
Cerita bersambung TAK SEMPAT BERSEMI bagian 4.
Sore itu Raisa masih betah di dalam kamarnya. Baru saja dia menangis. Sudah 5 kali Raisa menelepon Dirga, tapi telepon tak diangkat juga. Api cemburu membakar hatinya. Jangan-jangan Sari sudah berhasil meluluhkan hati Dirga? Begitu Raisa menduga. Benar-benar perempuan jalang dia itu!
Dan suasana pedesaan itu makin menyiksa hati Raisa. Suara jangkrik yang mulai terdengar bersahutan di sekeliling rumahnya, makin menambah penderitaannya. Ini adalah tempat yang salah untukku. Harusnya aku di kota, bukan di sini, tempat antah berantah ini! Umpatnya dalam hati. Hampir saja Raisa membanting gadgetnya.
Dirga begitu cepat melupakannya. Ini baru hitungan hari hubungan mereka berjarak.
"Percayalah, gue akan selalu mencintai elu," ucap Dirga, dulu.
Ah, gombal. Pikir Raisa. Sekarang mana buktinya? Sudah ditelepon sampai 5 kali, tidak diangkat juga?
Sari? Kenapa aku dulu tidak meremas-remas wajah liciknya itu? Sekarang terlambat, Sari sudah berada dipelukannya.
Kembali Raisa menangis tertahan. Rasanya dia ingin pergi dari rumah ini. Minggat. Balik ke kota menemui Dirga.
Terdengar suara ketukan pintu kamarnya, disusul suara Mamanya. Cepat-cepat Raisa mengelap kedua matanya menggunakan selimut. Pintu terbuka. Mamanya masuk dan mendekati Raisa.
"Matamu merah, Neng? Habis nangis, ya?"
Raisa mengangguk.
"Ada apa?"
"Dirga tak mau angkat telepon Raisa. Dia sudah lupa ama Raisa."
Mamanya tersenyum. Dia paham, begitulah cinta remaja. "Ah, mungkin Dirga sedang pergi dan HP-nya ketinggalan. Jangan cepat berprasangka buruk, Neng."
"Ma… "
"Apa?"
"Raisa memang tidak suka tinggal di sini."
"Lho, katanya dulu suka?"
"Raisa bilang begitu biar Papa tidak marah."
"Aduh, Neng. Udara di sini segar, bersih. Lain dengan kota. Udaranya kotor, jalanan macet."
"Iya, sih, Ma, tapi Raisa di sini kesepian."
"Mungkin itu karena kamu belum punya teman. Coba besok kalau kamu sudah sekolah lagi. Pasti kamu punya teman yang bisa diajak bermain ke rumah ini. Papamu sudah mendaftarkan kamu di SMA terbaik di daerah ini."
Sebaik-baiknya SMA di sini, pasti lebih baik SMA yang di kota. Begitu pikir Raisa. Dia sudah terbiasa dengan pergaulan kota. Dan soal bahasa? Raisa pun menjadi pusing. Bahasa pasti berbeda. Bagaimana nanti waktu sekolah di sini? Bahasa yang mereka gunakan tak akan dimengerti Raisa. Raisa pasti akan menjadi bahan olok-olok.
Gadget Raisa berbunyi. Dari Dirga. Segera Raisa mengangkat gadgetnya.
"Dari siapa?" tanya Mama Raisa.
"Dirga."
"Tuh, 'kan, Mama juga bilang apa?"
Raisa menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya, memberi isyarat agar Mamanya diam. Mama Raisa kemudian berjalan keluar meninggalkan kamar.
"Lu kemana aja, sih?" gerutu Raisa.
"Maaf, Nek, ketiduran."
"Kirain lu udah lupa ama gue."
"Tenang, Nek. Di sini aman-aman aja. Hati gue tetep ada wajah elu."
"Ah, gombal." Wajah Raisa kembali ceria. "Sedang apa, lu?"
"Telponan ame elu, gimana, sih?"
Seketika Raisa tertawa renyah. Hal yang dia khawatirkan, Dirga direbut Sari, sirna.
"Gue sudah gak tahan di sini, Say."
"Kenapa?"
"Kayak kuburan, sepi. Gue kangen ngumpul ame temen-temen. Lama di sini, gue bisa mati berdiri."
"Itu sudah keputusan Papa elu, anak berbakti harus nurut, dong."
"Yaelah, elu ngomong enak."
"Terus mau elu apa?"
"Gue mau ngomong ame Papa, gue mau balik ke kota lagi."
"Aduh, bisa perang dunia, dong?"
"Makanya gue pelan-pelan ngomongnya, jangan sampe Papa tersinggung."
"Terserah elu, dah. Yang penting elu happy."
Sementara itu, Papa dan Mama Raisa sedang berada di ruang depan. Duduk santai sambil menonton televisi.
"Benar Pa apa yang Papa bilang," kata Mama Raisa.
"Benar apanya?"
"Raisa tidak suka tinggal di sini."
Papa Raisa garuk-garuk keningnya, bingung dengan sikap Raisa. Dulu katanya suka, tidak ada masalah. Tapi kini, setelah rumah ini jadi? Raisa bilang tidak suka. Terlambat, pikir Papa Raisa.
"Coba Mama beri pengertian sama Raisa, ini adalah keputusan bersama."
Soal ini Mama Raisa sebenarnya menyalahkan suaminya. Waktu beli tanah di pedesaan ini, suaminya tidak bertanya dulu pada Raisa. Tapi Mama Raisa diam, takut suaminya tersinggung. Bagi Mama Raisa, hidup di mana pun, dia akan menjalaninya dengan suka hati. Tapi Raisa? Dia masih remaja. Atau mungkin mereka terlalu memanjakan Raisa, sering menuruti keinginan Raisa, sehingga Raisa tidak bisa menyesuaikan lingkungan barunya?
Terdengar suara pintu kamar Raisa dibuka. Kemudian muncul Raisa dengan wajah sendu. Pelan Raisa berjalan mendekati Papa-Mamanya. Raisa duduk menunduk di samping Mamanya.
Mama Raisa memeluk bahu Raisa. "Masih sedih?"
Raisa menggeleng. "Paa…," kata Raisa pelan.
Papa Raisa menoleh ke anak kesayangannya. "Ada apa?"
"Boleh ngomong tidak?"
"Soal apa?"
"Maaf, dulu Raisa sudah bohong. Raisa bilang, Raisa suka tinggal di sini. Tapi sebenarnya Raisa tidak suka. Raisa tidak suka di sini."
Papa Raisa menegakkan tubuhnya. Memandang serius ke arah Raisa. "Raisa, keputusan sudah diambil. Apapun yang terjadi kita tetap tinggal di sini. Tiga hari lagi Papa mulai masuk kerja. Dan Raisa sudah Papa daftarkan di SMA terbaik daerah ini. Coba Raisa pikirkan. Cobalah berpikir secara dewasa Raisa."
Raisa terdiam, tak berani membantah ucapan Papanya.
"Cobalah Raisa, lambat laun nanti kamu akan terbiasa dengan lingkungan di daerah ini. Papa percaya itu."
Raisa menjadi kikuk di depan Papa-Mamanya. Kemudian tanpa kata-kata, Raisa kembali ke kamarnya. Merebahkan tubuhnya dengan kesal. Dia merasa menyesal, kenapa tadi tak mau membantah ucapan Papanya. Pokoknya aku harus pergi dari rumah ini, apapun risikonya. Begitu pikir Raisa.
Kemudian Raisa menyusun rencana juga membangun keberanian dalam dirinya. Raisa berencana pergi dari rumah ini. Minggat. Jika dia terus di sini, dia akan mati ketakutan. Raisa teringat soal ulat bulu itu. Dan soal Raisa bertemu ulat bulu itu, membuat Raisa menjadi was-was. Saat mandi, Raisa was-was jika dinding kamar mandinya ada ulat bulu.
Raisa kemudian mengambil secarik kertas kosong dan pensil. Raisa akan menulis pesan untuk Papanya. Raisa berpikir sejenak. Kemudia Raisa mulai menulis.
"Pa, maafkan Raisa. Papa memang sudah mengambil keputusan, apapun yang terjadi tetap tinggal di rumah ini. Tapi Raisa tak tahan, Pa. Raisa takut dengan ulat bulu. Baru kali ini Raisa bertemu dengan ulat bulu. Gede lagi. Jika Raisa tetap tinggal di sini, Raisa bisa gila. Sekali lagi maafkan Raisa, Pa. Raisa harus pergi dari rumah ini."
Raisa meletakkan pensilnya dan membaca hasil tulisannya. Raisa meneteskan air mata.
Di ruang depan, Papa dan Mama Raisa masih terdiam, memikirkan sikap Raisa. Mereka sedikit kaget ketika terdengar suara bel berbunyi. Mama Raisa berdiri dan berjalan mendekati jendela. Menyibak korden, ingin tahu siapa yang datang. Dua orang, laki-laki dan perempuan, terlihat di luar pagar. Mama Raisa membuka pintu dan berjalan mendekati kedua orang itu.
"Maaf, ada apa, Pak, Bu?" tanya Mama Raisa.
"Maaf, tadi saya dapat pesen dari Pak Lurah, katanya disini butuh pembantu?" kata Kang Waluh.
"Oh, benar, benar, Pak."
Mama Raisa kemudian membuka pintu pagar dan mempersilakan kedua orang itu ikut bersama Mamanya Raisa.
"Mari silakan duduk, Pak, Bu," pinta Mama Raisa.
Canggung, Kang Waluh dan istrinya duduk di lantai.
"Jangan duduk di lantai, Pak, Bu. Silakan duduk di kursi saja."
Kang Waluh dan istrinya saling senyum. "Iya, Juragan," ucap Kang Waluh.
"Ini Pa, yang mau kerja di sini."
Penuh sopan Papa Raisa menanggapi kedatangan mereka. "Bapak dapat pesan dari Pak Lurah?"
"Iya, Juragan."
"Baik, baik. Jadi besok mulai kerja bisa? Ringan, kok, Pak. Cuma cuci baju, piring, sama bersih-bersih rumah. Bagaimana?" kata Papa Raisa.
Kang Waluh melihati istrinya. Istrinya kemudian mengangguk. "Bisa, Juragan," kata Kang Waluh.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
