
"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"
Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.
Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.
Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...
Hello, KKN! | [37. Tunangan Saya]

Haiii 🌼
Halooo. Selamat siang. Turut berduka atas bencana banjir di Bekasi, Bogor dan sekitarnya. Apakah ada teman-teman di sini yang terdampak juga?
Semoga Allah selalu melindungi kita sekeluarga dan selalu kuat dalam menghadapi ujian apa pun ya. Semoga segera surut dan cepat teratasi. Aamiin.
Pesan dari warga Bekasi untuk Javin.

Masih semangat nungguin cerita ini nggakkk? XD
4700 kata nih. 🥲 Tolong ramein ya. 🥲🫶🏻
Semoga cerita ini bikin bahagia dan menghibur yaaa. Sehat-sehattt di mana pun berada. Semoga Kama-Gegenya bisa terus nemenin sampai akhir mereka menemukan ujung ceritanya 🥲😋
Jangan lupa vote-nyaaa. Komennyaaa. Pengen dibakar boleh nggakkk yang banyaaak 🔥🔥🔥🔥
***
“Ka, demi apa anjir gue kewalahan banget. Ini gimana—lo bisa ke sini nggak?” tanya Javindra, suara paniknya terdengar dari speaker ponsel milik Kama.
“Nanti gue telepon balik,” ujar Kama sebelum mematikan sambungan telepon.
Siang itu, Kama baru saja selesai menemui Kepala Desa Welasasih. Langkahnya yang hendak keluar dari ruangan, kini tertahan. “Yah, pokoknya acara seminar besok saya serahkan pada A Kama dan rekan, ya? Mohon hadiri acaranya sebagai perwakilan Desa Welasasih, karena tentu saja besok kamu akan sangat sibuk sekali,” ujar Pak Kades.
“Baik, Pak. Akan saya diskusikan hal ini dengan rekan-rekan saya. Setelah ada keputusan siapa yang akan berangkat ke acara seminar besok, saya segera kabari Bapak.”
Pak Kades mengangguk-angguk. “Baik A, terima kasih banyak ya. Oh, iya ngomong-ngomong, sebentar lagi makan siang.” Pria itu melihat jam dinding di ruangannya. “Ikut saya saja ke rumah, kita makan siang bersama,” ajaknya.
Kama melihat layar ponselnya terus menyala, Javindra kembali menghubunginya, entah masalah apa yang tengah dia hadapi sehingga menghubungi Kama terus-menerus seperti itu. “Saya harus buru-buru pulang, Pak. Ada urusan mendadak.” Alias Javindra yang tidak berhenti meneleponnya sejak tadi.
Siang itu, Kama keluar dari ruangan Pak Kades, menghampir Vespa Matic yang terparkir di depan balai desa. Membuka sambungan telepon yang membuat ponselnya bergetar sejak tadi. Lalu, “Halo, Vin?”
“Lo masih di mana? Aduuuh ....”
“Gue baru selesai ketemu Pak Kades, ada apa sih? Lo di mana?”
“Gue di tambak ikan sewaan. Lagi sama Bapak-bapak, lo cepet ke sini dulu gue bilang deh. Serius gue butuh bantuan.”
Kama berdecak. Namun, tidak banyak lagi bertanya, siang itu dia langsung melajukan motornya pada sebuah tambak ikan sewaan yang Javindra kirimkan lokasinya. Hanya perlu waktu tujuh menit untuk tiba di sana, di tambak ikan luas yang kini dipenuhi oleh puluhan laki-laki dewasa yang membawa alat pancing.
Kama mengernyit melihat keadaan itu. Di pinggir jalan menuju jembatan ke arah tambak ikan, dia baru saja memarkirkan motor, tapi Javindra langsung menghampirinya dengan tergesa seolah-olah sangat menunggu kedatangan Kama sejak tadi.
“Gue pinjem duit,” ujar Javindra tiba-tiba, saat Kama bahkan baru saja melepas helm yang dikenakannya. “Urgent ini, serius, penting banget.”
“Buat apaan?”
Javindra menunjuk ke arah belakang, di mana perkumpulan Bapak-bapak yang membawa pancingan itu masih belum dikondisikan. “Lo kan tahu kalau lomba mancing ini gue adain secara mendadak, ya? Bahkan gue cuma nyampein info ini dari mulut ke mulut. Jadi gue pikir yang bakal ikut ya ... sepuluh orang lah, banyak-banyaknya lima belas. Makanya gue cuma sewa satu tambak dan masukin dua puluh kilo ikan. Nah—“
“Intinya?” potong Kama tidak sabar.
“Intinya, yang daftar ada empat puluh orang dan gue harus nyewa tambak lagi sama nambah ikan!” Javindra tampak panik sekali. “Serius, gue balikin sore nanti. Gue TF lewat ATM soalnya M-banking gue lagi bermasalah. Gue minta tolong banget ini mah, Ka.”
Lihat, kan?
Javindra bilang, dia akan mengurus program kerja dadakan ‘Lomba Memancing Ikan’ yang diselenggarakannya itu sendirian. Namun sekarang, apa buktinya? Tetap saja merepotkan orang lain. “Berapa?” tanya Kama seraya merogoh saku celana, meraih dompet.
“Sewa tambak tiga ratus, beli ikan enam ratus. Sembilan—eh, sejuta aja deh,” ujar Javindra. Saat mendapati Kama mendongak dan menatapnya dengan kening mengernyit, dia buru-buru kembali bicara. “Gue balikin entar malem, Ka. Janji. Kapan gue ingkar?”
Kama berdecak. Namun, sejumlah uang yang Javindra minta keluar juga dari dompetnya. Semenjak tinggal di Welasasih, Kama selalu menyimpan cadangan uang tunai karena membeli gorengan dan nasi uduk di Welasasih tidak bisa dengan melakukan transaksi digital. “Tapi lo pastiin, habis ini lo beresin tuh proker lo yang mangkrak.” Kama menyerahkan uang itu sambil menunjuk wajah Javindra.
“Iye.” Javindra menerima uang dari Kama. “Thanks banget, Brooo. Pokoknya habis ini gue bakal lakuin apa pun—inget, apa pun—yang lo suruh.”
Kama menatap Javindra yang kini kegirangan karena rencana mancingnya akan terealisasi. “Berangkat seminar ke Lembang besok,” ujar Kama.
“Njing. Tiba-tiba banget?” Javindra terlihat enggan.
Kama kembali memasukkan dompet ke saku celananya. “Katanya lo bakal lakuin apa pun yang gue suruh?” tanya Kama. “Pak Kades sama perangkatnya nggak akan bisa datang ke acara seminar besok karena ada acara khitanan masal sama Karangtaruna, jadi dia nyuruh dua orang dari kita buat pergi sebagai perwakilan Welasasih,” jelas Kama. “Lo tinggal nyari satu orang lagi lah buat pergi.”
Javindra mendengkus. Masih kelihatan keberatan dengan permintaan itu.
Kama menarik ujung lembar-lembar uang yang tadi dia berikan pada laki-laki itu. “Mau nggak?”
Javindra menepis tangan Kama. “Iya gue berangkat,” ujarnya menyetujui. “Nanti gue ajak siapa kek buat pergi.”
Setelah itu, Javindra meninggalkan Kama selama beberapa saat untuk melakukan pembayaran tambak ikan. Dia juga mengondisikan para peserta untuk mendapatkan tempat dan kursi masing-masing. Kama bisa melihat apa yang tengah Javindra lakukan dari kejauhan, karena dari pinggir jalan menuju ke arah tambak tidak dibatasi oleh penghalang apa pun, hanya perlu menyebrang sebuah jembatan saja.
Kama duduk di jok motornya, masih memperhatikan Javindra yang begitu bersemangat mengatur keadaan di sisi tambak. Bahkan, Javindra juga sudah memilih tempat dan kursi untuk dirinya sendiri, juga alat pancing yang sudah siap digunakan.
Kama melepaskan tawa saat Javindra menggunakan microphone untuk berbicara pada semua peserta sembari membacakan tata tertib lomba. Baru saja hendak berbalik, saat Kama berniat hendak pergi untuk menemui teman-temannya yang tengah mengecat tiang gawang di lapangan bola, tiba-tiba saja dari jarak sekitar sepuluh meter, sebuah motor matic putih mendekat.
Kama awalnya hanya mengangguk sopan pada seorang perempuan pengendara motor yang membonceng seorang wanita paruh baya di belakangnya seraya membunyikam klakson untuk menyapanya. Namun, ketika motor itu berhenti tepat di sisi motornya, Kama segera turun dari jok motor.
“Aa Kama!” Seorang wanita yang berada di boncengan segera menarik turun masker berwarna hijau neon di mulutnya.
Kama mengenalinya sekarang. Dia adalah Bu Bidan Eti. “Bu ....” Kama membungkukkan badan seraya meraih tangannya. “Apa kabar, Bu?” tanyanya setelah menyalami wanita itu.
“Baik! Ih, Aa Kama ka mana wae?” [Baik! Ih, Aa Kama ke mana saja?] Bu Bidan Eti turun dari boncengan motornya. “Ibu nunggu-nunggu Aa Kama datang ke rumah, eh yang datang seringnya malah A Yesa.”
Kama menyunggingkan satu senyum simpul. “Iya, gini aja sih, Bu. Jalanin kegiatan di desa.”
“Meni rajin—eh, ya ampun, kebetulan ini mah. Tunggu! Tunggu!” Bu Eti berdiri di samping Kama. “Karena A Kama nggak datang-datang wae ke rumah, biarin lah kenalannya di sini aja.” Bu Eti menarik tangan perempuan yang memboncengnya tadi, yang masih duduk di atas jok motornya. “Neng, turun heula atuh.” [Neng, turun dulu dong!] “Ini Neng Marina, panggil aja Neng Ina, anak pertama Ibu, yang Ibu ceritain ke Aa Kama waktu itu lho, yang kuliah di jurusan kebidanan. Kebetulan ketemu di sini, jadi bisa kenalan.”
Kama melihat perempuan itu turun dari motornya, lalu membuka masker yang dikenakan di wajahnya. Dia tersenyum pada Kama sambil mengulurkan tangan. “Ina.” Dia menyebutkan namanya.
“Kama.” Saat membalas jabatan tangan itu, Kama menarik benang-benang ingatan di dalam kepalanya tentang sosok Neng Marisa yang kerap datang ke posko. Kama menoleh pada Bu Eti untuk mendapatkan penjelasan. “Bu, maaf, kalau Neng Marisa?”
“Oh, Icha?!” Bu Eti mengibaskan tangan. “Dia mah anak kedua. Adiknya Ina. Centil yah? Suka main ke posko katanya gara-gara seneng banget sama A Yesa?”
“Oh ....” Kama mengangguk-angguk. Padahal dia masih bingung dengan sikap apa yang harus dia tujukkan sekarang karena Bu Bidan Eti tiba-tiba saja bertanya.
“Suka nggak A Kama? Sama Ina?”
Pertanyaan itu membuat Kama berjengit, sementara Marina atau Ina yang kini tengah dikenalkan oleh orangtuanya itu menunduk dalam-dalam. “Bu, udah, Bu.” Dia tampak canggung dengan pertanyaan itu.
“Tuh, ah sok karitu anak muda mah. Hese memulai.” [Tuh, ah suka begitu kalau anak muda. Susah memulai.] Kembali Bu Eti menatap Kama. “Ini kebetulan kan Ina mau antar Ibu ke posyandu di balai desa, tapi Ina tuh mendadak ada kuliah online. Aa Kama bisa anterin Ina ke rumah nggak? Biar Ibu berangkat sendiri pakai motor ke balai desanya.”
Kama menggumam agak lama. Dia harus menolak. Dengan kesadaran penuh dia tahu hal apa yang harus dia lakukan sekarang. Namun, sebelum Kama menentukan jawaban, Bu Eti sudah lebih dulu menarik Ina ke sisi Kama, sementara dia menaiki motornya.
“A Kama, nitip Ina ya, anterin ke rumah!” Selanjutnya Bu Eti menancap gas motornya tanpa menunggu tanggapan Kama.
Marina menjauh dari sisi Kama, wajahnya masih menunduk. “Maaf ya, A. Maafin Ibu.”
Kama mengangguk. Canggung sekali. “Nggak apa-apa. Ng—sebenarnya saya ada kegiatan—“
Tangan Marina mengibas-ngibas. “Oh, nggak apa-apa, A Kama. Saya bisa pulang sendiri.”
“Tapi bentar deh.” Kama berbalik, dan kebetulan sekali Javindra berlari menghampiri keberadaannya.
“Ka, thanks ya!” seru Javindra. “Semua sudah terkondisikan dengan baik—Eh, hai? Siapa ini?” Respons yang sesuai dengan yang Kama harapkan saat Javindra mendapati Marina di sana.
“Ini Neng Marina, kakaknya Neng Marisa,” jelas Kama, membuat Javindra melongo dan melotot ke arahnya. Kama bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran Javindra. Namun, sebelum mulut cabe Javindra bicara macam-macam, Kama segera bicara. “Bisa anterin Neng Marina pulang dulu nggak, Vin? Biar pancingan lo gue yang tungguin.”
***
Bu Bidan Eti yang baru saja tiba, segera bergabung bersama para Ibu-ibu Posyandu lainnya di posko dekat balai desa. Setelah menaruh tas dan membantu kegiatan hari itu, dia bicara pada Gege dan Samira yang tengah membantu menimbang berat badan para balita. “Aduh, Neng Gareulis rajin sekali bantu-bantu di Posyandu?” sapanya. “Salut lah sama Anak-anak KKN di Welasasih mah, pada gercep banget. Apalagi ketuanya. Ih resep pisan. Mana kasep, soleh, bageur, kalau dimintain tolong teh nggak pernah nolak.”
Pernyataan itu membuat Gege dan Samira saling lempar pandang sambil tersenyum kaku. “Kama memang totalitas banget, Bu, kalau bantu orang,” ujar Samira.
“Iya. Tadi juga Ibu suruh buat anterin Marina ke rumah, Aa Kama nggak nolak. Padahal mah sengaja Ibu minta tolong anterin, dari dulu pengen banget jodohin Ina ke A Kama, yang nyangkut malah Icha ke Yesa.”
Gege kembali saling tatap dengan Samira. Di saat Samira mengembalikan fokusnya pada balita di timbangan, Gege malah jadi penasaran. “Marina ... ini? Anak Ibu juga?”
“Iya!” Bu Bidan Eti tampak bersemangat sekali ketika bercerita. “Anak pertama Ibu, yang kuliah di jurusan kebidanan. Yang dari dulu mau dikenalin ke A Kama, eh dasar jodoh mungkin ya, tadi nggak disangka-sangka malah ketemu di area tambak ikan. Sampai dianterin pulang lagi.”
Penjelasan itu membuat Gege menarik mundur punggungnya untuk bersandar ke dinding. Dia mengulang-ulang kalimat yang Bu Eti ucapkan. Diantar pulang? Oleh motor barunya itu?
Namun, yah ... tidak ada yang perlu dibuat masalah harusnya. Gege juga tidak punya hak untuk kesal apalagi marah. Kama berhak menentukan siapa yang mau dia berikan tumpangan, entah dia laki-laki atau pun perempuan.
Karena hingga saat ini, hubungan Gege dan Kama masih belum jelas di mana letak pastinya. Apakah mereka adalah sepasang manusia yang melanjutkan hubungan pertunangan yang dua tahun sempat terhenti? Atau mereka sepasang manusia yang tengah menjalin hubungan baru di mana kesepakatan ‘sebagai apa’ sama sekali belum ditentukan?
Ada jeda waktu istirahat yang bisa mereka ambil di tengah sibuknya waktu posyandu. Keenam gadis KKN 111 itu, kini tengah duduk di bangku kayu di bawah pohon beringin di dekat balai desa sambil menikmati es goyobod yang gerobaknya ikut nangkring di sana. Mereka menatap ke keramaian yang terjadi di dekat tiang gawang yang baru saja selesai dicat. [Es Goyobod adalah campuran minuman yang terbuat dari tepung kanji yang diiris persegi, dicampur sirup dan gula merah]
Di sana, di dekat tiang gawang itu, semua anggota KKN laki-laki Welasasih tengah berkumpul, kecuali Javindra yang tidak ikut serta. Javindra meminta dispensasi untuk tidak melakukan kegiatan apa pun hari ini kecuali memancing.
Di sana, ada sembilan laki-laki yang tengah meladeni beberapa wanita paruh baya dan para gadis untuk berfoto. Ada yang bergaya normal hanya saling bersisian, ada yang minta dirangkul, ada yang lebih dulu merangkul lengan para laki-laki anggota KKN itu, sampai meminta mereka membungkuk untuk memegangi wajahnya.
“Mereka tuh rencananya mau bantu kegiatan Posyandu atau mau fanmeeting, sih?” tanya Juana ketika melihat wajah Zale di-uwel-uwel oleh seorang ibu-ibu sambil meminta teman yang lainnya memotretnya.
“Kama duluan tuh, mau-mauan diajak foto. Jadinya ibu-ibu yang lain fomo,” ujar Keiya.
Sementara itu, Gege tengah memperhatikan bagaimana Kama di kejauhan sana tengah merendahkan wajahnya untuk disentuh oleh seorang wanita hamil. Wanita itu berkata berkali-kali, “Anak saya di-USG cowok lho, A Kama. Semoga ganteng kayak Aa ya.”
“Duh, jangan, Teh. Nanti saya digolokin suami Teteh kalau anaknya mirip saya,” sahut Kama. Setelahnya, dia menurut saja saat ada ibu-ibu menariknya untuk berfoto saling bersisian.
Cleona menunjuk ke arah keramaian itu. Di mana sesi foto-foto itu belum selesai. “Para saingan Kak Kev itu,” ujarnya yang membuat teman-temannya melepaskan tawa.
Kecuali Gege.
Gege masih mengaduk-aduk es di gelasnya sambil masih memikirkan tentang Kama yang mengantar seorang gadis ke rumahnya.
Dulu, Gege bisa mengabaikan Kama yang mondar-mandir membonceng Laika di kampus, sedangkan kali ini, hanya mendengar kabarnya saja Gege sudah gelisah sekali.
Gege baru saja menghabiskan minuman di gelasnya, meminumnya dalam satu kali teguk. Dan menyimpan gelas kosong itu di atas gerobak penjual. Dia hendak kembali duduk, tapi kedatangan Teh Lilih yang melambai-lambaikan tangan dari kejauhan ke arahnya membuat Gege tersenyum.
Sesaat Gege melupakan Kama. Gege balas melambaikan tangan pada Teh Lilih dengan antusias.
Teh Lilih yang tengah menggendong Mina kini menghampiri keenam gadis KKN yang masih beristirahat di bawah pohon beringin. Mina langsung menjadi rebutan, Gege hanya berhasil menggendong selama beberapa saat karena Cleona segera bergerak merebutnya.
“Teh Gege, Teh Gege tahu nggak kalau urusan logo saya di HKI sudah selesai?” tanya Teh Lilih. “Aa Kama kasih saya kabar tadi pagi,” ujarnya. “Jadi sekarang saya resmi jualan pakai logo sendiri.”
“Wah! Aku ikut seneng, Teh!” Gege memegangi tangan Teh Lilih. “Selamat ya, Teh! Semoga usahanya semakin lancar dan semakin dikenal banyak orang. Laris manisss pokoknya.”
“Aamiin!” Teh Lilih tersenyum lebar. “Oh iya.” Kini dia mengangsurkan sebuah paper bag pada Gege. “Ini, saya kan udah janji sama Teh Gege, kalau Teh Gege harus jadi orang pertama yang pakai produk saya. Sekalian tolong dikasihkan untuk teman-teman yang lain ya.”
“Wah, terima kasih lho, Teh!” Saat mengintip isi paper bag itu, semua teman-temannya tampak antusias dan ikut-ikutan melihat produk jualan Teh Lilih. “Tapi kita beli ini, kan kita konsumen!” ujar Gege.
“Mudah-mudahan Teh Gege suka,” ujar Teh Lilih dengan kata berkaca-kaca.
“Suka banget, Teh! Ini bagus banget!” Gege memujinya dengan tulus.
Di sana, ada lima belas bordir patch berbentuk huruf yang bisa langsung ditempelkan dipakaian dengan cara disetrika, Teh Lilih menjelaskan. Mereka mengambil satu-satu bordir patch sesuai inisial nama masing-masing, lalu berencana akan menempelkannya pada vest marun KKN milik mereka agar berbeda dengan vest marun milik mahasiswa KKN lainnya.
Pokoknya heboh sekali keadaan di sana saat ada Teh Lilih. Para perempuan anggota KKN 111 memang pandai sekali mengapresiasi apa pun yang dilakukan oleh seseorang—kecuali anggota KKN laki-laki.
Kegiatan istirahat mereka di bawah pohon beringin itu berangsur terurai ketika ada beberapa Ibu-ibu posyandu yang meminta tolong. Teh Lilih dan Mina sudah pulang lebih dulu karena Mina sudah tampak mengantuk.
Di bawah pohon beringin itu, kini hanya tersisa Gege dan Samira, tanpa gerobak Es Goyobod yang menghalangi pandangan mereka ke arah tiang gawang. Kegiatan foto-foto sudah selesai karena area itu kini panas sekali dan kerumunan sudah bubar. Beberapa laki-laki anggota KKN mencari tempat teduh, sebagian ikut bergabung dengan ibu-ibu posyandu menggantikan anggota perempuan mengukur tinggi dan berat badan para balita dan batita, sebagian lagi masih tampak berdiskusi di sisi lapangan bola.
Ada Kama dan Yesa yang tampak masih berbicara di kejauhan. Sementara Yash sudah melangkah menjauh dan berjalan ke arah area Posyandu.
Sabine dan Keiya yang tadi masih membantu di area luar untuk membagikan camilan sehat, kini kembali bergerak ke arah Gege dan Samira masih duduk. “Yash!” Seruan Sabine membuat Yash menoleh.
Laki-laki itu menaikan kacamata yang turun di tulang hidungnya. “Ya?” sahutnya.
“Hari ini hari apa, ya?” Wajah Sabine serius sekali.
Hal itu membuat Yash melangkah mendekat ke arah anggota perempuan. “Hari Selasa?” jawabnya ragu. “Bentar.” Yash sampai memeriksa arlojinya. “Iya, hari Selasa.”
“Salaaah, ah. Bukan,” balas Sabine.
Hal itu membuat Yash kembali memastikannya di layar ponsel. “Bener kok, hari Selasa.”
Sabine mencebik. “Salah, Yash. Yang bener tuh, hari ini kamu ganteng banget.”
Mendengar gurauan itu, Yash menyunggingkan senyum simpul. “Yah ada-ada aja,” gumamnya sambil berlalu.
Sementara Sabine, kini malah tertawa-tawa.
“Bine? Serius?” gumam Keiya seraya mengguncang pundaknya. “Yash? Orangnya?”
Sabine mengangguk. “Iya. Kenapa memangnya?”
“Bine, dia masih sama ceweknya yang hubungannya udah empat tahun itu kalau lo lupa?” Keiya mengingatkan.
“Lo nggak berharap banyak dari dia kan, Bine?” tanya Samira. “Nggak. Gue bukannya mau mengecilkan harapan lo, tapi coba lo pikirin lagi deh, seandainya yang kemarin itu cuma rasa bersalah dan rasa tanggung jawab Yash ke lo, bukan karena pure dia perhatian, gimana?”
“Lho? Iya nggak apa-apa, Guys.” Sabine mengibaskan tangan. “Gue tuh cuma seneng aja godain Yash. Lagian ... udah gue bilang sejak awal Yash tuh bukan tipe gue banget, ini sekadar iseng, ngisi waktu luang aja.” Setelahnya, Sabine turun dari tempat duduk dan melangkah menjauh. “Gue nggak ngarep jadi ceweknya juga!” Lalu, dia berteriak. “Yash, mau gue bantuin nggak?”
“Iseng, iseng ...,” gumam Keiya. “Orang dia ngomong mulu kalau dia kagum sama Yash karena orangnya tuh lembuuut banget. Adonan Ci Mehong kali ah lembut.” Keiya mengernyit kecil saat Sabine sudah berdiri di sisi Yash dan berbicara entah tentang apa.
Setelah Keiya pergi, di bangku itu kembali hanya ada Gege dan Samira. Pandangan Gege kembali pada Kama yang masih bicara dengan Yesa, tapi langkah dua laki-laki mulai terayun mendekat. Lalu, wajahnya menoleh pada Samira. “Lo sejak kapan curiga kalau gue dan Kama sebenarnya ada ... hubungan?”
“Sejak lo nyamperin Kama yang sakit di ruang kerja. Yang ... Lo ketiduran di ruang kerja di pelukan Kama, itu gue juga yang tutup pintunya,” jawab Samira.
“Berarti udah lama dong?”
Samira mengangguk. “Lumayan.”
“Kok, nggak pernah ngomong apa-apa?”
“Gue nunggu lo ngomong duluan ..., tapi nggak ngomong juga tuh sampai kepergok berkali-kali.” Pernyataan Samira membuat Gege meringis kecil. “Ge ....”
“Hm?”
“Dia pernah selingkuh lho?” Samira mengingatkan. “Kok, bisa lo balik nerima dia dengan mudah begini?”
Gege menggeleng kecil. “Nggak bener-bener selingkuh sih, Miw. Dia bilang ke gue saat ... dia bawa Laika ke hubungan kami. Dan kami sepakat untuk nggak saling mengganggu saat itu.”
“Kesepakatan itu dibuat ketika Kama dengan sengaja mengenyampingkan perasaan lo atau pura-pura nggak tahu atas perasaan lo ke dia?” tanya Samira.
“Dia beneran nggak tahu ...,” ujar Gege. “Karena gue nggak pernah jujur.”
“Tapi hubungan dia dengan Laika itu ada di saat hubungan kalian berdua belum selesai. Itu sama aja, Ge ....” Samira menatap Gege lekat-lekat. “Dan sekarang, saat dia bilang ... kalau dia suka lo, lo bisa langsung percaya? Lo bisa langsung memaafkan?”
Gege terdiam selama beberapa saat, lalu menggeleng. “Nggak sih ....” Tentu saja dia tidak bisa sepenuhnya percaya, tentu saja masih ada luka yang tertinggal banyak.
“Terus?”
“Gue hanya ... sedang menyenangkan hati gue sendiri.” Setidaknya, selama KKN Kama hanya adalah miliknya?
Samira berdecak. “Memang ya ... manusia tuh selalu pintar untuk kasih insight ke masalah orang lain, tapi kadang bodoh banget menghadapi masalahnya sendiri.”
Dan Gege tidak menanggapi ucapan itu. Percakapan mereka harus selesai karena kini, ada wanita hamil menghampiri keduanya seraya menggendong anak batita. Gege dan Samira bangkit dari bangku. “Ibu mau imunisasi?” tanya Gege.
“Anak saya sudah selesai imunisasi, giliran saya mau diperiksa. Tapi, Teh, boleh titip anak saya sebentar nggak?” Wanita itu menyerahkan seorang batita perempuan pada Gege.
Dalam keadaan seperti itu, jelas Gege tidak pantas menolak, kan? Gege menggendong batita perempuan itu walau sedikit kebingungan, sementara Samira mengantar Si Ibu menaiki tangga menuju posko Posyandu.
Gege balas menatap mata bulat batita itu lekat, lalu mengerjap. Jangan nangis. Jangan nangis. Kalau nangis bakal malu-maluin. Jadi, dia buru-buru, mencari ide. Gege meraih daun kuning yang terjatuh di bangku kayu, lalu memberikannya pada anak batita itu. “Aku nggak punya mainan, maaf ya,” ujar Gege.
Anak kecil itu memandangi daun kuning dalam genggamannya. Beruntung dia tidak penasaran untuk menjilat atau memakannya.
“Anak siapa ini?” Kama tiba-tiba saja sudah hadir di hadapannya, membuat Gege dengan cepat mendongak. Kini, Kama sedikit membungkuk untuk menyejajarkan wajahnya dengan anak batita perempuan itu. “Hai?” Jari telunjuk Kama yang menyentuh pipinya ditangkap oleh jari-jari kecil itu.
“Ibunya lagi diperiksa di dalam.”
“Namanya siapa?” Kama mendongak, menatap Gege dengan senyumnya.
Lihat, Gege bahkan harus menarik napas panjang sebelum bicara padanya. Efek dari tatap Kama masih mampu membuat Gege terkesiap dan sesaat menahan napas. “Nggak tahu, aku lupa nanya namanya,” jawab Gege. Jawabannya terkesan biasa saja. Namun, jelas saja sikap Gege tidak sehangat biasanya. Informasi yang dia dapatkan dari Bu Bidan Eti masih berputar-putar di kepalanya.
Bagaimana Kama memutuskan untuk mengantarkan seorang gadis ke rumah?
Membayangkan juga apa yang mereka berdua bicarakan selama di perjalanan.
Jika boleh, untuk satu kali ini, Gege ingin sekali mendorong kening laki-laki itu.
“Silau, ya?” Kama menutupi kening anak perempuan yang Gege gendong itu dari cahaya matahari siang yang menyorot dari celah dedaunan. Tangannya yang lain menutupi Gege. “Tetehnya silau juga?” tanyanya.
“Nggak.” Gege memalingkan wajah. Dia menggerakkan wajah untuk mengibaskan rambut, juga poninya yang menghalangi sedikit pandangannya.
Namun alih-alih mengambil alih batita itu dari tangan Gege dan membiarkan Gege membenarkan ikatan rambutnya, Kama lebih memilih untuk merapikan poni di kening Gege. “Panas, ya? Sampai keringetan gini?”
Sesaat kemudian, Kama membuka jas almamaternya dan merentangkannya di atas kepala Gege, melindunginya dari sinar matahari, membuat batita kecil itu mendongak, memperhatikan apa yang tengah Kama lakukan. “Tadi aku habis ketemu sama Pak Kades, dia minta tolong sama kita untuk menjadi perwakilan acara seminar yang diadakan di Lembang.”
Gege menoleh singkat. “Mm.”
“Harus dua orang, tadi aku udah nyuruh Javin. Nggak tahu sama siapa dia berangkat nanti.”
“Mm.”
Kama mengernyit. “Kamu kenapa?” tanyanya. Dengan kedua tangan yang masih merentang di atas kepala Gege. “Masih gerah?” tanyanya lagi. “Sini mau gantian gendong?” Dengan seenaknya Kama menaruh jas almamater di pundak Gege, setelah itu dia meraih anak batita perempuan itu dan menggendongnya.
Gege menyampirkan jas almamater Kama di lengannya, dia melihat Kama membuat anak kecil di dalam gendongannya tertawa ketika tubuh kecil itu diangkat tinggi
“Kamu ... tadi sebelum ke sini, ke mana dulu?” tanya Gege. Dia mengalihkan tatap, seolah-olah tidak begitu peduli dengan jawaban Kama.
“Nemuin Javin di tambak ikan.”
Gege mengangguk. “Oh ....” Sesuai dengan cerita Bu Bidan Eti, bahwa mereka bertemu di tambak ikan. Gege bertanya lagi. “Ketemu siapa?”
“Banyak. Yang pada mau mancing.”
“Selain itu.”
“Ng—oh, ketemu Bu Bidan Eti,” jawab Kama.
Jawaban itu membuat Gege menatapnya. Menanti jawaban yang lebih jelas. “Bu Bidan Eti sama siapa?”
Kama mengangkat batita itu di hadapan wajahnya. Kembali membuatnya tertawa. “Bu Bidan Eti sama anaknya.”
Gege mengangguk-angguk. “Mm.”
“Terus, Bu Bidan Eti minta anaknya dianterin pulang karena ... apa tadi ya alasannya? Ada kuliah online kalau nggak salah.”
“Terus, kamu anterin?”
Kama menggeleng. “Nggak. Aku kan harus buru-buru ke sini buat lihat progres pengecatan tiang gawang, jadi Javindra yang nganterin,” jelasnya. Dia tidak tahu bahwa Gege saat ini memalingkan wajahnya, diam-diam dia tersenyum. “Kenapa, sih?” tanya Kama.
Gege menggeleng. “Nggak.”
Di saat keduanya masih berdiri saling berdekatan, seorang wanita paruh baya yang berjalan melintasi keduanya kini mengomentari Kama setelah menatapnya terus-menerus dari kejauhan. “Aduh, Aa Kama. Udah ganteng, suka anak kecil lagi. Soleh pisan. Kalau ibu punya anak gadis mah, ibu jodohin Aa Kama ke anak gadis ibu!”
Kama melepaskan tawa pelan. “ Aduh. Maaf, Bu ....” Kama menoleh pada Gege. “Udah tunangan saya.”
***
KKN 111 Welasasih
Kaniraras Juana
Cowok-cowok yang mau makan, tinggal ambil di lemari ya.
Takutnya cewek-cewek pulang telat.
Samira Kinandari
Sayurnya abisin duluuu.
Javindra Madana
Iya. ☺️
Gesang Radengga
Sayur lagiii. Alhamdulillah. 🥰
Berbagai jenis sayur pemberian warga ditanam di perutku. 🥰
Javindra Madana
4 sehat, 5 hektar. 🥰
Sashika Keiya typing.
Sabine Lituhayu
Gue kayaknya nggak makan sayur nangka dulu deh.
Mau berhenti makan santan.
Samira Kinandari
Kenapa, Bine?
Sashika Keiya typing.
Samahita Ghea
Butuh obat, Bine?
Rajata Suma Pragia
Halo, Dokter Axel?
Javindra Madana
MALAM KEOS INIHHH ....
Sashika Keiya typing.
Mahasagara Yash
Ada yang liat Kama nggak?
Sabine Jiana
Duh.
Kalau gejala sakit perut gini tuh apa sih namanya Yash?
Mahasagara Yash
Magh?
Sabine Jiana
Iya, Pah? 😳
Gesang Radengga
Bus bus apa yang bikin kaget? Busettt.
Sashika Keiya typing.
Sakala Dananjaya
Kama nggak ada di posko.
Mahasagara Yash
Oke.
Sabine Jiana
Penasaran deh, kalau cowok salting tuh tandanya gimana sih? 😔
Nahan senyum doang apa pura-pura cuek gue tuh?
Rajata Suma Pragia
Cowok salting mah manjat atap rumah sih.
Sashika Keiya typing.
Gesang Radengga
Pargoy di atas tiang listrik lah minimal.
Sakala Dananjaya
Cowok salting biasanya gali sumur sih, Bine.
Jenggala Narapati
Kalau gue makan pintu sih.
Javindra Madana
Nah. Kalau nggak kayak yang disebutin di atas, berarti tuh cowok nggak suka lo, Bine.
Kanigara Zale
Mau liat cowok salting mah tinggal lo perhatiin Yesa kalau dideketin Neng Marisa.
Arkayesa Pilar
WKWKWK PLR.
Sabine Jiana
PLR apaansi?
Javindra Madana
Perusahaan Listrik Rusia.
Sashika Keiya typing.
Cleona Kagumi
Keiya gue lihat-lihat typing mulu.
Sepanjang apa sih chat yang dia ketik?
Javindra Madana
Biarin aja biarin.
Sashika Keiya
Guys, tadi kan gue ngebagiin vitamin ke sebagian warga yang punya balita dan batita yang nggak bisa datang ke posyandu ya. Awalnya gue berangkat sama Bu Emi, tapi karena jaraknya jauh, gue jadi dianterin Alvin. Nah, di tengah jalan motor Alvin mogok. Mana daerahnya ini sepi banget. Rumah warga cuma satu itu pun nenek-nenek. Ada yang bisa bantu nggak? Daerahnya deket pemakaman umum sebelum ke arah Cimacan. Yang bisa bantu, tolong ke sini dong bawain montir. Atau nggak, yang ngerti mesin tolong bantuin Alvin benerin motornya. Pleaseee. Udah satu jam gue di siniii.
Javindra Madana
Panjang banget chatnya. VN aja males baca.
Sashika Keiya
IH.
Samahita Ghea
Bentar gue ke posko dulu nyari siapa yang bisa bantu, Kei.
Sashika Keiya
Makasih, Geee.
Samira Kinandari
Telepon gue, Kei. Jangan dimatiin ya.
Sashika Keiya
Iya. 😭 Makasih ya. Udah mau gelap takut bangettt.
Punya abang nggak guna.
Jenggala Narapati
Javin langsung berangkat kok tadi, Kei. Nyari lo.
Arkayesa Pilar
Eh, tolong fokus ke gue dulu.
Serius.
Bantuin gue dulu.
Samahita Ghea
Kenapa, Yes?
Arkayesa Pilar
Siapa mau jadi pacar pura-pura gue biar Neng Marisa nggak nempel Mulu tolong ini mah gue udah nggak sanggup. 😭🙏🏻
Sashika Keiya
Nggak dulu, Yes.🙏🏻
Gue aja bingung mikirin nasib sendiri ini.
Jangan bikin nambah pikiran.
Sabine Jiana
Maaf ya, Yes. Nggak bisa bantu. 🙏🏻
Samira Kinandari
Maaf, Yes. 🥲🙏🏻
Cleona Kagumi
Gue juga minta maaf. 🙏🏻🙏🏻😘
Arkayesa Pilar
Gapapa, Ona. 😘😘😘
Cleona Kagumi
IHHH. Emot terakhir kepencettttttttttt.
Rajata Suma Pragia
Katanya, Yesa mau mengundi nama 6 cewek KKN untuk jadi pacar rahasia.
Yang namanya keluar, jadi pacar Yesa.
EH, EMPAT NAMA.
GEGE, JUA nggak kena itungan.
Arkayesa Pilar
Sori ya.
Karena nggak ada yang mau, jadi terpaksa gue undi aja.
Sashika Keiya
PLISSS.
TOLONG JANGAN NAMBAH KETAKUTAN GUE.
Samira Kinandari
Nggak pernah setakut ini. 🥺
Cleona Kagumi
Deg-degan banget.
Takut nama gue keluar. 🥺
Sabine Jiana
Nggak pernah sepanik ini. 😔
Yash, tolong, Yash.
Rajata Suma Pragia
Oke kita tangguhkan sampai besok pengumumannya.
Biar deg-degannya lama.
Javindra Madana
Kei, gue udah lewat pemakaman umum.
Lo di rumah yang mana? Tunggu depan.
Sashika Keiya
👌🏻
Jeandru Kama
Udah ketemu Javin, Kei?
Sashika Keiya
Udah.
Jeandru Kama
Bilang.
Bales chat gue.
Javindra Madana
Javin lagi benerin motor Alvin. -Keiya
Jeandru Kama
Tanyain yang jadi berangkat besok ke Lembang siapa?
Javindra Madana
Javin.-Keiya
Jeandru Kama
Iya.
Sama siapa?
Samahita Ghea
Sama gue.
Jeandru Kama
?
Arkayesa Pilar
Nginep nggak sih di sana?
Javindra Madana
Nggak, setengsah hari doang. Sore balik. Kata Javin. -Keiya
Arkayesa Pilar
Oh.
Jeandru Kama
Angkat telepon, Ge.
Arkayesa Pilar
Gue pikir Kama yang pergi.
Javindra Madana.
Kata Javin, Kama nggak bisa, besok udah janji bantu khitanan masal. -Keiya
Jeandru Kama
Bisa kok gue.
Gue aja yang berangkat besok.
Bilang Javin.
Nggak usah pergi.
Kei?
l
***
Panik Kama panikkk. Wkwkwkwkwkwkwk
Pintar sekali triknya Javin ketika dia males pergi. WKWKWK
Yakin ga ni kunci villanya nggak dipake. 👀
Yang mau update cepet aja ini mah. Spam ‘Next’ yang banyak di sini😋🙌🏻

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
