Edge of Heart (Bag 7)

2
0
Deskripsi

Bag.7 selamat membaca 

 

BAB 7
TERLIBAT LAGI

Jam sekolah di Insan Persada dimulai pukul setengah delapan pagi dan berakhir pukul tiga sore. Ada dua waktu istirahat, yaitu jam 10 pagi dan jam 12.30. Istirahat pagi hanya berlangsung sebentar hanya selama 20 menit. Karena istirahat yang sesungguhnya sebenarnya pada jam makan siang. Istirahat siang berlangsung selama 45 menit.


Bel istirahat pagi berbunyi. Seluruh siswa dan siswi berhamburan keluar kelas. Ada yang menuju kantin, ke lapangan basket, atau ada yang duduk saja di kelas. Tapi ada satu tempat lagi yang lumayan dipadati siswa siswi Insan Persada ketika istirahat pagi seperti ini, yaitu musala sekolah. Musala sekolah tak hanya dipadati oleh anak-anak Rohis. Beberapa anak meluangkan waktu sejenak untuk menunaikan ibadah Salat sunah Duha. Dan sinilah Tarissa dan teman-temannya berada, di Musala bagian akhwat usai menunaikan Salat Duha. 


Hanya dua raka'at yang sempat ditunaikan karena harus antre dengan siswa lain. Musala sekolah memang tak begitu luas. Ditambah harus dibagi dua dengan area jama'ah laki-laki. Rani dan Sofi sudah terlebih dahulu selesai dan kembali ke kelas. Di Musala hanya tersisa Tarissa dan Dhyara. Usai menunaikan Salat Duha mereka bersiap ke kelas. Dan hanya tinggal tersisa dua pasang sepatu milik mereka di teras musala. 


Tarissa mencolek Dhyara ketika menyadari ada yang aneh dengan sepatunya. Converse berwarna abu pink miliknya terikat dengan sneakers hitam yang entah milik siapa. Dari ukurannya sepertinya itu sepatu milik siswa laki-laki. 


"Rags lagi kali yang iseng. Sebelahnya bisa jadi ada di sebelah sana, deh." Dhyara memakai sepatunya. Sambil mengarahkan pandangannya ke jajaran sepatu di depan teras Musala laki-laki. Pintu masuk Musala laki-laki berada di sisi yang berbeda dari pintu Musala perempuan.


Dengan panik Tarissa memegang lengan Dhyara. Dia tidak ingin ditinggal. "Bantuin aku dong. Ambilin, yaa, Dhy."


"Nggak, ahh, Tariss. Malu banyak anak cowok yang lagi duduk-duduk di teras."


"Trus aku harus gimana? Atau kita berdua aja, yuk, yang ngambil. " Tarissa berkata cemas. Detik berikutnya wajahnya seketika cerah ketika Pak Sugi melintas. "Pak Sugi, bisa minta bantuannya, nggak?" 


"Boleh, Neng, ada apa?" Pak Sugi memang pegawai Insan Persada yang rajin dan ramah,  jarang menolak permintaan tolong dari para siswa.


"Tolong carikan sebelah sepatu saya di sebelah sana. Sepatunya kayak gini, Pak. Saya malu mau kesananya." Tarissa menunjuk sebelah sepatunya dan menunjuk ke arah teras area ikhwan. Setelahnya dia melepas ikatan sepatunya yang terikat dengan sneakers hitam.

 "Sekalian dibawa sepatu ini, ya, Pak." Tarissa memberikan sneakers yang entah milik siapa tersebut pada Pak Sugi untuk dikembalikan.


Pak Sugi bergegas ke area teras Musala laki-laki. Matanya memindai dengan teliti ke arah jejeran sepatu yang tersimpan rapi. Mencari-cari penampakan sepatu seperti milik Tarissa. 


Tak lama, Pak Sugi menemukannya. Sepatu converse warna abu dan pink milik Tarissa juga terikat dengan sneakers hitam.


"Nyari apa, Pak?" Rizky mengejutkan Pak Sugi yang sedang berjongkok, hendak melepas ikatan converse abu pink milik Tarissa.


"Ehh, kamu Rizky. Ini ada yang iseng ngikat sepatunya Neng Tarissa." Pak Sugi segera melepas ikatan pada sepatu tersebut. "Ini sepatunya siapa, ya, Riz?"


"Yang hitam itu sepatu saya, Pak. Tapi dari tadi saya di dalem. Ck iseng sekali, ya, Pak." Rizky memang sejak awal ada di dalam Musala. Setelah Salat Duha dia lanjutkan dengan tadarus.


Kalau menyangkut Tarissa pasti ulah geng Rags lagi. Batin Rizky.


"Kurang kerjaan kali ni anak, yaa," celetuk pak Sugi gemas. Rizky hanya menjawab dengan tersenyum lalu segera berjongkok mengenakan sneakers-nya. Dan pak Sugi kembali ke area Musala perempuan menemui Tarissa.


"Gimana pak, ada?" Tarissa menyambut pak Sugi. Pak Sugi menunjukkan sepatu Tarissa yang ada di tangannya. "Alhamdulillah. Terima kasih ya Pak."


"Sama-sama, Neng. Sepatunya diiket sama sepatunya Rizky," beri tahu pak Sugi lalu Pak Sugi kembali melanjutkan pekerjaannya menuju gudang belakang.


"Aihh, nggak kreatif amat isengnya." Dhyara berujar kesal.


"Dah, ah, balik ke kelas, yuk. Yang penting sepatunya dah ketemu," ajak Tarissa menggandeng Dhyara menuju kelas.


⇜⇝

 

Setelah berkutat dengan pelajaran matematika di jam pertama dan kimia di jam berikutnya Tarissa, Sofi, Rani, dan Dhyara memilih bersantai di seberang kantin utama. Di seberang kantin memang disediakan untuk siswa-siswa duduk-duduk. Terdapat banyak meja bundar yang menempel dan mengelilingi pohon dengan kursi-kursi kayu yang juga mengelilinginya.

 Setiap pohon berfungsi sebagai kanopi. Saat siang berada, di area itu sangat menyejukkan. Sebutan anak-anak Insan Persada untuk area itu adalah DPR, Di bawah Pohon Rindang. Jika kantin sedang penuh maka DPR menjadi pilihan tempat pertama untuk menikmati makan siang.


Berada di DPR Tarissa dan teman-temannya memilih ngobrol sambil menikmati bekal makan siang yang dibawa dari rumah. Kecuali Dhyara, dia lebih suka membeli makan siang di kantin. Mereka sedang tertawa mendengar cerita Dhyara tentang sepatu Tarissa yang diikat dengan sepatu Rizky. Kecuali Tarissa tentu saja, dia mendengkus. Baginya orang yang melakukan itu kekanak-kanakan. Tersangka utama yang diduga oleh Dhyara, Rani, dan Sofi tentu saja siapa lagi kalau bukan Rags. Rags memang ga ada matinya pikir mereka.


Meja-meja di DPR siang itu penuh dengan siswa. Angin sepoi-sepoi di DPR memang bikin betah. Jarak beberapa meja dari Tarissa dan teman-temannya, anak-anak Geng Rags berkumpul. Tak terkecuali Rado dan Jeffin. Base camp tempat mereka biasa berkumpul yaitu di kantin belakang sudah menjadi 'Restricted Area' untuk anak-anak Rags. Setelah beberapa hari lalu mereka kepergok merokok di situ. Pak Dicky, sebagai guru BP tiba-tiba datang ketika anak-anak Rags sedang asyik merokok. 


Hukuman untuk mereka adalah anak-anak Rags harus melakukan kampanye anti rokok ke tiap kelas dan juga tekad dan janji untuk tak merokok lagi. Rado dan Jeffin saat itu tak merokok, selain memang Jeffin tak merokok. Tapi karena solidaritas mereka sebagai sesama anggota Rags mereka ikut kampanye ke setiap kelas. Lumayan sekalian tepe-tepe ke adik kelas.


Hukuman berikutnya adalah kantin belakang jadi area terlarang untuk mereka. Tentu saja area terlarang untuk Rags bukan dengan memasang police line atau no trespassing line. Tapi cukup dengan melarang para pedagang untuk melayani semua anak Rags. Sehingga semua pedagang kompak untuk tak melayani pesanan anak-anak Rags dan tak membolehkan anak-anak Rags duduk di situ. Tentu saja mereka ogah kelaparan. Mereka tak bisa melalui hari tanpa gorengan.


Kembali ke DPR, anak-anak Rags berkumpul di dua meja paling ujung. Sibuk dengan santapan masing-masing. Kecuali Rado dan Jeffin pesanan mereka belum datang. Mereka sedang membahas tugas Bahasa Indonesia dari Pak Anwar untuk semua anak kelas XII IPA. Sebuah tugas untuk membuat artikel populer tentang makna cinta. Tema yang banyak dibicarakan di bulan februari. 


Tugasnya tidak boleh diketik, bukan karena Pak Anwar sangat menyukai tulisan tangan anak-anak tapi karena Pak Anwar sangat anti dengan kegiatan favorit anak-anak di microsoft word,  yaitu kegiatan Copas.


Setidaknya dengan menulis anak-anak tahu apa yang mereka tulis. Yahh walaupun tak menjamin seratus persen seperti itu. Dan masih kata Pak Anwar menulis dengan pulpen itu sensasinya berbeda dengan menekan toots keyboard, selain juga untuk melatih motorik anak-anak SMA yang kini lebih sering bergaul dengan gadget.  Anak-anak Insan Persada sudah terbiasa dengan tugas-tugas Pak Anwar yang kadang tak lazim, begitulah pak Anwar. Selamat mendapatkan pengalaman belajar bersama pak Anwar yang sedikit eksentrik. Begitu para siswa saling menyemangati.


Untuk tugas Pak Anwar, Rado sama sekali belum mengerjakan. Dia kini memerhatikan tugas yang sudah dikerjakan Jeffin. "Judul artikel, Lo, apa, Jeff?" tanya Rado. 


Jeffin tak menjawab, dia membiarkan Rado membaca sendiri judul artikel yang sudah dikerjakan Jeffin. "Cinta Itu Adalah Dia?" Rado memicingkan matanya. Tak menyangka Jeffin yang cuek bisa juga punya sisi romantis.


Jeffin tersenyum miring. Tugas Bahasa Indonesia dari Pak Anwar memang tak sungguh-sungguh dikerjakannya. Dia sendiri masih bingung tentang apa itu cinta. 


Kalau cinta diartikan sebagai rasa sayang dan penghormatan terhadap sebuah pengorbanan sejak Jeffin bayi. Maka Jeffin sangat mencintai Maminya. Kalau cinta diartikan sebagai pengorbanan tak berujung, maka hatinya sangat tahu untuk siapa rasa itu. Ahh, semuanya masih abstrak bagi Jeffin maka jangan heran artikelnya dikerjakan asal. Yang penting memenuhi persyaratan yang diberikan Pak Anwar yaitu artikel itu harus ditulis sebanyak dua lembar kertas polio bergaris bolak balik.


Rado membaca dengan serius artikel milik Jeffin. Keningnya berkerut. "Ahh, absurd. Nggak jelas." Rado mendengkus. Kecewa, karena niat awalnya ingin mencontek tugas Jeffin.


Jeffin tergelak. Memang dia tak benar-benar serius mengerjakan tugas itu. Tak lama pesanan mereka datang. Yessi, anaknya ibu kantin yang membawa pesanan Rado dan Jeffin. Tangannya yang kecil tampak kerepotan membawa nampan yang berisi dua piring siomay dan dua gelas jus mangga. 


Yessi memang baru lulus SMP. Karena keterbatasan biaya Yessi tak melanjutkan sekolah. Setelah meletakkan dua piring siomay dan jus mangga, Yessi hendak mengambil nampan yang sebelumnya diletakkan diatas meja, tetapi karena gerakannya kurang hati-hati nampan yang sedang diangkat menyenggol gelas jus mangga dan menumpahkan isinya. Tepat di atas tugas milik Jeffin, membuatnya basah dan melunturkan tulisannya yang ditulis Jeffin dengan pulpen ink gel.


"Lo, becus kerja nggak, sih. Gitu aja sampe tumpah!" teriak Rado. Dalam posisi berdiri Rado melotot pada Yessi. Rado memang bermasalah dengan pengendalian emosi. Jeffin hanya menatap kemarahan Rado dengan datar sudah terbiasa dengan temperamen Rado yang meledak-ledak.


Yessi mengkerut, dadanya berdegup kencang. Takut pada kemarahan Rado. "Maaf , Kak,  nggak sengaja."


Teriakan Rado menarik perhatian siswa lain. Mereka semua mendekat, penasaran pada apa yang terjadi. Tak terkecuali Sofi, Rani, dan Dhyara mereka pun turut mendekat. Untuk melihat apa yang terjadi. Tapi Tarissa memilih tak menghiraukan. Malas berurusan dengan tingkah polah anak-anak Rags.


Rado masih berdiri dengan amarahnya, kertas tugas yang basah kini dia pegang dan disodorkan ke hadapan Yessi. "Lo, kira gampang bikin tugas ini!"


Yessi semakin menunduk. Perawakannya yang kecil semakin kecil di hadapan Rado. "Maaf, Kak. Saya ganti, deh, Kak."


"Emangnya, Lo, bisa bikin tulisan seperti ini! Gue nggak mau tau. Gue akan maafkan, Lo, kalau, Lo ... Lo mau menjilat kertas ini."


Yessi terbelalak. Dengan gemetar dia raih kertas tugas di tangan Rado. Hendak menjilatnya. Yessi memang tak punya pilihan lain. Untuk membuat tugas yang serupa dia tidak akan mampu. Dia pun tak ingin dimarahi ibunya karena melakukan kecerobohan. Anak-anak yang menonton hanya bisa kasak-kusuk, tanpa berniat menolong. Yah lagi-lagi karena kalau menolong mereka takut akan jadi sasaran Rags yang berikutnya.


"Tunggu!"


Siswa-siswa yang sudah berdiri di sekeliling meja Rado dan Jeffin menoleh ke belakang, ke sumber suara. Itu suara Tarissa. 


Tarissa menginterupsi kesenangan Rado. Sekali lagi Tarissa sebenarnya tak tertarik pada tontonan yang selalu saja menjadi ulah Geng Rags. Tarissa hanya ingin mengajak teman-temannya untuk kembali ke kelas. Sampai Tarissa mendengar Rado yang meminta Yessi menjilati kertas tugas itu. Dan Tarissa tak bisa membiarkannya.


Tarissa merangsek ke tengah mendekati Yessi. 
"Mau apa, Lo? Mau ngasi gue bogem juga?" hardik Rado. Mengingatkan Tarissa pada kejadian seminggu yang lalu.


"Nggak, aku masih cukup waras untuk menghentikan drama yang kekanakkan kayak gini. Biar aku yang mengganti tugasmu, Rado. Tugas dari Pak Anwar, kan?" tantang Tarissa.


"Emang kamu bisa membuat tulisan yang serupa ini?" Rado tersenyum meledek.


Tarissa mengambil kertas tugas itu dari tangan Rado. Kemudian memerhatikan dengan seksama. Melihat sisa-sisa tulisan yang tidak luntur. "Nggak sulit, aku bisa meniru tulisanmu. Yah minimal Pak Anwar nggak akan curiga."


"Tapi itu bukan tugas gue. Itu tugas Jeffin." Rado menggeser tubuhnya. Memperlihatkan Jeffin yang duduk tepat di belakang Rado berdiri.


"Okay, malah lebih nggak sulit lagi." Tarissa memandang ke arah Jeffin yang sedang menatap Tarissa dengan malas. 


Bel tanda masuk berbunyi. Tanpa dikomando anak-anak yang berkerumun membubarkan diri.
Tarissa masih menatap Jeffin. "Tulisannya sudah banyak yang luntur. Sulit kalau aku menyalinnya. Kubuat tugasnya terserah aku saja ya, Fin."


"Okay, terserah kamu saja mendefinisikan cinta," jawab Jeffin santai.


"Judulnya Cinta itu Dia, kan?" tanya Tarissa ragu-ragu karena tulisan 'dia'-nya sudah pudar.


"Bukan, Rissa, judulnya Cinta itu Kamu." Jeffin mengulum senyum.


Tarissa menatap Jeffin. Menyadari sesuatu Tarissa memutar bola matanya. "Besok pagi tugas ini sudah ada di tanganmu." Lalu dia beranjak dari hadapan Jeffin, Rado, dan anak-anak Rags yang masih ada di situ.


Tarissa berjalan sambil menggandeng Yessi. Diiringi Sofi, Rani, dan Dhyara.


"Terimakasih, ya, Kak Tariss. Tadi Yessi takut banget," ucap Yessi saat sudah menjauhi Rado dan Jeffin. Yessi lalu menggenggam tangan Tarissa.


"Sama-sama, Yess, kamu jangan ceroboh lagi, ya. Anak-anak geng itu memang begitu." jawab Tarissa dengan sorot prihatin.


Yessi mengangguk dan tersenyum lega. "Yessi permisi dulu, ya, Kak. Mari kakak-kakak semua." Yessi mengangguk pada Sofi, Rani, dan Dhyara.
Ketiganya tersenyum pada Yessi yang berbelok ke arah kantin. Lalu mereka menghalangi langkah Tarissa sambil melipat tangan di dada. Menatap lurus pada Tarissa.


"Apppaa? Ok ok ... jangan hakimi aku, dong. Aku nggak tega sama Yessi tadi," kilah Tarissa. Tahu apa maksud dari tatapan ketiga temannya itu.


"Tariss, kamu bilang udah nggak mau berurusan lagi sama Geng Rags. Tadi itu bahaya banget. Gimana kalau mereka menyuruh kamu yang ngejilat kertas itu," ujar Sofi tak habis pikir.


"Ke kelas aja, yuk." Tarissa merangkul dan mendorong Sofi, Rani, dan Dhyara untuk berjalan ke kelas. Mengalihkan perhatian agar tidak memberi kesempatan pada ketiganya untuk bicara.


⇜⇝

Bersambung 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Edge of Heart (Bag.8)
3
0
Berhasik ga yaa Tarissa nyalin tugas yang rusak..Yukk baca terusannya 😍
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan