Hello, KKN! | [59. Kale dan Segala Idenya untuk Kama]

613
201
Deskripsi

"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"

Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.

Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.

Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...

Hello, KKN! | [59. Kale dan Segala Idenya untuk Kama]

post-image-6821e9e0059bc.png

 

Haiii 🌼

Kemarin aku bikin Additional Part 58 khusus di Karyakarsa untuk nemenin hari Mingguu. Udah pada baca belum? 😋 Seru lho! Senam jantung dikit xixixi

post-image-6821ea1178a8a.jpeg

Semoga masih semangat mantengin dua manusia ribet ini yaaa. Eh, yang cewek doang sih yak yang ribet, cowoknya mah udah ongkang-ongkang kaki di atas awan! Wkwk. TAPI KALAU MAU BACA KAMA YANG KETAR-KETIR AKIBAT TINGKAH GEGE BOLEH BANGET BACA ADDITIONAL PART 58 KEMARIN! WKWK.

 

Mau kasih apinya sebanyak apa nih buat part ini. Nggak mau tau harus dibakar yang banyak 😡🔥🔥🔥🔥

 

***

 

 

 

 

“Kamu mau aku emut aja atau aku isap kenceng?” [Additional Part 58]

Suara tawa Samira meledak. Dia tidak peduli pada beberapa pengunjung yang berada di dekat meja menoleh sambil menatapnya sinis karena merasa terganggu, atau para pelayan saling lirik karena terkejut, dan Gege yang tampak muak di hadapannya karena dia tertawakan  sejak tadi. “Lo serius ngasih tawaran begitu?” tanya Samira. “Astaga, gue udah diingetin untuk jangan syok sama kelakuan lo, tapi tetap gue nggak bisa. Nggak bisa. Gue harus syok dan gue harus ketawa.” 

Samira meraih selembar tisu untuk menyentuh sudut-sudut matanya yang sedikit berair. Masih sambil tertawa, kali ini sampai tidak bersuara. Dia pasti bahagia sekali karena mendapatkan hiburan di tengah waktu istirahat dari monster-monster kecil yang hari ini baru saja berhasil menumpahkan cat air di rok hitamnya. Noda itu, dia biarkan begitu saja, roknya yang kini memiliki bercak warna-warni tidak dia hapus sama sekali. Seolah-olah dia sudah terbiasa dengan keadaan itu, atau justru dia bangga dan menganggap itu adalah maha karya yang tidak dimiliki oleh semua orang?

Gege berdecak. Dia meraih gelas setelah memutar bola mata. Siang itu, dia sengaja memilih meja di bagian sudut ruangan yang jarang terjamah pengunjung, tapi tawa Samira tetap menarik perhatian beberapa orang di sekeliling mereka. Lagu yang terayun dari pengeras suara juga tidak mampu menyamarkan gelak tawa Samira. 

Namun beruntungnya, Gege menceritakan hal itu di saat acara makan siang mereka selesai, jadi tidak ada alasan Samira tersedak makanan. Oh, dia tadi sempat terbatuk-batuk,  tersedak oleh ucapannya sendiri. 

“Udah dong ketawanya.” Gege berdecak, mulai kesal. 

“Ya ampun, bentar-bentar. Gue minum dulu.” 

Dan Gege menunggu Samira minum sampai dia tampak baik-baik saja, tanpa tawanya yang menyertai setiap kali dia bicara. 

Samira kembali menatap Gege. “Jujur, lo selama empat tahun ini kesambet apaan aja?” tanyanya. Ada tawa singkat di ujung kalimatnya. “Kok, bisa lo berubah jadi makhluk binalia begini?” 

Gege mendengkus, kembali dia minum teh sereh yang terasa hambar karena es batunya sudah banyak mencair. 

“Lo lagi makan pisang, terus tiba-tiba lo jongkok di depan dia sambil buka ritsletingnya tuh—astaga. Motifnya apa? Apa yang sedang lo bayangkan?” tanya Samira. “Gue rasa tuh pisang ada narkobanya sih, jadi lo bisa mabuk gitu.”

Gege bersandar pada sandaran kursi sambil melipat lengan di dada. Matanya memicing. “Lo nggak merasa bertanggung jawab di sini?” tanyanya. “Gue kayak gitu, mungkin aja terpengaruh sama saran lo yang bilang ‘lawan sekalian sikap petantang-petentengnya itu!’.” Gege menirukan suara Samira di telepon.

“Dan lo mengikuti pikiran intrusif lo itu?” tanya Samira. “Luar biasa, psikolog kita nih.” Samira bertepuk tangan. 

“Kalau gue ikutin semua saran lo, udah gue gigit beneran dia. Tapi kan nggak?”

“Ya kalau lo beneran ikutin saran gue, lo beneran udah lost control, Gegeee!” Samira sampai melotot saat bicara. “Lo bayangin, seandainya Kama nge-iyain, terus dia beneran buka ritsleting celananya dan dorong kepala lo—”

“Miw!”

“Lo bayangin, kan? Ngeri nggak?” Lihat, dia menakut-nakuti Gege, seolah Gege ini adalah anak didiknya yang akan kapok untuk bertingkah nakal. “Lo nggak takut apa?”

Gege mengangkat pundak. “Nggak.”

“Gue sih yang takut,” lanjut Samira..”Takut lo ketagihan.” 

Gege mendelik dan Samira kembali melepaskan tawa. 

Lihat, sebenarnya, tidak pernah ada solusi setiap kali Gege menceritakan masalahnya. Dia hanya akan berakhir membawa tawa Samira di dalam kepalanya saat mereka berpisah nanti. Namun, dia yakin Samira adalah pilihan. 

Samira hanya akan berisik dan menertawakan langsung di hadapannya. Wanita itu tidak pernah bercerita pada siapa-siapa. Gege percaya. Seperti dia yang memilih diam ketika memergoki hubungan Gege dan Kama di saat semua orang sedang mencari informasi dan penasaran. 

Semua jalan hidup yang Samira Lalui membuatnya dewasa sebelum dia menginjak usia yang sepantasnya. Pantas saja Rajata tergila-gila dan rela menentang orangtuanya dengan tetap menjalin hubungan dengan Samira selepas KKN secara sembunyi-sembunyi.

Hanya Samira dan Rajata yang tahu. Lalu Gege yang Samira beritahu rahasia. Sebelum akhirnya hubungan mereka kandas saat menginjak usia di tahun kedua.

“Gue wanti-wanti sama lo dari sekarang deh, Ge.” Samira mengacungkan sendok kuenya. “Hati-hati kalau dia muncul lagi untuk ambil jadwal konseling.” 

Benar. Berbahaya sekali saat tahu Kama dengan sengaja mengerjainya dengan menyamar menjadi klien di Ruang Bicara.  “Terus sok-sokan datang dengan gaya sok gantengnya itu?” tanya Gege. 

“Tapi dia memang ganteng, kan?” tembak Samira. “Jujur. Menurut lo dia ganteng?” 

“Ya ganteng .... Maksudnya gue nggak akan menyangkal ya.” Kama ... dengan gayanya yang sangat percaya diri itu, adalah laki-laki yang sadar atas keindahan fisiknya sendiri.

“Sampai lo ketar-ketir sendiri takut kelepasan ngomong, ‘Mas, pangku.’ Gitu, ya?” Samira kembali cekikikkan.

“Dua jam, lo bayangin!” Kepala Gege sampai meneleng saat bicara pada Samira. “Gue harus berduaan sama dia sekalian menghalau modus-modusnya dan nahan malu saat dia ungkit-ungkit tentang rekaman itu.”

“Dia masih bahas kondom di laci kamar lo?” tanya Samira, kembali wajahnya tampak menahan tawa. 

“Masih lagi!” 

“Kayaknya dia bakal ungkit terus sampai kondomnya beneran kepake nggak, sih?” tanyanya. “Lo inget kan waktu dia jadi Kordes? Dia selalu mengusahakan apa pun supaya prokernya berhasil.”

Gege menggeleng. “Gue nggak akan ladenin dia lagi,” putusnya. “Gue udah berkali-kali melanggar kode etik dengan menerima Tante Chiasa, kali ini gue nggak mau lagi main-main dengan Kama.  Gue harus menolak klien dengan multiple relationship.

“Tapi dia beli waktu lo, Ge.”

“Tapi nggak bener-bener konseling, kan? Karena ya ... nggak akan bisa. Gue sendiri nggak bisa objektif untuk menilai apa yang dia sampaikan ke gue.” Gege mendengkus saat Samira hanya mengangguk-angguk. “Berkali-kali gue bingung, pertanyaan yang gue sampein ke dia tuh, sebenarnya pertanyaan dari ‘gue yang sebagai konselor’ atau dari ‘gue yang mantan tunangan Kama’?”

“Tapi kan dia lagi usaha,” balas Samira. “Kalau dia nggak dapat celah dari cara pertama, dia akan cari cara lainnya, kan? Apalagi dia tahunya hubungan lo sama Axel lagi nggak jelas.”

Apakah ini yang Kama rasakan saat Gege mengejar-ngejarnya dulu, ya? Entah mengapa, ini terasa menyebalkan sekali.

“Oh iya, ngomong-ngomong soal Axel, lo udah bilang sama orangtua lo? Kalau kaliam udah putus?” tanya Samira. 

Gege menggeleng. “Belum.” 

Samira menampakkan ekspresi wajah heran. “Mendingan lo cepetan ngomong deh, sebelum orangtua lo berharap lebih banyak lagi sama hubungan kalian berdua.” 

“Mereka nggak pernah mengharapkan apa-apa sih dari hubungan gue dan Axel .... Mereka tahu gue nggak mungkin segegabah itu untuk melanjutkan hubungan dengan Axel ke jenjang yang lebih serius.” 

Lalu, Gege mengingat bagaimana malam-malam Yaya berkata, Kalau kamu merasa semuanya nggak bisa diteruskan ... kamu bisa berhenti, nggak perlu memaksakan apa pun.

“Lagian gue sama Axel masih ... berhubungan baik kok. Banyak kegiatan sosial yang kami rencanakan.” Kunjungan ke Rumah Mimpi, yayasan anak yatim piatu yang dikelola oleh salah satu rekan orangtuanya, adalah tempat tujuan mereka berikutnya. “Nanti sore bahkan gue punya janji ketemu sama dia.” 

“Yah ....” Samira mengangkat kedua pundaknya. “Memang sayang banget sih untuk nge-cut off cowok sepositif Axel.” 

“Tapi lo tenang aja.” Gege mengangkat satu tangan. “Gue akan memberi batasan yang jelas kok. Gue nggak akan kasih celah buat dia berharap lagi sama hubungan kami yang udah berakhir kemarin.” 

Samira hanya mengangguk-angguk. Setelah seiris cake di atas piring kecilnya habis, dia meraih air mineral dan meminumnya hingga habis setengah. Selama melakukan kegiatan itu, dia terus memperhatikan Gege. Setelah menaruh kembali botol air mineralnya, dia kembali bicara. “Nggak tahu kenapa ya, Ge .... Gue seneng deh, ngelihat lo yang kayak gini.”

Gege mengangkat alisnya. “Maksudnya?” 

“Gue seneng lihat lo yang ... mulai lepas kayak gini sama perasaan lo sendiri. Nggak banyak ditahan-tahan lagi. Kayak ... kalau suka ya lo bilang suka. Kalau nggak nyaman, ya lo bilang nggak nyaman.” Samira tersenyum lebar. “Gue nggak tahu ya, ini lo berubah menjadi Gege yang baru, atau justru waktu empat tahun ini bikin lo mengembalikan Gege yang sebenarnya ada di diri lo?” 

 “Gue nggak tahu deh, ini tuh ... aneh nggak sih, Miw? Kayak—maksudnya, orang kan dewasa tuh makin tenang ya, gue malah kebalikannya nggak, sih?” 

Samira menggeleng. “Nggak. Ini nggak aneh. Lo nggak aneh. Sama sekali,” jawab Samira. “Gue malah ... kagum sama lo yang sekarang. Gue kayak ... bisa merasakan energi positif lebih banyak dari Gege yang sekarang.” 

“Oh, ya ...?” Gege menggumam kecil. 

Apakah ini artinya dia sudah sembuh dari segala cemasnya selama ini? Sehingga dia kembali menjadi Gege  jujur dan bebas mengekspresikan keinginannya? 

Dia kembali pada Gege yang tidak diminta terus memikirkan perasaan dan ekspektasi orang lain. Mereka yang menaruh harap terhadap keputusannya, kisah cintanya, juga ... hubungannya. 

Kini, dia bisa melihat Gege kecil yang tengah berlarian sambil tertawa di ujung matanya. Gege yang begitu ekspresif atas perasaannya pada Kama tanpa memikirkan perasaan siapa-siapa. 

“Gue takut banget tiba-tiba balik lagi jadi Gege Cegilnya Kama,” gumam Gege sedikit meringis.

Samira kembali melepaskan tawa. “Bukannya udah?” tanya Samira. “Tapi lo sekarang punya pilihan untuk tetap mengumpat dan denial, sih, walaupun gue tahu hati lo ketar-ketir.”

 Gege mendengkus. “Lo tahu nggak sih, Miw?” Ucapan Gege membuat Samira menyimak dengan cara mencondongkan tubuhnya ke depan. “Dulu tuh gue ... kacau banget .... Dulu, waktu SMA, gue udah merencanakan untuk beli lingerie kayak gimana dan thong merek apa untuk dipakai di depan Kama saat gue nikah sama dia nanti.” Kali ini Gege tidak peduli saat Samira terus-terusan tertawa dan mengganggu pengunjung lain. Karena kini Gege malah tertegun, lalu menggumam pelan. “Gue sempat ngaku tentang hal ini nggak ya di depan Kama waktu mabuk ...? Kok, gue jadi kepikiran ....” 

***

Demi memenuhi hobi barunya, yaitu memancing, kakeknya sengaja membeli villa di daerah Bogor. Rumah kayu dengan sisa lahan hijau yang luas itu memiliki kolam ikan di halamannya. Sehingga hari ini, Kama mengikuti keinginan Handa—kakeknya itu, untuk memancing. 

Di sana, Pia dan Kale sudah tiba lebih dulu sejak pagi. Sementara Kama menyusul kemudian. Dia lihat Ibun, neneknya, tengah menyiapkan bahan makanan di teras rumah dibantu oleh seorang asisten rumah tangga yang dibawanya dari Jakarta. 

“Mas Kama!” Panggilan sayang Ibun pada Kama saat melihat Kama keluar dari mobilnya dan melangkah mendekat. Wanita itu memeluknya erat, mencium keningnya, pipinya kiri dan kanan. “Ya ampun, kangen sekali Ibun.” Padahal, mereka baru saja bertemu dua Minggu yang lalu.

Oh, mungkin untuk ukuran wanita paruh baya yang sehari-harinya tidak melakukan kegiatan apa-apa selain menyirami tanaman bunga di rumah kacanya, waktu dua Minggu itu sangat panjang, ya? “Ibun apa kabar?” 

“Baik. Ibun baik,” jawabnya. Masih sambil mengusap-usap wajah Kama. “Mia nggak bisa ikut, ya? Tadi telepon, katanya banyak pekerjaan di kantor penerbitan.” 

“Iya. Mau launching buku baru katanya, jadi harus meeting sama tim-nya.” 

“Oh, ya, ya .... Eh, mau makan, Mas?” 

Kama menggeleng. “Nanti deh, Bun. Masih pagi, aku nemuin Handa dulu.” Kama lalu melambaikan tangan pada sosok yang duduk menunggunya sambil memegang alat pancing dengan kail yang sudah dia lemparkan ke tengah kolam. 

Sosok itu, yang duduk di antara Pia dan Kale, kini balas melambaikan tangan ke arahnya. 

Oke. Di sini lah Kama saat ini. Duduk di kursi, di atas lantai kayu yang berada di pinggiran kolam ikan, beratap tenda yang membentang mengelilingi teras kayu menaungi empat pemancing di bawahnya. 

Kama ikut bergabung dengan tiga pria lain yang sudah menangkap satu ikan masing-masing di dalam ember berisi air yang ditaruh di dekat kaki kursi. 

Ada Kale di sana, yang paling santai. Alat pancingnya dia injak ,sementara satu tangan memainkan ponsel, tangan yang lain menggigit buah pisang, buah yang Ibun sediakan untuk menemani waktu memancing mereka di sana.

Sesaat Kama tertegun, pisang yang ada di atas piring itu, malah mengingatkannya pada kronologi kejadian kemarin sore. Kama meringis kecil, Ngilu banget lagi tiba-tiba. [Additional Part 58]

“Pisang, Ka?” Handa menyodorkan satu piring pada Kama.

Namun Kama berjengit menjauh, responsnya yang terkejut itu memang terkesan berlebihan sehingga menarik perhatian Kale dan Pia. 

“Nggak, Nda. Nanti aja,” tolak Kama.

“Lo ke mana dulu deh, Ka? Lama banget.” Suara Kale terdengar menggerutu. 

“Gue ada kerjaan sebentar di kantor.” Sebelum kembali berangkat ke Pekanbaru besok pagi, ada beberapa hal di kantor yang harus dia selesaikan walau seharusnya hari ini dia mengambil cuti kerja untuk persiapan keberangkatan besok. “Gue. Kerja.” Ucapan Kama penuh penekanan. “Nggak kayak lo. Pengangguran.”

Sementara itu, Kale hanya menatap Kama dengan tatapan tidak suka. 

Lihat? Bukankah seharusnya Kama yang menatapnya dengan tatapan demikian? 

“Kale ini, mau ngapain ke depannya ...?” tanya Handa. “Mau bisnis, atau mau meneruskan perusahaan Pia di kantor? Harus punya tujuan, nggak boleh terlalu lama santai, Le ....” 

“Tuh ....” Kama menggumam seraya memasang alat pancingnya. Melemparkan kail ke kolam. “Dengerin tuh ....”

“Handa ....” Suara Kale berubah lembut. 

Dasar penjilat.

 “Handa tenang aja. Aku punya tujuan yang jelas kok untuk hidupku. Aku bakal kuliah lagi,” janji Kale. “Sekarang aku cuma lagi istirahat aja, Nda.” 

“Istirahat tuh bukan artinya nggak melakukan apa-apa, Le ....” Handa masih menasehati.

Dan Kama puas sekali. 

“Ngerti, Handa ....” Suara Kale ditekan lebih rendah di antara heningnya suasana kolam ikan dan pancing yang belum menyangkut. “Aku diem-diem gini, juga memikirkan banyak hal.”

Kama menoleh, menatap Kale dengan kening mengernyit. Banyak hal katanya? 

Kale kembali bicara. “Handa nggak tahu, kan? Aku beli Bitcoin dari hasil jual mobil.”

Kama menoleh lagi, padahal sesaat tadi dia memutuskan untuk tidak memedulikan racauan anak sinting itu. “Maksud lo, hasil jual mobil gue?” 

“Yap.” Kale menjentikkan jari. “Tepat sekali, Mas Kama. Mobil Anda saya alihkan untuk investasi Bitcoin, dan Anda tahu sekarang harga perkoinnya? Satu koma tujuh miliar.” Kini telunjuknya menunjuk wajah Kama. “Jangan macam-macam, ya. Jangan bicara sembarangan, karena satu keping Bitcoin yang saya punya bisa membeli mulut Anda.” 

Kama mendecih sinis. Memang tidak seharusnya dia memedulikan racauan adiknya yang biadab itu. 

“Kok, bisa sih, kamu jual mobil Masmu sendiri, Le?” tanya Handa, lalu menoleh pada Pia, anaknya yang sejak tadi diam saja. “Ri, anakmu ini lho ...?” 

Pia berdecak, menarik kail, yang ternyata sudah kosong. Ikan lebih cerdik mengelabui dan memakan umpan tanpa melahap kailnya. Pia kembali memasang umpan baru. “Kama udah berhasil beli mobil baru kok sekarang.” 

Handa menggerakkan ibu jarinya. “Lho, ya tapi tetap nggak boleh menjual barang milik orang sembarangan.” 

“Nggak jual sembarangan, Nda.” Kale meluruskan. “Kama punya utang, dan dia bayar pakai mobil.” 

“Utang apa sampai jual mobil?” Handa semakin penasaran.

“Ada lah pokoknya, Nda ....” Kale mengibaskan tangan. “Rumit urusannya.” 

“Urusan cewek, Nda,” sambar Pia. 

“Cewek?” Handa semakin kebingungan. “Kalian berdua rebutan cewek?” 

“Bukan.” Kama ingin sekali mencoba meluruskan. Namun, sungguh, dia malas sekali membahas hal-hal konyol yang terjadi di masa lalu. “Nggak pernah rebutan cewek kita, Nda. Selera kita beda.”

“Sama! Selera kita sama!” Kale langsung meralat cepat. “Kak Gege kan selera kita?” 

Pia hampir saja memukulkan alat pancingnya ke kepala Kale. “Cewek kakaknya itu lho, masih aja mau diembat. Nggak puas ngambil mobil sama motornya?” 

“Ya elah .... Itu pengorbanan namanya, Bang Bro.” Kale mengentengkan. “Mobil sama motor mah kecil.” 

“Pengorbanan, pengorbanan .... Pengorbanan macam apa yang nggak menghasilkan apa-apa?” tanya Pia. 

Ini nyindir banget nih. 

“Ya makanya, kejar lah, Ka .... Biar pengorbanan lo nggak sia-sia. Biar gue nggak semakin dianggap jahat karena jual mobil dan motor lo di saat lo nggak berhasil mendapatkan Kak Gege.” Kale menatap Kama gerah. “Kayak Yesa tuh .... Diem-diem gitu, pusing banget tuh dia. Beban mental, Land Cruiser udah di tangan, tapi lo sama Kak Gege malah putus.” 

“Lo dukung gue sama Gege akhirnua?” tanya Kama. Tumben? Otaknya bener? 

“Ya, kalau boleh jujur, memang idealnya lo tuh berakhir sama Kak Gege, Ka ...,” ujar Kale. Entah jujur atau ada maksud terselubung karena biasanya tidak demikian, kan? “Gue berharap lo bisa balik lah ....”

“Serius, nih?” Kama mengernyit. 

“Serius lah. Kenapa emang?” Kale balas mengernyit.

Kama menggeleng. Namun diam-diam dia menjawab, Lo nggak akan syok kalau tiap hari leher gue merah-merah dengan alasan tungau seandainya Gege balik jadi cewek gue? 

Tidak lama setelahnya, Ibun datang membawakan buah-buahan kering untuk camilan sebelum mereka makan siang. 

“Makasih, Ibun!” Lalu, Kale yang selalu ekspresif dan physical touch secara terang-terangan itu, mencium pipi dan memeluk Ibun di saat Kama hanya meraih tangan wanita itu dan menciumnya diam-diam.

“Usaha yang bener lah, Ka .... Kalau mau balikan.” Lho, ternyata percakapan tadi diseriusi oleh Pia. Kini, Pia menoleh pada Kama, bicara di depan Handa dan Ibun, mereka tahu kisah pertunangan Kama yang kandas empat tahun lalu. “Apa pun usaha kamu, entah itu terhadap Gege atau pun terhadap kedua orangtuanya, harus siap mendapatkan penolakan terlebih dulu,” ujarnya. “Dianggap nggak pantas. Dianggap ... nggak layak. Tapi kalau kamu bisa melalui semuanya ..., restu itu akan datang dengan sendirinya.” 

“WEH, INI BARU ABANG GUE NIH!” Kale berteriak heboh sekali sambil bertepuk tangan sampai Handa dan Ibun terperanjat. “Denger tuh, Ka. Denger.” 

Ibun mengusap pundak Kama. “Benar. Harus siap untuk ditolak.” Wajahnya tersenyum saat Kama menoleh. “Tapi ya nggak apa-apa, jangan gampang menyerah kalau memang tujuannya Gege.” 

Kama balas tersenyum, dia meraih tangan Ibun di pundaknya, mencium punggung tangannya. “Aku mungkin bisa memperjuangkan Gege. Aku mengenal Gege. Aku ... tahu celah di mana aku harus berusaha dan berhenti dulu untuk melihat responsnya,” ujar Kama. “Tapi kalau Om Favian .... Bukan nggak berani, aku cuma bingung mulai dari mana.” 

“Mulai dari mana?” tanya Pia. “Mulai segalanya secara alami aja, Ka. Kamu bekerja sama Om Favian sekarang, kan? Tunjukkan kalau kamu ... bertanggung jawab dengan pekerjaan kamu, tunjukan sikap terbaik yang memang selama ini biasa kamu lakukan.” 

“Tunjukkin nilai PKn lo,” sambar Kale. Membuat semua orang melihat ke arahnya. “Lho, kata Pia, Om Favian selalu nyombongin nilai PKn-nya, kan?” Kemudian dia beralih pada Kama. “Nah, Lo tunjukkin lah, nilai PKn lo. Kebetulan bagus nggak?” ujarnya. “Ya kalau nggak, minimal hafal Pancasila sama Pembukaan Undang-Undang lah.” 

“Sambil tunjukkan sikap menerapkan norma-norma kehidupan yang baik.” Handa malah ikut-ikutan ngawur. 

Sementara itu, Ibun hanya tertawa. “Maksudnya gimana?” tanyanya. “Kama harus bikin video saat dia lagi bantu lansia nyebrang jalan? Atau bantu anak kecil ambil layangan nyangkut?”

Kale menyetujui. “Video lo lagi bagi-bagi nasi bungkus bisa tuh, Ka .... Lo upload tuh ke sosmed.” 

Mereka sebercanda ini?

Pia juga ikutan tertawa. 

“Tapi, Ka. Menurut gue sih, intinya ada di Kak Gege,” lanjut Kale. “Memangnya Kak Gege mau balikan sama lo?” Dia tengah memasang umpan di kailnya sambil menahan tawa. “Gimana respons dia ke lo setelah lo deketin? Baik nggak?”

Kama tiba-tiba ingat pada pesan yang dia kirimkan tadi pagi, yang sama sekali belum dibaca oleh Gege hingga saat ini. “Gue udah coba deketin dia kok.” 

“Terus?” Kali ini bukan hanya Kale yang penasaran, Pia juga ikut-ikutan.

“Ya .... Masih gini-gini aja sih sebenarnya, tapi—“

“Pastiin dulu lah, Kocakkk!” Kale lebih dulu memotong ucapannya. “Jangan tiba-tiba deketin Om Favian. Karena, Ka ..... Kalau Kak Gege udah mau. Jalan lo lebih gampang. Kalau Kak Gege  udah mau balik sama lo, Om Favian bisa apa?”

“Tapi kalau kamu mau berusaha memperbaiki hubungan kamu dengan Om Favian, nggak ada salahnya sih menurut Pia.” Pia kembali menatap Kama, membiarkan Kama untuk memutuskan sendiri.

Yah. Begitulah percakapan mereka. Banyak ngawur dan tertawanya.

Saat hari menjelang sore, selepas makan siang, Kama lebih dulu pergi dari tempat itu. Seperti yang Kale bilang, konyol sekali jika Kama tiba-tiba mendekati Om Favian sementara Gege masih menolaknya, kan? 

Jadi hari itu, dia berniat untuk menemui Gege. Mungkin menjemputnya di kantor? Walau pesannya belum dibaca sejak pagi tadi. 

Kama tiba di pelataran kantor Ruang Bicara pada pukul lima sore. Melihat beberapa orang keluar dari lobi dan berdiri di teras. Kama masih menunggu di balik kemudi, sambil menatap dirinya dari cermin, menatap penampilan dengan polo shirt hitam yang dia nilai tidak terlalu buruk. 

Sesaat setelahnya, Kama menemukan sosok wanita dengan blus marun yang ujungnya setengah tenggelam di batas pinggang rok dan setengahnya lagi keluar. Ketika kepala wanita itu bergerak menoleh ke kanan dan kiri, ujung rambut panjang yang separuh dijepit itu ikut bergerak-gerak. Dia menjinjing tas, tangan lainnya mengotak-atik layar ponsel. 

Dan kini, Kama memutuskan untuk keluar dari balik kemudi. Melangkah keluar dari mobilnya. 

Kama menatap wanita itu dari kejauhan, berharap ketikkan jemari di layar ponselnya, adalah untuk memberi kabar pada Kama yang pesannya dia abaikan seharian. 

Sesaat kemudian, Kama temukan senyumnya yang rekah. Namun, bukan, bukan padanya, melainkan pada sebuah mobil hitam yang kini berhenti di depan lobi dan membunyikan klakson hingga membuat Gege tertawa.

Axel, pria itu keluar dari mobilnya dan turun menghampiri Gege. 

Gege tidak lagi memegangi ponselnya, benda itu sudah dia taruh kembali ke dalam tas jinjingnya. Dan ya, ternyata pesan yang Gege ketikan, bukan untuk Kama. Karena Kama tidak kunjung menerima pesan apa pun darinya.

Mungkin dia mengetikkan pesan untuk pria yang kini menjemputnya? Yang membuat senyum cerahnya tampak padahal hari sudah beranjak sore dan melelahkan?

Kama melipat lengan di dada, setengah tubuhnya bersandar pada kap mobil. Masih memperhatikan dari kejauhan. 

Oke. Kama tidak seharusnya terpengaruh oleh keberadaan Axel, kan?

Kama sudah bersikap tidak peduli saat Axel menemui wanita itu kemarin. Dan seharusnya hari ini pun sama. Axel bukan masalah. 

Kama sudah mengantongi kejujuran Gege, saat dia mabuk dan mengatakan segalanya. Jadi seharusnya, Kama masih merasa posisinya ada di atas awan. 

Namun, saat melihat senyum cerah itu ditujukan untuk Axel sementara dia tidak pernah sama sekali memperlihatkannya pada Kama, membuat Kama sedikit berpikir bahwa ... dia harus lebih keras lagi berusaha. 

Kama sama sekali tidak berniat menghampiri Gege dan Axel yang kini tengah bicara. Namun tatap Gege yang menyadari keberadaan Kama, membuat Axel ikut menoleh dan mengikuti arah pandangnya.

Kama mengurai lipatan lengan di dadanya. Kedua tangannya kini masuk ke saku celana. Dia melihat Axel bicara pada Gege sesaat sebelum berbalik dan melangkah menghampirinya. Jadi, Kama menunggu Axel untuk mendekat ke arahnya. Mungkin pria itu hendak bicara? Atau mengatakan tentang apa-apa yang—

Pukulan kencang Kama terima di wajahnya saat dia belum berpikir apa pun tentang maksud kedatangan Axel padanya. Kama terhuyung, jatuh ke paving block. 

Sementara itu, Axel berhasil memukulnya untuk kedua kali sambil mengumpat dengan  suaranya yang tertahan. “Bajingan!” 

Dari kejauhan, Gege berlari. “Berhenti!” 

Ketika Axel hendak melayangkan pukulan ketiga, Kama berhasil menahan tangannya. Kama mencengkram pergelangan tangan pria itu dan memelintirnya. Kama bangkit, lalu mendorong Axel hingga kini dia yang terhuyung dan jatuh di pavingan. “Lo kenapa, Bangsat?” Kama menghampirinya. Berhasil memukulnya satu kali. 

“Lo brengsek! Berani-beraninya lo nidurin cewek gue anjing!” Axel belum berhasil bangkit, karena kini Kama berhasil menahan tubuhnya agar dulit bangkit.

“Stop! Kama, stop!” teriak Gege yang kini berusaha melepaskan cengkraman tangan Kama pada kerah Axel. “Kama!” Dia kembali berteriak saat Kama berhasil melayangkan satu pukulan di wajah pria itu.

Sesaat kemudian, Gege berhasil mendorong Kama untuk menjauh dari Axel.

Kama berdiri, dengan satu sisi wajah yang kebas dan menahan lehernya yang berdenyut nyeri saat Gege kini membantu Axel bangkit sambil memegangi lengannya. Sialan. Pria itu berhasil membuat Kama merasa disisihkan. “Kamu lihat kejadiannya, kan?” tanya Kama. “Dia tiba-tiba datang dan menyerang aku dengan—“

“Tapi kamu nggak berhak untuk melawan!” teriak Gege, di saat orang-orang di sekeliling tempat itu telah menumpahkan perhatian pada perdebatan mereka saat ini. “Renungkan apa kesalahan kamu! Kamu harusnya tahu kenapa Axel marah!” 

Jika dulu Kama akan mati-matian membela harga dirinya untuk kejadian semacam ini, maka kali ini hal itu tidak akan terjadi. Kama tidak akan membuang-buang waktu untuk lebih lama menjadi tontonan banyak orang yang penasaran tentang siapa yang salah dan benar.

Sementara itu, Gege masih menatapnya dengan matanya yang kini berair, penuh amarah. Napasnya tampak tersengal. “Kamu nggak berhak untuk membela diri ...!” 

Kama melepaskan tawa sinis. Lalu mengambil satu langkah mundur. Dia temukan sekat di tenggorokannya yang membuat napasnya sesak, tapi dia berusaha untuk bicara. “Ya .... Aku memang nggak berhak membela diri ... setelah segala hal yang pernah aku lakukan .... Iya, kan?” Kedua tangan Kama membenarkan kerah kausnya. Menarik napas, dia rasakan lagi denyut nyeri di kedua sisi lehernya. Lalu berbalik, dan memutuskan untuk pergi. 

 

***

 

 

 

 

 

Tim Kama? 

 

 Tim Axel?

 

Tim mana nih kalau keadaannya begini? Kusediakan lapak untuk war yang damai dan tidak anarkis di sini yaaa wkwkwkk. 

 

Ini kalau vote sama komennya ramaiii, besok aku bisa update lagi karena masih libur. Inget yaaa. Khusus. Kalau vote sama komennya jebolll. 😆😆

 

Ayokkkk. Bakar dulu deh yang banyakkk. Mana apinya manaaa 🔥🔥🔥🔥🔥🔥

post-image-6821e9fae913f.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Kkn
Selanjutnya Hello, KKN! | [60. Memberi Jeda]
726
266
Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak terima saat banyak laki-laki yang mendekat pada Gege dan menyatakan suka. Ternyata, usaha Gege sia-sia saat diingatkan bahwa cinta pertamanya adalah Kama.Ketegangan terus berkembang, hingga semua masalah bermunculan dengan sembarangan. Jadi, bagaimana Kama? Kamu tetap pada Laika atau memutuskan kembali pada Gege dan menyatakan suka? 24/11/24
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan