuk dengan ponselnya di ruang tengah.
"Oke, Kak. Nanti kita bicarakan lagi lebih jelasnya, ya. Oke. Nanti malam deh. Diantar Ankara ke sini, bisa?" Mami kedengaran tengah berbicara dengan Bude Audra. Masalah pekerjaan membuatnya terlalu fokus sehingga tidak menyadari aku yang baru saja berjalan di sampingnya.
Padahal, aku mau tahu penilaian Mami tentang penampilanku.
"Oke. Sampai ketemu." Mami memutuskan sambungan telepon. Setelah ekor matanya menangkap keberadaanku, beliau benar-benar menoleh ke arahku. "Lho, kamu mau ke mana, Sayang?"
Aku mendengkus pelan, lalu melangkah lesu menghampiri Mami seraya menunduk—menatap penampilanku sendiri. Jadi benar ya, penampilanku ini kurang normal jika dikenakan hanya untuk berkeliaran di dalam rumah? Terlalu kelihatan 'dandan banget'?
Mami mengernyit saat aku duduk di sampingnya. "Kenapa, sih?"
"Memang nggak boleh ya kalau di rumah doang pakai baju kayak gini?"
"Ya ..., nggak juga, sih .... Boleh aja." Mami memperhatikan raut wajahku. "Kenapa, sih? Kamu mau pergi ke mana?"
"Miii, aku nggak akan pergi ke mana-mana."
"Tapi kok dandan?"
"AKU NGGAK DANDAN, MIII!"
"Ya ..., ya udah." Dahi Mami malah mengernyit lebih dalam, kelihatan semakin bingung.
"Aku ... cuma mau ketemu temen," ujarku seraya memutar-mutar ponsel di tangan. Sengaja kualihkan pandangan ke arah lain, tidak mau menatap Mami.
Namun, aku tetap bisa menangkap gerak-gerik Mami. Mami mengangguk seraya mengambil notes yang tergeletak di meja, menuliskan sesuatu di sana sambil sesekali melirik ponsel. "Ketemu siapa? Chia?"
"Bukan."
"Davi?"
"Bukan, Mi."
"Hakim? Sungkara?"
"Bukan, Mamiii."
Mami menoleh lagi, dengan kernyitan yang sama seperti tadi. "Terus? Mau ketemu siapa?"
"Kae," bisikku dengan suara yang sengaja dibuat tidak jelas.
"Kaezar?"
Aku berdecak, ternyata Mami masih mengingat namanya. "Iya. Kaezar."
"Oh." Ada senyuman jail yang tersungging di satu sudut bibirnya. Sambil terus menulis, Mami kembali bicara. "Memangnya Kaezar itu teman?"
Aku berdecak lagi, lalu beranjak dari sisi Mami dan berjalan menjauh. "Tahu, ah."
Langkahku semakin jauh menuju ke ruang tamu, tapi kekehan Mami masih bisa kudengar. Sampai akhirnya, ketika tanganku hendak membuka pintu depan, ponsel dalam genggamanku bergetar, menyampaikan sebuah notifikasi pesan masuk.
Alkaezar Pilar
Gue udah di depan pagar.
Aku merapatkan ponsel ke dada sesaat sebelum kembali membaca pesan untuk kedua kalinya, memastikan bahwa aku tidak salah baca. Saat membuka pintu depan, aku bisa melihat Kaezar di luar pintu pagar, masih duduk di atas motor matic hitamnya.
Aku berlari, mendorong pintu pagar dan melongokkan kepala.
Lalu, Kaezar menoleh. "Misi, Mbak. Paket."
Aku tertawa sambil melangkah keluar, menghampirinya. "Nggak lucu!"
"Nggak lucu, tapi ketawa." Dia memperhatikan penampilanku setelah melepas helmnya. Saat aku sudah berada di sisinya, dia bertanya. "Beneran udah sembuh, ya?"
"Udah," jawabku. "Gue bilang kan gue udah sembuh banget."
Kaezar mengangguk. "Mukanya udah nggak pucat lagi." Dia menunjuk pipinya sendiri. "Pipinya ada merah-merahnya."
Rasanya aku ingin menutup wajahku dan berbalik, lalu menggosok pipiku dengan apa pun untuk menghapus blush on sialan yang sepertinya ketebalan ini. Lagian, ngapain juga sih pakai blush on segala, Jena, ha?
"Udah deh, cepetan. Mau ngapain ngajak ketemu? Kalil ngasih kerjaan apaan?" tanyaku, mendadak tidak sabaran.
Kaezar malah mengangkat bahu. "Nggak tahu. Kan gue bilang, catatannya di Janari."
Membahas Janari, tiba-tiba aku ingat balasan pesannya tadi sore. "Janari baru bangun tidur! Kayaknya dia nggak ngeuh lo ajak nge-zoom."
"Oh. Tidur mulu kerjaannya emang." Kaezar menggaruk hidungnya.
"Ya terus, lo ngapain ke sini kalau nggak ada yang mau dikerjain?" Aku melotot saat Kaezar benar-benar menatapku.
"Ketemu lo."
"Hah? Apaan, sih?" Sebenarnya gumaman ini kutujukan untuk diriku sendiri karena wajahku mendadak terasa panas. Apaan, sih, Jena? Lo blushing apa gimana?
"Mau mastiin. Lo beneran udah sembuh atau cuma—Aw." Kaezar meringis saat lengannya kutonjok. "Udah kenceng nih mukulnya. Beneran udah sembuh."
"Nggak jelas lo!"
"Sebenarnya mau ngajak jalan, tapi udah malam. Lo baru sembuh juga." Kaezar mengucapkan kalimat itu dengan santai, dua tangannya dimasukkan ke saku jaket. Malah rasanya sekarang aku yang pengin blingsatan ke sana-kemari.
Padahal sebenarnya aku pengin banget jalan ke luar. Tiga hari setelah keluar dari rumah sakit, wilayah yang kuinjak hanya kamar, kamar mandi, dapur, begitu terus, dan berulang. Namun, jika aku benar-benar melakukannya dan Papi tahu, pasti pulang-pulang aku disodori bolpoin untuk mencoret namaku sendiri dari kartu keluarga. Pasalnya, seperti kata Kaezar tadi, sekarang sudah pukul tujuh malam dan aku baru sembuh.
Lalu .... "Guna lo datang ke sini?" tanyaku lagi.
Kaezar mengeluarkan sesuatu dalam jaketnya, lalu memberikannya padaku.
"Apa nih?" Aku meraih benda pemberian Kaezar, botol kecil berwarna kuning-merah yang masih berada di dalam kemasan. "Semprot satu detik, bunuh nyamuk sepuluh jam." Aku membaca tulisan di kemasannya.
"Biar nggak digigit nyamuk."
Aku tertawa. "Kemarin gelang anti nyamuk, sekarang lo bawa obat nyamuk beneran. Besok?"
"Gue bawa mesin fogging."
Tawaku belum surut. "Sumpah nggak lucuuu!" bentakku sambil memukul-mukul pundaknya. "Tapi—Eh, bentar." Aku merasakan getaran dari ponsel yang berada dalam genggamanku. Lalu, saat melihat layar ponselku menampilkan nama Kak Aru, tidak berpikir panjang, aku langsung membuka sambungan teleponnya.
"Je ...." Suara itu terdengar lemah. Ada desisan yang memberi tahu si pemilik suara tengah kesakitan. "Di mana?"
"Kenapa, Kak?" Aku mulai panik.
"Kakak di rumah .... Nggak ada siapa-siapa." Desisan yang sama terdengar lagi. "Kambuh nih, Je. Bisa ... bawain air?"
Aku tahu betul Kak Aru mengidap GERD. Dan kalau sudah kambuh, dia benar-benar tidak berdaya. Aku pernah melihatnya satu kali saat dia harus diangkat oleh Om Ayas ke mobil untuk pergi ke rumah sakit. Jadi, saat ini, aku tidak bisa berpikir lebih lama lagi untuk bicara, "Aku ke sana sekarang, ya! Tunggu!" Karena ingat kalau sore tadi, Sheya, Shena, dan orangtuanya pergi ke Depok, ke rumah kakeknya, aku buru-buru menggoyang lengan Kaezar. "Kae, antar gue sampai rumah yang di ujung sana, ya? Mau, ya? Tolong."
Kaezar kelihatan bingung, tapi dia menuruti keinginanku tanpa banyak bertanya. Dia mengantarku sampai di depan rumah Kak Aru.
Tanpa menunggu, aku segera turun dari boncengan Kaezar dan berlari melewati pagar rumahnya. Pintu rumah tidak terkunci sehingga aku bisa masuk begitu saja.
Aku tahu betul denah rumah itu. Setelah mengambil segelas air dari dapur, aku menuju kamar Kak Aru yang berada di lantai dua, langkahku terayun ke sana tanpa perlu berpikir lebih banyak. "Kak?" Aku melihat tubuh Kak Aru telungkup di tempat tidur.
Kak Aru sudah menghubungi orangtuanya tadi, tapi terlalu lama untuk menunggunya datang hanya untuk segelas air. Itu yang membuatnya meneleponku dan meminta tolong.
Aku membuka laci meja di samping tempat tidurnya, meraih obat yang biasa diminumnya, menyerahkannya bersama segelas air yang tadi kubawa.
Kak Aru mengernyit, terlihat kesakitan setelah meminum obat. Ada desis suara tidak jelas, tapi aku bisa mengerti bahwa itu adalah ucapan terima kasih. Cowok itu kembali berbaring di tempat tidurnya, matanya terpejam, tapi satu tangannya menggenggam tanganku erat.
"Aku tungguin sampai orangtua Kak Aru pulang," ujarku menenangkan. "Tapi aku harus ngabarin Mami dulu. Terus—" Aku tertegun. Tiba-tiba aku ingat Kaezar. "Kak, sebentar, ya?" Aku bangkit dari sisi Kak Aru, tapi genggaman tangannya menahanku. "Sebentar. Sebentar kok." Aku melepaskan tangan Kak Aru dengan hati-hati. "Aku janji, cuma sebentar."
Setelah melihat persetujuan Kak Aru, aku kembali berlari, melangkah keluar kamar dan menuruni anak tangga. Aku bergegas keluar dari rumah itu dan ... Kaezar tampak masih menunggu di sisi jalan.
"Kae?" Suaraku membuat cowok itu menoleh. "Sori."
Kaezar tersenyum tipis. "Nggak apa-apa." Dia seakan mengerti kepanikkanku tadi.
"Kak Aru sakit, panik banget gue. Sori ya, main tinggalin aja."
Kaezar menampakkan senyum tipis. "Nggak apa-apa. Gue takut ada apa-apa tadi, makanya gue tungguin." Dia kembali mengenakan helmnya. "Ya udah, gue balik ya, Je."
Aku mengangguk, ragu.
Kaezar sudah melangkah menjauh, tapi tidak lama berbalik dan menghampiriku. "Je?"
"Ya?"
"Sebenarnya tadi tuh yang mau gue kasih ... ini sih." Dia mengeluarkan sebatang coklat dari saku jaketnya. "Obat nyamuk tadi cuma bercanda."
"Makasih." Aku meraih coklat pemberian Kaezar. "Ini juga makasih. Gue pakai buat semprot kamar nanti." Tanganku yang lain mengacungkan obat nyamuk pemberiannya.
Kaezar tersenyum, mengangguk kecil.
Aku pikir, dia akan langsung pergi setelah memberikan coklat—sesuatu yang tidak pernah kubayangkan akan kuterima darinya. Namun ternyata, dia memberikan sesuatu yang lebih dari tidak pernah kubayangkan. Kaezar membuka jaketnya, menggantungkannya di pundakku. Sesaat, dia melihat ke arah rumah, menghela napas panjang. "Jangan pulang malam-malam," ujarnya sebelum benar-benar pergi.
***
Aku memasuki ruang OSIS bersama Chiasa. Tidak ada siapa-siapa di dalam selain kami berdua. Aku berdiri di depan, bersandar ke mejaku, sedangkan Chiasa menghapus papan tulis dan menggantinya dengan kegiatan harian OSIS hari ini.
"Jadi, Kak Aru gimana keadaannya sekarang?"
"Udah sembuh kok." Aku masih mengotak-atik layar ponsel, Kak Aru baru saja mengabari bahwa dia sudah kembali ke Bandung dan aku sudah membalas pesannya. Seharusnya, cukup. Tidak ada lagi yang kutunggu, kan? Namun, sejak tadi aku terus-menerus memeriksa kotak pesan yang tidak lagi memunculkan notifikasi.
"Kirain masuk rumah sakit," ujar Chiasa sembari menulis. "Kalau masuk rumah sakit, sama banget sama lo ya, kan. Jodoh banget. Lo sakit, dia sakit."
"Halah, halah," cibirku. "Dia tuh kemarin pulang cuma ngasih oleh-oleh buat adiknya sepulang penelitian dari Bali, niatnya mau langsung balik ke Bandung lagi. Tapi, karena nggak makan seharian, jadi sakit, terus nggak jadi balik."
"Walah, bolak-balik Bandung-Jakarta dalam satu hari gitu?"
Aku mengangguk.
"Dan lo dikasih juga oleh-oleh atau entah apalah itu?"
Aku mengangguk lagi, menunjukkan gelang kedua pemberian Kak Aru. Lagi-lagi Kak Aru memberikan gelang tali warna coklat untukku. "Nggak cuma nganterin ini sih, ada berkas kuliah yang ketinggalan juga katanya, jadi mungkin sekalian."
"Ya ampun." Chiasa menangkup mulutnya. "Manis banget nggak sih, Je?" puji Chiasa. "Andai ada cowok yang beneran niat bolak-balik gitu cuma buat ketemu dan kasih sesuatu buat ceweknya, pasti kedengeran manis banget." Chiasa menepuk dua tangannya di dada dengan tatapan menerawang. Lagi-lagi otak Wattpad-nya sedang aktif. "Gue kalau nemu cowok kayak gitu, pasti nggak akan gue sia-siakan."
Ada suara 'gedubrak' yang kami dengar dari arah gudang ruang OSIS. Gudang kecil itu berada di bagian belakang ruangan, dibatasi oleh sebilah pintu yang selalu tertutup. Kami menoleh ke arah sana sesaat, lalu saling tatap.
"Tikus kali? Kucing?" ujar Chiasa.
Aku hanya mengangkat bahu, lalu menatap layar ponselku lagi. Kok sepi banget, sih? Tumben. Aku kan baru kembali masuk sekolah, pasti tugas OSIS numpuk banget aku tinggalkan selama hampir satu minggu. Namun, ini Kaezar ... nggak ada niat menghubungiku gitu?
"Kak Aru nggak niat ngeuh sama perasaan lo gitu, Je?" tanya Chiasa. Dia masih mengukir awan-awan di atas papan tulis dengan spidol warna-warni.
"Dibahas lagi, Chia. Lo bilang gue harus move-on. Gimana, sih?"
Chiasa menggeleng. "Kali ini gue mengerti kenapa lo suka sama dia." Lalu memegang dadanya dengan tatapan haru. "Karena dia manis banget sama adik-adiknya, apalagi sama pacarnya coba?"
Dan gue salah satu yang dia anggap adiknya.
"Lo nggak ada niat buat balas dia gitu, Je?"
Aku pegal berdiri, jadi beralih duduk di kursiku, sedangkan Chiasa masih berdiri di depan ruangan, dekat papan tulis. "Balas apaan?" tanyaku.
Jarak kami yang sekarang cukup jauh membuat Chiasa menaikkan volume suaranya "Balas cium, lah!"
Saat Chiasa tertawa, aku panik. Aku memperhatikan setiap sudut ruangan, memastikan tidak ada orang selain kami berdua. "Berisik ya lo, Chia!" Aku tidak mengerti kenapa dia senang sekali membahas masalah itu.
"Jena, dia udah berhasil nyuri first kiss lo sampai hati lo juga berhasil dia curi, kan?" Chiasa menepukkan dua tangannya. "Jadi, curi balik ciumannya! Siapa tahu dengan begitu lo juga bisa curi hatinya."
"Sinting!" umpatku, tapi aku hanya mendapati Chiasa terbahak-bahak.
Namun, setelah itu, aku merasakan sekujur tubuhku membeku. Rasanya, ruang OSIS ini sudah berubah menjadi lemari es raksasa. Suara pintu gudang berderit, daun pintu itu terbuka, memunculkan sosok Janari dan ... Kaezar.
Jadi sejak tadi mereka ada di dalam?
Mereka mendengar apa yang kami bicarakan tidak, ya?
Sumpah. Kenapa juga tiba-tiba aku menjadi panik sekali sampai sulit bergerak begini?
Tawa Chiasa surut saat Kaezar dan Janari keluar dari ruangan itu seraya mengangkat kardus yang terlihat berat.
"Ditaruh sini aja, kan?" tanya Janari setelah melepaskan kardus dekat dinding belakang ruangan.
Kaezar mengangguk. "Taruh sini aja, nanti kasih tahu Kalil," ujarnya. Cowok itu menepuk-nepuk tangannya yang—mungkin—berdebu seraya melangkah ke depan ruangan diikuti Janari. Dia tahu aku ada di sana dan menoleh, tapi hanya untuk bicara. "Je, catatan kerjaan dari Kalil ada di Janari, ya."
"Kae?"
Kaezar berbalik. "Kenapa?"
"Cuma itu? Nggak ada lagi?"
Kaezar tertegun. Mulutnya sempat terbuka, tapi lama tidak ada suara sampai akhirnya, "Iya. Cuma itu." Setelah itu, dia berlalu begitu saja, keluar dari ruangan. Dan aku ... risau.
***
Kira-kira ... Kae denger nggak? XD
Follow Kae & Jena di instagram ya. Hehe.
Part [18]
KAEZAR
Sejak kemarin, suasana hati gue sedang tidak baik. Semua hal yang terjadi di sekeliling gue terlihat salah, semua hal yang dilakukan orang-orang terdekat gue terasa salah, bahkan ketika mereka tidak melakukan apa-apa. Gue berusaha menyendiri sejak pagi untuk meminimalisir interaksi dengan orang lain. Itu sebabnya gue belum mengunjungi ruang OSIS sampai waktu istirahat tiba, memilih diam di dalam kelas dengan tumpukkan soal Matematika yang berhasil gue kerjakan sebanyak tiga puluh nomor dalam satu kali duduk.
Dan kali ini, gue tidak punya pilihan lain. Perpustakaan dikunci karena salah satu penjaganya tidak masuk, sedangkan penjaga lain harus beristirahat di jam istirahat begini. Jadi, dengan terpaksa gue ikut bersama Janari ke kantin. Dan sekarang, gue yakin sekali kantin di saat jam istirahat adalah tempat yang sangat salah untuk mood gue yang sedang tidak keruan ini.
Di sini ada bising dari berbagai percakapan setiap penghuni meja, gelak tawa, juga teriakan pesanan makanan. Lebih dari itu, dari posisi gue sekarang, gue bisa melihat Jena yang tengah duduk di meja terluar kantin bersama Chiasa dan Davi, tidak lama terlihat Hakim dan Sungkara yang ikut bergabung.
"Samperin lah, jangan dilihatin doang," ujar Janari yang sedang mengaduk kuah mi instannya. "Pastiin kalau lo penasaran."
"Apaan?" gumam gue. Sok tidak peduli dengan ucapan Janari, padahal sedikit menyembunyikan salah tingkah karena tidak menyangka sejak tadi Janari menyadari gerak-gerik gue sampai mengikuti arah pandang gue ke meja Jena.
"Gue tahu lo masih kepikiran masalah kemarin, yang kita dengar di gudang RO. Iya, kan?"
Gue dan Janari mendengar percakapan Jena dan Chiasa di ruang OSIS tanpa sengaja. Atau mungkin bisa dibilang sengaja. Entah. Karena, walau awalnya tidak sengaja, saat gue tahu orang yang sedang bicara itu adalah Jena, gue menyuruh Janari diam agar bisa menguping lebih banyak. "Itu privasi banget, Ri."
Janari berdecak. "Ya, jangan tanya masalah itunya juga lah. Maksud gue ... lo pastiin, hubungan dia sama tuh cowok kayak gimana."
Gue pernah mendengar Aru yang menganggap Jena sebagai adiknya. Awalnya, gue percaya-percaya saja, tapi setelah mendengar ucapan Chiasa kemarin, gue jadi ragu. Memangnya cowok yang menganggap si cewek sebagai adik, bisa seenaknya melakukan hal sejauh itu? Gue mendengkus, meraih botol air mineral dan membukanya sampai tutupnya mental ke meja.
"Wei, santai, Bos!" Arjune yang baru saja bergabung di meja kami dan duduk di samping Janari, segera mengamankan mangkuk lontong sayurnya yang baru saja akan dimasuki tutup botol yang tiba-tiba melompat itu. "Kenapa, sih?" tanya Arjune seraya mengikuti arah pandang gue. Dia menengok ke belakang, ke arah meja Jena. "Jena?"
Iya Jena. Jena yang sekarang entah sedang menertawakan apa bersama teman-temannya itu.
Namun .... Oke. Awalnya hanya Favian dan Janari, dan sekarang bertambah lagi satu orang yang menyadari sikap gue, Arjune.
"Lo ngerti, June?" tanya Janari sembari menahan tawa.
"Apaan? Kae-Jena?" tanya Arjune setelah menyuapkan satu potong lontong ke mulutnya. "Lah, jelas banget gila."
"Apanya yang jelas?" tanya gue.
"Lo suka Jena, kan?" tuduh Arjune, santai. Dia menatap gue dan Janari bolak-balik.
Janari tertawa dengan suara tertahan. "Gue bilang apaan!" Satu tangannya menggebrak meja. "Sikap lo tuh ... nunjukkin semuanya, Kae. Arjune aja sadar, kok."
"Nih." Arjune mengetuk-ngetuk meja kayu kantin di depannya. "Kalau diibaratkan buku, lo tuh ... adalah buku yang terbuka. Sikap lo jelas beda sama Jena. Semua orang bisa baca."
"Jena nggak," sanggah gue.
"Ya ..., Jena buta huruf kali," sahut Arjune, asal.
Dan tawa Janari tidak tertahan lagi.
"Nggak, nggak. Menurut gue gini." Arjune menghadapkan dua tangannya ke arah gue dan Janari. "Jena itu berada di sekeliling orang-orang yang ... apa, ya? Orang-orang yang kontra sama lo."
"Kemusuhan," sahut Janari.
"Nah." Arjune menjentikkan jari. "Orang-orang di sekeliling Jena bikin dia ikut-ikutan nggak sadar. Dia tuh tersugesti. Kayak ... 'Nggak mungkin banget gitu Kaezar menyukai salah satu di antara kita.' Mereka mikirnya gitu."
Gue mengernyit. "Ya, memang mana mungkin gue suka Hakim atau Sungkara?"
Janari tertawa lagi, di sini dia banyak banget mengumbang tawanya.
"Berarti usaha lo harus lebih keras lagi, Kae." Janari ikut mengetuk-ngetukkan ujung telunjuk ke meja. "Jangan sebatas kode-kodean sambil jual nama gue—Eh, anjir baru ingat masalah zoom kemarin, lain kali briefing dulu lah. Bangun-bangun ditembak pertanyaan kayak gitu sama Jena, mana gue ngeuh?"
"Ngode doang?" tanya Arjune yang diberi anggukkan oleh Janari. "Lah, Kae, Kae. Jena mah huruf aja buta, lo main kode. Mana ngerti dia?"
"Tuh, mana PDKT-nya aneh banget lagi," tambah Janari. "Nggak bisa gitu sehari aja nggak nyolot-nyolotan lo sama Jena?"
"PDKT jalur berantem," sambung Arjune. "Lo sebenarnya lagi PDKT apa lagi ujian Chunin sih, ha?"
"Tapi nggak apa-apa sih, kalau lo tetap mau main di permainan lamban lo ini. Ya ..., seenggaknya tetap ada kemajuan—walaupun jual nama gue mulu—lelang lah, anjir." Ucapan Janari membuat Arjune tertawa. "Daripada begini, lo cuma lihatin dia doang."
"Emang kenapa, sih?" tanya Arjune.
Janari menunjuk-nunjuk wajah gue. "Dari kemarin nih, June. Begini. Nggak asik banget banyak bengongnya, sekalinya bersuara cuma buat marah."
Gue menatap Jena yang masih sibuk mengobrol dengan teman-temannya, sedangkan tangan gue kembali meraih botol air mineral, meneguknya sampai tandas.
Mungkin tidak ada yang tahu, kemarin gue sudah berada di titik terdekat dengan garis finish. Namun, kepanikan Jena saat mendengar Aru sakit, yang gue lihat sendiri malam itu, juga percakapannya dengan Chiasa tentang ... first kiss, sedikitnya memukul mundur langkah gue dari posisi sebelumnya.
Jika kemarin tinggal satu langkah, kali ini entah tujuh atau sebelas langkah yang gue ambil untuk mundur. Kenyataan yang gue temukan dua hari kemarin lumayan membuat gue bertanya-tanya, 'Maju lagi atau berbalik untuk mundur saja?'
"Ternyata ngejar cewek nggak pekaan itu capeknya ... lumayan, ya?" tanya Janari.
"Makan ati, ye?" Arjune terkekeh.
"Iya. Bener." Ucapan gue kembali mengalihkan perhatian Janari dan Arjune yang tengah menekuri mangkuk makanannya. Kayaknya gue memutuskan bakal istirahat dulu untuk mengejar Jena.
Oke. Hanya istirahat.
Namun, setelah itu tatapan gue dan Jena bertemu. Dia tersenyum, gue tertegun. Oke, gue yakin telah menemukan titik kelemahan gue sekarang.
***
JENA
Empat Sehat Lima Ghibahin Kae
Hakim Hamami
Sumpah lah.
Jangan ada yang ke RO pagi ini.
Mood Kae lagi dalam mode tai kucing anget kelempar batu.
Awur-awuran.
Kalau nggak kena pelototan, segala macam diocehin.
Gara-gara surat pemberitahuan PENSI telat gue kasih ke Pak Marwan, dia nyebutin kesalahan gue dari A sampai Z.
Chiasa Kaliani
Secercah cahaya mentari pagi.
Sesejuk udara segar pagi hari.
Sejumput ghibahan Kaezar.
Janitra Sungkara
Jadinya gimane? Sebar brosur kapan?
Hakim Hamami
Nunggu Kae eling dulu.
Janitra Sungkara
Napa nggak lo ajak istigfar dulu, bawa duduk, kasih minum yang udah dibacain ayat kursi.
Chiasa Kaliani
Dikata kerasukan dedemit.
Janitra Sungkara
RO banyak dedemitnye.
Hakim Hamami
Gue pikir kemarin-kemarin dia udah kalem tuh lagi belajar jadi soft boy.
Janitra Sungkara
Nassar is the real soft boy, Bro.
Chiasa Kaliani
Hakim Hamami
Tahunya, balik lagi.
Tiap kali ditanya, kalau nggak melotot galak, dia menggeram.
Janitra Sungkara
Limbad ya anjir.
Davi Renjani
HEH!
Gue baru nyampe parkiran langsung pengin puter balik rumah.
Laporan keuangan bulan ini belum selesai.
GIMANAAA?!
Hakim Hamami
Panggilan kepada Jongos Jena, Jongos Jena. Jongos Jena ditunggu di ruang OSIS untuk segera menjinakkan majikannya.
Sekali lagi, kepada Jongos Jena. Ditunggu di ruang OSIS untuk menjinakkan majikannya. Terima kasih.
Shahiya Jenaya
Mampus lah, list kerjaan yang dikasih Kalil baru gue kerjain beberapa:(
Janitra Sungkara
Nggak apa-apa, kan udah biasa.
Davi Renjani
Jena, antar gue ke RO plis:(
Shahiya Jenaya
Iya.
Davi Renjani
Ya ampun, perut mendadak mules lagi nih.
Shahiya Jenaya
Btw, ada hal penting yang mau gue tanyain.
Dari kemarin lupa mulu.
Davi Renjani
Apa?
Chiasa Kaliani
Apaan?
Hakim Hamami
Wut?
Janitra Sungkara
?
Shahiya Jenaya
Waktu gue pingsan minggu lalu, siapa yang bawa gue ke UKS, ya?
Aku masih menatap layar ponsel. Belum ada yang membalas pesanku. Baru saja langkahku terayun meninggalkan halaman sekolah, Davi tiba-tiba menarik tanganku dari arah belakang. Wajahnya terlihat panik, beberapa kali terlihat menarik napas.
"Gue nggak mau tahu, antar gue ke RO," ujarnya memaksa. "Mampus Je, gue mampus."
"Kenapa, sih? Laporan keuangan?" tanyaku sembari mengikuti langkahnya.
Davi mengangguk kencang. "Jadi, kemarin kan dia minta tarik-tarikin dana beberapa sekbid buat kepentingan madingnya Chiasa gitu kan, terus—"
"Itu bukannya udah lama, Vi?"
"Iya! Udah lama! Nah, dia juga udah lama nggak nanyain, jadi gue pikir ya santai aja. Tapi tiba-tiba tadi malam dia nge-chat nanyain laporan. Kayak ... nyari masalah banget nggak, sih, dia tuh?" Langkah Davi terhenti, dan aku ikut-ikutan. Dia memeriksa ponselnya, membaca pesannya sesaat. "Tuh kan, gue tunggu di RO katanya. Mampus ajalah gue, Je."
Langkah kami terayun ke arah ruang OSIS dengan terburu, juga kaki yang beberapa kali keserimpet karena mendadak tidak bisa melangkah kompak. Di ruang OSIS sedang banyak orang, ada beberapa panitia inti PENSI yang tampak sibuk dengan tugas-tugas mereka di laptop, juga anggota OSIS lain yang melakukan hal serupa.
Namun, sekarang aku melihat Kaezar berjalan ke arah papan tulis di depan dengan penghapus dan spidol di tangannya.
Kentara sekali wajahnya sangat tidak bersahabat, di keningnya seperti tertulis kalimat berisi ajakan berkelahi jika ada satu saja yang membuat masalah dengannya. "Nggak ada yang piket ya hari ini?" tanyanya, entah pada siapa.
Tidak ada yang menjawab, tapi suaranya meraih semua perhatian orang-orang di ruangan. Dia menghapus tulisan di papan dengan gerakan cepat dan membuka spidol di tangannya.
Lalu ... aku—atau mungkin semua yang berada di sana—menahan napas saat melihat apa yang terjadi. Spidol yang dibuka itu memuncratkan tinta hitam dan mengenai tangan juga kemeja seragam putih Kaezar. Ada noda sebesar koin-koin uang recehan seribu juga titik-titik di sekitar dadanya.
Kaezar membuang napas kencang. Menutup kembali spidol di tangannya. "Berapa kali gue harus bilang, jangan isi tinta terlalu banyak," ujarnya, lagi-lagi, entah pada siapa.
Aku rasa, jika orang yang mengisi tinta itu ada di ruangan, pasti sekarang dia sedang menggigil karena gugup. Untungnya, Kaezar menutup kemarahannya begitu saja saat dia menangkap keberadaanku yang sejak tadi berdiri di ambang pintu, juga Davi yang—Lho? Di mana Davi?
Aku menoleh ke belakang dan menemukan temanku itu tengah bersembunyi di balik dinding luar ruang OSIS. "Vi, lo ngapain, sih?"
"Jena, sumpah perut gue mulas banget, pengin balik." Davi meringis dengan kaki yang mengentak-entak ke lantai beberapa kali. "Tapi, ya ampun. Pagi, Kae," sapanya, membuatku ikut menoleh.
Kaezar sudah berdiri di ambang pintu, berada di hadapanku, lalu mengulurkan tangan.
"Apaan, Kae?" tanyaku.
Kaezar mengernyit. "Lo berdua ke sini mau ngapain?" Dia malah balik bertanya.
"Hm." Davi melirikku sebelum bicara. "Jadi, Kae .... Gini. Laporan yang lo minta semalam, itu ... belum selesai—"
Kaezar yang mengangkat tangannya membuat Davi berhenti bicara. Dia memperhatikan jam tangan, telunjuknya mengetuk-ngetuk kaca jam tangan. "Udah berapa lama gue kasih tugas itu? Sebulan? Lebih?"
Davi berdeham. "Iya. Lebih."
"Terus?"
"Belum gue kerjain," jawabnya jujur. Lalu melirikku dan bergumam tanpa membuka mulutnya, hanya aku yang bisa mendengar. "Gwe mente de-DO eje kele?" Gue minta di-DO aja kali?
Kaezar hanya menghela napas. "Terus bisa lo serahin ke gue kapan?"
"Sekarang!" Davi berkata yakin.
Kaezar melihat lagi jam di pergelangan tangannya. "Jam sembilan."
"Bisa!" sahut Davi, semangat. "Pak Hamdan nggak masuk kan, Je, hari ini?" tanyanya padaku.
Aku mengangguk, tadi pagi Pak Hamdan, guru Biologi kami, memang memberi kabar bahwa hari ini beliau tidak bisa masuk dan memberi tugas ... untuk dikerjakan hari ini. "Tapi kan tugasnya banyak, Vi?"
"Nggak apa-apa!" Davi menyengir. "Nanti bisa nyusul, besok pagi gue simpan buku tugasnya di meja Pak Hamdan tanpa ketahuan!" Dia mengerling sebelum bergegas meninggalkanku menuju meja dengan plat bertuliskan bendahara OSIS tersimpan di atasnya.
Sekarang, tinggal ada aku dan Kaezar di ambang pintu. Cowok itu menatapku. "Gue tahu tugas lo dari Kalil banyak," ujarnya. "Gue nggak minta lo harus beresin cepat-cepat."
Kemarin aku memang menerima cukup banyak catatan tugas dari Kalil yang disampaikan oleh Janari. Aku diminta untuk membuat daftar kebutuhan yang lebih detail dari setiap sekbid untuk nanti diserahkan ke bendahara panitia—dalam hal ini adalah Gista—dan dibuatkan anggaran lebih terperinci. "Gue harus menghubungi setiap sekbid. Dan ini ... baru sebagian."
Kaezar mengangguk. "Kalau butuh bantuan, minta tolong sama Janari."
Kenapa aku sedikit kecewa dengan ucapan itu, ya? Janari? Biasanya kan dia selalu bilang, Kalau ada apa-apa bilang gue.
"Jangan kerja sendiri kalau ngerasa nggak sanggup," ujarnya. "Koordinasi sama Gista, kapan batas terakhir lo harus selesaikan daftarnya. Ingat ya, tepat waktu."
Aku seperti melihat sosok Kaezar yang dulu, yang selalu menganggungkan waktu. Bahkan deadline pekerjaan tidak hanya ditetapkan hari, tapi juga jam, menit, detik. Padahal, beberapa waktu ke belakang, sosok kaku yang selalu melihat hitungan detak jarum jam itu seolah-olah menanggalkan jubahnya yang menyebalkan, aku melihat sisi lain dalam diri Kaezar.
Aku bahkan berharap, itu adalah sosok aslinya. Yang bisa banyak bicara tanpa marah-marah, yang bisa melempar lelucon tanpa pikir panjang, yang bisa tertawa tanpa kesan sarkastik. Yang ..., lebih aku suka.
Rasanya, aku ingin memberi tahu semua orang, terutama teman-temanku, bahwa Kaezar itu tidak semenyebalkan yang mereka pikir, tidak seburuk yang mereka bayangkan.
Jadi, Kaezar, ayo bantu gue untuk meyakinkan mereka bahwa selama ini penilaian mereka terhadap lo salah.
Kaezar masih berdiri di hadapanku, masih menatapku, lama. Namun, karena aku tidak kunjung bicara, dia mengalihkan tatapannya dan hendak melangkah pergi.
"Kae?"
Suaraku mampu menghentikan gerakannya, dia kembali menatapku.
"Ada masalah, ya?" tanyaku. Entah dapat keberanian dari mana aku menanyakan hal itu.
Kaezar menggeleng.
"Gue ... ngelakuin kesalahan?" tanyaku. Aku tahu mungkin ini terkesan terlalu percaya diri. Namun, minggu-minggu kemarin dia termasuk orang yang sering hadir dalam waktu-waktuku, ponselku sering berdering karena pesan darinya—walau tidak jelas apa maksudnya. Sementara selama dua hari ini Kaezar seperti menghilang.
Kaezar menggeleng lagi. "Nggak."
"Serius?" tanyaku lagi. "Lo ... nggak kenapa-kenapa?"
Kaezar mengangguk. "Gue nggak apa-apa." Mendengar jawabannya yang samar, aku ingin memastikan lagi, tapi pertanyaanku tersela oleh Kaezar yang kembali bicara. "Nggak apa-apa, Jena," ujarnya. "Gue nggak apa-apa. Oke?"
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
