After We Meet (Chapter 1)

1
0
Deskripsi

Ini adalah perkenalan singkat mengenai Helion Seilyanth. Ia yang belum beradaptasi di ibukota.

Helion Seilyanth lahir sebagai putra sulung dari Keluarga Seilyanth. Ia terbilang sebagai bangsawan yang beruntung karena tidak terlalu terikat dengan kehidupan bangsawan yang serba kaku dan bisa menikmati kehidupannya. Ayahnya mewarisi gelar count. Memimpin wilayah kecil bernama Seilyanth, yang diambil dari nama keluarganya. Meskipun ayahnya berkedudukan sebagai count, Keluarga Seilyanth tak seberpengaruh bangsawan lainnya. Tak semua orang mau membuang waktu untuk membangun relasi yang percuma. Wilayah yang hanya mengandalkan pemasukan dari sektor pertanian dan peternakan itu tak cukup kaya daripada wilayah lain di dekat ibukota.

Hanya segelintir relasi dekat Keluarga Seilyanth. Salah satunya adalah Dimitrius Oxley, seorang marquis baik hati yang menawarkan pembiayaan sekolah Helion di Akademi Kerajaan. Ia adalah panglima perang Kerajaan Oxley yang memiliki pengaruh kuat di kalangan bangsawan. Ayah Helion tentu gembira mendengar kabar itu. Ia segera memerintahkan Helion untuk menemui Dimitrius di Wilayah Oxley untuk menyatakan kesanggupannya.

Satu pekan sebelum pergantian tahun, Helion berencana akan pergi ke Wilayah Oxley. Kedua orangtuanya setuju. Tuan Seilyanth mendekap tubuhnya erat-erat sembari menitikkan air mata. Kesedihan Tuan Seilyanth ternyata juga menular kepada sang istri. Nyonya Seilyanth tak kuasa menahan tangisnya. Bagaimanapun pula, Helion adalah putra tunggalnya, yang lahir dan dibesarkan di wilayah itu, dan tak pernah menginjakkan kaki di wilayah besar sebelumnya. Siapa yang tega melepas anak yang awam tentang dunia begitu saja? Bisa jadi Helion akan tersesat, terjerumus dalam kelompok kriminalitas yang menjadi seruan keresahan para bangsawan ibukota akhir-akhir ini, atau dirampok. Membayangkannya saja membuat hati seorang ibu tersiksa.

“Aku akan datang setiap pekan,” ucap Helion untuk menenangkan kekhawatiran kedua orangtuanya. Ia menghela napas kecil. Beginilah rasanya menjadi anak semata wayang. “Ibu dan Ayah tidak perlu menaruh khawatir. Tuan Dimitrius adalah orang yang baik. Aku akan baik-baik saja.”

“Berjanjilah bahwa kau akan kembali setiap pekan, Sayang. Ibu akan sangat merindukanmu.” Nyonya Seilyanth menciumi wajah putranya dengan penuh kasih. 

“Aku janji," angguk Helion.

“Sekarang pergilah, Helion. Ibu dan Ayah akan menantikan kabar gembira darimu. Berhati-hatilah di sana. Wilayah ibukota sangatlah asing bagimu. Jangan berhenti di jalan sebelum sampai di Kediaman Oxley, mengerti?” Tuan Seilyanth berkata demikian sembari memeluk pinggang istrinya.

“Aku tahu. Ayah sudah mengatakannya berulang kali sedari pagi tadi." Helion melepas topinya, menekuk tangan kanannya ke depan dada, sembari membungkuk sopan. “Kalau begitu sampai jumpa, Ibu, Ayah. Jaga diri kalian baik-baik di sini. Aku akan selalu merindukan kalian."

Helion memakai topinya kembali lalu berbalik menuju kereta kuda.

“Hati-hati, Helion!”

Ucapan itu hanya dibalas dengan lambaian Helion, sebelum dirinya masuk ke dalam kereta kuda. Perjalanan pendeknya ke ibukota akan segera dimulai! Rasanya begitu mendebarkan. Seperti apa ibukota itu? Apakah benar di sana memiliki keindahan yang tak akan bisa ditandingi wilayah lain? Katanya juga, tempat itu merupakan medan perang bagi para pekerja yang mengais rezeki dan bangsawan yang saling senggol demi kekuasaan. Membayangkannya ngeri, tetapi juga seru. Helion ingin segera merasakan kehidupan sebagai warga ibukota!

***

Kediaman bergebang tinggi menjulang itu mengundang decak kagum Helion. Bangunannya klasik tetapi sangat mewah dan megah. Kediaman Keluarga Oxley terlihat seperti istana raja baginya. Apalagi pahatan sempurna pada patung seorang pria yang berdiri gagah membawa pedang di tengah-tengah air mancur, yang mendapat pujian besar dari Helion. Perlahan tapi pasti, kereta kuda yang ditumpangi oleh Helion berhenti di depan pintu utama.

Salju menutup sisi-sisi kediaman. Tiang penyangga pada tangga utama terselimuti oleh salju. Seorang wanita paruh baya lalu menyembul keluar dari balik pintu kediaman, membawa lentera yang terus bergoyang-goyang terkena angin malam. Helion turun dari kereta kudanya lalu memberi salam kepada wanita itu.

“Anda adalah Helion Seilyanth?”

“Benar, Nyonya."

Wanita itu mengamatinya dari atas ke bawah. Helion bergerak tak nyaman. Tatapan itu seakan tengah mengulitinya. “Masuklah. Nyonya sudah menunggumu.”

Bagian dalam kediaman jauh berbeda dari bayangan Helion. Hampir semua barang yang ada merupakan koleksi mahal yang sering dipromosikan oleh para pedagang mebel kepada bangsawan. Beberapa perabotan bahkan pernah Helion lihat pada selembaran yang dilayangkan ke kediamannya awal tahun ini. Perabotan itu berharga hampir 100 keping emas, lebih mahal daripada total kuda-kuda yang dimiliki Keluarga Seilyanth.

Seorang wanita bergaris muka tegas duduk di sofa sembari menikmati secangkir teh hangat. Wanita itu mengalihkan pandangannya kepada Helion. Cangkir teh yang ia pegang diletakkan dengan hati-hati ke atas meja. Tatapan yang ia layangkan pun terkesan misterius tetapi memikat. Senyum kecil ia pamerkan kepada Helion, lalu ia berdiri menyambut kedatangan sang tamu.

“Helion?”

“Ah, salam! Maafkan kelancangan saya, Nyonya." Helion menunduk malu. Pipinya merah bak kepiting rebus. Bagaimana bisa ia memandangi wanita bangsawan yang lebih tinggi kedudukannya dengan lancang seperti tadi? Perjumpaan pertama ini sangat memalukan.

Nyonya itu terkekeh. “Mengapa malu-malu seperti itu? Tidak perlu meminta maaf. Kamu tidak bersalah.”

“T-Terima kasih, Nyonya.”

“Nah, sebelumnya perkenalkan. Aku Amalie, istri dari Dimitrius. Aku sudah dengar dari suamiku bahwa kamu akan datang ke kediaman kami malam ini.” Amalie memandang ke arah wanita yang memegang lentera tadi. “Minta pelayan untuk membawakan barang-barang Helion ke kamarnya.”

“S-Saya bisa melakukannya sendiri. Lagipula barang yang saya tidak banyak," ungkap Helion malu-malu. Percayalah, anak kecil itu hanya membawa satu koper yang berisi perlengkapannya selama sepekan. Sebab ia terlanjur berjanji kepada orangtuanya untuk kembali tiap pekan.

“Kamu pasti lelah setelah melakukan perjalanan. Tidak mungkin aku membiarkanmu melakukan semuanya sendiri. Mari ikut aku sebentar! Duduklah bersamaku sambil mengobrol.”

Helion mengikuti langkah Amalie menuju sofa. Ia duduk di samping Amalie, lalu seterusnya hanya menunduk malu-malu, sembari menggenggam erat celana satinnya.

“Berapa usiamu tahun ini, Helion?”

“D-Delapan tahun.”

“Benarkah? Usiamu sama seperti putriku.” Amalie tersenyum senang. “Syukurlah. Akhirnya Mora akan memiliki teman bermain. Akan kukenalkan pada putriku nanti. Ia masih di perpustakaan, belajar bersama kakaknya.”

“B-Belajar?”

Tepatnya, belajar saat hampir tengah malam seperti ini? Apakah tidak merasa lelah dan mengantuk?

“Putriku suka melakukannya. Ia dan kakaknya senang lembur belajar, kadangkala sampai pagi.”

“Anak Nyonya sangatlah hebat.”

Percakapan mereka terjeda karena kedatangan pelayan yang menbawakan secangkir teh hangat untuk Helion.

“Minumlah dahulu. Pasti dahaga menyerangmu selama berjalanan.”

“Terima kasih, Nyonya.” Helion mengangkat cangkir, meniup-niup pelan pinggirnya, lalu menyesap untuk memastikan tingkat kehangatan teh.

“Seharusnya sebentar lagi mereka selesai belajar. Mari menunggu sambil kamu menghabiskan teh.”

Helion tak menjawab. Pikirannya berkelana membayangkan sosok anak-anak Keluarga Oxley. Keluarga yang punya reputasi luar biasa hebat ini pasti mendidik pewarisnya dengan ketat, bukan? Apakah mereka adalah orang yang irit bicara dan rasional? Ataukah justru anak yang gemar menyombongkan diri karena kedudukan orangtuanya? Banyak sekali kisah bangsawan kecil yang ditindas oleh mereka yang lebih berkuasa. Apalagi orang seperti Helion yang adalah seorang pendatang dan kurang berpengatahuan luas.

“Nah, itu dia.”

Helion mengikuti arah tatapan Amalie. Seorang anak kecil mengenakan gaun biru muda menuruni tangga. Anak kecil itu memiliki tatapan yang tegas sama seperti Amalie dan caranya berjalan sangatlah anggun seperti bangsawan sejati.

Anak kecil itu berhenti di dekat sofa sembari menaikkan kedua alis. Pandangannya beradu dengan Helion untuk sesaat. Anak kecil itu mengarahkan tubuhnya kepada sang ibu dan memberi salam. “Aku dengar dari Arthur bahwa Ibu memanggilku. Kakak tidak bisa datang bersamaku, itu sebabnya aku ke mari sendiri."

“Tak apa, biarkan kakakmu beristirahat. Aku memintamu datang untuk berkenalan dengan seseorang."

“Dengan dia?” Anak kecil itu menatap ke arah Helion dengan penuh kebingungan. Yang ditatap justru segera menundukkan kepalanya karena merasa malu.

“Sayang, dia adalah anak yang dimaksud oleh ayahmu tempo hari. Dia adalah Helion Seilyanth.”

“Ah, salam kenal.” Anak kecil itu membungkukkan badannya dengan sopan kepada Helion. Sontak Helion langsung menaikkan pandangnya dan terlihat panik. “Halo, Helion?”

“Dan Helion, anak ini adalah putriku, Morgance Oxley.”

Dengan gerakan yang kaku, Helion berdiri dari duduknya, dan balas memberi salam. “S-Salam kenal, Nona Oxley.”

“Morgance. Kamu bisa memanggilku Morgance."

Wajah Helion kembali memerah. Senyum Morgance yang dilemparkan untuknya terlihat begitu cerah dan menawan. Ditambah dengan rambut hitam legamnya yang bergelantung jatuh ke depan dada, Morgance Oxley memiliki aura yang berbeda dari perempuan bangsawan lain. 

“Ah, baik.”

“Pasti kamu seumuranku, ya?”

Helion mengangguk dengan gugup.

“Aku ingin mengajakmu bermain besok! Sudah lama aku tidak bermain dengan teman sebayaku. Maukah kamu menemaniku?”

Mata Helion membulat sempurna. Ajakan yang tiba-tiba itu berhasil membuat degup jantung Helion semakin cepat. Morgance menanti jawabnya. Namun Helion hanya menunduk dan menggigit bibir bawahnya.

Ah, sial! Perjumpaan pertama ini sangat buruk.

Mengapa Helion terus menundukkan kepalanya hingga membuat Amalie dan Morgance menjadi bingung seperti itu?!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan