
"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"
Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.
Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.
Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...
Hello, KKN! | [51 Selamat Tinggal Welasasih]

Haiii 🌼
Waktu malam Minggu kemarin aku bikin Additional Part di Karyakarsaaa. Isinya menjelaskan semua hubungan yang ada di balik posko sebelum mereka ninggalin Welasasih keesokan harinya. Gimana nasib hubungan-hubungan yang sempat dekat itu akhirnya? Kalau penasaran baca aja yawsss. Ini Additional Part terakhir yang menceritakan kisah semasa KKN. Sisanya kita kembali ke kisah Kama-Gege after KKN. Hehe.

DAN OH YA!
Follow akun Instagram citra.novy kalau mau lihat foto tempat-tempat memorable di Welasasih yaaa. Di sana akan aku tunjukkan foto posko KKN, tambak ikannya Javin, Balai Desa, lapangan sepak bola, PUSKESMAS tempat masang banner wajah Yesa, dan banyakkkk lagi. Atau bisa juga ke akun TikTok ku yaws. Ada juga di sanaaa. 🥲

Yah, akhirnya tiba di part perpisahan ini, di mana anak-anak nakal itu harus ninggalin Welasasih dan Mak Wasih. Semoga nanti, mereka ada kesempatan untuk kembali ke Welasasih ya! Kita kangen-kangenan lagiii. ❤️
Sebelum bacaaa, mau kasih emot apa niyyy?
Ini ga edit lagi karena aku mau buru-buru ngerjain kerjaanku yang lain. Jadi tandain aja kalau ada typo atau kalimat tidak efektif nanti kuedit yaaa. 🏻
Kasih api yang banyak dulu boleh nggakkk??? 🔥🔥🔥🔥🔥
***
Hari itu, mereka harus bangun lebih awal. Semua barang yang telah dikemas semalam, kini tengah dibungkus dengan plastik wrap oleh Kama dan anggota laki-laki lainnya sebelum nanti diangkut ke mobil. Karena, mereka tidak menemukan mobil bak tertutup di sini untuk disewa sampai Jakarta. Untuk mencegah barang-barang basah karena air hujan selama di perjalanan, mereka membungkus kembali barang bawaan itu setelah ditutup oleh terpal nanti.
Antrean kamar mandi usai pada waktu pagi-pagi sekali. Semua sudah siap pergi walau sama-sama mengakui setengah jiwa mereka masih berharap KKN bisa mereka lakukan satu atau dua hari lagi.
Di tengah kesibukan itu, Gege yang baru saja berjalan melintasi ruang tengah melihat album foto KKN yang mereka cetak dan tiba hari kemarin. Album foto itu, sengaja mereka buat banyak dan sengaja menyisakan satu untuk disimpan di rumah Mak Wasih. Agar Mak Wasih bisa melihatnya kapan saja saat rindu.
Gege meraihnya. Melihat halaman pertama, foto para anggota KKN yang tengah tertawa menatap kamera di depan posko, di depan banner KKN 111 Welasasih saat pertama kali mereka tiba. Membuka lembar berikutnya, dia temukan banyak tawa dan senyum yang lega di sana. Kenangan Anggota KKN bersama warga, terutama Mak Wasih yang menghabiskan banyak lembarnya.
Gege tersenyum saat melihat Mak Wasih tertawa sambil memukul lengan Javindra. Tampak belum siap untuk difoto, tapi kamera telah menangkapnya dan menciptakan momen yang tampak sangat berharga. Lalu, beberapa bagian lain, hati Gege mencelus.
Terselip di antara ratusan foto itu, kenangan Gege dan Kama. Foto Gege dan Kama saat bersama seorang balita di acara Posyandu, yang diberikan tulisan, Jangan ganggu keluarga belum Cemara ini.
Lalu, foto Gege duduk di teras rumah Teh Lilih sambil menggendong Mina sementara Kama berjongkok di depannya sambil mengajak Mina bercanda.
Foto lain saat Gege duduk di depan rumah Mak Wasih dan Kama tampak merayu dengan berjongkok di depannya sambil bicara.
Empat puluh hari yang menciptakan ribuan kenangan itu, harus Gege tutup hari ini seiring dengan tertutupnya album foto.
Gege beranjak dari ruang tengah, bergerak ke luar. Dia temukan kesibukan di sana, saat Gesang benar-benar memutuskan tali banner yang mengikat kedua tiang di beranda. Di halaman, Mak Wasih tampak menyaksikan bagaimana kini banner itu diturunkan dan ditaruh di beranda.
“Spidol dong, Ngga,” pinta Gesang. “Kasih tandatangan di sini setiap anggota ya,” ujarnya.
Mereka semua bergerak untuk melakukannya, membubuhkan satu tanda tangan di atas banner dengan pesan-pesan manis. Setelah semua selesai, Gege menyerahkan spidolnya pada Mak Wasih. “Mak tandatangan juga,” pintanya..
Mak Wasih tersenyum, lalu bergerak membubuhkan tandatangan seperti permintaan Gege, menjadi bagian dari KKN 111, seperti selama ini beliau selalu membersamai setiap kisah mereka.
“Teh Gege!” Panggilan itu terdengar. Seruan pelan dengan suaranya yang bergetar.
Gege menoleh, pada sosok gadis yang kini muncul di jembatan. Pagi-pagi sekali dia sudah datang ke posko setelah semalam Gege mengabarinya, bahwa hari ini dia dan teman-teman KKN-nya akan meninggalkan Welasasih.
Mira. Gadis kuyu dengan tubuh kurus dan perutnya yang masih tampak rata itu, kini berjalan cepat ke arah Gege dengan wajahnya yang pucat dan senyumnya yang selalu tampak sendu.
Gege bergegas menghampiri, hingga mereka bertemu di ujung jembatan sebelum gadis itu tiba di halaman posko. “Hai ....” Gege tidak menyangka sekali dia akan datang ke posko dalam waktu sepagi ini. Gege pikir, pesannya yang diabaikan semalam itu akan berakhir tanpa pertemuan.
“Aku seneng banget bisa ketemu Teh Gege sebelum Teh Gege pulang.” Senyum lebarnya yang sendu itu diiringi dengan matanya yang berkaca-kaca. “Teh ..., aku nggak bisa ngasih sesuatu yang berharga untuk Teteh sebelum Teteh pulang .... Tapi aku ingin menyampaikan kabar baik ... bahwa, aku sudah sepenuhnya menerima janin ini, Teh.”
Gege tersenyum mendengar pengakuan itu. Walau hatinya perih sekali melihat mata sendu yang hampir melelehkan air mata itu.
“Akhir-akhir ini ... aku udah jarang nangis. Akhir-akhir ini aku lebih kuat. Kalau aku lagi sedih, aku bisa peluk Ibu dan ceritakan semuanya,” ujarnya. “ Sekali lagi terima kasih ya, Teh.”
Gege mengangguk, menatap matanya lekat-lekat. “Ini hadiah yang paling berharga buat aku sekarang. Terima kasih karena telah menitipkan kabar bahagia ini.”
Mira tersenyum lepas, seiring dengan air matanya telah berhasil meleleh. Dan Gege memeluknya. Membiarkan selama beberapa saat Mira menumpahkan tangis di pundaknya.
“Mira, retak yang kamu punya itu bukan akhir. Seperti bunga di yang kadang akan kamu temukan di antara celah batu. Begitu cara keajaiban-keajaiban kecil akan tumbuh untuk kamu.”
Tangis Mira terlepas lagi dengan suara lebih lirih. Selain terisak, dia juga sempat mengerang kecil, terdengar sakit. Beruntung sekali, gadis itu kini mampu melepaskan perasaan-perasaan yang selama ini mengekangnya dalam diam.
Di sela waktu itu, Kama datang. Dia membawa beberapa lembar tisu yang diberikannya pada Gege, membuat Gege mengucapkan kata ‘terima kasih’ padanya tanpa suara. Laki-laki itu berlalu lagi, sibuk dengan barang yang dikemas dan kini diangkut ke beranda.
Saat pelukan itu terurai, Gege menyerahkan lembaran tisu pada Mira. Dan selama beberapa saat, dia mengusap sudut-sudut matanya. Lalu, dengan gulungan tisu yang masih berada di genggaman, dia merogoh saku celananya. “Teh Gege .... Aku benar-benar nggak punya apa-apa untuk Teh Gege, tapi ... aku takut sekali Teh Gege melupakan aku. Jadi, aku membuat ini.” Dia menunjukkan sebuah pin manik-manik berwarna pastel yang dibentuk seperti bunga kecil. “Boleh aku pasangkan ini baju Teteh?”
Gege mengangguk. “Boleh.” Dia tersenyum.
Saat Mira melangkah mendekat dan memasangkan pin itu di kerah jas almamaternya. Gege mati-matian menahan air matanya yang telah bergerumul di sudut mata. Setelah selesai, Mira melangkah mundur. Gege lihat warna pastel itu tampak kontras di antara warna marun gelap jas almamaternya. “Makasih ....” Suara Gege bergetar, lirih.
Gege bahkan tidak bisa menahan tangisnya saat Mira pamit untuk pulang dan melambaikan tangan di atas ojek motor yang tadi membawanya datang ke Welasasih.
Masih berdiri di sana.
Membelakangi kesibukan di posko.
Karena dia tahu, saat Mira pergi, pertahanannya kalah sehingga air matanya meleleh berkali-kali.
“Yah .... Gue nggak punya tisu.”
Suara usil yang hadis di sisinya itu membuat Gege memalingkan wajah, menyembunyikan tangis dari laki-laki menyebalkan yang tidak lain adalah sepupunya. Gege melihat Yesa kini berputar untuk mengejar tatapnya.
“Sini, sini, gue lap pakai kemeja,” ujarnya sambil menarik ujung kemejanya ke arah Gege.
Namun, Gege menepis tangan Yesa. “Diem ah! Rese!”
“Ckckck ....” Dengar kan decakkan lidahnya itu? Mengejek sekali. “Totalitas banget kalau udah bantuin masalah orang,” pujinya. Entah benar memuji atau sekadar mencibir.
“Berisik.” Setelah air matanya kering, walau jejak tangisnya dia tahu masih ada, tubuhnya berbalik untuk kembali ke posko.
Namun, Yesa memotong langkahnya. Kembali dia mengajak Gege untuk bicara. “Lo tuh ... sadar nggak sih, banyak banget pengaruhnya untuk masalah orang lain?” tanya Yesa. “Lo bisa bantu banyak orang; salah satunya Mira—tadi. Terus Teh Lilih, Neng Marisa, belum lagi para remaja yang suka datang ke Ruang Berbagi untuk konsultasi masalah mereka.” Dia menatap kedua mata Gege, bolak-balik. “Lo bahkan bisa menyelamatkan rumah tangga Teh Yani, Ge. Masa lo nggak bisa menyelamatkan hubungan lo sendiri?”
“Bukan nggak bisa—“
“Tapi memang nggak niat. Dan lo nggak mau,” potong Yesa. “Lo cukup berperan bagi mereka untuk mengambil keputusan yang baik,” lanjutnya. “Dan gue berharap lo juga bisa ambil keputusan yang bikin lo bahagia.”
Gege mengangguk. “Gue yakin gue akan bahagia kok.”
Yesa mendecih.
Merasa keputusannya tidak dianggap benar, Gege kembali bicara. “Yes .... Gue hanya sedang melindungi diri gue sendiri—bukan hanya dari rasa kecewa, tapi juga dari kemungkinan luka lama yang bisa terulang lagi. Sekaligus, ini adalah penegas tentang kesalahannya di masa lalu, bahwa kehadiran itu nggak bisa dipinjam atau dikembalikan begitu saja ketika sudah lama dia tarik dari gue.” Gege mengulang kalimat yang sama, yang pernah dia ucapkan pada Teh Lilih sebelumnya.
Namun kali ini, kalimat itu dia tujukan untuk dirinya sendiri.
“Semoga lo ngerti. Ya?” Kali ini, saat Gege melangkah pergi, Yesa tidak lagi menahan langkahnya.
Yesa berdiri di sana, membiarkan Gege mendekat ke arah beranda, pada para anggota yang baru saja selesai mengeluarkan seluruh barang bawaan turun dari beranda.
Karena kini, di beranda itu ada Mak Wasih yang menyediakan makanan untuk anak-anaknya. Ada tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu berisi nasi hangat, sayur oyong, dan pepetek [ikan-ikan kecil yang diberi bumbu tepung lalu digoreng kering]. Mak Wasih pernah bercerita bahwa ikan-ikan kecil itu dia sendiri yang menangkapnya di pinggiran sawah setelah selesai bekerja sambil berjalan pulang.
Sarapan yang mahal.
Yang tidak bisa dinilai oleh berapa pun yang.
Sarapan yang ... tidak akan lagi mereka temukan saat sudah kembali ke Jakarta.
“Ayo sarapan, sarapan,” ajak Juana. “Sarapannya harus pakai makanan berat, kata Mak Wasih. Soalnya kita mau pergi jauh, biar nggak masuk angin.”
Semua sudah mengambil piring, duduk melingkar di beranda. Namun Rajata, kini bergerak turun dan mengenakan sandalnya untuk menjauh dari posko.
“Ja?” Gesang memanggilnya. “Makan dulu!”
“Udah,” jawab Rajata sambil berlalu. “Lanjut aja.”
Samira hanya menoleh pada Rajata yang kini semakin jauh melangkah ke arah halaman.
“Ja, yeu ....” Javindra berdecak kemudian. Lalu, “Miw, suapin Miw, itu bayi lima bulan lebih dua puluh tahunnya nggak mau makan.”
“Sekop bekas bikin gapura masih ada kayaknya, Miw. Suapin tuh, Miw,” lanjut Yesa.
Namun, Rajata tidak terpengaruh oleh ejekan itu. Dan Samira kini memalingkan wajah pura-pura tidak mendengar apa-apa.
Apa yang terjadi pada dua manusia itu sebenarnya? [Additional Part 50]
Perhatian Gege kembali pada Mak Wasih yang kini beranjak dari beranda. Dia beranjak ke rumahnya hanya untuk membawa satu kotak bekal dari plastik yang dimilikinya. Kotak makan yang dia dapatkan dari acara hajatan yang dia kumpulkan dan bersihkan.
Setelah kembali ke beranda, Mak Wasih sibuk mengambil piring dan melayani satu per satu anak-anaknya. Mengambilkan nasi, menuangkan sayur, membagi ikan goreng tepung sama rata pada setiap piring.
Lalu, dia pisahkan sebagian ikan, seplastik sayur, dan satu bulatan nasi dalam sebuah kotak makan plastik yang dibawanya tadi. Dia singkirkan kotak itu ke sisi sebelum kembali melayani anak-anaknya di posko untuk terakhir kali.
Mak Wasih tampak sibuk, tapi tampak senang dengan keramaian itu.
Jika nanti mereka pergi, bagaimana dia menghadapi hari-harinya lagi?
Mak Wasih akan kembali sendiri. Menetap dan hidup dalam suasana yang sepi dan sunyi.
Gege belum berhasil memasukkan satu pun suapan ke mulutnya. Sejak tadi, dia hanya menggigiti ujung kepala ikan kecil sambil menatap Mak Wasih. Saat ini, jangankan untuk makan, untuk menarik napas saja dia kesulitan.
Makan di hari terakhir KKN ternyata adalah momen paling berat, ya? Paling menyedihkan. Sebelum Gege melepaskan tangisnya sendirian, tangis Sabine lebih dulu pecah. Kesedihan itu, ternyata sama-sama mereka rasakan. Sabine menaruh piring dan menangkup wajahnya dengan telapak tangan, lalu ... mengeluarkan suara isakan yang pilu. Dan di detik itu, tidak ada lagi perempuan yang sok kuat. Tangis-tangis lirih itu, akhirnya terlepas juga. Piring yang Gege pegang, kini diraih menjauh oleh Kama, laki-laki itu bergerak memeluknya, meredam tangis pilu Gege dalam dadanya.
***
Semua anggota kini bergerak dari ruang tengah untuk keluar posko, termasuk Gege yang sejak tadi berjalan di sisi Kama. Seiring langkahnya terayun meninggalkan, suara-suara yang selama empat puluh hari ini mengisi ruangan-ruangan itu seolah-olah terdengar lagi di samping telinganya, samar, teracak, saling tumpang tindih seolah-olah minta diingat.
“Ayo, bangun, bangun! Inget proker selesaiin!”
“Mandinya antre ya. Tadi gue udah duluan ambil antrean.”
“Guys, ayo makan dulu baru berangkat ke balai desa.”
“Abis makan cuci piring sendiri, ya!”
“Tempenya satu orang cuma boleh ambil dua ya.”
“Yesaaa, ada Neng Marisa di depaaan!”
“Siapa yang mau gue bonceng?”
“Siapa yang hari ini jaga posko? Nitip Sindy, ya!”
“Ona, kata Gesang cepetaaan!”
“Kamaaa, tolong dong ini gimanaaa?”
“Gege, anter ke rumah Pak Kadus dong!”
“Siapa yang piket hari ini?”
“Ini sepatu punya siapa? Mau diberesin apa gue buang?”
“Nyebat, nyebat dulu, bentarrr.”
Mereka tiba di beranda yang kosong karena semua barang sudah diangkut ke dalam mobil yang mereka sewa. Halaman itu kini, tidak lagi diisi oleh kebisingan program kerja Javindra yang membuatnya tampak sibuk setiap hari. Remi, merokok, ngopi, begadang, posko itu menjadi saksi bagaimana para laki-laki melepas penat mereka di beranda dan halaman.
“Yah, udah nggak bakal sering nyebat bareng lagi kita,” ujar Javindra saat mereka baru saja selesai mengenakan sepatu dan berdiri di halaman.
“Masih lah, tinggal ngumpul di kosan Gesang,” sahut Jenggala. “Ya, Ges?”
Gesang mengangguk. “Ayo aja gue. Kapan pun mau ke kosan, datang aja.”
Dan Sakala menepuk-nepuk pundak Gesang mendengar ucapannya itu.
Masih tersisa Sabine yang tengah menyimpul tali sepatu sambil duduk di beranda dengan bantal bunga disimpan di sisinya. Semua menunggu. Sementara Gesang pergi lebih dulu ke tepi jalan untuk memastikan semua barang sudah dinaikan..
Di selang waktu itu, Mak Wasih yang baru saja keluar dari rumahnya sambil menjinjing satu kantung plastik hitam di tangan, kini menghampiri Rajata. Di dalam kantung plastik itu, dia memasukkan kotak bekal berisi makanan yang tadi sengaja dia pisahkan.
Setelah tiba di hadapan Rajata, tangan Mak Wasih mengangsurkan kantung plastik itu. Jemarinya yang saling mengumpul membentuk kuncup bunga di tangannya itu bergerak ke arah mulut. Makan. Bergerak lagi. Tadi Rajata belum makan.
Rajata menatap Mak Wasih dengan tatap takjub. Cepat dia meraih kantung plastik itu dari tangan Mak Wasih. “Makasih, Mak .... Nanti aku makan sambil istirahat di perjalanan.”
Mak Wasih mengangguk seolah-olah dia mengerti atas kata yang diucapkan oleh Rajata. Tangannya mengusap pundak Rajata.
“Mak Wasih harus sehat ya di sini,” ujar Kama. Dia bicara dengan gerak bibirnya yang sengaja dilambatkan agar Mak Wasih mengerti. Kama menarik napas sebelum kembali bicara, seolah-olah, berbicara dengan Mak Wasih adalah hal yang berat.
Memang berat.
Gege mengerti apa yang Kama rasakan sekarang, saat menatap dua mata teduh Mak Wasih.
“Jangan lupa telepon ya, Mak? Kasih kabar.” Tangan Kama menyentuh telinga.
Mak Wasih mengangguk.
“Jaga diri Mak Wasih baik-baik.” Kama mengatakan tidak lagi berucap dengan penekanan dan artikulasi yang jelas, samar oleh sesak.
Sementara itu, Mak Wasih baru saja mendekat ke arah Kama. Jemarinya yang gemetar itu menyentuh satu sisi wajah Kama. Menelengkan kepala, dia tatap lekat-lekat wajah anak laki-laki di hadapannya. Lalu, tangan Mak Wasih bergerak terayun di depan bibirnya. Terima kasih.
“Sama-sama,” jawab Kama. Kemudian, telunjuk dan ibu jarinya yang saling menyentuh itu terayun di depan bibir. “Maaf .... Kami ... sering mengganggu Mak Wasih. Kami ... sering merepotkan.”
Mak Wasih menggeleng, tangannya mengibas-ngibas. Tidak.
Kama masih menatap wajah renta di hadapannya. “Boleh ... peluk dulu?” tanyanya. “Sebelum pergi?”
Dan di detik itu, mata penuh kerut yang sejak tadi berkaca-kaca, mata yang menyimpan banyak sedih karena hendak ditinggalkan, kini melelehkan air matanya. Mak Wasih bergerak mendekat dengan langkahnya yang tergopoh-gopoh, dua tangannya menyambut pelukan Kama, memeluk anak laki-laki itu erat. Satu tangannya mengusap punggungnya dengan sayang seiring air matanya meleleh semakin banyak.
Anak laki-laki yang selama empat puluh hari ini selalu dia cari, selalu dia suguhkan pertama makanan yang dibuatnya. Kini, akan pergi lagi.
Anak laki-laki yang setiap sore selalu membuatnya datang ke posko dan bertanya, Mana Kama? Kini, sudah harus meninggalkannya.
Dalam pelukan itu, Kama melepas kacamatanya, air matanya tidak mampu dia bendung lama-lama saat tubuh ringkih itu berada dalam peluknya.
Hal itu membuat Gege ikut bergabung ke dalam peluknya, disusul anggota lainnya yang kini saling merentangkan tangan, saling merapat pada Kama dan Mak Wasih yang berada di tengah-tengah pelukan.
Pelukan itu berlangsung cukup lama, sebelum akhirnya suara Gesang yang beseru dari kejauhan terdengar. Biasanya, laki-laki itu akan berteriak dengan tidak sabar, “Ayo buruan, acaranya udah mau mulai!”
Namun kali ini, seruannya berubah menjadi, “Ayo buruan, kita udah ditungguin sama warga!”
Suara itu yang membuat para anggota KKN mengurai peluk, mereka melepaskan Mak Wasih, kecuali Kama yang kini tetap menggenggam tangannya. Kama menuntun tangan Mak Wasih saat mereka melangkah meninggalkan posko untuk menuju ke tepi jalan di mana mobil mereka telah di parkirkan.
Gege ingat, hari itu adalah hari Kamis. Di mana seharusnya para warga sudah meninggalkan rumah-rumah mereka untuk berangkat bekerja. Namun hari ini, mereka seperti sengaja meliburkan diri untuk melepas mereka pergi.
Di sisi-sisi sepanjang jalan yang akan mereka lalui itu, mereka berbaris, menatap ke arah kedatangan para anggota KKN yang selama empat puluh hari ini merecoki segala kegiatan mereka. Ada sebuah mobil bak yang diisi oleh seluruh barang bawaan para anggota KKN, terparkir sejajar dengan mobil Sakala. Di belakangnya, motor-motor para anggota laki-laki sudah siap untuk pergi.
Di sana, para warga berkumpul. Datang dari arah balai desa, ada para perangkat turut hadir untuk melepas kepergian mereka. Pak Kades, Bu Kades, Pak Ruhyat, Bu Emi, dan seluruh jajarannya. Lalu, berdatangan warga lainnya, Bu Nurma keponakan Mak Wasih yang pernah mereka temui. Pak Wisnu pemilik kebun kopi yang sering Javin bantu saat panen, Mang Sunar yang mengangkut sampah setiap pagi, Bu Hj Marwah, Teh Yani berserta mertua, suami, juga anaknya. Tidak ketinggalan sosok Bah Tata.
Lalu pada anak muda yang kini berbaris di sisi lain. Anggota karang taruna yang mereka kenali baik. Di antaranya ada Alvin yang anehnya diam saja saat melihat kepergian Keiya. [Additional Part 50]
Wajah-wajah itu berada di antara lautan manusia.
Dari arah SD, kini para guru memandu anak didik mereka untuk datang berbondong-bondong ke arah kerumunan. “Teteh dan Aa KKN, dadah! Hati-hati!” Para bocah kecil itu berteriak.
Gege balas melambai pada anak-anak berseragam putih merah itu dengan wajah-wajah yang dia kenali karena kerap datang ke posko. Naswa, Reva, Nida, Ana, Hasna, Ranu, Akbar, Rafa, Fahri, tangan mereka tidak berhenti melambai.
Di tengah keriuhan itu, Pak Kades berbicara pada Kama, anak laki-laki yang sama sekali belum melepas tangan Mak Wasih dari genggamannya. Pak Kades menyampaikan banyak pesan.
Dan dari arah lain, suara lain terdengar. “A Yesa!” Dia adalah Neng Marisa, yang kini turun dari motornya lalu berlari mendekat.
Yesa, tidak seperti biasanya yang akan langsung lari atau bersembunyi di belakang tubuh Gege atau Cleona. Yesa menghadapi sendiri gadis yang kini bergerak ke arahnya. Yesa tersenyum seiring langkah Neng Marisa semakin dekat terarah padanya.
“A Yesa!” Neng Marisa terengah-engah. “Untung belum terlambat,” ujarnya. Gadis itu mengangsurkan sebuah tas kecil pada Yesa. “Ini ... roti bikinan Neng. Buat di jalan ....”
Yesa langsung menerimanya tanpa ada drama penolakan.
Neng Marisa tersenyum. “Dimakan ya, A.”
Yesa mengangguk. “Iya, pasti dimakan kok. Makasih ya ....”
Neng Marisa balas mengangguk. “Sama-sama,” ujarnya. “Hati-hati .... Aa dan teman-teman, di jalannya.”
“Iya ....” Lalu, siapa sangka setelahnya Yesa akan kembali bicara. “Neng ..., jaga diri baik-baik di sini ya.” Ucapan yang sebelumnya tidak disangka-sangka akan keluar dari bibirnya. “Jangan pernah putus asa sama rotinya. Enak soalnya .... Semoga mimpi kamu untuk bisa kuliah, segera tercapai.”
Neng Marisa tidak bisa bicara. Dia hanya mengangguk dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.
“Nanti kalau A Yesa ke sini lagi, kamu harus sukses dengan jalan kamu sendiri ya?”
Neng Marisa mengangguk, dan gerak cepatnya itu membuat air matanya jatuh.
Yesa menatap gadis yang kini menunduk dalam-dalam di depannya. “Maafin A Yesa .... Maaf kalau Aa banyak salah.” Lalu, dia melanjutkan kalimatnya. “A Yesa berharap ... suatu saat kamu akan ketemu dengan laki-laki yang baik, yang bisa menerima kamu, yang tulus sayang sama kamu ....”
Kini, Neng Marisa sudah mau mengangkat wajahnya walau harus menunjukkan wajahnya dengan air mata yang berderai-derai.
Waktunya mereka harus pergi sekarang.
“Hati-hati di jalan ...!” ujar Pak Kades sekali lagi.
Sementara itu, kelima belas anggota KKN mulai bergerak menjauh meninggalkan kerumunan.
Namun di antara haru dan tangis yang mulai tampak di wajah-wajah itu, sebuah seruan terdengar. “Teh Gege!”
Gege menoleh, pada seorang wanita yang kini baru saja turun dari ojek motornya. Lalu berlari ke arahnya dengan dua tangan yang mengangkat rok agar langkahnya bisa terayun lebih lebar. Dia Teh Lilih.
Wanita itu langsung menghambur ke pelukan Gege dengan tangisnya yang tiba-tiba pecah. “Teh Lilih buru-buru pulang dari pasar karena ingat belum peluk Teh Gege untuk terakhir kali.” Suaranya terdengar di antara isak. “Teh Gege .... Tolong jangan lupain Teh Lilih, ya?” pintanya.
Suaranya itu, membuat wajah-wajah haru para warga di sana berubah menjadi tangis.
Teh Lilih menjauh. Dia menatap Gege sambil memegangi kedua tangannya. “Teh Gege ..., jangan pernah berubah, ya? Selalu baik hati .... Walaupun ... orang-orang yang sakit itu kelihatan nggak berharga seperti Teh Lilih, tolong ... tetap bantu mereka, tetap dengarkan keluh kesah mereka. Jadikan mereka beruntung seperti Teh Lilih ....”
Gege mengangguk. “Iya ....” Gege hanya bisa mengungkapkan kata singkat itu sebelum pegangan tangan Teh Lilih terurai. Lalu, “Salam untuk Mina ya, Teh,” ujar Gege sebelum bergerak menjauh bersama yang lainnya.
Sementara itu, Kama baru saja memeluk Mak Wasih untuk melepas genggaman tangannya.
Kama menjauh, Mak Wasih melambaikan tangan. Matanya menatap semua anak-anak KKN. Pada para anggota perempuan mulai masuk ke mobil Sakala, sementara para anggota laki-laki menaiki motor mereka. Jendela mobil sengaja dibuka, untuk membalas lambaian tangan para warga yang mengiringi mereka dengan raut wajah sedihnya.
“Kita berangkat ya,” ujar Sakala sambil menyalakan mesin mobilnya. Bergerak perlahan, mobil itu mulai menjauhi kerumunan dan melewati para warga yang berbaris di sisi jalan.
Tangis-tangis di dalam mobil terdengar.
Sementara Gege masih menatap ke belakang. Pada kesedihan. Pada ... seluruh warga yang tidak berhenti melambaikan tangan. Pada Teh Lilih yang tersenyum melepasnya dengan tangisan. Pada Mak Wasih ... yang kini berjalan cepat mengikuti mobil yang bergerak menjauh dengan lamban, sambil sesekali mengusap sudut mata dengan ujung lengan kebayanya, dia terus melangkah cepat. Langkahnya terhenti di tepi jalan saat mobil Sakala terlalu jauh untuk dikejar. Tangannya yang rapuh itu masih terus melambai, hingga sosoknya yang ringkih tampak kecil dan semakin lama semakin hilang ditelan jarak.
Selamat tinggal, Mak Wasih.
Selamat tinggal, Welasasih.
***
Sampai ketemu di Jakarta dan segala masalahnya. 🥲
Ada harapan yang mau disampaikan nggak saat anak-anak KKN itu kembali ke Jakarta?
Terusss yang mau disampein nggak untuk:
Mak Wasih
Teh Lilih
Mina
Jangan lupa langsung pantengin Ig cita.novy untuk lihat foto-fotonya ya!
Kasih vote jangan lupaaa. Komen yang banyak jugaaa. 🌼🌼🌼
Terus kasih apinya yang banyak biar aku semangat ngertik part 52-nyaaa🔥🔥🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
