Ketos Galak | [Part 4, 5, 6]

117
1
Deskripsi

Part ini bisa dibaca secara gratis. Dukung dengan vote dan komen. 

Part [4]

Aku masih berada di Absis pada pukul tujuh malam. Baru saja berhasil menyelesaikan tiga puluh soal Matematika, menumpuk lembar jawaban dan soal di atas meja setelah membereskan alat tulis. Bab Limit selesai dibahas di pertemuan kali ini dan aku berhasil menyelesaikan sampai akhir soal-soal yang diberikan tanpa hambatan.

Namun, aku tidak boleh terlalu bangga pada hal itu, karena tadi siang Kaezar lebih dulu bisa mengerjakan soal dengan mudah, bahkan sebelum mengikuti kelas bimbingan belajar hari ini karena dia berada di kelas platinum yang memiliki jadwal lebih padat dan soal lebih berat.

Di Absis, setiap angkatan akan di bagi ke dalam tiga kelas menurut kemampuan yang dimiliki yaitu; silver, gold, dan platinum. Dan aku berada di kelas silver, yang mana ketika merasa bangga menyelesaikan soal tersulit, Kaezar akan tertawa.

Aku keluar kelas seraya membawa dua lembar kertas di tanganku, tutor Absis biasanya lebih dulu keluar dari kelas dan membiarkan kami mengerjakan soal yang diberikan untuk dikumpulkan di meja administrasi yang terletak di lobi.

Aku baru saja berbalik dari meja lobi seraya mengotak-atik layar ponsel, memberi kabar pada Papi bahwa aku tengah menunggunya. Namun, suara tepukan sepatu di belakangku, yang seolah-olah sangat kukenali itu, membuatku menoleh.

Aku melihat Kaezar melangkah keluar dari ruang kelas dan memasuki lobi dengan raut wajah yang ... tidak bisa kujelaskan, tapi setelah melihat siapa yang membuntutinya di belakang, aku langsung memgerti.

"Kae!" Favian melangkah terburu, berusaha menyejajari langkah Kaezar yang sepertinya tidak ada niat menunggu. "Ya udah lah, lupain omongan gue," lanjutnya. Keberadaan cowok itu membuatku mengernyit, karena seingatku, Favian bukan siswa Absis. Dia baru menjadi siswa Absis hari ini atau bagaimana?

Kaezar berhenti melangkah, berbalik dan tatapannya mampu membungkam Favian yang berniat kembali bicara.

Aku mengalihkan tatapan pada hal lain, seperti langit-langit atau telepon di atas meja administrasi, tidak mau terlihat tertarik pada drama dua orang yang seumur hidupku di sekolah tidak pernah akur itu. Mereka mungkin termakan oleh warisan turun-temurun permusuhan OSIS dan MPK.

Kaezar melanjutkan langkah, tidak menatapku sama sekali, melewatiku begitu saja. Tidak masalah, aku sudah sering diacuhkan seperti itu olehnya.

Sementara Favian yang kembali mengejarnya, sempat menyapaku dengan santai. "Hai, Je! Lo di sini juga? Duluan, ya!"

Aku membalasnya dengan senyum, Favian terlalu cepat melangkah karena masih berusaha mengejar Kaezar yang sudah keluar dari lobi. Tanpa niat ingin tahu, aku ikut melangkah keluar, agar Papi mudah mencariku saat sampai nanti. Namun, di lahan parkir motor sana, aku kembali melihat Favian menarik tangan Kaezar, yang kemudian ditepis kencang begitu saja. Favian mencoba kembali bicara, tapi Kaezar memilih untuk memakai helm dan memundurkan motornya.

Setelah Kaezar pergi, Favian hanya berdiri di lahan parkir dan melangkah lemas ke arah motornya yang tidak terparkir jauh dari sana.

Drama apa yang sedang dilakoni keduanya sebenarnya? Perasaan yang bertepuk sebelah tangan?

"Fush!" Suara itu terdengar dari luar gerbang. Papi berada di dalam mobil dengan kaca jendela yang diturunkan sepenuhnya. "Ayo, pulang!"

Aku bergerak mendekat setelah mengentakkan kaki dengan kesal. "Pi! Aku kan udah bilang jangan panggil Fushfush kalau di luar rumah!" ujarku setelah masuk ke mobil dan duduk di samping jok pengemudi. "Kayak anak kucing tahu, nggak!"

Papi hanya terkekeh. Setelah memastikan sabuk pengamanku terpasang dengan benar, Papi melajukan mobilnya. "Lho, memang anak kucing kok!" Tangan kiri Papi mencubit hidungku. "Ini kan kakaknya Mumu, pesek gini."

Aku menepis pelan tangan Papi, lalu mendelik dan bersandar sepenuhnya pada sandaran jok. Mumu adalah kucing peliharaan kami di rumah, ras Persia, anaknya Momo, kucing Mami yang sudah lama pergi.

"Jangan sampai aja kelakuannya niru Mumu," lanjut Papi. "Centil banget Mumu itu, nggak kayak Momo dulu, kalem."

Aku mulai percaya pada ucapan Gio akhir-akhir ini bahwa Mumu adalah anak tertua Mami dan Papi. Urutannya: Mumu, Aku, Gio.

"Kalau centil kayak Mumu, pacar aku pasti banyak, dong!" Aku mengeluarkan ponsel dari tas, benda yang berjam-jam lamanya tidak kupegang karena sibuk dengan soal Matematika. "Aku kan nggak. Boro-boro banyak, satu aja nggak punya."

"Ya udah lah, bagus. Ngapain juga pacaran?" gumam Papi seraya menghentikan mobil di barisan belakang, karena jauh di depan sana lampu merah sudah menahan kendaraan yang berada di depan kami.

"Memangnya Papi dulu nggak pernah pacaran?"

"Papi sama Mami tuh ketemu langsung nikah, Fush. Nggak ada acara pacaran-pacaran."

"Dijodohin?" tanyaku yang tidak kunjung mendapatkan sahutan. "Nggak laku kali Papi, ya? Jangan-jangan alasan sampai sekarang aku nggak punya pacar tuh karena penyakit turunan dari Papi?"

"Kalau ngomong, sembarangan aja," gumam Papi. Lampu berganti kuning dan mobil kembali melaju, pelan. "Tanya sama Mami, berapa wanita yang Papi tolak karena terlalu setia sama Mami?"

Aku meringis. "Iya, aku juga tahu, berapa kali Papi ditolak sama Mami, tapi datang lagi karena terlalu nggak tahu malu."

Ucapanku membuat Papi tertawa. Aku sudah mendengar cerita Papi dan Mami yang bertolak belakang itu berkali-kali, dan mereka selalu mengaku cerita salah satunya yang paling benar. Namun, sampai sekarang aku tidak memercayai yang mana pun, karena belasan tahun mereka bersama adalah bukti bahwa cerita keduanya salah. Tidak ada yang lebih mencintai dari salah satunya, mereka memang saling mencintai.

Aduh, kedengaran melankolis sekali, Shahiya Jenaya!

Suasana malam di dalam mobil dengan sorot lampu kendaraan yang saling menebar dari luar, juga pendar oranye lampu jalan yang menyambut setiap kendaraan yang melintasinya, tidak pernah gagal membuat suasana menjadi lebih ... apa, ya? Romantis?

Perjalanan bersama Papi tidak pernah hening, sepanjang perjalanan selalu ada pertanyaan tentang; nilai-nilaiku di sekolah, apa yang kukerjakan di OSIS, kemajuanku di Absis, dan banyak hal. Tidak jarang aku juga balik bertanya tentang kedai kopi baru Papi di kawasan Cibubur yang merupakan cabang kedua puluh satu di Jakarta, yang membuat Papi sibuk sekali akhir-akhir ini.

Blackbeans nama kedainya, usaha yang sudah dirintisnya sejak kuliah bersama dua temannya; Om Janu dan Om Chandra.

"Banyak banget anak muda yang kayaknya udah jadi penganut PDA sekarang, miris banget Papi." Papi geleng-geleng.

Ini adalah topik yang setiap kali dibicarakan membuat aku ingin sekali menyumpal telinga dengan benda apa pun yang berada dalam jangkauanku.

"Mereka itu kenapa sih, kayak begitu?" tanyanya.

"Aku nggak tahu, Pi," sahutku seadanya.

"Mau bikin orang lain iri?" Papi menoleh, terlihat penasaran sekali dengan tanggapanku. "Memangnya kamu iri kalau lihat pasangan yang bermesraan di depan umum begitu?"

Aku menggeleng pelan. "Nggak."

"Kok, ragu gitu jawabnya?" Papi mendelik, seperti tidak percaya pada jawabanku. "Fush, dunia remaja itu nggak melulu tentang pacaran. Terlalu sempit kalau berpikir seperti itu. Kamu bisa menebar jaring sebanyak-banyaknya untuk menangkap passion yang sebenarnya kamu punya. Itu yang akan membawa kamu melangkah lebih yakin untuk menjumpai masa depan. Kamu harus ...."

Suara Papi makin lama makin kabur, katakan saja aku ini durhaka, tapi serius petuah itu sudah sering aku dengar sampai aku hafal di luar kepala. Tatapanku masih terpaku pada layar ponsel. Twitter, Instagram, WhatsApp, bolak-balik kuperiksa, tapi tidak ada yang bisa kuharapkan. Sampai akhirnya, kabar yang paling kutunggu datang!

Sheya Kirana
Je, ada Kak Aru nih di rumah.

Sheya adalah teman satu komplek yang usianya sebaya denganku, teman bermainku sejak kecil. Memiliki kembaran bernama Shena dan kakak laki-laki yang usianya terpaut lima tahun lebih tua dari kami bernama Kak Aru, Andaru Bagasatya lengkapnya. Nah, kabar tentang Kak Aru ini adalah alasan yang membuatku sekarang mengulum senyum dan menggigit bibir kuat-kuat, berusaha bertingkah senormal mungkin agar Papi tidak menyadari perubahan sikapku.

Aku segera membalas pesan Sheya dengan tangan sedikit berkeringat.

Shahiya Jenaya
Wah? Hahaha. Ya terus kenapa memangnya? XD

Sheya Kirana
Hahaha.
Besok jalan, yuk! Diantar Kak Aru.

Shahiya Jenaya
Beneran?

Sheya Kirana
Shena, oke. Kak Aru, hm. Bentar. Tunggu konfirmasi.
Oke, katanya, Je.

Aku baru saja mau membalas pesan, dan usahaku untuk menyembunyikan rasa antusias sepertinya gagal.

"Senyum, senyum. Orangtua nasehatin bukannya didengar malah sibuk sendiri."

Aku menyengir. "Ini didengerin kok, Piii."

Papi berdeham. "Aru lagi pulang ya dari Bandung?" tanyanya tiba-tiba. "Padahal belum UAS deh kayaknya, kok udah balik aja?" gumamnya.

"Ya pengin aja kali. Kangen sama orangtua, adik-adiknya." Aku berharap kangen aku juga. Hahaha.

"Hm."

Hening. Namun, aku patut mencurigai keheningan itu.

"Pasti kamu mau jalan sama Sheya atau Shena," gumam Papi.

Tuh, kan? Kecurigaanku terbukti. "Kata siapa? Sok tahu kadang Papi, ya."

"Kata Gio," jawab Papi. "Gio bilang, tiap Aru pulang, kamu pasti jalan sama Sheya dan Shena, alasan aja kan, sebenarnya jalannya sama Aru?"

Arkagio Kenan memang adik yang tidak bisa dipercaya dalam hal apa pun, termasuk dalam menyembunyikan rahasia di depan Papi dan Mami. "Ya ampun, Papi nih, Gio didengerin."

"Kalau dalam situasi kayak gini, Papi harus percaya Gio."

Karena Gio adalah musuh terbesarku di dunia ini, setelah Kaezar, jadi dia akan melakukan segala cara untuk membuat hidupku tidak tenang. "Lagian, kenapa sih memangnya kalau aku jalan sama Sheya atau Shena?"

"Papi nggak masalah kamu jalan sama Sheya atau Shena. Masalahnya kan Aru."

"Ya, memangnya kenapa sama Kak Aru?" Karena Kak Aru sudah mencuri ciuman pertamaku saat masih bayi, Papi sampai sekarang seperti orang kebakaran janggut setiap mendengar namanya? Masih bayi, ya! Kak Aru menciumku saat masih bayi!

"Papi nggak mau kamu aneh-aneh ya, Je."

"Nggak, Pi. Aku anak baik."

Papi berdecak, menyerah.

Dan tidak lama setelah itu, aku melihat layar ponselku kembali memunculkan notifikasi. Kali ini pesan dari Shena.

Shena Kirana
Jeeeee! Liat nih molor mulu! Ayok jalan besok!

Dan di bawah pesan itu, tersisip foto Kak Aru yang terlihat baru bangun tidur.

Dan di bawah pesan itu, tersisip foto Kak Aru yang terlihat baru bangun tidur

***

Aku sudah memilih pakaian selama dua, atau bahkan tiga jam. Sejak tadi aku tidak menemukan penampilan terbaik saat menatap diriku di cermin. Sampai akhirnya pilihan kaus putih, cardigan rajut putih, dan rok denim pendek menjadi pilihanku.

Aku mengendap-endap setelah pamit pada Mami yang tengah duduk di sofa ruang keluarga bersama Papi yang merebahkan kepala di pangkuannya, matanya terpejam

Aku mengendap-endap setelah pamit pada Mami yang tengah duduk di sofa ruang keluarga bersama Papi yang merebahkan kepala di pangkuannya, matanya terpejam. Hari Minggu biasanya Papi memang tidak ke mana-mana, juga melarangku untuk pergi ke mana-mana dengan alasan, "Papi kan kangen pengin seharian sama kamu, Fush."

Oh iya, yang penasaran dengan panggilan Fushfush, panggilan ini aku dapat ketika masih menjadi segumpal janin di dalam perut Mami, mesin pendeteksi detak jantung belum bisa menangkap detak jantungku dengan sempurna sehingga suara yang keluar hanya seperti embusan napas, 'Fush, fush, fush.' Dan muncullah nama Fushfush yang disepakati keduanya. Namun, nama itu tidak hanya digunakan saat aku masih berada di kandungan, tapi tetap berlaku setelah aku lahir dan menjadi seorang gadis SMA seperti sekarang ini.

Oke, kita kembali pada langkah pelanku yang sekarang terayun mendekati Mami. Aku menyimpan telunjuk di depan bibir sesaat setelah menyalami Mami, jangan sampai Papi lihat kepergianku, apalagi penampilanku saat memakai rok pendek ini. Beliau pasti menyuruhku ganti pakaian atau bahkan mengurungku di kamar agar tidak jadi keluar.

Please, Pi. Kak Aru keburu balik lagi ke Bandung dan kami tidak sempat bertemu lagi jika aku melewatkan hari ini.

Aku berhasil melewati pintu ruang tamu, karena aku punya Mami berhati malaikat yang begitu melindungiku dari semprotan Papi. Namun, saat langkahku baru saja terayun keluar dari pagar rumah, Gio terlihat berjalan dari kejauhan dengan seragam futsalnya yang lecek.

"Ke mana, Kak?" tanyanya saat berpapasan denganku di depan pagar.

"Jalan."

Anak laki-laki kelas tiga SMP yang begitu menyebalkan itu berteriak. "Piii, Kak Jena mau jalan sama Kak Aru pakai rok pendek terus—"

Aku tidak bisa lagi mendengar suaranya, karena dengan cepat memutuskan unthk berlari menuju rumah Sheya, takut Papi keluar dan menarikku kembali untuk masuk. Namun, ada satu hal yang sangat kusesalkan, aku tidak sempat mendorong kencang kepala Gio sebelum kabur tadi.

Dan, di sini lah aku sekarang. Berhasil ikut jalan bersama Shena, Sheya, juga Kak Aru. Kak Aru mengantar kami ke sebuah pusat perbelanjaan. Berjalan bersama kami di antara riuhnya akhir pekan, rutinitas yang sudah jarang dilakukan sejak dia kuliah di Bandung.

Shena dan Shyea sengaja berjalan duluan, meninggalkanku dan Kak Aru di belakang. Beberapa bulan tidak bertemu, tinggi Kak Aru sepertinya bertambah dengan signifikan. Aku sampai harus mendongak untuk menatapnya setiap kali diajak bicara. Tinggiku hanya sebatas pundaknya.

Kak Aru memasukkan ponselnya ke saku celana, benda yang sejak tadi membuatnya sibuk dan mengacuhkanku, lalu menoleh dan tersenyum padaku. "Mau es krim nggak?"

"Boleh!" Di depan sana aku melihat Shena dan Sheya berdiri lebih dulu di depan booth es krim.

Kak Aru menarik tanganku, mengajakku mendekat ke arah dua adiknya. "Kak Aru beliin yang banyak," ujarnya. "Kapan lagi jajanin kamu es krim, kan? Nanti kalau tambah gede, kamu jalannya sama cowok. Nggak ingat Kak Aru lagi."

Sebentar. Sebentar. Kok aku merasa terganggu dengan ucapannya tadi? Walaupun setelahnya Kak Aru terkekeh dan mengusap puncak kepalaku, hal yang juga sering aku lihat dilakukannya juga pada Shena dan Sheya.

"Eh, atau jangan-jangan kamu udah punya cowok lagi sekarang?" tanya Kak Aru setelah membayar es krim untukku dan dua adiknya.

"Belum!" jawab Shena. "Jena mau nunggu Kak Aru, katanya!"

Aku melotot. "Shen, kenapa sih?"

Kak Aru tertawa. "Memangnya mau, Je?" tanyanya masih terus tertawa.

Aku bingung, tapi akhirnya menggeleng. "Kak Aru jangan dengerin Shena." Aku hampir mau memukul Shena, tapi dia keburu menghindar.

"Iya. Lagian masih sekolah. Nanti Kak Aru tungguin, deh." Saat mengatakannya, tawa Kak Aru tetap mengiringi. Namun, tetap saja mampu membuat wajahku terasa panas.

Jena, jangan kepedean, ya!

"Oh, iya. Kakak ada janji sama teman juga." Kak Aru kembali mengeluarkan ponselnya. "Kalian jalan aja dulu, nanti kalau mau pulang, telepon aja, ya?"

Sheya cemberut, terlihat kecewa. Sementara aku berusaha bertingkah setenang mungkin, padahal mungkin saja aku lebih kecewa dari Sheya.

"Kok, gitu? Kirain kita mau jalan bareng!" protes Shena.

"Ya, ini kan bareng berangkatnya?" Kak Aru mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. "Hati-hati ya, Kakak pergi dulu. Kalian tetap di sekitar sini aja. Kalau ada apa-apa telepon Kakak," ujarnya sebelum pergi.

Sheya dan Shena mengamit kedua tanganku, berjalan di kedua sisiku. "Kak Aru nggak akan lama kayaknya, nanti juga balik," hibur Shena seraya menarikku terus melangkah.

Aku tersenyum. "Ya udah, nggak apa-apa. Bukannya lebih bebas jalan bertiga?" balasku. Padahal aku berharap Kak Aru berbalik dan kembali bergabung bersama kami.

"Ah, iya juga! Udah lama kita nggak jalan bertiga!" seru Shena. "Mau ke mana nih?"

Kami memilih eskalator untuk menuju lantai dua. Di sana, banyak toko aksesoris yang Shena sukai, juga toko buku yang Sheya dan aku sering kunjungi. Biasanya, kami terpisah di sana dan akan bertemu di pagar dekat eskalator untuk kembali pulang.

Namun, saat Shena sudah melangkah lebih dulu memasuki toko aksesoris kesukaannya dan langkah Sheya sudah mengarah ke toko buku, aku malah mematung di tempat.

"Kenapa, Je?" tanya Sheya.

Aku menggeleng, menepi ke arah pagar pembatas, dari sana aku bisa melihat lalu-lalang orang di lantai satu. Beberapa dari mereka ada yang baru menghambur dari lift, masuk dari pintu utama, dan melangkah keluar dari beberapa kafe yang tersedia di sepanjang sisinya. Di antara banyaknya pengunjung di sana, ada yang menarik perhatianku, mengganggu pandanganku.

Entah mengapa hanya dengan melihat punggung dan cara berjalannya, aku bisa menemukan Kak Aru dengan mudah. Dia terlalu menarik perhatianku, keberadaannya di antara banyak orang tidak membuatku kesulitan menemukannya. Kak Aru baru saja dihampiri oleh seorang perempuan yang ... mungkin seusianya, mereka berjalan saling bersisian, terlihat semakin jauh, tapi pandanganku tetap bisa menangkap saat keduanya saling tatap dan tertawa bersama.

***

 

 

Part [5]

Aku sengaja membatasi interaksi dengan banyak orang sejak pagi, kecuali Chiasa, teman sebangkuku. Dia tidak pernah bertanya mengenai apa yang terjadi, tapi aku tidak bisa menyembunyikan apa pun darinya. Mood-ku belum membaik sejak kemarin. Bukan mauku, tapi sangat sulit kukendalikan.

Aku masih memikirkan Kak Aru. Apakah ini yang namanya patah hati bahkan sebelum memiliki? Malang sekali aku ini, ya?

Di jam istirahat kedua ini, aku duduk di balik meja sekretaris OSIS sendirian, tidak menghiraukan kegaduhan teman-teman di sekitarku yang tengah membahas apa pun tentang PENSI, acara besar yang akan kami laksanakan tiga bulan lagi.

Di sebelah kananku ada kerumunan Hakim, Sungkara, Chiasa dan yang lainnya, yang tergabung dalam kepanitiaan humas dan publikasi, membicarakan tema PENSI yang nanti akan mereka publikasikan secara jor-joran di semua akun sosial media dan selebaran semacam brosur, pamflet, poster, juga mading dan majalah sekolah.

Di belakangku, ada kerumunan yang dipimpin Davi dan Gista juga seksi sponsorship, mereka tengah membahas anggaran dana, kerumunan yang paling bising karena begitu banyak yang didiskusikan, termasuk guest star—poin yang menurut mereka sangat vital di acara nanti.

Aku harusnya bergabung ke kerumunan belakang, tapi mood-ku belum kunjung membaik, sedangkan kesepakatan kami dalam kepanitiaan adalah anti adanya drama. Dan aku tidak percaya pada diriku sendiri bisa diajak kerjasama dalam keadaan seperti ini, maka dari itu sejak tadi aku menyibukkan diri, mengotak-atik laptop OSIS untuk mengumpulkan semua file yang diperlukan dari data panitia PENSI tahun lalu.

Perhatianku teralihkan saat ada rombongan baru yang masuk. Ada Kaezar yang melangkah duluan, disusul Janari, Kaivan, Kalil, juga Arjune yang kini berjalan melewati mejaku. Mereka berhenti dan berkerumun di depanku, di depan meja Kaezar, membuat suasana di ruang OSIS semakin terlihat sibuk, dan semakin bising.

"Jadi, dekorasi bisa kita tentukan setelah dapat kesepakatan konsep PENSI," ujar Kaezar. Tidak lama. "Kim?"

"Oit?" sahut Hakim, diskusi di kelompok itu terhenti sesaat.

"Gimana masalah konsep?" tanya Kaezar.

"Ada beberapa sih. Gue yakin ini keren banget dan bakal memorable!" jawab Hakim dengan percaya diri. "Kapan rapat kepanitiaan lagi, nih?" tanyanya bersemangat.

"Balik sekolah deh," jawab Kaezar seraya melirik jam tangan. "Bisa, kan?" tatapannya memendar, sampai akhirnya aku menjadi objek tatapannya.

Yang lain menyahut semangat, sementara aku hanya mengangguk kecil seraya menyisir rambut dengan jemari. Lalu, aku melirik ke belakang, memeriksa ikat rambutku yang mungkin terjatuh, karena tanpa sadar sekarang rambutku sudah terburai.

Aku adalah tim ikat rambut longgar, tidak peduli jika ikat rambutku jatuh kapan saja, karena aku punya banyak stok ikat rambut. Belajar dari pengalaman, suatu hari aku pernah mengikat rambut terlalu kencang dan berakhir migrain. Makanya, aku sangat salut pada cewek yang ikatan rambutnya selalu terlihat rapi dari datang sampai pulang sekolah. Seperti Kalina misalnya, cewek yang sekarang baru melangkah masuk ke ruang OSIS.

"Je, gimana? Udah lo kumpulin datanya?" tanyanya seraya berdiri di hadapanku.

Aku mengangguk. "Udah. Udah gue bikin dalam satu folder dan gue kirim ke e-mail lo barusan."

"Oke. Thanks, ya."

"Sip!" sahutku.

"Oh iya, untuk guest star, kayaknya gue bakal ngusulin Feast deh." Kalina menyebutkan nama band indie yang akhir-akhir ini banyak digandrungi, termasuk radio sekolah yang sering memutar lagunya saat jam istirahat.

"Keren," pujiku tulus. "Kalau gitu, lo diskusiin sama yang lain, kali aja mereka punya kandidat yang—"

"Nggak, nggak. Harus Feast! Rean itu sepupu gue soalnya, jadi bakal gampang ngelobinya." Kalina menyebutkan nama salah satu anggota Feast yang aku kurang tahu ada di posisi apa.

"Wah, bakal memudahkan banget sih kalau gitu." Aku mengangguk. "Semoga yang lain setuju, dan Feast sesuai sama konsep acara kita nanti."

"Gampang sih, gue tinggal kontak Rean dan semua bakal selesai."

Aku tertegun sesaat, menahan diri untuk mendebat. Jadi, aku katakan dengan nada suara rendah. "Tapi kan, kita harus tetap profesional, Na. Kita harus tetap kontak lewat manajernya, presentasi tentang konsep PENSI yang kita punya, ngelobi untuk kesepakatan harga dan lain-lain," jelasku.

"Gue tahu, tapi nggak ada salahnya kan kalau gue kontak Rean dari sekarang?"

Aku berdeham, memutuskan untuk benar-benar menghindari perdebatan karena beberapa pasang mata di ruangan itu sudah menatap ke arah kami. "Ya .... Iya, sih."

"Dan ..., Je?" Kalina berbicara seraya menatap layar ponselnya. "File yang lo kirim banyak banget, deh. Gue bingung, mana dulu yang mesti gue kerjain?"

"Lo buka dulu satu-satu deh file-nya, setelah itu lo pasti tahu mana yang harus lo kerjain duluan."

"Nggak bisa lo kasih tahu gue aja gitu?"

Aku mendongak, menatapnya tidak percaya. "Maksudnya?"

"Lo pasti udah baca semua file ini, kan? Makanya lo kirim semuanya ke gue?" tanya Kalina. "Jadi, gampangnya, lo kasih tahu ke gue, mana yang duluan gue kerjain."

Aku menghela napas, lalu kembali membuka folder berisi file yang tadi kukirimkan lewat surelnya. "Pertama, lo kerjain proposal persetujuan sekolah dulu, bukti kalau sekolah mendukung program ini. Terus—"

"Bukannya sekolah memang udah tahu dan setuju, ya?" potong Kalina.

"Tetap, Na. Harus pakai proposal. Sebagai bukti nyata dan bisa dipertanggungjawabkan," jelas Jena, berusaha tetap sabar. "Karena, proposal ini nantinya juga kita sertakan untuk bagaian awal proposal sponsor. Jadi nggak perlu kerja dua kali dalam bagian yang sama."

"Oke." Kalina mengangguk. "Kirim ke gue kalau gitu."

"Hah?" Suaraku ternyata terlalu nyaring sampai membuat beberapa orang di ruangan itu menoleh.

"Lo kirimin file-nya. Gue kan, nggak tahu proposal sekolah yang mana."

Aku tidak bisa menahan diri lagi, tanpa disangka suaraku terdengar sangat nyaring. "Lo kan bisa buka file yang udah gue kirim, Na. Tinggal lo cari, lo baca, di sana kan, ada—"

Ucapanku terputus karena mendengar suara benda terjatuh di depan sana. Ponsel Kalil, iPhone 12 Pro Max terbaru miliknya baru saja terjun ke lantai dengan ujung yang mendarat lebih dulu tanpa pengaman apa pun.

"Pecah nggak sih, ujungnya?" tunjuk Janari dengan raut wajah ngeri.

Kalil tersenyum, terlihat tenang di antara wajah-wajah panik kami. "Nggak apa-apa, tinggal bilang bokap. Nanti sore pasti udah diganti kok. Hehe." Kekhawatiran kami tidak beralasan pada Kalil Si Tuan Muda itu.

Dan ....

"Jena, jadi lo bisa kirim nggak?" tanya Kalina, membuat semua orang menumpahkan seluruh perhatian padanya, juga padaku.

Suasana sudah berubah menjadi hening, hening yang kaku. Jadi, daripada tertuduh sebagai panitia yang penuh drama dan menghambat jalannya program kerja, aku memutuskan untuk menahan diri dan berkata. "Ya udah, gue kirim ulang."

"Oke, thanks." Kalina tersenyum, lalu meninggalkan mejaku dan melangkah ke belakang, bergabung bersama Davi, Gista, dan seksi acara di sana.

Semua sudah mengalihkan perhatian pada apa yang mereka diskusikan sebelumnya, berbeda dengan Hakim yang kini mendorong roda kursinya mendekat ke arah ku. "Je? Stok sabar segimana lagi?"

"Masih banyak kan, Je?" Sungkara menyusul kemudian.

"Je, lo baik-baik aja?" tanya Chiasa ikut-ikutan.

Aku menatap tiga orang yang kini menempel di mejaku, lalu menggerakkan jari, memberi kode 'oke'.

"Kalina sengaja nggak sih, kayak nguji kesabaran lo gitu?" tanya Hakim yang berniat memancingku untuk memuntahkan semua kekesalanku. Aku sudah tahu niatnya.

Sungkara mengangkat dua tangannya, menurunkannya perlahan. "Tarik napas .... Tahan lima puluh sembilan menit .... Buang."

"Mati dong, kalau lima puluh sembilan menit!" bentak Hakim.

"Hah? Detik."

"Lo bilang menit tadi!"

"Detik, ah. Gue bilang detik tadi!" Sungkara berkata yakin.

Dan toyoran di kepala dua cowok itu datang dari tangan Chiasa yang berada di antara keduanya. "Minggir, minggir, deh lo berdua!" Tangannya masih bergerak mendorong. "Makan cokelat yuk ke kantin, biar mood baikan!" ajaknya seraya menarik tanganku.

"Ikut, dong, ikut!" seru Sungkara

"Nggak, nggak!" Chiasa melotot pada Sungkara dan Hakim.

"Ya ilah, Chia, bercanda doang tadi tuh!" Hakim sudah beranjak dari meja, bersiap membuntuti aku dan Chiasa.

Namun, saat kami baru saja mau beranjak, Favian masuk ke ruangan seraya membawa beberapa berkas. Kehadirannya, selalu berhasil menumpahkan perhatian Kaezar, 'menumpahkan' dalam konotasi yang ... sedikit buruk.

"Ngapain lo?" tanya Kaezar, tidak ramah.

"Kenapa sih, Kae? Baru datang juga gue, udah sewot aja lo." Favian geleng-geleng, heran. "Ini, MPK mau ikut partisipasi buat PENSI nanti. Terus—" Favian mengerjap kaget saat melihat aku ada di sana. "Je!" Dia menjentikkan jari ke arahku seraya terkekeh. "Gue lihat lo kemarin di PIM. Beneran ke sana nggak lo kemarin?"

Aku mengangguk pelan. "E-eh, iya. Gue kemarin ke sana," jawabku. "Kok, nggak manggil?"

"Gue mau manggil, mau nyapa, tapi takut salah orang. Soalnya kemarin lo kayak jalan sama cowok gitu, kan?"

Ucapan itu sontak membuat Hakim dan Sungkara melotot.

"Oh, gini ya, Jena, kamu mainnya?" Hakim menunjuk wajahku. "Diam-diam kamu jalan sama cowok?"

"Mau main petak umpet ceritanya?" tanya Sungkara.

Ucapan itu membuat Favian tertawa, memang apa pun sepertinya mudah sekali membuat Favian tertawa. "Cie, Jena! Jadi beneran kemarin lo ya yang jalan sama cowok, ya?"

"Jenaku, kutukan jomblo tahanan Ruang OSIS tidak mempan padamu ternyata, aku bersyukur sekali," seru Hakim.

Respons itu membuatku ingin memukul mulut Hakim dengan panci, tapi sayangnya ini ruang OSIS, bukan dapur, tidak ada panci di sini.

Tawa Sungkara meledak. "Kutukan pelakor jaman Kerajaan Majapahit udah nggak berlaku berarti. Dan sekarang—Eh, ayam!" Semua terkejut karena suara 'gubrak' yang kencang terdengar dari arah depan.

Dua ordner yang tadi ada di atas meja Kaezar jatuh ke lantai, map besar dengan punggung berukuran lima sentimeter itu berisi kumpulan berkas yang dijepit oleh besi di dalamnya, sehingga suaranya sangat nyaring saat terjatuh. Dengan santai, Kaezar memungutnya, mengembalikannya ke meja. "Oke, jadi tadi sampai di mana masalah properti?" tanyanya pada Arjune.

***

Sudah dua jam kami menggunakan ruang auditorium, semua yang tergabung dalam kepanitiaan PENSI dan anggota OSIS ada di sana, membahas konsep PENSI. Ada beberapa ide menarik yang diajukan oleh Hakim dan timnya. Namun, kami kembali diingatkan pada pesan Kaezar yang berkali-kali diucapkan dan penuh penekanan, konsep PENSI setidaknya harus bernilai positif dan menyampaikan minimal satu pesan moral.

Jadi, konsep dikerucutkan menjadi dua pilihan, antara gerakan daur ulang barang bekas dan seni budaya nusantara.

Di depan sana, anggota panitia inti sudah duduk berjajar. Ada Kalil, Gista, dan Kalina. Mereka bertiga yang memimpin rapat sejak tadi. Sementara aku dan anggota OSIS lain duduk di bangku yang melengkung membentuk huruf U.

Terlepas dari tanggung jawab sebagai sekretaris OSIS, aku tetap duduk di samping Kaezar. Seperti ter-setting otomatis, karena kebiasaan juga mungkin? Setiap Kaezar memilih tempat duduk, aku membuntutinya.

Sudah sangat meresap sekali ke dalam jiwa dan ragaku sepertinya jiwa jongos ini.

"Dua-duanya punya banyak dampak positif sih, tapi kita pilih salah satu. Voting aja kali, biar cepat?" tanya Kalil yang sejak tadi memimpin rapat. Setelah semua setuju, Kalil memberi pilihan pertama. "Yang pilih gerakan daur ulang sampah? Ini konsepnya bakal keren banget, semua stan yang ada sampai dekorasi tempat, akan kita buat dari barang-barang bekas sekreatif mungkin. Siapa pilih ini?"

Aku mengangkat tangan, dan melihat beberapa orang juga menyetujui pilihan itu.

Kalil menghitungnya. "Dua puluh satu orang memilih ini," ujarnya. "Dan untuk pilihan kedua, seni budaya nusantara. Ini ... seru juga, setiap stan bisa berkreasi menurut tema budaya daerah yang mereka usung, untuk konsep dekorasi juga bakal 'kaya' banget. Siapa pilih ini?"

Aku melihat Kaezar yang duduk di sampingku mengangkat tangan, juga anggota rapat lain.

Kalil kembali menghitung. "Oke. Dua puluh empat orang memilih ini. Jadi, fix ya? Seni budaya nusantara adalah konsep untuk PENSI mendatang?"

Aku selalu kalah dari Kaezar. Tentu, bawahan tidak boleh menang atas majikannya.

"Untuk PENSI nanti, kita nggak akan fokus sama gues star, ya," ujar Kaezar yang membuat semua orang memaku pandangan padanya. "Kita punya ekskul batik yang bisa dikasih panggung untuk bikin pameran, penampilan dari ekskul Tari Saman, terus band sekolah juga—bisa kayaknya— kita minta bikin pertunjukan perkusi dari alat musik daerah gitu?" Kaezar menatap Farhan yang merupakan koordinator seksi acara.

Farhan mengangguk. "Parade kostum daerah juga keren sih kayaknya, kalau mau dimasukin."

"Boleh, boleh," sahut Kalil.

"Sama anak teater jangan lupa," tambah Kaezar. "Dari tahun ke tahun kan mereka yang paling ditunggu."

"Tapi untuk guest star harus tetap ada, kan?" tanya Kalina.

"Disesuaikan sama tema kita aja," jawab Kaezar.

"Feast?" Kalina mengajukan nama band indie itu lagi. Lalu menghadapkan tangannya ketika melihat Kaezar akan mendebat. "Feast ini fleksibel kok, gue pernah lihat mereka manggung di pensi sekolah lain dan menyesuaikan banget dengan tema. Mulai dari kostum sampai aransemen musiknya. Gue yakin pasti keren!" ujarnya yakin.

Kaezar mengangguk. "Oke, bisa didiskusiin lagi," gumamnya, menyetujui, begitu saja.

Kenapa sih, Kaezar ini mudah banget menyerah kalau berhadapan dengan Kalina? Berbeda sekali saat berdebat denganku, dia akan kejar sampai ke mana pun agar bisa menjatuhkanku dari ujung dunia.

"Kayaknya rapat sekarang gue tutup dulu." Kalil melihat jam tangannya. "Untuk judul PENSI, sambil berjalan aja kayaknya ya. Yang punya usul, bakal gue tampung, nanti kita voting lagi. Dan untuk tugas yang kalian emban, gue harap bisa dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan tetap jaga kerja sama antar tim."

Semua segera beranjak dari tempatnya untuk bergerak keluar. Aku baru menyampirkan tali tas ke bahu saat Kaezar berdiri.

"Bisa, Ri?" tanya Kaezar pada Janari yang kini menghampirinya. "Janjian di SMA Pengabdi sih semuanya, cuma perwakilan dari tiap sekolah aja. Katanya ada yang mau ikut partisipasi buat stan, perform juga, sama bantu nyari sponsor."

Bukannya aku mau ikut campur dan mendengarkan percakapan mereka, aku tetap berada di tempat karena kedua cowok itu menghalangi jalanku untuk keluar.

"Boleh, masih jam empat." Janari melirik jam tangannya. "Sekarang lo beneran nggak bisa memangnya?"

Kaezar menggeleng. "Gue ada jadwal bimbingan Fisika hari ini."

"Oh, berat juga sij ninggalin Fisika." Janari meringis. "Ya udah lah, santai. Gue aja yang ke sana kalau lo percaya. Tapi gue butuh teman deh kayaknya." Tatapan Janari sok-sokan menyapu ruangan, lalu berakhir menatapku. "Eh, Jena? Halo! Di sini dari tadi?" sapanya seolah-olah baru melihat keberadaanku.

"Eh, Janari? Halo!" balasku dengan nada suara yang sama. "Misi lho ini, gue mau lewat, mau balik, tapi kalian ngehalangin jalan gue."

"Mau ke mana buru-buru? Temenin gue aja mendingan, ketemuan sama perwakilan sekolah yang mau ikut gabung di PENSI nanti!" Janari menyengir. "Siapa tahu nanti lo ketemu cowok yang lo suka gitu, Je. Katanya pengin punya pacar, bosen di ruang OSIS mulu? Gue kenalin nanti di sana sama cowok-cowok." Persuasif sekali ucapannya.

"Ya, walaupun gue mau nemenin lo, alasannya nggak gitu juga kali, ya!" tegasku.

"Jadi, mau nih?" tanya Janari.

"Boleh, deh. Tapi gue minta izin sama nyokap—"

"Eh, kayaknya bisa deh." Kaezar tiba-tiba menyela. Setelah mengotak-atik ponselnya dan menyimpannya ke saku, dia kembali bicara, "Gue bisa," ulangnya. "Naik motor gue aja nggak apa-apa, kan? Je? Lho, ayo, kok malah diem?"

***

 

Part [6]

Aku seringnya tidak mengerti pada cara berpikir Kaezar. Rencana awal kan dia akan berangkat dengan Janari. Namun, karena dia ada urusan, Janari mengajakku. Lalu, ketika Kaezar bisa berangkat, bukankah seharusnya dia berangkat bersama Janari? Kenapa jadi aku?

Senang banget ya dia bikin aku harus pulang larut ke rumah karena urusan OSIS?

"Iya, Mi. Di SMA Pengabdi." Aku masih berbicara dengan Mami di telepon sembari mengikuti langkah Kaezar yang kini berjalan ke arah tempat parkir sekolah, meminta izin untuk pulang agak larut.

"Sama siapa? Sendiri?"

"Nggak, nggak sendiri. Aku sama Kaezar," jawabku.

"Kaezar yang waktu kelas sepuluh sering antar kamu pulang?" Mami kenal pada Kaezar karena saat kami duduk di kelas sepuluh dan menjadi bagian pengurus OSIS di Sekbid Budi Pekerti Luhur, Kaezar sering mengantarku jika pulang terlalu sore. Dan hari ini, kebiasaan yang tidak pernah dilakukan selama beberapa bulan itu akan terjadi lagi.

"Iya, Kaezar yang itu."

"Oh. Boleh Mami bicara sama Kaezar?" Kebiasaan Mami, kalau tahu aku akan pergi dengan temanku. Ini tidak hanya berlaku pada teman cowok seperti Hakim atau Sungkara, setiap aku pergi dengan Chiasa atau Davi, Mami juga akan melakukannya.

Namun masalahnya, kali ini orangnya adalah Kaezar. "Hah? Mau apa, Mi?"

"Cuma mau ngomong sebentar. Tolong kasih teleponnya ke Kaezar."

Aku menjauhkan HP dari telinga, lalu menatap punggung Kaezar yang sudah berjalan sekitar lima meter di depanku. "Kae?" Saat melihat cowok itu berbalik, aku mengangsurkan HP ke arahnya. "Mami mau ngomong."

Kaezar kembali berjalan menghampiriku. Menerima HP yang kuberikan begitu saja tanpa banyak bicara atau bertanya, ada apa? Mau ngapain? Atau pertanyaan gugup lain yang biasa terucap dari teman-teman cowokku setiap kali Mami ingin bicara. Kaezar langsung berbicara dengan sopan, "Halo? Iya, sore juga, Tante. Oh, iya, saya Kaezar."

Aku tidak bisa mendengar suara Mami dari seberang sana. Yang bisa aku lakukan hanya mendengar ucapan Kaezar dan memperhatikan raut wajahnya.

"Baik, Tante. Tante apa kabar? Oh. Iya. Boleh kapan-kapan." Kaezar melihat jam di pergelangan tangannya. "Iya. Pasti saya antar Jena pulang kok. Iya, Tante. Iya, pasti. Oh, gitu? Boleh-boleh. Nggak kok, nggak ngerepotin. Sama-sama, Tante."

Mami sudah mematikan sambungan telepon saat Kaezar menyerahkan kembali HP-ku. Lalu kutanya, "Nyokap gue bilang apa?"

"Kapan main ke rumah?"

"Bohong banget!" Aku melotot.

Kaezar tidak memedulikan ketidakpercayaanku.

"Gue serius! Nyokap gue tadi bilang apa?"

"Titip Jena. Tolong jagain Jena."

"Halah, halah. Gue udah gede juga," gerutuku sembari memasukkan ponsel ke tas. Kami kembali berjalan, berjauhan, seolah-olah ada tiga atau empat orang yang memisahkan kami. Lahan parkir hanya diisi oleh tujuh motor milik siswa. Masih tersisa pengurus OSIS di sekolah, mungkin motor-motor itu milik mereka. "Terus? Kae?" Aku masih belum menyerah.

Kaezar yang kini sudah duduk di jok motornya menoleh. "Terus apa?"

"Terus nyokap gue bilang apa lagi?" Aku takut banget Mami bilang macam-macam.

"Pastiin Jena makan."

"Ih, gue udah makan juga tadi siang." Aku mendumal lagi. "Terus? Apa lagi katanya?"

"Pacarin Jena."

Aku tahu itu tidak mungkin, jadi aku hanya berdecak seraya mengambil ancang-ancang memukul Kaezar dengan tangan yang mengepal.

"Lagian." Kaezar memakai helm, dan menyerahkan helm milik Janari yang tadi dipinjamnya. "Nyokap lo nggak bilang aneh-aneh juga, khawatir banget."

Aku baru saja selesai memasangkan kunci helm di bawah dagu, lalu mengusap poni yang terurai menghalangi pandanganku. Aku mengerjap, menatap jok motor kosong di belakang Kaezar yang posisinya lebih tinggi dari jok di depannya. Aku tidak terlalu memperhatikan merek dan jenis motor itu. Yang kutahu, itu jenis motor sport, yang kalau berada dalam boncengan, akan membuat posisi tubuh otomatis condong ke depan.

Aku pernah dibonceng oleh Kak Aru, dengan jenis motor yang sama. Dan itu bukan masalah, aku suka berada di boncengan Kak Aru. Namun, karena cowok di depanku adalah Kaezar, ini adalah masalah besar.

"Je, naik," ujar Kaezar yang sudah menyalakan mesin motor.

Sementara aku masih meneliti step motor yang mesti kupijak saat naik, bisa tidak ya aku naik tanpa berpegangan pada Kaezar? Lalu, aku mulai mencari pegangan apa pun di motor itu yang bisa kugunakan selama perjalanan agar tidak memegang sedikit pun tubuh Kaezar, tapi nihil.

"Jena?"

Bagaimana aku bisa lolos dari boncengan ini tanpa memegang Kaezar sama sekali?

"Jenaya?"

Walaupun Kaezar tidak melepas tas punggungnya, tapi membayangkan tubuhku yang akan jatuh sepenuhnya di punggung itu ... membuatku ngeri.

Kaezar menarik gas dan menghasilkan bunyi raungan motor yang kencang, membuatku mengerjap dan menatapnya kaget. "Mikirin apa, sih?" tanyanya. "Takut ketahuan cowok lo gue boncengin?"

Aku mengernyit, lalu menggeleng. Cowok dari mana, sih? Dari Kerajaan Majapahit?

Kaezar mendengkus, mematikan mesin motornya. "Gue perlu izin dulu sama cowok lo apa gimana?" tanyanya lagi. "Atau bilang aja, lo nggak ada niat suka sama gue."

Ih, kalau ngomong suka bener. Aku menggeleng. "Kae ...." gumamku.

"Apa?"

"Gue nggak suka naik motor kayak gini," ucapku jujur.

Kaezar menoleh ke belakang, memeriksa keadaan motornya. "Apa yang salah?"

Aku memegang tulang punggungku. "Dulu, waktu masih kecil gue terdeteksi kena skoliosis."

Aku tidak berbohong tentang skoliosis yang kuderita, aku menemukan foto-foto di album keluarga saat mengenakan brace atau alat penyangga tulang punggung di usia tiga tahun. Namun, gejalanya sudah hilang, aku sudah sembuh jauh sebelum beranjak ke usia lima tahun. Jadi, ini termasuk dalam sebuah kebohongan tidak, ya? "Kalau kelamaan duduk di jok motor kayak gini, pasti—"

"Bentar, bentar." Kaezar membuka helm dan segera turun dari motor. "Gue pinjam motor Janari aja kalau gitu." Dia berlari setelah menyerahkan helmnya padaku.

***

Motor Janari adalah motor paling ramah sejagat raya. Motor matic yang joknya tidak akan membuat punggung kram walaupun melakukan perjalanan jauh. Aku turun dari boncengan Kaezar. Lulus tanpa pegangan sedikit pun.

Kami sudah sampai di SMA Pengabdi, disambut oleh ketua OSIS dan wakilnya di pintu masuk gedung sekolah. Kedua cowok itu memperkenalkan diri, Ketua OSIS-nya bernama Rival, sedangkan wakilnya bernama Faldy. Keduanya menyambut kami dengan baik, tapi Faldy lebih banyak mengajakku bicara saat Rival dan Kaezar berjalan lebih dulu.

Saat sampai di ruang OSIS, aku takjub sekali karena ruangan itu begitu dingin. Apakah mereka sengaja membuatnya sedingin itu?

Mungkin karena melihat ekspresiku yang tidak terlalu nyaman dengan suhu ruangan, Faldy menjelaskan. "Ini AC-nya memang sering turun-naik suhunya, belum dibenerin."

Aku mengangguk-angguk. "Oh, nggak apa-apa." Padahal, aku ingin sekali mengumpat karena jujur, aku paling tidak tahan dengan suhu dingin.

Perwakilan sekolah lain belum datang, kami menjadi yang pertama. Kaezar itu seperti sudah men-setting waktu dalam 24 jam perhari untuk kegiatan yang harus dilakukan. Jadi, tidak akan ada kata terlambat. Aku pernah tidak sengaja melihat buku catatannya yang terjatuh, ada jadwal kegiatan yang harus dilakukan setiap hari yang diurut dan dibatasi jam.

Dan jika dia tidak bisa melakukan salah satu di dalam kegiatannya, dia akan mencoret dan menggantinya dengan kegiatan lain, lalu memindahkan kegiatan yang sempat tidak dikerjakannya ke waktu lain. Seperti yang tadi dilakukannya sebelum berangkat ke tempat ini. Dia memindahkan jadwal bimbingan Fisika ke jam delapan malam.

Tiga perwakilan sekolah lain hadir; Axel dari SMA Adyaksa, Adam dari SMA Caraka, dan Dafa dari SMA Danapati. Aku sebagai cewek sendirian di sini, bagus sekali pilihan Kaezar memang. Dan setelah Rival mulai membuka rapat tentang PENSI yang akan diadakan di SMA Adiwangsa yang lain mulai memberi usulan.

"Jadi, masing-masing dari kami akan dibentuk panitia secukupnya," ujar Adam. "Gue dan tim akan bantu dari segi publikasi dan cari sponsor juga."

"Kami harus ikut rapat kepanitiaan di Adiwangsa sih biar lebih enak koordinasinya," tambah Axel. Dia baru saja menulis nomor HP di lembar kertas berisi catatan perwakilan sekolah yang kemudian diserahkannya pada Kaezar.

"Kami biasa rapat seminggu sekali," ujar Kaezar yang membuatku mengernyit tidak terima.

Seminggu sekali, katanya?

"Di luar rapat-rapat kecil yang sifatnya nggak terjadwal," lanjut Kaezar setelah menulis nama dan nomor HP-nya di kertas, lalu mengembalikannya pada Faldy dan melewatiku begitu saja. "Gue hubungi kalau kami udah nemu jadwal rapat mingguan supaya kalian bisa ikut."

Tangan Faldy kembali terulur. "Jena belum nulis?"

Kaezar mendorong kertas itu. "Nggak usah. Nomor gue udah cukup."

"Semua harus disesuaikan sama konsepnya, ya?" tanya Dafa yang membuat perhatian kembali terpusat pada rapat.

Kaezar mengangguk. "Biar total, iya harusnya. Terus nanti rencananya kita bakal—" Suara bersinku membuat Kaezar menghentikan ucapanku dan menoleh. "Kenapa, Je?" tanyanya ketika semua perhatian tengah tertuju pada penjelasannya.

Aku menggeleng. Aku harusnya berusaha terlihat baik-baik saja, tapi sulit karena suhu di ruangan itu terlalu dingin. Aku menyimpan dua tanganku yang saling menggenggam di pangkuan.

"Untuk parade kostum memarik banget nih, bisa sekalian keliling kayak pawai sambil bawa alat musik daerah gitu nggak, sih?" usul Axel. "Gue mau bilang sama yang lain buat nyiapin ini kalau boleh."

Kaezar mengangguk, sesaat tubuhnya membungkuk, seperti meraih sesuatu dari tas yang disimpan di dekat kaki kursinya. "Boleh nanti kita diskusiin sama panitia lain saat rapat mingguan," ujarnya. Tangannya baru saja mengeluarkan jaket dari tas, lalu terulur padaku. "Waktu rapat kemarin, kita masih bicarakan masalah konsep, sih." Dia masih terus bicara, tapi di bawah meja, tangannya membentangkan jaket ke pangkuanku.

***

Aku tidak bisa menahan suara bersinku yang terus-menerus, sampai membuat Kaezar meringis. Padahal aku sudah mengeratkan jaket Kaezar di tubuhku. Ini ironi banget sih, karena tadi aku mati-matian sama sekali tidak ingin menyentuh Kaezar selama perjalanan—sekali pun hanya jaketnya, tapi sekarang aku malah memeluk erat-erat jaket Kaezar ini. Ini pasti salah satu bentuk kutukan untukku yang terlalu sering membicarakan keburukan Kaezar.

Dan, kutukan tidak sampai di sana. Sekarang, alih-alih membawaku cepat-cepat pulang, Kaezar malah membawaku ke sebuah kafe yang jaraknya tidak jauh dari SMA Pengabdi.

Di setiap sudut kafe disediakan sepasang bean bag serta bantal-bantal besar yang lembut, empuk, dan wangi. Aku beneran jadi ingin tidur.

Di antara lampu oranye yang hangat dan ramainya berbagai warna bantal, Kaezar berjalan menghampiriku, menaruh dua cangkir cokelat hangat di meja pendek yang memisahkan kami.

"Makasih," ujarku seraya menarik balok UNO yang sudah tersusun tinggi di atas meja.

Kafe itu seperti dirancang untuk memanjakan orang yang kelelahan, didesain senyaman mungkin sampai rasanya seperti berada di kamar sendiri. Dan di atas meja, tidak hanya ada balok-balok UNO, ada banyak kartu yang disimpan di dalam stoples yang bisa digunakan untuk mengusir jenuh. Namun sayangnya, aku tidak ingin memainkan kartu-kartu itu dengan Kaezar.

"Kenapa nggak bilang, sih? Kita kan bisa cepat pulang tadi biar lo nggak kayak gini."

Yang benar itu. Seharusnya aku tidak usah ikut pergi biar keadaanku tidak seperti ini. "Ya nggak enak, kan lagi rapat," ujarku. "Giliran lo nih." Aku menyerahkan permainan UNO pada Kaezar.

Dengan hati-hati, Kaezar menarik Balok Wild, balok berwarna ungu yang dapat diambil kapan saja, dan orang yang berhasil mengambil balok itu bisa menentukan warna apa yang harus diambil oleh pemain selanjutnya. Kaezar menyeringai saat berhasil menarik balok itu dengan mulus "Giliran lo."

"Warna apa?" tanyaku sambil cemberut.

"Kuning aja." Anehnya Kaezar memberiku pilihan warna yang paling mudah.

Namun selanjutnya permainan terhenti karena perhatianku teralihkan pada layar ponsel yang menyala, muncul satu pesan di sana.

Faldy Raihan
Je, udah sampai rumah? Gimana keadaan lo?

Aku memang tidak menulis nomorku di catatan tadi, tapi aku memberikannya langsung pada Faldy sesaat sebelum keluar dari ruang rapat saat cowok itu memintanya.

Shahiya Jenaya
Belum. Lagi mau makan dulu nih.

Faldy Raihan
Oh. Tapi lo nggak apa-apa? Lain kali, kalau mau rapat di sini lagi, gue minta benerin AC RO deh ke pihak sekolah biar lo nggak bersin-bersin. Haha. Sori, ya.

Shahiya Jenaya
Nggak apa-apa. Hahaha. Tapi thanks, btw.

Faldy Raihan
Btw lo di mana sekarang? Kok nggak langsung balik?

Aku mendongak, menatap Kaezar yang baru saja menyesap coklat hangatnya. "Ini kita lagi di mana sih, Kae? Nama kafenya apa?

"Pillow Talk."

"Oh." Aku kembali menunduk, membalas pesan Faldy. "Sesuai namanya, ya? Banyak bantal gini.

"Hm."

"Eh, masa Faldy nggak tahu ada Pillow Talk deket SMA Pengabdi, memangnya baru ya ini kafenya?" tanyaku.

Kaezar mengernyit, raut wajahnya berubah. Namun aku tidak tahu apa alasannya. Cowok itu tidak menjawab pertanyaanku, tapi malah bertanya tentang hal lain. "Lo kasih nomor lo ke Faldy?"

Aku mengangguk. "Sebelum keluar auditorium, dia minta," jawabku. "Kenapa memangnya?" Tidak ada yang salah, kan? SMA Pengabdi akan menjadi partner kami untuk acara PENSI nanti, tapi kenapa Kaezar terlihat tidak suka?

Kaezar hanya bergumam, lagi-lagi.

Lalu, karena Kaezar diam saja, selanjutnya aku memainkan balok-balok UNO sendirian. Lagi pula, aku pasti kalah jika melanjutkan permainan ini melawan Kaezar.

"Je?"

"Hm?" Aku sedang fokus menarik balok warna hijau.

"Tadi sebelum pergi Janari sok-sokan mau kenalin lo sama cowok dan lo nggak nolak. Sekarang, lo juga malah kasih nomor ke Faldy."

Aku mendongak, menatapnya bingung. "Iya ... terus?"

"Lo nggak takut cowok lo marah?"

Aku mengernyit. "Terus lo nggak nanya, apa cowok gue nggak bakal marah kalau lihat kita makan bareng berdua di sini?"

Kaezar berdecak. "Gue kan udah tawarin tadi, mesti ngomong nggak gue sama cowok lo biar nggak salah paham?" ujar Kaezar seraya kembali meraih cangkir cokelatnya. "Lagian, ini bentuk tanggung jawab gue sama nyokap lo aja sih. Nggak balikin anaknya dalam kondisi kelaparan."

"Kae, kenapa sih lo sewot banget kalau gue punya cowok?"

Ekspresi Kaezar berubah kaku, dia juga tidak bersuara.

Aku bersidekap. "Gue tetap bakal loyal jadi partner lo di OSIS kok, seandainya nanti gue beneran punya cowok, ya seenggaknya—"

"Seandainya nanti?"

"—sampai selesai PENSI," ujarku tanpa memedulikan kebingungannya. "Sekarang gue nggak punya cowok. Puas lo?" Dalam hati, dia pasti sedang menertawakanku.

"Cowok yang dilihat Favian di PIM?"

"Bukan cowok gue," sanggahku. "Dia itu ... kakaknya temen gue. Tapi ya memang sih ...." Gue suka. Aku ingin melanjutkan penjelasanku, tapi itu tidak penting juga untuk diceritakan pada Kaezar, tidak penting Kaezar tahu siapa cowok yang aku suka. "Yah, gitu. Dia cuma nganter doang."

"Hm."

Aku mendengkus. "Lagian, penting banget ya lo tahu gue punya cowok atau nggak?"

Kaezar masih menyimpan cangkir di depan wajahnya, jadi aku tidak bisa melihat bagaimana eskpresinya sekarang. "Nggak juga sih."

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Ketos Galak
Selanjutnya Ketos Galak | [7, 8, 9]
113
2
Part ini bisa dibaca secara gratis. Dukung dengan vote dan komen ya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan