Pura-pura Tuli Untuk Membongkar Rahasia Suamiku Bab 1-5

2
0
Deskripsi

Sinopsis

Liana tidak menyangka jika saat kecelakaan dia tidak sengaja mendengar perselingkuhan antara suami dan sahabat baiknya. Oleh karena itu dia memutuskan untuk berpura-pura tuli untuk mengetahui semua rahasia antara suami dan sahabatnya.

Satu persatu rahasia terbongkar. Mulai dari perselingkuhan, hingga alasan sang suami menikah dengannya. 

Bisakah Liana bangkit dari pengkhianatan suami dan juga sahabatnya? 

Bab 1. Mendengar Kejahatan Suami dan Sahabat


 

"Apa yang terjadi sama Liana?"


 

"Aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Tapi kata suster, Liana mengalami kecelakaan. Ada sebuah mobil yang menabraknya."


 

"Terus bagaimana sekarang sama kita. Bagaimana kalau terjadi sesuatu sama Liana? Kita tidak bisa mengambil alih semua harta dia lagi."


 

"Karin, kamu harus tenang. Jika terjadi sesuatu sama Liana, aku akan mengurus semua hartanya. Harta dia harus menjadi milik kita semua."


 

"Kamu kan tahu, Liana masih memiliki wali, pamannya. Pamannya pasti tidak akan membiarkan kita memiliki semua harta itu. Apalagi kalian tidak mempunyai anak."


 

"Masalah paman Liana biar aku urus juga ya."


 

"Baiklah. Apa kata dokter tentang Liana."


 

"Kata dokter, kepala Liana mengalami benturan yang cukup keras. Kita harus menunggu dia sadar dulu untuk mengetahui perkembangannya."


 

"Aku pikir dia akan mati."


 

"Aku tidak mau dia mati dulu sebelum kita menguras semua hartanya. Kamu sabar ya. Aku pasti akan usahakan semua hartanya milik kita."


 

"Kamu janji."


 

"Iya, aku janji."


 

"Ayo kita keluar dulu. Kita jangan di sini nanti Liana bisa bangun," ujar Evan melirik ke arah Liana.


 

Evan sangat terkejut ketika melihat Liana yang sudah duduk di atas ranjang tempat tidur. Begitu pula dengan Karin. Mereka takut jika Liana mendengar semua obrolan mereka tadi.


 

"Liana, kamu sudah sadar. Sejak kapan kamu sadar?" tanya Evan dengan gugup.


 

Liana sudah sadar dari tadi. Dia sudah mendengar semua percakapan antara suami dan sahabat baiknya. Dia tidak menyangka jika  Evan berani selingkuh di belakangnya. Apalagi selingkuhannya itu sahabat baik yang sudah dia anggap seperti saudara.


 

Kemudian suami dan sahabatnya juga berkomplotan untuk merebut semua hartanya. Harta yang ditinggalkan oleh almarhum kedua orang tuanya. 


 

'Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil uang aku satu sen lagi. Aku akan membalas semua perbuatan mereka. Aku juga harus mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. Aku harus pura-pura tidak dengar obrolan mereka. Ya, aku sekalian pura-pura tuli,' batin Liana dengan raut wajah masih datar berbeda dengan isi hatinya.


 

"Evan kamu mau bilang apa. Suara kamu sangat kecil. Aku tidak bisa dengar," ujar Liana.


 

Liana memutuskan untuk berpura-pura tuli agar Evan dan Karin tidak mengetahui jika dia sudah mendengar semuanya. Dia juga ingin tahu sejauh apa hubungan mereka berdua. 


 

"Liana kamu tidak bisa mendengar suara kami?" tanya Karin ingin memastikan Liana.


 

"Evan apa yang terjadi sama aku. Kenapa aku tidak bisa mendengar suara apapun. Kenapa di sini sangat sunyi?" tanya Liana memeluk tubuhnya seolah menunjukkan dia sangat ketakutan. 


 

Evan dan Karin saling menatap. Mereka saling memberikan kode jika ada yang tidak beres dengan Liana.


 

"Liana, biar aku panggilkan dokter," kata Karin. 


 

Karin segera keluar mencari dokter. Sedangkan Evan berjalan mendekat ke arah Liana.


 

"Evan, kenapa Karin pergi. Apa yang terjadi sama aku?"


 

"Liana, apa kamu bisa dengar suara aku?" tanya Evan menatap lekat ke arah Liana. 


 

"Evan, kamu jangan nakutin aku. Kamu bicara yang keras. Jangan buat aku takut Evan," teriak Liana dengan suara keras.


 

"Liana, hei Liana. Kamu dengar aku?"


 

"Kenapa aku tidak bisa mendengar suara kamu. Apa kamu mau bercanda sama aku. Kamu jangan seperti itu, aku takut Evan," ujar Liana memegang kedua tangan Evan.


 

"Jangan-jangan dia bener-bener tuli. Dari tadi kami tidak nyambung," gumam Evan yang bisa didengar oleh Liana.


 

"Evan!"


 

'Aku harus mengetes dia dulu.


 

"Liana apa kamu tahu, kalau aku mencintai Karin sahabat kamu," kata Evan dengan takut-takut.


 

Evan gugup dengan pertanyaannya sendiri. Jika nanti Liana merespon, maka dia akan bilang jika itu hanya candaan saja. 


 

"Evan! Evan! Tolong aku, aku takut Evan," teriak Liana masih berpura-pura tidak dengar.


 

Hati Liana seakan tertusuk dengan tombak. Dia sangat yakin jika tadi Evan sengaja mengetes dia, namun dia lebih yakin lagi jika pertanyaan Evan tadi bukan bohongan. Dia sungguh kecewa dengan sang suami dan Karin. 


 

'Kamu harus kuat Liana. Kamu tidak boleh goyah. Kamu harus pura-pura tuli agar semua rahasia suami kamu bisa terbongkar,' batin Liana menguatkan diri.


 

Evan puas dengan reaksi Liana. Liana sama sekali tidak merespon pertanyaannya. Artinya Liana tidak mendengar percakapan dia dengan Karin tadi.


 

"Bagus, ini bagus sekali. Kamu harus tetap seperti ini ya Liana," kata Evan dengan senang dan dibuat raut wajah sesedih mungkin untuk menyakinkan Liana jika dia ikut sedih.


 

"Evan! Evan!"


 

Evan membawa Liana ke dalam pelukan. Dia bersikap seolah sedang menghibur Liana. Namun dia tertawa keras di belakang Liana.


 

"Liana, Liana. Semoga saja kamu tuli permanen. Biar aku bisa mengambil semua milik kamu. Bila perlu, seharusnya kamu mengalami kebutaan agar tidak bisa mengurus harta kamu lagi," bisik Evan sambil mengelus punggung Liana.


 

Liana meremas kedua tangan di balik punggung Evan. Dia sangat sakit hati mendengar perkataan Evan. Apakah Evan sama sekali tidak mempunyai hati. Mereka sudah menikah selama setahun lebih. 


 

Liana sudah memberikan apapun yang dia miliki untuk Evan. Sudah begitu banyak modal untuk usaha Evan yang juga tidak membuahkan hasil.


 

Bersambung ….


 

Bab 2. Permintaan Liana


 

Beberapa saat kemudian dokter masuk bersama suster dan juga Karin. Karin cemburu melihat Evan yang memeluk Liana dengan erat di depan matanya. Baginya, dialah orang yang pantas dipeluk oleh Evan. Karena Evan adalah pacarnya.


 

"Pak, bisa tolong keluar sebentar. Kami akan memeriksa kondisi pasien," ujar sang dokter.


 

"Baik Dok," sahut Evan melepaskan Liana.


 

"Evan, kamu mau kemana. Jangan tinggalin aku Evan," pinta Liana berpura-pura tidak mau ditinggal oleh Evan.


 

"Kamu harus diperiksa dulu. Setelah selesai diperiksa, kami akan masuk lagi," bujuk Evan.


 

"Evan, Evan."


 

"Ayo Karin," ajak Evan.


 

Karin mengikuti Evan dari belakang.


 

"Evan! Evan!" teriak Liana.


 

Setelah Karin dan Evan keluar dari ruangan, Liana berhenti berteriak. Ruangan yang dia tempati merupakan ruangan yang kedap suara. Oleh karena itu, walaupun dia berteriak maka suaranya tidak akan terdengar sampai keluar.


 

Dokter dan suster terheran-heran sendiri melihat pasiennya yang bisa berubah dalam sekejap. Tadi Liana berteriak keras, lalu beberapa detik kemudian dua duduk dengan diam menatap pintu. Mereka takut jika pasiennya mengalami masalah kejiwaan.


 

"Bu, Ibu tidak apa-apa?" tanya dokter dengan pelan. 


 

"Saya tidak apa-apa Dok," sahut Liana setelah menghela nafas berat.


 

Seumur hidup baru kali ini Liana berakting. Dia tadi juga gugup kalau akan ketahuan.


 

Dokter dan suster saling pandang. Mereka mendapatkan pasien yang sangat aneh.


 

"Bu, saya periksa kondisi Ibu ya," pinta Dokter ingin mengecek kondisi Liana.


 

Liana mengangguk kepala dengan pelan. Dia mempersil dokter memeriksa keadaannya. Berharap jika kondisinya baik-baik saja.


 

Dokter tidak menemukan ada yang aneh dengan kondisi Liana. Semua terlihat normal. 


 

"Bagaimana Dokter?"


 

"Kondisi Ibu baik-baik saja. Seben lagi juga sembuh," sahut dokter tidak menemukan ada yang aneh dari pasiennya yang aneh.


 

"Syukurlah, saya baik-baik saja. Dokter, apa boleh saya minta tolong sama Dokter?" pinta Liana ingin mengajak dokter kerja sama supaya lebih menyakinkan Evan dan Karin.


 

"Maksudnya Ibu?"


 

"Dok, tadi saya mendengar percakapan suami dan sahabat baik saya secara diam-diam saat saya baru sadar. Selama ini mereka hanya menginginkan harta saya saja. Terus sahabat baik saya jadi selingkuhan suami saya, Dokter. Tadi saya sengaja berpura-pura tuli agar mereka tidak tahu jika saya mendengar semua ucapan mereka," ujar Liana dengan tatapan sendu dan kosong.


 

Dokter dan suster prihatin dengan yang dialami oleh Liana. Mereka berdua juga sama-sama perempuan yang sudah menikah. Jika mereka mengetahui sang suami selingkuh apalagi dengan sahabat mereka, mereka juga akan terluka. 


 

"Jadi apa yang bisa saya bantu, Bu. Saya sesama perempuan juga tidak akan membiarkan suami saya berselingkuh," kata Dokter. 


 

"Iya Bu, kalau saya jadi Ibu tadi, mungkin saya sudah mencakar teman Ibu tadi," sambung suster ikut emosi. 


 

"Tidak, saya tidak boleh melabrak mereka sekarang. Saya harus mengetahui semua rahasia dibalik mereka dulu. Untuk itu saya ingin Dokter bekerja sama dengan saya. Tolong nyatakan jika pendengaran saya bermasalah," pinta Liana.


 

"Tapi ini cukup sulit. Ini menyangkut tentang profesi saya sebagai dokter," sahut dokter dilema.


 

"Saya tahu, Dok. Biar semuanya saya yang tanggung. Saya juga bukan ingin menipu atau berbuat sesuatu yang jahat. Saya hanya ingin membongkar rahasia suami saya," mohon Liana. 


 

"Kecelakaan Ibu tidak cukup parah. Mereka akan curiga jika saya memvonis Ibu tuli." 


 

"Dokter bisa bilang kalau saya hanya tuli sementara saja. Biar mereka juga takut jika suatu saat saya bisa mendengar lagi."


 

"Baiklah, saya akan membantu Ibu. Saya melakukan ini karena kita sama-sama perempuan," putus Dokter.


 

"Terima kasih Dokter. Saya sangat berterima kasih kepada dokter yang mau membantu saya," ujar Liana penuh syukur menemukan orang yang membantu disaat lagi dikhianati.


 

"Sama-sama Bu. Semoga Ibu bisa membongkar semua rahasia suami Ibu dan mendapatkan keadilan."


 

"Terima kasih Dokter."


 

"Suster, sekarang suster sudah boleh panggil mereka masuk," suruh dokter menghembus nafas dengan keputusan membohongi keluarga pasien.


 

Suster segera menuju ke depan pintu sesuai perintah dokter.


 

"Bu, saya suntikan Ibu vitamin ya. Obat ini juga akan membuat Ibu akan mengantuk," ujar dokter mengeluarkan obat untuk Liana.


 

"Baik Dokter," balas Liana.


 

Liana segera berbaring lagi di tempat tidur. Dia menyaksikan dokter yang menyuntikkan obat  ke selang infusnya. Beberapa detik kemudian dia mulai merasakan kantuk saat obatnya sudah mulai bekerja. Dia sempat menatap ke arah pintu, menatap sang suami dan sahabat baiknya masuk ke dalam ruangan sebelum dia menutup mata.


 

***

Evan dan Karin keluar dari kamar rawat Liana. Mereka mondar-mandir di depan kamar menunggu pemeriksaan dokter. 


 

"Evan, apa benar Liana tuli?" tanya Karin.


 

"Sepertinya dia memang tuli. Aku tadi sempat tes dia, dia tidak ada respon sama sekali," sahut Evan berhenti di depan Karin.


 

"Jadi, dia tidak mendengar percakapan kita tadi kan?" tanya Karin takut ketahuan.


 

"Kamu tenang saja. Dia tidak mendengar apapun," kata Evan meraih tangan Karin.


 

Evan mencium tangan karin dengan mesra untuk menyakinkan karin. Tangan perempuan yang dia cintai.


 

"Bagus deh kalau dia benar-benar tuli. Kita bisa memanfaatkan dia sampai habis. Aku sudah muak bersama dengannya terus dan dia merebut kamu dari aku. Aku kan juga ingin tinggal berdua sama kamu," ujar Karin dengan sebal.


 

"Sekarang kamu juga bisa tinggal di rumah Liana. Kita bisa tinggal satu atap," bujuk Evan.


 

"Terus bagaimana dengan Liana. Aku takut ketahuan."


 

"Aku janji tidak akan ketahuan. Kita bisa tinggal di rumah Liana sambil menunggu rumah kita selesai dibangun. Kita masih memerlukan dana yang banyak agar rumah itu selesai dan ada isinya. Setelah rumah itu selesai, kita akan tinggal bersama tanpa Liana," tambah Evan.


 

"Kenapa kamu lama sekali memperoti Liana. Aku sebal tinggal di kos mulu," ujar Karin dengan manja.


 

"Akhirnya kita bisa tinggal bersama," ucapan Evan mencium tangan Karin lagi.


 

"Sudah, malu dilihat orang," tegur Karin pura-pura malu. 


 

Bersambung ….


 

Bab 3. Pura-pura Tuli


 

Evan dan Karin kembali masuk ke ruangan Liana setelah dipanggil oleh suster. Mereka melihat Liana yang sudah tenang di atas tempat tidur.


 

"Dokter, apa yang terjadi sama istri saya?'


 

"Pak, istri Bapak mengalami masalah dengan pendengaran."


 

"Apa itu akan permanen Dokter?" 


 

"Bapak tenang saja, gangguan pendengaran ibu Liana hanya sementara. Jika Ibu Liana rajin pemeriksaan dan terapi, maka Ibu Liana bisa sembuh."


 

'Kenapa nggak sekalian tuli permanen saja sih. Jadi nanti aku ada alasan untuk meninggalkan dia setelah aku berhasil mengambil seluruh hartanya. Aku tidak mau hidup dengan perempuan bodoh seperti dia terus,' batin Evan kecewa dengan pernyataan dokter.


 

"Pak, apa Bapak tidak apa-apa," tegur dokter ketika Evan melamun.


 

Karin menyenggol lengan Evan untuk menyadarkan Evan. Perlakuan Karin tidak lepas dari mata dokter dan suster.


 

"Evan, Dokter bertanya sama kamu," tegur Karin berbisik kecil.


 

"Ah iya Dok, saya tidak apa-apa," ucapan Evan gelagapan.


 

***

Sekarang di dalam ruangan tinggal mereka bertiga. Dokter dan suster sudah pergi beberapa menit yang lalu.


 

"Karin, sebaiknya kamu pulang saha. Kamu tidak boleh terlalu capek," ujar Evan.


 

"Terus bagaimana dengan Liana?"


 

"Liana biar aku saja yang jaga. Aku tidak mau kalau kamu jatuh sakit," balas Evan.


 

"Baiklah, nanti kabari aku kalau ada apa. Awas kamu, jangan genit sama Liana," tegur Karin.


 

"Tenang saja, aku tidak akan berpaling dari kamu."


 

"Kamu bisa saja. Pakek acara ngerayu segala."


 

"Aku tidak merayu kamu. Oh ya sekalian kamu siapin semua barang kamu," suruh Evan.


 

"Siapin barang?" tanya Karin tidak mengerti.


 

"Iya, kan kamu mau pindah ke rumah Liana."


 

"Tapi kita belum bicara masalah ini sama Liana," sahut Karin masih ragu untuk pindah dengan cepat. 


 

"Besok kita bicara sama Liana ya. Jadi nanti barang kamu tinggal kita pindahkan saja."


 

"Baiklah, aku akan menyiapkan semua barang-barang aku."


 

"Ayo aku antar kamu ke lobi," ajak Evan meninggalkan Liana sendiri di dalam ruang rawat. 


 

***

Liana sudah membuka mata dari tadi. Di dalam ruangan hanya ada dirinya. Evan juga pergi setelah mengantar Karin. Dia tidak mau merawat Liana yang sakit, apalagi Liana yang masih tertidur. Dia terlalu malas menunggu Liana sadar dan memilih mencari hiburan.


 

Liana menghela nafas berat. Dia merasa sendirian sekarang. Orang yang dia cintai dan percaya mengkhianati dirinya. Namun sekarang belum terlambat untuk dia sadar. Dia harus kuat untuk menghadapi Evan dan Karin.


 

Liana kembali menutup mata ketika pintu bergerak terbuka. Dia bisa mendengar suara langkah kaki yang mendekat.


 

"Ternyata dia masih tidur. Percuma aku balik cepat. Dasar perempuan menyusahkan," ujar Evan kesal yang menatap jam masih menunjukkan pukul sembilan malam.


 

"Tahu gini tadi aku masih lanjut main dengan temanku," sambung Evan.


 

Evan berjalan ke arah tempat duduk. Dia duduk di sana merilekskan tubuhnya yang lelah. Dia tadi telah kalah main taruhan bersama teman-temannya.


 

Liana menguatkan hatinya yang semakin sakit. Dia sudah tahu jika suaminya tidak menginginkannya. Tetap saja terasa sakit saat diungkit lagi. 


 

Dalam hati Liana menenangkan diri sebelum bangun. Dia harus bisa berakting yang bagus dan menyakinkan. Setelah mentalnya kuat, dia membuka matanya dengan pelan.


 

"Evan," panggil Liana tanpa melirik ke arah Evan yang duduk di atas sofa.


 

Posisi tempat tidur sedikit jauh dari sofa. Ditambah ada kain penyekat yang membatasinya. Sehingga Liana tidak bisa melihat Evan secara langsung.


 

"Evan! Evan kamu dimana?" panggil Liana lagi melihat bayangan Evan yang tidak muncul serta tidak ada langkah kaki.


 

Liana tahu jika Evan mendengar suaranya. Dia juga bisa mendengar suara Evan yang berdecak kesal.


 

"Evan! Evan," pancing Liana dengan suara yang lebih keras.


 

Evan bangun dari sofa. Dia berjalan ke arah Liana dengan malas.


 

"Liana, kamu sudah bangun?" tanya Evan bersikap khawatir. 


 

"Evan, kamu dari mana saja aku takut?"


 

"Kamu tidak perlu takut. Ada aku disini," balas Evan.


 

"Kamu ngomong apa Evan, aku tidak bisa dengar," ujar Liana dengan berpura-pura menangis.


 

"Dasar tuli, buat orang susah saja," ngomel Evan.


 

Evan mengambilkan kertas dan pulpen yang telah disiapkan oleh suster sebelum Liana bangun. Supaya memudahkan dia berkomunikasi dengan Liana. 


 

[Kamu tenang saja, ya. Kata dokter itu hanya tuli sementara] Tulis Evan pada lembar kertas. 


 

"Jadi aku bisa sembuh?"


 

Evan mengangguk kepala pelan.


 

"Evan, apa kamu akan meninggalkan aku?" tanya Liana agar Evan tidak curiga.


 

[Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Kamu adalah satu-satunya perempuan b yang aku cintai] 


 

Evan mengelus rambut Liana untuk meyakinkan Liana. Dia juga memberikan senyuman terbaiknya.


 

'Tentu saja kamu tidak akan meninggalkan aku Evan. Karena kamu belum mengambil semua hartaku.'


 

"Aku sangat beruntung memiliki suami seperti kamu," balas Liana dengan tersenyum balik.


 

"Dasar perempuan bodoh," ejek Evan menatap ke arah lain.


 

'Kita lihat siapa pada akhirnya yang bodoh. Kamu, aku atau Karin.'


 

Bab 4. Kembali Ke Rumah


 

Keesokan paginya, Liana sudah bisa kembali ke rumahnya. Dia pulang di jemput oleh Evan dan Karin. Karin saat bertemu dengan Liana berpura-pura menangis histeris dengan keadaan Liana. Dia berusaha menyalahkan diri sendiri atas kejadian Liana. Semua itu dia lakukan untuk menarik simpati Liana.


 

Liana berusaha membujuk Karin agar tidak menangis lagi. Untuk pertama kali dia tidak merasa sedih dengan tangisan Karin. Dia yakin jika Karin selama ini juga sering berpura-pura sedih di depannya.


 

Mereka bertiga masuk ke dalam rumah Liana. Dia dengan sengaja menggandeng tangan Evan untuk membuat Karin cemburu.


 

"Kenapa pake gandeng-gandeng segala sih," cibir Karin yang berjalan di belakang Liana dan Evan.


 

Karin tidak takut berbicara dengan suara keras. Baginya Liana tidak bisa dengar.


 

Liana yang mendengar cibiran Karin semakin nekat. Dia menyandarkan kepala di bahu Evan. Dia sendiri tidak suka melakukan itu, namun dia senga ingin membuat hubungan Evan dan Karin renggang. 


 

"Evan, kamu jangan mau Liana manja seperti itu," protes Karin.


 

"Karin, kamu yang sabar," sahut Evan tanpa melihat ke arah Liana atau Karin.


 

"Evan, apa kamu bicara sesuatu sama aku. Atau kamu sedang berbicara sama Karin," kata Liana berdiri dengan tegak kembali.


 

[Tadi aku menyuruh dia masuk] Jawab Evan setelah mengetik pada handphone.


 

[Ayo kita masuk] Lanjut Evan mengetik kembali.


 

'Terus ... terus saja kalian berbohong seperti ini di belakang aku.'


 

***

Liana, Evan dan Karin duduk di sofa ruang keluar. Barang yang dari rumah sakit sudah dibawa ke dalam kamar oleh pembantu.


 

[Liana, apa boleh Karin tinggal disini untuk sementara] 


 

Evan sudah menyiapkan papan ujian yang telah ditaruh lembaran-lembaran kertas agar memudahkan untuk berkomunikasi dengan Liana.


 

"Kenapa Karin tinggal di sini? Apa terjadi sesuatu sama kamu Karin?" tanya Liana berbalik ke arah karin.


 

[Aku ingin Karin menemani kamu di sini selama aku tidak ada. Karin adalah sahabat kamu. Dia bisa menjaga kamu di rumah] 


 

"Oh begitu, baiklah. Terima kasih ya Karin. Kamu mau repot-repot menjaga aku," balas Liana mengikuti permainan mereka.


 

Evan menyerahkan papan tulis tadi kepada Karin. Agar Karin bisa membalas omongan Liana.


 

"Kenapa aku harus capek-capek menulis seperti ini sih," ujar Karin dengan tetap tersenyum.


 

"Sudah, kamu tulis aja. Jangan banyak bicara. Nanti Liana bisa baca gerak bibir kamu," tegur Evan. 


 

"Mana mungkin dia bisa membaca gerak bibir aku, dia kan bodoh. Sudah bertahun-tahun aku memanfaatkan dia, tapi dia juga masih belum sadar," omel Karin menerima papan itu dengan malas.


 

'Apa? Ternyata Karin sudah puluhan tahun bohongi aku. Jadi selama ini dia tidak tulus berteman sama aku. Aku sudah menganggap dia lebih dari sahabat aku sendiri. Seberapa banyak kamu membohongi aku Karin.'


 

"Karin, kamu bicara apa? Aku tidak bisa dengar," ujar Liana meremas kedua tangan dengan erat. 


 

[Tidak bicara apa-apa] Balas Karin pada lembar pertama. Kemudian Karin melanjutkan menulis lagi.


 

[Liana, apa aku boleh tinggal di sini. Aku bisa menemani kamu sampai sembuh. Aku juga bisa menjadi kawan bicara kamu. Kamu pasti sepi kalau sendiri] 


 

"Karin, kamu sangat baik sama aku. Aku tidak mau kamu kerepotan Karin."


 

[Kamu itu sahabat aku. Mana mungkin aku repot]


 

'Kamu yang tinggal disini malah bisa membuat aku repot. Tidak, untuk sekarang aku harus membiarkan Karin di rumah ini. Biar Evan dan Karin mempunyai banyak waktu berdua. Mereka pasti tidak akan takut lagi jika berbicara sesuka hati mereka. Aku harus memanfaatkan kesempatan ini.'


 

"Aku sungguh beruntung mempunyai sahabat seperti kamu. Kamu benar-benar kawan terbaik aku." 


 

[Aku juga beruntung memiliki kamu]


 

"Beruntung karena bisa membodohi kamu," cibir Karin.


 

[Liana, apa kamu mau istirahat sekarang? Kamu masih butuh banyak istirahat] 


 

"Iya Evan, aku mau istirahat," balas Liana bisa mencium gelagat Evan.


 

[Apa mau aku bantu ke kamar] 


 

"Tidak perlu, Evan. Aku bisa sendiri. Aku ini tuli, bukannya lumpuh. Karin, aku duluan ke kamar ya, mau istirahat," paling Liana.


 

Karin mengangguk kepala dan tersenyum kecil. Setelah itu Liana segera menuju ke arah kamar. Setelah berbelok dan menghilang di balik tembok dia tidak langsung menuju ke kamar. Dia ingin mendengar dulu obrolan antara sang suami dan sahabatnya. 


 

"Liana itu semakin lama semakin menyebalkan," kata Karin menunjukkan sosok aslinya


 

"Menyebalkan begitu masih kamu tempeli."


 

"Sayang kan kalau diabaikan," balas Karin mengangkat bahu.


 

"Apa kamu sudah menyiapkan semua barang kamu?"


 

"Iya, sebentar lagi barang aku akan sampai."


 

"Apa kamu juga mau istirahat."


 

"Ayo, aku antar kamu ke kamar."


 

"Kamu hanya antar kan, tidak macam-macam."


 

"Iya, aku tidak macam-macam. Sekarang Liana ada di rumah dan aku juga capek jaga dia semalam."


 

Evan menggandeng Karin menuju ke dalam kamar. Dia meletakkan tangannya di pinggang ramping Karin dengan romantis. Hal yang sangat jarang Evan lakukan terhadap Liana.


 

Tanpa sepengetahuan Evan dan Karin, Liana terus mengikuti mereka dari belakang. Mereka berdua menuju ke ruang tamu yang jauh dari ruangan lagi. Supaya tidak ada yang mengganggu mereka.


 

Liana menempelkan telinga di pintu kamar yang telah ditempati oleh Karin dan Evan. Mereka masih saja membahas rencana mereka. Dia berusaha untuk menguping obrolan antara Karin dan Evan. Dia sangat terkejut mendengar sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.


 

Apakah yang didengar oleh Liana?



 

Bab 5. Obrolan Evan dan Karin


 

"Akhirnya, aku bisa tinggal di rumah mewah seperti ini. Dulu aku hanya bisa nginap sekali-kali," gumam Karin menatap kondisi kamar ruang tamu.


 

Karin menduduki kasur setelah selesai memeriksa kondisi kamar. Kamar yang tidak jauh kalah dari kamar Liana. Jika dia menginap, maka dia tidur satu kamar dengan Liana. Itu sebelum Evan dan Liana menikah.


 

"Sayang, rumah kita kan hampir selesai. Nanti kita juga punya rumah mewah," kata Evan ikut duduk di sebelah Karin.


 

"Itu beda. Rumah ini jauh lebih besar dan mewah daripada rumah kita itu." 


 

"Apa kamu mau mengambil rumah ini juga?" 


 

"Tidak perlu, terlalu beresiko kalau kita mengambil rumah ini. Yah, kecuali kalau Liana mau menyerahkan rumah ini kepada kamu."


 

"Bagaimana kalau kita buat surat wasiat. Jadi, jika terjadi sesuatu sama Liana, maka seluruh isi rumah ini akan menjadi milik kita," usul Evan. 


 

"Terus, kita harus menunggu berapa lama agar Liana itu bisa mati. Kamu mau menunggu sampai tua sama dia. Kamu tidak mau tinggal sama aku," balas Karin tidak mau jika Evan terus bersama Liana.


 

"Itu masalah mudah, kematian Liana bisa kita percepat kan?" tanya Evan menaik turunkan alis memberikan kode. 


 

"Kamu jahat banget."


 

"Siapa yang lebih jahat, kamu atau aku. Kamu kan sahabat Liana, kamu sendiri yang menyuruh pacar kamu ini menikah sama sahabat kamu. Kamu yang mempunyai ide untuk mengambil harta Liana," ujar Evan.


 

Karin diam saja dengan pertanyaan Evan. Memang dia adalah dalang dibalik semua ini.


 

"Ngomong-ngomong, sejak kapan kamu kepikiran untuk merebut milik Liana. Aku penasaran apa yang terjadi di antara kalian sampai kamu punya ide ini?"


 

Karin mengulang kembali masa lalu. Masa saat dia pertama kali bertemu dengan Liana.


 

"Aku dan Liana sudah berteman sejak sekolah menengah, sudah 15 tahun kami berteman. Saat itu aku masih berumur 13 tahun dan duduk di kelas satu," kata Karin mulai bercerita. 


 

"Terus."


 

"Liana itu pura-pura sok baik di depanku dengan menyelamatkan aku yang lagi di bully." 


 

"Kamu di-bully?" 


 

"Iya, aku korban bully karena aku hanya anak orang biasa dan juga sangat cupu. Jadi, karena aku ingin aman dan tidak mau dibully lagi, maka aku pura-pura mau menjadi teman Liana. Tahun demi tahun aku terus bertahan untuk bisa dekat dengan Liana. Keluarga Liana juga mau membantu keluarga aku dan biaya sekolah aku dari sekolah menengah sampai kuliah."


 

"Kamu tahu, selama sekolah dan kuliah, setiap ada orang yang aku suka, pasti mereka akan berpaling dari aku. Mereka minta putus dengan aku dan ingin dekat dengan Liana. Bahkan ada juga yang sengaja mendekati aku demi menarik perhatian Liana. Mereka meninggalkan aku karena Liana lebih kaya. Dan yang lebih parah lagi, kedua orang tua aku lebih menyayangi Liana. Aku selalu dibandingkan dengan dia. Mentang-mentang keluarga Liana yang membantu keluarga kami," cerita Karin dengan penuh benci terhadap Liana dan kedua orang tuanya.


 

"Lalu, kenapa kamu bisa tinggal di kos-kosan sekarang. Kenapa tidak dengan orang tua kamu?"


 

"Mereka terlalu serakah dan penjilat sampai lupa diri. Saat orang tua Liana berhenti membantu mereka, mereka langsung jatuh miskin lagi. Aku tidak mau tinggal dengan mereka lagi, makanya aku memilih tinggal di kosan."


 

"Jadi itu yang membuat kamu sangat membencinya."


 

"Iya. Apa kamu suatu saat  juga akan menyukai Liana dan meninggalkan aku?" tuntut Karin.


 

"Aku tidak mungkin menghianati Kamu. Di hatiku cuma ada kamu." 


 

"Kamu janji?"


 

"Iya, aku janji."


 

"Kamu tahu, aku merasa sangat beruntung saat bertemu kamu tiga tahun yang lalu. Setelah kita pacaran, kedua orang tua Liana mengalami kecelakaan dan meninggal. Di saat itu aku punya pemikiran untuk membuat kamu dekat dengan Liana. Aku akan mengambil seluruh harta dia. Biar dia tahu bagaimana rasanya dikasihani dan kehilangan orang yang dicintai. Aku ingin melihat dia memohon-mohon di kaki aku sambil bersujud," sambung Karin dengan seringai.


 

"Aku akan membuat dia memohon-mohon sama kamu. Setelah itu kita bisa hidup berdua dengan harta miliknya."


 

***

Liana menutup mulutnya. Dia dari tadi mendengar semua obrolan mereka. Dia tidak tahu jika niatnya menolong Karin malah menjadi bumerang baginya. Dia dengan tulus memperlakukan Karin sebagai sahabatnya. Begitu juga dengan keluarganya, orang tuanya tidak pernah membedakan dia dan Karin. Karin sudah di anggap anak sendiri oleh orang tuanya.


 

Liana juga tidak tahu jika Karin diperlakukan tidak adil oleh orang tua kandungnya sendiri. Apalagi membayangkan orang-orang yang ingin dekat dengannya melewati Karin.


 

'Karin, kenapa kamu tidak jujur saja sama aku. Kalau kamu jujur, aku tidak akan merebut kasih sayang orang tua kamu dan juga orang yang kamu sukai. Bagiku kamu adalah saudara aku. Aku minta maaf Karin, aku yang membuat kamu seperti ini. Tapi aku juga minta maaf, aku tidak akan membiarkan kalian bersikap seenaknya lagi. Mulai sekarang hubungan persahabatan kita berakhir. Aku akan kembali mengambil semua milik aku."


 

"Jika kamu menyesali dan meminta maaf, maka aku akan membiarkan kamu pergi dengan Evan dengan tenang. Anggap saja ini sebagai ucapan perpisahan dari aku. Tapi, kalau kamu tidak mau mengakui kesalahan kamu dan masih nekat ingin menyingkirkan aku, aku akan memberi perhitungan kepada kamu.' batin Liana dengan tekad yang kuat. 


 

Liana kembali lagi ke kamar ketika tidak lagi mendengar suara obrolan dari Evan dan Karin. Dia berjalan dengan lemas ke dalam kamarnya. Dia melemparkan tubuhnya ke atas kasur lalu menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan. Dikhianati oleh sahabat sendiri karena rasa cemburu.


 

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pura-pura Tuli Untuk Membongkar Rahasia Suamiku Bab 6-10
1
0
Bab 6. Mengambil Alih Perusahaan Pada sore hari, barang-barang Karin sudah tiba. Liana menatap barang Karin dengan muka datar. Di sana juga ada Evan yang menyuruh para pembantu untuk mengangkut barang-barang milik Karin ke dalam kamar tamu. Barang milik Karin tidak bisa dibilang sedikit. Persis seperti orang pindahan saja. Liana dengan pelan berjalan ke arah Karin dan Evan yang tidak menyadari kehadirannya. Dia dengan sengaja berdiri sejajar dengan mereka. Akhirnya Evan dan Karin baru menyadari ada Liana di samping mereka. Liana, ujar mereka berbarengan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan