Tidak ada kita di masa depan

Diara yang dulu, pernah mencintai seseorang dengan setulus hati. Juga, mempercayai masa depan akan melebihi keindahan kisah romans dalam novel wanita. Perasaan itu hadir karena Gemmy. Bersama Gemmy, Diara tidak mempunyai ketakutan akan hari esok. Akan tetapi waktu membuktikan bahwa keyakinan tanpa restu takdir hanya berujung perpisahan.

Cinta itu, perasaan yang Diara agungkan, terpaksa kandas tepat di saat hatinya tengah berbunga. Cukup satu kesalahan dan tidak ada kesempatan kedua untuk mempertahankan jalinan kasih yang telah mereka miliki selama beberapa tahun. Kesalahan yang diperbuat Diara, kekhilafan yang meruntuhkan kepercayaan Gemmy, dan penghianatan yang seharusnya tidak perlu ada jika dua orang saling mencintai.

Diara memandang nanar ke luar jendela. Sekali lagi, dia mendapati sosok pria muda itu di depan gerbang rumahnya. Pemandangan yang menghujam hatinya. Bahkan setelah diusir berkali-kali, Gemmy tetap datang dan ingin menemuinya.

Kenapa sulit sekali membuat Gemmy berhenti mencarinya? Dia butuh ketenangan dari desakan rasa bersalah dan dosa pada setiap orang.

Diara memejamkan mata sembari menarik napas letih. Dia telah sampai di ambang kewarasannya. Andai ada cara memutar kembali waktu, Diara rela menukar jiwanya untuk satu kali saja kesempatan mengubah sakit yang sudah dia torehkan.

Andai saja...

“Di, Gege datang lagi. Nggak mau coba bicara?” Kakak laki-laki Diara muncul di depan pintu kamarnya.

Diara berani sumpah, Diaz menghindari kontak mata darinya. Tidak ada upaya yang bisa dia pikirkan kala mendapati sikap dingin kakaknya sendiri. Dia hanya tersenyum miris, lantas melangkah keluar. Diaz menepikan badan hingga menubruk dinding di belakang, hanya untuk memberi ruang baginya melintas.

Sebuah pertanyaan menyerbu hatinya, “Mengapa menghindariku?”

Sekalipun pertanyaan itu menggantung di ujung lidah, Diara merapatkan bibir. Mana sanggup dia memperburuk suasana kacau yang sudah dia buat. Dia memandang Diaz sesaat, berharap ada kehangatan yang dikenalnya dalam mata cokelat itu. Alih-alih menatap balik, Diaz malah menunduk. Memangnya apa yang bisa dia harapkan saat ini? Kalimat dukungan penuh cinta? Diara memutar badan menuju ke depan rumah. Langkahnya mantap dan bahunya tegap, menutupi matanya yang memanas.

Sosok Gemmy menjulang di balik gerbang rumah. Harus ada satu pukulan telak agar tidak ada lagi usaha malaikat yang dilakukan Gemmy. Diara kini hanyalah perempuan kotor dan itu merupakan fakta. Dia tertangkap berkhianat, itu sebuah kejahatan dalam hubungan.

Setelah menarik napas dalam, Diara mengayun kakinya maju. Berharap ada satu coretan takdir baik yang tertulis, dia memantapkan tekadnya mengakhiri segalanya di sini. Hari ini.

“Di.” Suara lirih Gemmy mengubur semua tekadnya. Bak goresan di atas pasir yang lenyap tatkala ombak menyapu, Diara lupa apa yang tadi sudah disusun dalam kepala.

Diara membuka gerbang rumah. Kemudian dia mempersilakan Gemmy masuk menggunakan gerak tangan. Mereka duduk bersisian pada kursi kayu yang tersedia di teras.

“Di.” Panggilan lembut Gemmy terasa menyilet sekujur badannya.

“Biar aku yang bicara.” Diara menghalangi Gemmy yang hendak membuka mulut. Mata Diara menyendu memperhatikan pria yang masih mengisi hatinya tampak lebih kurus dan letih hanya dalam waktu satu minggu. Barang tentu, dia penyebab Gemmy begini.

“Kamu mau tahu mengapa aku sampai ditemukan bersama Rai malam itu?” Siapapun yang mendengar Diara bicara pasti yakin dia adalah wanita tanpa hati. Pandangannya yang dingin, sikap duduknya yang anggun, dan senyum angkuhnya merupakan kombinasi tepat Diara patut menyandang gelar kejam. Setenang itu dia membahas perselingkuhannya di depan pria yang masih berstatus kekasih. Soal hati, hanya Diara yang tahu bagaimana isinya.

Jakun Gemmy bergerak naik-turun. Dan Diara menangkap ketakutan terpancar pada mata juga gestur badan Gemmy. Jika bunuh diri bisa menebus dosa, Diara akan meneguk racun mematikan di sini asal jangan lagi wajah pria tampan itu terluka.

Ini terakhir kalinya aku melukaimu.Diara menegaskan dalam hati.

“Di, aku...” Mata Gemmy berkeliaran pada tempat mana pun kecuali Diara. Barangkali ketakutannya membengkak atau sudah bernanah.

Berusaha menutup celah bagi Gemmy makin menghancurkan dirinya sendiri, Diara mengangkat telapak tangan. Gerakan gemulai yang sejangka menghipnotis Gemmy.

“Aku memilih Rai. Dia yang terbaik. Dan kamu...” Mata Diara bergerak naik-turun mengamati penampilan Gemmy, lalu berdecih. “Jangan becanda, Ge. Aku sudah berusaha bersabar menghadapi kamu yang tahunya bermimpi dan mengabaikan potensi yang bisa kamu raih tanpa perlu memulai segalanya dari bawah. Sementara Rai ... dia bekerja di perusahaan keluarga kalian. Dia calon paling layak meneruskan papi kamu. Dia bisa memenuhi kebut-”

“BERHENTI, DI!” Mata Gemmy menatap nyalang Diara yang tetap tenang di kursinya.

Satu embusan napas kasar dibuang Gemmy. Atmosfir seketika memberat akibat emosi yang dilempar Gemmy dan Diara. Tatapan Gemmy yang penuh luka dibalas tatapan dingin Diara. Mereka beradu kuat, menunggu salah satu di antara mereka berpaling. Akhirnya, Gemmy yang mengalah dan menutup kelopak matanya rapat-rapat.

Memanfaatkan kesempatan itu, Diara mengedipkan matanya yang perih. Dia mengusap ujung matanya sebelum kembali memasang ekspresi dingin. Tangannya meremas tepian rok katun yang dikenakan demi mengalihkan perasaannya. Ketakutan, kesedihan, kemarahan, juga kecewa memenuhi hatinya. Semua bergumul membuatnya ingin meledak. Namun dia tidak boleh kehilangan ketenangannya.

“Kenapa harus Rai?” Mata Gemmy membuka saat bibirnya mengucapkan pertanyaan sarat kekecewaan.

“Dia yang pertama terpikir,” jawab Diara dalam intonasi tenang dan angkuh.

Gemmy menggeleng di sela tawa sumbangnya. “Di antara semua pria kaya, harus Rai? HARUS RAI?”

Tidak ada lagi sinar mata Gemmy yang terluka dan marah, sepenuhnya sepasang mata itu memancarkan kebencian. Sorot terburuk yang ditujukan kepada Diara yang tidak gentar menatap balik.

“Aku butuh uang. Ayahku bangkrut. Rai pilihan paling pertama. Kamu tidak tahu, kan? Ayahku bangkrut! Rumah kami sudah disita bank, tinggal menghitung waktu kami sekeluarga menjadi gelandangan. Apa itu yang mau kamu tahu? Kamu bahkan nggak tahu, sementara kamu mengaku sebagai kekasihku.” Ini bukan masuk rencana Diara. Seharusnya dia tidak pernah membahas kesulitan keluarganya. Seharusnya dia hanya perlu mengusir Gemmy selama-lamanya dengan satu kesakitan, bukan hujaman beruntun begini.

Gemmy tergagap. Tampaknya ucapan Diara memukul telak dirinya. Seandainya mesin waktu memang ada, Diara ingin mengulang satu menit yang lalu. Menelan kembali kalimat-kalimat jahatnya. Hanya agar wajah bersalah Gemmy lenyap.

Bagaimanapun, Gemmy tidak bersalah. Diaralah yang salah!

“Karena Rai bisa menjadi pengganti papi, kamu memilihnya?” Ucapan Gemmy menghujam jantung sekaligus mematikan saraf Diara.

Diara ingin menggeleng, ingin memeluk Gemmy, ingin meminta maaf, lalu bersimpuh di kaki pria itu untuk memohon satu kali kesempatan. Meskipun dorongan itu besar, Diara telah memutuskan hal sebaliknya. Dia tidak akan mundur. Maka dia bertahan di tempat sambil mengangguk mantap dan menantang murka Gemmy.

“Apa kamu menjebak Rai?” Tuduhan Gemmy sudah dia tebak. Kendati mental Diara sudah siap, begitu mendengar Gemmy mengatakannya ternyata jutaan kali lebih parah dampaknya.

“Ya, aku merencanakannya.”

Tidak ada sahutan Gemmy. Kepalanya tertunduk lesu. Diara menangkap kesedihan Gemmy. Berat diakui, dia pun sama terlukanya. Jawaban itu adalah senjata terakhirnya meminta Gemmy berhenti mempertahankan hubungan mereka, senjata paling menyakitkan — baik untuknya maupun Gemmy.

“Kamu menang, Di,” ujar Gemmy tanpa mau melihat Diara. Dia bangkit dari kursi, berjalan beberapa langkah, lalu berhenti. “Tidak ada kita di masa depan.”

Diara mendengar langkah kaki Gemmy menjauh disusul bunyi pintu gerbang yang dibuka lalu ditutup. Dirinya diam di tempat, menatap lantai yang sama sekali tidak berubah meski dirinya sudah hancur.

Benar, Ge. Tidak ada kita di masa depan. Mencintaimu hanya akan ada dalam lembaran usang masa kini. Dan aku menyerah!

Saat kepala Diara terangkat, tidak sengaja matanya bertubrukan sosok sang ayah yang mengintip lewat jendela kamar lantai satu. Sudah beberapa hari Diara tidak melihat ayahnya yang memilih mengurung diri dalam kamar setelah kejadian itu. Diara harus berpuas diri bisa melihat ayahnya selama satu detik. Sebab detik berikutnya, Yasser sang ayah sudah menyibak tirai, menutup rapat aksesnya melihat pria nomor satu dalam hidupnya.

Diara tertawa miris. Karena kejadian satu malam, hidupnya berubah. Hancur terlalu baik untuk menggambarkan situasinya. Dia luluh lantak tanpa puing tersisa untuk dipungut. Sepenuhnya dia sendirian mengais sisa keberanian bertahan hidup dan menepikan malu sebagai manusia.

“Welcome to the new chapter of your fucking life, Di,” desis Diara pada dirinya sendiri. Kepalanya mendongak berupaya menantang mentari yang masih gagah menyinari langit di antara warna jingga dan kumpulan awan.

~~~

Reminder

Kalau pakai POV 3 berarti bab itu menceritakan masa lalu.

Kalau pakai POV 1, cerita tentang masa kini.

Kita lanjoooot ─=≡Σ((( つ•̀ω•́)つ

EQUIVOCAL 1