
Bab 10 MULAI LELAH
"Pa, besok akan ada arisan di rumah. Sofa itu aku mau buang, ganti yang baru."
Rendi yang baru menikmati makan malamnya seketika terhenyak dari duduknya. Dahinya berkerut mendengar permintaan dari istrinya itu.
"Itu, 'kan masih bagus, Ma," ujar Rudi dengan melanjutkan lagi makan malamnya.
Siska memasang wajah masam, ingin saja rasanya ia berteriak di depan wajah suaminya itu jika tidak ada anak-anak mereka saat itu juga. Di hentakkan kaki ke lantai dengan keras lalu melangkah menuju Rudi yang sedang menikmati rezeki yang diterimanya.
"Pa, malulah kalau sofa yang sudah kusam begitu masih terpampang di ruang tamu. Teman-teman, Mama itu orang-orang kaya semua. Mama saja dibuat heran kalau sedang main ke rumah mereka, mau ditaruh dimana muka Mama nanti kalau sofa buluk itu masih disana?" ujar Siska dengan gigi bergemeletuk.
"Ma …."
"Sudahlah, Mama sudah pesan kok. Sebentar lagi juga datang."
"Kok tidak bilang-bilang dulu, Ma …."
"Kalau bilang pasti, Papa tidak akan setuju dan mengeluarkan sejuta alasan ini dan itu. Ribet. Lebih baik Mama ambil keputusan sendiri saja!"
Rudi mendengus kesal, selalu saja siska seperti ini. Namun, dia tidak pernah berani mengutarakan. Amarah Siska sungguh suatu bencana yang besar bagi Rudi. Maka, jalan yang terbaik adalah menghindarinya.
Meski, dalam segala kondisi apapun, Rendi tidak pernah dilibatkan. Terkadang ada sisi hati Rendi yang merasa berkecil hati karena sebagai suami dan kepala keluarga, justru dia seperti tidak dianggap sama sekali oleh sang pujaan hati.
Namun, lagi-lagi Rudi hanya bisa membisu dan tidak ingin sang permaisuri menunjukkan wajah masamnya hanya karena hal yang sepele.
☀️☀️
Rudi siang ini duduk bersandar di kursi barunya. Sudah sepekan kursi sofa yang di pesan sang istri bersandar ria di ruang tamu. Kepalanya sedikit pusing, terlihat dia memijit pelipis dengan lembut serta mata terpejam. Entah, apa yang ada di dalam pikirannya. Hanya Rudi yang tahu.
Pola hidup sang istri membuatnya memutar otak lebih keras supaya selalu bisa mengabulkan. Dari makanan, pakaian serta isi rumah yang memang terlihat tidak cocok di mata Siska. Akan selalu diubah dan meminta kepada Rudi sesuai dengan keinginannya.
Semua itu dibayar secara kredit, hingga Rudi lah yang harus membayarnya. Siang ini dia minta ijin untuk pulang lebih awal, raganya lelah bekerja lebih dari cukup. Saat malam, dia ingin seperti seorang suami yang meminta pijat ke istrinya.
Namun, berbagai alasan selalu di layangkan Siska untuk menolaknya. Rudi pun terlalu baik hati, tidak pernah sekalipun membantah apa yang selalu diterima olehnya.
'Aku harus meminta bantuan Rini,' batin Rudi.
Iya, Rini sang adik lah yang selalu dimintai bantuan jika dia sudah dalam keadaan terhimpit.
"Pa, kata temanku, kemarin dia melihat Rini naik mobil, baru atau pinjam?" tanya Siska menyelidik.
"Papa, nggak tahu, Ma. 'Kan, sudah lama kita nggak pernah kesana. Oh, ya, rencananya, Papa besok mau main ke rumah ibu, Mama ikut?" tanya Rudi dengan memperbaiki posisi duduknya.
Siska mengangguk cepat, dia pun penasaran dengan kehidupan adik iparnya itu.
"Oh, ya, kenapa, Papa pulang awal hari ini?"
"Aku terlalu capek, Ma. Sudah tidak kuat lagi." Rudi menghembuskan nafasnya kasar.
☀️☀️
Hari berputar bulan berganti tahun pun berlalu. Perjalanan rumah tangga Rudi masih seperti itu-itu saja. Meski kenaikan jabatan dalam pekerjaannya, Rudi masih menjadi suami yang selalu baik terhadapnya istri.
Rudi masih ikut mencuci pakaian, peralatan dapur beserta memasak. Tidak pernah sedikitpun membantah apa yang selalu diminta Siska.
Anak-anak Rudi telah tumbuh menjadi gadis dan bujang yang menginjak dewasa. Meski seorang ibu, Siska tidak pernah mencontohkan sesuatu hal yang baik terhadap anak-anaknya.
"Ma, besok aku mau piknik bersama teman-teman. Minta uang dong!" rajuk Toni dengan merangkul pundak Siska.
"Berapa?"
"Nggak banyak, hanya dua juta saja."
"Hah, kamu gi-la. Uang sebanyak itu kamu bilang nggak banyak? Tuh, minta sama Papamu!"
"Papa lagi nggak ada duit, Ton. Kemarin, 'kan uangnya buat bayar biaya sekolah, Kakakmu," jawab Rudi dengan menyesap kopi buatannya sendiri.
"Minta saja sama tantemu, Rini!" Netra Rudi mendelik mendengar Siska yang mengemukakan idenya. Kopi yang baru saja mendarat di tenggorokannya seketika nyembur keluar tanpa permisi.
Rudi sebenarnya malu jika harus meminta bantuan dari Rini. Namun, Siska selalu membujuknya dengan dalih kalau sama saudara harus saling tolong menolong.
"Aku butuh uang untuk biaya sekolah Toni, Rin. Nggak banyak, hanya tujuh ratus ribu saja," ucap Rudi kala itu.
Rini pun tidak bisa menolak permintaan sang Kakak, meski itu salah. Karena selama ini, Rudi tidak pernah sekalipun membantunya dalam hal apapun.
Jika memang memerlukan bantuan maka Rudi dengan santainya akan meminta Rini untuk membantunya. Apalagi selama ini Rini selalu bersikap baik terhadap kakak serta kakak iparnya tersebut.
Usaha Rini telah maju, berjualan bakso di depan rumah membuatnya menjadi sukses hingga sekarang. Bahkan, dagangannya selalu ramai dan laris manis.
Itu yang membuat Siska selalu mengeluarkan ide-ide anehnya dengan dalih membantu saudara. Padahal dia sendiri enggan jika harus membantu dari pihak suaminya.
"Tantemu itu sekarang sukses dan melintir, kamu 'kan keponakan mereka. Memang seharusnya perlu dibantu, iya, 'kan, Pa?" ucap Siska dengan menaikkan satu alisnya.
Rudi hanya menyunggingkan senyum dengan miring. Dia tidak tahu harus menjawab apa untuk istrinya itu. Sebenarnya dia merasa malu, karena selama ini tidak pernah sepeserpun membantu orang tua bahkan adiknya itu.
Namun, dia selalu meminta bantuan dari adiknya yang kini telah beranjak sukses karena usaha barunya yang telah membuat Rini dan orang tuanya tetap bisa bertahan hidup.
"Ya, sudahlah. Nanti, aku telepon Tante Rini untuk meminta bantuan. Atau, Mama saja yang menghubunginya, ya, Ma?" pinta Toni dengan merangkul lengan Siska.
"Baiklah. Oh, ya, Pa. Cicilan motor belum dibayarkan, bulan ini? Cepatlah dibayar, Mama nggak mau nanti pihak leasing mengambil kendaraan baruku. Bisa malu nanti sama teman-teman!" ujar Siska dengan menaikkan satu kakinya ke atas kursi. "Pa, aku dengar … Papa, punya warisan dari Bapak? Kenapa tidak jual saja? 'Kan, lumayan bisa buat beli mobil. Mama tuh sebenernya nggak mau banget kalau hujan kehujanan dan kalau panas kepanasan, bisa jelek nanti wajah Mama ini."
Rudi masih membisu, enggan menjawab apa yang Siska utarakan meski dengan semangat empat lima. Sesekali Rudi memijat kepalanya pelan.
"Pa!" teriak Siska membuyarkan lamunan Rudi.
"Hem."
"Jangan, ham-hem saja. Mama ini sedang berdiskusi dengan Papa soal masa depan kita semua. Papa malah nggak serius banget, melamun? Melamun apa?"
Rudi berlalu menuju kamar dengan sikap membisu, raganya lelah dan ingin sekali beristirahat. Warisan satu-satunya milik Rusi ditempat orang tuanya sebenarnya adalah investasi untuk sekolah kedua anaknya kelak. Jika harus dijual untuk membeli kendaraan, bagaimana kedepannya nanti?
Kepala Rudi berdenyut tidak karuan, membuatnya terasa lemas dan ingin merebahkan tubuh letihnya di atas kasur. Supaya keesokan harinya bisa segar kembali dengan menjemput impian yang selama ini selalu di hadiahkan untuk istri tercantiknya.
❤️❤️
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
