
Adam memulai hari dengan membuat roti isi telur sebelum pergi ke supermarket, tanpa menyangka akan bertemu Hawa. Sepulang Hawa, ia merenungkan pertemuan itu, mulai mempertimbangkan untuk memberi kesempatan pada cinta yang belum sepenuhnya berakhir.
Adam membuka kulkas dan menemukan satu butir telur tersisa. Ia merasa beruntung. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk membuat roti isi telur—sebuah pilihan yang praktis. Menu sederhana itu selalu menjadi andalannya saat ia tidak ingin repot di pagi hari.
Pagi itu, udara sejuk menyusup lembut dari celah-celah jendela indekos Adam. Hembusan angin pagi membawa aroma embun dan dedaunan basah setelah hujan semalam, berpadu dengan harum kopi yang baru diseduh, membuat ketenangan yang tak tertandingi. Di luar, suara burung-burung berkicau samar, bercampur dengan bunyi kendaraan yang sesekali melintas di jalanan kecil dekat indekos, memberikan kesan yang familiar. Matahari baru saja terbit; cahayanya mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan yang perlahan-lahan membanjiri ruangan mungil itu.
Hari ini akan baik-baik saja, pikirnya seraya tersenyum. Tidak ada pekerjaan besar yang harus diselesaikan, hanya beberapa hal yang perlu dibeli di supermarket. Ia menghabiskan sarapannya dengan lambat, menikmati setiap gigitan, membiarkan pikirannya kosong. Setelah selesai, dia bergegas untuk bersiap-siap pergi.
Di supermarket, Adam mendorong troli dengan santai, memeriksa daftar belanja di teleponnya. Saat sedang memilih-milih telur, dia melihat sosok yang begitu familiar tidak jauh darinya. Hawa. Dia tidak percaya pada pandangannya. Hawa sedang berdiri di sana, memegang keranjang belanja, tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mata Adam terbelangah, dan jantungnya berdegup lebih kencang.
Apakah sebaiknya aku menyapa? Atau mungkin lebih baik berpura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan hari ini tanpa gangguan? Namun, ada sesuatu yang mendorongnya untuk mendekat. Bagaimanapun, mereka pernah berbagi begitu banyak kenangan bersama. Mungkin tidak ada salahnya menyapa.
Dengan napas yang sedikit tertahan, Adam berjalan mendekati Hawa. “Hai, Hawa,” sapanya lembut.
Hawa terkejut, menoleh ke arah suara yang sudah begitu dia kenal. "Adam?" jawabnya, masih agak terperangah. Senyumnya muncul, meskipun tampak canggung. "Hei, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu."
Percakapan awal mereka dipenuhi oleh ketegangan. Ada perasaan aneh yang menggantung di antara mereka. Namun, Adam mencoba mencairkan suasana. “Apa kabar? Kamu belanja juga?”
Hawa tersenyum tipis, mengangkat keranjangnya yang setengah penuh. “Iya, cuma belanja kebutuhan sehari-hari. Kamu sendiri?”
Adam mengangguk. “Sama.”
Suasana menjadi sedikit lebih santai setelah itu. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal kecil, tentang pekerjaan, tentang bagaimana kehidupan mereka sekarang. Obrolan ringan yang menutupi ketidaknyamanan di bawahnya. Adam sesekali mencuri pandang ke arah Hawa, memperhatikan bagaimana dia tampak tidak banyak berubah. Wajahnya masih memiliki ketenangan yang dulu membuat Adam jatuh cinta, meskipun ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan matanya, seolah-olah ada jarak yang tidak dapat diabaikan.
“Aku ingat saat kita dulu sering belanja bareng,” kata Adam tiba-tiba, tanpa sadar membiarkan pikirannya terjebak dalam kenangan. “Kamu selalu ambil sayuran dan buah-buahan dulu, sementara aku sibuk mencari camilan.”
Hawa tertawa kecil, nada yang Adam kenal baik. “Ya, kamu selalu pulang dengan keranjang penuh makanan ringan. Aku heran gimana kamu bisa makan itu semua dan tetap sehat.”
Adam tersenyum, merasa sedikit lega. Ada kehangatan dalam percakapan mereka yang membangkitkan kembali kenangan indah. “Mau makan siang bareng? Sekarang sudah lewat jam makan siang, tapi ada kafe di dekat sini. Kita bisa mengobrol lebih lama kalau kamu enggak buru-buru.”
Hawa tampak ragu sejenak, tapi kemudian dia mengangguk. “Boleh. Aku juga enggak ada rencana lain hari ini.”
Mereka naik motor Adam ke kafe kecil di dekat supermarket, duduk di sudut yang nyaman dengan jendela besar menghadap ke jalan. Udara di luar cukup sejuk, dan sinar matahari sore masuk dengan lembut melalui jendela. Suasana kafe yang tenang membantu mengurangi kegelisahan mereka.
Obrolan mereka mulai mengalir dengan lebih mudah, membicarakan kehidupan masing-masing. Adam bercerita tentang pekerjaannya, tentang bagaimana dia telah berusaha membangun kehidupan yang stabil setelah perpisahan mereka. Hawa mendengarkan dengan seksama, meskipun Adam bisa melihat ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyumnya.
Saat mereka berbicara, kenangan lama perlahan-lahan muncul ke permukaan. Mereka berbagi tawa saat mengingat momen-momen lucu selama kuliah, seperti pertengkaran kecil mereka tentang film yang mereka tonton. Namun, di tengah percakapan itu, ada perasaan yang lebih dalam yang mulai muncul di antara mereka. Ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang masih menggantung di udara.
Setelah beberapa saat, Adam akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Hawa, kamu masih ingat waktu kita bicara soal masa depan dulu? Waktu itu kita banyak membicarakan rencana, tapi aku enggak pernah tahu kenapa kamu tiba-tiba ragu.”
Hawa terdiam sejenak. Dia menghela napas pelan, menunduk pada cangkir kopinya. “Aku ingat, Adam. Aku tahu itu enggak adil buat kamu waktu itu. Aku enggak bisa menjelaskan semuanya saat itu karena aku sendiri enggak tahu apa yang aku rasakan. Aku takut ... takut kalau kita akan berakhir seperti kedua orang tuaku. Aku enggak mau merusak hubungan kita, tapi aku selalu merasa bahwa hubungan yang terlalu dekat akan berakhir buruk. Aku melihat itu di keluargaku sendiri, dan aku takut, kalau kita semakin dekat, semuanya akan hancur,” lanjut Hawa, suaranya lembut namun penuh emosi.
Adam menatapnya dengan lembut. “Aku mengerti. Waktu itu aku enggak pernah tahu bagaimana harus merespon, karena aku juga belum dewasa sepenuhnya untuk memahami apa yang kamu alami. Tapi Hawa, aku di sini sekarang. Kita bisa bicara soal apa pun.”
Hawa tersenyum tipis, tapi ada kebingungan yang jelas tersirat di wajahnya. “Adam, aku enggak yakin kita bisa kembali seperti dulu. Aku masih merasakan rasa takut yang sama. Tapi, aku juga enggak bisa mengabaikan perasaan ini.”
Mereka terdiam, membiarkan kata-kata mereka menggantung di udara. Suasana kafe yang tenang sangat mendukung mereka yang sedang berada dalam keheningan yang bermakna. Hati mereka tahu bahwa meskipun ada banyak hal yang tidak terselesaikan, ada juga perasaan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Setelah selesai makan, mereka keluar dari kafe. Angin sore yang sejuk menerpa wajah mereka saat mereka berdiri di depan pintu kafe. “Terima kasih sudah mengajakku makan siang,” kata Hawa, suaranya terdengar tulus.
Adam tersenyum lembut. “Aku senang bisa ketemu kamu lagi.”
Mereka berpisah dengan perasaan campur aduk. Hawa berjalan pulang dengan perlahan, pikirannya dipenuhi oleh percakapan mereka. Ada keinginan dalam dirinya untuk memberikan kesempatan lagi pada hubungan mereka, tapi rasa takut itu masih begitu kuat. Apakah dia bisa melewati semua itu? Atau apakah rasa takutnya akan selalu menjadi penghalang?
Sampai di rumah, Hawa merenungkan pertemuan itu. Dia mulai menyadari bahwa mungkin dia tidak bisa terus-menerus melarikan diri dari perasaannya. Mungkin sudah waktunya untuk menghadapi rasa takutnya dan mencoba membuka hatinya lagi. Adam masih ada di sana, dan perasaan itu belum sepenuhnya hilang.
Hawa berdiri di depan jendela, menatap keluar ke arah langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa keputusan besar menunggunya. Entah untuk melepaskan sepenuhnya, atau untuk membserikan cinta mereka kesempatan kedua.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
