"Jangan lupa, Pakdemu nanti dijemput..!" pagi-pagi Ayah sudah mengingatkan aku untuk menjemput Pakde Wijoyo di bandara.
Sebenarnya aku rada malas, karena hari ini aku ada rencana mau cari baju buat wawancara minggu depan. Tapi di rumah memang hanya ada aku dan Ayah saja. Ibu dan adikku sedang ke Bandung. Sementara si bungsu lagi ada acara ospek di kampusnya. Jadi aku lah yang 'ketiban' tugas sebagai penjemput Pakde.
Pakde Wijoyo (kami biasa memanggilnya Om Wi') adalah adik Ayah tapi lain Ibu. Sebenarnya usianya jauh lebih muda dari Ayah. Tapi karena Om Wi' lahir dari istri tua Kakek, kami memanggilnya Pakde. Terakhir aku ketemu dia waktu acara keluarga beberapa bulan yang lalu. Waktu itu Om Wi' datang bersama anak-anaknya. Ia memang sangat dekat dengan anak-anaknya sejak istrinya meninggal karena sakit enam tahun yang lalu.
Ada sekitar setengah jam aku menunggu pesawat datang dari Yogya. Wajah Om Wi' akhirnya muncul juga di pintu keluar. Raut wajah dan kumisnya yang khas membuatku gampang mengenalinya. Aku langsung melambai begitu melihat ia agak kebingungan. Senyumnya langsung mengembang. Seperti biasanya, senyumnya ramah dan menyegarkan. Sekilas Om Wijoyo terlihat agak gemukan dibandingkan ketika aku terakhir ketemu dia. Aku langsung salaman dan mencium tangannya. Seperti biasanya, ia langsung memeluk dan mencium keningku. Kebiasaannya setiap kali bertemu dengan keponakan-keponakannya.
"Sini Om..," kataku seraya menggamit travel bag miliknya.
"Bagaimana kabar semuanya?" suara baritonnya mulai terdengar.
"Baik!" sahutku singkat. "Om dan keluarga baik-baik juga kan?"
"O ya dong! Kami semua sehat wal'afiat," ujarnya dengan nada bersemangat, diiringi derai tawa renyahnya.
Om Wijoyo lalu mengajakku istirahat sebentar di cafe yang ada di bandara. Kami minum sambil ngobrol berbagai hal.
"Gimana kerjaanmu?" tanya Om Wi' sambil menyeruput kopinya.
"Mau pindah lagi Om," sahutku. "Habis nggak betah kerja kayak gitu."
"Emang kerja kayak apa?"
Aku lalu cerita tentang pekerjaanku di sebuah perusahaan jasa marketing yang kunilai kurang menantang. Sekalian aku cerita tentang rencanaku seminggu lagi untuk wawancara di calon perusahaan yang baru.
"Malam minggu ini Hendro ada acara nggak?" tanyanya ketika kami menuju ke tempat parkir.
"Mau cari baju, Om. Buat wawancara itu."
Kami akhirnya pulang agak memutar jalan. Karena Om Wi' mengusulkan agar aku cari baju sekarang saja. Dan ia bersedia menemaniku ke mall dekat bandara.
"Sudah. Yang itu saja," kata Om Wi' sambil menunjuk baju putih yang ada di tangan kiriku.
Aku lalu memanggil pramuniaganya dan minta nomor baju sesuai ukuranku, lalu segera ke kamar pas. Tidak lama kemudian Om Wi' ikut masuk ke kamar pas yang hanya berpenutup tirai itu.
"Kirain udah dicoba," katanya.
"Baru nyopot kaos..," sahutku sambil mulai mengepas baju dan mulai mematut-matut di depan cermin.
"Tuh, bagus kan?" katanya seolah-olah ingin menegaskan bahwa itu baju pilihannya, sambil tangannya menepuk dan mengusap-usap bahuku dari belakang.
"Oke deh!" kataku mantap untuk memilih baju itu dan mulai mencopoti kancingnya.
"Badan kamu kekar juga ya, Hend," kata Om Wi' setengah bergumam sambil memegang bagian atas kedua lenganku, "Sering fitnes ya?" kali ini tangannya memegangi pinggangku.
"Boro-boro fitnes. Jalan kaki saja jarang," ujarku sambil mulai mengenakan kaosku.
Sepanjang perjalanan ke rumah, Om Wi' terus saja ngomong tentang perlunya menjaga tubuh. Dia memang dari dulu cukup concern dengan yang namanya olahraga dan kesehatan. Menurut cerita Ayah, sejak remaja Om Wijoyo selalu aktif di kegiatan olahraga. Baik di kampung atau di sekolah. Aku sih percaya saja. Apalagi kalau menilik postur Om Wi' yang memang terlihat masih tegap untuk orang seumur dia yang sudah berkepala empat.
Kami tiba di rumah menjelang sore. Rupanya Ayah sedang ada keperluan keluar, sehingga hanya tinggal Pak Hasan, tukang kebun, yang menjaga rumah. Untuk sementara barang bawaan Om Wi' kutaruh di kamarku dulu, sambil menunggu Ayah pulang.
"Silakan Om, kalau mau istirahat dulu," kataku.
"Kamu ini lho, kok menganggap saya seperti tamu saja,"
Tapi ia masuk juga ke kamarku dan istirahat. Bahkan ia masih tidur ketika Ayah sudah pulang. Rupanya Ayah dari stasiun, menjemput Ibu dan adikku yang rupanya mempercepat acaranya di Bandung.
"Pakde biar tidur di kamar depan saja. Nanti Aris dan Bayu biar gabung sama Hendro," kata Ayah sambil menyuruhku memindah barang Om Wi' ke kamar depan, kamar Aris dan Bayu adik bungsuku.
"Sudah, nggak usah repot-repot. Kayak tamu saja," tiba-tiba Om Wi' muncul dari dalam kamarku.
Semua langsung bersalaman dan terlibat dalam cengkerama dan obrolan layaknya keluarga dekat.
"Aku tidur di kamar Hendro saja. Nggak pa-pa kok," kata Om Wi' kepada Ayah. “Lagi pula tanggung, barang bawaanku sudah kubongkar. Nanti malah repot kalau pindah ke kamar Aris. Hendro juga nggak usah pindah kamar. Nanti saya nggak ada yang nemenin ngobrol di kamar.” lanjut Om Wi' sambil melihat ke arahku.
Ayah dan Ibu tidak dapat berbuat lain kecuali menuruti apa maunya Om Wi'. Aku sendiri tidak ada masalah. Toh Om Wi' bukan orang asing buatku. Aku memakluminya, apalagi kalau mengingat kedekatannya dengan kami dan memperlakukan anak-anak Ayah seperti anaknya sendiri.
Malam minggu itu aku keluar nonton dengan teman-teman dan pulang sekitar jam sebelas. Di ruang keluarga Ayah masih ngobrol dengan Om Wi'. Aku gabung sebentar dengan mereka dan menjelang setengah dua belas baru masuk kamar. Badanku rasanya capek dan langsung rebahan.
Entah berapa lama aku sempat terlelap, ketika kurasakan ada yang meluruskan kakiku agar posisi tidurku lebih enak. Aku terjaga dan duduk di pinggir ranjang. Om Wi' minta maaf telah membangunkanku. Aku sendiri tadi asal rebahan saja, 'lupa' kalau mulai malam ini aku harus 'berbagi' ranjang dengan dia.
"Ganti dulu pakaiannya, baru tidur," katanya mengingatkanku dengan gaya kebapakan.
Om Wi' sendiri rupanya sudah siap untuk tidur. Ia hanya berkaos oblong dan bercelana kolor saja. Lucu juga melihatnya berpenampilan begitu. Seperti 'bayi sehat', tepatnya 'anak mami'. Aku senyum-senyum saja melihatnya.
"Kenapa?" tanyanya kemudian sambil memperhatikan aku.
"Nggak pa-pa," sahutku enteng.
Selain merasa lucu, sebenarnya aku juga sempat bingung waktu Om Wi' menyuruhku ganti pakaian tadi. Bukan apa-apa, karena selama ini aku punya kebiasaan tidur hanya bercelana dalam saja. Bahkan tidak jarang aku tidur tanpa pakaian bila udara sedang panas.
"Hend, kamu jangan sampai terganggu sama Om lho. Atau, kamu risih tidur bareng Om?" seolah-olah ia tahu apa yang sedang menjadi pikiranku.
"Nggak sih. Cuma.., saya biasanya kalau tidur suka buka baju," kataku sambil nyengir.
"Jangan-jangan malah Om Wi' yang risih."
"Ya, ampun! Kamu ini kayak sama siapa saja?" ia tertawa mendengar jawabanku. "Jangan sampai kedatangan Om mengganggu kebiasaanmu. Bahkan kalau mau tidur telanjang di depan Om juga nggak masalah kok." tawanya makin berderai-derai. Aku jadi ikut-ikutan.
Ya sudah, dengan sikap Om Wi' seperti itu aku pun akhirnya memutuskan untuk tidur dengan hanya bercelana dalam saja. Dan tanpa sungkan-sungkan, aku berbaring di sampingnya.
"Kenapa sih Om?," gantian aku yang bertanya ketika menyadari kalau Om Wi' terus memperhatikan aku.
"Kamu ini seperti si Dede," katanya sambil menyebut anak sulungnya.
"Apanya yang sama?" tanyaku.
"Semuanya. Tinggi besarnya, wajahnya, kebiasaannya. Semuanya!"
"Namanya juga masih saudara."
"Makanya. Lihat kamu, Om jadi ingat dia saja," katanya sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Om Wi' kalau di rumah tidurnya juga bareng seperti ini?"
"Ya nggak dong! Sejak Budemu meninggal, Om ya tidurnya sendiri. Anak-anak mana mau tidur sama bapaknya. Mereka kan punya kamar sendiri-sendiri. Apalagi mereka sekarang sudah dewasa."
Di akhir kalimatnya terdengar suara Om Wi' agak tercekat. Sejenak ia menatap langit-langit kamar. Dan, sekilas kutangkap ada yang basah di permukaan matanya. Aku menarik nafas.
"Om sedih ya?" tanyaku sambil berpaling ke arahnya.
Om Wi' menoleh tapi tidak menjawab. Cuma senyum saja. Ia kemudian menggeser tubuhnya ke arahku dan memelukku. Aku diam saja. Bahkan ketika ia mencium keningku. Perlakuan yang hangat seperti itu bagiku bukan sesuatu yang aneh.
"Tidur dulu ya." bisiknya hampir tidak terdengar.
Aku lalu mematikan lampu dan malam itu aku pun akhirnya terlelap tidur dalam pelukan Om Wi'.
Subuh-subuh, seperti kemarin, suara gerimis mulai terdengar turun. Membuatku semakin malas untuk bangun. Untungnya sekarang hari Minggu, dan hari libur begini biasanya aku baru bangkit dari ranjang paling cepat jam delapan. Kulirik Om Wi' sudah tidak ada. Bapak-bapak biasanya memang bangun pagi-pagi. Mungkin kini ia sedang ngopi di luar sambil menikmati udara gerimis pagi ini.
Tiba-tiba pintu kamar mandiku terbuka dan Om Wi' keluar sambil menguap dan kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang.
"Kirain udah mandi." kataku sambil berguling menghadap ke arahnya.
"Hujan gini, dingin," katanya sambil bersedekap. "Nggak pa-pa 'kan malas-malasan dulu di kasur?" lanjutnya sambil tersenyum.
Udara memang menjadi agak dingin dari biasanya. Tapi Om Wi' tidak berusaha menarik selimutnya ke atas. Bagian bawah tubuhnya yang hanya bercelana pendek dibiarkan terbuka. Baru kali ini aku dapat memperhatikan kakinya. Pahanya gempal dan terlihat bersih meski ditumbuhi bulu-bulu hingga ke sekujur betisnya. Kakinya tampak masih kokoh. Kelihatan kalau ia suka olahraga.
Tiba-tiba badan Om Wi' berguling ke arahku dan kemudian memelukku. Tapi tidak seperti semalam, kali ini aku segera memutar punggungku dan membelakanginya. Bukan apa-apa, aku risih saja karena baru bangun tidur dan terutama karena kodrat kelelakianku di pagi hari, punyaku sedang tegang! Tapi ia tetap memelukku dari belakang. Tangannya melingkari bahuku dan mendekapku erat-erat.
Dari dulu Om Wijoyo orangnya memang kebapakan dan sering memperlakukan kami seperti anak sendiri. Tapi baru sekali ini aku dipeluk seperti anak kecil begini. Meskipun harus kuakui, aku merasa damai diperlakukan seperti sekarang ini.
"Dinginkan?" bisiknya.
Entah apa maksudnya. Aku terlalu sibuk dengan degup jantungku sendiri, takut ketahuan kalau aku lagi tegang. Mataku sempat terpejam, merasakan dekapan tangan Om Wi' yang kokoh itu. Sejenak ku beranikan diri memegangi lengannya yang melingkar di depan tubuhku itu. Terasa sekali bulu-bulu yang tumbuh di situ. Anehnya, bagian bawah tubuhku kurasakan masih tegang. Bahkan tambah keras saja. Barangkali pelukan Om Wi' di pagi yang dingin ini membuatku lebih nyaman.
"Kamu lagi 'berdiri' ya, Hend?" kata Om Wi' sambil memijat pinggangku.
Tentu saja aku kaget dan menggelinjang, membuat pantatku mendesak ke belakang dan menyentuh sebuah benjolan yang keras! Tadinya aku agak malu. Tapi mengamati sikap Om Wi' sejak kemarin di kamar pas, kemudian kejadian semalam dan sekarang ini, aku mencoba untuk menyikapinya dengan santai.
"Om, lagi 'berdiri' juga kan?" kataku sambil berusaha melepas pelukannya.
Tapi ia malah makin erat mendekapku dari belakang. Bahkan kini pahanya melingkar di pinggulku. Membuatku makin dapat merasakan tonjolan batang kemaluannya yang sedang tegang.
“Laki-laki kalau bangun pagi harus ereksi. Kalau nggak ya nggak normal,” katanya mulai berteori tentang kesehatan.
Sejauh ini aku dan keluargaku sudah terbiasa dengan sikap Om Wijoyo yang selalu akrab dan hangat pada kami. Yang namanya memeluk, mendekap dan perilaku akrab lainnya selalu ia tunjukkan di depan kami tanpa sungkan-sungkan. Ia memang terkenal sebagai orang yang ramah, supel dan kekeluargaan. Lebih-lebih sejak istrinya meninggal. Ia menjadi semakin dekat dengan anak-anaknya, termasuk kepada kami keponakanannya. Itulah yang membuatku tidak terlalu heran dengan sikap Om Wi' pagi ini yang memelukku seolah aku guling teman tidurnya. Sepertinya ia sedang sentimentil. Apalagi menilik obrolan kami menjelang tidur semalam,tampaknya Om Wi' tengah gundah, terbawa emosi dan kenangan akan mendiang istrinya.
"Om..," kupanggil namanya karena tiba-tiba suasana menjadi sepi.
Yang kupanggil diam saja. Mungkin ia sudah tertidur lagi. Tapi tiba-tiba kurasakan wajahnya ditenggelamkan di bagian belakang kepalaku dan menciumi rambutku. Ada suara isakan lirih. Om Wi' rupanya menangis.
"Kenapa Om?" kataku sambil membalikkan badanku menghadapnya.
Kulihat mata Om Wi' sudah basah. Nampak sekali ia sedang sedih. Ia menangis, tapi tanpa suara. Tangis laki-laki. Dan aku menjadi trenyuh melihatnya.
"Kenapa sih, Om?" aku bertanya lagi. "Tadi barusan ngomongin masalah ereksi kok tiba-tiba jadi sedih begini," lanjutku dengan nada guyon untuk menetralisir suasana.
Yang kuajak bercanda hanya tersenyum. Dan matanya yang basah lalu diusapnya sendiri.
"Hendro pasti tahu, kenapa Om sedih," kalimatnya masih agak terbata. "Om sekarang merasa makin sendiri saja. Selama ini Om selalu mencurahkan semua kasih sayang untuk Dede dan adiknya. Segalanya. Tapi Om sadar, nggak mungkin bisa memiliki mereka selamanya. Mereka sudah gede, sudah mandiri dan sebentar lagi pasti mereka pada berkeluarga."
Aku diam saja mendengar penuturannya yang kelihatan sekali sangat emosional. Aku jadi punya pikiran, jangan-jangan Om Wi' datang ke sini memang untuk menghindari kesepian atau ingin mencari 'tempat' untuk berbagi rasa. Karena ia memang dekat sekali dengan keluarga kami dibandingkan dengan keluarga Ayah yang lain.
"Makanya, Om main ke sini. Biar Om bisa sedikit mengurangi rasa sepi," lanjutnya seolah-olah menjawab apa yang sedang kupikirkan.
Akhirnya Om Wi' bercerita bahwa sejak kematian istrinya, semua kasih sayang ia curahkan ke keluarganya yang tersisa. Padahal kalau mau, Om Wi' punya banyak kesempatan untuk nikah lagi. Apalagi ia orangnya baik, kaya dan ganteng. Tapi mungkin ia belum bisa melupakan kematian istrinya.
Meskipun Om Wijoyo dapat mencurahkan semua kasih dan sayangnya pada keluarganya, namun menurutnya ada satu hal yang tidak mungkin ia curahkan, masalah pribadi, masalah seks. Bahkan untuk membicarakannya saja rasanya tidak mungkin, meskipun mereka sudah dewasa.
“Tapi kalau sama kamu, mungkin Om malah bisa lebih bebas bicara masalah itu,” katanya dengan emosi sudah mulai terkendali lagi.
Aku hanya dapat tersenyum saja mendengar penuturannya. Karena tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sendiri juga merasa tidak bebas bicara masalah seks dengan keluargaku.
"Hendro sudah punya pacar kan?" tanyanya.
Aku mengangguk, "Emang kenapa Om?"
"Seumur gini kamu sudah pantas kawin."
"Kawin apa nikah?"
"Hush..!" Om Wi' terbahak mendengar ucapanku.
"Ah, kamu pasti sudah pernah..," kata Om Wi' lebih lanjut dengan nada tertentu.
Aku segera menggeleng untuk meyakinkan dia. Dan rupanya ia memang hanya mau menggodaku saja.
Tiba-tiba Om Wi' menanyakan apakah punyaku masih 'bangun'. Kini gantian aku yang ketawa. Karena punyaku sudah 'reda' dari tadi. Spontan aku melirik ke arah depan celana pendek Om Wi'. Dan ternyata ia masih tegang!
"Maklum, Om kan nggak pernah bisa bicara seperti ini. Jadi langsung terpengaruh," ujarnya seolah minta permaklumanku kenapa punyanya masih 'berdiri'.
"Atau, mungkin sudah lama nggak," godaku.
"Sok tau! Kayak yang pernah ngerasain saja." sahutnya dengan nada kocak.
"Mendingan sekalian belum pernah, Om. Daripada sudah pernah terus tiba-tiba berhenti, katanya akan," kalimatku terpotong, karena aku merasa sedikit keceplosan.
Dan memang, kulihat Om Wi' diam menunduk begitu mendengar omonganku barusan.
"Maaf Om, saya."
"Nggak pa-pa! Memang begitulah kenyataannya."
Beberapa saat kemudian kulihat Om Wi' malah tersenyum, dan bertanya, "Mau bantuin Om nggak?"
Tapi aku tidak mengerti apa maksudnya. Baru ketika tangannya mengelus-elus bagian depan celananya, aku jadi paham. Tapi aku diam saja, tidak mengerti harus berbuat apa. Sampai akhirnya ia membimbing tanganku untuk memegangnya. Dan anehnya, aku menurut saja, meski masih dengan perasaan gundah.
"Nggak pa-pa kok. Ayo..!" rayunya sambil menggesekkan tanganku pada tonjolan di bagian depan celananya.
Dengan ragu-ragu tanganku pun mulai menggenggam. Semula agak aneh rasanya memegang punya sesama lelaki. Tetapi lama kelamaan aku terbiasa juga. Apalagi ini adalah 'permintaan tolong' dan Om-ku tampaknya 'welcome' saja.
Aku lalu mulai berani sedikit meremas. Om Wi' tersenyum melihat apa yang kulakukan. Dan ketika aku mulai meremas lagi ia pun lalu melepas tanganku seolah membiarkan aku untuk melanjutkan sendiri ‘pekerjaan’ itu. Ia kemudian berbaring berbantal kedua tangannya sendiri sambil memperhatikan apa yang kulakukan. Pelan-pelan aku pun mulai
melakukannya tanpa rasa bersalah lagi. Aku tidak tahu apakah ini karena kedekatanku dengan Om Wi', atau karena ini pengalaman baru, atau karena memang aku mulai menikmati permainan ini.
Bersambung ... :-)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰