
Pernikahan kontrak harus diakhiri tetapi Asmara tidak mau kehilangan Elgara. Segala cara akan Asmara lakukan termasuk melumpuhkan suaminya sendiri dan membuatnya selamanya bergantung padanya.
Asmara datang bersama dengan dua orang pengawal dan langsung mengakses lift menuju lantai 40 dengan bantuan dari Wisnu. Beberapa staf sekretaris tampak tertarik menonton tetapi saat atasannya kemudian menegurnya mereka langsung kembali berpura-pura tidak melihat apapun.
"Dimana suami saya?"
Wisnu menunjukan jalan pada sekat pintu ruang pribadi milik Elgara. Membukakannya dan membiarkan Asmara untuk memasukinya lebih dulu. "Tunggu diluar."
Setelah kepergian semua orang, Asmara membantu Elgara untuk berbaring lebih nyaman. Dikeluarkannya stetoskop dari dalam tas tangan untuk kemudian melakukan pemeriksaan sederhana.
"Mm... obatnya bekerja dengan baik."
Selanjutnya Asmara mengeluarkan botol kecil berisi obat yang akan menurunkan kesadaran Elgara agar nanti selama dalam perjalanan dirinya bisa membawanya dengan tenang. Dua belah bibir Elgara dibuka dan menggunakan bantuan pipet botol tersebut, cukup dua tetes diberikan Asmara kedalam mulut suaminya.
"Sayang..." gumam Asmara dengan tangan mengelusi pipi Elgara. "Maaf karena harus berbuat sampai seperti ini."
Kenyitan samar dan raut wajah tidak nyaman yang sebelumnya hilang timbul akibat tekanan serangan vertigonya perlahan menghilang. Raut tenang Elgara kembali dan itu menandakan bahwa obat yang Asmara berikan tadi sudah kembali menekan kesadaran suaminya.
"Bawa dia. Hati-hati jangan sampai terluka."
Dua orang pengawal mengambil alih tubuh Elgara untuk dipapah dan dibawa keluar. Mereka kembali menggunakan lift khusus direksi sehingga tidak akan ada satupun staf ataupun pegawai yang menyadari tindakan mereka.
"Bu, Asmara. Setelah ini... apa yang akan terjadi pada Pak Elgara?" Wajah Wisnu menunjukan keresahan. Mungkin perasaan bersalahnya belum juga hilang karena merasa terlibat dalam menipu Elgara membebaninya.
"Saya akan membawanya berobat, tentu saja."
"Berobat?"
Asmara mengangguk. "Itu tidak sepenuhnya bohong. Lagipula akhir-akhir ini El memang mengeluh sakit kepala dan beberapa kali serangan vertigonya kambuh. Dia sudah memiliki gejala penyakit ini sejak lama, jadi tidak heran dengan ritme kerjahya yang seperti ini kalau itu akhirnya menumbangkannya."
Meski tidak sepenuhnya berbohong, Asmara tahu kalau pada dasarnya Wisnu ini adalah asisten yang baik. Hanya karena tergiur oleh iming-iming jabatan sehingga membuatnya sampai berbuat hal senekat ini. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur sekarang.
Dibawah pengawasannya dan bantuan obat-obatan miliknya, Asmara bisa menjamin kalau suaminya itu akan mengambil waktu istirahat yang panjang.
"Bu Asmara yakin?"
"Tentu. Dan kamu harus ingat kalau apapun yang kamu lakukan hari ini, itu tidak lain adalah untuk membantu saya bisa menangani penyakit suami saya lebih baik lagi. Ini sama sekali bukan kejahatan dan bonusnya... selamat, mulai hari ini kamu akan dipromosikan."
Awalnya memang ini tujuan Wisnu sampai nekad menerima tawaran Asmara. Tapi tidak menyangka juga akan langsung mendapatkan imbalannya secepat ini. "Saya di promosikan, Bu? Bukannya saya yang merekomendasikan orang lain untuk—"
"Kamu tidak salah dengar." Asmara menyela dengan senyum tipisnya. "Saya sudah membaca berkasmu dan saya yakin kamu lebih dari mampu. Dan mulai hari ini sampai nanti Elgara dinyatakan sembuh maka kamu yang akan mewakilinya dalam menjaga kestabilan perusahaan. Kecuali ada pertemuan penting atau pengambilan keputusan yang membutuhkan persetujuan khusus, kamu boleh memimpin perusahaan."
Wisnu melotot tidak percaya. Bukan hanya dipromosikan tetapi dirinya juga akan memimpin perusahaan? Maksudnya dirinya akan menggantikan Elgara selama laki-laki tersebut mendapat perawatan?
"Bu, tapi ini terlalu..."
"Nikmati saja. Saya haru segera pergi dan memulai perawatan untuk suami saya."
Wisnu terlihat masih tidak bisa berkata-kata. Asmara kemudian memilih membiarkan dan beranjak memasuki lift untuk menyusul Elgara yang sudah lebih dulu dibawa ke mobil. Mereka duduk bersisian dan Asmara tanpa canggung membiarkan suaminya tersebut merebahkan kepala di bahunya.
"Pak, turunkan tirai pembatas mobilnya." Tidak lama setelah partisi pembatas diturunkan, Asmara mulai menunduk untuk meraih bibir suaminya. "Setelah ini aku janji kamu nggak akan bisa kemana-mana lagi. Ya?"
Asmara lalu mencium bibir Elgara lembut.
■■□■■
"Ugh!"
Kernyitan di kening Elgara bertambah dalam. Tidak lama kelopaknya membuka dan tatapannya langsung memicing tajam. Pandangannya masih kabur saat dirinya coba mengenali sekelilingnya yang asing.
"Dimana... ini?"
Bermenit kemudian barulah Elgara menyadari dirinya sedang berada di salah satu bangsal rumah sakit. Keberadaan alat-alat medis juga bau khas desinfektan yang familiar membuatnya dengan cepat merasa mual.
"Uhuk..." gejolak mualnya menekan perut. Napasnya berubah cepat dan sadarlah dirinya pada masker oksigen yang merungkup mulut serta hidungnya hingga rasanya menjadi sangat sesak.
"Oh, sudah bangun sayang?"

Suara bernada lembut tersebut membuat kening Elgara berkerut kembali. Kepalanya seperti terasa kosong dan sulit sekali untuk diajak berpikir. "S—siapha...?"
Elusan lembut di kepalanya membuat Elgara memejam rapat. Mencoba menemukan sebuah nama yang rasanya sudah hampir ada diujung lidah tetapi kepalanya menolak ingat. Lalu saat keningnya dikecup lembut barulah Elgara mengucapkannya begitu saja.
"Mara...?"
Senyum Asmara terkembang lebar. "Ya sayang, ini aku." Sahutnya lembut.
"Dimana... akh.... ini?" Desisan sakit keluar dari bibir Elgara, "kenapa aku—aaah ada disini...?"
Usapan telapak tangan lembut Asmara menangkup pipi Elgara. "Kamu di rumah sakit. Kemarin kamu pingsan di kantor karena serangan vertigo, ingat?"
"Aku... vertigo...?" Elgara mencoba mengingat-ingat dan sepertinya apa yang diceritakan oleh istrinya tersebut memang benar dialaminya.
"Iya. Serangannya cukup parah. Kamu sanpai nggak sadar selama dua hari." Tatapan Asmara berubah sendu, "aku khawatir..."
Elgara memejam saat serangan pusingnya kembali. Setiap kali mendapatkan serangan vertigonya ini memang tubuhnya akan menjadi sangat lemas dan kepalanya hanya bertambah sakit setiap dipaksakan untuk berpikir terlalu keras. Karenanya, Elgara menyadari bahwa dirinya membutuhkan bantuan orang lain.
"Kepalaku... pusing sekali..." keluhnya dengan kening berkerut-kerut.
"Kamu mau aku berikan obatnya lagi?" Asmara melirik jam di pergelangan tangannya. Memang sudah waktunya Elgara untuk diberikan suntikan obat. "Ini juga hampir waktunya kamu minum obat."
Elgara mengangguk. Lalu membiarkan Asmara beranjak dari sisinya. Melalui jarak pandangannya yang kabur, dirinya masih mampu menangkap gerakan sang istri yang menyiapkan spuit juga cairan obat. Ketika mengangkat tangan kirinya, ternyata menang ada selang infus yang terhubung dengan kantung menggantung di tiang sisi brankarnya.
Itu berarti Asmara tidak berbohong saat mengatakan kalau dirinya dirawat lebih dari satu hari. Bahkan pakaiannya sudah berganti menjadi pakaian khusus rumah sakit. Astaga... jadwalnya pasti sudah benar-benar kacau karena keadaan tidak terduganya ini.
"Mara..." panggilnya yang lebih menyerupai erangan lemah. Entah kemana perginya seluruh tenaganya tersebut.
"Sebentar sayang, aku siapkan obat kamu." Sahutan tersebut berikan bahkan tanpa Asmara membalikan badannya.
Kesempatan hening tersebut digunakan oleh Elgara untuk mengingat-ingat kegiatannya dalam satu minggu terakhir. Memang cukup padat. Dirinya harus mempersiapkan peninjauan smart living hunian yang dikembangkannga akhir-akhir ini. Perancangannya hampir selesai dan desain tersebut juga harus segera dirilis untuk masuk pada divisi pengiklanan.
Lalu—"aaaaakh!" Kepalanya kembali terasa seperti ditusuk-tusuk jarum sekarang. Rasa sakitnya bertambah berkali lipat setiap dirinya mencoba untuk membuka mata.
"Jangan memaksakan diri begitu, El. Kamu tahu kalau vertigonya hanya akan semakin memburuk." Asmara datang dengan satu dosis suntikan obat.
"Mara... ahhh—aku..." pandangan buram Elgara menangkap gerakan tangan Asmara yang sedang menginjeksikan obat tersebut pada kantung infusnya. "Mara..."
"Im here, sayang..." balas Mara dan segera saja kembali kesisi brankar Elgara. Dielusnya kening suaminya yang tampak berkerut-kerut dalam karena menahan kesakitan.
Maaf karena kamu harus merasakan sakitnya El... aku terpaksa melakukannya.
"Aaakh.... sakit sekali kepalaku, Mara..."
Asmara sebenarnya tidak tega, "sabar sayang, tunggu obatnya bekerja. Nanti pelan-pelan rasa sakitnya berkurang."
Dan benar saja, dalam beberapa saat kernyitan di kening Elgara memudar. Desah napasnya pun mulai kembali teratur sehingga Asmara baru bisa menghembuskan napasnya lega.

"Maaf, sayang..." —cup. Sebuah ciuman Asmara berikan di kening Elgara yang lembab akibat titik keringat.
■■□■■
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
