Hello, KKN! | [30. Yah .... Ketahuan]

815
237
Deskripsi

"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"

Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.

Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.

Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...

Hello, KKN! | [30. Yah .... Ketahuan]

post-image-67af5fd05a6df.png

Haiii. 🌼

 

Keren banget vote dan komennyaaaa waaa. Terima kasih ya! Apa sih yang ditungguin banget dari cerita ini kalau boleh tauuu?


 

4400 kata ini ayoook semangat vote komennn lagiii. 🌼🌼🌼


 

Jangan lupa bakar lagi vote dan komennya yaaa. Kasih api yang buaaanyaaakkk siniii 🔥🔥🔥

***

 

 

“Vin?” Kama perlahan melepaskan rengkuhannya di wajah Gege, tapi tangan yang lain masih memelukpinggangnya. “Mau nyebat?”

Astagfirullah ....” Javindra tampak syok. “Nggak jadinyebat, nyebut gue, Ka ....” Dia memegangi dadanya, satutangan yang lain bertopang pada dinding kayu seolah-olah diakehilangan keseimbangan tubuhnya setelah melihat kejadian tadi. Lalu, dia bergumam, nyaris berbisik. “Lo berdua ... ngapain, si?” Tampaknya Javindra benar-benar terpukul dengan apa yang baru saja dilihatnya.

“Vin, gue bisa jelasin.” Gege panik sekali.

Sementara itu, Kama hanya menatap ke arah Gege seolah-olah memintanua memercayakan keadaan itu. Kama bangkitdari kursi kayu, menggeser benda itu pada Javindra. Sepertinya, dia lebih membutuhkannya daripada Kama sekarang. “Duduk dulu nih ....”

Dan benar saja, Javindra meraih sandaran kursi itu, menyeretnya, lalu bergerak duduk. Dia menghela napas, lalutangannya dihadapkan pada Kama dan Gege seperti meminta waktu untuk terdiam. “Bentar ....”

Kama dan Gege berdiri saling bersisian, menghadapi Javindra yang masih duduk di bangku kayu itu. Setelah mengambil beberapa waktu untuk membiarkan Javindra tenang, Kama mulai bicara, “Gue akan terus terang—“

“Nggak, nggak.” Javindra mengibaskan tangan. “Lepasindulu tangan lo dari Gege.” Javindra menunjuk tangan Kama yang masih menggenggam tangan Gege. Dan oke, Kama melakukan hal yang Javindra mau. Lalu, wajah Javindramendongak, menatap Kama, “Gimana rasanya cium tunanganorang gue tanya?”

Kama menoleh pada Gege sambil melepaskan napas kasar.

“Jangan-jangan lo baper beneran karena sering gue sindir-sindir—kayak, hei? Gue tuh pengen lo sadar kalau lo nggak seharusnya suka sama tunangan orang, bukan malah jadimakin ngegas gini?” Javindra menggeleng heran. “Ini Cuma KKN, Ka, Ge, dengerin gue. Kalaupun kalian merasa kalian punya perasaan yang sama. Bukan berarti—“

“Gue tunangan Gege,” aku Kama. Memotong cepat racauan Javindra.

Javindra mengerjap-ngerjap.

“Tunangan Gege itu, gue,” ulangnya.

“H-hah?” Akhirnya Javindra memberikan respons juga. Kali ini dia bangkit dari tempat duduknya dan menghampiriKama. Namun, tatapnya tertuju pada Gege. “Ge?” Dia meminta penjelasan pada Gege seolah-olah tidak bisa memercayai begitu saja apa yang Kama ucapkan.

Gege mengangguk. “Iya, Vin .... Kama tunangan gue.”

Javindra menangkup bibirnya sesaat. Berpikir. “Jadi, lo selingkuh sama tunangan lo sendiri .... Sementara itu lo punya cewek—” Javindra menunjuk Gege, selanjutnya pada Kama. “Dan lo, selingkuh sama—bentar, jadi Laika?” Keningnyamengernyit. Bingung sendiri. “Astaga bajingan banget, berarti selama ini, tunangan brengsek Gege yang pengen banget gue tonjok mukanya itu lo?”

“Iya ...,” sahut Kama. Cepat sekali.

Javindra melongo. “Plot twist macam apa ini ...?” gumamnya. “Mana gue lagi yang paling semangat pengen begal tuh orang ....”

“Vin ....” Kama ingin mengajaknya bicara, tapi Javindra sepertinya tengah sibuk dengan isi kepalanya sendiri.

Sementara itu, Yesa baru saja hadir di lorong. Langkahnyamengendur saat dia melihat Javindra kini berbalik dan menoleh padanya. “Ada apaan nih ...?” Dia seperti baru sajamendapatkan firasat buruk. “Lo kenap—Mereka ngapain, Vin?” Kali ini langkahnya terayun cepat.

Javindra menggeleng kecil. “Gue tahu sekarang, kenapa lo ngikutin Kama ke mana-mana. Karena memang mereka harus banget dijagain.”

“Lo tahu? Tentang Gege dan Kama?” tanya Yesa padaJavindra. “Astaga, Ka ....” Yesa tampak putus asa.

“Ya udah lah .... Javin masih aman,” ujar Kama. Santai sekali. Dan Yesa tidak suka itu.  

Yesa melanjutkan ucapannya. Dia bicara pada Javindra. “Nih orang memang baru sadar dari koma dan baru sadarsiapa tunangannya, makanya mainnya serampangan banget.” Yesa memijat keningnya. Lalu menunjuk Kama. “Lo nyuruhgue buat nggak buka masalah ini ke anak-anak, tapi main lo berantakan banget—jangan nyuruh gue kerja mulu deh, Ka, capek banget gue. Lo nggak bisa banget ditinggal bentar.”

“Lagian lo buang sampah ke Bantargebang, kah?” Malah Javindra yang terlihat kesal sekarang. “Lama amat. Kalau gue nggak ke sini, mereka udah berhasil—“

“Emangnya mereka ngapain?” Yesa bertanya dengan tidak sabar. “Lo lihat Kama elus-elus pipi Gege juga?”

“ELUS APAAN SI?” Javindra histeris sendiri. “Lo tanya Kama dia ngapain Gege tadi tuh!”

Pandangan Yesa benar-benar beralih pada Kama. “Lo bener-bener Ka, lo mau Land Cruiser gue berubah jadi Grand Max apa gimana?” Lalu pada Javindra lagi. “Lebih dari elus pipi?” tanyanya.

Kama berdecak, masih tampak tenang. “Udah deh ....”

“Udah deh, udah deh!” Yesa nyolot lagi. “Lo lain kali, kayaknya perlu agak ditatar untuk mengelola birahi lo dengansopan supaya—Wei, ini lorong Ka, lo bisa-bisanya bikin guekecolongan di tempat kayak gini?”

“Yes ....” Gege menggigit bibirnya. Dia ingin meminta maaf karena Yesa tampak marah sekali. Jangan sampai satu posko keluar hanya untuk menyaksikan kekonyolan itu.

Yesa bicara sambil mengotak-atik ponselnya, entah apa yang tengah dia lakukan. “Lo diem, Ge. Gue tatar lo habis ini,” ujarnya. Lalu, “Kayaknya cuma gue doang, KKN yang tugasnya banyak banget. Ngurusin proker, ditambah tugas jadiCCTV orangtua yang kelakuan anaknya di luar nalar. Tiap hari kelahi sama dua manusia denial yang sering nyolong kesempatan, tapi habis itu bersikap seolah-olah nggak pernah terjadi apa-apa.”

“Land Cruiser bayarannya, Yes.” Kama tetap mengejeknya.

“Tai .... Brio yang ada nanti,” umpat Yesa.

Sementara itu, Javindra kini tengah menatap layar ponselnya dengan kening mengernyit. “Ini gue dimasukin kegrup chat apaan?” tanyanya.

“Grup chat untuk orang-orang yang udah tahu kalau Kama adalah tunangan Gege,” jawab Yesa.

“Sampai dibikin grup?” tanya Gege. “Memangnya ada lagi yang tahu selain Javin?”

“Rajata, Yash,” jawab Yesa.

“Kata gue sih langsung masukin semua anggota KKN aja Yes, capek banget harus masukin satu-satu.” Javindra memberi saran. “Bentar lagi juga semuanya tahu, orang Kama nggak tahu tempat gitu kelakuannya.”

“Bener.” Yesa menghela napas. “Mending lo sekalian bikin pengakuan, Ka. Biar gue deg-degannya sekalian, nggakusah jantungan tiap kali ketahuan kayak gini.”

Kama meraih tangan Gege. Menatapnya, “Jangan didengerin. Lo mau lanjut potong rambut gue nggak?” tanyanya.

Javindra yang maju paling depan, dia menampar tangan Kama agar terlepas dari pergelangan tangan Gege. “Nggak, sini gue aja yang potong rambut lo daripada nanti ada korban baru yang lihat lo cium-cium perut Gege kayak tadi terus—“

“HEH, ANJING CIUM PERUT GIMANA MAKSUDNYA?!” Yesa histeris sekali.

 

***

Bu Emi, selaku staf informasi Desa Welasasih membuatgeger posko di jam-jam sebelum hari beranjak larut. “AA YESA! FOTONYA DIPASANG JADI BALIHO DI JALAN MASUK DESA DEKAT PUSKESMAS!”

Setelah mendapatkan informasi tersebut, beberapa anggotaKKN memastikan hal itu. Mereka melihat foto Yesa yang dicetak di kain spanduk dipasang di samping dindingPUSKESMAS dengan tulisan AA YESA, I LOVE YOU.

“Katanya sudah izin ke desa untuk pasang di sana. Tapi nggak tahu juga, A.” Itu menurut keterangan warga setempat yang melihat pemasangan spanduk besar tersebut.

Di ruang tengah, semua anggota KKN 111 berkumpul. Malam itu adalah malam terakhir sebelum Kama berangkat keJakarta pada esok hari. Jadi, mereka sepakat untuk melakukan evaluasi kegiatan walaupun waktu sudah sangat larut. Tentu saja sambil menahan tawa, semua masih terbayang-bayang bagaimana foto spanduk yang Gesang kirimkan ke gruppercakapan KKN 111 menampakkan foto Yesa yang mirip caleg salah satu partai politik.

“Sejauh ini semua proker berjalan lancar,” ujar Kama. Dia berdeham. Mencoba profesional dengan menahan tawanya.“Gue juga berharap selama gue nggak ada, tetap ada yang bantu Javin untuk nyelesaiin prokernya dia. Karena ... ituproker paling ribet dan detailnya benar-benar harusdiperhatikan dengan hati-hati, salah sedikit fatal banget akibatnya,” ujar Kama.

Alat pembakar sampah minim asap itu memang membuat Javindra stres sendiri akhir-akhir ini.

“Nggak perlu bantu megang alat, kayak ... cukup bantu kasih beberapa peralatan atau bantu kasih bahan aja keJavindra itu bakal bantu banget kok,” lanjut Kama.

Yesa berdeham. “Javin doang yang harus dibantuin?” Dia melirik sinis, pasti masih mengingat kejadian tadi sore di mana Javindra menjadi anggota baru di grupnya.

“Ya nggak,” ujar Kama. “Yang lain juga, pokoknya saling bantu aja. Gue percaya kalian bisa saling support.” Wajahnyamendongak kali ini.  “Ada yang mau ditanyain lagi nggak terkait proker atau kegiatan di desa?”

“Karang taruna minta bantuan kita untuk ikut kegiatan bakti sosial sunatan masal, ini belum kita bahas,” ujar Yash.

“Oh iya, selama gue nggak ada, lo bisa gantiin gue Yash, kalau diminta untuk ikut rapat atau rembukan di desa sama Karangtaruna, atau siapa aja yang lagi free.” Kama menatap seluruh anggotanya.

“Maju tuh, Ge, rapat di desa, biar ketemu sama anaknyaBu Haji Marwah,” ujar Juana sambil tertawa-tawa.

Kama menoleh pada Gege. “Kalau cewek yang berangkatrapat, harus ditemenin cowok ya.” Saat mengatakannya, tatap Kama hanya tertuju pada Gege, seolah-olah itu adalah peringatan. “Jangan sendirian,” gumamnya. Lalu, sesaat kemudian dia berubah pikiran. “Atau ... selagi ada anggotacowok yang bisa jalan, nggak usah lah cewek ikut rapat ....”

Agar pembahasan itu tidak semakin panjang dan membuat orang lain curiga, Gege segera bertanya “Lo butuh file semua laporan kegiatan nggak, Ka? Katanya nanti lo bakal ke kampus untuk ketemu Pak Jafar?”

“Oh, iya .... Tolong kumpulin file-nya, jaga-jaga siapa tahu Pak Jafar nanyain lagi,” jawab Kama. “Beliau belum bisa berkunjung ke sini karena masih dalam masa penyembuhan.” Beberapa hari yang lalu, beliau mengabari bahwa baru sajamenjalani operasi lasik dan belum bisa melakukan perjalananjauh untuk melakukan kunjungan ke posko.

“Oke.” Gege mencatat sesuatu di iPad-nya yang dia taruh di paha sebelah kanan sambil menunggu Kama, laki-laki yang duduk di sampingnya itu, kembali bicara.

Dan benar, suara Kama kembali terdengar. Kamamelebarkan jaket miliknya di pangkuan, sehingga ujung jaketnya menutup iPad yang masih ditaruh paha Gege. “Ada yang mau ditanyain lagi?” tanya Kama. Tangannya, yang berada di dalam jaket, meraih tangan Gege yang berada di atas iPad. Tanpa ada yang tahu, Kama menggenggam tangannya diam-diam.

Dan Gege menoleh, tapi Kama tampak tenang saja mendengarkan anggota lain berbicara.

“Masalah spanduk yang dipasang di dindingPUSKESMAS—“ Suara Yesa terhenti karena tawa-tawa yang sejak tadi ditahan, kini meledak juga. Dan sekarang, Yesa hanya menghela napas, tampak putus asa. Dia menatap semua pasang mata. “Eh, jangan pada ketawa dulu dong, ini masalahserius.”

Semua berdeham untuk menghargai raut wajah Yesa yang panik, semua pura-pura menyimak.

“Ngaku dulu sama gue, siapa yang kasih foto gue ke NengMarisa sampai komuk gue bisa jadi spanduk gede begitu?” tanyanya. “Mana prosesnya cepet banget lagi, cuma selangbeberapa jam dia pergi, tuh spanduk udah jadi aja.”

Cleona angkat bicara. “Gue yang kasih,” akunya. “Soalnya dia minta ....” Sebelum Yesa kembali bicara, Cleona melanjutkan ucapannya. “Tapi lo harusnya cukup bersyukurkarena foto lo nggak dijadiin bahan pelet atau santet, malahdibikin spanduk. Memorable. Mana ada anggota KKN lain yang fotonya dibikin spanduk begitu?”

“Berhenti ngomong sebelum gue tungkep mulut lo,” ancam Yesa. Entah akan berakhir sampai kapan pertikaianmereka itu.

“Yes, lo harusnya makasih nggak sih sama Ona?” Juana tidak terima atas kemarahan Yeaa. “Dia udah nemuinpemenang undian dua miliar yang—“ ucapannya tidak selesaikarena tawanya yang tiba-tiba meledak. Dan yang lain ikut-ikutan tertawa. “Aduh, Neng Marisa maaf, nggak kuat gue.”

“Calon pacar dua miliar udah ketemu nih ceritanya,” imbuh yang lain.

“Dipoles dikit pakai dua miliar mah jadi bener Neng Marisa, Yes. Tenang aja,” ujar Javindra.

“Tuh, kan. Semua mendukung.” Cleona merasa dibela. “Gue tinggal nunggu duit komisi dari Gege deh, katanya mau dibagi dua.”

“Siapa yang mau ngasih komisi kalau lo ngumpanin gue ke cewek modelan Neng Marisa?” tanya Yesa. “Nyokap gue pasti nahan-nahan duitnya kalau liat wujud Neng Marisa sekarang.”

“Kata Neng Marisa kan ini masih awal, Yes. Kenalannya bersambung, masih bisa diperbaiki seiring berjalannya waktu.” Gege mencoba meredakan kemarahan itu. “Segala hal masih bisa diperbaiki.”

Namun, yang ada Yesa malah tambah meledak. “Mana ada bersambung? Nggak, nggak, langsung tamat aja.”

Rajata berdecak. “Eh, nggak boleh gitu. Jodoh nggak boleh ditolak.”

“HALAAAHHH.” Yesa memutar bola mata, tampak sangat muak. “Coba lo yang kepilih, Ja. Jago lo mau ikhlasnemenin Neng Marisa dari nol begitu.”

“Gue mah, tinggal terima duitnya, beliin kandang. Beres.” Rajata mendapatkan hadiah lemparan bolpoin dari Yesa.

“Yes, jangan merusak kebahagiaan Gege dong. Dia udah seneng banget tahu, dagangannya sold out.” Sabine mencebik.

“Gue merasa belum laku ya.” Yesa masih tidak terima. Lalu menoleh pada Gege. “Ge, banyak pedagang yang kalau dagangannya nggak laku, dimakan sendiri.” Ucapan itu malah menghasilkan tawa.

Namun, ada satu orang yang tidak terima. Kama mengeratkan genggaman tangannya di bawah jaket. “Maksudnya?” Keningnya mengernyit. “Gege yang harusmungut lo kalau Lo nggak laku?”

Yesa mencebik. “Canda elah,” ujarnya, menghindariperdebatan. “Nikah sama kuda gue udah.” Muak sekali dia.

Kama mengalihkan tatapnya dari Yesa, kembali padaanggota KKN yang lain. “Ada lagi nggak, yang mau disampein?” tanyanya. “Sebelum gue tutup evaluasi malam ini.” Jemari Kama kini bermain di telapak tangan Gege, tapi tatapnya memendar, memperhatikan anggotanya.

“Gue minta satu deh, jadwal masak yang jelas,” ujarJenggala. “Seandainya Samira dan Juana nggak ada, siapapengganti mereka. Minimal dua orang sih, jadi kalau pun Sabine kebagian masak, nggak ngaco-ngaco bangetmasaknya.”

Sabine baru saja membuka mulut, sambil memeluk bantal bunga, dia hendak membela diri. “Jengga—“

“Stop ya, Bine. Harus ada yang kasih tahu lo kalau nasigoreng itu nggak pakai air. Harus ada yang arahin bahwaampela itu tempat ampas alias tempat penggilingan makanan ayam sebelum jadi tai—duh, nggak sanggup gue.” Jenggalamenunjuk Sabine, lalu tatapnya memendar pada seluruh anggota. “Tolong dong kasih tahu gue, Sabine ini ngikut sekteapa kalau masak?”

“Sabine mah udah bener senam hamil aja, main salon-salonan sama Sindy, nggak usah masuk dapur,” tambah Javindra.

Sabine hanya mencebik, lalu mendelik kesal pada Jenggala dan Javindra. “Lo nggak usah banyak protes bisa nggak? Kayak Yash, kayak Kama gitu? Mereka nggak pada berisik kayak lo berdua yang tiap hari protes masakan guetuh!”

“Sebenernya hati mereka berisik banget, Bine, gue yakin,” balas Javindra. “Cuma mereka males aja.”

“Eh, Ge.” Sabine menepuk-nepuk lengan Gege yang duduk di sampingnya. “Buang Javin ke sungai, yuk!”

Javindra tidak menanggapi ucapan itu karena setelahnya, Kama menengahi. Dia menyetujui jadwal memasak yang diajukan oleh Jenggala. Itu artinya, setiap hari, selain piket kebersihan, akan ada dua orang lagi yang ditugaskan untuk memasak di posko.

“Bikin daftarnya sekarang aja, Ge, biar langsung di-print!” ujar Javindra semangat sekali.

“Oke.” Gege hendak menggerakkan tangan kanannya yang tertutup jaket, tapi di bawah sana, Kama masih menggenggamnya. Jadi, dia ambil iPad-nya dengan tangan lain, dia alihkan ke paha kiri, dia gerakkan jemari tangan kirinya untuk bekerja sementara tangan kanannya masih digenggam oleh Kama.

Ini apa-apaan, sih?

Jika ingin, Gege bisa saja menepis tangan itu. Namun, sensasi serangga kecil yang kini bergerak-gerak di dalam perutnya terasa menyenangkan sekali.

“Ada lagi? Yang mau disampein sebelum gue akhiri evaluasi malam ini?” tanya Kama.

Javindra, lagi-lagi, mengacungkan tangannya. “Kalau kata gue, boleh tuh sekali-kali adain pengajian di posko. Karena kayaknya akhir-akhir ini, posko kita udah mulai dikuasai jin mesum dan birahi. Apalagi di lorong.”

Wajah Gege memerah.

“Jangan sekali-kali ada yang main ke lorong sendirian,” lanjut Javindra dengan jari telunjuk yang mengacung. Lalu, terakhir, dia benar-benar menunjuk Gege. “Apalagi lo, Ge.”

Kama berdeham. Mengabaikan saran Javindra yang membuat anggota lain bertanya-tanya dengan kening mengernyit. “Oke, kayaknya udah cukup, ya?”

Javindra mendecih kesal sambil memalingkan wajahkarena tidak didengar.

Sementara Kama kembali bicara sebelum evaluasi itu benar-benar diakhiri. “Gue harap, evaluasi tetap berjalan selama gue nggak ada,” ujarnya. “Ingat ya, evaluasi hanya untuk bahas kegiatan, progres program kerja, dan masukan-masukan dari warga, nggak untuk membahas masalah personal—biar nggak jadi masalah.”

Semua menyetujui hal itu. Dan dengan begitu, evaluasi malam itu berakhir. Perlahan, orang-orang terurai dari ruang tengah, termasuk Kama sendiri yang kini bangkit berdiri dan melepaskan genggamannya dari tangan Gege karena Yash mengajaknya bicara ke beranda.

Di ruang tengah, kini tersisa Sabine yang sejak tadi, entah kenapa, selalu duduk mendekat pada Gege dan menatapnya berkali-kali. Seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi urung, terus bergitu.

“Ge!” panggil Sakala dari beranda, laki-laki itu melongokkan kepala ke arah ruangan. “Sabine bisa nggak, nggak usah lo kasih jadwal masak?” tanyanya. “Tiap kali Sabine dapet jadwal masak, gue ajak dia nyalon aja biar nggak meracuni lebih banyak orang di posko.”

“Lo serius?” Sabine menyangsikan ucapan itu.

“Serius.” Sakala mengangguk.

Sabine menudingkan telunjuknya pada Sakala. “Lo kalau bohong, gue buang mulut lo itu ke sungai ya!”

“Yaelah, kapan gue bohong?” tanya Sakala. “Gue bayarin, duit gue banyak!”

Sabine mencebik, lalu menggerutu. “Tuh orang, beneran ngomong sama nyombong tuh nggak ada bedanya.” Jika dulumungkin dia akan kegirangan mendapatkan ide dari Sakala itu, kali ini dia tampak murung. Karena hobi baru Sabine sekarang adalah memasak untuk orang-orang di posko. Dengan kata lain meracuni satu posko. Oh, tolong jangan katakan hal itu langsung di hadapannya, karena tentu saja akan melukai hatinya.

“Tapi kalau lo mau tetap masak di posko, nggak apa-apa,” ujar Gege. Ingin mengembalikan senyum Sabine dan tingkahnya yang selalu antusias. “Gue bikinin jadwalnya.”

Dan berhasil. Cengiran Sabine kembali. “SERIUS?! BOLEH! BOLEH!” Dia bertepuk tangan kecil. “Makasih ya, Ge!” ujarnya.

Gege pikir, setelah mendapatkan keinginannya, Sabine akan pergi dari sisinya dan bicara pada Sakala. Nyatanya, perempuan itu masih duduk di samping Gege. Bahkan lebih merapat dengan menyeret-nyeret pantatnya. “Ge ....”

Gege masih mengotak-atik jadwal memasak di iPad-nya. Namun, dia alihkan tatapnya pada Sabine sekarang. “Kenapa?”

“Kecepatan nggak ya ... kalau gue mengakui, gue cinlok sekarang?” tanyanya.

Gege mengerjap-ngerjap. Lalu, tatapnya terarah pada Kama dan Yash yang tengah mengobrol di beranda luar. Dia memperhatikan dua laki-laki itu dari balik kaca ruang tengah.

“Tapi dia cowok orang, Ge,” lanjut Sabine.

Gege berdeham. Dia ingin sekali bertanya. Siapa? Namun, itu tidak boleh dia lakukan selama Sabine tidak ingin menceritakan siapa orangnya. Gege hanya memiliki clue, bahwa laki-laki itu berkacamata. Namun, tidak dipungkiri Gege penasaran sekali.

“Awal-awal, gue sama sekali nggak pernah kepikiran bakal suka sama orang kayak dia.” Sabine kembali bercerita dengan kesan misterius. “Tapi lama-kelamaan, kok kayak ... seneng aja gitu ngelihat cara dia ngomong sama orang, cara dia natap orang, cara dia benerin kacamata—DAN MENURUT GUE YA GE, COWOK YANG PAKE KACAMATA ITU KAYAK LAGI PAKE PELET.” Sabine menjerit tertahan, membenamkan wajah ke bantal bunganya. “CAKEEEP!”

Gege kembali menoleh ke arah luar, mengikuti arah pandang Sabine. Menebak sosok laki-laki yang Sabine maksud, Kama atau Yash? Jangan sampai Kama—oh, maksudnya, bukan artinya Gege tidak ingin bersaing. Namun, masalahnya akan sangat rumit jika hal itu terjadi.

Sabine bersandar ke pundak Gege. Tampak lemas sekali. “Gue pernah ngatain Sindy oon gara-gara dia suka sama kucing kampung ..., tahunya gue sendiri lebih oon karena suka cowok orang.”

Gege tersenyum saat Sabine mengangkat wajah dari pundaknya dan menatapnya lagi. “Nggak ada yang salah sama perasaan suka lo, Bine .... Selama lo nggak berusaha masuk ke dalam hubungan tuh cowok sama ceweknya, aman aja.” Gege membenarkan jepit merah muda di rambut Sabine. “Sementara itu, lo kaji dulu deh perasaan lo itu. Lo kenali dulu, siapa tahu itu cuma perasaan kagum yang lama-lama bakal hilang sendiri.”

“Kalau nggak hilang?” tanya Sabine.

“Pahami batasan,” ujar Gege. “Menghormati hubungan orang lain itu penting, Bine. Meskipun gue bilang, perasaan suka lo itu nggak salah, bukan berarti lo bisa bertindakseenaknya sama cowok orang dan bisa merugikan pihak lain apalagi sampai memengaruhi hubungan mereka.”

Sabine menghela napas, selama satu-dua detik dia mencoba mencerna apa yang Gege katakan.

“Kalau nggak berhasil, lo bisa banyak ngobrol sama gue supaya lo puas mengekspresikan perasaan lo ke orang itu tanpa mengambil tindakan ceroboh,” lanjut Gege.

Akhirnya, Sabine tersenyum, walaupun sedikit dipaksakan. Dia membenarkan jepit rambut merah mudanya, lalu, “Oke. Kayaknya setelah ini gue akan menjadi langganan di ‘ruangan berbagi’ lo deh, Ge,” ujarnya. Tangannya terulur, menjabat tangan Gege. “Bantuin gue ya .... Untuk mengendalikan perasaan ini.” Wajahnya serius sekali, tapi justru hal itu yang membuat Gege tertawa dan merangkulnya.

“Gue adalah orang yang bisa lo percaya, tenang aja!” janji Gege.

Setelahnya, percakapan Gege dengan Sabine harus berakhir karena Gege harus menyiapkan file yang Kama minta untuk keberangkatannya ke Jakarta esok hari. Gege memasuki ruang kerja dan menutup pintu, duduk di balik meja, menyalakan MacBook yang memang digunakan untuk segala keperluan KKN.

Di sana Gege mengumpulkan beberapa file, merapikannya dalam satu folder. Tidak ada yang mengganggunya saat tiba-tiba dering ponsel membuat perhatiannya teralihkan. Nama ‘Mia’ muncul di sana, membuat Gege tersenyum dan segera meraih ponselnya. Tatapnya kembali tertuju pada monitor, sementara tangannya sudah menempelkan ponsel ke telinga setelah membuka sambungan telepon.

“Halooo, Sayaaang!” Belum sempat Gege menyapa, suara nyaring dan antusias dari seberang sana sudah terdengar.

“Halo, Miaaa!” Gege membalasnya dengan suara nyaring yang sama diikuti tawa pelan.

“Mia ganggu nggak sih, Nak?” tanyanya.

“Nggak dooong. Kenapa harus ganggu? Ada apa, Mi?” Gege kembali fokus pada tugasnya.

“Mia dengar Kama mau pulang ke Jakarta ya, besok?”tanyanya. “Kamu ikut pulang juga nggakkk?”

Sayang sekali karena Gege tidak bisa menyambut pertanyaan antusias itu dengan kabar baik. “Nggak, Mi. Aku nggak ikut. Kama aja yang pulang, aku masih di sini.”

“Lho, kok gitu?” Suara wanita itu terdengar kecewa. “Mia kan kangennya sama kamu, bukan Kama. Kok, malah Kamadoang yang pulang?”

Gege kembali melepaskan tawa. “Miaaa, nggak boleh gituuu.”

“Tapi beneran, Mia lebih kangen sama kamu lho! Kangen jalan bareng-bareng sama Bubu!” Suara murungnya terdengar. “Kamu nggak bisa izin pulang dulu sebentar apa? Lagian Kama nggak akan lama di sininya, kan? Ketemu Mia doang, peluk dulu, udah deh habis itu nggak apa-apa pergi lagi.”

“Nanti ya .... Kalau tugasku di sini agak longgar aku pulang supaya bisa—“

“Eh, atau nanti Mia ikut Kama aja ke Welasasih ya nanti?” Idenya begitu buruk. “Sekalian Mia pengen ajak kamu—“

“Jangan, Mi!” Gege berdeham karena sadar suaranya terlalu nyaring saat menolak kehadiran wanita itu. “M-maksudaku, jangan dulu .... Mia kan baru dari sini tuh .... Dan Mia tahu kan perjalanannya sejauh apa?” Gege masih merasa bersalah atas penolakannya. Suaranya kini melembut. “Nanti ... kalau ada waktu, aku pulang deh nemuin Mia .... Ya?”

“Tapi kapan, Sayang?” tanya Mia, suaranya masih murung.

“Secepatnya, nanti aku cari waktu secepatnya.” Janji yang berbahaya sekali, tapi lebih berbahaya jika Mia, Bubu, dan teman-temannya kembali mengunjungi posko dan mengacau lagi. “Oke?”

“Oke deh ....”

Gege agak tenang sekarang. Kembali pada pekerjaan yang sebelumnya tengah dia kerjakan, mengumpulkan file itu dalam satu folder dengan format yang rapi. “Mia lagi apa? Tumben banget hari ini nggak update WA story sama Bubu?”

“Iya, nih .... Mia lagi males ngapa-ngapain. Seharian bawaannya maleeesss terus. Lihatin foto kamu sama Kama. Mengkhayal kamu sama Kama cepet nikah, terus Mia punya cucu.” Mia tertawa.

Jauh sekali khayalannya, ya?

“Seru banget kayaknya! Mia nggak akan kesepian lagideh Ge, kalau punya cucu,” lanjut Mia.

Gege hanya menyambutnya dengan tawa, karena dia bingung sendiri harus menanggapi ucapan itu dengan kalimat seperti apa.

“Sebenarnya, nggak apa-apa lho, Ge, kalau mau nikah sekarang-sekarang ....”

HEH?

“Nikah sambil kuliah tuh nggak apa-apa, Ge.”

“Ng .... Aku seneng sih ..., karena itu artinya aku bisa lebih dekat lagi sama Mia.” Jawabannya ini adalah intro sebelum dia menolak ide Mia barusan. “Tapi ... kayaknya akan lebih bagus lagi kalau aku mengambil beberapa waktu supaya mental dan emosionalku siap. Gitu, kan, yang Mia bilang?”

“Iya, sih ....” Lalu, terdengar lagi pertanyaan. “Tapi Kama nggak macam-macam kan selama di sana?”

Bertepatan dengan pertanyaan itu, Gege melihat pintu ruang kerja terbuka. Sosok Kama muncul. Melihat Gege yang tengah menempelkan ponsel ke telinga, keningnya mengernyit. “Telepon siapa?” tanya Kama..

Sesaat Gege menjauhkan ponselnya. “Mia.”

“Oh ....” Bukannya pergi, Kama malah ikut masuk ke ruangan itu lalu menutup pintu.

“Ge? Sayang?” Suara Mia terdengar, karena Gege belum menjawab pertanyaannya. “Kama nggak macam-macam, kan?”

“Aman, Mi .... Aman kok.” Gege berdeham. Karena Kama kini duduk bersila di belakangnya dan merapatkan dada ke punggungnya. Wajah laki-laki itu dia simpan di pundak Gege.

Gege menahan napas. Sesaat dia rasakan degup jantungnya berdegup lebih kencang. Dia temukan juga sensasi menggelitik di perutnya saat tubuh laki-laki itu merapat.

“Kadang Mia khawatir—kamu kayaknya nggak bisa cuma mengandalkan Yesa deh, soalnya percuma, Kama itu akan punya seribu cara untuk deketin kamu. Mia tahu banget, karena dia nggak akan jauh beda sama papinya,” ujar Miabegitu khawatir. “Kamu harus benar-benar jaga diri ya, Sayang?”

“I-iya .... Iya, Mi.” Gege berdeham. Karena, Gege sudagmenemukan Kama mengulurkan kedua tangannya ke depan, melewati pinggangnya, meraih tangannya, memainkan jemarinya.

Oke, tenang, Gege.

Suara Mia kembali terdengar. “Ingat apa kata Mia, jangan mau dipegang.”

“Iya, Mi ....” Padahal Kama sudah merapatkan lengannya di sekeliling perut Gege, memeluknya dari belakang.

“Jangan mau dipeluk, apalagi dicium.”

Dan Gege baru saja menemukan Kama mendaratkan sebuah ciuman singkat di pundaknya. Satu kali. Dua kali.Gege mengerjap. “Ng—iya .... Mi ....”

“Ya udah, nanti Mia telepon lagi ya, Pia baru pulang tuh kayaknya. Dah, Sayang! Salam buat Kama ya!”

“Iya .... Mi.”

Saat Gege baru saja melepaskan ponsel dari samping telinganya. Kama mendaratkan ciuman ketiga di pundaknyayang membuat wajah Gege berjengit sedikit menjauh. Dia temukan gelitik di perutnya semakin hebat, nyaris terasa nyeri karena laki-laki itu terus mendekat dan melakukan hal-hal yang diluar dugaannya. Setelahnya, Kama berbisik. “Besok gue pergi ....”

Gege menggumam kecil. Karena setelahnya, Kama terlalu cepat mendaratkan satu ciuman di pelipisnya. “Ka ....” Belum sempat bicara, ciuman selanjutnya tiba di sisi wajahnya, lalu di sisi lehernya, kembali ke pundaknya. Terakhir, Kama mendaratkan ciuman singkat di lengan Gege. Sebelum jemarinya bergerak terangkat, menarik dagu Gege agar menoleh ke belakang dan membuatnya berhasil mendaratkan satu ciuman singkat di bibir Gege.

Singkat ..., benar-benar hanya sebuah kecupan ringan.

Sesaat wajah Kama menjauh, Gege pikir, laki-laki itu akan menghentikan tingkahnya yang berbahaya itu. Nyatanya, Kama kembali mendaratkan ciuman yang lebih kuat di bibirnya, kali ini ... tidak lagi singkat. Gege temukan sebuah keadaan di mana denyut jantungnya begitu nyeri saat bibir Kama mulai memberi jejak, sesekali mencoba mencecap, melumat kecil, mencumbu lembut.

Ini pernah Gege bayangkan sebelumnya. Dulu. Dulu sekali sebelum dia berusaha lenyapkam harap itu pada Kama. Namun, kini dia temukan nyata, yang ternyata lebih ... menyenangkan dari sekadar membayangkan.

Gege bisa merasakan bagaimana jemari Kama bermain di sisi wajahnya, menopang tengkuknya tanpa memaksa. Gege temukan gerak bibir Kama bergerak lebih menekan, tapi tetap perlahan. Gerakan yang terkesan hati-hati itu masih berlangsung hingga, “Ge, gue mau minta tolong bikinin—“ Suara Yesa, bersamaan dengan pintu ruangan yang terbuka. “Anjing.”

Sepertinya, hanya Gege yang terkejut di sini. Hanya Gege yang merasa nyawanya terbang dan jiwanya kosong. Karena Kama, masih sempat-sempatnya menuntaskan ciuman itu dengan memberi satu kecupan sebelum wajahnya menjauh. Dia tersenyum singkat sambil menatap Gege. “Yah .... Ketahuan,” gumamnya sambil mengusap bibir basah Gege dengan ibu jarinya.

***

 

 

 

  

YESA KATAKU KAMU MAKHLUK PALING MENYEDIHKAN DI DUNIA SIH YES 🥲🥲🥲

 

Menurut kalian nih, apa yang akan Yesa lakukan setelah ini? WKWKWKWK.

 

Mau Additional Part nggakkk sebelum Kama berangkat ke Jakarta?WKWKWKWKWKWKWKWKWK 👀

 

VOTE DULUUU.

 

KOMENNYA BANYAKIIIN DULUUU.

 

KASIH API YANG BANYAK DI SINI NANTI KUPUBLISH ADDITIONAL PART-NYA DEEEH 😋🔥🔥🔥🔥

post-image-67af6010c1fe4.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Kkn
Selanjutnya Hello, KKN! | [Additional Part 30 – Satu-satu, Perlahan Tahu]
1.6k
479
Haiiii. Selamat membaca Yesa yang makin stress sementara Gege-Kama yang malah makin nggak mau pisaaahhh wkwkwk.   cengar-cengir bareng laaah kita yaaa 😋
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan