
Bab 4. Super Dad
Kinan melepaskan apron merahnya dari leher. Melipatnya lalu memberikan benda itu pada asisten rumah tangga keluarga Pramono. Bukan Bulek Tatik karena beliau sudah keluar dari pekerjaan itu. Bulek Tatik pulang kampung karena harus mengurus Ibunya yang sudah renta dan lemah. Saat akan kembali ke Jakarta kemarin, dia dan Arya juga sempat mampir ke rumah beliau untuk berpamitan.
"Tolong diberesin, ya, Bik." ucap Kinan pada asisten rumah tangga yang ia perkirakan berusia lebih dari 40 tahun itu. Maksudnya adalah membereskan dapur yang berantakan setelah ia memasak untuk makan malam nanti.
"Baik, Bu." jawab Bik Inah. Asisten rumah tangga yang baru itu sudah memanggil Kinan dengan sebutan nyonya, tapi Kinan menolaknya dengan halus. Dia tidak suka dipanggil nyonya. Menurutnya, kata nyonya terlalu berlebihan.
Kinan lalu keluar dari dapur dan berniat mencari anak dan suaminya berada. Rumah terasa sepi karena Pak Hadi dan Ibu Ratri pergi menghadiri jamuan dari seorang rekan kerja. Dian juga belum pulang.
Kakinya melangkah menuju ruangan yang diperuntukkan khusus bagi Ara agar bayi itu bisa bermain sepuasnya. Dia mendengar ada suara tawa dari sana. Wanita itu membuka pintunya perlahan. Mengintip keadaan di dalam sana yang membuat senyum manisnya terpeta di wajahnya yang semakin hari semakin bersinar.
Terlihat anak dan bapak itu duduk di atas karpet. Arya mau memakai bando berpita besar warna merah muda. Tangan kanannya memegang tongkat warna serupa berujung bintang. Pria itu mengacungkan dan memutarnya beberapa kali sambil bibirnya menggumamkan kata-kata entah apa. Tapi anehnya, Ara akan tertawa terpingkal-pingkal setelah Arya selesai berucap. Wajah bayi itu juga sampai terlihat merah.
"Semut berjalaaaan."
Arya menggerakkan jari tengah dan telunjuknya seperti kedua kaki yang sedang berjalan di atas karpet. Sementara Ara menunggu ke mana jari-jari itu akan melangkah.
"Gajah melompat. Bruk. Bruk. Bruk." lanjut Arya seraya mempercepat langkah jarinya menuju kaki dan perut Ara. Membuat tawa lucu bayi itu kembali terdengar ketika perutnya merasa geli.
"Semut berjalan. Gajah melompat." ulang Arya berkali-kali sambil menggelitik perut Ara sampai bayi itu terbaring di karpet. Juga tawa yang memenuhi ruangan itu.
"Apo ... Apooo ...." ucap Ara. Maksudnya berkata ampun, agar dilepaskan oleh sang ayah.
Langkah pelan Kinan memasuki kamar. Senyumnya juga belum surut melihat kebersamaan orang yang dicintainya itu.
"Ma-ma ...." suara kecil Ara terdengar lagi, saat bayi itu melihat Kinan yang mengendap-endap di belakang Arya. "Mam-ma ...." ucapnya lagi setelah sang ayah melepaskannya. Dia lalu berlari ke sang ibu yang sudah bersiap dengan rentangan kedua tangan.
Ara sudah sampai di pelukan Kinan dan Arya masih tetap memburunya. Kinan ikut bermain dengan membawa Ara menghindar, tapi Arya selalu punya cara untuk menggelitiki anaknya itu. Bahkan, beberapa kali dia juga menggelitik ibunya Ara. Membuat dua perempuan itu tak bisa menahan tawa bahagia.
"Hik. Hik."
Terdengar suara cegukan di antara mereka. Spontan Kinan berhenti tertawa. Begitu pula dengan Arya yang berhenti menggelitiki mereka. Sementara Ara, bayi yang cegukan itu malah tertawa melihat kedua orang tuanya yang menatapnya kaget.
×××
Seperti malam-malam sebelumnya saat masih berada di Jogja. Malam ini Ara ikut tidur dengan kakek dan neneknya. Kinan tidak mengerti, mengapa anaknya suka sekali tidur tanpa dirinya. Oke, memang setelah makan malam tadi anaknya itu sudah dipepet terus oleh sang nenek. Tadi sore Ara dibelikan mainan dan baju baru lagi, padahal mainan dan bajunya sudah sangat banyak. Bu Ratri bilang akan mengurus Ara dengan baik. Lagipula Ara sudah tidak minum asi lagi jadi Kinan tidak ada alasan untuk merebut Ara. Anaknya itu tidak mau minum asi saat ia menikah ulang, saat ia didandani adat Jogja. Ara takut melihatnya dan lebih memilih bersama Tiara dan Dian.
Kinan melirik Arya yang sibuk dengan laptopnya sedang duduk di sofa yang ada di kamar mereka. Pria itu terihat makin tampan saat sedang serius seperti ini. Kacamata bacanya bertengger di hidungnya yang mancung. Jari jemarinya terampil mengetik papan huruf. Sesekali Arya juga menyeruput kopi buatannya tadi.
Tolong buatin aku kopi, Ma.
Begitu ucap Arya tadi saat memintanya membuatkan secangkir kopi. Setelah dua hari kepulangan mereka ke Jakarta. Arya selalu memanggil Kinan dengan sebutan Mama, Mamanya Ara, apabila sedang berada di hadapan keluarga maupun Ara sendiri. Katanya biar Ara mengikuti apa ucapannya. Arya tidak mau jika Ara memanggil Kinan dengan sebutan sayang seperti yang sering ia ucapkan dulu sebelum mendapat wejangan dari Ibu Ratri. Pun begitu pula dengan Kinan yang memanggil suaminya dengan sebutan Papa. Tapi lain halnya jika mereka hanya berdua seperti ini. Arya membuat peraturan sendiri dengan memanggil Kinan sesuka hati. Mulai dari Nan, Sayang, Cintaku yang pasti akan membuat pipi Kinan merona, lagi dan lagi.
"Mas, udah malem. Istirahat dulu." ucap Kinan saat jarum pendek jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Wanita itu juga menutup buku novel yang dipinjam dari Dian. Adik iparnya itu mempunyai banyak koleksi novel di kamarnya.
Arya menoleh pada Kinan yang masih duduk di ujung tempat tidur. Tersenyum seraya mengangguk kecil. Ia lalu mematikan laptop dan melepaskan kacamatanya. Beranjak ke kamar mandi untuk menggosok gigi serta mencuci tangan dan kaki.
Tak butuh waktu lama untuk Arya menyelesaikan rutinitasnya sebelum tidur. Di ranjangnya yang empuk sudah menunggu sang bidadari cantik yang siap menghangatkan malamnya. Walau belum bisa menaklukannya, tapi dia bersyukur sudah ada yang menemaninya melewati malam yang dingin.
Tampak Kinan yang tengah menyapu tempat tidur dengan sapu lidi kecil yang entah dia dapat dari mana. Arya merasa dia tidak pernah menyimpan benda tersebut dan benda itu memang baru terlihat setelah Kinan tidur di kamar ini. Atau lebih tepatnya ketika mereka baru pulang dari Jogja.
"Udah bersih, Sayang." ucap Arya lalu berbaring asal di atas ranjangnya. Memejamkan mata dengan kedua tangan yang terlentang berlawanan arah. "Dapet dari mana, sih, itu sapu?" tanyanya, pada akhirnya tak bisa menahan lagi rasa penasaran.
"Aku bawa dari Jogja." jawab Kinan lalu menyimpan sapu kecilnya di laci di bawah tempat tidur.
"Gimana bawanya?" tanyanya lagi seraya membuka mata. Tidur miring dengan siku yang menyangga kepala. Menatap istrinya yang menata bantal.
"Aku masukin ke koper kamu, Mas." sahut Kinan santai.
"Emang bisa?" Dahi Arya berkerut. Sapu lidi itu walau kecil, tapi ukurannya cukup panjang.
"Bisa. Kan, ini lidinya masih muda. Jadi bisa ditekuk." Ya, benar karena Kinan meletakkan sapu itu di pinggiran koper. Memposisikan benda itu agak melengkung menelusuri sisi dalam koper Arya yang cukup besar.
Arya menggeleng kecil, istrinya itu selalu punya ide yang menakjubkan dan tak terduga. Tempat tidurnya sudah pasti bersih karena setiap hari seprei dan selimutnya selalu diganti. Tapi, Arya tidak masalah dengan cara yang tergolong masih kuno itu. Apapun yang dilakukan Kinan nyatanya selalu bisa membuatnya tersenyum.
"Tidurnya yang bener, Mas." titah Kinan setelah selesai menata bantal. Dia tadi mengangkat benda-benda itu agar bisa membersihkan permukaan seprei dibawahnya.
Arya tak banyak bicara. Dia naik ke atas ranjang dan memposisikan badannya dengan benar. Bersiap menyambut Kinan dalam pelukannya. Dan tak seperti biasanya saat Kinan akan tidur, dia pasti memilih posisi yang aman serta cukup jauh dari sang suami. Tapi, malam ini wanita itu malah menyandarkan kepalanya di lengan Arya. Tangan kanannya juga berani melingkari pinggang suaminya itu. Sementara Arya, dia sudah tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang lebar.
"Mas, aku mau ngomong." cicit Kinan lirih seperti sebuah bisikan.
"Hmm." gumam Arya. Dia sibuk merapikan helaian anak rambut yang menutupi kening sang istri. Hidungnya yang bangir hampir menempel pada puncak kepala Kinan.
Kinan menarik napasnya perlahan. Dia sudah memikirkan ini dalam beberapa malam terakhir. Dan dia sudah bertekad untuk menghapus segala ketakutannya. Ada hak suaminya yang belum terpenuhi. Tapi, dia masih bingung mau memulainya dari mana. "Aku ... Aku ...."
"Mau pinjem uang lagi." sela Arya mengingat kejadian tempo hari.
Bibir tipis Kinan mengerucut. Wanita 23 tahun itu kesal karena ucapan sang suami. "Enggak. Emang buat apa." tuturnya karena uang pemberian Arya masih sangat banyak. Belum lagi kartu ATM yang diberikan padanya kemarin. "Aku, aku udah siap."
Tawa kecil Arya terhenti. Usapannya di kepala Kinan juga sama. Istrinya tadi bicara apa?
"Jangan berhenti sebelum kamu dapet apa yang kamu inginkan." lanjut Kinan dengan pemilihan kata yang kaku. Dia sendiri masih bingung dengan mulutnya yang lancar berbicara.
Arya menarik napasnya dalam-dalam lalu memeluk Kinan dengan erat. Menciumi rambut istrinya yang wangi. Dia paham dengan maksud ucapan Kinan tadi. Dia senang, tentu saja, tapi dia juga tidak mau jika Kinan menyerahkan dirinya karena terpaksa. Hanya karena wanita itu harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri. Arya akan menunggu sampai rasa takut Kinan hilang dan saat Kinan benar-benar siap. "Nggak usah buru-buru. Kita bisa ke Psikiater dulu supaya trauma kamu ilang. Aku nggak masalah, kamu ada di samping aku aja, aku udah seneng."
Kedua mata Kinan tampak berkaca-kaca. Ucapan Arya merasuk sampai ke relung hatinya. "Nggak perlu ke Psikiater. Aku udah nggak takut sama kamu."
"Kalau takut mana mungkin mau dipeluk kayak gini. Mana mungkin tadi meluk duluan." tukas Arya yang membuat pipi Kinan bermunculan semburat merah. "Jangan mikirin aku. Yang penting itu kamu. Kamu bisa bilang udah siap, tapi aku nggak tahu yang sebenarnya kamu rasain. Aku nggak mau kalau jiwa kamu tersiksa." lanjutnya serius, tapi tetap santai.
Kinan semakin mengeratkan tangannya yang berada di pinggang pria itu. Semakin masuk kedalam dekapan hangat sang suami. Menyelami kehangatan dari dada bidang itu. Mana mungkin dia bisa mengabaikan pria ini lebih lama. Walaupun memang kenangan pahit itu sering tiba-tiba muncul saat mereka akan berhubungan. Tapi Kinan juga sudah memohon pada Sang Maha Pencipta agar segera menghapuskan kenangan malam kelam itu. Berdoa agar ia bisa menunaikan kewajibannya yang tertunda. Dan Allah memang Maha Pemurah yang mau mengabulkan semua permohonannya. Kemarin malam ketika Arya memulainya seperti biasa, Kinan sudah siap jika mereka akan sampai jauh. Anehnya sudah tidak ada bayangan-bayangan mengerikan itu lagi. Padahal peristiwa kelam itu terjadi di sini, di atas ranjang ini. Tapi, ternyata Arya hanya menciumnya seperti biasa. Pria itu mundur sebelum tangan Kinan mendorongnya menjauh. Lalu merengkuh tubuh Kinan untuk memasuki alam mimpi bersama-sama. Arya tak menyadari perubahan tubuh Kinan yang sudah tidak bergetar takut lagi.
"Makasih, ya, Mas. Udah mau mengerti aku."
"Heem. Ayo tidur."
Kinan tiba-tiba mendongak dan membuat Arya mau tak mau balas menatapnya. Jarak mereka teramat sangat dekat. Dan jujur saja, Arya tidak kuat.
"Kamu nggak mau cium aku, Mas?" tanya Kinan yang langsung menyesali ucapannya itu dalam hati. Pipinya sangat merah karena menahan malu.
Senyum simpul Arya tertahan. Kenapa istrinya ini menjadi sangat menggemaskan jika sedang seperti ini? Pria itu lalu sedikit menunduk agar bisa meraih bibir tipis yang terkatup itu. Bibir manis tanpa perona warna.
Cukup lama ia melakukannya karena Kinan yang masih terus melingkari pinggangnya. Istrinya itu juga membalas lumatannya meski sangat payah. Dan Arya merasa jika pertahanannya sudah mulai goyah. Apalagi saat Kinan tetap mempertahankan tangannya ketika ia akan menarik diri.
×
"Maaf, hanya anda yang bisa saya hubungi. Mas Elyas dan Mas Dean nomornya tidak aktif."
"Ya, saya akan segera ke sana. Tolong dijaga dulu, jangan dibiarin pergi sendiri." ucap Arya lalu memutus sambungan telepon dari seorang pelayan bar langganannya dulu.
"Kenapa, Mas?" tanya Kinan dari balik selimut tebalnya. Baru setengah jam ia memejamkan mata, tapi dering handphone milik suaminya sudah mengusik.
Arya menoleh sekilas sambil memunguti pakaiannya sendiri. "Raka mabuk terus berantem di bar. Mas harus ke sana jemput dia."
"Iya, nanti sekalian yang dari Tiara dibawa, ya." ucap Kinan lalu menarik selimut menutup seluruh wajahnya yang merona. Bagaimana tidak, Arya berjalan santai menuju kamar mandi hanya dengan dalamannya saja. Oke, mungkin mereka memang sudah sah dan halal. Tapi bagi Kinan, hal seperti itu masih sangat tabu. Dia masih malu jika melihat Arya yang bertelanjang dada apalagi hanya memakai pakaian dalam seperti tadi. Dia juga sangat malu karena kelakuannya menahan Arya tadi.
Sekian menit Arya di kamar mandi dan Kinan yang masih mencoba menetralisir aliran darahnya yang memuncak dibawah selimut. Tiba-tiba selimut itu ditarik hingga menampakkan wajahnya yang masih merah.
"Ngapain ditutup, nih muka kamu jadi merah semua." Arya duduk di samping Kinan dan merapikan rambut yang menutupi wajah merah istrinya itu. Dia telah memakai pakaian yang baru dari lemari. Tidak mungkin dia memakai bajunya yang bau keringat itu lagi. "Aku berangkat, ya. Nggak pa-pa, kan, tidur sendiri?" tanyanya karena Ara tidak ada di antara mereka.
Tanpa kata, Kinan mengangguk-angguk berharap Arya segera pergi dan agar wajahnya tidak semakin panas.
Arya menunduk, mencium dahi Kinan yang sedari tadi dielus-elusnya. Turun ke pipi kiri dan berlanjut ke bibir tipis yang terkatup rapat itu. Arya melumatnya pelan-pelan.
"Mas." Kinan mendorong dada Arya yang berat. "Kasihan orang yang telpon tadi nungguin Kak Raka nya kelamaan kalau kamu nggak cepet ke sana." ucap Kinan karena Arya melumat bibirnya sudah cukup lama. Dia bukan mau jadi istri durhaka yang menolak keinginan suami. Tapi, ada hal yang lebih penting dan darurat daripada kebersamaan mereka saat ini. Dan juga, biarkan dia istirahat dulu.
Bibir Arya mencebik, jika saja Raka tidak sedang membutuhkan bantuannya. Dia pasti sudah menyerang istri manisnya itu lagi. Istrinya yang polos benar-benar membuat malamnya panas. "Iya, bajunya dipakai biar nggak kedinginan soalnya nggak ada yang meluk nanti pas bobo."
"Mas." jerit Kinan karena digoda Arya.
"Aku mau nunggu dia sampai sadar. Ada yang mau aku omongin sama dia."
Kinan mengangguk lagi. Kemarin saat sampai di Jakarta, Dian telah memberikan titipan Tiara. Semua isinya untuk Raka, ada jas hitam, dress pesta dan dress floral serta cincin berlian. Kinan dan Arya sama-sama tidak mengerti maksud Tiara menitipkan itu untuk Raka. Pasangan suami istri itu tidak tahu sudah sejauh mana hubungan mereka. Namun, dari hati mereka yang terdalam, mereka berdoa untuk kebahagiaan Raka dan Tiara.
"Makasih, ya."
"Maksudnya?" tanya Kinan tak mengerti.
"Makasih udah bikin aku panas dingin."
Plak.
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
