Ketos Galak | [25, 26]

136
5
Deskripsi

Part ini bisa dibaca secara gratis. Dukung dengan vote dan komen ya.

Part [25]

KAEZAR
Satu tangan gue membawa cangkir berisi air hangat yang baru gue ambil dari water dispenser, sedangkan tangan yang lain sibuk menatap layar ponsel yang memunculkan beberapa notifikasi.

Saat baru saja duduk di sofa dengan televisi yang sudah menyala sejak tadi, "Hatchih! Hatchih!" Gue bersin lagi, berkali-kali disertai hidung yang gatal dan sudah memerah karena digosok berkali-kali.

Sekitar pukul delapan malam gue sampai di rumah setelah urusan PENSI selesai, mandi, lalu memutuskan untuk tidur lebih cepat ketika merasakan kondisi badan tidak baik-baik saja. Hoodie tebal dan celana panjang tidak cukup menghangatkan tubuh gue yang tiba-tiba menggigil setelah selesai mandi tadi, malah kondisinya semakin memburuk saat bangun tidur.

Gue demam.

"Ngenes amat hidup gua," gumam gue setelah meminum lagi air hangat dari cangkir.

Gue terbangun pada pukul sepuluh malam karena satu notifikasi. Diundang secara tiba-tiba ke dalam sebuah grup chat 'GRUP PENSI II' oleh Hakim, yang setelah itu disajikan sebuah pengakuan yang ... nggak mengejutkan-mengejutkan banget untuk gue sih sebenarnya.

Bisa gue prediksi sebelumnya, tapi gue masih denial, dengan yakin bahwa gue dan dia memiliki perasaan yang sama.

Shahiya Jenaya

Gue tuh biasa aja sama Kae.

Beneran.

Di saat gue berusaha mati-matian mengerti seorang cewek sampai hampir gila, lah dia bilang 'biasa aja'.

Gue merebahkan tubuh di sofa, lalu mengetuk-ngetuk layar dengan ujung telunjuk untuk segera keluar dari keanggotaan grup chat tadi, karena saat gue muncul, tidak ada respons sama sekali, pun penjelasan dari Jena.

Dia nggak terlalu menganggap penting gue atau bagaimana, gue nggak tahu. Yang jelas ... ya gitu.

Suara pintu depan terdengar dibuka, seseorang melangkah masuk dengan terburu. Gue tidak menoleh karena tahu siapa orang yang sekarang berjalan menghampiri gue, kenal bagaimana caranya melangkah, rusuh banget kayak warga ngejar maling. Siapa lagi kalau bukan Favian?

Favian melewati gue begitu saja. Dia berjalan ke arah dapur seraya membawa dua buah paper bag dan menyimpannya di meja bar. "Ngeringkuk aja kayak tahanan. Beneran sakit, nih?"

Gue meliriknya tanpa usaha benar-benar melihat keberadaannya, lalu kembali mengetuk-ngetuk layar ponsel dengan kencang. Gara-gara lima panggilan tak terjawab Papa selama gue tidur tadi dan mengangkatnya di panggilan keenam, Papa jadi curiga kalau gue sakit.

"Tumben kamu jam segini udah tidur? Sakit, ya? Iya kamu sakit, jangan bohong, suara kamu tuh aneh begitu. Papa antar ke dokter, ya? Kalau nggak mau, makan obat yang ada di kotak P3K, di kamar Papa." Nggak hanya itu sih, masih banyak lagi ceramah lainnya sampai niat banget mengirim Favian untuk menjaga gue malam ini.

Favian melangkah mendekat, duduk di ujung sofa setelah menyingkirkan kaki gue dengan kasar. "Makan nih, gue beliin bubur tadi di depan komplek. Ya, memang disuruh Papa, sih. Tapi, kan, tetap aja ini tuh tindakan yang manis banget gitu lho. Harusnya bisa bikin lo terharu sampai berkaca-kaca."

Gue mengabaikannya.

"Kalau dikasih bilang apa?" tanya Favian.

Gue masih mengabaikannya.

"Bilang apa, Masnya Aku?"

Gue menatapnya ngeri. "Makasih."

"Nah, gitu dong." Favian cengar-cengir, merasa menang.

Gue bangkit setelah menutup kepala dengan tudung hoodie, melirik Favian yang kini sudah mengambil alih channel televisi. Gue memang lapar, belum makan sejak ... sejak kapan, ya? Bahkan gue lupa kapan terakhir kali benar-benar makan berat. Jadi, gue segera duduk menghadap mangkuk bubur yang dibawa Favian. "Kenapa nggak beliin nasi goreng aja, sih? Gue tuh cuma masuk angin biasa, nggak sampai harus makan bubur."

"Heleh. Udah dibeliin juga." Sesaat, Favian memperhatikan gue. "Total banget lo ya, sampai sakit-sakit begini gara-gara PENSI?"

"Nggak juga." Kayaknya sekalipun fisik gue capek, kalau hati gue senang-senang saja, gue bakal baik-baik saja. Lah ini? Fisik remuk, hati mencar. Nggak ada mending-mendingnya.

Favian hanya menggeleng, lalu kembali fokus ke layar televisi.

"Fav?"

"Mm."

Gue ikut menatap layar televisi sambil menyuapkan bubur. "Lo pernah nembak cewek, kan?"

Favian menoleh cepat, menatap gue heran. "Ini kenapa tiba-tiba nanya begini?"

"Ya udah, nggak jawab juga nggak apa-apa."

Favian berdecak. "Ya, pernah lah, gila," jawabnya cepat. "Gimana caranya dapet pacar kalau nggak pake nembak? Gue silang jidatnya pakai pulpen?"

"Pernah ditolak?"

"Hah?" Favian terlihat lebih heran lagi, berkali-kali lipat dari sebelumnya.

Gue berdecak.

"Oke. Oke." Favian duduk bersila, menghadap gue. "Jujur. Pernah," jawabnya. "Kenapa, sih? Kenapa tiba-tiba banget nanya begini?"

"Jawaban cewek ... kalau nolak tuh kayak gimana, sih?" tanya gue. "Kasih contoh."

Favian melipat lengan di dada, bola matanya diseret ke atas. "Kayak ... Aku nggak bisa jadi pacar kamu, kayaknya kita lebih cocok temenan, atau ... aku mau fokus belajar dulu deh, Fav." Favian memeragakan ekspresi dan nada cewek yang sepertinya benar-benar pernah berkata demikian padanya.

"Terus?"

"Terus ... Favian, kamu tuh terlalu baik dan pintar nabung, sedangkan aku lebih suka cowok yang busuk dan banyak utang—Ya, pokoknya alasan yang pasaran tapi nggak masuk akal gitu."

Gue mengernyit, lalu mengangguk pelan. Sesaat gue menyalakan layar ponsel yang menampilkan pesan Jena yang dikirim ke grup chat tadi. "Kalau kayak gini, ini termasuk nolak apa gimana?"

Favian menatap gue setelah memperhatikan pesan di layar ponsel. "Gue tuh biasa aja sama Kae, beneran." Dia membaca pesannya, lalu meringis kecil. "Ditolak Jena lo?"

"Serius?"

"Yah, anjir. Nangis banget gue ingat pengorbanan lo Jakarta-Bandung."

"Jadi beneran ya kalau ini tuh, artinya gue ditolak?"

"Ya ampun, gue nggak bawa tisu, Kae. Pake gorden mau?"

"Berisik lo." Gue menyimpan ponsel ke sofa dengan sembarang, lalu kembali menyuapkan bubur.

"Gue bisa rasain sih ditolak cewek tuh kayak gimana. Sakit iya. Tapi, malunya itu, kayak dari ujung rambut sampai ujung dunia, nggak hilang-hilang."

Berarti gue normal. Iya, rasanya memang begitu. Untung besok gue ada alasan untuk nggak masuk sekolah, izin sakit. Setidaknya, untuk beberapa hari gue nggak harus bertemu Jena.

"Ya udah, mau gimana lagi? Kita nggak bisa maksain perasaan seseorang, kan?" Favian berjalan menjauh, membawa dua gelas berisi air putih ketika kembali ke sofa.

Suara mesin mobil terdengar memasuki carport, pintu depan kembali terbuka dan memunculkan sosok Jia yang kini berlari ke arah gue. "Mas Kae!" Dia tersenyum saat melihat gue menoleh. Lalu menghambur dan duduk di pangkuan gue. "Mas Kae, seneng nggak tiba-tiba aku datang ke sini?"

Gue tersenyum. "Seneng dong, Mas Kae sendirian dari tadi soalnya."

"Iya. Mas Kae dari tadi sendirian. Soalnya Mas Favian bukan manusia, cuma siluman." Favian tersenyum.

"Iya!" Jia tidak mengerti dengan ucapan sarkas itu. "Mana Mas Kae lagi sakit. Makanya Papa, Mama, sama aku datang ke sini buat nemenin Mas Kae."

Tidak lama setelah itu, Papa melangkah masuk bersama Tante Vina. Mereka benar-benar akan menemani gue malam ini.

"Mana yang sakit, Mas?" tanya Jia sembari turun dari pangkuan gue. "Ini? Mau aku pijitin?" tanyanya seraya menarik lengan gue dan memijatnya pelan.

"Bukan." Tangan Favian terulur. "Mas Kae tuh lagi sakit di sini," ujarnya seraya mengarahkan tangan Jia ke dada gue. "Di sini remuk, Jia. Rusak banget isi dada Mas Kae."

Wajah Jia berubah khawatir. "Hah? Memangnya kenapa dada Mas Kae?"

"Habis diinjek gorila," jawab Favian.

***

JENA

Aku sudah berada di ruang OSIS sejak pukul setengah tujuh pagi, menjadi orang pertama yang berdiri di sana saat pintu ruang OSIS masih terkunci. Biasanya, kunci utama dipegang oleh Kaezar, dia selalu menjadi orang pertama yang membuka ruang OSIS.

Iya, iya. Jujur pagi ini aku sengaja datang lebih pagi dan berdiri di sana untuk menunggu kedatangan Kaezar. Aku ingin menjelasakan pesan yang kukirim semalam ke grup, yang mungkin saja menimbulkan kesalahpahaman, atau ... menjelaskan tentang apa pun yang ingin dia ketahui.

Dua tanganku memegang tali tas punggung, bersandar ke dinding dengan ujung sepatu yang mengetuk-ngetuk lantai. Aku menoleh cepat saat mendengar suara langkah seseorang mendekat. Kupikir Kaezar, ternyata bukan.

"Hai, Je." Dia Kalina.

"Hai," balasku. "Udah masuk sekolah, Na? Katanya kemarin masuk rumah sakit?"

Kalina menggeleng. "Nggak dirawat kok, cuma check up rutin doang. Tapi, ya memang sih gue nggak dibolehin capek-capek dulu."

"Oh, syukur deh." Aku memperhatikan wajahnya. "Tapi masih agak pucat, Na."

Kalina mengangguk. "Iya. Nggak apa-apa kok," jawabnya. "Oh, iya, Je. Makasih ya kemarin udah gantiin gue. Maaf juga karena pasti lo repot banget."

Aku tersenyum. "Sama-sama, gue dibantu Kaivan, kok."

Kalina mengangguk-angguk kecil.

"Oh, iya. Masalah LPJ—"

"Gue bisa," potong Kalina yakin. "Gue udah banyak bikin lo repot. Jadi, untuk LPJ, gue bisa handle. Gue janji nggak akan ngerepotin lo lagi, beneran. Satu minggu dari sekarang kan, waktunya?"

Aku mengangguk. "Iya."

Kalina melirik pintu ruang OSIS yang masih tertutup, mencoba menarik handle pintu. "Masih dikunci, ya?Tumben Kae belum datang, gumamnya.

Aku melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul enam lewat empat puluh lima menit. Lima belas menit lagi menuju bel masuk.

"Ya udah, deh. Nanti aja istirahat gue balik lagi." Kalina mengangkat bahu seraya menatapku. "Kae kesiangan kali, ya?" tanyanya seraya merogoh isi tas. "Gue telepon deh." Dia berbalik seraya menempelkan ponselnya ke telinga. "Halo, Kae? Lo masih—Eh, Je, gue duluan ke kelas, ya?"

Aku tidak merespons apa-apa, malah lebih tertarik pada Kalina yang kini terus berjalan sambil berbicara dengan Kaezar.

Langkah Kalina terayun semakin jauh, sebelum berbelok di tikungan koridor, aku mendengar Kalina berucap, "Oh, gitu. Oke, oke." Lalu tertawa. "Bisa begitu, tumben banget?" Setelah itu, tidak lagi terdengar apa-apa.

Aku cemberut. Aku tidak memiliki keberanian sebesar itu untuk menghubungi Kaezar setelah apa yang kulakukan kemarin sore, juga pesan tadi malam yang membuat Kaezar mendadak keluar dari grup.

Aku melirik jam di pergelangan tanganku, melihat waktu sudah menunjukkan lima menit lagi sebelum bel masuk terdengar. Kaezar tidak kunjung membuka kunci pintu ruang OSIS karena sibuk ditelepon oleh Kalina, ya?

Aku berdecak, sesaat sebelum melangkah pergi, aku melihat Favian yang berlari-lari dari balik koridor, menuju ke arahku yang kini sudah sedikit menjauh dari pintu ruang OSIS.

"Pagi, Jena!" sapanya dengan gerakan terburu, membuka-buka isi tas sambil bergumam beberapa kali, "Di mana grup gue taruh—aduh."

"Ngapain, Fav?"

"Ini, kunci RO. Nah, ini." Dia meraih sebuah kunci dengan gantungan berbentuk lingkaran dengan gambar bendera merah-putih di tengahnya, gantungan kunci yang Kaezar dapatkan setelah mengikuti olimpiade sains semester lalu.

"Kok, kunci RO ... lo yang pegang?" tanyaku.

Favian baru saja berhasil mendorong pintu ruang OSIS agar terbuka. "Iya, nih. Sori ya, lo mau masuk dari tadi nunggu pintunya dibuka, ya?"

Aku mengangguk pelan. Padahal, aku menunggu Si Pemegang Kunci, sih.

"Kaezar nggak masuk hari ini. Jadi dia nyuruh gue bawa kunci RO," jelas Favian.

"O-oh, gitu ...." Pundakku merunduk dengan sendirinya, perlu menarik napas panjang agar membuatnya kembali tegak. "Tumben ya dia," gumamku.

Favian menyerahkan kunci ruang OSIS padaku. "Iya, sakit dia," jawabnya. "Ini kunci lo yang pegang, ya. Soalnya nanti pulang sekolah gue ada acara—"

"Sakit apa dia?" Aku sudah menggenggam kunci, mengusap gantungan kunci berbentuk lingkaran itu.

"Masuk angin kali. Nggak tahu sih, demam gitu, badannya menggigil semalem."

"Semalem? Kok?" Kok, Favian bisa tahu keadaan Kaezar semalam? "Lo ketemu Kae?"

"Ng ..., ya gitu. Gitu lah." Favian mengibaskan tangan dengan cengiran aneh yang tidak kumengerti. "Gue ke kelas ya, titip kunci RO."

Aku menatap kunci di tanganku, melirik pintu ruang OSIS yang sudah terbuka. Lalu, bel masuk terdengar.

"Eh, Je." Tiba-tiba Favian kembali.

Aku mendongak. "Kenapa?"

"Gue ... cuma mau ngasih tahu, nggak bermaksud apa-apa."

Aku mengangkat alis.

"Kaezar sengaja berangkat dari Bandung naik motor ke Jakarta waktu tahu lo dirawat di rumah sakit. Terus, habis itu balik lagi ke Bandung karena acara belum selesai." Favian menyengir. "Gue nggak ada maksud apa-apa sih, cuma mau ngasih tahu. Hehe."

***



















































 

Shahiya Jenaya
Fav ....

Favian Keano
Yooo ....

Shahiya Jenaya
Minta alamat rumah Kaezar. Boleh nggak?

You deleted this message.

Minta alamat Kae dong, Fav.

You deleted this message.

Fav, rumah Kae di mana, ya?

You deleted this message.

Nggak jadi, Fav. Hehe.

Favian Keano
Southern Terrace Blok F8 No. 13 Jagakarsa.

Udah kebaca, Je. Hehe.

***


Part [26]

JENA
Aku sudah tahu rumah Kaezar sebelumnya, waktu mengantarnya pulang bersama Papi malam hari saat motornya mogok di Absis. Namun, saat itu aku tidak memperhatikan jawaban Kaezar, saat Papi menanyakan alamat lengkapnya. Jadi, aku bertanya pada Favian, walau awalnya ragu—dan memang sampai akhir juga aku masih ragu.

Saat menentukan titik penjemputan dan alamat tujuan untuk memesan taksi, saat sudah berada di dalam taksi, juga saat sudah turun dan membayarnya. Aku masih bertanya-tanya, ini aku kesambet setan apa sih sampai berani sekali mengunjungi rumah Kaezar seperti ini?

Aku sempat berguling-guling di tempat tidur sambil mengenyahkan niat untuk pergi saat Favian membalas pesanku dan memberitahu alamat rumah Kaezar, tapi mengingat ucapan cowok itu tadi pagi, yang bilang bahwa Kaezar rela berangkat dari Bandung untuk menjengukku saat tahu aku sedang sakit, lalu kembali ke Bandung padahal tidak lebih dari lima belas menit dia berada di sisiku saat itu, membuat aku yakin bahwa aku harus bertemu dengan Kaezar hari ini juga.

Keterlaluan nggak sih Kaezar ini? Kenapa dia tidak pernah mengatakan apa-apa tentang hal itu?

Aku jadi bertanya-tanya, jangan-jangan selama ini dia melakukan banyak hal untukku yang kulewatkan begitu saja dan tidak kusadari?

Aku menatap pagar besi berwarna hitam yang menjulang di atasku, tidak mampu melongok dan memeriksa keadaan di dalam sana karena pagar begitu tinggi. Tanganku menggenggam tali sling bag yang menyilang, menunduk untuk menatap ujung flat shoes dan terusan denim yang kupakai, lalu ... menarik napas panjang.

 menarik napas panjang

Tenang, Jena. Tenang. Lo udah di depan rumah Kae. Nggak mungkin balik lagi, kan?

Tanganku hendak memencet bel di dinding samping pagar, tapi seorang wanita yang baru saja keluar menghentikan niatku. Wanita itu memiliki rambut yang dicepol rapi, mengenakan terusan batik panjang dan sandal jepit. Saat menemukanku berdiri di sana, dia tersenyum. "Mau ketemu siapa, Mbak? Mas Kae? Atau Mas Favian?"

Aku mengerjap-ngerjap. Tunggu. Kenapa ada pilihan antara Kaezar dan Favian? Aku menatap lagi pagar rumah itu. "Ini ... rumah Kaezar, kan, Mbak?" tanyaku memastikan.

"Iya."

Aku benar.

"Tapi Mas Favian juga kebetulan lagi ada di sini," jelasnya.

"O-oh." Aku mengangguk-angguk walaupun belum mengerti maksudnya. "Aku mau ketemu Kaezar."

Setelah mendengar jawabanku, wanita yang mengenalkan dirinya bernama Mbak Tati itu mengajakku masuk, melewati pagar tinggi tadi. Aku berjalan melewati carport, menatap ke sisi kanan, menemukan lahan berumput hijau tanpa ada lagi tanaman lain untuk menambah nilai estetika. Tiba-tiba aku membandingkannya dengan halaman rumahku yang penuh dengan pot bunga kesayangan Mami.

Aku menebak, ibunya Kaezar ini adalah wanita karier hebat yang supersibuk sampai tidak ada waktu melakukannya. Masuk akal, kan?

"Masuk, Mbak," ajak Mbak Tati yang segera kurespons dengan gelengen.

"Aku nunggu di sini aja, Mbak." Aku memutuskan untuk tetap berdiri di teras rumah.

Setelah itu, Mbak Tati mengangguk dan kembali masuk untuk memanggil Kaezar, katanya.

Aku berbalik, menggenggam tali tasku lebih erat dari sebelumnya. Beneran deh, aku mendadak gugup. Dan dengan bodohnya, aku kembali menyangsikan keyakinanku untuk bretemu Kaezar, saat aku sudah berdiri di teras rumahnya.

Ya ampun, Jena. Becanda aja hidup lo.

Sebenarnya, aku masih ada waktu untuk pergi ketika melihat Mbak Tati keluar dari rumah dan menyapaku lagi, lalu berkata, "Udah saya panggilin Mas Kaenya, ditunggu ya, Mbak?" Setelah itu, Mbak Tati pamit untuk pulang. Katanya, jam kerjanya di rumah itu sudah habis.

Aku kembali sendirian di teras rumah, dengan rasa gugup yang bertambah ketika tahu bahwa sebentar lagi Kaezar akan datang menemuiku.

Dan, "Temen siapa, Mbak?" Suara parau Kaezar terdengar dari dalam rumah. "Mbak Tati?" panggilnya dengan suara yang terdengar lebih dekat.

Tulang punggungku mendadak kaku saat memutuskan untuk berbalik, aku meringis ketika menemukan Kaezar yang kini sudah berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus putih dan celana tidur hitam. Wajahnya tampak lelah, masih kental dengan sisa kantuk, luka lebam di pipinya sudah sedikit memudar, dan luka di keningnya masih tertutup plester kecil.

"Lho, Je?" Kaezar sempat melongo beberapa saat sebelum memekik demikian, dia tampak terkejut dengan keberadaanku. Jemarinya buru-buru menyugar rambut. "Kok?"

"Hai ..., Kae."

"Mau ketemu ... siapa?"

"Ketemu lo ... lah."

Suasana mendadak canggung. Kaezar masih tidak menyangka dengan kedatanganku, dan aku juga masih tidak menyangka dengan keberanianku sendiri. Kaezar melirik ke belakang, ke pintu rumahnya yang masih terbuka. "Di dalam ... ada Favian sih, tapi—"

"Oh, nggak usah." Aku mengibaskan tangan. "Gue di sini aja."

"Lho? Nggak bisa gitu. Masa lo datang—Ng ... Ya udah, masuk dulu ..., kalau lo nggak keberatan." Kaezar menyugar rambutnya lagi, lalu menggaruk tengkuk sebelum menoleh ke arah pintu lagi. Sebagai tuan rumah, alih-alih ramah dia malah kelihatan panik. "Yuk." Satu tangannya mempersilakanku untuk masuk.

Dan, aku memutuskan untuk menerima ajakannya. Aku berjalan pelan di belakangnya, tapi sedikit bingung saat dia melewati ruang tamu begitu saja tanpa menyuruhku duduk.

"Ke dalam aja nggak apa-apa, kan? Ngobrolnya di dalam biar lebih enak," ujarnya menoleh sekilas padaku sebelum melangkah lagi. "Sekalian gue bikinin minum."

"Ha?"

Kaezar mengangguk saat mendengar responsku yang heran. "Mbak Tati cuma kerja sampai jam empat sore. Selebihnya, ya ... gini." Kaezar menarik satu stool untukku, lalu berjalan memasuki pantri sesaat setelah memastikan aku sudah duduk.

"Bentar, ya?" ujarnya. Seraya merogoh ponsel. Dia terlihat akan menelepon seseorang. Lalu, "Fav?" sapanya pada seseorang di seberang telepon.

Dia menelepon Favian?

"Nggak. Nggak. Ya udah, lanjut tidur aja." Kaezar melirik ke arah lantai dua. "Gue .... Ng ..., ini ada Jena. Oh, nggak, nggak usah. Lo nggak usah turun. Udah bener di situ aja."

Lah?

"Iya. Formalitas aja. Kalau Papa tanya, gue nggak berdua doang. Ada lo, kan, di rumah. Iye, iye. Emang mau ngapain, si?" Setelah itu, Kaezar menutup sambungan telepon dan menaruhnya di meja bar.

Aku meringis kecil. "Favian?" tanyaku.

Kaezar mengangguk. "Iya. Dia lagi di kamarnya, di atas. Tidur siang. Tapi kalau nggak dibangunin bisa bablas sampai malam, sih."

"Di kamarnya?" ulangku dengan suara menggumam. Tunggu. Aku beneran bingung. Sebenarnya Kaezar dan Favian itu punya hubungan apa?

"Iya. Lo nggak usah khawatir. Di sini, nggak cuma kita berdua. Ada Favian, orang ketiga."

Serius nggak ada siapa-siapa lagi di rumah ini? Aku mengernyit, lalu memutar kepalaku ke belakang, mengingat-ingat arah pintu keluar, waspada jika .... Oh, nggak sih. Aku percaya Kaezar, percaya sekali. Namun, tidak ada salahnya untuk tetap waspada, kan?

"Jena?"

"Ya?"

"Mau minum apa?"

"Heh? Ng, apa aja." Aku melirik Kaezar yang kini berjalan dengan gelas kosong di tangannya. Ada sedikit rasa tidak percaya saat akan dilayani langsung oleh Si Cowok Yang Terkenal Songong itu.

Sungguh, bayanganku sesaat sebelum berangkat dari rumah adalah, aku datang ke rumahnya, disambut oleh ibunya, disuruh duduk, diajak ngobrol sebentar sebelum Kaezar datang, direcoki kakak atau adiknya—dan kebisingan lain yang kubayangkan seperti saat Kaezar berkunjung ke rumahku.

Namun, apa yang sekarang kulihat? Bayangan ramai di kepalaku tidak terbukti.

"Teh aja nggak apa-apa?" tanyanya.

Kami bahkan ... bisa dikatakan hanya berdua di rumah sebesar ini. Favian tidak bisa kuanggap ada karena keberadaannya belum bisa kudeteksi.

"Je?"

"Ya? Ya?" Aku menggeragap.

Kaezar terkekeh. "Ngelamun mulu."

"Nggak. Cuma ...." Aku melirik sekeliling, dengan ekor mataku. "Ini ... beneran nggak ada siapa-siapa ..., ya?"

Kaezar mengangguk. "Gue tinggal sendiri di sini. Favian lagi kebetulan aja ada di sini. Biasanya ya ... sendiri."

Aku melongo. "Serius?"

Kaezar mengangguk. "Jena. Sekali lagi. Minum teh nggak apa-apa?"

Aku mengangguk. "Nggak apa-apa," sahutku cepat. "Air putih juga nggak apa-apa, kok. Jangan repot-repot, lo kan lagi sakit."

"Nggak, kok." Kaezar membawa satu kantung teh dan menaruhnya di meja. Dia melakukannya dengan tenang, rapi, seolah-olah dia memang sering dan terlatih melakukannya sendirian. Dia tidak kaku berada di dalam pantri, mengambil segala yang dibutuhkannya—ya, walaupun hanya sekadar membuat teh, tanpa berantakan.

 Dia tidak kaku berada di dalam pantri, mengambil segala yang dibutuhkannya—ya, walaupun hanya sekadar membuat teh, tanpa berantakan

Aku mendadak ingat ucapan Hakim beberapa waktu lalu. "Kebayang nggak sih, jadi bininya nanti kalau dia udah nikah? Hih! Nggak bisa bayangin gue!" Yang langsung mengingatkanku pada sikap otoriternya saat di sekolah.

Namun ternyata, Kaezar nggak begitu. Dia bahkan terlihat terbiasa saat menaruh kantung teh ke cangkir, menuangkan air panas yang sudah ditakar dengan pasti, tanpa terlihat kikuk.

Boleh nggak sih, aku memotret Kaezar saat sedang begini dan memperlihatkannya pada Hakim, juga teman-temanku yang lain? Memberi tahu pada mereka bahwa Kaezar yang selama ini kami kenal, tidak seburuk itu. Ah, aku sudah ingin mengatakan ini sejak dulu, tapi tidak memiliki bukti apa-apa untuk kuperlihatkan.

 Ah, aku sudah ingin mengatakan ini sejak dulu, tapi tidak memiliki bukti apa-apa untuk kuperlihatkan

Aku meraih ponsel dari dalam tas, lalu ....

BUNUH DIRI SEKALIAN, JENA. GALI AJA SEKALIAN LUBANG KUBURAN SENDIRI.

Tiba-tiba aku ngeri membayangkan bagaimana respons Hakim dan teman-temanku yang lain ketika tahu aku datang sendirian ke rumah Kaezar. Ini pasti akan menjadi bahan bulian sepanjang masa. Atau paling sebentar, dua tahun, sampai aku lulus SMA.

Aku menggeleng. Oke, aku tidak mau memiliki kenangan buruk semasa SMA dengan terus dibayang-bayangi wajah julidnya Hakim.

"Je?"

"Ya?" Aku tersenyum cepat saat Kaezar menaruh dua cangkir teh di meja. "Sori, ya. Gue ganggu istirahat lo," ucapku sesaat setelah melihatnya menarik stool lain dan duduk di depanku.

"Nggak, kok. Gue malah—Ya, nggak ganggu sama sekali pokoknya."

"Gue nggak bawa apa-apa lho, soalnya ... niatnya mau mastiin keadaan lo doang. Gitu. Terus ...."

"Nggak usah bawa apa-apa, Jena."

Aku mengangguk, tapi tanganku merogoh isi tas. Ini konyol sih, aku juga nggak tahu punya ide dari mana saat mengambil benda ini di minimarket tadi. Mungkin otakku tercuci oleh ucapan Favian yang bilang kalau Kaezar masuk angin? "Ini Kae ...." Aku meringis saat menaruh sekotak Tolak Angin di hadapannya. "Kata Favian, lo masuk angin. Jadi ...." Aku rasanya mau menangis saat melihat Kaezar terkekeh.

Dia menatapku sebelum meraih kotak itu. "Makasih banget, Je. Emang gue butuh ini kok dari kemarin gue—hatchih!" Dia memutar stool, membelakangiku saat bersin. Lalu berbalik dengan kekehan yang belum reda. "Gue cari ini. Aduh, sori ya. Ini bersin-bersin mulu dari kemarin."

"Flu itu, Kae."

"Iya kali. Tapi gue beneran masuk angin, kok," ujarnya seraya membuka kotak dan meraih satu bungkus Tolak Angin itu, menggigit kemasan dan meminumnya sampai habis. "Makasih, ya?" ujarnya, masih menggigit kemasan yang sudah kosong.

Aku menggaruk pelan leherku seraya mengangguk-angguk. "Sama-sama," balasku dengan suara pelan. "Lo ... beneran nggak apa-apa? Nggak mau gue antar ke dokter?" Aku nggak tahu alasan kenapa dia tinggal sendirian di rumah, bahkan dalam keadaan seperti ini hidupnya sepi sekali.

Berbeda sekali denganku, yang kalau jatuh sakit, seisi rumah bising.

Kaezar menggeleng. "Nggak. Beneran. Lagian, kok ..., lo tiba-tiba kayak gini?" tanyanya. "Maksudnya ...." Dia terlihat ragu. "Gue pikir, lo tuh ya .... Lo kan bilang, lo tuh biasa aja sama gue."

"Chat yang di grup itu, ya?" Aku sudah yakin akan menjelaskan tentang itu. "Itu nggak kayak yang lo pikir kok, gue yakin lo salah paham," ujarku. "Lo nggak lihat chat sebelumnya, jadi ... maksudnya tuh nggak gitu, nggak kayak yang lo pikir pokoknya." Ini kenapa sih setiap kali bicara dengan Kaezar pasti omonganku berputar-putar begini?

"Terus?"

"Ya ..., pokoknya gitu." Aku mengalihkan tatapanku saat Kaezar menatapku lekat-lekat. "Gue bahkan nggak tahu lo dimasukin ke grup sama Hakim."

"Oh. Jadi karena gue ada di grup tanpa sepengetahuan lo, lo merasa harus ngejelasin ini?" tanyanya. "Kalau gue nggak ada di grup, ya ... emang bener itu yang lo rasain, kan? Biasa aja."

"Nggak. Nggak gitu, Kae." Aku memejamkan mata sejenak. "Kalau lo mau tahu percakapan yang sebenarnya, gue bisa tunjukin ke lo." Eh, bego Jena. Ya ampun, bunuh diri lo. Aku mendadak ngeri sendiri mengingat percakapan apa saja yang ada di grup chat itu.

"Nggak usah," jawab Kaezar.

Syukur, deh. Aku sampai mengembuskan napas lega.

"Jadi intinya, lo nolak gue nggak?" tanya Kaezar langsung, tanpa aba-aba lagi.

Aku kembali menatapnya, melihat mata sayunya. Kembali mengingat pengorbanannya saat menjengukku di rumah sakit tempo hari. Bukan, aku yakin ini bukan rasa kasihan. Karena, saat mengingat hal itu, seperti ada suara 'klik' di dalam hatiku, seperti ... aku menemukan alasan yang selama ini aku cari untuk benar-benar membuka kunci saat menerima kehadiran Kaezar.

Mungkin, mungkin saja selama ini aku juga menyukainya, senang dengan kehadirannya tanpa kusadari, hanya saja ... selama ini aku masih berpikir bahwa menyukai Kaezar adalah hal yang mustahil, juga sebaliknya. Sehingga aku membiarkan begitu saja saat Kaezar mengetahui hal yang tidak benar tentangku, aku juga tidak peduli pada apa yang sebenarnya dia pikirkan dan rasakan padaku.

Selama ini juga, aku tidak memiliki bukti bahwa Kaezar benar-benar menyukaiku. Dan ucapan Favian tadi pagi seolah-olah memberi tahuku bahwa ... itu adalah salah satu buktinya. Walaupun hanya satu bukti yang kumiliki, tapi mampu mengubah segalanya. Bagaimana jika kamu menemukan seorang cowok yang rela bolak-balik begitu demi pertemuan singkat denganmu, hanya untuk melihat keadaanmu, memastikan kamu baik-baik saja?

Chiasa harus tahu ini. Cowok semacam itu benar-benar ada. Cowok yang tidak boleh disia-siakan, katanya. Dan, orang itu adalah Kaezar.

"Jena ...."

"Iya ...."

"Gue ulang pertanyaannya." Kaezar menatapku lurus-lurus. "Lo nolak gue nggak?"

"Bakal gue jawab. Tapi, satu pertanyaan lagi dari gue," ujarku tanpa menjawab pertanyaannya.

Kaezar melipat lengan di meja. "Apa?"

"Kok, lo nggak pernah bilang tentang ... lo yang bolak-balik Bandung-Jakarta demi jenguk gue?"

Kaezar mengernyit.

"Gue tahu dari Favian."

"Wah." Kaezar menengadahkan wajahnya sebelum kembali menatapku. "Sumpah Si Dungu itu," umpatnya pelan.

"Jangan marahin Favian. Justru gue jenguk lo ke sini gara-gara dia ngasih tahu hal itu." Aku benar-benar tidak mau Favian kena masalah gara-gara pengaduanku. "Jadi, kenapa lo nggak pernah bilang?"

"Sengaja."

"Sengaja?"

Kaezar mengangguk. "Lo nggak usah tahu," jawabnya. "Seandainya nanti lo nolak gue, biar gue tuh ... kesannya nggak ngenes-ngenes amat."

"Hah?"

"Misal, lo tahu gue jenguk lo jauh-jauh dari Bandung waktu itu, terus ... lo tetap nolak gue. Apa nggak ngenes bayangin jadi gue, Je?"

Aku mencebik.

"Tapi ... ini tuh cuma semacam balas budi, ya?" Raut wajah Kaezar berubah. "Lo jenguk gue karena mau balas budi doang?"

"Nggak. Nggak gitu." Aku mengibaskan tangan, mendadak panikan sekarang. Aku merasa terlalu banyak melakukan kesalahan pada Kaezar selama ini. "Gue tuh justru ... mau bilang makasih." Aku memberanikan diri menatap Kaezar yang kini balas menatapku. "Makasih karena ... udah mau ngelakuin hal baik kayak gitu untuk orang yang ... nyebelin banget kayak gue."

Kaezar terkekeh mendengar ucapanku.

Aku berdecak, wajahku berubah memelas. "Iya, kan? Lo akuin aja kalau gue ini memang beneran nyebelin."

"Nggak," sangkalnya. "Nggak apa-apa nyebelin maksudnya. Guenya udah suka, mau gimana lagi?"

"Kae ..., lo tuh."

Dia terkekeh lagi, lalu berdeham pelan. "Nggak, Jena. Gue tuh ..., waktu itu memang bener-bener cuma pengen mastiin keadaan lo. Mastiin lo baik-baik aja."

"Gitu, ya?" Aku terharu.

Kaezar mengangguk. "Lo sakit, sementara gue jauh. Gue tuh, takut aja lo kenapa-kenapa sementara gue belum sempat ngelakuin apa-apa buat lo."

Ya ampun, Kaezar. Kenapa sih dia ini?

"Ya ..., walaupun lo sama sekali nggak sadar sama apa yang gue lakuin," lanjutnya.

"Tuh, kan." Aku cemberut lagi. "Gue tuh emang nyebelin kan, Kae?"

"Nggak. Ya udah, nggak apa-apa nyebelin, gue suka kok." Dia terkekeh lagi, lalu terbatuk-batuk dan meminum tehnya.

"Maafin gue, ya?" ujarku setelah melihat batuknya reda. "Kalau selama ini bikin lo kesulitan banget ngadepin gue."

"Gue nggak pernah merasa kesulitan."

"Bohong."

"Beneran." Kaezar berucap yakin. "Semua yang gue lakuin itu karena ... bukan cuma buat lo, tapi buat diri gue sendiri juga. Gue beneran suka ngelakuin sesuatu buat lo, gue punya kebahagiaan sendiri saat kehadiran gue beneran berguna buat lo—walaupun lo seringnya nggak sadar juga, sih."

"Bisa nggak lo berhenti menyadarkan gue kalau gue senyebelin itu?"

"Jena ...."

"Bilang sama gue, kesulitan paling besar apa yang pernah lo hadapi ketika lo berurusan sama gue?" pintaku. "Ayo, biar gue bisa minta maaf."

"Ngaco." Dia menggeleng. "Nggak ada."

"Ada. Gue yakin pasti ada."

"Ya, walaupun ada, berarti masih bisa gue lewatin. Buktinya gue masih berjuang sampai akhir, kan? Sampai nembak lo? Itu artinya gue masih suka, masih sayang." Ucapan Kaezar mampu membuatku menahan napas beberapa saat. "Walaupun ditolak."

"Gue nggak nolak."

"Oh, berarti diterima?" Telunjuk Kaezar menunjuk wajahku, lalu meraih ponselnya. "Oke, kita cari tanggal, tahun berapa enaknya kita tunangan, terus nikah—"

Aku menangkap tangannya. "Kae, jangan bercanda dulu, deh!"

"Gue nggak bercanda," ujarnya, tapi dia kelihatan menahan tawa."Kalau gue bercanda, gue nggak mungkin ngejar lo selama ini, Jena."

"Selama ini?" ulangku, tidak terima. "Kesannya udah dari lama banget gitu lo ngejar gue."

"Lho? Lo pikir? Memangnya dari kapan gue suka sama lo?"

Aku mengalihkan tatapanku, melirik ke sisi lain. "Baru ... beberapa minggu," jawabku ragu. "Lo sama Kalina juga baru putus. Gimana coba?"

Kaezar menggeleng, terlihat tidak habis pikir dengan ucapanku. "Kita harusnya bahas masalah Kalina ini sekarang, tapi ... nggak usah deh. Nggak usah bawa-bawa orang lain dulu. Masalahnya sekarang cukup lo sama gue aja." Kaezar mencondongkan tubuhnya. "Oke. Ada lagi nggak yang mau lo bahas sebelum lo ngasih keputusan 'mau jadi pacar gue atau nggak'?"

"Ada."

"Ada?" ulang Kaezar dengan suara lelah.

Aku mengangguk. "Lo jawab, ya?"

"Apa lagi?"

"Saat lo di gudang belakang ruang OSIS, lo dengar obrolan gue sama Chiasa, kan?"

Tubuh Kaezar bergerak mundur, kembali bersandar ke sandaran pendek stool yang didudukinya. "Lo yakin mau bahas masalah ini sekarang?"

Aku mengangguk. "Jawab gue, lo dengar kan waktu itu?"

Kaezar hanya menatapku selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk pelan.

"Tentang ... first kiss itu?" Seperti yang sudah kubilang, aku membiarkan begitu saja saat Kaezar mengetahui hal yang tidak benar tentangku, tapi kali ini tidak boleh lagi

Kaezar mengangguk lagi. Sesaat setelah itu dia meminum tehnya banyak-banyak, sampai tandas. "Bentar ya, mau ambil air putih dulu," ujarnya seolah-olah berharap aku menghentikan pembahasan ini dan beralih pada topik lain.

"Kae?" Aku bangkit dari stool, masuk ke pantri dan berdiri di depan meja bar. "Dengerin gue dulu."

Kaezar kembali seraya menggerak-gerakkan rahangnya yang terlihat kaku, meminum air di mug yang baru dibawanya. "Je, bisa nggak kita nggak usah bahas hal yang .... Itu udah berlalu, kan? Atau itu penting banget buat lo?" tanyanya setelah sampai di hadapanku. Kemudian, dia sedikit membungkuk, berbicara dengan suara pelan. "Gue suka sama lo, dan gue memutuskan untuk nggak peduli lagi—"

Nggak peduli lagi. Berarti dia sempat peduli dengan omong kosong yang Chiasa ucapkan itu, kan? "Gue juga suka sama lo."

Kaezar tertegun. Dia mengangkat alisnya, terlihat tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Tubuhnya yang condong, perlahan bergerak naik.

Aku memberanikan diri menatap langsung matanya. "Gue ... suka sama lo," ulangku dengan getar yang terdengar lemah. Rasanya berbeda sekali saat mengucapkannya pertama kali.

Kaezar masih diam.

"Dan untuk ucapan Chia, tentang Kak Aru dan first kiss yang gue—"

Aku tidak ingat kapan telapak tangan Kaezar hinggap di tengkukku, yang jelas dia berhasil menarik wajahku agar mendekat. Aku juga tidak ingat kapan dia menunduk untuk merapatkan wajahnya. Yang aku ingat hanya usaha terakhirku untuk tetap berdiri, dua tanganku memegang pinggangnya. Terlebih saat mendapat tekanan yang lebih kuat, pegangan tanganku di pinggangnya mengerat. Setelah itu ... aku tidak ingat lagi. Aku hanya memejamkan mata, merasakan tubuhku yang berubah ringan seperti kapas, kakiku yang seperti melayang ke udara, terbang semakin jauh ke langit dan seolah tidak akan kembali lagi untuk menjejak bumi.

Selamat tinggal dunia, maafin aku ya kalau ada salah-salah kata.

***






















 

Pengaruh Burukku
Makasih, ya.
Jena.













 

***
 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Ketos Galak
Selanjutnya Ketos Galak | [28, 29, 30]
121
9
.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan