
"Penasaran gue. Cewek kayak apa besok yang bakal ngeluluhin hati dingin lo itu."
"Ini nih angkat. Gosong tau!" suara berisik Made terdengar di ujung meja.
Angga hanya bisa menggelengkan kepala sambil menengok sekilas ke arah anak buahnya itu sementara tangannya masih sibuk mengupas kulit udang tanpa henti.
"Eh eh! Jangan ditaruh semua. Matengnya nggak rata ntar." Kali ini suara Ellen yang terdengar.
"Ini sapa yang ambil. Ayo tanggung jawab." Suara Dicka sekarang. Astaga ... mereka benar-benar berisik.
"Pak. Biar saya saja," ucap Sandrina hampir setengah berbisik kepadanya.
Angga menengok dan mendapati gadis itu menatap ke arah tumpukan udang yang ada di hadapannya. Sandrina pasti merasa tidak enak sendiri melihat dirinya mengupas kulit udang seperti sekarang ini. Tapi, bagaimana ya ... Angga senang melihat ekspresi itu. Ia menikmati bagaimana gadis itu merasa tidak nyaman terhadap apapun yang berkaitan dengan ucapan ataupun sikapnya. Karena sedari awal niatnya adalah menanamkan kesan 'tidak biasa' pada Sandrina. Bare with me girl. I'll make you mine for sure.
"Tinggal dikit. Nanggung," jawab Angga memasang wajah fokus sambil terus mengupas kulit udang untuk Sandrina.
"Kalo gitu berenti dulu ngupasnya dan silakan makan yang sudah saya panggang," ujar Sandrina masih berbisik. Dia mendorong piring berisi daging siap santap ke arah Angga yang hanya melirik sekilas piring tersebut.
"Bos, dari tadi sibuk ngulitin udang tapi nggak makan udangnya," celetuk Made yang akhirnya sadar Angga belum makan apapun sedari tadi.
Angga melirik sekilas ke arah Made yang kali ini menatap Sandrina dengan dahi berkerut. "Lo kualat lo. Masak bos sendiri lo suruh kupasin udang," tegur Made kemudian pada Sandrina.
Angga menahan senyum sementara Sandrina tampak belingsatan sendiri di kursinya. Dari mata bulatnya yang melotot sempurna, terlihat sekali bahwa gadis itu tidak terima disalahkan oleh temannya. Gadis itu sudah bersiap buka suara untuk membantah, tapi tepat saat itu udang terakhir telah selesai dikupas Angga. Dengan sengaja ia pun memotong niat Sandrina.
"Oke. Done," ucapnya santai lalu tersenyum ke arah Sandrina.
Tanpa mempedulikan sekelilingnya, ia pun menggeser piring berisi tumpukan udang yang sudah dikupas kulitnya itu pada Sandrina. Gadis itu menerima dengan cepat piring tersebut lalu kembali mendorong piring sebelumnya yang telah diisi dengan daging dan udang yang telah siap makan pada Angga.
"No. Itu buat kamu saja. Saya mulai full," tolak Angga halus.
Ucapan Angga tersebut jelas terdengar oleh timnya yang lain. Mereka semua dengan kompak menatap heran pada Angga dan sikap aneh atasannya malam ini. Dari ujung ekor matanya ia melihat bagaimana Sandrina susah payah berusaha bersikap tenang, menarik diri darinya dan bersikap seolah-olah bukan dirinyalah yang Angga ajak berbicara tadi. Angga menarik napas pelan. Kelihatannya ia harus lebih menahan diri ketika di depan publik.
Ia menyapu pandangan pada satu per satu anak buahnya. "Kenapa berhenti makan? Udah pada kenyang?" ucapnya.
Seketika respon mereka beralih. "Pak Bos udah kenyang?" tanya Made meletakkan sumpit yang tengah dipegangnya.
"Kalian kenyang? Ayo sudah, berdiri semua. Saya bayar sekarang," ucap Angga secepat kilat membalikkan situasi.
Mereka dengan kompak menggeleng sembari berkata. "BELOM!"
Angga mengangguk santai. "Lanjutin makannya kalau gitu."
"Besok-besok kalo makan ginian lagi. Duduknya deket Pak Bos aja dah gue. Enak dikupasin," celetuk Made.
Angga tersenyum miring. Kalo nggak lagi jaga image, lo yang gue kulitin! Enak aja kalo ngomong!, batinnya gemas.
"Apa gue telat?" tanya sebuah suara tiba-tiba.
Angga mendongak dan mendapati sosok Anggun yang tengah berdiri sambil tersenyum lebar. "Dateng beneran dia," sambutnya sok-sokan malas.
Anggun tertawa kecil. "I can't let you down, Ngga," balas Anggun lalu menatap yang lain. "Hai semua," sapa Anggun ramah pada timnya.
"Hallo, Mbak," sapa Dicka sementara sisanya hanya mengangguk canggung.
Anggun menarik kursi kosong yang ada di samping Angga. "Gue duduk sini aja ya," ujarnya.
Angga menengok sebentar lalu mengambil tas punggungnya yang ia letakkan di kursi tersebut dan meletakkannya di bawah kakinya. "Nggak usah ambil makanan lagi. Abisin yang ada," ucapnya pada Anggun.
Anggun tak menyahut, dia hanya menatapnya dengan senyum lebar. Dari ekor matanya ia bisa melihat bagaimana aksi saling senggol siku serta kiriman sandi Morse pun langsung terjadi di antara anak buahnya. Tanpa terkecuali, Sandrina juga. Angga sengaja membiarkan, baginya tidak penting pendapat orang tentangnya. Ia tidak pernah peduli soal itu.
"Niat nggak sih lo undang gue," kata Anggun sok merajuk.
"Koreksi. Gue nggak pernah ajak lo. Lo sendiri yang maksa pengen ikut."
"Damn it, Angga. Harus ya lo sejujur itu. Bisa ilang reputasi gue di depan anak buah lo," tegur Anggun.
Angga hanya tersenyum mendengar gerutuan wanita di sampingnya ini sembari menyerahkan piring yang diberikan Sandrina sebelumnya pada Anggun.
Anggun tersenyum senang. "Thank You," ucap Anggun lembut.
***
"Gue pulang bareng mobil lo ya," kata Anggun saat mereka sudah berada di luar restauran.
Angga mengangguk singkat. Ia lalu berbalik ke arah timnya yang berjalan di belakang. "Kalian boleh pulang duluan. Terima kasih ya."
Made membuat gerakan hormat dengan tangan kanannya yang menempel di sisi kanan pelipisnya. "Siyap, Bos! Makasih traktirannya, Bos!" ujar Made dengan nada suara bak Komandan Upacara.
Butuh disadarin ini bocah!, batin Angga sembari memukul lengan Made. "Cukup ya," ujar Angga pelan dan penuh penekanan.
Made kelihatannya langsung paham maksud ucapannya tersebut karena sedetik kemudian dia langsung menjaga sikap sembari meminta maaf padanya.
Anggun tertawa pelan di sampingnya. "Lo bener-bener. Jangan galak-galak jadi atasan," ucap Anggun sambil mengelus-elus lengan Angga. Ia sendiri memilih diam tak menanggapi ucapan Anggun itu.
"Kapok lo! Suka nggak tau diri jadi orang!" tegur Dicka yang langsung ditimpali tawa dari yang lain.
"Makasih, Bos! Ati-Ati di jalan! Have a nice Satnite!" kata Made sambil menatapnya bergantian dengan Anggun.
Angga tak menggubris lagi perkataan Made, ia memilih berjalan menjauh sembari melambaikan tangannya asal pada rekan kerjanya itu. Dapat ia dengar suara ceria Anggun yang ikut berpamitan dengan timnya sembari membuntut di belakangnya.
Angga melajukan mobilnya dengan tenang di keramaian kota Jakarta. Suasana malam hari di Jakarta tak ada ubahnya seperti saat pagi hari, di saat jam berangkat kantor. Penuh dan macet. Lantunan lembut suara Tulus mengisi ruang mobilnya, membuatnya sedikit relax di tengah padatnya jalanan Ibukota.
"Mampir ngopi bentaran, yuk," ajak Anggun tiba-tiba.
"Gila. Masih muat tuh perut."
"Thanks ke lo, gue makannya dikit tadi."
Angga tersenyum mendengar sindiran Anggun. "Seinget gue ada cafe di depan. Mau di situ aja? Karna gue males banget kalo sampe harus muterin Thamrin lagi."
"Iya dah. Terserah. Mana aja. Pokoknya gue harus ngopi."
Tak butuh waktu lama berkendara, plakat neon cafe tersebut pun terlihat. Angga menyalakan sein kiri lalu membelokkan mobilnya, masuk ke pelataran parkir sebuah cafe yang searah dengan jalannya ini. Dengan cepat Anggun membuka pintu dan turun terlebih dahulu, Angga memilih berjalan di belakang Anggun yang melangkah dengan sangat riang di depannya. Sesampainya di dalam cafe, ia sudah melihat Anggun yang tengah memesan kopi dan makanan yang dia mau.
"Lo? Mau apa?" tanya Anggun.
"Nggak. Minum kopi malem-malem. Nggak tidur ntar gue. Ini aja," kata Angga sambil menunjuk cheese cake mungil.
Anggun tersenyum menatapnya. "Cemen lo," ledeknya.
"Ini aja, Kak?" tanya barista wanita pada Anggun.
Anggun mengangguk sembari mengeluarkan kartunya.
"Pake ini," kata Angga cepat lalu menyodorkan kartu debitnya.
Barista wanita itupun menurut lalu mengambil kartu debit milik Angga. Anggun tersenyum puas. "Poinnya masukin ke kartu ini ya," ucapnya riang.
Angga menatap Anggun sambil menggelengkan kepala. Tingkah Anggun memang terkadang ajaib.
"What? Mubazir buang-buang poin itu," sahut Anggun sembari menunjukkan senyum lebarnya.
"Lo punya semua member tiap cafe di Jakarta?" tanya Angga benar-benar penasaran.
Anggun hanya mengangguk sambil menyeruput frappucino-nya. "Hampir semua, lebih tepatnya." Anggun kemudian mengeluarkan card wallet miliknya dan dengan bangga menunjukkan koleksi kartu membernya pada Angga.
"Ckckck."
Anggun lalu berjalan menuju salah satu meja kosong yang menghadap ke jalanan Ibukota. Diletakkan kopinya di atas meja sembari memandang ke arah Angga. "Lo yakin nggak tertarik sama gue?"
Hampir saja Angga tersedak cake yang tengah ia makan kala mendengar pertanyaan Anggun yang begitu blak-blakan itu. "Nggak bosen apa lo bahas ini lagi?"
Anggun menaikkan kedua bahunya cuek. "Coba aja lo kenali gue dulu. Sapa tau jatuh cinta klepek-klepek ntar."
Angga tertawa sekedarnya. Anggun memang menarik. Di usianya yang masih muda dia sudah menjabat sebagai manajer sales di kantor. Orangnya juga pintar, supel dan menyenangkan. Tetapi apa mau dikata? Angga tidak pernah melihatnya sebagai seorang wanita. Tidak pernah terbersit di pikirannya, barang sekalipun tentang keinginan untuk menjadikan Anggun pacar atau bahkan calon istrinya kelak.
Anggun dengan sifat dan kepribadiannya yang blak-blakan dan selalu percaya diri mungkin terlihat keren bagi beberapa pria, tetapi tidak dengannya. Kalau boleh jujur, Anggun bukan tipe ideal Angga. Ia tidak terlalu nyaman ketika dihadapkan dengan wanita yang tangguh seperti Anggun. Ditambah dengan kenyataan, Anggun sudah menyatakan perasaan tertariknya pada Angga sebanyak empat kali dalam setahun terakhir.
Bagi Angga, The things about chasing, flattering, and confessing are a man's jobs. Jadi posisi terbalik seperti ini, jujur saja, sedikit membuat Angga turn off.
"Hei."
"Sori. Apa lo bilang?" tanya Angga berpura-pura tak mendengar.
Anggun tertawa nyaring. "Basi trik lo," kata Anggun sembari menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Penasaran gue. Cewek kayak apa besok yang bakal ngeluluhin hati dingin lo itu."
Angga tak menyahut dan hanya tersenyum tipis.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
